Pendahuluan
Jika kita bertanya pada anak-anak tentang cita-cita mereka, tentu mereka ingin menjadi besar, dengan kata lain, ingin bertumbuh menjadi dewasa. Memang, pertumbuhan menjadi ciri khas kita sebagai manusia, yang kita alami baik secara jasmani maupun rohani. Selayaknya, kita yang telah dibaptis ingin bertumbuh menjadi lebih dewasa di dalam Kristus. Allah sendiri menghendaki pertumbuhan iman ini, dan karena itu Ia mengaruniakan rahmat Sakramen Penguatan, yang dimaksudkan untuk melengkapi rahmat Pembaptisan.[1]
Sebagaimana secara alamiah seseorang lahir, bertumbuh, oleh karena makanan jasmani, maka secara rohani, iapun dilahirkan kembali di dalam Pembaptisan; menjadi dewasa oleh Penguatan dan bertumbuh dan dikuatkan oleh Ekaristi, yang adalah makanan rohani. Oleh karena itu sakramen Pembaptisan, Penguatan dan Ekaristi menjadi Sakramen-sakramen Inisiasi Kristen yang kesatuannya harus dipertahankan.[2]
Arti Sakramen Penguatan / Krisma
Dalam kehidupan rohani, kita yang telah dilahirkan kembali oleh air dan Roh melalui Pembaptisan, juga bertumbuh dewasa di dalam Kristus. Kedewasaan di dalam Kristus ini ditandai oleh ketahanan kita untuk menolak dosa dan kuasa jahat yang menjadi ‘musuh’ iman kita. Untuk itu, Kristus melalui Gereja-Nya memberikan pada kita Sakramen Penguatan, yang memperlengkapi kita untuk menghadapi peperangan rohani antara keinginan berbuat baik dan pengaruh dunia yang sering kali bertentangan dengan iman kita. Karena pergumulan ini bersifat rohani, maka Allah memberikan kepada kita sumber kekuatan, yaitu karunia yang berasal dari Roh Kudus-Nya sendiri. Kepenuhan Roh inilah yang dijanjikan oleh Kristus kepada para murid-Nya (Yoh 14:15-26).
Sakramen Penguatan disebut juga sebagai sakramen Krisma. Krisma sendiri berarti pengurapan. Pengurapan ini menjelaskan nama Kristen yang berarti ‘yang terurapi’ yang dapat kita lihat kesempurnaannya pada diri Yesus Kristus, yang diurapi Allah dengan Roh Kudus-Nya (Kis 10:38). Jadi Krisma bagi kita adalah pengurapan yang menjadikan kita seperti Kristus, dengan menerima pengurapan Roh Kudus yang sama seperti yang diterima oleh Kristus.
Sakramen Penguatan menurut Kitab Suci
- Yesus menjanjikan karunia Roh Kudus yang disebut-Nya sebagai Penolong dan Roh Kebenaran yang akan menyertai para murid-Nya sampai selama-lamanya (lih. Yoh 14:16). Jadi, Kristus meng-institusikan sakramen ini, bukan dengan memberikannya secara langsung, tetapi dengan menjanjikannya. Ia mengatakan, “Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jika Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepada-Mu (Yoh 16:7).
- Para Rasul menerima pemenuhan janji rahmat Penguatan dari Roh Kudus tersebut pada hari Pentakosta. Setelah dipenuhi oleh Roh Kudus, para murid menjadi berani untuk mewartakan “perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” (Kis 2:11).
- Curahan Roh Kudus merupakan tanda untuk saat mesianis pada hari-hari terakhir (lih. Kis 2:17-18)[3], yang mendatangkan karunia Roh Kudus.
- Pengurapan Roh Kudus ini ditandai dengan penumpangan tangan (lih. Kis 8:14-17) dan pengurapan dengan minyak harum yang disebut krisma. Oleh Penguatan, kita semakin diikutsertakan dalam perutusan Yesus Kristus dan mengambil bagian di dalam kepenuhan Roh Kudus, sehingga seluruh kehidupannya mengalirkan “keharuman Kristus” (lih. 2 Kor 2:15).[4]
- Rasul Paulus mengajarkan agar sebagai umat beriman, kita perlu bertumbuh, agar tidak terus menjadi manusia duniawi yang puas dengan susu, melainkan juga yang dapat menerima makanan keras (1 Kor 3:2, Ibr 5:12). Pertumbuhan ini dimungkinkan oleh Roh Kudus yang memberikan kekuatan kepada kita.
Buah-buah Sakramen Penguatan
Pertama, sakramen Penguatan menyebabkan curahan Roh Kudus dalam kelimpahan, seperti yang dialami oleh para Rasul pada hari Pentakosta.[5] Curahan Roh Kudus dapat menjadikan kita seperti para rasul: yaitu memiliki kasih yang berkobar kepada Kristus dan keinginan memberikan diri untuk ikut serta dalam karya Keselamatan-Nya.
Kedua, sakramen Penguatan menghasilkan pertumbuhan dan pendalaman rahmat Pembaptisan, yaitu menjadikan kita anak-anak Allah dengan lebih sungguh, meneguhkan persatuan kita dengan Kristus, menambah karunia Roh Kudus, mengikat kita lebih sempurna dengan Gereja, dan menganugerahkan pada kita kekuatan Roh Kudus sehingga kita lebih berani menjadi saksi Kristus, dan membela iman dengan perkataan dan perbuatan.[6] Kesatuan dengan Kristus ini dapat mendorong kita untuk melakukan tugas-tugas apostolik, yang bertujuan untuk membangun Gereja.
Ketiga, seperti halnya Pembaptisan, sakramen Penguatan mengukir suatu tanda rohani yang tak terhapuskan sebagai suatu karakter dalam jiwa. Ini adalah tanda bahwa Kristus telah memeteraikan kita sebagai saksi-Nya dan memberikan pada kita kekuatan yang berasal dari-Nya.[7]
Keempat, karakter ini menyempurnakan imamat bersama yang diterima dalam Pembaptisan. Gereja menghendaki agar semua anggotanya disempurnakan oleh Roh Kudus dan dianugerahi dengan kepenuhan Kristus.[8] Imamat bersama ini mencapai puncaknya pada saat kita berpartisipasi di dalam perayaan Ekaristi, di mana Kristus hadir dengan segala kepenuhan-Nya. Itulah sebabnya sakramen Penguatan berkaitan erat tidak hanya dengan Pembaptisan tetapi juga dengan Ekaristi.
Sakramen Penguatan menurut para Bapa Gereja
1. Pada abad-abad awal, Sakramen Penguatan diberikan bersama-sama dengan Pembaptisan.[9] Ketiga sakramen, Pembaptisan, Penguatan dan Ekaristi diberikan pada saat seseorang memulai kehidupan sebagai seorang Kristen. Tertullian (155-222) mengatakan Pengurapan minyak diberikan setelah Pembaptisan. Pembasuhan tubuh oleh air mendatangkan akibat rohani, yaitu penghapusan dosa; dan pengurapan tubuh oleh minyak dan penumpangan tangan mendatangkan Roh Kudus.[10]
2. St. Teofilus dari Antiokhia (169-183), mengatakan bahwa kita disebut sebagai orang-orang Kristen sebab kita diurapi oleh minyak (krism) Tuhan.[11]
3. St. Cyril dari Jerusalem (313-386) memperingatkan bahwa minyak yang digunakan dalam sakramen Penguatan adalah bukan minyak biasa. Seperti halnya roti dan anggur yang setelah doa konsekrasi diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus, maka minyak itu setelah doa permohonan kepada Roh Kudus diubah manjadi karunia rahmat Kristus untuk menanamkan sifat Ilahi yang menguduskan jiwa kita oleh Roh Kudus.[12]
4. St. Jerome (347-420) mengajarkan bahwa penumpangan tangan setelah Pembaptisan dan doa permohonan kepada Roh Kudus merupakan Tradisi Gereja. Bukti alkitabiah dari Tradisi ini dapat dilihat dalam Kisah Para Rasul. Namun meskipun seandainya hal ini tidak didasari oleh Kitab Suci sekalipun, Tradisi ini sudah berakar di seluruh dunia, sehingga memiliki kekuatan sebagai perintah. Karena banyak peraturan Gereja yang bersumber pada Tradisi suci telah memperoleh kuasa dari hukum yang tertulis.[13]
5. St. Thomas Aquinas (1225-1274) mengutip Paus Melchiades mengatakan, bahwa Roh Kudus yang turun melalui air pada waktu Pembaptisan yang membawa keselamatan, menganugerahkan pembersihan dari dosa, tetapi dalam Penguatan, Ia menyampaikan penambahan rahmat. Di dalam Pembaptisan kita dilahirkan kembali, setelah Pembaptisan kita dikuatkan.[14] St. Thomas juga mengajarkan, “melalui Baptisan kita ditulis bagaikan surat rohani, dan melalui Penguatan, kita sebagai surat tertulis ditandatangani/ disahkan dengan tanda Salib. Maka pengesahan ini menjadi kuasa para uskup yang memegang kuasa tertinggi di dalam Gereja.”[15]
Pelaksanaan Sakramen Penguatan sepanjang sejarah Gereja
Kini, sering kita mendapati bahwa Sakramen Penguatan diberikan secara terpisah dari Pembaptisan, sehingga ketiga sakramen (Pembaptisan, Penguatan, Ekaristi) tidak diberikan sekaligus seperti pada abad-abad awal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena prinsip pengajaran ‘quam primum‘, yaitu Pembaptisan harus dilakukan segera setelah kelahiran. St. Cyprian (250) mengajarkan “Pembaptisan yang memberikan rahmat penghapusan dosa tidak boleh ditunda.”[16] Juga hal serupa diajarkan oleh St. Augustinus (422), dalam pengajarannya tentang akibat dosa Adam yang membawa kematian, dan makna Pembaptisan yang menghapuskan segala dosa[17] dan karenanya membebaskan dari kematian kekal. Penerapan baptisan bayi/ anak-anak oleh para Rasul dapat dilihat pada baptisan Lydia dan Krispus beserta seluruh isi rumah mereka (lih. Kis 16:15; 18:8).
Penerapan baptisan bayi membawa dampak lebih lanjut. Karena pesatnya pertumbuhan umat Kristen sejak abad ke-4, maka diperlukan kesiap-sediaan para imam dan uskup untuk memberikan ketiga sakramen setiap waktu. Hal ini tentu saja tidak mudah, sehingga Gereja dihadapkan oleh dua pilihan: Pertama, ketiga sakramen diberikan sekaligus, namun Sakramen Penguatan dapat diberikan oleh imam, seperti yang diterapkan Gereja-gereja Timur; atau kedua, Sakramen Penguatan dapat diberikan terpisah dari Pembaptisan, karena hanya uskup yang dapat memberikan sakramen Penguatan. Surat bapa Paus Innocentius (416) memutuskan pilihan yang kedua.[18] Namun demikian, sampai abad ke-8 tetap diusahakan pemberian ketiga sakramen sekaligus, dan jika Sakramen Penguatan tidak diadakan segera setelah Pembaptisan karena uskup tidak dapat hadir, itu dianggap sebagai kelalaian.[19]
Jadi, meskipun pada abad ke-10, upacara ketiga sakramen diadakan sebagai satu perayaan, kita mengetahui bahwa pelaksanaannya tidak mudah. Pada abad ke-12 melalui Pontificale Guglielmi Durandi, diputuskan bahwa sakramen Penguatan dapat diberikan setelah Pembaptisan hanya jika uskup dapat hadir; sehingga dapat disimpulkan, jika tidak demikian, Penguatan diberikan terpisah dari Pembaptisan.[20]
Tingginya tingkat kematian bayi pada abad ke-13 mengakibatkan peningkatan jumlah Pembaptisan bayi. Uskup yang tidak bisa selalu hadir dalam pemberian ketiga sakramen inisiasi menyebabkan terpisahnya pelaksanaan Pembaptisan dari Penguatan, sehingga urutannya menjadi Pembaptisan, Ekaristi dan Penguatan.
Perkembangan penting lain yang menyebabkan pemisahan ketiga sakramen adalah pengajaran bahwa Komuni Kudus hanya dapat diberikan pada anak-anak yang telah mencapai usia akal sehat (‘the age of reason’), seperti yang dinyatakan oleh Konsili Lateran (1215).[21] Penundaan penerimaan Komuni pada anak-anak ini berkaitan dengan penghormatan terhadap Ekaristi, seperti yang diajarkan oleh Rasul Paulus (lih. 1 Kor 11:27). Penundaan Komuni Kudus kemudian mengakibatkan penundaan Penguatan (sampai usia 16 tahun), sehingga Penguatan dianggap sebagai sakramen orang dewasa.
Pemisahan sakramen Penguatan dari Pembaptisan ditetapkan oleh Konsili Lion (1274) dengan ditetapkannya ke-7 sakramen.[22] Paus Paulus V (1614) menegaskan kembali bahwa ketiga sakramen tidak perlu harus digabungkan di dalam satu perayaan. Pemisahan ini dimaksudkan untuk memberikan waktu persiapan yang layak bagi Sakramen Penguatan, dan memberi kesempatan kepada uskup untuk bertemu dengan mereka yang sudah dibaptis. Sayangnya, pemisahan ini sedikit banyak telah mengaburkan makna sakramen inisiasi, terutama makna sakramen Penguatan.
Melihat kenyataan ini, maka Vatikan II memberikan beberapa keputusan penting untuk menyatukan kembali ketiga sakramen inisiasi, yaitu: 1) Jika mungkin Pembaptisan diberikan di dalam perayaan Ekaristi, demikian juga Penguatan, atau setidaknya didahului oleh Liturgi Sabda[23]; 2) Ritus Penguatan direvisi[24] untuk menyatakan kaitan yang erat dengan Baptisan dan Ekaristi; Pembaharuan janji Baptis dan pernyataan iman diucapkan sebelum Penguatan; 3) Meskipun yang terbaik adalah uskup yang memberikan Sakramen Penguatan, namun jika kebutuhan meningkat, maka uskup dapat memberikan kuasa kepada para imam untuk tugas tersebut[25]; 4) Ditetapkannya Ritus Inisiasi bagi umat dewasa (RCIA= The Rite of Christian Initiation for Adults) yang memberikan acuan untuk proses inisiasi yang terpadu, dari persiapan katekumen, pemberian ketiga sakramen bagi umat dewasa, mystagogia, yang melibatkan umat pendukung (sponsor) dan umat lainnya untuk mendukung perjalanan iman para katekumen.
Sudahkah Sakramen Penguatan membawa efek pada kehidupan rohani kita?
Sakramen Penguatan seharusnya membawa dampak yang besar dalam kehidupan rohani kita. Namun kenyataannya, banyak dari yang sudah menerima Sakramen ini masih merasa ‘belum dewasa’ di dalam iman, atau belum sungguh bertumbuh di dalam iman. Bukan berarti bahwa tidak ada Roh Kudus pada orang-orang tersebut, karena melalui Pembaptisan dan Penguatan, Roh Kudus sudah hadir dan siap berkarya di dalam hidup mereka, hanya saja sikap kesiapan hati pada saat penerimaan sakramen juga adalah sangat penting[26] agar seseorang dapat menerima kelimpahan buah-buahnya. Jadi terdapat kemungkinan, karunia Roh Kudus yang diterima pada sakramen Penguatan baru dapat berdayaguna beberapa waktu sesudah penerimaan sakramen, misalnya setelah melalui doa-doa pribadi, setelah sekian lama mengikuti Misa Kudus, dan setelah mengikuti kegiatan-kegiatan rohani Gereja.
Apa tandanya kedewasaan iman dalam Kristus?
Ada beberapa tanda kedewasaan iman dalam Kristus, yang dimungkinkan oleh karunia Roh Kudus. Pertama ialah jika kita dapat memusatkan perhatian kepada Kristus, dan bukan kepada diri sendiri. Secara praktis kita melihat contoh yang nyata pada anak-anak kecil yang sampai umur tertentu menginginkan dirinya terus menjadi pusat perhatian. Namun semakin besar, sifatnya (seharusnya) berubah, dan dapat memperhatikan orang lain. Dalam ibadah dan doa-doa kita, kita-pun dapat melihat gejala serupa. Jika kita belum dewasa dalam iman, doa-doa kita didominasi oleh doa permohonan yang berpusat pada kebutuhan kita, seperti, minta rejeki, kesehatan, dll. Namun jika kita terus bertumbuh, maka doa kita berkembang menjadi ucapan syukur dan pujian penyembahan kepada Tuhan. Kita mulai dapat mengasihi Sang Pemberi berkat dan bukannya mengasihi berkat-berkat-Nya. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh memohon berkat pada Tuhan, tetapi seharusnya kita memusatkan perhatian kepada Tuhan terlebih dahulu, sebab yang lain akan diberikan kepada kita kemudian. Dengan ini kita memenuhi kehendak Tuhan yang berkata, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mat 6:33)
Tanda kedewasaan iman yang kedua adalah kesediaan kita untuk memberikan diri kita untuk pekerjaan-pekerjaan Allah di dunia. Dengan perkataan lain, kita mau melayani daripada dilayani. Bukankah hal ini juga sangat nyata dalam kehidupan seorang anak? Anak kecil minta dilayani, tetapi yang sudah besar dapat melayani anggota keluarga yang sedang membutuhkan bantuan. Jadi, dalam kegiatan di Gereja dan masyarakat misalnya, kita tidak menuntut orang lain untuk memperhatikan, melayani, dan menghormati kita; melainkan kita terdorong untuk membantu dan melayani orang lain. Karena itu, selayaknya kita tidak berkomentar, “Aku tidak senang ke gereja Katolik, karena di gereja aku tidak mendapat perhatian…” Walaupun tentu sebagai umat seharusnya kita saling memperhatikan satu sama lain, namun jangan sampai kita lupa bahwa tujuan utama kita beribadah di gereja adalah untuk bersyukur kepada Tuhan dan bersekutu dengan-Nya. Baru kemudian, langkah berikutnya adalah, apa yang dapat kulakukan agar dapat turut meningkatkan keakraban umat.
Melayani Tuhan juga berarti mau menjalankan tugas mewartakan Injil (lih. Mat 28:19-20). Hal ini dapat kita lakukan dengan perkataan, tetapi terlebih lagi dengan perbuatan. Sudah menjadi misi Kristus untuk menyelamatkan semua manusia, maka jika kita sungguh mengasihi Kristus kita akan turut mengambil bagian dalam misi-Nya tersebut, yang juga menjadi misi Gereja. Dengan perkataan lain, kita tidak hanya menjadi pengikut Kristus, tetapi menjadi murid Kristus.
Tanda ketiga adalah kita tidak mudah bertengkar dengan sesama, terutama dengan sesama umat. Rasul Paulus menunjukkan hal ini dengan begitu jelas dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Timotius diutus oleh Rasul Paulus untuk membacakan pesannya kepada jemaat di sana, yang berisi nasihat supaya bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus (Fil 2:1-11), untuk menghindari segala bentuk perselisihan. Secara khusus ia menyebut nama dua orang wanita yang bertengkar, Euodia dan Sintikhe (Fil 4:2) dan menasihati supaya mereka berhenti berselisih dan menjadi sehati sepikir dalam Tuhan. Jika kita memiliki pengalaman berselisih dengan sesama umat di gereja, bayangkanlah jika nama kita yang disebutkan di sana!
Keempat, kita bertumbuh di dalam iman jika kita mau dengan hati lapang memikul salib yang Tuhan izinkan terjadi di dalam kehidupan kita, dengan harapan akan kebangkitan bersama Kristus. Hal ini bertentangan dengan keinginan dunia. Banyak orang cenderung menyukai ajaran teori ‘kemakmuran’ jika mengikuti Yesus, daripada harus berjuang memikul salib bersama Yesus, untuk dapat bangkit bersama Dia. Pendeknya, ingin mencapai kebangkitan tanpa salib. Namun, melalui Kitab Suci, kita dapat melihat dengan jelas, bahwa ajaran Tuhan bukanlah demikian. Yesus mengatakan, “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku” (Mat 16:24). Artinya, dengan rahmat Tuhan, kita harus berjuang untuk meninggalkan dosa dan segala keakuan kita, serta mengambil bagian dalam penderitaan Kristus untuk dapat mencapai kebahagiaan bersama-Nya (lih. Rom 6:5-11; 1 Pet 4:13). Bersama Kristus dan semua anggota Gereja-Nya, kita dipanggil untuk menjadi rekan sekerja Allah, (lih. 1 Kor 3:9) dengan mempersembahkan segala penderitaan kita untuk dipersatukan dengan kurban Kristus, agar mendatangkan keselamatan bagi orang-orang yang kita kasihi, dan untuk seluruh dunia.
Terakhir, tanda kedewasaan iman adalah jika kita mau mengikuti seluruh ajaran dan kehendak Tuhan dan tidak memilih-milih dan menyesuaikan dengan kehendak kita sendiri. Artinya, jangan sampai ajaran yang mudah kita terima, tetapi ajaran yang sukar dan membutuhkan pengorbanan, kita tolak, seperti ajaran mengampuni orang yang menyakitkan hati, mengasihi dan mendoakan orang yang membenci kita, larangan korupsi, dst. Jika kita bertindak demikian, kita belum sungguh dewasa dalam iman.
Memang, kelima tanda ini merupakan perjuangan bagi setiap kita. Kita tidak perlu berkecil hati jika belum secara sempurna mempraktekkannya. Yang terpenting adalah kita terus berjuang supaya semakin hari kita semakin dapat menjadikan kelima tanda ini bagian dari hidup kita.
Kesimpulan
Kita patut bersyukur karena Sakramen Penguatan yang kita terima, karena dengan sakramen ini kita dikuatkan oleh Roh Kudus untuk bertumbuh dewasa di dalam iman. Pengurapan Roh Kudus ini seharusnya mengobarkan kasih kita kepada Yesus Kristus, yang menjadikan kita hidup sesuai martabat kita sebagai anak-anak Allah, berani menjadi saksi-Nya, dan mengambil peran dalam tugas-tugas perutusan Gereja. Marilah kita mohon pada Tuhan untuk menjadikan kita anggota-anggota Kristus yang hidup, yang mengandalkan Tuhan dalam pergumulan kita untuk mengalahkan keinginan berbuat dosa, untuk menerima dengan iman, salib yang Tuhan ijinkan terjadi dalam kehidupan kita, dan perjuangan untuk mencapai segala sesuatu yang sesuai dengan kehendak-Nya. Semoga doa ini selalu bergema di dalam hati kita, “Datanglah Roh Kudus, penuhilah hati umat-Mu. Nyalakanlah api cinta-Mu di dalam hati kami. Utuslah Roh-Mu, ya Tuhan, dan kami semua akan diperbaharui dan Engkau akan memperbaharui seluruh muka bumi.”
[1] Lihat Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1285
[2] Ibid.
[3] Lihat KGK 1287
[4] Lihat KGK 1294
[5] Lihat KGK 1302
[6] Lihat KGK 1303, 1316
[7] Lihat KGK 1304
[8] Lihat KGK 1305
[9] Lihat KGK 1290
[10] Lihat Tertullian, On Baptism, Chap. 7,8
[11] Lihat St. Theophilus of Antioch, To Autolycus, chap. 1:12
[12] Lihat St. Cyril of Jerusalem, Catecheses, 21:3
[13] Lihat St. Jerome, The Dialogue against the Luciferians, chap. 8
[14] Lihat St. Thomas Aquinas, Summa Theologica, III, q. 72, a 1.
[15] Cf. St Thomas Aquinas, in Summa Theologiae, III, q.72, a.11. “Confirmation is the final completion of Baptism in the sense that by Baptism one is built into a spiritual dwelling, and is written like a spiritual letter; whereas by Confirmation… he is consecrated as a temple of the Holy Spirit, and as a letter already written, is signed with the sign of the cross. Therefore the conferring of this sacrament is reserved to bishops, who hold supreme power in the Church.”
[16] Cf. Cyprian, Epistles 64 as quoted in The Sudy of Liturgy, edited by Cheslyn Jones, Edward Yarnold SJ, p. 123
[17] Cf. St. Augustine, Enchiridion, ch. 42,43,45.
[18] Paus Innocentius I dalam Epistle to Decentius in March 19th 416, (25,3,6), spoke of ‘Confirmation as reserved to Bishop only.’
[19] Anscar J. Chupungco, ed., Adrient Nocent, OSB, in Handbook for Liturgical Studies, Sacraments and Sacramentals, (The Liturgical Press, Minnesota, 2000) Chap. 3, p. 60
[20] Ibid., p.62.
[21] Penundaan usia penerimaan Komuni kudus sampai pada usia tujuh tahun ditetapkan dalam Quam singulari (1910), dan karenanya urutan sakramen menjadi Pembaptisan, Ekaristi dan Penguatan.
[22] Cf. New Catholic Encyclopedia, 1967, The Catholic University of America, Imprimatur Patrick A. O’Boyle, D.D., Book 4, p. 147.
[23] Lihat Sacrosanctum Concilium, Vatican II, Konstitusi Dogmatis tentang Liturgi, 66
[24] Lihat Sacrosanctum Concilium, 71, KGK 1298
[25] Lihat KGK 1313
[26] Lihat Sacrosanctum Concilium, 61, “Dengan demikian berkat liturgi Sakramen-sakramen dan sakramentali bagi kaum beriman yang hatinya sungguh siap hampir setiap peristiwa hidup dikuduskan dengan rahmat ilahi yang mengalir dari misteri Paska Sengsara, Wafat dan Kebangkitan Kristus. Dari misteri itulah semua Sakramen dan sakramentali menerima daya kekuatannya.”
Salam damai bagi tim Katolisitas,
Situs yang sangat luar biasa! Kalau sudah baca artikel2 Katolik dalam situs ini susah berhentinya :)
Minggu ini di lingkungan saya baru saja membahas/mendalami kembali makna Sakramen Penguatan/Krisma. Dalam materi ada dikutip artikel dari Katekismus 1285-1292. Ada satu artikel, 1287 yang membuat saya agak bertanya-tanya. Ada referensi Alkitab yang tidak bisa saya temukan. Mungkin saya yg belum terlalu mengerti bagaimana cara menggunakan KGK. Semoga saja ini masalahnya.
Artikelnya saya kutip:
“1287 Tetapi kepenuhan Roh ini tidak hanya diberikan kepada Mesias, tetapi kepada seluruh umat mesianis Bdk. Yeh 36:25-27; Yi 3:1-2. Berulang kali Kristus menjanjikan curahan Roh Bdk. Luk 12:12; Yoh 3:5-8; 7:37-39; 16:7-15; Kis 1:8. dan memenuhi janji-Nya itu untuk pertama kalinya pada hari Paska Bdk. Yoh 20:22. dan lebih nyata lagi pada hari Pentekosta Bdk. Kis 2:1-4.. Dipenuhi oleh Roh Kudus, para Rasul mulai mewartakan “perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” (Kis 2:11). Petrus menjelaskan bahwa curahan Roh ini adalah tanda untuk saat mesianis Bdk. Kis 2:17-18.. Siapa yang percaya kepada khotbah para Rasul dan membiarkan diri dibaptis, menerima karunia Roh Kudus Bdk. Kis 2:38 .”
Yang membuat saya bingung adalah saya tidak dapat menemukan kitab Yi 3:1-2. Saya sudah mencoba KGK online di situs Ekaristi.Org dan Yi 3:1-2 merujuk kepada Wahyu 3:1-2. Saya agak bingung, bukankah kitab Wahyu biasa disingkat Why? Lalu saya mencoba mengakses KGK dalam bahasa Inggris di situs Vatican. Di sana saya mendapatkan kalau Yi 3:1-2 itu adalah kitab Yoel 3:1-2. Tapi kalau saya buka kitab suci milik saya, kutipan Yoel 3:1-2 itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pencurahan Roh Kudus melainkan mengenai hukuman atas musuh2 Israel.
Yang membuat saya semakin bingung, di situs Vatican, link ke referensi kitab Yoel 3:1-2 itu benar berhubungan dengan pencurahan Roh Kudus. Berikut linknya:
http://www.vatican.va/archive/ENG0839/_PTI.HTM#PROPHB.JOE.3.1
Saya menjadi sangat bingung kenapa berbeda dengan Alkitab saya. Saya mencari juga di situs http://www.drbo.org dan di situs itu Yoel 3:1-2 sama dengan di Alkitab saya. Tetapi di situs http://www.Catholic.Net di link berikut: http://www.bible.catholic.net/home.php?tipo=subversiculo&id_lib=2&idcap=76&idver=754
saya mendapatkan bacaan yang sama dengan Vatican.
Mohon pencerahan dari tim Katolisitas, kenapa bisa berbeda begitu?
Terima kasih banyak sebelumnya.
Eddy
[Dari Katolisitas: pesan digabungkan karena dari pengirim yang sama tentang topik yang sama]
Salam damai kepada Tim Katolisitas,
Mohon maaf sebelumnya kalau ternyata pertanyaan saya sebelumnya mengenai kutipan Yi 3:1-2 di KGK yang membingungkan.
Setelah saya menggali lebih jauh, akhirnya saya menemukan kalau ternyata perbedaan tersebut dikarenakan oleh perbedaan penggunaan terjemahan Kitab Suci.
Dari pencarian saya sendiri, saya menemukan sepertinya Yi 3:1-2 itu mengacu pada terjemahan berdasarkan Kitab Suci Nova Vulgata. Pada Kitab Suci yg mengacu pada terjemahan asal Latin Vulgata; Yi 3:1-2 ada pada Yi 2:28-32.
Pencarian saya tersebut sangatlah basic hanya menggunakan search function pada Alkitab elektronik yang saya miliki, dan juga mencari keyword dari ayat Yi 3:1-2 pada situs2 Alkitab online yang ada di internet.
Berdasarkan pencarian saya di internet, sepertinya Kitab Suci terjemahan dari Nova Vulgata itu yang menjadi versi resmi yang digunakan oleh Gereja Katolik Roma. Tetapi saya juga menemukan situs2 yang meragukan ke-akuratan Nova Vulgata.
Kemudian kalau melihat perbedaan ayat pada Kitab Suci umat Katolik terbitan LBI, sepertinya lebih mengacu pada Latin Vulgata/Dhouay Rheims.
Mungkin saya revisi pertanyaan saya lebih pada mohon masukan/tanggapan dari Tim Katolisitas mengenai perbedaan terjemahan Kitab Suci dan sebaiknya bagaimana. Apakah ada Kitab Suci Katolik bahasa Indonesia yang benar2 sama dengan yang resmi digunakan oleh Gereja Katolik.
Terima kasih banyak atas perhatiannya.
Salam damai,
Eddy Sutanto
Shalom E. Sutanto,
Di Katekismus Gereja Katolik yang kami miliki di sini, baik yang dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia tercantum ayat Yl 3:1-2 (Yoel 3:1-2), tentang KGK 1287 tersebut. Nampaknya Anda benar, bahwa Kitab Suci yang dipakai sebagai acuan dalam KGK dalam bahasa Inggris (CCC) itu mengacu kepada teks Nova Vulgata (NV). Tercantum dalam CCC, Yl 3:1-2 (NV) mengacu pada Yl 2:28-29 menurut Vulgata (V) yang menjadi dasar bagi edisi lainnya secara umum, seperti edisi RSV (Revised Standard Version), NAB (New American Bible), KJV (King James Version) dst, termasuk terjemahan LAI/LBI. Ayat tersebut ada dalam perikop tentang Hari Tuhan. Maka di sini memang ada sedikit perbedaan penomoran ayat. Mengapa perbedaan penomoran ayat itu (antara NV dan V) terjadi, kita tidak dapat mengetahui dengan pasti. Namun, penomoran ayat ataupun pengelompokan perikop bukanlah merupakan sesuatu yang prinsip dalam Kitab Suci, selain bahwa perbedaan itu relatif langka, juga, pengelompokan tersebut belum ada pada saat Kitab Suci ditulis. Pengelompokan perikop dan ayat sebagaimana umum kita kenal sekarang, berasal dari pengelompokan yang dilakukan oleh Archbishop Stephen Langton dan Kardinal Hugo de Sancto Caro di abad ke-13, dan pembagian ayat-ayat oleh Robert Estienne di abad ke-16. Sebelum itu, tidak ada pengelompokan perikop/ ayat dalam Kitab Suci. Tetapi sesuatu yang dapat kita ketahui adalah bahwa secara umum isi ajaran yang disampaikan dalam Kitab Suci tetap sama dan tidak berubah.
Nah sekarang tentang keberadaan Nova Vulgata. Sebelum Nova Vulgata (NV) dipromulgasikan, standard teks Kitab Suci untuk Ritus Romawi adalah Clementine Vulgata (1592). Terjemahan NV tersebut sesungguhnya merupakan kelanjutan dari apa yang dirintis oleh Paus Pius X (1907) yang menghendaki adanya revisi terjemahan Vulgata dengan memperhitungkan adanya gabungan/ perbandingan terjemahan yang terdapat dalam sejumlah manuskrip kuno yang ada, dengan menggunakan metoda ilmiah yang modern. Revisi tidak dimaksudkan untuk mengubah edisi Vulgate yang sudah ada, tetapi untuk menyesuaikan dengan perbandingan teks Ibrani dan Yunani (berdasarkan studi tekstual dan linguistik) yang menghasilkan gaya bahasa yang mendekati ke bahasa Latin klasik. Tahun 1970 terjemahan tersebut selesai, yang kemudian digunakan dalam teks liturgis, dan dicetak pertama kalinya tahun 1979.
Dengan demikian, karena Nova Vulgata tidak dimaksudkan untuk mengubah terjemahan Vulgata yang sudah ada, namun hanya merupakan penyesuaian dengan teks-teks manuskrip kuno untuk digunakan sebagai teks doa liturgis, maka tidaklah menjadi hal yang prinsip, apakah kita menggunakan Nova Vulgata, ataupun terjemahan Vulgata yang sudah ada sebelumnya. Juga, tidak ada masalah bahwa kita menggunakan teks Vulgata yang sudah ada yang merupakan dasar bagi terjemahan ke bahasa-bahasa lain, termasuk ke dalam bahasa Indonesia.
Selanjutnya tentang penjabaran mengenai penyesuaian teks Vulgata, silakan klik di sini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Mbak Ingrid,
Terima kasih banyak atas pencerahannya dan juga link referensinya.
Salam damai
Eddy Sutanto
tolong terangkan maksud dari ” bahasa saling pengertian yang sudah hilang sejak robohnya menara babel”, apa itu bahasa saling pengertian dan apa penyebabnya hingga bahasa itu hilang?
apa yang dimaksud dengan kehausan rohani dan urapan roh kudus?
” urapan dengan minyak suci dalam inisiasi kristen melambangkan Roh Kudus.khususnya dalam sakramen penguatan/krisma,yang karnanya dinamakan Khrismation dalam Gereja-gereja Timur. Tetapi untuk mengerti sepenuhnya bobot nilai dari lambang ini, orang harus kembali ke urapan pertama, yang Roh Kudus kerjakan yaitu: Urapan Yesus”
apa arti khrismotion dan bersal dari mana kata itu? dan apa maksud dri “untuk memahami sepenuhnya bobot nilai dari lambang ini,orang harus kembali ke urapan pertama? apa itu bobot nilai yang dimaksudkan?
terimakasih
Shalom Palmira,
1. Tentang menara Babel Kej 11: 1-9
Perikop itu menjelaskan bahwa pada awalnya seluruh bangsa manusia mempunyai satu bahasa, namun kemudian karena kesombongan manusia, yang ingin membangun menara yang tingginya mencapai Surga, agar manusia dapat mencapai Tuhan dan menguasai-Nya, maka Tuhan tidak berkenan dan mengacaukan bahasa mereka.
Saya tidak tahu dari manakah Anda mengutip pernyataan itu. Namun jika kita mengacu kepada penjelasan dari Haydock’s Commentary on Holy Scripture tentang perikop tersebut, dikatakan demikian:
“Babel, yaitu kebingungan. Ini adalah salah satu mukjizat yang terbesar yang dicatat dalam Perjanjian Lama. Dalam sekejap, manusia tidak mengingat lagi bahasa yang dengannya ia bicara, dan menemukan diri mereka sendiri berbicara dengan bahasa lain, yang hanya diketahui oleh sejumlah orang dari keluarga yang sama…. Jumlah jenis bahasa yang terdengar tidak dapat ditentukan. Umumnya diperkirakan bahasa-bahasa yang terbentuk darinya adalah Ibrani, Yunani, Latin, Teutonik, Sklavonik, Tartarian, dan bahasa Cina. Bahasa-bahasa lainnya adalah turunan dari bahasa ini. Bahasa Inggris adalah turunan bahasa Teutonik dengan sejumlah kata yang mengambil dasar dari bahasa Yunani dan bahasa-bahasa lainnya…”
2. Kehausan rohani dan urapan Roh Kudus
Kehausan rohani adalah suatu ungkapan alegoris, bahwa seperti halnya tubuh kita dapat haus akan air, maka jiwa kita juga dapat mengalami kehausan akan air hidup, dalam hal ini adalah haus akan Tuhan (lih. Mzm 42:2; 63:1; 143:6).
Urapan Roh Kudus, suatu keadaan di mana Roh Kudus dicurahkan. Gereja Katolik mengajarkan bahwa Roh Kudus yang tinggal di dalam hati kita untuk menuntun kita kepada kehidupan kekal, pertama kali diberikan ketika kita dibaptis. Namun sesudahnya kita tetap dapat memperoleh urapan Roh Kudus, melalui sakramen-sakramen Gereja, ataupun melalui doa-doa.
3. Urapan dengan minyak suci
Anda mengutip demikian: ”urapan dengan minyak suci dalam inisiasi kristen melambangkan Roh Kudus. khususnya dalam sakramen penguatan/krisma,yang karnanya dinamakan Khrismation dalam Gereja-gereja Timur. Tetapi untuk mengerti sepenuhnya bobot nilai dari lambang ini, orang harus kembali ke urapan pertama, yang Roh Kudus kerjakan yaitu: Urapan Yesus”
Lalu Anda bertanya:
apa arti khrismotion dan bersal dari mana kata itu? dan apa maksud dari “untuk memahami sepenuhnya bobot nilai dari lambang ini, orang harus kembali ke urapan pertama? apa itu bobot nilai yang dimaksudkan?
Saya tidak tahu dari mana Anda memperoleh kutipan ini. Namun berikut ini adalah yang dapat saya sampaikan menanggapi pertanyaan Anda:
Menurut ajaran iman Katolik sakramen inisiasi Kristen tidak saja melambangkan Roh Kudus, tetapi juga menghadirkan Roh Kudus itu sendiri dan karena kehadiran Roh Allah itu, maka dapat sungguh menguduskan dan mendatangkan efek-efek yang baik bagi jiwa orang yang menerimanya. Memang urapan minyak suci melambangkan Roh Kudus, namun sakramen Krisma itu sendiri bukan hanya lambang, tetapi sungguh merupakan sarana pengurapan Roh Kudus.
Katekismus mengajarkan:
KGK 1289 Supaya menandai karunia Roh Kudus dengan lebih baik lagi, dengan cepat ditambahkan pada peletakan tangan pengurapan dengan minyak harum mewangi [krisma]. Pengurapan ini menjelaskan nama “Kristen” yang berarti “terurapi” dan disimpulkan dari Kristus sendiri, yang “Allah urapi dengan Roh Kudus” (Kis 10:38). Ritus pengurapan itu ada sampai sekarang baik di Timur maupun di Barat. Karena itu, di Timur orang menamakan Sakramen ini Khrismasi, urapan dengan krisma, atau Myron, yang berarti “krisma”. Di Barat nama Penguatan pada satu pihak menunjuk kepada “peneguhan” Pembaptisan, yang dengannya inisiasi Kristen disempurnakan, dan di lain pihak kepada penguatan rahmat Pembaptisan – kedua-duanya adalah buah-buah Roh Kudus.
Krisma mengacu kepada kata ‘Kristen’ ataupun ‘Kristus’, yang artinya adalah ‘yang diurapi’. Maka kita yang menerima sakramen inisiasi dan menjadi Kristen (yang diurapi) memahami makna pengurapan ini dengan mengacu kepada Sumbernya, yaitu Kristus. Kristus yang adalah Allah, merendahkan diri-Nya dengan mengambil rupa manusia, dan dalam keadaan-Nya sebagai manusia, Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di salib (lih. Flp 2:5-11). Kristus ini yang dengan ketaatan-Nya menggambarkan kematian-Nya sendiri sebagai baptisan (lih. Mrk 10:38-39), menghendaki diri-Nya dibaptis untuk menyatakan diri-Nya sebagai Yang Diurapi Allah Bapa (lih. Mat 3:13-16, Mrk 1:9-11; Luk 3:21-22; Yoh 1:32-34). Dengan demikian, kita yang disebut Kristen, juga mengikuti jejak-Nya, yaitu bahwa kita harus mati terhadap dosa (lih. Rm 6:1-11), agar dapat diurapi menjadi anak-anak angkat Allah di dalam Kristus. Maka urapan yang diterima oleh Kristus di saat Pembaptisan-Nya oleh Yohanes Pembaptis, menjadi model acuan yang memberikan makna bagi Pembaptisan kita, agar kita memperoleh Roh Kudus yang menghidupkan dan memberikan kehidupan yang kekal (lih. Rm 8:11).
Selanjutnya tentang Sakramen Penguatan/ Krisma, silakan membaca artikel di atas, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Tim Katolisitas,
Mungkin karena acuh tak acuh dan kesibukan duniawi saya sehingga sampai umur sekitar 40an ini, rasanya saya belum pernah menerima Sakramen Krisma, karena saya tidak ingat betul apakah saya pernah menerimanya atau belum yang jelas saya pernah menerima olesan minyak oleh seorang romo di kening tp kalau upacara Sakramen Krisma rasanya belum pernah. saya sendiri dibaptis saat masih SMP dgn dikucuri air baptis dari seorang romo, setelah itu anjuran dan ajakan Sakramen Krisma belum saya lakukan. Namun demikian saya sudah menerima Sakramen Perkawinan dan memberikan Sakramen Baptis bagi anak-anak saya.
seperti yg dijelaskan pada artikel diatas hekekat dari Sakramen Krisma adalah bertumbuh dewasa dalam Kristus, dari bacaan2 dan sharing2 yang terdapat di website ini sebenarnya sungguh membuat iman saya bertumbuh dalam Kristus, lalu bagaimana sebaiknya yang harus saya lakukan dalam menyikapi kondisi ini? apakah diharuskan setiap umat katolik untuk menerima Sakramen Krisma? sebelumnya terima kasih untuk jawaban2nya.
Salam damai dalam Kristus,
Henry
[Dari Katolisitas: Silakan menghubungi Romo paroki Anda, sehingga Anda dapat digabungkan dengan kelas persiapan Sakramen Krisma dewasa.]
ciri2 orang dewasa dalam iman/ bgmn membedakan dewasa dalam iman dgn blm!
[Dari Katolisitas: Silakan membaca kembali artikel di atas, pada point ini, silakan klik]
Berkah Dalem, Bu Inggrid dan Pak Steven,
Saya ingin bertanya: 1) Dalam praktek penerimaan sakramen Penguatan ada dua tindakan Gereja: pengurapan minyak dan penumpangan tangan. Praktek penumpangan tangan ini kita ketahui dari kisah para rasul. Kis 8:14-17, seringkali dipakai untuk melihat praktek itu di awal sejarah Gereja. Untuk praktek pengurapan minyak, saya kesulitan menemukan prakteknya dalam kitab suci perjanjian baru kecuali kata santo Yohanes dalam 1Yoh 2:20 Tetapi kamu telah beroleh pengurapan dari Yang Kudus, dan dengan demikian kamu semua mengetahuinya. Apakah praktek pengurapan minyak Gereja adalah penerusan tradisi pengurapan minyak Yahudi untuk orang-orang spesial (imam, raja, nabi)? 2) Kapan Pengurapan minyak dan Penumpangan tangan oleh para pengganti para rasul ini sungguh-sungguh “fix” dan berlaku secara universal dalam Sejarah Gereja kita?
Matur Nuwun. Berkah Dalem.
Shalom Vincentio,
Anda benar, bahwa tradisi pengurapan bagi kita umat beriman, adalah untuk menandakan bahwa kita mengambil bagian dalam misi Kristus sebagai imam, raja dan nabi. Karena “Kristus” sendiri artinya adalah “Yang diurapi”, kitapun sebagai anggota-anggota Kristus yang mengambil bagian di dalam-Nya, juga diurapi oleh Allah. Kitab Suci telah menyebutkan tradisi penumpangan tangan oleh para rasul (lih. Kis 8:17, 19:6), demikian juga pengurapan dengan minyak, sebagai tanda kesukaan bagi Allah (Mzm 23:5). Memang, Katekismus tidak menyebutkan sejak kapan persisnya tradisi pengurapan dengan minyak ditambahkan kepada tradisi penumpangan tangan sebagai bagian dari perayaan sakramen Krisma/ Penguatan, namun disebutkan bahwa hal tersebut telah dilakukan sejak awal (‘very early‘, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: ‘dengan cepat‘).
CCC 1289 Very early, the better to signify the gift of the Holy Spirit, an anointing with perfumed oil (chrism) was added to the laying on of hands. This anointing highlights the name “Christian,” which means “anointed” and derives from that of Christ himself whom God “anointed with the Holy Spirit.” This rite of anointing has continued ever since, in both East and West. For this reason the Eastern Churches call this sacrament Chrismation, anointing with chrism, or myron which means “chrism.” In the West, the term Confirmation suggests that this sacrament both confirms and strengthens baptismal grace.
KGK 1289 Supaya menandai karunia Roh Kudus dengan lebih baik lagi, dengan cepat ditambahkan pada peletakan tangan pengurapan dengan minyak harum mewangi [krisma]. Pengurapan ini menjelaskan nama “Kristen” yang berarti “terurapi” dan disimpulkan dari Kristus sendiri, yang “Allah urapi dengan Roh Kudus” (Kis 10:38). Ritus pengurapan itu ada sampai sekarang baik di Timur maupun di Barat. Karena itu, di Timur orang menamakan Sakramen ini Khrismasi, urapan dengan krisma, atau Myron, yang berarti “krisma”. Di Barat nama Penguatan pada satu pihak menunjuk kepada “peneguhan” Pembaptisan, yang dengannya inisiasi Kristen disempurnakan, dan di lain pihak kepada penguatan rahmat Pembaptisan – kedua-duanya adalah buah-buah Roh Kudus.
St. Theophilus dari Antiokhia di sekitar tahun 170-180 menuliskan tentang bagaimana pengurapan dengan minyak menjadi bagian dari inisiasi bagi jemaat, dalam suratnya kepada Autolycus:
“Apakah kamu tidak mau diurapi oleh minyak Tuhan? Oleh sebab itu kita disebut orang-orang Kristen, sebab kita diurapi oleh minyak Tuhan” (St. Theophilus of Antioch, Letter to Autolycus, Ch. 1:12).
Pengajaran serupa diajarkan oleh Tertullian, St. Siprianus, St. Sirilus, St. Hieronimus, St. Agustinus, St. Basilius, yang semuanya adalah para Bapa Gereja dari abad-abad awal, sampai dengan abad ke-4 dan 5. Oleh karena itu, Tradisi Sakramen Penguatan ini telah diterapkan baik oleh Gereja Timur maupun Barat. Untuk membaca sekilas tentang hal ini, silakan membaca Katekismus no. 1290-1301.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Tim Katolisitas
Trim’s utk artikel ttg sakramen ini. Sedikit terjawab ganjalan pertanyaan dalam hati saya. Krn 3 mgg ini sy mengalami pergumulan batin, ” Apakah fungsi sakramen yg sdh kita terima ini dalam FAKTA kehidupan nyata kita?” Hr mgg kmrn ada seminar namun sayang krn penanya hanya di batasi 6 org, meskipun sy sdh tunjuk tangan dari awal eh tdk kepilih juga jd blm dpt jawaban yg memuaskan.
Saya sdh mendpt sakramen Krisma (Penguatan) sejak SMP, namun dlm proses perenungan hidup saya, sampai saat ini saya sadari bhw ternyata sy masih sangat lemah dalam iman. Utk berkomitmen pantang slm pra paskah ini saja, masih tidak becus. Padahal tiap minggu sy juga selalu menerima sakramen Ekaristi, yg berarti Yesus berkenan hadir dlm hidup saya.
Namun faktanya kok iman sy masih sedemikian lemah? Sering menggerutu dlm hal pekerjaan, msh emosional, puasa dan pantang bolong2. Bahkan dlm pergumulan kesulitan hidup saat ini, kadang muncul dlm hati “Mengapa Tuhan tdk menjawab do’a2ku”.
Mengapa jika mmg sakramen itu benar2 berfungsi, kok iman saya masih spt ini? Dan bagaimanakah sy harus menyikapinya? Agar sy benar2 merasakan dan mengalami bhw sakramen2 tsb benar2 membawa RAHMAT bagi saya. Shg kehidupan IMAN sy juga bertumbuh, dan akan membawa perubahan nyata dalam sikap hidup saya.
Mohon penjelasannya.Trims
JBU
Shalom Netral,
Terima kasih untuk sharingnya ini. Sakramen yang dikaruniakan Tuhan melalui Gereja-Nya adalah bentuk kasih Tuhan kepada kita, Tuhan memanggil kita menjadi orang yang beriman seutuhnya dan Ia ingin kita hidup dalam kelimpahan (lih. Yoh 10:10). Setelah dibaptis, iman yang dikaruniakan Tuhan harus dirawat dan dikembangkan, supaya bisa terus bertumbuh dan menghasilkan buah, tidak lelah / layu karena terhimpit oleh nilai-nilai duniawi yang kita hadapi setiap hari. Setelah menerima pencurahan Roh Kudus melalui pembaptisan dan dicurahi pengurapan Roh Kudus dalam Sakramen Krisma untuk meneguhkan iman, maka perjalanan pertumbuhan iman bersama Yesus justru baru dimulai dan perjuangan untuk tetap setia dalam iman, kasih dan pengharapan itu merupakan proses seumur hidup kita. Sebagaimana halnya tanaman, sekalipun bibitnya baik dan tanah tempat tumbuhnya subur, tanaman itu hanya bisa tumbuh dengan optimal kalau juga dirawat, disiram dengan teratur, disiangi dari rumput liar, dilindungi dari binatang yang merusak, dan dipupuk. Dengan dibaptis dan diurapi Roh Kudus dalam Sakramen Krisma serta disegarkan dengan Tubuh Kristus Tuhan dalam Sakramen Ekaristi, selanjutnya menjadi bagian kita untuk merespon kasih Allah dan memupuk karunia iman dalam penyertaan Roh Kudus, dengan berbagai olah rohani yang berguna bagi pertumbuhan iman kita, terutama di tengah segala urusan hidup kita dengan godaan duniawi yang terus menantang komitmen kita untuk setia mengikuti Tuhan. Tuhan selalu membutuhkan kerjasama kita dan walaupun Ia adalah Tuhan yang sangat aktif menyapa manusia melalui Yesus Kristus Tuhan kita, keaktifan dan respon kita dengan antusiasme yang memadai akan menentukan proses pendewasaan iman kita itu.
Penghayatan yang sungguh kepada misteri Ekaristi dapat dikembangkan misalnya dengan setelah mengikuti Misa, kita tanggapi kasih Allah dengan membuat komitmen kebaikan, amal kasih dan pengorbanan serta perubahan yang nyata untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, hal itu akan membuat sakramen menjadi lebih berdaya guna. Juga upaya untuk rutin membaca Kitab Suci, meluangkan waktu membaca kekayaan Gereja misalnya pengajaran iman lewat kisah hidup para Kudus, membaca hikmat pengajaran Gereja dalam Katekismus Gereja Katolik di Tahun Iman ini, bersekutu dengan teman-teman seiman untuk memperkuat pembelajaran iman dan saling menguatkan. Inilah yang disebut dengan memupuk pertumbuhan iman supaya tidak menjadi layu lalu mati. Jika Anda merasa ada kerinduan untuk mengalami karunia Tuhan lebih dalam lagi, tanggapilah kerinduan itu dengan mengikuti kegiatan yang menambah wawasan dan kekuatan iman misalnya Seminar Hidup Dalam Roh, retret, doa-doa devosi bersama kelompok, atau ikut acara kelompok kategorial di Gereja. Pada dasarnya, Roh Kudus telah ada dalam diri kita melalui rahmat pembaptisan, sebagaimana Rasul Paulus mengatakan dalam 1 Kor 3:16, “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? “. Hal itu sangat membesarkan hati kita tetapi sekaligus juga mengandung tanggungjawab agar kita senantasa membuka diri untuk selalu dipimpin oleh Roh Kudus tersebut. Jika kita selalu mendengarkan Dia dan terbuka kepada sapaanNya yang halus namun kuat, Dia akan semakin besar dalam diri kita dan akan menjadi pemandu kita yang utama untuk melawan segala bentuk kemalasan, dan kecenderungan untuk berdosa. Namun jika kita tidak pernah memberikan kesempatan kepada-Nya untuk menyapa kita, atau bahkan menegur dan membimbing kita ke arah yang lebih baik, sesungguhnya sama artinya kita tidak mengizinkan Dia berkarya dalam hidup kita. Pilihan ada di tangan kita.
Ada kutipan yang baik dari Romo Pedro Arupe, seorang tokoh Serikat Jesus, sebagai berikut :
“Nothing is more practical than finding God, that is, than falling in love in a quite absolute, final way. What you are in love with, what seizes your imagination, will affect everything. It will decide what will get you out of bed in the morning, what you will do with your evenings, how you will spend your weekends, what you read, who you know, what breaks your heart, and what amazes you with joy and gratitude. Fall in love, stay in love, and it will decide everything.”
Yang secara singkatnya adalah dalam menemukan Tuhan dan mengalami cintaNya, kita akan merasa terpanggil untuk mengalamiNya dalam segala hal, mulai dari aspek yang terkecil dalam kehidupan kita. Karena Ia mengasihi kita dalam segala-galanya dan Ia hadir bagi kita dalam segala hal dalam hidup kita, lebih dari yang bisa kita bayangkan.
Tambahan dari Ingrid Listiati :
Kehidupan sakramen yang penting setelah Ekaristi, adalah sakramen Pengakuan Dosa/Tobat. Sejujurnya, kalau kita merasa kering dalam kehidupan rohani, yang pertama-tama harus kita periksa adalah: “kapan terakhir kali saya mengaku dosa dalam sakramen Tobat?” Pengakuan dosa ini maksudnya tentu didahului oleh pemeriksaan batin yang baik, sehingga kita dapat mengakui dengan sungguh-sungguh dosa- dosa kita, yang menghalangi hubungan kasih kita dengan Tuhan dan sesama. Melalui pengakuan dosa yang tulus dan setelah menerima rahmat pengampunan Tuhan, biasanya jiwa kita akan disirami kekuatan baru untuk memulai lagi kehidupan rohani kita dengan semangat yang baru. Jangan dilupakan bahwa dosa berat itu mengambil keadaan rahmat dalam hidup kita, sehingga kalau kita mau kembali kepada keadaan rahmat Tuhan, kita harus mengakui segala dosa dan kesalahan kita, terutama jika kita melakukan dosa berat, yaitu dosa yang menyangkut hal yang berat/ serius, dengan pengetahuan yang penuh dan dengan kehendak yang penuh juga.
Maka langkah yang paling awal dan sederhana untuk memulai suatu perjalanan rohani yang lebih baik adalah langkah untuk memeriksa batin setiap hari (minimal sekali pada malam hari). Doa pemeriksaan batin pada malam hari, klik di sini. Jika kita menemukan dosa yang baru kita lakukan atau dosa yang sudah lama ada yang belum diakui, segeralah menghampiri tahta kerahiman Allah dalam Sakramen Pengakuan Dosa.
Cara memeriksa batin sebelum mengaku dosa, klik di sini. Biarlah Allah sendiri mengampuni kita dan dengan demikian terangkatlah apapun yang menghalangi kita untuk datang mendekat kepada Allah, dan mengalami kasih-Nya lagi secara baru.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan
Ingrid Listiati dan Triastuti – katolisitas.org
Berkah Dalem,
Puji Tuhan saya dipertemukan dengan website ini yang menguatkan iman saya yang mulai luntur.
Saya mau tanya bisakah seseorang menerima sakramen krisma lebih dari sekali?
Tuhan Memberkati
[dari katolisitas: Sakramen Baptis, Sakramen Krisma dan Sakramen Imamat hanya dapat diberikan satu kali saja, karena memberikan tanda di jiwa.]
Shalom Tim Katolisitas,
Terima kasih atas artikel mengenai Sakramen Krisma ini, namun ada hal yg masih ingin saya tanyakan.
Saya dibaptis sewaktu masih berumur 3 hari. Dalam Surat Baptis saya ada tertulis: “Telah menerima Sakramen Krisma” dengan tanggal yg sama sewaktu saya dibaptis. Yang ingin saya tanyakan, apakah memang benar bahwa saya telah menerima Sakramen Krisma, mengingat waktu itu saya masih bayi, sedangkan sepengetahuan saya Sakramen Krisma diterimakan ketika seseorang telah dewasa.
Orang tua saya sendiri pernah menanyakan hal ini kpd seorang romo, dan kata beliau memang dahulu pernah ada penggabungan Sakramen Baptis dan Sakramen Krisma untuk bayi. Tetapi terus terang saja saya masih belum yakin kalau saya telah menerima Sakramen Krisma.
Lagipula baru-baru ini saya membaca suatu artikel yang mengatakan bahwa Minyak Krisma yang kita terima waktu bayi tidaklah sama dengan Sakramen Krisma. Apakah jangan-jangan yg saya terima waktu bayi itu adalah Minyak Krisma dan bkn Sakramen Krisma?
Mohon pencerahannya dan terima kasih atas tanggapannya.
Salam kasih dalam Kristus,
Maria
Salam Maria,
Sesuai yang tertulis pada buku baptis dan turunannya pada surat baptis, maka yang Anda terima ialah Sakramen Krisma, bukan hanya minyak krisma. Pencatatan itu penting dan wajib hukumnya (Kan 895). Karena dicatat, Anda bisa bertanya ke sekretariat paroki tempat Anda dibaptis, siapa nama pelayan penguatan, wali penguatan, tanggal dan tempatnya. Itu semua wajib dicatat seturut norma kanon 895. Di masa kini, kasus yang sama juga terjadi pada baptisan orang tua atau baptisan darurat misalnya dalam bahaya maut atau alasan berat yang menganjurkan lain (KHK Kanon 891).
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Salam Kasih buat Team Katolisitas,
Terima kasih buat informasi yang banyak membantu saya dalam mendalami iman Katolik yang indah. Di sini saya punya beberapa pertanyaan menyangkut hal hal sakramen.
i. Apakah seorang Katolik itu boleh tidak menerima Sakramen Penguatan ( Confirmation ) kerana ada di kalangan rakan rakan saya yang lahir dan dibesarkan serta di baptis sebagai Katolik mengatakan bahawa cukuplah sekadar dibaptis kerana sudah boleh menerima komuni kudus. Bagaimanakah duduk perkara ini? Apakah ini termasuk dalam kategori berdosa atau bagaimana? Apakah gereja Katolik mewajibkan umatnya untuk menerima Sakramen Penguatan atau itu tergantung kepada keputusan umat itu sendiri samada mau menerima atau tidak Sakramen Penguatan?
ii. Apakah bezanya Sakramen Pengurapan Orang Sakit ( Unction) dengan Viaticum. Mohon penjelasan tim Katolisitas dalam hal ini.
iii. Apakah seorang lelaki Katolik yang sudah berkahwin secara resmi di Gereja Katolik kemudiannya berkahwin dengan perempuan lain secara perkawinan civil ( dalam erti kata lain, mengamalkan poligami ) termasuk dalam kategori excommunication oleh gereja Katolik? Bagaimanakah seseorang itu tahu bahawa dia telah di ekskomunikasi oleh gereja? Apakah dia akan diberikan certificate untuk menyatakan bahawa dia telah di ekskomunikasi atau bagaimana? Dan apakah seseorang yang telah di ekskomunikasi boleh dikebumikan secara Katolik ? Apakah perkara yang tidak di berikan kepada seseorang yang kena ekskomunikasi?
iii. Bagaimana jika ada pasangan lelaki dan perempuan Katolik memilih untuk bernikah di gereja Anglican dengan alasan mereka tidak mahu mengikuti kursus Pra Perkahwinan yang diwajibkan oleh gereja Katolik di tempat saya. Apakah tindakan mereka bernikah itu membuatkan mereka terkeluar dari Katolik atau bagaimana? Bagaimana pula dengan anak anak yang lahir dari pernikahan itu? Apakah bisa di baptis selaku layaknya anak Katolik. Mohon penjelasan dari tim Katolisitas
Terima kasih buat tanggapannya, semoga website ini akan lebih menjelaskan dan membuatkan umat Katolik semakin mengasihi dan menghidupi iman Katolik yang indah lagi mulia ini.
Sekian, dalam kasih Tuhan
Linda Miriam
Linda yth
Pertanyaan pertama, setiap orang katolik wajib menerima sakramen penguatan karena itu adalah bagian pokok dalam sakramen inisiasi menjadi pengikut Kristus yang utuh dan dewasa dalam iman. Sakramen inisiasi terdiri dari sakramen baptis, krisma (penguatan) dan ekaristi. Bahkan sebelum orang menerima sakramen perkawinan atau imamat wajib hukumnya menerima sakramen penguatan sebagai tanda kedewasaan iman menuju tahap hidup perkawinan atau imamat. Kedua bedanya viatcum dan pengurapan orang sakit: viaticum itu hanya pelayanan penerimaan sakramen mahakudus kepada orang sakit tanpa pengurapan minyak orang sakit, sedangkan pengurapan orang sakit lengkap: ibadat tobat, pengurapan orang sakit dengan minyak (OI), viaticum komunio kudus. Ketiga setiap orang katolik wajib hukumnya menikah secara katolik dengan aturannya, jika menikah tidak secara katolik maka perkawinan tidak sah kanonik. KPP itu wajib dan penting (berdasarkan Familiaris Consortio) saya yakin bukan hanya tuntutan Gereja tetapi juga persiapan itu memberikan dasar untuk bangunan keluarga yang akan dibangun. Anak anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah kanonik tetap diakui secara sipil sebagai anak dari perkawinan natural (sah sipil).
salam
Rm Wanta
Ytk pengasuh Katolisitas,
Saya saat ini sedang mengikuti persiapan untuk menerima sakramen Krisma, yang saya mau tanyakan;
Apakah sakramen Krisma sama dengan pencurahan Roh Kudus dalam persekutuan karismatik, atau dalam retret?
Kalau menurut yang saya pelajari sih sebetulnya tidak sama ya !?
Bisakah pengasuh menjelaskan perbedaan mendasar antara sakramen Krisma dengan pencurahan Roh?
Tony Yth
Sakramen Krisma adalah bagian dari sakramen inisiasi umat beriman, sakramen pendewasaan iman dengan pencurahan Roh Kudus bagi anak yang menerimanya. Sedangkan acara Pencurahan Roh Kudus saat akhir SHB Seminar Hidup Baru dalam Roh adalah bukan sakramen. Pencurahan Roh Kudus dalam SHB adalah bagian dari doa memohon agar Roh Kudus membaharui hidup manusia lama, untuk hidup dalam manusia baru agar Roh Kudus berkarya dan tidak terbelenggu dalam diri manusia. Bagaikan membukakan kran air itu harus lancar dan bebas lepas. Roh Kudus jangan dipenjara dalam diri manusia, maka didoakan dengan istilah Pencurahan Roh Kudus, Selanjutnya, dapat keluar bahasa roh bahkan ada yang terkapar/ resting (istilah kharismatik). Jadi sakramen Krisma berbeda dengan Pencurahan Roh itu perbedaan mendasar.
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Tony,
Seperti telah dikatakan Romo Wanta, Krisma/ Penguatan adalah Sakramen, sedangkan pencurahan Roh Kudus pada SHB bukan sakramen. Sakramen Krisma itu maksudnya pengurapan Roh Kudus yang tidak terhapuskan, dan meninggalkan tanda meterai di jiwa kita, bahwa kita ini sungguh- sungguh milik Kristus dan telah diteguhkan sungguh- sungguh menjadi anggota Tubuh-Nya. Hal ini disebutkan dalam Katekismus- KGK 698, 1121. Tiga sakramen yang meninggalkan meterai di jiwa yang tak dapat hilang adalah Pembaptisan, Penguatan/ Krisma dan Imamat.
Sedangkan pencurahan Roh Kudus pada SHB itu maksudnya adalah pencurahan Roh Kudus, yang maksudnya untuk mendayagunakan rahmat Allah yang sudah kita terima dalam sakramen Pembaptisan, Penguatan (dan Imamat- jika yang menerima pencurahan Roh Kudus dalam SHB adalah imam), dengan mendorong jiwa rohani kita untuk bekerjasama dengan rahmat itu. Inilah yang disebut oleh Romo Wanta sebagai “membuka kran” itu. Karena walaupun Roh Kudus sudah dicurahkan pada kita di dalam sakramen- sakramen itu, namun adakalanya karena kelemahan kita, Roh Kudus itu belum sepenuhnya leluasa berkarya melalui kita.
Maka pencurahan Roh Kudus dalam SHB merupakan salah satu sarana Tuhan untuk membangkitkan Roh Kasih itu kembali dalam diri kita. Karena biar bagaimanapun, kasih itu sifatnya dua arah, maka pencurahan Roh Kudus adalah salah satu cara di mana Allah dapat memakainya untuk menyalakan api kasih-Nya kepada kita, agar kitapun dapat membalas kasih-Nya itu dengan hati yang menyala- nyala. Dalam kondisi seperti inilah, dapat diberikan karunia yang disebut sebagai karunia berdoa di dalam bahasa roh. Ini adalah suatu pengalaman rohani yang indah, yang memang lebih dapat dialami dan dirasakan daripada diceritakan/ diungkapkan dengan kata- kata. Maka karunia berdoa dalam bahasa roh itu memang bukan segala- galanya, karena yang karunia berdoa dalam bahasa roh itu hanya merupakan awal, suatu “undangan” (menurut Paus Benediktus XVI) untuk menjadi lebih sensitif terhadap kehadiran Roh Kudus di dalam diri kita, untuk menjadikan kita pribadi yang lebih mengasihi Tuhan dan sesama.
Paus Benediktus XVI mengajarkan dalam general audience tanggal 16 November 2006, demikian,
Spirit, namely, the Spirit of the Father and of the Son, becomes the soul of our soul, the most secret part of our being, from which rises incessantly to God a movement of prayer, of which we cannot even specify the terms. The Spirit, in fact, ever awake in us, makes up for our deficiencies and offers the Father our adoration, along with our most profound aspirations. Obviously this calls for a level of great vital communion with the Spirit. It is an invitation to be ever more sensitive, more attentive to this presence of the Spirit in us, to transform it into prayer, to experience this presence and to learn in this way to pray, to speak with the Father as children in the Holy Spirit.
There is, moreover, another typical aspect of the Spirit that St. Paul has taught us: his relationship with love. The Apostle writes thus: “Hope does not disappoint, because the love of God has been poured out into our hearts through the holy Spirit that has been given to us” (Romans 5:5). In my encyclical letter, “Deus Caritas Est,” I quoted a highly eloquent phrase of St. Augustine: “If you see charity, you see the Trinity” (No. 19), and then I explained: “The Spirit […] is that interior power which harmonizes their [believers’] hearts with Christ’s heart and moves them to love their brethren as Christ loved them” (ibid.).
The Spirit places us in the very rhythm of divine life, which is a life of love, making us participate personally in the relations that exist between the Father and the Son. It is highly significant that Paul, when he enumerates the different elements of the fruits of the Spirit, mentions love first: ” the fruit of the Spirit is love, joy, peace,” etc. (Galatians 5:22). And, given that by definition love unifies, the Spirit is above all creator of communion within the Christian community, as we say at the beginning of the Mass with an expression of St. Paul “… the communion of the Holy Spirit [namely, that by which he acts] be with you all” (2 Corinthians 13:13).
Saya menyadari penjelasan tentang pengurapan Roh Kudus ini memang masih luas. Kami merencanakan untuk menayangkannya dalam artikel terpisah, hanya sampai sekarang memang belum sempat terlaksana, karena banyaknya pertanyaan yang masuk dan terbatasnya waktu dan energi kami. Mohon pengertiannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Yth Katolisitas,
Saya ingin tanya untuk Sakramen Krisma, mengapa ada yang baptis dewasa setelah dibaptis langsung menerima minyak (Krisma?) yang diberikan langsung oleh Pastor, namun ada juga yang menerima Krisma terpisah waktunya dengan Sakramen Baptis, kalau tak salah syarat menerima Krisma, sudah duduk kelas 2 SMP. Dan Sakramen diberikan oleh Bapak Uskup. Sebetulnya prosedurnya bagaimana menerima Krisma itu? Saya cari di index Katolisitas belum ketemu tentang Sakramen Krisma ini.
Saya sendiri menerima Krisma waktu kelas 2 SMP diberikan oleh Bpk Uskup .
Terima kasih.
Chris.
Shalom Chris,
Pertama-tama, silakan Chris membaca artikel di atas, yang berjudul Menuju Kedewasaan Iman dalam Kristus, yang menceritakan tentang Sakramen Penguatan, silakan klik
Seharusnya, sakramen Pembaptisan, Penguatan dan Ekaristi merupakan satu kesatuan sebagai Sakramen Inisiasi Kristen. Maka hal ini pulalah yang ditekankan kembali melalui Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik. Keadaan bahwa sakramen Pembaptisan dan Penguatan dilakukan terpisah, yaitu misalnya mereka yang menerima Pembaptisan sejak bayi/ anak-anak, dan Penguatan sekitar umur 15 tahun itu, tak terlepas dari pengaruh pemberian kedua sakramen ini dalam sejarah Gereja. Silakan membaca artikel tersebut untuk mendapatkan gambaran secara umum. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa dalam kasus orang dewasa, sebaiknya memang digabungkan, karena orang yang dewasa yang lahir baru dalam Kristus, sesungguhnya dapat pula dipersiapkan rohaninya sehingga dapat pula menerima kepenuhan Roh Kudus sehingga dapat menjadi anggota Kristus dan Gereja-Nya secara penuh.
Memang menurut pengertian yang sebenarnya, hanya Uskuplah yang berhak memberikan Krisma/ pengurapan Roh Kudus, karena Bapa Uskup-lah yang merupakan penerus para rasul, sehingga krisma yang diberikannya kepada umat adalah untuk mengikat umat dengan lebih erat kepada Gereja dan asal-usul apostolik Gereja. Namun demikian, jika diperlukan oleh karena kebutuhan yang mendesak, Bapa Uskup dapat memberikan kuasa kepada imam tertentu untuk memberikan Krisma ini. Hal ini diajarkan dalam Katekismus:
KGK 1312 Pemberi Penguatan yang sebenarnya adalah Uskup Bdk. LG 26..Di Timur, biasanya imam yang membaptis langsung memberikan Penguatan, dalam upacara yang satu dan sama. Tetapi ia melaksanakan ini dengan krisma kudus yang diberkati oleh Batrik atau Uskup, yang menandaskan kesatuan Gereja, yang ikatannya diperkuat oleh Sakramen Penguatan. Gereja Latin juga mengikuti susunan ini dalam Pembaptisan orang dewasa atau juga, kalau seorang yang dibaptis dalam persekutuan Kristen lain, dan belum menerima Sakramen Penguatan secara sah, diterima secara penuh dalam persekutuan dengan Gereja Bdk. CIC, can. 883,
KGK 1313 Dalam ritus Latin Uskuplah pemberi Penguatan yang biasa Bdk. CIC, can. 882.. Walaupun Uskup karena alasan-alasan berat, dapat memberi wewenang kepada para imam supaya menerimakan Penguatan, namun sesuai dengan arti Sakramen, kalau ia sendirilah yang memberikannya. Sebab justru dengan alasan ini maka upacara Penguatan dipisahkan dari upacara Pembaptisan. Para Uskup adalah pengganti para Rasul dan dalam status itu mereka telah menerima Sakramen Tahbisan secara penuh. Kalau mereka sendiri memberikan Penguatan Bdk. CIC, can. 884, ? 2., maka dinyatakan dengan tepat bahwa ia mengikat penerimanya lebih erat dengan Gereja, dengan asal-usul apostoliknya dan dengan perutusannya sebagai saksi Kristus.
Selanjutnya, syarat untuk menerima sakramen Penguatan tidaklah sukar, sebab pada dasarnya siapa saja yang sudah dibaptis dan belum menerima Penguatan, dapat menerima sakramen Penguatan tersebut. Biasanya, prosedurnya harus mendaftar terlebih dahulu di paroki untuk mengikuti semacam program persiapan Krisma/ Penguatan. Gereja juga mensyaratkan adanya wali/ pembimbing yang dapat mendampingi setiap para calon penerima Krisma tersebut, yang nantinya dapat juga berperan sebagai wali. Selanjutnya, sebelum menerima sakramen Krisma, seseorang harus mengaku dosa dalam Sakramen Tobat.
Berikut ini adalah beberapa penekanan dari Katekismus mengenai persiapan Krisma:
KGK 1309 Persiapan untuk Penguatan harus diarahkan sekian supaya menghantar warga Kristen ke suatu kesatuan yang lebih erat dengan Kristus, ke suatu kemesraan yang lebih hidup dengan Roh Kudus, dengan perbuatan-Nya, dengan anugerah Nya, dan dengan dorongan-Nya, supaya ia dapat menanggung lebih baik kewajiban hidup Kristen yang sifatnya apostolik. Karena itu, katekese Penguatan harus berusaha membangkitkan pengertian tentang keanggotaan dalam Gereja Yesus Kristus – baik Gereja universal maupun Gereja lokal. Yang terakhir ini bertanggung jawab khusus dalam persiapan untuk Penguatan.
KGK 1310 Untuk menerima Penguatan, orang harus berada dalam suasana rahmat. Karena itu, dihimbau supaya menerima Sakramen tobat, sehingga dibersihkan sebelum menerima anugerah Roh Kudus. Di samping itu doa yang intensif juga harus mempersiapkan orang untuk menerima kekuatan dan rahmat Roh Kudus dengan Kerelaan batin Bdk. Kis 1:14.. 2670
KGK 1311 Sangat dianjurkan bahwa yang menerima Penguatan, sama seperti waktu Pembaptisan, menerima bantuan rohani dari seorang wali. Untuk menjelaskan kesatuan dari kedua Sakramen ini, maka dianjurkan agar wali Pembaptisan sekaligus juga menjadi wali Penguatan Bdk. Ocf praenotanda 15; 16; CIC, can. 893.1.2..
Demikian Chris, semoga menjadi lebih jelas, ya. Waktu itu anda tidak dapat menemukan artikel Krisma, mungkin karena saya lupa menyertakan ‘tag’ Krisma pada artikel tersebut. Sekarang sudah saya tambahkan, jadi seharusnya jika anda ketik Krisma, dapat masuk ke dalam artikel tersebut. Terima kasih masukannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati, http://www.katolisitas.org
Dear Pengasuh,
Terimakasih sekali atas artikel ini,dan juga jawaban atas pertanyaan saya tentang halangan menerima komuni. Artikel dan jawaban itu semua juga sudah saya gunakan sebagai referensi saat saya memberi pembekalan kepada para katekis volunteer yang sedang mengikuti kursus singkat pada hari minggu 26 April 2009.
Selanjutnya mohon penjelasan lebih lanjut tentang teks Yohanes 16 : 7 yang isinya : “Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jika
Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu”. Kalau saya memahami; Penghibur itu adalah Roh Kudus yang akan berkarya setelah Yesus Naik Ke surga. Dan kehadiran Yesus saat ini dirasakan dalam diri Roh Kudus itu. Apakah teks Yoh 16 : 7 ini bersama dengan teks Yoh 1 : 1 – 11 juga bisa dikaitkan dengan “Misteri Tri Tunggal Maha Kudus “. Benarkah pemahaman saya ini ? mohon penjelasan lebih lanjut Trimakasih atas penjelasannya.
Shalom Wahyu,
Terima kasih atas pertanyaannya. Kami sangat senang kalau ada artikel dan jawaban di katolisitas.org dapat berguna dan dipergunakan untuk membantu perkembangan iman Katolik. Mari sekarang kita melihat pertanyaan tentang Yoh 16:7 "Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu." 1) Penghibur yang akan diutus adalah Roh Kudus, seperti yang dijanjikan oleh Yesus dalam beberapa kesempatan:
2) Dan ayat-ayat tersebut, termasuk Yoh 16:7 menyatakan misteri dari Tritunggal Maha Kudus, yang dinyatakan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK, 244) " Asal Roh yang abadi menyata dalam perutusan-Nya di dalam waktu. Roh Kudus diutus kepada para Rasul dan Gereja oleh Bapa atas nama Putera dan oleh Putera sendiri, setelah Ia kembali kepada Bapa-Nya Perutusan Pribadi Roh sesudah pemuliaan Yesus menyatakan misteri Tritunggal Maha Kudus dalam kepenuhannya."
Lebih lanjut, Gereja Katolik dalam syahadat Nisea-Konstantinopel butir ke-8 menyatakan "Aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan; Ia berasal dari Bapa dan Putera; yang serta Bapa dan Putera, disembah dan dimuliakan; Ia bersabda dengan perantaraan para nabi." Untuk penjelasan tentang Tritunggal Maha Kudus dapat dibaca di artikel "Trinitas, Satu Tuhan dalam Tiga Pribadi" (silakan klik).
3) Mungkin pertanyaan lebih lanjut tentang hal ini adalah "mengapa Roh Kudus hanya datang pada saat Yesus dimuliakan?"
Kita tahu dari Wahyu Allah, bahwa hal ini telah dinyatakan, seperti yang dinyatakan dalam ayat-ayat di atas. Namun kita juga dapat melihat hal ini dari "argument of fittingness".
Pertama, kita perlu mengerti akan definisi dari Trinitas sendiri, yang merupakan satu Allah dalam tiga pribadi, dimana masing-masing pribadi hanyalah berbeda dalam hubungan asalnya "relation of origin". KGK 254 menyatakan "Masing-masing berbeda satu dengan yang lain oleh hubungan asalnya: Adalah "Bapa yang melahirkan, dan Putera yang dilahirkan dan Roh Kudus yang dihembuskan". Oleh karena itu adalah "fitting" kalau Yesus, pribadi ke-2 dari Trinitas dimuliakan terlebih dahulu, dan bersama-sama dengan Allah Bapa memberikan Roh Kudus (Yoh 14:26; 15:26; 16:14).
Kalau Roh Kudus memanifesikan diri-Nya sebelum Kristus dimuliakan, maka seolah-olah Roh Kudus hanya berasal dari Bapa. Kalau Roh Kudus hanya berasal dari Bapa, maka Roh Kudus tidak berbeda dengan Allah Putera. Oleh karena itu menjadi "fitting" bahwa Roh Kudus turun kepada para rasul pada hari Pentakosta, yaitu setelah Yesus dipermuliakan, sehingga Roh Kudus ini dapat dikatakan berasal dari Allah Bapa dan Allah Putera. Semoga keterangan singkat di atas dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan.
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom Pak Antonius,
Puji Tuhan! Terima kasih juga sudah mengambil bahan dari Web-site ini untuk tugas pelayanan Bapak. Semoga siswa-siswi yang Bapak bina dapat semakin mengasihi Yesus dengan mengenal dan mendalami iman Katolik.
Silahkan memakai artikel yang lain dari web-site ini, asal menyertakan juga keterangan sumber: http://www.katolisitas.org
Hal ini disebabkan karena:
1.Supaya bagi yang berminat mengetahui lebih lanjut tentang artikel tersebut dan kaitannya dengan artikel yang lain, dapat membaca di dalam web-site ini.
2.Supaya jika ada kekurangan/ masukan yang perlu disampaikan kepada kami, hal itu dapat dikomunikasikan kepada kami.
Selamat melayani Tuhan, semoga Roh Kudus menyertai Bapak dan memberikan buah-buah yang limpah pada pelayanan Bapak.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
dear pengasuh,
terima kasih boleh mengutip artikel yang bagus ini untuk bahan referensi pembekalan penerimaan sakr. krisma bagi siswa-i dari sebuah smp.
PIC (pax in christo)
antonius purbiatmadi
Meta_Anima -Discovering The Higher Self
yth katolisitas.
saya mahasiswa STP Sto. Agustinus pontianak, kebetulan saya sekarang semester 7, dan kami di tuntut sudah mengajukan judul skripsi, walau mkin sedikit menyimpang, tapi saya ingin tahu lebih jauh mengenai sakramen tobat, dalam pandangan tologis dan sosiologis. kebetulan saya sangat tertarik dengan sakramen tobat.
Shalom Sugeng,
Sebenarnya di website ini sudah pernah ditulis 4 artikel seri tentang Sakramen Pengakuan Dosa, yaitu: Masih Perlukah Sakramen Pengakuan Dosa, bagian 1, bagian 2, bagian 3 dan bagian 4. Silakan anda membacanya terlebih dahulu. Dan jika masih ada pertanyaan silakan bertanya di bawah artikel-artikel tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Comments are closed.