Pertanyaan:
Dear Pak Stef .
Terima kasih atas uraian anda , saya jadi agak memahami posisi anda , syukurlah kalau ada pribadi 2 katolik seperti anda dan teman 2 di katolisitas .
Kali ini saya hendak sedikit menceriterakan apa yang ada dalam pikiran saya akhir 2 ini dan kerisauan saya yang berhubungan dengan spiritualitas katolik dan situasi umat . Saya mohon tanggapan dan nasehat anda .
Kita yang di Jakarta sedang mengikuti pendalaman iman APP dng tema Mari Berbagi ( menuju pencapaian diri sejati ). Saya membaca buku yang ditulis oleh beberapa Pastor & praktisi tsb . Dari temanya terasa ada masalah spiritualitas umat . Saya mensyukuri ini , karena saya pikir Keuskupan merasakan adanya situasi yang merisaukan pada dunia dan umat .
Namun , seperti pada masa masa APP terdahulu , saya merasakan Tema ini sangatlah berat bagi umat ( umat disekitar saya , umumnya termasuk yang sudah berkecukupan , mungkin sekali adalah umat yang terutama hendak disapa ).
Umumnya APP mengutamakan Pertobatan ( kemudian aksi nyata ) , nah pertobatan yang mestinya membutuhkan kesadaran itulah yang sulit sekali .
Saya merasakan umat umumnya lebih tertarik dengan ibadat ekaristi , doa rosario .
Menguraikan hal 2 kritis seperti pada buku terasa sangat sulit , apalagi kesadaran itu mestinya datang dari dalam diri pribadi , dari perenungan , apalagi kalau masalah itu juga ikut membelenggu kita .
Saya merasakan bahwa begitu banyak kritikan yang ditulis pada buku tsb pada umat dan pada gereja sebagai sesuatu yang benar , namun saya yakin , pendalaman itu tidak akan menghasilkan sesuatu kesadaran pada sebagian besar umat . Refleksi zaman ini dengan zaman nabi Amos , rasanya sangat tepat dan sangat memprihatinkan , tetapi terlalu berat bagi umat awam .
Saya jadi menyetujui apa yang dikatakan rekan saya seorang Budhis bahwa Gereja tidak memberikan suatu cara , jalan kepada umat untuk memahami dan memberi solusi masalah spiritualitas mereka ( ada begitu banyak kekuatiran , kekecewaan , kesedihan , pengutamaan sukses duniawi dsb , padahal ini kan terjadi pada umat yang sudah berkecukupan ). Rupanya dia melihat pada situasi dunia sekarang .
Kesadaran saya rasa akan jadi sesuatu yang amat sangat sulit , apalagi mencapai diri sejati .
Apakah ini hanya diperutukkan khusus para Rohaniwan ??,
Dari sana saya merasakan kalau perasaan negatif tsb itulah yang membawa umat untuk lebih mengutamakan dan menyukai Doa Rosario , ekaristi , acara 2 liturgis , ritual , apakah ini untuk penghiburan ??. Kita jadi lebih menonjolkan ungkapan Iman kita . .
Terima kasih – Paulus
Jawaban:
Shalom Paulus,
Terima kasih atas masukan yang anda berikan tentang tema APP tahun 2011. Anda mengungkapkan bahwa tema APP tahun 2011 mengungkapan adanya permasalahan spiritualitas umat yang perlu diperbaiki, yang memerlukan pertobatan, dan ini dipandang sebagai sesuatu yang sulit. Dengan demikian tema APP 2011 terasa sulit untuk diterapkan.
Kalau kita melihat tema dari APP 2011 yang terbagi dalam empat tema, dan ini adalah topik-topik yang bagus, yaitu: 1) Aku diberi, maka aku memberi, 2) berbagi dalam kekurangan, 3) Ekaristi, sumber berbagi, 4) Komunitas Kristiani, komunitas yang berbagi. Menurut saya, ini adalah topik-topik yang sebenarnya sungguh sangat aktual karena memang terjadi di dalam komunitas dan masyarakat di sekitar kita dan kalau kita renungkan, sebenarnya ini juga dapat memberikan kedalaman spiritualitas, bahkan harus didasari spiritualitas Katolik.
Topik pertama memberikan kesadaran kepada kita bahwa apapun yang ada di dalam diri kita (waktu, bakat, harta, dll.) adalah merupakan anugerah atau pemberian Tuhan. Kita hanyalah dipercaya sebagai penjaga dan harus mempergunakan semuanya itu untuk membantu sesama atas dasar kasih kita kepada Tuhan. Dan berbagi bukan hanya masalah dunia di luar sana, namun kita dapat berbagi di dalam keluarga, komunitas di Gereja, maupun pada masyarakat di sekitar kita. Ini bukanlah masalah-masalah yang abstrak dan dapat langsung diterapkan saat ini juga. Yang perlu diperhatikan adalah dasar dari kita berbagi bukanlah hanya karena kasihan kepada sesama, namun karena kita mengasihi Tuhan yang kemudian diwujudkan dalam kasih kepada sesama. Ini adalah spiritualitas kita, bahkan ini adalah dasar spiritualitas kita, yaitu kekudusan. Pertemuan ke dua membahas berbagi dalam kekurangan. Kita berbagi bukan kalau kita kelebihan. Ingat berbagi bukan saja uang, namun juga dapat berbagi bakat, sukacita, iman, waktu, dll. Dengan demikian, kita dapat berbagi dalam segala kesempatan. Ini adalah merupakan penerapan spiritualitas Katolik. Mau berbagi adalah suatu konsekuensi logis dari hubungan yang baik dengan Tuhan. Ini berarti juga berbagi kedamaian dan sukacita kepada orang-orang yang kaya namun mengalami kesepian dan merasa tidak dicintai. Pertemuan ke-tiga mengungkapkan bahwa Ekaristi menjadi sumber kekuatan bagi umat Allah untuk berbagi atau mengasihi. Ini adalah merupakan sumber dan puncak kehidupan Kristiani. Tanpa Ekaristi, maka akan sangat sulit bagi kita untuk berbagi dalam pengertian berbagi yang bersifat adi kodrati, yaitu berdasarkan kasih kepada Allah. Kalau semua umat Allah melakukan hal ini, maka di pertemuan ke-empat ditegaskan tentang komunitas Kristiani adalah komunitas yang berbagi.
Berbagi adalah perwujudan dari kasih. Kalau kasih didefinisikan sebagai menginginkan yang baik untuk orang yang dikasihi, maka berbagi adalah merupakan wujud kasih, karena kita menginginkan yang terbaik bagi orang-orang yang kita kasihi. Kita hanya dapat mengasihi sesama dengan tulus, kalau kita mengasihi Tuhan dengan sungguh-sungguh dan menjadikan hal ini sebagai dasar untuk berbagi. Dengan demikian, kalau kita mau merenungkan tema APP 2011 secara lebih mendalam, maka tema ini akan mengantar kita kepada inti dari seluruh hukum, yaitu mengasihi Allah dan mengasihi sesama.
Ada begitu banyak orang mengalami kekuatiran, kekecewaan, kesedihan, yang disebabkan karena cara pandang seseorang, yang tidak menyadari bahwa ada begitu banyak hal yang perlu disyukuri. Semakin orang berfokus pada diri sendiri dan tidak mau berbagi, maka orang tersebut akan semakin merasa kesepian, karena tidak berbagi bertentangan dengan kodrat manusia. Manusia diciptakan Tuhan atas dasar kasih dan untuk kasih dan menuju kepada kasih. Tanpa kasih, maka hidup manusia menjadi hamba. Dan ini adalah spiritualitas Katolik, yang juga menjadi fokus APP 2011 ini.
Demikian apa yang dapat saya sampaikan. Dan semoga kita dapat melihat dan membahas tema APP ini juga dengan dasar spiritualitas Katolik. Tanpa adanya motif mengasihi Allah untuk berbagi, maka tema APP hanya akan menjadi suatu topik kegiatan sosial yang tidak mempunyai dasar yang kokoh. Mari kita berbagi kepada sesama atas dasar kasih kepada Allah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam sejahtera Pak Stef.
Tidak terasa kita sudah memasuki masa Pra Paskah lagi di tahun 2014 ini.
APP di KAS (Keuskupan Agung Semarang) saat ini adalah : Berikanlah Hatimu untuk Mencintai. Ulurkanlah Tangangmu untuk melayani.
Di Lingkungan kami, sudah beberapa kali saya diminta menjadi pemandu. Terus terang saat saya kehabisan “ide” untuk mengisi acara APP kali ini.
Bisakah Pak Stef membantu saya ? ATau juga teman pemandu yang lain yg ada di lingkungan kami?
Terima kasih sebelumnya.
Berkah dalem.
[Dari Katolisitas: Ada cukup banyak dalam Kitab Suci, ayat-ayat tentang mengasihi dan melayani sesama. Silakan Anda pilih salah satu/ beberapa. Mohon maaf karena banyaknya pertanyaan dan kegiatan lain sehubungan dengan karya kerasulan ini, maka kami tidak dapat membantu Anda. Silakan mencari di situs ini atau juga di situs Katolik lainnya dengan kata kunci “mengasihi” ataupun “melayani”, dan silakan mengambil dari materi yang sudah ada, jika ANda pandang membantu. Atau mungkin pembaca yang lain dapat membantu?]
Diskusi antara Pak Paulus dan Pak Lukas sangat menarik dan mengusik.
Kecuali yang sudah dikatakan di sana tentang semangat berbagi, kita perlu menyadari juga bahwa hidup ini adalah rahmat. Artinya, pemberian Tuhan. Rahmat itu dianugerahkan untuk dibagikan. Semakin dibagikan, dia akan menghasilkan buah berlimpah. Jika disimpan sendiri akan menjadi seperti air di selokan yang tidak mengalir: menyimpan banyak kotoran, pelbagai macam penyakit, dan berbau. Bukan rahmatnya, tetapi sikap egois (tidak mau berbagi) yang membuatnya demikian.
Tema APP tahun 2011 bertema BERBAGI mengajak bertobat. Artinya, berubah menjadi lebih baik. Ini memang salah satu proses tersulit dalam kehidupan ini. Namun tidak berarti mustahil. Dengan rahmat dan bantuan Allah semuanya mungkin (Luk 18:27). Karena sulit, maka diperlukan usaha terus menerus, berulang-ulang dan berkelanjutan. Perubahan tidak berakhir tatkala masa prapaskah berakhir.
Di samping itu tema-tema itu direnungkan berdasarkan panduan Firman Tuhan (Kitab Suci) yang menjadi sumber hidup dan penuntun langkah perjalanan kita. Memang Sabda Tuhan, khususnya dalam Kitab Nabi-nabi selalu menantang. Yesus pun selalu menantang dan kadang tampak menyampaikan tuntutan yang keras tanpa kompromi. Ada orang Katolik yang bisa bertahan menghadapi tuntutan itu. Ada pula yang memilih lari atau berkompromi dengan dunia (Mat 19:22).
Pertanyaannya, kalau kita yang mengaku diri Katolik enggan melanjutkan perjuangan kita melaksanakan Sabda Tuhan yang berat itu, siapakah yang akan melaksanakannya?
Marilah berdoa, memohon rahmat dan bantuan Allah supaya kita diberi keberanian untuk mengikuti Yesus, bukan hanya dalam masa kejayaan-Nya, tetapi juga pada saat harus memasuki sengsara dan wafat-Nya yang akan membawa kita kepada kebangkitan.
Tuhan memberkati!
Shalom Bp. Albertus Magnus Herwanta,
Saya sangat senang dan berterima kasih atas tanggapan Anda.
Saya sangat sependapat bahwa pertobatan memang sulit tapi adalah mungkin, bersama rahmat dan bantuan dari Allah. Banyak sikap baik yang harus dimiliki sebagai orang yang telah bertobat, salah satunya sikap mau berbagi itu.
Anda menulis: “Di samping itu tema-tema itu direnungkan berdasarkan panduan Firman Tuhan (Kitab Suci) yang menjadi sumber hidup dan penuntun langkah perjalanan kita.”
Di sinilah saya pikir, saya tidak sependapat dengan Anda.
Bagi saya, sumber hidup dan penuntun langkah perjalanan hidup saya adalah melulu Ekaristi, bukan Kitab Suci. Memang, membaca dan merenungkan Firman Tuhan (Kitab Suci) adalah sangat penting buat saya, karna saya bisa mengetahui dan mengerti apa saja yang ingin dikatakan oleh Tuhan kepada saya. Namun, yang lebih dari itu, adalah saya menyambut Tuhan Yesus sendiri lewat Tubuh dan DarahNya yang saya sambut dalam perayaan Ekaristi. Dan, bagi saya, menyambut Tuhan Yesus sendiri itu jauh lebih indah dan menguatkan daripada “mendengarkan, membaca dan merenungkan Firman Tuhan (Kitab Suci)”, karna Firman itu sendiri yang telah saya sambut dalam perayaan Ekaristi. Maka, bagi saya, sumber dan penuntun langkah perjalanan saya adalah melulu Ekaristi. Sekali lagi, kalau dengan Kitab Suci, saya hanya mendapatkan kata-kataNya, namun kalau dengan Ekaristi, saya bisa mendapatkan diriNya sendiri yang telah diberikanNya kepada saya untuk saya santap agar menjadi sumber dan puncak kehidupan saya.
Mengutip kata-kata Bu Ingrid, bahwa dengan menyambut Sakramen Ekaristi, kita telah menjadi tabernakel yang hidup.
Kata-kata ini sangat mencerahkan saya akan keutamaan Ekaristi.
Saya membayangkan: tabernakel itu kan tempat untuk menyimpan Sakramen Ekaristi yang adalah benar-benar Tubuh dan Darah Kristus itu sendiri. Nah, kalau dengan menerima Sakramen Ekaristi, saya menjadi tabernakel yang hidup, berarti ‘kan saya “menyimpan” Tubuh dan Darah Kristus di dalam diri saya selama kurang lebih 15 menit. Ini jauh melebihi daripada sekedar mendengarkan, membaca dan merenungkan Firman Tuhan (Kitab Suci).
Mohon maaf jika ada kata-kata saya yang kurang berkenan…
Salam kasih,
Lukas Cung
Pak Lukas, rasanya kita perlu saling memahami dan memperkaya pengetahuan dan penghayatan hidup beriman.Kita tidak cukup menomorsatukan salah satu aspek dengan mengabaikan aspek lainnya.
Hidup beriman adalah hidup yang seimbang.Kita perlu memahami keterkaitan antara satu aspek dengan aspek lainnya sehingga gambaran dan totalitas pemahaman iman menjadi lebih lengkap.
Kalau kita mengikuti perayaan ekaristi , di situ kita juga sekaligus mendengarkan dan sekaligus mengecap Sabda Tuhan yang telah menjadi daging. Kita tidak perlu mempertentangkannya.
Orang yang menghayati Ekaristi dengan makin kusyuk akan menjadi lebih rendah hati dan tidak begitu mudah menganggap diri sendiri yang paling benar.
Selamat merenungkan Firman Allah dan kecaplah betapa sedapnya Tuhan.
Bapak Lukas yang sangat ekaristis,
Senang sekali bisa berdiskusi dan bertukar pengalaman tentang hidup iman kita.
Bapak sangat benar bahwa hidup kita memang harus mengalir dari dan berpuncak pada ekaristi.
Yang perlu diingat ialah bahwa dalam perayaan ekaristi ada dua meja: meja Sabda dan meja Perjamuan. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sebelum kita menyambut tubuh dan darah Yesus dan bersatu dengan-Nya kita perlu juga mendengarkan Sabda-Nya. Menghayati perayaan ekaristi (Sabda dan Tubuh Yesus) berarti membawa segala pesan Yesus dan kekuatan-Nya ke dalam kehidupan kita. Kita mengenal Yesus yang hadir dalam Ekaristi lewat Sabda Tuhan. Kita mengetahui dan memberikan dasar teologis atas ekaristi menggunakan Kitab Suci. Yesus sendiri bersabda:”Bukan orang yang berseru Tuhan, Tuhan akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, tetapi mereka yang melaksanakan Sabda Allah”. Artinya, kita juga perlu membaca (lebih tepat mendengarkan) Sabda Tuhan dan melaksanakannya. Ini tidak perlu dipertentangan dengan Ekaristi.
Hanya, ada bahaya kalau kita lebih memusatkan diri pada menyambut ekaristi dan merasa puas di sana (untuk diri sendiri) hal itu bisa menjadikan kita seorang yang lebih memikirkan diri dan bisa jadi lupa menjalankan tugas kita: melaksanakan Sabda Tuhan dalam hidup kita sehari-hari.
Singkatnya, Sabda Tuhan (yang termuat dalam Kitab Suci) tidak bisa dipisahkan dari Ekaristi.
Saya masih ingat, ayah saya selalu kembali pulang ketika tiba di gereja terlambat (pada waktu injil sudah dibacakan). Beliau merasakan ada yang hilang jika menyambut komuni (ikut perayaan ekaristi) tanpa mendengarkan Sabda Tuhan.
Sekali lagi, terima kasih atas sharing pengalaman dan pandangan-nya, Pak Lukas.
Tuhan memberkati Bapak!
Syalom Pak Lukas & Pak Herman yang menurut saya kedua – duanya sama – sama ekaristis.
Memang betul bahwa apabila kita terlambat ( bahkan sebelum injil ) ke gereja setelah melewati ‘doa tobat’, maka kita tidak diperkenankan menerima ekaristi. Apalagi kalau terlambat sampai Injil maka disarankan untuk mengikuti misa berikutnya. Saya pernah diberitahu sebuah Gereja Katolik SUPER MILITAN di China.
Kebetulan anggota – anggotanya adalah orang – orang Afrika. Yang mereka ( semua orang tanpa terkecuali ) lakukan pada waktu ekaristi adalah :
*Sebelum Misa melakukan sakramen tobat dulu.
*Ke Misa pakai Jas bagi pria dan gaun bagi wanita.
*Sebelum mulai Misa, membaca alkitab / sabda pada hari itu terlebih dahulu.
*Tidak pernah terlambat ke Gereja,
Mari kita mencontoh orang – orang tersebut sebagai cerminan kedisiplinan dan ketaatan kita dalam menghargai YESUS yang datang di dalam sakramen ekaristi.
Tuhan Yesus memberkati & Bunda Maria selalu menuntun anda pada putraNYA
Dear Pak Albertus , Pak Lukas dan semua teman 2 Katolisitas .
Semoga Damai Tuhan selalu menyertai kita semua.
Ada satu hal dari buku Mari Berbagi ( menuju penemuan Diri sejati ) yang mungkin bisa membantu kita , dalam membahas masalah kehidupan rohani kita terutama sehubungan dng ekaristi .
Sakramn Ekaristi dikatakan sebagai Sacramentum Caritatis ; ini sederhananya menggambarkan bahwa Ekaristi mempunyai 2 aspek utama ;
1. Sebagai sakramen yang sudah kita hayati bersama adalah menerima Tubuh dan Darah Kristus , dan ini dikatakan sebagai aspek Iman ; kita percaya dan menghayati bahwa kita sungguh Menerima Tubuh dan Darah Kristus .
2. Aspek kedua ; aspek caritatis , mungkin dianggap sebagai bagian yang paling penting ; karena disinilah Tuhan MENGUTUS kita , setelah kita menghayati Tuhan hadir dan menjadi satu dengan kita , kita juga diutus seperti Tuhan , untuk menjadi Roti yang dibagi 2 ( atau memberikan hidup kita untuk sesama ; atau memanggul salib ) ; ini biasanya disebut Aspek KASIH , dimana kita diminta untuk MEMBERI .
Memang hal kedua , mengenai Kasih , mempunyai Kasih adalah suatu yang sangat sangat luar biasa sulit , sehingga saya yang merasa sudah menjalani hidup 60 tahun ( sebagai orang Katolik yang menurut teman saya berpengalaman 1 tahun diulang 60 kali ) tetap merasa belum mampu melakukan kehendak Tuhan . Dan karena saya beberapa tahun belakangan ini senang mendengarkan dan merenungkan spiritualitas , maka saya terus menanyakan masalah ini dalam semua kesempatan .
Saya merasakan Gereja tidak memberikan jawaban , jalan , cara praktikal , bagaimana kita bisa mempunyai Kasih dan mendapatkan Damai sejahtera yang dari Tuhan ( bukan dari Dunia ini ) pada masa kita masih hidup tentunya .
Terima kasih .
Paulus
Shalom Paulus,
Saya hanya ingin menanggapi pernyataan anda di akhir komentar anda, “Saya merasakan Gereja tidak memberikan jawaban, jalan, cara praktikal, bagaimana kita bisa mempunyai Kasih dan mendapatkan Damai sejahtera yang dari Tuhan ( bukan dari Dunia ini ) pada masa kita masih hidup tentunya.”
Terus terang, saya kurang paham, mengapa anda mengatakan demikian. Sebab memang walaupun Gereja tidak memberikan ketentuan resmi, kata demi kata, tentang cara- cara praktis untuk melaksanakan perintah- perintah Tuhan, namun prinsip- prinsipnya jelas diajarkan oleh Gereja, dan dapat kita ketahui pertama- tama dari Kitab Suci. Hukum yang paling utama telah diberikan oleh Kristus, yaitu hukum cinta kasih, baik kepada Tuhan dan kepada sesama. Dengan kita berakar kepada Sabda Tuhan dan Ekaristi, maka kita akan dimampukan oleh Tuhan untuk semakin bertumbuh di dalam kasih sejati, seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.
Dengan demikian pentinglah agar kita melandaskan iman kita atas Sabda Tuhan dan Ekaristi, sebab memang keduanya membantu kita untuk menemukan jalan dan cara praktis untuk melaksanakan kasih di dalam kehidupan sehari- hari, dalam kondisi kita yang mungkin tidak sama dengan orang lain. Maka penting di sini usaha kita untuk setia menimba kekuatan dari Sabda Tuhan dan sakramen- sakramen terutama Ekaristi, agar kita dapat bertumbuh dalam iman, pengharapan dan kasih.
Jika anda tertarik, silkan membaca juga tanggapan kami atas komentar Lukas Cung tentang topik Ekaristi dan Sabda Tuhan di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Pak Stef .
Terima kasih atas uraian anda , saya jadi agak memahami posisi anda , syukurlah kalau ada pribadi 2 katolik seperti anda dan teman 2 di katolisitas .
Kali ini saya hendak sedikit menceriterakan apa yang ada dalam pikiran saya akhir 2 ini dan kerisauan saya yang berhubungan dengan spiritualitas katolik dan situasi umat . Saya mohon tanggapan dan nasehat anda .
…….
Terima kasih .Paulus
[dari katolisitas: silakan melihat jawaban di atas – silakan klik]
Shalom Bp. Paulus Sutikno Panuwun,
Ijinkanlah saya utk ikut menanggapi.
Anda menulis: “…Saya merasakan umat umumnya lebih tertarik dengan ibadat ekaristi , doa rosario ….”
Tanggapan saya:
Saya harus membaca berulang kali komentar Bapak di atas. Semakin sering saya membaca, semakin saya menyangka bahwa Bapak agak “menyayangkan” umat yang umumnya lebih tertarik pada ibadat Ekaristi (doa rasario dll).
Mohon maaf apabila apa yang saya sangkakan ini adalah salah.
Tetapi apabila benar, saya sungguh bingung, apanya yang salah jika umat umumnya lebih tertarik pada ibadat Ekaristi? Apakah ada yang lebih penting daripada Ekaristi? Bukankah Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan Kristiani?
Anda juga menulis: “Dari sana saya merasakan kalau perasaan negatif tsb itulah yang membawa umat untuk lebih mengutamakan dan menyukai Doa Rosario , ekaristi , acara 2 liturgis , ritual , apakah ini untuk penghiburan ??. Kita jadi lebih menonjolkan ungkapan Iman kita . .”
Menurut saya, sudah seharusnya umat lebih mengutamakan dan menyukai Ekaristi.
Dari apa yang saya ketahui (mohon Pak Stef koreksi), Ekaristi adalah perayaan cinta kasih. Nah, mengutamakan Ekaristi berarti mau menghayati Ekaristi dalam kehidupan sehari-hari, berarti kita mau menyebarkan cinta kasih kepada semua orang dalam kehidupan kita sehari-hari, berarti kita mau mengasihi semua orang, juga mengasihi Allah. Jika kita mau mengasihi Allah, berarti kita mau hidup semakin kudus, karna Allah adalah kudus. Nah, jika mau hidup semakin kudus, berarti perlu pertobatan. Tema APP ini bertujuan membantu kita menuju pertobatan.
Tema APP, membaca Kitab Suci, rosario, doa harian, menimba pengetahuan dari Katolisitas dll, menurut saya adalah cara-cara yang bisa membantu kita untuk semakin menghayati Ekaristi. Tidak ada yang lebih penting daripada Ekaristi. Karna Ekaristi adalah sumber hidup saya sebagai Kristiani. Jadi, betul, dari Ekaristi saya bisa mendapatkan penghiburan – bahkan bukan hanya itu, saya juga mendapatkan kekuatan dari sana – kekuatan yang tidak bisa saya dapatkan dengan cara lain selain Ekaristi, karna yang memberikan kekuatan adalah Tubuh dan Darah Tuhan Yesus sendiri.
Kalau terhadap Ekaristi hanya sebatas melaksanakan ritualnya saja, hanya sebatas menonjolkan ungkapan iman saja, tentu itu bukan menghayati namanya. Tapi, saya juga tidak meng-claim telah betul-betul menghayatinya.
Mohon maaf jika ada kata-kata saya yang tidak berkenan…
Salam,
Lukas Cung
Dear Pak Lukas .
Saya senang dengan komentar anda , terima kasih .
Umumnya saya menulis komentar atau apapun dasarnya karena ada sesuatu yang menjadi pertanyaan penting dalam benak saya , misalkan dalam hal APP setelah membaca dari buku panduan dan merasakan ganjalan 2 di lingkungan sekitar saya ( juga keluarga dan diri saya sendiri )
Ada 2 pertanyaan besar sbb :
1. Terdapat begitu banyak kritik pedas dalam buku panduan tsb ( Mari Berbagi ; menuju penemuan diri sejati ) untuk kita umat dan bahkan untuk paroki . Ini tulisan dari beberapa Pastor . Dan seperti biasanya seperti anda sudah tuliskan APP mengutamakan Pertobatan , dan dijelaskan bahwa Pertobatan membutuhkan kesadaran ( ada sesuatu yang keliru ? , salah ? , apakah kritikan dalam buku tsb memang benar atau isapan jempol penulis ? ) . Tanpa kesadaran jelaslah pertobatan itu kehilangan maknanya.
2. Apa yang saya selalu rasakan ; pertanyaan ini selalu ada dikepala saya :
Apakah saya dan sudah mempunyai Damai Sejahtera Allah ; pertanyaan ini saya dapatkan dari mereka yang sudah banyak bergelut dengan spiritualitas ; saya merasakan pertanyaan ini sangat bagus ; karena banyak dari kita ; (anda dan saya kemungkinan besar senasib ) , masih banyak
merasakan kekuatiran , kekecewaan , kesedihan ,mudah tersinggung dan macam macam lain , padahal kebanyakan juga sudah hidup berkecukupan ( sudah ada damai sejahtera dunia ); nah inilah yang saya pertanyakan karena kita umumnya juga sudah pergi ke gereja menerima ekaristi , berdoanya rajin ,bersyukur tidak pernah lupa .
Akan tetapi , saya sendiri merasa apa yang dikritik dalam buku tsb 100% benar ; secara garis besar kita terlebih banyak menampilkan Iman kita , bahwa kita percaya , percaya dan percaya . Tetapi kita belum bisa melakukan apa yang diminta Tuhan ; semisal soal ekaristi :
Sudah pasti kita cukup menghayati bahwa kita menerima Tubuh dan Darah Kristus ; tapi agak kurang menyadari bahwa Ekaristi mengingatkan akan tugas kita untuk seperti Tuhan menjadi Roti untuk di bagi bagi .
Saya juga merasakan bawa para penulis telah menyampaikan sesuatu yang sebenarnya menunjukkan kerisauan , kegalauan , keprihatinan mereka akan situasi kita hidup bernegara maupun menggereja , dan saya sangat mengamininya ; sungguh situasi yang sangat menyedihkan ( Romo Ignasius Budiono O Carm ; menuliskan releksi situasi sekarang dengan zaman Amos ). Ini kan sangat gawat . Tetapi saya melihat APP ( ditempat saya ) berjalan seperti biasa , tanpa menghasilkan pertobatan ( juga pada diri saya )
Terima kasih .
Paulus
Salam damai dalam kasih Tuhan Jesus.
Langsung saja, ya. Saya bisa mengerti dgn sinyalemen Pak Paulus (“… Saya merasakan umat umumnya lebih tertarik dengan ibadat ekaristi , doa rosario ….”). Saya cuma umat awam yang mengamati & merasakan bhw kita lebih mengharapkan/meminta “sesuatu” (rahmat, kesejahteraan, ketenangan dsb) dari ekaristi/doa rosario sehingga acara2 tsb di lingkungan lebih laku dari pada pendalaman alkitab.
Sebagian besar dari kita tidak merasa mendapatkan manfaat (atau harapannya tidak terpenuhi) dari sharing alkitab. Faktor penyebabnya banyak, tapi yg terutama adlh krn:
[1] kurangnya pengetahuan kita sendiri (tekstual & kontekstual, apalagi tafsirnya) krn tidak terbiasa membaca dan mempelajari alkitab dgn teratur,
[2] pemandu renungan umumnya juga realatif awam pengetahuannya sehingga banyak pertanyaan yg berkaitan (maupun yg melenceng dari materi pendalaman) tidak bisa dijawab dgn memuaskan. Sebaiknya perlu dipahami pemandu & umat bhw pendalaman alkitab bukanlah semacam kelas katekumin.
[3] jika pemandu tidak mahir mengendalikan forum, maka kadang2 acara berubah menjadi debat antara pihak2 yg kurang pengetahuannya. Hal ini menimbulkan kesan tidak baik pada umat yg lain sehingga makin segan hadir krn merasa tidak memperolah manfaat.
Sebaliknya saya pernah hadir dlm renungan alkitab yg dibawakan oleh pemandu yg sangat mumpuni (pengajar kursus alkitab) dan merasa memperoleh tambahan pengetahuan dalam
hal metode “mengupas” ayat2 sehingga ayat2 tsb berbicara lebih banyak dari pada teksnya sendiri.
Semua hal yg saya kemukakan di atas tentu saja lebih berkutat pada aspek kognitif teks alkitab, padahal, spt yg saya dengar, dalam membaca alkitab kita dapat melakukan 2 macam pendekatan, yaitu dari segi kognitif dan afektif. Sharing alkitab seharusnya lebih menekankan pada aspek afektif (walaupun memerlukan pengetahuan & pemahaman teks itu sendiri).
Hal ini memerlukan suasana meditasi yg sayangnya kurang didapat/diarahkan dalam sharing di lingkungan.
Barangkali untuk masa yad tiap2 paroki bisa menyiapkan tenaga tetap pemandu renungan alkitab dari masing2 lingkungan yg “dilatih” secara kontinyu sepanjang tahun (bukan insidentil menjelang masa adven/puasa); para pemandu tsb selayaknya dibina paroki (seperti membina prodiakon, ketua wilayah/lingkungan, pengurus paroki dsb).
Demikianlah sedikit urun rembug dari saya. Terima kasih.
Comments are closed.