Gereja mengajak kita untuk membaca tanda-tanda zaman
Dalam salah satu dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes atau Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, konsili mengajak Gereja untuk menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil.1 Gereja dituntut untuk membaca dinamika di kehidupan saat ini, yang semakin lama terasa semakin dinamis dan bergerak sangat cepat, terutama bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan. Kehidupan metropolitan yang cenderung materialisme, serba cepat, dan diwarnai ‘budaya’ penggunaan gadget yang jumlahnya melebihi populasi penduduknya, menjadi tantangan tersendiri bagi Gereja untuk berteologi dan mewartakan Injil. Di sinilah, orang yang berteologi dituntut untuk memperbaharui diri dalam menyajikan kebenaran dan kebaikan kepada masyarakat luas, sehingga kebenaran dan kebaikan dapat bersinar dengan indah dan diterima dengan sukacita oleh seluruh umat yang berkehendak baik.
Tulisan ini berangkat dari satu keyakinan bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari kodrat-nya, yang diciptakan oleh Allah menurut gambar Allah (lih. Kej 1:27). Walaupun gambar ini dapat saja kabur tergerus oleh segala macam dinamika dalam kehidupan metropolitan, namun kerinduan manusia untuk mengenal dan mengasihi Pencipta-nya tidaklah mungkin dapat dihapuskan. Jika berteologi diartikan bahwa manusia diajak masuk dalam hubungan antar pribadi dengan Allah dan pada saat yang bersamaan menjangkau orang lain untuk juga masuk dalam hubungan tersebut dengan Allah, maka sesungguhnya teologi dapat memberikan jawaban akan kerinduan manusia ini. Apalagi, kalau kita mengingat bahwa “Allah menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (lih. 1Tim 2:4). Dengan demikian, jika kita berteologi untuk menjangkau orang-orang agar dapat mengenal kebenaran, sesungguhnya kita melaksanakan kehendak Allah. Karena ini adalah kehendak Allah, maka Allah pasti akan turut berkarya secara aktif dalam mewujudkannya—terutama melalui Magisterium Gereja—dan juga seluruh anggota Gereja, baik klerus maupun awam. Berteologi dengan baik juga dapat memperdalam iman Katolik, sehingga umat Katolik di kota metropolitan dapat menjadi garam dan terang dunia (lih. Mat 5:13-14).2
Metropolitan yang serba cepat, demam gadget, dan materialisme
Metropolitan berasal dari metropolis [Yun: metro + polis] yang berarti “mother city” atau ibu kota, atau merujuk kepada kota yang besar. Hidup di kota besar dengan segudang kegiatan yang beragam membutuhkan suatu ketrampilan. Namun, ketrampilan saja tidaklah cukup untuk dapat bertahan di hiruk pikuk kehidupan metropolitan. “Serba cepat, serba instan” adalah istilah yang tepat yang menggambarkan kehidupan metropolitan. Orang mengatakan “siapa cepat, dia dapat.” Siapa yang dengan cepat mempunyai akses ke orang yang kuat, ke sumber finansial yang kuat, dan dapat mengambil kesempatan dengan cepat, maka dia akan sukses. Agaknya, kebiasaan untuk melakukan segala sesuatu dengan instan, secara tidak langsung menjauhkan orang dari hal-hal yang memerlukan pemikiran mendasar yang membutuhkan waktu dalam berproses, seperti: untuk apa aku hidup, apakah kebahagiaan, apakah tujuan akhir dari kehidupan, dll.
Selain gaya hidup yang serba cepat, kehidupan metropolitan diwarnai dengan teknologi dan berbagai macam pemakaian gadget. Yayasan Pengembangan Anak Indonesia (YPMA), dalam penelitiannya tahun 2006 mengatakan bahwa anak-anak di Jakarta menghabiskan 7 jam sehari untuk mengkonsumsi media, baik televisi, komputer, videogame, dll. Millward Brown, perusahaan yang bergerak di bidang penelitian dan marketing komunikasi, pada tahun 2014, melakukan penelitian tentang berapa lama orang-orang mengakses segala macam peralatan elektronik, seperti: komputer, laptop, tablet, smartphone. Hasilnya? Sungguh mengejutkan! Indonesia menempati peringkat teratas dalam lamanya penggunaan peralatan elektronik, mengalahkan Filipina, Cina, Brasil, Vietnam dan Amerika. Setiap hari orang Indonesia menghabiskan 9 jam dibandingkan 7 jam orang Amerika dalam penggunaan peralatan elektronik.3 Di satu sisi, bukankah itu ironi, sebab ada umat yang protes kalau seorang Romo berkotbah lebih dari 20 menit dalam Misa? Atau, berapa banyak umat Katolik mau datang secara antusias ke seminar-seminar tentang iman Katolik? Rupanya, hiburan-hiburan duniawi dianggap lebih menarik daripada pembahasan-pembahasan teologis yang serius.
Banyak orang yang hidup di metropolitan juga tidak sayang untuk menggunakan uang dalam membeli gadget dan berusaha secara maksimal untuk meningkatkan ketrampilan. Berlomba-lomba, orang berusaha agar anak-anaknya mempunyai pendidikan yang baik. Bahkan, walaupun telah bersekolah sampai ke jenjang S2, orang metropolitan tidak sayang menggunakan uang untuk semakin mengasah kemampuannya, termasuk dengan kursus-kursus yang mahal. Namun, ada sebagian umat Katolik yang berkeberatan jika harus mengeluarkan uang sebesar 50 ribu rupiah untuk biaya makan dan makalah untuk seminar tentang iman Katolik. Kelihatannya ada paradigma bahwa untuk hal-hal sekular tidak perlu sayang uang, karena dapat berpotensi meningkatkan karir. Namun, untuk hal-hal yang bersifat spiritual sudah seharusnya gratis. Padahal, bukankah hal-hal yang bersifat spritual lebih utama dari hal-hal yang bersifat material?
Semua hal di atas semakin memperkuat tesis bahwa banyak orang di kota metropolitan lebih tertarik kepada hal-hal material, lebih memikirkan hal-hal yang dapat dibuktikan secara empiris, yang dapat ditangkap oleh panca indera. Orang mengejar sesuatu yang dapat terlihat, terasa, terdengar, pendeknya, segala sesuatu yang nampak kasat mata. Pemikiran untuk mencari hal-hal yang bersifat non-material atau metafisik —seperti: kebenaran, keadilan, keindahan—dipandang terlalu sulit, lamban, dan kurang menarik. Gadget yang sarat dengan informasi dan hiburan yang menyajikan hal-hal yang berlawanan dengan nilai-nilai kekristenan— menyebabkan secara perlahan paham ateisme dapat juga melanda kehidupan metropolitan. Suatu ironi, bahwa paham semacam ini bisa mengambil tempat di negara ini, yang percaya akan satu Tuhan.
Maka nampaknya teologi yang ingin memperkenalkan Allah dan implikasinya dalam kehidupan, memang menghadapi tantangan yang sungguh luar biasa besar di kehidupan kota metropolitan. Akankah pembahasan tentang kebaikan, kebenaran, keindahan, ke-Allahan, mempunyai daya pikat bagi orang-orang yang tinggal di perkotaaan? Apakah diskusi tentang teologis dapat juga menarik seperti diskusi tentang hal-hal politik, budaya, finansial dan pendidikan? Dan bagaimana pendekatan teologis yang baik untuk situasi seperti ini?
Manusia tak dapat lepas dari kodratnya sebagai gambaran Allah
Seorang ibu yang hidup di perkotaan dapat menjadi saksi tentang sulitnya mendidik anak-anak dengan nilai-nilai kekatolikan yang baik. Banyak karyawan Katolik menjadi saksi bisu akan sulitnya menghidupi nilai-nilai Injil di tempat kerja. Demikian pula para pengusaha Katolik juga menjadi saksi bahwa tidaklah mudah untuk mengutamakan kebajikan-kebajikan pokok4—kebijaksanaan, keadilan, keberanian dan pengendalian diri—untuk menjalankan usaha mereka.
Namun, betapapun sulitnya tantangan hidup dan kuatnya pengaruh materialisme, betapapun nilai-nilai duniawi terkesan menggerus nilai-nilai kekristenan dan nilai-nilai kemanusiaan, namun, manusia tidaklah mungkin dapat melepaskan diri dari kodratnya, yang diciptakan Tuhan menurut gambar-Nya (lih. Kej 1:27). Walaupun gambar Allah ini memudar dalam diri manusia karena pengaruh dosa asal, namun ia tidaklah rusak secara total.5 Diciptakan menurut gambar Allah, manusia mempunyai kemampuan untuk mengenal dan mengasihi Pencipta-nya. Dengan semakin cepatnya roda hidup di perkotaan, memang tidaklah mudah untuk menemukan waktu berdiam diri. Apalagi selain disibukkan dengan pekerjaan, orang juga dijejali dengan berbagai macam hiburan. Namun, Tuhan sering berkarya dengan cara-Nya yang luar biasa dan juga melalui cara-cara yang biasa dalam kehidupan sehari-hari.
Namun dalam hingar bingar kehidupan perkotaan, manusia tetap merindukan untuk mencari Sang Pencipta. Pada tanggal 11 Februari 2010, seorang Bapak menuliskan surat ke redaksi katolisitas demikian:
“Shalom. Besar harapan dan dukungan saya dan keluarga untuk website ini. Saya berdoa agar Kristus melalui Roh Kudus membimbing saudara-saudara kita yang belum mengenal Kristus dan Gereja Katolik dapat membaca isi yang baik dan benar dari website katolisitas.org agar jangan mengambil jalan yang salah. … Lebih dari 10 tahun, saya mencari Tuhan dan Gereja yang benar. Saya telah hampir satu tahun membaca artikel dan tanya jawab di website ini, akhirnya saya, bersama anak saya, adik saya dan keponakan saya, memutuskan untuk dibaptis Katolik tanggal 23 Desember 2009. Sekali lagi, saya dan keluarga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, sehingga kami bisa menerima Yesus Kristus. Salam kasih dalam Yesus Kristus.”
Ketika hidup dalam masyarakat perkotaan yang majemuk, terpepet karena situasi, seseorang dipaksa untuk kembali menggali imannya dengan lebih sungguh-sungguh. Seorang pelajar, pada tanggal 3 Juli 2011, menuliskan pesan:
“Dear all, Saya cukup kagum membaca forum diskusi ini yang bermula dari satu pertanyaan, menjadi pembahasan 5 halaman yang kaya informasi iman. Ijinkan saya mensharingkan pengalaman saya. Saya termasuk orang Katolik yang beruntung, yang sering diajak bergabung ke gereja Protestan. Mulai dari cara diajak debat, di-injili paksa, sampe dijebak. :)) Jujur saja, pengalaman itu sangat menguntungkan, karena berkat sesi2 itu, saya jadi “dipaksa” belajar lebih dalam mengenai ajaran Katolik saya…”
Dua surat di atas, hanyalah contoh dari banyak surat yang masuk ke katolitas.org, yang menunjukkan bahwa di dalam situasi apapun, tangan Tuhan senantiasa bekerja, termasuk ketika seseorang mencari, mengalami kesulitan, penderitaan, dll. Justru di dalam situasi seperti itu, Tuhan berbicara semakin kuat di dalam hati manusia. Dengan demikian, walaupun banyak tantangan untuk melakukan teologi di dalam kehidupan metropolitan, kesempatan untuk mewartakan iman Katolik sesungguhnya terbuka sangat lebar. Kita perlu mengingat bahwa di luar sana, dalam hiruk pikuk hidup metropolitan, ada banyak orang merindukan kebenaran. Hanya, perlu dipikirkan, metode yang tepat untuk berteologi untuk dapat menjangkau mereka.
Teologi sebagai iman yang mencari pengertian
Teologi dapat didefinisikan sebagai “iman yang mencari pengertian (faith seeking understanding)”, seperti yang dikatakan oleh Santo Anselmus6. Ketika seseorang belajar teologi—baik formal maupun belajar sendiri—ia ingin memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang apa yang ia imani. Dalam Katekismus Gereja Katolik, dikutip pernyataan dari St. Agustinus, “Aku percaya supaya mengerti, dan aku mengerti supaya percaya lebih baik.”7 Dengan iman, kita dapat mengerti. Sama seperti ketika Rasul Yohanes melihat kubur yang kosong dan kemudian ia percaya (lih. Yoh 20:8). Maka, untuk dapat percaya atau beriman dengan lebih baik, kita juga perlu mengerti apa atau siapa yang kita imani. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengasihi apa yang kita tidak kenal. Namun sebaliknya, kalau kita mengasihi, kita akan berusaha untuk semakin mengenal yang kita kasihi. Oleh karena itu, diperlukan usaha dari pihak kita untuk mengerti tentang iman Katolik, agar kita semakin mengasihi iman Katolik, dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dan dapat mempertanggungjawabkan iman kita itu dengan baik (lih. 1Ptr 3:15).
Tanpa mengerti iman Katolik dengan baik, maka umat Katolik akan dengan mudah pindah ke gereja lain ataupun agama lain. Seorang Bapak pada tanggal 20 April 2010 menuliskan pesan sebagai berikut:
“Banyak dari saudara-saudara kita yang Katolik mau menyeberang ke kandang lain adalah karena ketidaktahuaan-nya. Agama baginya hanya seperti baju kalau senang ya dipakai kalau bosan ya dilepas. Atau mungkin hanya agama KTP dan tidak pernah bertumbuh. Saya tidak menghakimi siapapun tapi please bangunlah saudara-saudaraku yang Katolik, carilah kedalaman iman kita yang sangat kaya akan kebenaran yang tidak akan bisa ditemukan ditempat lain. Pulanglah ke Rumah.”
Berteologi = berproses dan berdialog dalam relasi yang tak kelihatan dan kelihatan
Dalam ensikliknya yang pertama, Lumen Fidei (LF) atau “Terang Iman”, Paus Fransiskus menguraikan hubungan antara iman dan teologi. Teologi dipandang sebagai satu proses iman.8 Di sinilah ungkapan St. Anselmus dan St. Agustinus menjadi semakin jelas. Definisi teologi sebagai, “Iman yang mencari pengertian” yang diberikan oleh St. Anselmus, dijelaskan oleh Paus Fransiskus sebagai “suatu proses”, karena pencarian adalah proses. Ketika seseorang mau berproses dalam pencarian ini, maka seseorang akan mendapatkan pengertian yang lebih dalam, sehingga imannya akan semakin bertumbuh—seperti yang dikemukakan oleh St. Agustinus. Proses ini memerlukan usaha yang terus-menerus.
Proses pencarian ini dapat terjadi dalam pengalaman sehari-hari, melalui suatu proses diskursif dan proses yang melibatkan dialog. Dialog ini bukanlah dialog searah dengan diri sendiri, namun terlebih adalah dialog timbal balik dengan Sang Obyek dalam teologi, yaitu Allah sendiri. Lebih lanjut Paus Fransiskus dalam ensiklik yang sama menuliskan bahwa teologi bukan hanya sekedar usaha akal budi untuk menganalisa Tuhan sebagai obyek, sebab Tuhan itu adalah Subyek yang membuat Diri-Nya sendiri dikenal dalam hubungan antar pribadi.9 Dengan demikian, teologi bukanlah sekedar pemikiran tentang dogma dan doktrin, namun lebih daripada itu, manusia dibawa masuk di dalam hubungan antar pribadi dengan Allah sendiri. Allah membuka diri-Nya kepada manusia secara lebih jelas, membiarkan kita melihat-Nya lebih dekat dan intim. Kita dibawa masuk dalam misteri Allah. Karena Allah tidak kelihatan, maka sesungguhnya di dalam teologi kita diajak masuk dalam relasi yang tak kelihatan namun nyata. Dalam hubungan ini, semakin jelaslah bahwa kita sesungguhnya tidak dapat seluruhnya menyelami Dia sebagaimana adanya Dia. Rasul Paulus mengatakan, “Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal” (1Kor 13:12). Namun dengan teologi, setidaknya kita telah diajak masuk oleh Allah untuk lebih mengenal Dia, sehingga dapat mengalami sedikit banyak dari misteri Allah yang sesungguhnya.
Diajak masuk dalam misteri Allah, manusia akan semakin menyadari bahwa sesungguhnya pengetahuannya tidaklah sempurna karena diri manusia terbatas, sedangkan Allah tidak terbatas. Oleh karena itu, sikap yang diperlukan adalah kerendahan hati, yang membiarkan Allah sendiri untuk mengangkat kita masuk dalam hubungan kasih dengan-Nya. Namun, sungguhpun demikian, karena kelemahan kita, kita sering salah dalam menanggapi ataupun membuat kesimpulan. Syukurlah, Allah sendiri telah memberikan Gereja kepada kita, sehingga melalui-nya, relasi yang tak terlihat kemudian menjadi satu relasi yang lebih jelas, lebih terukur, dan lebih tepat. Di sinilah sebenarnya Allah membawa kita masuk ke dalam relasi dengan-Nya secara lebih mendalam, melalui Gereja-Nya. Kerendahan hati tetap menjadi kunci utama untuk memasuki hubungan ini. Dalam berteologi, kita dituntut untuk bersikap rendah hati untuk menerima ajaran Gereja—lewat Magisterim Gereja— sehingga kita dapat yakin bahwa apa yang kita percayai adalah sungguh-sungguh benar. Paus Fransiskus mengajarkan bahwa Magisterium memastikan hubungan kita dengan sumber yang sudah ada sejak dulu kala, sehingga menyediakan kepastian kepada keseluruhan sabda Kristus.10 Ya, relasi yang tadinya tak terlihat dan sulit untuk mendapatkan kepastian, kini telah berubah. Melalui Magisterium Gereja, kita diajak untuk masuk dalam relasi yang terlihat, sehingga proses dialog dengan Allah menjadi lebih nyata dan pasti! Pertanyaannya, bagaimana orang dapat tertarik untuk masuk dalam proses dialog dengan Allah?
Percaya akan kekuatan kebenaran, kebaikan dan keindahan
Kita sering memikirkan banyak metode, namun kadang gagal dalam menangkap hal-hal yang esensial. Memikirkan metode teologi yang cocok dan tepat adalah baik, namun melakukan teologi dengan dasar yang benar adalah lebih esensial. Dengan melakukan teologi yang benar, yang sungguh-sungguh menunjukkan kebenaran yang penuh, maka kita akan dapat menarik orang dengan sendirinya. Hal ini sesuai dengan prinsip “Bonum diffusivum sui” atau kebaikan itu menyebar. Kebenaran, kebaikan dan keindahan mempunyai kekuatan untuk menarik orang, karena memang secara kodrati manusia mampu menangkap hal-hal tersebut. Walaupun karena kesibukan manusia—terutama yang hidup dalam kota metropolitan—sering melupakan hal ini, namun suatu saat dalam hidupnya, dia akan merenungkan hal ini.
Kalau teologi dapat disajikan sedemikian rupa sehingga kebenaran dan kebaikan disajikan secara penuh maka keindahan akan semakin bersinar. Kebaikan adalah “sesuatu yang diinginkan”11, karena manusia memang selalu mendambakan kebaikan—walaupun kadang manusia salah dalam menafsirkan apa yang baik. Dalam Injil, Kristus menunjukkan bahwa Allahlah kebaikan itu sendiri (lih. Mrk 10:18). Oleh karena itu, diskusi tentang kebaikan akan membawa kita kepada kebaikan yang tertinggi, yaitu Allah sendiri—karena tidak ada lagi kebaikan yang lebih tinggi daripada persatuan dengan Allah. Inilah yang terjadi pada seorang pemuda yang bertemu dengan Yesus dan menanyakan “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Mrk 10:17)
Kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran dan kenyataan. Maka kebenaran lebih mengarah kepada kegiatan akal budi yang menimbang, membagi, mengelompokkan sesuatu, agar manusia dapat menyimpulkan apakah sesuatu ini benar atau salah. Diskusi tentang kebenaran, akan membawa seseorang kepada kebenaran yang bersifat mutlak, yaitu Allah, karena Allah adalah kebenaran itu sendiri (lih. Yoh 14:6). Kalau Gereja Katolik meyakini bahwa kepenuhan kebenaran ada di dalam Gereja Katolik12 dan di dalam kebenaran tidak ada kontradiksi, maka sudah seharusnya kita yang berada di dalam Gereja Katolik dapat menyajikan kepenuhan kebenaran ini sehingga dapat menarik banyak orang, selain bahwa kebenaran itu memerdekakan diri kita sendiri (lih. Yoh 8:32).
Paus Yohanes Paulus II, memberikan definisi keindahan sebagai kebaikan yang bersinar. Kebaikan dari satu pengajaran akan bersinar kalau tidak ada pertentangan di dalamnya. Selanjutnya, St. Thomas Aquinas memberikan tiga kriteria keindahan, yaitu: integritas (integrity / perfection), proporsi yang baik atau harmoni (proportion / harmony) dan kejelasan (brightness / clarity).13 Dengan demikian, kalau teologi dapat dipresentasikan sedemikian rupa, sehingga orang dapat melihat kebenaran dan kebaikan secara menyeluruh, di mana setiap bagiannya menunjukkan kebenaran dan dapat ditangkap dengan jelas, maka keindahan akan terlihat, dan orang akan tertarik untuk mendekatinya.
Berteologi dengan indah: integritas yang baik, proporsi yang harmonis, pesan yang jelas
Berteologi untuk menampakkan integritas dalam Gereja Katolik sesungguhnya bukanlah sesuatu yang terlalu sulit untuk dilakukan, karena Gereja Katolik mempunyai Magisterium Gereja, dan telah mempunyai sejarah yang panjang dalam berteologi. Sejarah Gereja yang berumur lebih dari 2000 tahun telah memberikan pengalaman kepada Gereja dalam menghadapi begitu banyak pengajaran-pengajaran yang menyimpang. Pengalaman ini membuat ajaran Gereja Katolik teruji oleh waktu dan membuat Gereja dapat mengekspresikan kebenaran dengan lebih tepat. Magisterium Gereja juga telah teruji oleh waktu dalam menjalankan fungsinya untuk meneruskan warisan iman dari satu generasi ke generasi dengan murni. Hal ini memungkinkan semua bagian dari doktrin dan dogma menjadi seperti jalinan yang kompak, tidak ada pertentangan antara satu pengajaran dengan pengajaran yang lain, seperti semua peralatan instrumen musik yang menghasilkan simfoni yang indah, karena mempunyai satu konduktor. Magisterium menjadi konduktor yang luar biasa, karena dijamin oleh Kristus sendiri (lih. Mat 16:18-19) dan dijiwai oleh Roh Kudus. Dalam keadaan seperti ini, maka kebenaran mempunyai pijakan yang kuat, sehingga integritasnya dapat terjamin.
Berteologi juga harus menampakkan proporsi yang baik, sehingga terlihat harmoni yang baik. Dalam Gereja Katolik, kita mengenal adanya tingkatan ajaran, seperti: Credenda, Tenenda, Obsequium, Servandi.14 Ibaratnya, Gereja Katolik telah menentukan pengajaran mana yang menjadi bagian dari pondasi, tiang utama, dinding, dan bagian-bagian lainnya, dengan proporsi yang sesuai. Dalam berteologi, jika kita tahu secara tepat tingkatan satu pengajaran, dan menyajikannya dengan baik, maka harmoni pengajaran akan terlihat. Dengan demikian, tingkat pengajaran Gereja, memberikan kepastian bahwa setiap pengajaran membentuk satu proporsi yang baik dan indah.
Berteologi juga harus memberikan pesan yang jelas. Dewasa ini, ada sebagian orang yang mengedepankan nilai-nilai pastoral dengan mengorbankan dasar-dasar teologis, sehingga sebuah pengajaran tidak lagi memberikan kejelasan. Namun, sebaliknya, ada sebagian yang beagitu kaku dalam berteologi sehingga orang tidak lagi menangkap inti dari teologi itu sendiri, yaitu untuk membuat orng masuk dalam hubungan pribadi dengan Allah. Jadi, kita tetap perlu untuk mengatakan bahwa “yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.” Namun, semuanya harus dibarengi dengan alasan yang jelas dan dilakukan dengan cara yang bijaksana, sehingga orang dapat menerima pengajaran dengan sukacita. Kita sesungguhnya perlu bersyukur bahwa konsili-konsili dan dokumen-dokumen Gereja memberikan definisi-definisi yang jelas terhadap artikel-artikel iman, sehingga kita tidak perlu lagi mendefinisikan semua hal dari awal. Yang menjadi tantangan adalah memberikan penjelasan tentang definisi-definisi ini dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan umat beriman, sehingga umat Allah dapat mengerti dengan jelas maknanya dan apa pengaruhnya dalam kehidupan nyata.
Seorang remaja Katolik yang berumur 14 tahun masuk dalam topik diskusi yang waktu itu sedang hangat-hangatnya didiskusikan di katolisitas.15 Dia menuliskan pesan pada tanggal 16 April 2013 sebagai berikut:
“Salam semuanya…Nama saya Aldi. Umur saya 14 tahun. Saya adalah seorang Katolik sejak kecil. Saya sudah dibabtis dan menrima komuni. Saat ini saya dalam kebimbangan antara memilih agama Katolik dan agama Protestan. Saya sudah meyampaikan keinginan saya kepada orang tua. Menurut pandangan saya, ibadah agama Kristen Protestan lebih mempunyai makna daripada agama Katolik. Meskipun saya belum pernah terlibat langsung dalam ibadah agama Kristen Protestan, tetapi saya pernah melihatnya di situs Youtube. Mereka tidak terlalu mempedulikan tata cara yang benar, yang jelas mereka dapat memuji dan memuliakan Tuhan. Hati saya selalu tergugah ketika melihat mereka melaksanakan ibadah. Menurut pendapat Ibu Bapak semua, apa yang harus saya lakukan? Tetap di agama Katolik atau di agama Kristen Protestan? Karena saya melihat agama bukan dari tata caranya tetapi dari bagaimana mereka memuliakan Tuhan. Saya sendiri merasa lebih cocok ketika berada di agama Kristen Protestan. Mohon bantuannya.”
Setelah melalui beberapa tanya jawab, akhirnya kami menerima pesan dari Aldi pada tanggal 22 April, 2013 yang menuliskan:
“Untuk Tim Katolisitas. Terimakasih atas peneguhannya. Tuhan memberkati Bapak dan Ibu semua. Saya memutuskan ingin tetap mempertahankan iman Katolik saya dan tidak akan melepaskan begitu saja iman Katolik saya karena kesenangan saya sendiri. …”
Seorang pemuda Katolik yang sedang berpacaran dengan seorang pemudi Protestan, memberikan pesan sebagai berikut:
“Saya sebelumnya udah niat pindah ke Protestan karena mau ikut agama pacar saya. Saya yang pada saat itu dengan keyakinan yang menggebu-gebu lebih mementingkan pacar daripada keyakinan yang saya yakin selama ini, salah satu penyebabnya adalah kekurangtahuan tentang ajaran Gereja Katolik. Namun timbul rasa khawatir yang sangat mendalam, sebab jika saya pindah ke Protestan maka saya akan kehilangan beberapa sakramen, terutama Sakramen Ekaristi, Pengampunan Dosa dan Perminyakan Orang Sakit. Saya sempat berpikir bahwa semua agama Kristen sama saja, tujuannya 1 yaitu Yesus Kristus, dan saya juga sempat pikir biarpun sudah Protestan pasti bisa sesekali menerima Sakramen Ekaristi dan pengampunan dosa di gereja Katolik. Dan akhirnya saya dengan rasa haus akan kebenaran mencari pencerahan tentang apa yang menjadi pergumulan saya selama ini…
Supaya lebih obyektif, saya mencoba mencari website Protestan yang kiranya dapat mencerahkan pemikiran saya, ternyata tidak ada satupun yang bisa, akhirnya kembali lagi ke katolisitas.org… menelusuri halaman demi halaman, tanya-jawab demi tanya jawab (walau tidak pernah bertanya tetapi sudah terwakili dengan pemaparan yang jelas dan mantap)… semakin ditelusuri semakin mendapat pencerahan, semakin menemukan jati diri ke-Katolik-an saya… Puji Tuhan, akhirnya saya memutuskan untuk mempertahankan iman saya kepada iman Katolik, pacar saya jadi sedih, walau awalnya saya juga merasa kehilangan tetapi saya semakin dikuatkan dengan “harta karun” Gereja Katolik…”
Masih begitu banyak contoh-contoh yang ada masuk ke katolisitas. Bukan maksud kami untuk membanggakan situs katolisitas dengan memberikan contoh-contoh di atas. Kami hanya ingin memberikan contoh yang sungguh terjadi, bahwa penerapan teologi sesungguhnya dapat sangat membantu umat Katolik untuk kembali menemukan jati dirinya sebagai umat Katolik.
Melalui proses dialog yang panjang dan melelahkan, kami juga terhibur, ketika kami mengetahui beberapa orang yang akhirnya dibaptis masuk ke Gereja Katolik, ada dua orang yang akhirnya masuk ke seminari untuk menjadi imam. Mereka turut serta dalam memberikan kontribusi di katolisitas. Salah satu dari mereka mengasuh kolom “Gulali Santo-Santa”16, kolom tentang penerapan pengajaran Santo-Santa dalam kehidupan sehari-hari. Ada juga seorang awam yang akhirnya setelah lulus dari SMA mengambil studi filosofi di Kanada dan mengasuh kolom filosofi dan logika di katolisitas.
Gemerlapnya metropolitan dimurnikan dengan keindahan, kebenaran dan kebaikan
Maka tantangan yang terutama bagi umat Katolik di kota besar adalah untuk menerapkan semua prinsip yang telah disebutkan di atas di dalam kehidupan sehari-hari. Cara pertama adalah menabur benih dengan sebanyak-banyaknya (lih. Mrk 4:1-20). Memang dalam perumpamaan, benih dapat saja jatuh di pinggir jalan, sehingga tidak mendapatkan manfaat apapun. Namun, dapat juga, benih tersebut akan jatuh di tanah berbatu maupun tanah yang dikelilingi semak berduri, dan semoga jatuh di tanah yang subur (lih. Mrk 4:1-20). Untuk menaburkan benih diperlukan pekerja yang mau melakukan tugas ini. Semakin terampil pekerjanya, maka akan semakin baik hasilnya.
Pekerja yang paling utama memang adalah kaum klerus dan religius yang memang telah mempersembahkan hidup mereka untuk Kerajaan Allah. Namun, mereka tidak mungkin menjangkau semua orang, apalagi di dunia sekuler. Oleh karena itu, diperlukan partisipasi dari kaum awam. Semua orang yang telah dibaptis mengemban misi untuk melakukan evangelisasi. Namun, yang menjadi masalah adalah, ada cukup banyak umat Katolik yang telah dibaptis, tidak melakukan tugas ini—baik karena memang tidak mau tahu, atau karena katekisasi yang tidak memadai. Diperlukan katekese umat yang terus-menerus, baik dalam kegiatan yang bersifat teritorial maupun kategorial, baik dalam program yang tidak terstruktur atau dalam satu program yang terstruktur atau bahkan terakreditasi. Namun, kita juga dapat menjangkau mereka dengan katekese umat melalui media internet—baik dalam tulisan, suara maupun video. Metode seperti ini, sepertinya cocok bagi umat di kota metropolitan. Minimal metode ini dapat memacu api evangelisasi, sehingga umat yang mulai termotivasi dapat terus mencari dalam program-program formal yang ditawarkan oleh universitas-universitas Katolik dalam bidang filosofi maupun teologi.
Namun, mungkin ada sebagian umat Katolik yang mengatakan bahwa dia tak mampu untuk mengambil kursus maupun belajar banyak hal tentang teologi. Jangan lupa, bahwa keindahan akan teologi yang baik sebenarnya telah muncul secara jelas dalam diri para kudus di sepanjang sejarah Gereja. Mereka menempatkan kebenaran di atas kepentingan pribadi, menempatkan kebaikan menurut kehendak Allah melebihi kebaikan menurut diri sendiri. Seperti mereka, kita dipanggil untuk menampakkan keindahan ajaran iman kita dalam hidup sehari-hari. Orang akan bertanya, apa yang membuat umat Katolik tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, mampu mempertahankan prinsip kebenaran di tengah arus dunia dll. Kita semua diajak untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses berteologi semacam ini.
Kalau semakin banyak umat berpartisipasi dalam berteologi, maka benih-benih akan semakin banyak ditaburkan. Jika semakin banyak umat mempunyai dasar-dasar yang baik dalam melakukan teologi, maka benih-benih yang bermutu akan semakin banyak ditaburkan dan akan semakin menghasilkan banyak buah. Ketika ini terjadi di dalam kehidupan metropolitan, maka kita sebenarnya telah memurnikan sinar gemerlap kehidupan metropolitan dengan Terang Ilahi, yang terpancar melalui nilai-nilai keindahan, kebenaran dan kebaikan. Maukah kita sebagai umat Katolik turut serta dalam proses ini?
1 Lih. Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes (GS 4).
2 Lih. Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium (LG 9).
3 Data tentang penelitian ini dapat diakses di: http://www.millwardbrown.com/adreaction/2014/report/Millward-Brown_AdReaction-2014_Global.pdf
4 Lih. KGK 1805-809.
5 Lih. KGK 405.
6 St. Anselm, Prosl. prooem.:PL 153,225A. seperti yang dikutip dalam KGK 158
7 St. Agustinus, Serm. 43,7,9. Seperti yang dikutip dalam KGK 158.
8 Lih. Paus Fransiskus, Lumen Fidei (LF 36)
9 Ibid.
10 LF 36.
11 St. Thomas Aquinas, Summa Theology, I, q.5, a.1., mengutip para ahli filsuf dengan menuliskan: “Goodness is what all desire.”
12 Dokumen Konsili Vatikan II, Unitatis Redintegratio (UR 3).
13 St. Thomas Aquinas, Summa Theology, I, q.39, a.8.
14 Lih. St. Paus Yohanes Paulus II, Ad Tuendam Fidem ; bdk Kan.750-754.
A) Credenda (kan. 750, 1) artinya, ‘to be believed’. Berupa: Sabda Allah (dalam hal ini penentuan kanon Alkitab), deposit iman, dogma, artikel iman. Tanggapan yang disyaratkan: harus dipercaya dengan iman (catholic and theological faith).
B) Tenenda (kan 750, 2) artinya, ‘to be held.’ Berupa: semua yang dinyatakan secara definitif tentang iman dan moral (termasuk hal-hal yang ditentukan untuk melindungi dan menjaga penerapan hal-hal credenda). Tanggapan yang disyaratkan: harus dipegang dengan teguh dan dipertahankan; dan tidak boleh ditolak.
C) Obsequium terhadap pengajaran Bapa Paus dan kolese para Uskup (kan. 752). Berupa: Doktrin tentang iman dan moral yang dinyatakan oleh Paus dan kolese Uskup ketika melaksanakan wewenang mengajar. Tanggapan yang disyaratkan: ketaatan religius dari akal budi dan kehendak bebas dan menghindari hal-hal yang tidak sejalan dengan hal itu.
D) Obsequium terhadap otoritas dari para uskup (kan. 753). Berupa: Pengajaran otentik dari seorang uskup atau beberapa uskup. Tanggapan yang disyaratkan: ketaatan religius dari akal budi kepada otoritas.
E) Servandi (kan. 754) Berupa: Konstitusi/ dekrit dari Paus/ uskup yang menyatakan pengajaran atau yang menolak pengajaran yang salah. Tanggapan yang disyaratkan: Obligasi untuk melaksanakannya.
15 Diskusi dapat dilihat di: https://katolisitas.org/4652
16 Kolom gulali Santo-santa dapat dilihat di sini: https://katolisitas.org/category/doa/gulali-santo-santa