“Anakku pandai tapi tak percaya Tuhan”

Ini adalah keluhan seorang ibu di zaman ini, yang mungkin pernah juga Anda dengar. “Anakku pandai tapi sekarang ia jadi tak percaya Tuhan.” Anak perempuan ibu ini, yang berusia sekitar 14 tahun, termasuk anak yang kritis dan pandai luar biasa, sehingga di sekolahnya ia termasuk dalam kelas istimewa, yang dikhususkan untuk anak-anak super pandai. Namun kebanggaan sang ibu juga dibarengi dengan rasa prihatin yang sangat, sebab kepandaian anak itu diikuti dengan sikap penolakan akan Tuhan. Sang anak yang gemar membaca itu, telah melahap berbagai macam buku, baik tentang filosofi modern maupun tentang aneka tokoh dan peristiwa di dunia, yang menghantarnya kepada keyakinan itu. Sang ibu tak berdaya, dan mulai bertanya-tanya, apakah kesalahannya sehingga ia gagal mewariskan iman kepada anaknya? Siapakah yang bersalah dalam hal ini, sang ibu, ataukah sekolahnya, sehingga anak itu tidak lagi mengakui adanya Sang Pencipta?

Pentingnya pendidikan Katolik

Sejujurnya masalah ibu itu bukannya tidak mungkin, akan menjadi masalah umum bagi para orang tua, baik di masa ini maupun di waktu mendatang, jika baik pihak orang tua, sekolah maupun Gereja tidak segera menyikapinya dengan bijak. Pendidikan anak memang pertama-tama merupakan tanggung jawab orang tua, namun sekolah maupun Gereja, juga terlibat di dalamnya. Pentinglah bagi kita semua untuk memberikan perhatian kepada masalah pendidikan anak, karena kita semua bertanggung jawab untuk membekali generasi penerus kita dengan pengetahuan dan iman, agar mereka kelak dapat menjadi orang-orang yang tidak hanya pandai, namun juga berhati mulia sebagai anak-anak Tuhan. Anak-anak perlu diarahkan agar tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri tetapi kepentingan orang lain juga; agar mereka tidak hanya mengejar kebaikan dalam kehidupan di dunia ini, tetapi juga di kehidupan yang akan datang. Pendeknya, anak-anak dididik agar menjadi semakin menyerupai Kristus.

Prinsip pendidikan Katolik

Pihak Vatikan melalui Kongregasi untuk Pendidikan Katolik mengeluarkan suatu dokumen yang berjudul The Catholic School (Sekolah Katolik), klik di sini, yang menjabarkan tentang garis-garis besar sehubungan dengan pendidikan Katolik. Secara mendasar, ciri Katolik dari suatu sekolah Katolik nampak dalam konsep Kristiani tentang hidup yang terpusat pada Kristus. ((Sacred Congregation for Catholic Education, The Catholic School, 10)) Maksudnya adalah, Kristus menjadi pondasi dari kegiatan pendidikan di sekolah Katolik, dan Kristus memberikan arti yang baru bagi hidup dan membantu semua pihak yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar untuk mengarahkan diri mereka kepada Kristus, sesuai ajaran Injil. Sekolah-sekolah Katolik mempunyai tugas untuk melengkapi pembentukan Kristiani dari para muridnya. Tugas ini menjadi penting dewasa ini, karena tugas pembentukan anak-anak tidak lagi dapat secara memadai diberikan oleh keluarga dan masyarakat. ((Lih. The Catholic School, 12))

Maka Berikut ini adalah ciri-ciri khas sekolah Katolik, sebagaimana disebutkan oleh Tahta Suci ((lih. Archbishop J. Michael Miller CSB, The Holy See’s Teaching on Catholic Schools)), yaitu sekolah yang:

1. Diinspirasikan oleh visi adikodrati

2. Didirikan atas dasar antropologi Kristiani

3. Dihidupi oleh kesatuan persekutuan dan komunitas

4. Diresapi oleh pandangan Katolik di seluruh kurikulumnya

5. Didukung oleh kesaksian Injil

Paus Yohanes Paulus II di tahun 2004 pernah menyatakan bahwa adalah penting bahwa setiap institusi Katolik menjadi benar-benar Katolik, artinya semakin Katolik dalam pemahamannya dan semakin Katolik dalam identitasnya. ((Paus Yohanes Paulus II mengingatkan para Uskup Amerika dalam kunjungan ad limina, di tahun 2004)) Maka sekolah-sekolah Katolik, yang mengemban tugas penting dalam mewujudkan misi Gereja untuk memperkenalkan Kristus kepada dunia dan untuk menyampaikan Terang Kristus kepada semua orang, juga perlu untuk menjadi semakin menyadari dan memahami identitasnya.

Mari sekarang kita melihat apa yang memberikan identitas Katolik kepada suatu sekolah:

1. Diinspirasikan oleh visi adikodrati

Gereja tidak menganggap pendidikan sebagai suatu proses yang berdiri sendiri terpisah dari perjalanan iman seseorang agar mencapai tujuan akhir hidup manusia, yaitu Surga. Dalam terang inilah, Gereja menganggap bahwa pendidikan adalah suatu proses yang membentuk pribadi seorang anak secara keseluruhan dan mengarahkan mata hatinya kepada Surga. Maka tujuan pendidikan adalah untuk membentuk anak-anak agar dapat menjadi warga yang baik bagi dunia, dengan mengasihi Tuhan dan sesamanya dan memperkaya masyarakat dengan ragi Injil, dan yang kelak akan menjadi warga Kerajaan Surga. Dengan demikian, tujuan pendidikan terarah kepada pembentukan anak-anak agar mereka dapat  memenuhi panggilan hidup mereka untuk menjadi orang-orang yang kudus, yaitu untuk menjadi seperti Kristus. Visi Kristiani ini harus dimiliki oleh seluruh komunitas sekolah, agar nilai-nilai Injil dapat diterapkan sebagai norma-norma pendidikan di sekolah.

Maka sebagaimana sering diajarkan oleh para Paus (Yohanes Paulus II, Benediktus XVI, dan sekarang, Paus Fransiskus), adalah penting agar manusia di masa sekarang ini, diajarkan untuk menghargai martabat manusia, secara khusus dimensi rohaninya. Sebab dewasa ini terdapat kecenderungan banyak orang, baik pemerintah, atau mereka yang berkecimpung di dunia bisnis maupun media, yang menganggap pendidikan hanya sebagai sarana untuk memperoleh informasi yang dapat meningkatkan kesuksesan duniawi dan standar kehidupan yang lebih nyaman – itu saja. Nah, visi pendidikan yang sempit semacam ini, bukan visi pendidikan Katolik.

Kalau para pendidik, orang tua dan siapa saja yang mempersembahkan diri mereka dalam karya pendidikan Katolik itu gagal untuk memperhatikan visi adikodrati yang tinggi ini, yaitu untuk mengarahkan anak-anak didik mereka ke arah kekudusan, maka segala pembicaraan mereka tentang sekolah Katolik itu tidak lebih dari sekedar “gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.” (1 Kor 13:1)

Di tengah-tengah tawaran berbagai tokoh idola, entah itu dari film kartun, bintang film Korea, atau dari permainan kartu dari Jepang, sekolah-sekolah Katolik perlu memperkenalkan kepada anak-anak figur para Santo dan Santa, yaitu para tokoh teladan dalam Gereja Katolik, yang dapat mendorong anak-anak untuk juga hidup seperti mereka. Sebab pada dasarnya kita semua dipanggil oleh Allah untuk menjadi anak-anak-Nya, untuk mengenal, mengasihi dan melayani Dia, baik dalam kehidupan kita di dunia ini, maupun dalam kehidupan yang akan datang.

Secara khusus, dalam proses pendidikan di sekolah-sekolah Katolik, para murid perlu diajarkan untuk memilih dengan kesadaran dan kehendak yang bebas, untuk hidup sesuai dengan tuntunan ajaran imannya. Dalam suasana yang membangun iman ini, anak-anak dapat dibantu untuk menemukan panggilan hidupnya, sebab bukannya tidak mungkin, kehidupan panggilan hidup membiara dapat tumbuh sejak masa kanak-kanak dan remaja.

2. Didirikan atas dasar antropologi Kristiani

Penekanan kepada tujuan akhir kepada setiap anak didik, yaitu kepada kekudusan, akan mengakibatkan penghargaan yang mendalam akan kebutuhan untuk melengkapi anak-anak dalam segala segi, agar mereka semakin dapat bertumbuh sesuai dengan gambar dan rupa Tuhan (lih. Kej 1:26-27). Iman Katolik mengajarkan bahwa rahmat Allah menyempurnakan kodrat, “grace perfects nature“. Dalam hidup manusia ada kesatuan antara hal-hal yang sifatnya kodrati dan adikodrati. Maka penting bagi semua pendidik untuk mempunyai pemahaman akan kepribadian manusia yang utuh, baik ditinjau dari hal jasmani maupun rohani. Para pendidik perlu membentuk anak didik mereka agar mencapai kesempurnaan baik dari segi lahiriah maupun rohaniah.

Maka dalam proses pembentukan karakter anak di sekolah- yang melibatkan orang tua, guru, para staf pengajar, pengurus maupun komite- harus memahami apakah artinya manusia itu. Tentang hal ini Gereja mengajarkan:

2.1 Pendidikan Katolik berfokus kepada manusia secara keseluruhan

“Proses pendidikan ….. berfokus pada pribadi manusia dalam keseluruhannya, transenden, dalam identitas historisnya.  Dengan proyek pendidikan yang diinspirasikan oleh Injil, sekolah Katolik dipanggil menanggapi tantangan ini [yaitu kecenderungan anggapan bahwa pendidikan dikatakan harus terlepas dari agama], dengan keyakinan bahwa “hanya dalam misteri Sang Fiman yang menjadi manusia-lah, misteri manusia sungguh-sungguh menjadi jelas.” ((Sacred Congregation for Catholic Education, The Catholic School, 10))

Selanjutnya, dalam dokumen yang berjudul “Sekolah Katolik” (The Catholic School) tersebut , Kongregasi Tahta Suci menyatakan:

“Karena itu, sekolah Katolik berkomitmen untuk perkembangan manusia seutuhnya, sebab di dalam Kristus, manusia yang sempurna, semua manusia menemukan kepenuhannya dan kesatuannya. Di sini terletak secara khusus sifat Katolik dari sekolah itu. Tugas sekolah Katolik untuk menumbuhkan nilai-nilai manusiawi… dalam kesesuaian dengan misi khususnya untuk melayani semua manusia, mempunyai asalnya dari figur Kristus. Ia adalah Seseorang yang menghormati manusia, memberikan makna bagi hidup manusia, dan adalah teladan yang ditawarkan oleh sekolah Katolik kepada para muridnya. ((Sacred Congregation for Catholic Education, The Catholic School, 35))

2.2 Pendidikan Katolik menekankan hak-hak azasi manusia, martabat sebagai anak Tuhan, solidaritas dan kasih

“Dalam dunia yang beraneka ragam, para pendidik Katolik harus dengan sadar mendorong aktivitasnya dengan konsep Kristiani tentang pribadi manusia, dalam persatuan dengan Magisterium Gereja. Konsep itu termasuk konsep untuk mempertahankan hak-hak azasi manusia, tetapi juga menunjukkan bahwa pribadi manusia mempunyai martabat sebagai anak Tuhan. Konsep ini memberikan kemerdekaan yang sepenuhnya, [yaitu] dimerdekakan dari dosa oleh Kristus sendiri, melalui kasih. Konsep ini menghasilkan kepastian akan hubungan solidaritas di antara semua manusia; melalui sikap saling mengasihi dan komunitas gerejawi. Konsep ini mencanangkan pengembangan yang sepenuhnya dari semua yang bersifat manusiawi, sebab kita telah dijadikan penguasa dunia oleh Sang Penciptanya. Akhirnya, konsep ini memperkenalkan Kristus, Putera Allah yang menjelma dan Manusia yang sempurna, sebagai baik teladan maupun sarana. Bagi semua orang, meneladani Kristus adalah sumber yang tak pernah habis, untuk mencapai kesempurnaan pribadi maupun kesempurnaan kelompok.” ((The Sacred Congregation for Catholic Education, Lay Catholics in Schools: Witnesses to Faith, 18))

2.3. Sekolah Katolik bertugas menyatukan para muridnya dengan Kristus

Maka Gereja menekankan bahwa sebuah sekolah layak disebut Katolik, jika sekolah itu, yang didirikan di atas dasar Kristus Yesus Sang Penebus, mempersatukan Kristus dengan setiap muridnya. Kristus bukan sesuatu yang ditambahkan kemudian atau sebagai faktor tambahan dalam filosofi pendidikan dan kegiatan belajar mengajar di sekolah, tetapi menjadi pusat dan tonggak penyangga dari keseluruhan kehidupan di sekolah, sebagai terang yang mencerahkan bagi setiap murid yang datang ke sekolah (lih. Yoh 1:19).

Maka Injil Kristus dan Pribadi Kristus, adalah Sumber inspirasi dan Pembimbing bagi sekolah Katolik dalam setiap segi: filosofi pendidikan, kurikulum, kehidupan komunitas, pemilihan guru dan bahkan lingkungan fisik sekolah. Supaya dalam segala yang ada di sekolah itu dapat mengarahkan siapapun kepada Kristus. Adalah tugas pendidikan Katolik untuk menyampaikan Kristus kepada setiap murid, dan membentuk mereka agar menjadi semakin menyerupai Kristus.

3. Dihidupi oleh kesatuan persekutuan dan komunitas

Penekanan akan aspek komunitas di sekolah Katolik mengambil dasar dari kodrat sosial dan pribadi manusia dan kenyataan Gereja sebagai rumah dan sekolah bagi persatuan. Bahwa sekolah Katolik adalah komunitas pendidikan adalah salah satu dari perkembangan-perkembangan yang memperkaya bagi sekolah di masa sekarang ini.

3.1. Sekolah Katolik sebagai suatu komunitas iman untuk mewujudkan nilai-nilai Kristiani

“Deklarasi Gravissimum educationis menyatakan kemajuan yang penting tentang citra sekolah Katolik: suatu peralihan dari sekolah sebagai sebuah lembaga, menuju sekolah sebagai suatu komunitas. Dimensi komunitas ini, mungkin adalah hasil dari kesadaran akan kodrat Gereja sebagaimana dinyatakan oleh Konsili (Vatikan II). Dalam teks-teks Konsili, dimensi komunitas secara mendasar adalah konsep teologis…. di mana Gereja digambarkan sebagai umat Tuhan…” ((Congregation for Catholic Education, Religious Dimension of Education in a Catholic School, Guidelines for Reflection and Renewal, 31))

Paus Paulus VI mengatakan bahwa sekolah-sekolah Katolik harus dilihat sebagai “tempat bertemunya semua orang yang berkehendak untuk mewujudkan nilai-nilai Kristiani dalam bidang pendidikan”. ((Pope Paul VI, Allocution to the 9th Congress of the OIEC in, L’Osservatore Romano, June 9, 1974)) Dengan demikian, sekolah adalah sebuah komunitas dari para pribadi, komunitas yang asli tentang iman. Kesadaran akan sekolah sebagai sebuah komunitas iman, akan mempengaruhi suasana yang harus diusahakan di sekolah.

 

3.2 Sekolah Katolik harus merupakan sekolah dengan atmosfir kekeluargaan

“… Sekolah-sekolah dasar harus berusaha untuk menciptakan iklim komunitas sekolah yang menghasilkan, sedapat mungkin, atmosfir kehidupan keluarga yang hangat dan akrab. Karena itu, mereka yang bertanggungjawab untuk sekolah-sekolah ini akan melakukan segalanya yang dapat mereka lakukan untuk meningkatkan semangat kebersamaan untuk saling percaya dan spontanitas. Tambahan lagi, mereka akan memperhatikan untuk mendorong kolaborasi yang dekat dan konstan dengan para orang tua murid. Integrasi antara sekolah dan rumah adalah keadaan yang esensial bagi lahirnya dan perkembangan semua potensi yang dapat dinyatakan oleh anak-anak ini…. termasuk keterbukaan mereka terhadap agama dan segala sesuatu yang menjadi konsekuensinya.” ((Religious Dimension of Education in a Catholic School, 40))

3.3. Sekolah Katolik harus melibatkan para orang tua dalam proses pendidikan

Dengan demikian, semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan harus bekerjasama sebagai satu tim: para guru, kepala sekolah, bersama para orang tua, demi kebaikan bersama dan hak mereka untuk terlibat dalam tugas tanggungjawab mereka sebagai pendidik. Tahta Suci mendorong keterlibatan yang sepantasnya dari para orang tua dalam sekolah-sekolah Katolik. ((lih. The Catholic School, 21)) Para guru dan administrator sekolah harus lebih sering mendorong partisipasi orang tua. Kerjasama ini tidak saja untuk urusan masalah akademis anak-anak, dan turut memantau perkembangan mereka, namun juga untuk merencanakan dan mengevaluasi ke-efektifan misi sekolah tersebut.

3.4 Sekolah Katolik adalah sekolah yang menerapkan/ menekankan dialog yang wajar

Filosofi pendidikan Katolik selalu menekankan kepada hubungan timbal balik antara komunitas pendidikan di sekolah, secara khusus antara guru dan murid. Sebab di masa kanak-kanak dan remaja, seorang murid perlu mengalami adanya hubungan personal dengan para pendidiknya. Apa yang diajarkan oleh guru akan mempunyai efek yang lebih besar, ketika pengajaran itu ditempatkan dalam konteks keterlibatan pribadi, saling timbal balik yang tulus, sikap-sikap guru itu sendiri yang sesuai dengan apa yang diajarkannya, dan tingkah laku sehari-hari yang wajar. Maka kontak langsung dan personal antara para guru dan murid adalah suatu ciri khas sekolah Katolik. Demikian yang dikatakan dalam dokumen Kongregasi Pendidikan Katolik dari Vatikan:

“… Hubungan personal selalu berupa dialog dan bukan monolog, dan guru itu harus yakin bahwa hubungan sedemikian akan saling memperkaya. Tetapi misi tidak pernah boleh terlupakan: sang pendidik tidak dapat melupakan bahwa para murid memerlukan seorang pendamping dan pembimbing sepanjang waktu perkembangan mereka; mereka membutuhkan bantuan dari yang lain untuk mengalahkan keraguan dan kebingungan. Juga, hubungan dengan para murid harus merupakan gabungan antara hubungan yang dekat dan hubungan yang berjarak. Hubungan yang dekat membuat hubungan personal menjadi lebih mudah, tetapi jarak tertentu juga diperlukan. Para murid perlu belajar untuk mengekspresikan kepribadian mereka tanpa dikondisikan sebelumnya (pre-conditioned); mereka perlu dibebaskan dari rasa takut dihukum, dengan melaksanakan kebebasan mereka secara bertanggungjawab.” ((The Sacred Congregation for Catholic Education, Lay Catholics in Schools: Witnesses to Faith, 33))

Sekolah Katolik, merupakan perlindungan bagi pribadi manusia, baik murid maupun guru. Mereka mengusahakan hubungan yang pantas di antara mereka dalam proses belajar mengajar. Dengan cara inilah proses pembentukan karakter murid dapat berjalan dengan baik, sebab dimulai melalui hubungan personal antara kedua belah pihak. Dengan penekanan akan hubungan personal antara mereka yang terlibat dalam pendidikan di sekolah, maka sekolah menjadi kelanjutan dari suasana kekeluargaan di rumah. Dan dengan menerapkan prinsip-prinsip iman Katolik dalam hubungan personal ini, maka lingkungan tersebut dapat dikenali sebagai lingkungan sekolah Katolik.

3.5. Sekolah Katolik adalah komunitas pendidikan yang bercirikan Katolik

Melalui Inkarnasi, Kristus Sang Putera Allah menjelma menjadi manusia, Sabda menjadi daging. Ia menjalani setiap jengkal kehidupan sebagai manusia, dan dengan demikian meninggalkan suatu ‘meterai’ dalam setiap aspek dalam kehidupan Kristiani yang kita alami di dunia ini. Maka Inkarnasi mengajarkan kepada kita bahwa dunia ini merupakan alat yang dipilih Tuhan, untuk menyampaikan kehidupan-Nya kepada kita. Maka apa yang bersifat manusiawi dan kelihatan dapat mengandung apa yang ilahi. Demikianlah, sekolah Katolik juga harus dapat menunjukkan kehidupan sakramental ini. Dalam sekolah Katolik, perlu ditampilkan secara fisik dan kelihatan, semua tanda-tanda tradisi Katolik, melalui gambar-gambar, tanda, simbol, ikon, dan berbagai macam devosi. Sebuah kapel, ruang kelas dengan crucifix, tanda-tanda, dan perayaan, serta segala yang menggambarkan kehidupan gerejawi, termasuk seni rupa yang baik, harus nampak di sekolah. Tanda-tanda ini mengingatkan semua anggota komunitas akan fokus utama kegiatan belajar dan mengajar di sekolah, yaitu agar bersama-sama mencapai kekudusan.

Ciri Katolik ini juga ditampakkan oleh komunitas yang bersama berdoa, membaca Sabda Tuhan, yang mengambil bagian di dalam liturgi dan sakramen. Setelah dikuatkan oleh Kristus yang hadir di dalam doa, firman, liturgi dan sakramen, semua anggota komunitas dapat berusaha untuk bersama menerapkan ajaran Kristus, dan dengan demikian menjadi para saksi iman. Dijiwai oleh ajaran iman inilah maka baik para guru maupun sesama murid berusaha untuk saling membantu. Maka ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak hanya digunakan untuk kemajuan diri sendiri, tetapi untuk melayani dan saling bertanggungjawab satu sama lain. ((lih. The Catholic School, 14)) Dalam komunitas ini, saling menghargai berarti melayani Kristus yang hadir di dalam sesama, sehingga segala sesuatu yang dilakukan di sekolah bertujuan untuk juga memajukan kebaikan bersama ((lih. The Catholic School, 16))

4. Diresapi oleh pandangan Katolik di seluruh kurikulumnya

Ciri ke-empat ini adalah ciri yang ditekankan oleh Tahta Suci.Pendidikan iman Katolik harus menjiwai keseluruhan kurikulum dan bukan hanya dibahas pada saat pelajaran agama atau kegiatan pastoral di sekolah. Gereja menganjurkan pendidikan yang menyeluruh, yang menanggapi semua kebutuhan pribadi manusia. Untuk itulah Gereja mendirikan sekolah-sekolah Katolik, sebab di sanalah tempat istimewa untuk membentuk keseluruhan manusia, baik itu dimensi intelektualnya, psikologis, moral maupun religius.

Agar maksud pendidikan secara keseluruhan ini, maka pendidikan di sekolah Katolik harus secara terus menerus mengambil kekuatannya dari Injil, yaitu dari teladan Kristus itu sendiri. Banyak orang menyangka bahwa identitas pendidikan Katolik terletak dari kualitas ajaran religiusnya, pelajaran agama dan aktivitas pastoral. Namun sebenarnya, sekolah Katolik itu disebut Katolik, bahkan di luar program ajaran religius. Ciri katolik-nya nampak dari keseluruhan upaya untuk mendidik muridnya secara keseluruhan, untuk mencapai kesempurnaannya secara kodrati maupun adikorati. Maka pendidikan tidak hanya mengejar kepandaian intelektual, tetapi juga kebajikan moral, untuk mempersiapkan para murid kepada kehidupan yang penuh untuk melayani sesama, dan untuk kehidupan setelah kehidupan di dunia ini.

Memang pihak Vatikan tidak menentukan dokumen yang menyebutkan tentang “lesson planning” atau berbagai mata pelajaran yang disarankan, ataupun metodologi yang diterapkan. Namun Tahta Suci memberikan prinsip dan tolok ukur yang mendorong penentuan isi kurikulum, agar para murid dapat diarahkan kepada pendidikan yang menyeluruh. Berikut ini adalah aspek yang penting, yaitu: 1) prinsip kebenaran dan 2) integrasi antara iman, kebudayaan dan kehidupan.

4.1 Mencari Kebijaksanaan dan Kebenaran

Sekolah Katolik perlu mengupayakan agar tidak hanya menyampaikan informasi kepada para murid yang pasif. Para pendidik perlu mengajarkan kebijaksanaan, mendorong para murid untuk bersikap aktif, mempunyai hasrat untuk belajar sehingga mereka menemukan suka cita dalam proses belajar, mereka menjadi ‘senang belajar’.

Dalam proses belajar mencari kebijaksanaan, Gereja mengajarkan bahwa manusia, walaupun terbatas dalam banyak hal, tetap mempunyai kapasitas untuk sampai kepada pengetahuan akan kebenaran. Keyakinan akan kebenaran ini sangatlah penting untuk ditekankan di sekolah. Tidak seperti orang-orang yang skeptik dan relativistik, para pendidik Katolik perlu menyampaikan tentang keyakinan akan kebenaran: yaitu bahwa kita -walaupun secara terbatas namun tetap nyata- dapat mengejar, mencapai dan menyampaikan kebenaran. Sekolah Katolik mengemban tugas yang penting untuk membebaskan para muridnya dari akibat-akibat yang membahayakan terhadap apa yang disebut oleh Paus Benediktus XVI sebagai “dictatorship of relativism” (pemaksaan paham relativisme), sebuah pemaksaan yang melumpuhkan hakekat pendidikan yang murni. Maka para pendidik juga perlu memiliki di dalam diri mereka sendiri, dan mendorong para muridnya untuk mencari kebenaran, yang mengalahkan paham relativisme dalam hal moral maupun budaya. Anak-anak harus dididik di dalam kebenaran, sehingga mereka mampu membuat keputusan yang benar dan bijaksana, meskipun di sekeliling mereka melakukan hal yang keliru secara moral, menurut ajaran Injil Kristus.

Pendidikan Katolik menganggap ilmu pengetahuan sebagai kebenaran untuk ditemukan. Penemuan dan kesadaran akan kebenaran memimpin manusia kepada penemuan akan Sang Kebenaran, itu sendiri. Maka walaupun sekolah-sekolah Katolik menyampaikan kurikulum yang disyaratkan, namun mereka mengimplementasikannya dengan keseluruhan perspektif religius. Perspektif ini termasuk kriteria seperti keyakinan akan kemampuan kita mencapai kebenaran, walau dalam cara yang terbatas- keyakinan yang berdasar akan iman dan bukan atas dasar perasaan, dan kemampuan untuk membuat penilaian akan sesuatu yang benar, dan sesuatu yang salah. Keyakinan semacam ini harus ada dalam sekolah-sekolah Katolik.

4.2. Integrasi iman, budaya dan kehidupan

Prinsip penting yang kedua, yang berlangsung sejak zaman para rasul sampai sekarang adalah bahwa umat beriman harus berperan dalam mengubah budaya dalam terang Injil. Sekolah-sekolah harus mempersiapkan para murid untuk menghubungkan iman Katolik dengan budaya mereka dan untuk menghidupi imannya itu dalam perbuatan.

“Dari hakekat sekolah Katolik, juga memancar satu dari elemen-elemen yang paling penting untuk proyek pendidikannya: sintesis antara budaya dan iman. Sungguh, pengetahuan yang diletakkan di dalam konteks iman menjadi kebijaksanaan dan visi kehidupan. Usaha untuk menggabungkan akal budi dan iman, yang telah menjadi inti dari setiap mata pelajaran, menciptakan persatuan, artikulasi dan koordinasi, yang menghasilkan dalam apa yang dipelajari di sekolah, sebuah visi Kristiani tentang dunia, kehidupan, budaya dan sejarah. Dalam proyek pendidikan di sekolah Katolik, tidak ada pemisahan antara waktu belajar dan waktu membentuk karakter, antara mendapatkan pengetahuan dan bertumbuh dalam kebijaksanaan. Berbagai mata pelajaran di sekolah tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai untuk diperoleh dan kebenaran-kebenaran untuk ditemukan. Semua ini menuntut atmosfir yang ditandai dengan pencarian kebenaran, yang di dalamnya para pendidik yang kompeten, yakin dan koheren, para guru pelajaran dan guru kehidupan, menjadi cerminan, walaupun tidak sempurna, namun tetap jelas, dari Sang Guru yang satu. Dalam perspektif ini, dalam proyek pendidikan Kristiani, semua tokoh yang bekerjasama, masing-masing menurut bagiannya yang khusus, untuk pembentukan pribadi-pribadi yang dewasa” ((Congregation for Catholic Education, The Catholic School on the Threshold of the Third Millennium, 14))

Sekolah-sekolah membentuk para murid, di dalam budaya mereka di mana mereka mengajarkan penghargaan akan elemen-elemen positifnya dan berusaha membantu mereka untuk memajukan selanjutnya inkulturasi Injil di dalam keadaan mereka sendiri. Namun demikian, mereka, selayaknya menurut umur para murid, menjadi kristis dan evaluatif. Iman dan budaya secara erat berhubungan, dan para murid harus diarahkan, denga cara yang cocok/ sesuai dengan perkembangan tingkat intelektualnya, untuk menangkap pentingnya hubungan ini. Kita harus selalu mengingat bahwa iman tidak untuk diidentifikasikan dengan budaya apapun, dan iman harus tidak tergantung oleh semua budaya, tetapi iman harus menginspirasikan setiap budaya.

Maka sekolah Katolik menjadi tempat di mana terdapat keharmonisan iman, budaya dan kehidupan. Yang menjadi pusat dalam sekolah Katolik adalah misinya akan kekudusan, untuk menjadikan para muridnya sebagai orang-orang yang kudus. Sekolah Katolik bertujuan membentuk para muridnya dalam kebajikan-kebajikan yang memampukan mereka hidup di dalam Kristus dan membantu mereka untuk memainkan peran mereka untuk membangun Kerajaan Allah, sesuai dengan tanggung jawab yang mereka terima melalui Sakramen Baptis.

Di samping pentingnya penerapan prinsip pendidikan Katolik di seluruh kurikulum secara terintegrasi, adalah penting dan mendasar bagi sekolah Katolik untuk memberikan ajaran agama dengan baik. Pendidikan iman merupakan bagian yang penting dan menentukan baik tidaknya sekolah Katolik. Bagi anak-anak, ajaran ini merupakan pengetahuan iman namun juga penerapannya dalam kehidupan. Namun sekali lagi, pendidikan agama bukan hanya satu-satunya yang menentukan ciri sekolah Katolik. Pandangan yang hanya membatasi pendidikan iman Katolik dengan pelajaran agama Katolik, menyuburkan kesalahpahaman bahwa iman dan kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang terpisah, dan bahwa agama hanya merupakan urusan pribadi pada waktu-waktu tertentu saja, yang tidak memberikan kewajiban moral yang terus berlaku di dalam kehidupan sehari-hari.

5. Didukung oleh kesaksian Injil

Akhirnya, identitas sekolah Katolik ditentukan juga oleh peran yang vital/ sangat penting dari para gurunya. Pada pundak mereka, baik secara pribadi maupun bersama-sama, terletak tanggungjawab untuk menciptakan iklim sekolah Kristiani. Maka Tahta Suci menekankan bahwa panggilan sebagai guru adalah suatu panggilan, bukan hanya sekedar profesi atau pekerjaan. Sebab dengan melakukan panggilan ini, seorang guru mengambil bagian dalam misi Gereja untuk mendidik generasi penerusnya.

Dengan kata lain, mereka yang Katolik dan terlibat di dalam sekolah-sekolah Katolik, harus menghayati pekerjaannya sebagai pemenuhan panggilan hidupnya. Berikut ini adalah beberapa ciri yang semestinya dimiliki oleh seorang guru di sekolah Katolik:

5.1. Seorang Katolik yang melaksanakan imannya, yang mempunyai ketaatan kepada Gereja dan menghidupi kehidupan sakramental Gereja.

Guru-guru yang mempunyai pemahaman yang jelas dan tepat tentang hakekat dan peran pendidikan Katolik, sangatlah diperlukan. Maka pemilihan guru-guru Katolik dengan cermat juga akan memajukan katolisitas sekolah tersebut. Guru-guru Katolik yang mengenali imannya dan melaksanakannya dalam kehidupan mereka, merupakan saksi iman yang diperlukan oleh Gereja untuk pendidikan Katolik.

Kesetiaan terhadap maksud pendidikan sekolah-sekolah Katolik mensyaratkan sikap yang kritis dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, agar terus memeriksa diri, kembali ke prinsip-prinsip dasar dan kepada hal-hal yang mendorong keterlibatan Gereja dalam hal pendidikan. ((The Catholic Church, 18)) Artinya, agar seseorang dapat menjadi seorang guru yang baik di sekolah Katolik, ia pertama-tama harus mempunyai visi rohani, yang mampu melihat tugas-tugasnya sebagai guru adalah jalan yang dipilihnya untuk melaksanakan imannya, dalam kesatuan dengan Gereja untuk memperkenalkan Kristus kepada anak-anak didiknya dan mengarahkan anak-anak didiknya kepada Kristus.

5.2. Seorang yang dapat menjadi teladan dalam hal iman, kebajikan dan kasih

Untuk memajukan pandangan Katolik di seluruh kurikulum, bahkan dalam mata pelajaran yang sekuler, maka teladan para guru dan para pendidik menjadi sangat penting. Kesaksian iman para pendidik di komunitas sekolah memainkan peran yang sangat vital bagi identitas sekolah. Anak-anak lebih cepat meniru dari teladan, daripada dari teknik-teknik yang diajarkan, terutama dalam mempraktekkan kebajikan Kristiani. Para pendidik diharapkan menjadi teladan bagi para murid dengan menjadi saksi Injil. Maka benarlah perkataan Paus Paulus VI, “Orang modern lebih mau mendengarkan para saksi iman daripada para pengajar, dan jika mereka mendengarkan para pengajar, itu disebabkan karena mereka adalah para saksi iman.” ((Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, 41)) Dalam pendidikan Katolik, pesan Kristiani yang disampaikan tidak tergantung dari mata pelajaran atau metodologi yang dipergunakan, tetapi oleh para guru itu sendiri, yaitu bagaimana di dalam diri mereka para murid dapat melihat bagaimana ajaran iman diterapkan dan menjadi satu dengan kehidupan sehari-hari. ((lih. The Catholic School, 11))

Jadi apa yang dilakukan oleh para guru dan bagaimana mereka bertindak menjadi sangat penting daripada apa yang mereka katakan, baik di luar maupun di dalam kelas. Demikianlah caranya Gereja melakukan evangelisasi. Semakin sempurnanya seorang pendidik dapat memberikan kesaksian yang nyata tentang teladan Kristus kepada para muridnya, semakin contoh ideal ini dipercaya dan ditiru. Maka, jika para guru gagal untuk menjadi teladan kesetiaan kepada kebenaran dan kebajikan, bahkan kurikulum yang terbaik sekalipun tidak akan dapat menghasilkan ethos yang baik bagi sekolah Katolik tersebut.

5.3. Seseorang yang menjalankan semangat Injil: berpihak kepada yang lemah

Sesuai dengan semangat Injil untuk berpihak kepada yang lemah dan miskin, sekolah-sekolah Katolik juga dipanggil untuk mengambil bagian dalam semangat ini, yang perlu nampak pula dalam sikap para gurunya. Seorang guru yang baik tidak memusatkan perhatian hanya kepada anak-anak yang pandai, tetapi justru kepada anak-anak yang kurang pandai, yang bermasalah di sekolah, karena kurang mendapat perhatian dan kasih dari keluarganya, atau mereka yang jauh dari imannya. ((lih. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis, 8)) Sejujurnya, peran para guru sangatlah besar untuk mendukung mereka yang lemah ini, dan bahkan berperan untuk mengubah sikap dan karakter anak-anak yang sedemikian agar mereka kembali mempunyai rasa percaya diri, mempunyai semangat belajar, dan bersikap positif menghadapi kehidupan. Anak-anak seperti ini, yang oleh pertolongan gurunya dapat mengejar ketinggalannya dan meraih prestasi, tidak akan pernah melupakan pengorbanan gurunya seumur hidupnya. Demikian juga, adalah suatu suka cita yang besar di pihak sang guru, karena dengan bertindak demikian, ia sungguh telah mengambil bagian dalam menampakkan kasih Kristus, yang selalu memihak kepada yang lemah dan miskin.

5.4. Seseorang yang menjalankan tugas panggilan sebagai guru dengan suka cita!

Injil adalah Kabar Gembira, maka adalah wajar bahwa tugas mewartakan Injil selayaknya dilakukan dengan gembira. Kristuslah sumber suka cita kita, Dia-lah yang menyertai dan mengerjakan di dalam kita, pekerjaan-Nya untuk membimbing anak-anak didik kita. Rasul Paulus mengajarkan: “Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu bagik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia…. Dan kamu juga harus bersukacita…“ (Flp 2:14-15,18)

Marilah kita melakukan tugas panggilan kita dengan suka cita, agar kita dapat meneruskan terang Kristus kepada dunia di sekitar kita.

Kesimpulan

Tahta Suci melihat bahwa sekolah-sekolah Katolik merupakan sarana yang tak tergantikan untuk melanjutkan misi Gereja di milenium yang ketiga ini. Adalah tantangan Gereja untuk menentukan identitas Katolik dalam sekolah-sekolah ini. Sekolah-sekolah Katolik dapat berperan membantu peran para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka. Sekolah-sekolah ini harus terbuka untuk semua, untuk membangun komunitas umat beriman, untuk meng-evangelisasi budaya dan melayani kepentingan bersama dalam masyarakat.

Anak-anak perlu diajarkan untuk mengenali keberadaan dan kebesaran Tuhan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Kesadaran ini akan membentuk karakter anak sebagai seorang yang menghargai kebaikan Tuhan dan campur tangan-Nya mengatur dan menyelenggarakan kehidupan mahluk ciptaan-Nya, sehingga kelak mereka akan terdorong untuk melestarikannya, ataupun menyikapinya dengan penuh tanggungjawab demi kesejahteraan manusia dan seluruh mahluk ciptaan lainnya. Akhirnya,  kesadaran akan kebaikan dan kasih Tuhan ini mendorong anak-anak untuk membalas kasih Tuhan dan mengasihi sesama. Dengan hidup dalam kasih yang dijiwai oleh iman inilah, anak-anak mengarahkan hati mereka kepada tujuan hidup yang sesungguhnya, yaitu Sorga.

38 COMMENTS

  1. Bicara masalah pendidikan katolik, keponakan saya yang tinggal di San Francico sedang mengalami dilema, masalah pendidikan disekolah katolik yang biaya nya mahal, untuk bisa menyekolah kan 2 anak di sekolah katolik tidak mampu karena hanya kepala keluarga yg kerja sedang istri harus mengurus anak2 ini.
    Sangat disayangkan mereka harus pndah tempat tinggal untuk mendapatkan public school ( sekolah tanpa biaya )yang baik untuk anak2 mereka sedangkan public school sangat beda dalam ajaran dengan sekolah katolik.
    Mereka sendiri sangat menyayangi kalau sampai harus memindahkan anak2 ke public school, tapi tidak ada jalan lain, padahal anak nya ( 9thn ) akan terima komuni pertama dan sedang diajarkan untuk terima sakramen tobat dan sangat antusias dengan semua kegiatan gereja di sekolah nya.
    Anak ke dua ( 3thn ) akan mulai masuk preschool.
    Persoalan lain juga karena apartemen tempat tinggal sekarang sangat kecil untuk keluarga dengan 2anak.

    [Dari Katolisitas: Demikianlah memang pergumulan yang mungkin umum dihadapi oleh keluarga-keluarga Katolik di Amerika. Maka dalam hal ini, pentinglah peran orang tua untuk menyampaikan pendidikan iman Katolik kepada anak-anaknya. Namun sesungguhnya, di Amerika juga terdapat cukup banyak sarana yang memperkenalkan ajaran iman Katolik. Terdapat banyak stasiun radio, program televisi Katolik (contohnya EWTN) dan juga kegiatan gerejawi anak-anak di paroki. Mungkin adik Anda dapat menghubungi parokinya, membicarakan hal ini dengan DRE (director of religious education) di paroki tersebut, dan sama-sama mengusahakan dan mengadakan program pendidikan iman Katolik bagi anak-anak, yang dikemas sedemikian agar menarik dan efektif?]

  2. pengasuh katolisitas yang terkasih. bagaimana bila ada kenyataan bahwa sekolah katolik (yayasan katolik milik keuskupan) tidak mau mengangkat guru agama katolik, dengan alasan, “semua guru yang telah dibaptis kan bisa mengajar agama katolik, maka tidak perlu guru agama katolik khusus”. saya sangat menyayangkan kenyataan ini, karena notabene seorang Romo kok tidak menghormati profesi guru agama katolik, dan menganggap remeh pelajaran agama katolik. mau jadi apa anak-anak katolik yang sekolah di yayasan tersebut ke depan? trimakasih.

    • Shalom John,

      Terima kasih atas pertanyaannya. Sebenarnya untuk mengajar agama Katolik di sekolah Katolik, maka diperlukan seorang Romo, suster, atau guru yang Katolik. Kalau yang mengajar bukan Katolik, maka sungguh sulit untuk menerangkan kepada anak didik tentang beberapa hal yang berbeda, seperti tentang sakramen dan ekklesiologi. Dan yang paling sulit adalah menimbulkan sikap kepada anak-anak, bahwa ternyata tahu tentang iman Katolik tidak berarti menjadi Katolik, yang dibuktikan dari guru non-Katolik yang mengajar agama Katolik. Dan hal ini menjadi tidak baik untuk perkembangan rohani anak-anak. Silakan mendiskusikan hal ini dengan yang berwenang dalam suasana kasih dan jangan emosi. Semoga berhasil.
      Kalau Anda mau, silakan memberikan informasi tentang nama keuskupan, nama yayasan, di kota mana, serta informasi terkait ke katolisitas@gmail.com]

      Salam kasih dalam kasih Tuhan,
      stef – katolisitas.org

    • Sebenarnya era sekarang ini, untuk mengajar agama tidak harus suster, atau romo. Menurut hemat saya, banyak awam yang berkualitas untuk mengajar. Masalahnya mau atau tidak. Memang untuk mengajar katekese dibutuhkan suatu kualifikasi tertentu, tidak hanya orang itu sudah dibaptis. Banyak orang dibaptis, tetapi tidak tahu apa-apa. Imannya merasa sudah aman, karena sudah bisa doa, dan menghadiri Misa setiap minggunya. Yesus pun tidak menghendaki iman yang seperti itu.

      Mudah-mudahan romo itu mau membuka hati, bahwa untuk mendidik ajaran agama, dibutuhkan sedikit pengetahuan yang lebih, agar ia dapat menanamkan iman kepada anak-anak dengan benar.

      Jika romo seperti itu, kita juga tidak tahu apa yang diharapkan dari sikap romo yang menurut “sembrono” dalam masalah iman anak-anak. Semoga Tuhan membukakan jalan bagi romo itu.

      Salam dan doa

      [Dari Katolisitas: Mari mendoakan, namun tidak perlu memberi cap apapun terhadap Romo tersebut.]

  3. Yth pak Jack Bu’ulolo,

    Memang kita merasa bangga menjadi bagian dari umat beriman yang memperoleh pendidikan iman Katolik. Kita boleh bersyukur untuk itu, tetapi pendidikan iman Katolik di masa depan menurut hemat saya perlu diberi tanda tanya. Secara sederhana, dalam pertemuan-pertemuan lingkungn, saya sering bertanya “apakah sumber-sumber iman Katolik” itu. Hampir semuanya-sekali lagi semuanya tidak mampu menjawabnya. Walau pun di antara mereka ada yang sudah puluhan tahun menjadi Katolik.

    Banyak umat beriman sudah puas dengn bisa berdoa rosario dan pergi ke Misa setiap minggunya. Pemahaman-pemahaman iman Katolik lainnya seolah tidak perlu-perlu amat. Inilah kesan saya di lingkungan saya tinggal.

    Dengan demikian, bagaimana kita akan mendidik anak-anak dengan baik, kalau tingkat pemahaman spiritualitas keimanan Katoliknya juga terbatas. Quo vadis sekolah Katolik?.

    Uraian-demi uraian telah disampaikan dalam http://www.katolisitas.org, dan memang bagus sekali. Tapi apakah para pemilik yayasan dan para pendidik Katolik juga rajin berselancar di dunia maya untuk memperoleh tambahan iman, tidak tahu juga.

    Demikian sekilas komentar atas tulisan pa Jack B.

    Salam dan doa.

  4. Sebaiknya seluruh sekolah Katolik memberikan dan menerapkan mata pelajaran wajib :
    1. Ilmu2 pengetahuan umum spt matematika, ilmu sosial dll.
    2. Pendalaman akan iman Katolik. Sejarah gereja & perkembangannya.
    3. Apological/pembelaan iman yg berisi isu2 yg memojokan iman Katolik dgn jawaban & solusi.

    Ini sangat krusial sebagai benteng : ilmu pengetahuan , iman.

    Syalom…..

  5. [Dari Katolisitas: Nampaknya ada banyak hal yang perlu dibicarakan secara terbuka antara pihak sekolah dan pihak orang tua, terutama juga dalam hal keuangan, agar kecurigaan negatif semacam ini tidak terjadi. Sejujurnya memang diperlukan dana yang tidak sedikit sebagai biaya operasional sebuah sekolah Katolik. Namun demikian, harus selalu diupayakan agar sekolah Katolik tetap dapat menjalankan misinya sebagai sekolah yang tidak komersiil, yang juga mempunyai perhatian untuk menjangkau murid-murid yang dari keluarga yang kurang mampu secara finansial.]

    Menanggapi jawaban dari Tim Katolisitas mengenai Kecurigaan negatif ini, menurut saya sudah bukan kecurigaan lagi tapi sudah kasat mata.
    Di kota saya (Palembang) Yayasan pendidikan Katolik yang sangat terkenal baru saja mendirikan gedung Yayasan yang sangat megah, dan saya yakin biaya pembangunannya sangat mahal. Sedangkan masih banyak sekolah2 yang bernaung dibawah yayasan tersebut yang kondisi gedung, sarana dan prasarananya amburadul. Miris…padahal yayasan tersebut dipimpin oleh seorang Pastur..

    [Dari Katolisitas: Silakan menyampaikan uneg-uneg ini langsung kepada Pastor yang bersangkutan, tentu dengan motivasi kasih, dan kesediaan untuk mendengarkan. Semoga Anda mendapat informasi yang ingin Anda ketahui, dan Anda dapat juga menyampaikan masukan Anda demi kebaikan bersama.]

    • Yth Bapak Alwi,

      Saya sependapat dengan bapak Alwi bahwa pendidikan Sekolah Katolik seyogyanya melibatkan banyak pihak termasuk hirarki Gereja sendiri. Sebab hal ini menyangkut pendidikan iman serta moral. Pengajaran saja gampang, tetapi mendidik tidaklah mudah. Pendidikan tidak semata-mata menfokuskan pada masalah penalaran, tetapi juga mengarahkan hati kepada anak didik. Anak didik perlu dibekali tidak hanya kepintaran (logika=nalar), tetapi juga masalah hati (emosi). Sekolah tidak boleh hanya mengejar “bisnis”, saja (industri sekolah/komersialisasi sekolah), tetapi juga menjadikan anak didik menjadi manusia-manusia yang punya hati. Anak didik harus diberi “hati”, agar mereka nantinya menjadi manusia yang berhati baik.

      Demikian sedikit komentar dari saya.

      Jus

  6. Pak Stef & Ibu Inggrid.
    Saya mohon izin dari Bapak dan Ibu untuk mensharekan isi tulisan ini di FB Paroki saya.

    [Dari Katolisitas: Boleh saja, dan kami mohon agar dicantumkan, dikutip dari http://www.katolisitas.org. Terima kasih.]

  7. Halo Katolisitas,

    Saya sharingkan bagaimana perjalanan iman saya sejak sekolah di persekolahan katolik sebelumnya hingga kini:

    Tidak kebetulan dari sejak umur 10 tahun saya sudah tinggal di Asrama Persekolahan Katolik Nyarumkop di Singkawang Kalimantan Barat. Di umur yang muda saya sudah mendapat pengajaran bagaimana seharusnya menjadi seorang katolik yang taat lewat tempaan di asrama maupun sekolah. Tentunya sebagai seorang yang muda saya sangat sulit menyesuaikan diri dengan teman-teman yang lainnya dan sering diolok-olok.

    Masa yang saya rasakan itu berangsur-angsur berubah tahun demi tahun selama pendidikan SMP sampai SMA. Perilaku dan pemikiran berubah melalui proses panjang sampai di asrama kami menjadi anak yang nakal dan agak bandel.

    Setamat SMA saya melanjutkan kuliah keperawatna di salah satu lembaga gereja protestan CBI(conservative Baptist International). di sana sebagai anak kuliah saya tinggal di asrama dan dididik secara protestan selama 3 tahun full di asrama dan 2 tahun bekerja dan masih terkadang diwajibkan ke kapel RS tempat itu. Saya ikut mengajar sekolah minggu, kesaksian di gereja sampai menjadi panitia di gereja baptis itu.

    Saya sering mendengarkan khotbah pendeta yang bertubi-tubi “menyerang” dan mengkritik ajaran Katolik. Saat itu entah apa yang saya rasakan seolah-olah selama 6 tahun ditempa di persekolahan katolik sebelumnya terasa “tidak ada benarnya”. Saya terus mengingat kembali pelajaran2 sebelumnya sewaktu di persekolahan Katolik tapi saya merasa ada yang kurang. Sebenarnya di persekolahan Katolik di mana saya belajar sebelumnya bisa dikatakan sudah mengajarkan dasar-dasar iman katolik itu sendiri. Yang saya pikir waktu itu adalah cukuplah menerima yang ada tetapi selebihnya belajar dan bertanya banyak kepada pastor dan guru yang membidangi itu. karena terus terang ajaran katolik kalau mau diajarkan semua itu sangat panjang dan tebal. sementara siswa juga berpacu dan harus mampu mempelajari pelajaran yang lain untuk bersaing meningkatkan prestasi pada bidang lainnya juga. itu yang saya pahami sebelumnya.

    Saya mulai berfikir pasti ada yang tidak saya pahami mengenai katolisitas seutuhnya sehingga pikiran saya selalu banyak bertanya tentang banyak hal dan mentok pada pemikiran kok yang protestan ini nampak benar..

    Saya bersyukur di saat situasi saat itu Allah menguatkan saya untuk tetap kembali kepada Injil dan gereja Katoliklah tempatnya. Ada beberapa teman Katolik yang akhirnya melepaskan kekatolikannya di sana.

    Sekarang saya dikuatkan kembali dengan membaca situs katolisitas ini dalam memahami lebih jauh yang menjadi kehendak dan kepenuhan Allah hanya dalam gereja katolik.

    Demikian sharing saya pribadi mungkin tidak secara langsung berkaitan dengan topik yang dutulis di atas.

    Salam Saya
    Wilfirmus

    • Sdr. Wilfirmus,

      Organisasi Gereja Katholik itu besar sekali. Saking besarnya, sehingga tubuh organisasi itu sulit untuk bergerak. Berbeda dengan organisasi gereja yang kecil, dengan lincahnya dia bergerak.

      Menurut hemat saya bahwa setelah seseorang ini menerima Sakramen Baptis dan Sakramen Chrisma (Penguatan), seolah Gereja itu diam saja. Karena mereka ini sudah dianggap dewasa. Krena sudah dewasa, kita diminta untuk meneruskannya sendiri untuk menumbuhkembangkan sendiri.

      [Dari Katolisitas: Tetapi sesungguhnya memang adalah tanggung jawab kita bersama (baik awam maupun kaum tertahbis) sebagai Gereja, untuk sama-sama mengusahakan pertumbuhan iman kita, sehingga tidak terkesan bahwa Gereja itu ‘diam saja’.]

      Oleh karena itu, yang namanya mencari kebenaran, tidak pernah ada habisnya. Kita harus terus-menerus mencari dan menggali sendiri seluruh kekayaan gerejawi itu. Oleh karena itu pula, Gereja membuka evangelisasi, atau KEP, Sekolah Kitab Suci,dll, dimaksudkan agar umat beriman menyadari akan pentingnya menumbuhkembangkan keimanan kita. Suka atau tidak suka, bahwa kebanyakan iman kita itu’suam-suam kuku’. Seharusnya kita memiliki iman yang dibangun di atas ‘batu karang’. Ini yang tidak dilakukan oleh umat beriman lainnya, sehingga mereka itu begitu mudah pindah dari agama yang satu kepada agama yang lain, walau itu memang ‘hak mereka” dalam kerangka ‘kehendak bebasnya.

      Saya percaya kepada kotbah Yesus di bukit yang mengatakan:”Berbahagialah yang mencari kebenaran, karena ia akan dipuaskan’. Apakah kita masing-masing sudah melaksanakn perintah itu?”.
      Kita semua akan memetik hasilnya, kalau kita sungguh-sungguh mengimani bahwa Sabda Yesus adalah Sabda Kebenaran (Yoh. 14.6).

      Demikian sedikit komentar atau tambahan akan kesaksian Anda. God bless you.-

  8. Ya memang, saya berasal dari sekolah non katolik dari sd sampai sma sangat menyedihkan keadaannya, di mana sekarang remaja-remaja yang lepas dari sekolah Katolik menjadi hidup tidak sesuai dengan nilai-nilai dan iman ajaran Katolik. Bahkan, banyak juga diantaranya yang meninggalkan iman Kristiani dan hal ini juga sangat menyedihkan hati kudus Yesus. Oleh karena itu, bagi Para Pastor, Suster, Bruder, dan pengurus Lembaga Pendidikan Katolik untuk memikirkan tentang hal pelajaran Religiositas apakah itu cukup untuk pemahaman iman murid ? Memang, religiositas menanamkan nilai nilai solidaritas dan toleransi beragama tapi kembali lagi ke prinsip Pendidikan Katolik di mana harus menyatukan murid dengan Kristus. Saya kira akan lebih baik jika Pelajaran Agama yang murni Katolik serta yang secara detail menjelaskan tentang nilai-nilai iman kristiani tanpa mengabaikan pentingnya nilai-nilai toleransi. Dengan demikian, murid dapat menjadi saksi Kristus yang baik dengan memiliki kualitas iman yang tahan uji di masyarakat.

    Terimakasih atas topik yang sangat brillian ini

  9. Saya sejak kecil sampai sekarang bersekolah di sekolah katolik, dan menurut saya ada beberapa hal yang membuat sekolah katolik menjadi kurang katolik :

    1. Pelajaran agama katolik yang ditiadakan dan digantikan dengan pelajaran religiusitas (sejak SMP dan SMA). Dengan pelajaran religiusitas ini, siswa tidak hanya diajarkan tentang agama katolik, tetapi juga agama-agama lain yang ada di Indonesia. Sayangnya, hal yang diajarkan hanyalah kulit luarnya saja (misalnya siapa pendirinya, bagaimana cara mereka berdoa, apa kitab sucinya dst). Kekurangan dari pelajaran religiusitas ini adalah siswa/i katolik tidak memahami ajaran iman katoliknya sendiri (bahkan di sekolah saya tidak pernah disinggung apa itu transubtansiasi, makna Ekaristi, Misa, Ajaran tentang Maria, dst). Bahkan ada juga teman saya yang berkata bahwa Yesus itu bukan Allah, tetapi Tuhan, Allah itu maksudnya adalah Bapa. Bagaimana mungkin siswa katolik dapat memiliki pemahaman yang keliru seperti ini?

    Kekurangan lainnya dari pendidikan religiusitas ini adalah, besarnya potensi menumbuhkan indiferentisme dan relativisme (semua agama itu sama saja, sama2 mengarah pada satu tujuan yaitu Allah, sama benarnya, sama2 menyelamatkan), padahal kenyataannya tidak demikian.

    Memang bahwa siswa katolik juga wajib mengikuti pendalaman iman selama 1-1,5 jam. Sayangnya saya tidak begitu mengingat materi2 yang pernah dibahas dalam pendalaman iman tersebut. Namun, alangkah baiknya bila para siswa diajarkan pemahaman iman yang lebih esensial sesuai dengan dokumen resmi Gereja, walaupun saya juga yakin tentu sulit untuk mempermudah penyampaian materi tersebut sesuai dengan ukuran anak SMP atau SMA. DIperlukan peningkatan kualitas para guru agama bila iman para siwa hendak dibentuk secara berkualitas.

    2. Kurangnya praktek2 yang menunjukkan budaya yang khas katolik, misalnya :

    ~ Tidak adanya doa Angelus pukul 12 siang (di SMP dan SMA,padahal menurut saya, hal ini sangat diperlukan).

    ~ Tidak adanya adorasi Ekaristi bagi para guru dan siswa, yang ada hanyalah setiap hari Jum’at para siswa dan guru diwajibkan untuk menghadiri Misa. (Hal ini ada pada SMP dan SMA saya. NB :Jalan Salib tetap diadakan)

    ~ Tidak adanya pengakuan dosa yang teratur (misalnya sebulan sekali). Pengakuan dosa hanya diadakan menjelang Natal dan Paskah. Keheranan saya lainnya adalah, siswa juga tidak diperkenalkan dengan pemeriksaan batin sebelum mengaku dosa.

    3. Tidak adanya sex education yang berdasarkan pada ajaran Gereja. Seingat saya selama SMA saya tidak pernah mendengar adanya pembahasan topik2 seperti chastity, modesty, relationship and dating, how to overcome pornography and masturbation ,dst. Padahal hal tersebut merupakan isu2 yang dihadapi oleh remaja sekarang, mengingat bahwa sejak usia SMP pun remaja sudah mengenal pornografi. Sayang sekali bila para siswa katolik tidak diajarkan tentang pemahaman seksualitas yang benar.

    Berdasarkan uraian diatas, saya juga menyadari bahwa pihak sekolah tentu tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena permasalahnnya rumit. Kurang lebih beginilah permasalahan yang ada dan hubungan diantaranya :

    Setahu saya referensi tentang iman katolik berbahasa Indonesia masih sangat kurang (bahkan dalam buku2 pendidikan religiusitas yang diterbitkan penerbit katolik, ada materi yang jelas2 bertentangan dengan ajaran Gereja). Belum lagi bila membicarakan tentang kualitas para pengajar di sekolah katolik, baik yang berada di kota besar apalagi yang di daerah. Juga bagaimana paroki2 dapat bekerja sama dengan sekolah katolik dalam pembentukan iman. Ditambah lagi bila sekolah katolik kehilangan identitas katoliknya, bagaimana peran orang tua dalam mendidik iman anaknya, sedangkan orang tua sendiri banyak yang mempercayakan pendidikan iman anak kepada sekolah katolik? entah karena mereka tidak memiliki waktu karena kesibukan, atau karena masih kurangnya pemahaman iman orang tua dalam mendidik anaknya?

    Sepertinya jalan untuk menjadi sekolah katolik yang sungguh katolik sangatlah panjang dan berbatu.

    PS

    Apakah katolisitas juga berencana menuliskan artikel tentang bagaimana universitas katolik yang ideal? Karena sejujurnya saya penasaran sekali bagaimana sistem pendidikan di universitas2 katolik seperti di Amerika, dan ingin membandingkannya dengan universitas katolik di Indonesia. Memang ada dokumen yang membahas tentang universitas katolik, yaitu Ex Corde Ecclesiae. Tapi sepertinya bagus juga bila ada artikel yang mengulas tentang universitas katolik, dan mengambil case study dari salah satu universitas katolik di Amerika (mungkin kampus Pak Stef dan Bu Ingrid bisa dijadikan contoh? :) )

    • Shalom Cornelius,

      Terima kasih atas komentar kritis Anda. Sejujurnya, saya juga mengalami kurang lebih mirip dengan apa yang Anda alami. Ya, nampaknya perjalanan untuk kembali membuat sekolah Katolik menjadi semakin Katolik, itu adalah perjalanan yang panjang dan berbatu, terutama karena membutuhkan kesediaan pihak yang terkait (dalam hal ini pihak pengelola sekolah Katolik, yang umumnya adalah suatu ordo religius tertentu) untuk menghidupkan warna Katolik di sekolah tersebut. Tulisan di situs ini hanyalah merupakan sedikit ‘percikan’ yang tiada berarti jika pihak-pihak yang terkait, baik para pengelola/ lembaga/ yayasan sekolah Katolik, orang tua murid dan kepala sekolah, bahkan tidak menyadari bahwa ada yang perlu diperbaiki di sekolah-sekolah Katolik dewasa ini.

      Studi kasus yang kami sampaikan di situs ini memang kami peroleh dari salah seorang narasumber Katolisitas, Maria Natalia Brownell (Lia), yang kebetulan berperan aktif dalam ‘membangun kembali’ salah satu sekolah Katolik di Wisconsin, Amerika Serikat. Sewaktu kami studi di Amerika, Stef dan saya berkesempatan menyaksikan ‘jatuh bangunnya’ perjuangan Lia dan suaminya, Kyle Brownell, dalam menghidupkan kembali nilai-nilai Katolik dan mengusahakan peningkatan prestasi akademis dari sebuah sekolah Katolik yang hampir ditutup karena kekurangan murid, dan kurangnya prestasi. Maka ketika kami mendengar bahwa usaha mereka akhirnya berhasil (setelah perjuangan selama sekitar 6-7 tahun), kami terpanggil untuk membagikan pengalaman mereka tersebut kepada para pembaca Katolisitas. Ulasan dari Lia tentang topik ini, dapat dibaca di sini, silakan klik. Semoga dapat memberikan masukan yang berguna bagi pembaca, terutama yang terlibat dalam/ mempunyai akses untuk memperbaiki pendidikan sekolah-sekolah Katolik.

      Tentang Universitas Katolik, sejujurnya memang agak sulit untuk memperoleh studi kasusnya sebab lebih luas cakupannya, dan terus terang kami tidak mempunyai akses untuk memperoleh keterangan memadai. Tidak mudah bagi kami untuk mengulas tentang Ave Maria University, sebab sewaktu kami studi di sana kami hanya berkesempatan mengetahui dan mengalami realitas universitas Katolik tersebut secara partial, sebab untuk program yang kami ambil (IPT Institute for Pastoral Theology) kampusnya terpisah dengan kampus utama di negara bagian Florida. Hanya saja, memang kami mengetahui dan mengalami, first hand, bahwa para staf pengajar di IPT tersebut adalah orang-orang Katolik yang sungguh mempraktekkan iman Katolik dalam hidup mereka sehari-hari, sangat menguasai bidang ilmu yang mereka ajarkan, setia kepada semua pengajaran Magisterium Gereja Katolik, dan sungguh berdedikasi tinggi untuk memberikan pelayanan kepada Tuhan dan Gereja. Maka mereka menerapkan ciri-ciri esensial Universitas Katolik, sebagaimana disebutkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Konstitusi Apostolik, Ex Corde Ecclesiae:

      “13. … Every Catholic University, as Catholic, must have the following essential characteristics:
      1. a Christian inspiration not only of individuals but of the university community as such;
      2. a continuing reflection in the light of the Catholic faith upon the growing treasury of human knowledge, to which it seeks to contribute by its own research;
      3. fidelity to the Christian message as it comes to us through the Church;
      4. an institutional commitment to the service of the people of God and of the human family in their pilgrimage to the transcendent goal which gives meaning to life”(17). (ECE, 13)

      Hal penting lainnya, yaitu tentang penelitian/ research yang tidak terpisahkan dalam kegiatan belajar mengajar di universitas, dokumen tersebut menyebutkan:

      “15…. In a Catholic University, research necessarily includes (a) the search for an integration of knowledge, (b) a dialogue between faith and reason, (c) an ethical concern, and (d) a theological perspective.” (ECE, 15)

      Kami yang menimba ilmu teologi di universitas tersebut tidak memperoleh pengetahuan yang menyeluruh tentang apa yang terjadi di fakultas-fakultas lain di universitas itu. Untuk bidang teologi, tentu penekanannya sudah jelas, namun di fakultas-fakultas yang lain, kami tidak dapat memberikan informasi, sebab kami tidak mengalaminya, dan kami tidak mempunyai narasumber yang dapat memberikan informasi tentang hal ini. Mohon maaf kami tidak dapat memenuhi permintaan Anda.

      Selanjutnya tentang patokan dasar dan hal-hal umum tentang Universitas Katolik, telah tertulis dalam Konstitusi Apostolik Ex Corde Ecclesiae tersebut, silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  10. Sebelumnya saya akan memperkenalkan sekolah dan saya. Saya adalah anak SMA yang sekarang sudah bersekolah si sekolah Kristen Non Katolik, sebelumnya saya bersekolah di sekolah Katolik Ricci 1 di jl. kemenangan, Jakarta Barat.

    Sekolah Katolik dapat saya rasakan seperti sekolah bukan Katolik. Benar-benar, ajaran Yesus hampir tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sekolah Katolik. Renungan harian hanya diberlakukan saat masa khusus seperti bulan baca alkitab, selebihnya tidak ada renungan harian.

    Untuk pelajaran sekolah Katolik Ricci 1 ini juga berbeda dengan sekolah Kristen Non Katolik, dimana ayat kitab suci tidak terlalu dipakai, namun memang semua didasari oleh kitab suci. Ini bukan masalah menurut saya. Namun anak-anak di sekolah Katolik Ricci 1 ini tidak ditempa dengan baik dalam urusan agama. Banyak teman saya yang bahkan hampir tidak mempercayai Tuhan padahal setiap hari berdoa. Banyak yang tidak mengenal dasar iman seperti Trinitas. Banyakkkkk sekali, bahkan semuanya. Saya pernah bertanya mengenai Trinitas kepada hampir 20 teman saya, dan semuanya menyatakan sulit untuk menjelaskan. Mungkin memang sulit dijelaskan. Namun parahnya, banyak anak Katolik di sekolah ini yang bahkan mengatakan Tuhan kita ada 3. Ini sungguh buat hati sedih.

    Mohon Katolisitas bisa menghubungi sekolah-sekolah Katolik di Indonesia, minimal memperingati. Untuk lebih memperdalam iman, bukan hanya pengajaran kehidupan sehari-hari. Tapi juga ada pengajaran mengenai apa itu Tuhan dalam ajaran Katolik, orang-orang kudus, dll yang berhubungan dengan ajaran Gereja. Karena dari pengalaman saya, dalam pelajaran agamanya saja hanya mengajarkan mengenai kehidupan sehari-hari yang dilandaskan Kitab Suci. Menurut saya, untuk apa berlaku baik namun tidak mempercayai Tuhan.

    [Dari Katolisitas: Pesan ini digabungkan, karena masih satu topik oleh pengirim yang sama]

    Oh ya, saya lupa memberikan perbandingan antara sekolah Katolik Ricci 1 dengan sekolah Ketapang 1 (sekolah Kristen non Katolik) menurut pandangan saya.

    Jelas terlihat perbedaannya, bisa dibilang sekolah Ketapang 1 ini jauh lebih religius. Dimana, setiap hari ada saat teduh untuk baca gali alkitab. Setiap hari Selasa ada peribadatan, mungkin Sekolah Katolik seperti Ricci bisa mengajak siswa-siswanya ke gereja. Karena gereja Santa Maria de Fatima bersebelahan / menempel bahkan. Atau tidak seminimalnya renungan setiap pagi. Di sekolah Ketapang 1 ini juga ditempel ayat kitab suci di setiap kelas yang berbeda-beda sesuai kemauan kelas. Lalu, setiap bulan diberikan semacam pembatas buku, jumlahnya ada 2 yang bertuliskan ayat kitab suci. Harus disimpan dalam kotak pensil. Dalam visi dan misi sekolah Ketapang juga jelas menuliskan iman Kristiani. Sedangkan dalam sekolah Katolik, visi dan misinya tidak menyelipkan sesuatupun yang khas dengan ke-Katolik-an. Hanya mendidik manusia Indonesia untuk menjadi yang lebih baik. Dalam hal orang kudus, di sekolah Ricci 1 mungkin sangat jarang bahkan tidak ada ada siswa yang hafal nama orang kudus 5 saja karena memang tidak ada pengajaran orang kudus di sekolah ini. Jangan sampai sekolah Ricci 1 hanya Katolik dalam nama namun bukan dalam keseharian aktifitas belajar mengajarnya.

    Kalau dalam kondisi fisik sekolah, saya bisa katakan Ricci 1 memang jauh lebih baik infrastrukturnya dibanding sekolah Ketapang 1.

    Namun, ini mungkin hanya gambaran kecil dari 1 sekolah Katolik dengan 1 sekolah Kristen non Katolik. Saya rasa banyak juga sekolah Katolik yang lebih religius dan lebih ‘Katolik’.

    • Shalom Willsen,

      Terima kasih atas masukan Anda. Keprihatinan Anda juga adalah keprihatinan kami. Memang adalah harapan kita semua agar sekolah Katolik dapat menjadi semakin Katolik. Mungkin para pembaca yang mempunyai akses kepada pemimpin sekolah-sekolah Katolik dapat terpanggil untuk melakukan suatu perubahan. Memang tetap ada hal-hal yang baik yang sudah dijalankan oleh sekolah-sekolah Katolik, tetapi masih ada banyak ruang untuk meningkatkan katekese iman Katolik kepada para murid (dan bahkan juga kepada para guru). Sebab nampaknya, secara umum katekese iman Katolik kurang memadai, dan ini relatif banyak sekali kami dengar dan kami alami sendiri. Kami di Katolisitas berusaha melakukan bagian kami, yaitu dengan menyampaikan katekese iman Katolik melalui media internet. Ini adalah fokus karya kerasulan Katolisitas, namun untuk menghubungi sekolah-sekolah Katolik, nampaknya itu bukan lingkup kewenangan kami.

      Mungkin kalau Willsen merasa terpanggil, silakan juga melakukan bagian Anda, seperti yang dilakukan oleh beberapa anakk muda dalam komunitas TYTC (Truly Youth Truly Catholic) yang rutin berkumpul di paroki Regina Caeli, Pantai Indah Kapuk. Kelompok itu diprakarsai oleh beberapa anak muda Katolik yang bersekolah di sekolah Kristen non-Katolik, namun yang terpanggil untuk mendalami iman Katolik dan bersama-sama bertumbuh dalam iman Katolik. Kelompok tersebut bertemu secara rutin, dan biasanya mengangkat salah satu topik bahasan iman Katolik, dengan mengambil acuan dari salah satu artikel di situs ini. Silakan jika Anda terpanggil, untuk melakukan hal yang sama, dan kumpulkanlah teman-teman Anda yang Katolik di sekolah Anda itu untuk bersekutu bersama mendalami iman Katolik.

      Kita tahu memang keadaan dalam hidup ini seringkali tidak ideal, namun selalu ada jalan untuk menghadapinya. Pepatah mengatakan, daripada menyesali suatu keadaan, lebih baik berbuat sesuatu untuk memperbaikinya. It is better to light a candle than to curse the darkness. Mari kita tanyakan apa yang bisa kita perbuat untuk menyalakan lilin itu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

    • Apa yang dirasakan oleh Sdr Wilson, menurut saya ada benarnya. Seperti sejak awal, kalangan pendidikan Katholik sudah kehilangan rohnya. Bagaimana mengajarkan iman Katholik, kalau para petugasnya (guru-gurunya) tidak bisa memberikan keteladanan. Ada pepatah bahasa latin: Nemo dat quod habet” (Bagaimana mau memberi kalau dirinya tidak punya}. Analoginya, bagaimana mau mengajarkan keimanan katolik, kalau yang bersangkutan imannya juga pas-pasan. Dahulu banyak anak didik bangga karena pernah mengenyam pendidikan sekolah Katholik. Kisah Sdr. Wilson yang pindah ke sekolah Kristen yang lebih memberikan nuansa keimanan kekristenan, dari pada sekolah katolik yang tidak ada bedanya dengan sekolah-sekolah umumnya seharusnya menjadi bahan permenungan para pengelola pendidikan Katholik.

      Jadi tidak salah donk, kalau sekolah Katholik itu sudah kehilangan rohnya sebagaimana wejangan Yesus “beritakanlah Kerajaan Allah ke seluruh muka bumi, dan baptislah mereka dalam Nama Bapa. Putera, dan Roh Kudus”. Ini semua akan berjalan dengan baik kala Firman Tuhan tadi hidup dalaam diri masing-masing para pendidik kita. Lha wong baca Kitab Suci saja tidak pernah, bagaimana mau mengajarkan tentang iman Katholik. Jangan-jangan sumber-sumber iman Katholik saja, tidak tahu. Salam dan doa.

      [Dari Katolisitas: Nampaknya, inti pesan Anda sudah dapat ditangkap pembaca. Mari daripada terus menyalahkan keadaan, kita memikirkan apakah ada yang dapat kita lakukan untuk menyikapi keadaan yang tidak ideal ini. Sekali lagi, it’s better to light a candle than to curse the darkness.]

  11. Betul sekali.jaman sekarang sekolah katolik terutama yg favorit.lebih mengutamakan orang2 yg lebih mampu drpd yg kurang mampu.

    [Dari Katolisitas: Jika ini benar, maka tentu ini merupakan hal yang memprihatinkan. Sebagai satu kesatuan Tubuh Kristus, maka jika Anda prihatin dengan situasi ini, silakan mencari jalan untuk turut mengambil bagian untuk memperbaiki situasi ini.]

  12. Menurut hemat saya, sekolah Katholik telah kehilangan rohnya. Sekolah telah menjadi industri bisnis, jadi nilai-nilai sosialnya sudah tidak ada. Saya dulu seorang guru dan mendidik anak-anak Katholik, tetapi bekas anak-anak didikku sampai sekarang masih mengenal saya dengan baik.

    Sekolah Katolik sekarang sudah kehilangan rohnya dan nilai sosialnya, sehingga yang diberikan hanya pelajaran sekolah (pengajaran), dan bukan pendidikan (bagaimana mendidik menjadi orang yang baik=etika=budi pekerti). Mungkin tidak semua sekolah Katholik seperti itu, tapi pada umumnya apalagi sekolah Katholik yang di kota-kota besar. Demikian komen saya tentang sekolah Katolik dewasa ini.

    • harus tau diri dong…jangan asal ngomong aja, kamu bisa berhasil karena pendidikan katolik, kecil besarnya biaya sekolah katolik itu bukan urusan pribadimu, bahkan siswa tidak pernah dipaksa untuk bersekolah disekolah katolik itu kan salah satu aturan lembaga yang menjamin mutu pendidikannya…

      [Dari Katolisitas: Mari bersama berusaha untuk menyampaikan pendapat dengan santun dan tidak dengan prasangka negatif terhadap penulis/ pembaca yang lain. Sebab cara bicara/ menyampaikan pandangan juga mencerminkan penghayatan iman kita sebagai murid-murid Kristus.]

      • Yth Mas Ardo,

        Mas, kalau tidak senang dengan ideaku, tak usah gitu marahnya. Mari kita berdiskusi dengan sopan. Kalau tak sepaham dengan pandanganku, tak masalah. Karena kenyataannya memang seperti itu, banyak sekolah Katolik sudah menjadi bisnis di lingkup pendidikan sehingga, sehingga banyak anak katolik tidak berani menginjak sekolah Katolik, karena harus membayar yang sedemikian mahal. Akhirnya mereka terpaksa sekolah di sekolah negeri. Apa yang aku sampaikan supaya menjadi pemikiran para petinggi Gereja untuk memperhatikan hal ini. Inilah maksud saya, dan bukan maksud untuk menyerang sekolah katholik. Salam dan doa

        • saya setuju dengan pak jus. sekarang idealisme seperti sudah hilang dalam misi pendidikan katolik, tergerus komersialisasi global termasuk dalam bidang pendidikan. persaingan mutu antar lembaga pendidikan, termasuk sesama lembaga katolik, secara paralel diikuti dengan meningginya biaya akibat banyak tuntutan, terutama dalam penyediaan fasilitas dan infrastruktur. belum lagi (orangtua) siswa dibebani dengan biaya lain-lain seperti les tambahan (yang jaman saya dulu tidak pernah dipungut biaya). bagi yang mampu, mungkin hal ini bukan masalah besar. tapi bagi keluarga yang pas-pasan, hal ini sungguh terasa berat. hal ini tentu berpengaruh pada kondisi psikologis anak yang kadang-kadang jadi minder dan rendah diri. jadilah akhirnya anak-anak kurang mampu dari keluarga katolik ini, dididik di sekolah umum yang belum terjamin pendidikan rohaninya. mari kita berdiskusi secara santun, demi masa depan anak-anak kita.

  13. Adakah SLB{Sekolah Luar Biasa} Katolik?

    [dari katolisitas: Salah satunya ini – silakan klik. Apakah pembaca katolisitas ada yang mengetahui slb lain?]

    • Ada, di Kemanggisan. Tepatnya di belakang sekolah Katolik sang timur. Namanya SLB tri asih . Bisa juga tanya di Polsek Budi, karena lokasi tdk jauh dari situ.

    • Ada di jalan Pensanggahan belakang rumah makan Nasi Uduk Kebon Kacang, SLB Pangudi Luhur

  14. syalom
    kebetulan saya berkecimpung di dunia pendidikan, dimana saya mencari nafkah sekaligus membantu anak sekolah dasar mengerjakan pekerjaan rumah mereka dari sekolah. Memang tidak mudah ternyata untuk memperkenalkan Tuhan Yesus kepada anak didik agar mereka mencintai Tuhan Yesus, melalui dunia pendidikan. Sekedar sharing saja saya pernah mengajarkan matematika kepada anak saya sekaligus juga memberi pengertian kepada mereka tentang TUHAN. Tuhan itu mempunyai derajat paling tinggi, dibandingkan dari segala ciptaan, bisa di umpamakan seperti derajat penjumlahan dan perkalian. Perkalian derajatnya lebih tinggi dari derajat penjumlahan, tetapi jika penjumlahan diberi tanda kurung akan mempunyai derajat lebih tinggi dari perkalian. Demikian juga kita manusia mempunyai derajat lebih rendah dari iblis/malaikat, tetapi jika kita ada di dalam Tuhan, maka kita akan mempunyai derajat yang lebih tinggi dari iblis/malaikat. Dan kita bisa menang karena kita dipihak Tuhan.

    Salam,
    Pardohar

  15. Itulah bro, saya dari TK s.d SMP di Sekolah Katolik. Ada Ibadah Pagi & Angelus setiap hari +pengakuan dosa menjelang Paskah/ Natal… Tapi dari sisi pengajaran kurikulum, ajaran Katolik sedikit sekali jamnya. Semoga bisa dibenahi, hopefully :)

    [Dari Katolisitas: Ya, mari sama-sama berdoa untuk kemajuan dan penerapan pendidikan Katolik di sekolah-sekolah Katolik. Semoga mereka semua yang berkarya di sekolah-sekolah Katolik dapat terus memperjuangkan agar dapat menerapkan apa yang menjadi arahan Gereja tentang pendidikan Katolik]

  16. Dari pengalaman saya selama ini memang kehidupan sekolah katolik di kota kecil memang serba sulit. Kalo boleh di umpamakan seperti “Kerokot (semacam rumput) tumbuh di batu” hidup segan mati tak hendak. Mencari guru katolik persediaan langka, atau tidak ada, kalo mengambil guru yang non-katolik konsekuensinya pesan injil tidak dapat disampaikan dengan sepenuhnya. Belum lagi kecilnya jumlah siswa yang akan berpengaruh pada besarnya pendapatan sekolah tentunya menyangkut biaya operasional. Tapi dari yang saya ketahui suasana kekatolikan masih tetap tampak sehingga kita tidak perlu terlalu kawatir anak-anak kita tidak lagi mengenal Tuhan. Kita percaya Tuhan Yesus selalu menyertai Gerejanya.

    [Dari Katolisitas: Ya, memang tidak mudah untuk memperjuangkan pendidikan Katolik. Mari kita dalam kapasitas kita masing-masing berusaha mendukung sekolah-sekolah Katolik, dan semoga mereka yang berkarya di sekolah-sekolah Katolik dapat terus mengusahakan agar pendidikan yang mereka berikan dapat sungguh-sungguh Katolik.]

  17. saat ini banyak dikeluhkan mengenai biaya mahal di sekolah Katolik(favorit) sehingga di kawatirkan akan muncul anggapan bahwa sekolah Katolik (favorit) “hanya” mengejar profit dibandingkan misi utama yaitu pendidikan yang berlandaskan iman akan Kristus. Mohon pencerahan nya. Terimakasih.

    • Shalom Bertus,

      Sejujurnya ini memang merupakan tantangan yang harus diusahakan oleh pihak sekolah-sekolah Katolik, dengan dukungan dari komunitas sekolah tersebut. Artinya, harus diusahakan agar dapat terjadi subsidi silang (dari keluarga yang mampu mendukung keluarga yang kurang mampu) ataupun dari cara lainnya, agar biar bagaimanapun sekolah Katolik tersebut dapat menyediakan fasilitas pendidikan bagi anak-anak dari keluarga yang kurang mampu/ pas-pasan, sebab misi sekolah Katolik harus tetap sejalan dengan misi Gereja Katolik, yang mempunyai perhatian khusus kepada mereka yang miskin/ lemah (preferential to the poorest/ weakest).

      Hal ini jelas disebutkan dalam dokumen “The Catholic School” yang dikeluarkan Vatikan, secara khusus di paragraf 15:

      “Care for learning means loving”
      15. In its ecclesial dimension another characteristic of the Catholic school has its root: it is a school for all, with special attention to those who are weakest. In the past, the establishment of the majority of Catholic educational institutions has responded to the needs of the socially and economically disadvantaged. It is no novelty to affirm that Catholic schools have their origin in a deep concern for the education of children and young people left to their own devices and deprived of any form of schooling. In many parts of the world even today material poverty prevents many youths and children from having access to formal education and adequate human and Christian formation. In other areas new forms of poverty challenge the Catholic school. As in the past, it can come up against situations of incomprehension, mistrust and lack of material resources. The girls from poor families that were taught by the Ursuline nuns in the 15th Century, the boys that Saint Joseph of Calasanz saw running and shouting through the streets of Rome, those that De la Salle came across in the villages of France, or those that were offered shelter by Don Bosco, can be found again among those who have lost all sense of meaning in life and lack any type of inspiring ideal, those to whom no values are proposed and who do not know the beauty of faith, who come from families which are broken and incapable of love, often living in situations of material and spiritual poverty, slaves to the new idols of a society, which, not infrequently, promises them only a future of unemployment and marginalization. To these new poor the Catholic school turns in a spirit of love. Spurred on by the aim of offering to all, and especially to the poor and marginalized, the opportunity of an education, of training for a job, of human and Christian formation, it can and must find in the context of the old and new forms of poverty that original synthesis of ardour and fervent dedication which is a manifestation of Christ’s love for the poor, the humble, the masses seeking for truth.”


      Demikianlah sesungguhnya arahan dari Magisterium Gereja Katolik, yaitu bahwa sekolah-sekolah Katolik harus tidak melupakan akarnya, sebagaimana dahulu menurut sejarah, sekolah Katolik diadakan justru untuk menjawab kebutuhan pendidikan kaum miskin. Hal ini selayaknya tetap dipertahankan dan diusahakan, walau tentu membutuhkan pemikiran dan strategi yang baik, oleh pihak sekolah, yang idealnya juga didukung oleh pihak orang tua dan Gereja (dalam hal ini Keuskupan) agar misi ini dapat terwujud.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  18. Topik ini memang sedang hangat dan inilah yang menjadi masalah bagi orang tua dalam menghadapi anak-anak mereka. Saya melihat bahwa banyak sekolah katolik yang telah kehilangan tujuannya. Saya sejak sd sampai sma sekolah di sekolah katolik yang mengajarkan iman katolik. Ini baru namanya sekolah katolik tapi kalau tidak mengajarkan iman katolik, apakah sekolah itu bisa disebut sekolah katolik? anak-anak harus dibiasakan ikut berperan aktif dalam kehidupan menggereja tidak hanya sebagai penonton. Peran sekolah dalam hal ini sangat besar. Tapi kalau saya melihat universitas tertentu yang katanya univ katolik, kapel tidak ada tapi mushola ada? sungguh ironis? mengapa ini terjadi? inikah namanya sekolah katolik?

    • Benar apa yang ditulis oleh sdr brian, saya mempunyai 2 orang anak, keduanya saya sekolahkan di sekolah katolik cuma di SMP nya, saat ini yang sulung lulus, dan mendaftarkan di Negeri dengan terpaksa, karena mau melanjutkan ke sekolah katolik yang sama yayasannya, tidak mampu membayar. Padahal anak saya termasuk berprestasi, kalaupun masuk pasti diterima hanya saja biaya tidak mampu untuk menanggung. anak saya yang ke dua masih duduk di SMP Katolik, kelas 9.
      Selama ini saya berpikir, bila menyekolahkan anak2 saya ke Katolik, saya merasa tenang, dengan latar pendidikan yang mengarah ke ajaran Katolik. Tapi kenyataannya, sekolah Katolik sekarang tidak seperti yang saya harapkan, dengan dalih toleransi malah banyak umat Katolik yang mau menyekolahkan ke sekolah Katolik merasa minder, karena kesan yang didapatkan: Mahal, hanya orang mampu yang bisa/tak peduli beragama apa asalkan mampu membayar (NB: bila minta keringanan seperti pengemis, rasa malu ditahan)
      Ironis memang, sementara sekolah2 yang berinisial agama lain saja mengedepankan pendidikan agamanya, tetapi di sekolah Katolik, pendalaman Iman Katoliknya kurang, malah ada karyawan yang non Katolik diterima, padahal banyak umat Katolik yang menganggur yang bisa dimanfaatkan ilmu dan tenaganya untuk disumbangkan (tentu saja bila ada lowongan disiarkan di Gereja2 Katolik pasti ada umat yang berminat)
      Semoga himbauan Vatikan ini benar benar menjadi perhatian di Sekolah sekolah Katolik. saya sangat berharap, sekolah Katolik, menghasilkan manusia2 yang berjiwa dan berakhlak seperti ajaran Juru Selamat Dunia: Yesus Kristus. Semoga, Berkah Dalem

  19. Inilah yang sering jadi renunganku. Mungkin aku lalai atau terlupa karena kesibukan sehingga lupa memberikan perhatian pada orang tua sebagaimana mereka memperhatikanku sewaktu ku kecil. Semoga aku sadar dan mudah2an anak2ku mau mencontohnya kelak. Amien.

  20. Apakah ada ketetapan yang mengikat di dalam KHK bahwa orang Katolik harus menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik? Terima kasih Romo

    [dari katolisitas: Kan. 798 Hendaknya para orangtua mempercayakan anak mereka kepada sekolah-sekolah tempat pendidikan katolik diselenggarakan; jika hal itu tidak mungkin, mereka wajib mengusahakan agar pendidikan katolik mereka yang semestinya itu dilaksanakan di luar sekolah.]

    • Shalowm,
      apakah ada KGK yg mengatur kewajiban Gereja (bukan Panti Asuhan) utk mendukung/membantu pendidikan siswa Katolik, terutama yg membutuhkan secara finansial?

      Terimakasih.

      • Shalom Oktavianus,

        Secara umum Katekismus mengajarkan tentang kasih kepada kaum miskin, (lih. KGK 2443-2449). Berikut ini saya kutip artikel yang paling jelas menyebutkannya:

        KGK 2444    Gereja dalam “cinta kasihnya terhadap kaum miskin, yang … melekat pada pusaka tradisinya” (CA 57), membiarkan diri dibimbing oleh Injil sabda bahagia (Luk 6:20-22)., oleh kemiskinan Yesus (Bdk. Mat 8:20) dan oleh perhatian-Nya kepada kaum miskin (Bdk. Mrk 12:41-44). Cinta kasih kepada kaum miskin untuk seorang Kristen malahan merupakan salah satu alasan untuk bekerja dan mendapat uang secukupnya, “supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan” (Ef 4:28). Ini tidak hanya menyangkut kemiskinan material, tetapi juga aneka ragam kemiskinan kultural dan religius (Bdk. CA 57).

        Secara khusus dalam hal pendidikan, Gereja menjabarkannya dalam dokumen tentang Pendidikan. Sesungguhnya sekolah Katolik mempunyai kewajiban untuk membantu siswa yang kurang mampu, walau tidak disebutkan secara eksplisit, “harus memberi bantuan finansial”. Tetapi prinsip bahwa sekolah Katolik harus memberikan perhatian khusus kepada para siswa yang kurang mampu, itu jelas disebutkan dalam dokumen Gereja yang berjudul “Sekolah Katolik” (The Caholic School):

        58. Since it is motivated by the Christian ideal, the Catholic school is particularly sensitive to the call from every part of the world for a more just society, and it tries to make its own contribution towards it. It does not stop at the courageous teaching of the demands of justice even in the face of local opposition, but tries to put these demands into practice in its own community in the daily life of the school. In some countries, because of local laws and economic conditions, the Catholic school runs the risk of giving counter-witness by admitting a majority of children from wealthier families. Schools may have done this because of their need to be financially self supporting. This situation is of great concern to those responsible for Catholic education, because first and foremost the Church offers its educational service to ” the poor or those who are deprived of family help and affection or those who are far from the faith “(22). Since education is an important means of improving the social and economic condition of the individual and of peoples, if the Catholic school were to turn its attention exclusively or predominantly to those from the wealthier social classes, it could be contributing towards maintaining their privileged position, and could thereby continue to favour a society which is unjust.” (The Catholic School, 58)

        Terjemahan yang dicetak tebal:

        “Sebab pertama-tama dan terutama Gereja memberikan pelayanan pendidikannya kepada “kaum miskin atau mereka yang tidak mempunyai bantuan dan kasih dari keluarga atau mereka yang jauh dari iman.”

        Juga dalam dokumen The Catholic School on the Threshold of the Third Millenium, dikatakan demikian:

        15. In its ecclesial dimension another characteristic of the Catholic school has its root: it is a school for all, with special attention to those who are weakest. In the past, the establishment of the majority of Catholic educational institutions has responded to the needs of the socially and economically disadvantaged. It is no novelty to affirm that Catholic schools have their origin in a deep concern for the education of children and young people left to their own devices and deprived of any form of schooling. In many parts of the world even today material poverty prevents many youths and children from having access to formal education and adequate human and Christian formation. In other areas new forms of poverty challenge the Catholic school. As in the past, it can come up against situations of incomprehension, mistrust and lack of material resources. The girls from poor families that were taught by the Ursuline nuns in the 15th Century, the boys that Saint Joseph of Calasanz saw running and shouting through the streets of Rome, those that De la Salle came across in the villages of France, or those that were offered shelter by Don Bosco, can be found again among those who have lost all sense of meaning in life and lack any type of inspiring ideal, those to whom no values are proposed and who do not know the beauty of faith, who come from families which are broken and incapable of love, often living in situations of material and spiritual poverty, slaves to the new idols of a society, which, not infrequently, promises them only a future of unemployment and marginalization. To these new poor the Catholic school turns in a spirit of love. Spurred on by the aim of offering to all, and especially to the poor and marginalized, the opportunity of an education, of training for a job, of human and Christian formation, it can and must find in the context of the old and new forms of poverty that original synthesis of ardour and fervent dedication which is a manifestation of Christ’s love for the poor, the humble, the masses seeking for truth.

        Terjemahannya yang dicetak tebal:

        “Dalam segi gerejawinya, ciri lainnya dari sekolah Katolik mempuyai akarnya: ia adalah sekolah untuk semua, dengan perhatian utama kepada mereka yang terlemah. Di masa lalu, pendirian mayoritas lembaga-lembaga pendidikan Katolik telah menanggapi kebutuhan-kebutuhan mereka yang tidak beruntung secara sosial dan ekonomi. Bukanlah hal yang baru untuk menegaskan bahwa sekolah-sekolah Katolik mempunyai asalnya dari perhatian yang mendalam untuk pendidikan anak-anak dan orang muda yang ditinggalkan sendiri dan tersingkir dari bentuk sekolah apapun…..

        Terdorong oleh tujuan untuk memberikan kepada semua, dan terutama kepada kaum miskin dan terpinggirkan, kesempatan pendidikan, pelatihan bagi suatu pekerjaan, pembentukan manusia dan pembentukan Kristiani, sekolah Katolik dapat dan harus menemukan dalam konteks bentuk kemiskinan yang lama dan baru, sintesa yang asli tentang dedikasi yang berkobar yang adalah pernyataan kasih Kristus kepada kaum miskin, mereka yang rendah hati, orang banyak yang mencari kebenaran.”

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- katolisitas.org

        • Terimakasih Ibu Ingrid Listiati, semoga jawaban Ibu dapat menjadi sumber semangat baru untuk saya & pengunjung katolisitas.org, dan juga utk Gereja Katolik (termasuk KWI) & Sekolah-sekolah Katolik dalam memperhatikan dan mendukung siswa-i Katolik di lingkungan/paroki masing2, khususnya bagi mereka yg sangat membutuhkan.

          Shalowm,
          Oktavianus.

  21. Dari mulai sekolah hingga selesai sekolah saya sekolah di sekolah Katolik. Saya bangga dapat sekolah di sekolah Katolik karena saya seorang Katolik. Hingga kini nilai-nilai pendidikan sekolah Katolik terasa sangat membekas dalam kehidupan saya. Syukur kepada Allah.

    Sekarang saya punya dua anak juga saya sekolahkan di sekolah Katolik. Tapi rupanya beda zaman beda warna. Sekolah tempat anak saya sekolah berada di bawah naungan salah satu kongregasi susteran, kepala sekolahnya juga suster. Saat anak saya memimpin doa di rumah, doa mereka mulai dengan “Mari bersatu dalam doa, dalam nama Bapa …. dan mereka akhiri dengan …… dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa”. Saya jadi heran mendengar warna doa yang tidak biasa di kalangan Katolik itu.Setelah selesai berdoa saya tanya kok seperti itu doanya? Mereka jawab “Di sekolah kami begitu”. Saya pun tertegun.

    Suatu ketika dalam pertemuan sekolah dengan orangtua murid sya hadir. Saya perhatikan benar. Pada saat pertemuan dibuka dan ditutup dengan cara yang sama “Mari bersatu dalam doa ……..dan diakhiri dengan …. dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa”. Akhirnya saya menjadi yakin bahwa cara berdoa anak saya tadi memang sama dengan yang dipraktekan di sekolah mereka. Sayangnya, ini jelas bukan warna Katolik! Tidak seperti itu yang saya alami, dengar dari pastor di Gereja kalau memimpin doa, atau tidak seperti itu dalam buku-buku doa resmi Gereja, misalnya di buku Puji Syukur, yang selalu dibuka dengan “Marilah berdoa … atau marilah kita berdoa ….. dan diakhiri dengan …..demi Kristus….”.

    Ini adalah warna doa Katolik yang sebenarnya sangat sepele namun kalau hal yang sepele seperti ini saja tidak diperhatikan, bagaimana halnya dengan hal yang lebih besar. Kita gampang terkooptasi dan terkontaminasi dengan warna doa atu bahkan nilai-nilai yang sesungguhnya tidak menjadi ciri pendidikan/sekolah Katolik seperti yang diuraikan dalam artikel di atas. Ini tentu baru satu contoh dari sekian banyak hal yang sering tidak sesuai dengan warna dan nilai-nilai spiritualitas Katolik.

    [Dari Katolisitas: Silakan menyampaikan keprihatinan Anda ini kepada sekolah Katolik di mana Anda menyekolahkan anak-anak Anda. Ya, ada baiknya guru-guru di sekolah tersebut juga menerapkan cara berdoa yang sesuai dengan tradisi Katolik]

    Contoh lain, dulu setiap saya naik kelas tidak pernah sekolah tempat saya belajar memungut yang namanya “uang daftar ulang”. Sekarang ini, di hampir semua sekolah Katolik yang saya kenal di Jabodetabek ini, setiap akhir tahun ajaran, saat penerimaan rapor dari setiap siswa dipungut biaya “daftar ulang” melalui wali kelas dengan besaran yang berfariasi antar sekolah. Bila ditanya wali kelas apa dasar dan tujuan pengumpulan uang daftar ulang tersebut, biasanya wali kelas hanya menjawab dengan angkat bahu karena mereka juga tidak tahu dasar dan tujuannya. Ini tentu sebuah kelatahan, karena sekolah lain melakukannya maka …….

    Menurut hemat saya, MPK perlu melakukan pembinaan terhadap semua sekolah yang menggunakan “bendera Katolik” agar tidak melenceng dari visi dan misi pendidikan Katolik serta tidak terkesan komersiil.

    [Dari Katolisitas: Nampaknya ada banyak hal yang perlu dibicarakan secara terbuka antara pihak sekolah dan pihak orang tua, terutama juga dalam hal keuangan, agar kecurigaan negatif semacam ini tidak terjadi. Sejujurnya memang diperlukan dana yang tidak sedikit sebagai biaya operasional sebuah sekolah Katolik. Namun demikian, harus selalu diupayakan agar sekolah Katolik tetap dapat menjalankan misinya sebagai sekolah yang tidak komersiil, yang juga mempunyai perhatian untuk menjangkau murid-murid yang dari keluarga yang kurang mampu secara finansial.]

Comments are closed.