Misa: ibadat yang tertinggi

Paus Pius XII dalam surat ensikliknya tentang Liturgi Suci, Mediator Dei (1947) mendefinisikan liturgi sebagai, “ibadat publik yang dilakukan oleh Penebus kita sebagai Kepala Gereja kepada Allah Bapa dan juga ibadat yang dilakukan oleh komunitas umat beriman kepada Pendirinya [yaitu Kristus], dan melalui Dia kepada Bapa. Singkatnya, liturgi adalah ibadat penyembahan yang dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus secara keseluruhan, yaitu Kepala dan anggota-anggota-Nya” (Mediator Dei, 20). Definisi ini terpenuhi dalam tingkat yang tertinggi dalam perayaan Ekaristi/ Misa kudus. Sebab dalam Misa Kudus, kurban Kristus yang satu dan sama itu oleh kuasa Roh Kudus, dihadirkan kembali oleh Gereja, untuk keselamatan umat manusia. Maka perayaan Misa adalah doa Gereja yang sempurna (par excellence), yaitu doa Kristus yang dipersembahkan oleh Gereja kepada Allah.

Perjamuan Terakhir: penggenapan perjamuan Paska bangsa Israel

Asal Misa kudus adalah dari Perjamuan Terakhir, yaitu saat Tuhan Yesus menyerahkan kepada para Rasul-Nya misteri Tubuh dan Darah-Nya dalam perjamuan kudus, sebagai persiapan akan kurban Tubuh-Nya dan Darah-Nya yang tertumpah di kayu salib di Golgota. “Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku. …. Inilah cawan perjanjian baru oleh darah-Ku yang ditumpahkan bagimu…” (lih. Luk 22:19). Kurban Kristus menjadi kurban yang menyempurnakan makna kurban anak domba Paska dalam Perjanjian Lama. Darah anak domba yang dibubuhkan di ambang pintu menyelamatkan bangsa Israel dari tulah yang dibawa oleh malaikat maut. Darah Kristus Sang Anak Domba Allah yang tertumpah di kayu salib, menyelamatkan umat manusia dari kuasa dosa dan maut. Pencatatan akan perayaan perjamuan sebagai peringatan kurban Kristus ini, ditulis dalam Injil, maupun oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus:

“Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!” Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang. Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya.” (1 Kor 11:23-29)

Dari sini diketahui bahwa sejak awal, telah disebutkan perkataan konsekrasi, yaitu perkataan Sabda yang mengubah roti menjadi Tubuh Kristus dan cawan berisi anggur, menjadi Darah-Nya. Demikian pula, ucapan syukur ataupun berkat sebelum konsekrasi, mengingatkan kita akan apa yang diperbuat oleh Kristus sendiri dalam Perjamuan Terakhir (Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:17) dan juga sewaktu menampakkan Diri kepada dua orang murid-Nya dalam perjalanan ke Emaus (lih. Luk 24:13-35). Saat itu, Yesus menjelaskan kepada mereka tentang kitab-kitab para nabi, sebelum Ia mengambil roti, mengucap berkat, memecahkannya dan membagikannya kepada mereka. Kedua bagian ini, yaitu pembacaan Kitab Suci, dan pemecahan roti, menjadi cikal bakal liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi, dalam perayaan Misa Kudus yang dirayakan oleh Gereja Katolik sampai saat ini.

St. Yustinus (w 165)

St. Yustinus Martir adalah seorang Bapa Gereja di abad awal yang menulis tentang pengajaran iman Kristiani. Ia mengajar di Efesus sampai tahun 135. Maka diperkirakan ia mempelajari tentang iman Kristen dari para murid Rasul Yohanes yang hidup di Efesus. Buku St. Yustinus yang terkenal antara lain adalah First Apology (150) yang di dalamnya memuat ajaran tentang Ekaristi dan liturgi. Dalam bab 61-67 St. Yustinus menuliskan secara ringkas tentang tata cara penyembahan Kristiani, dimulai dengan liturgi Baptisan. Ia menulis demikian:

“Tetapi kami, setelah kami membaptisnya, yaitu ia yang telah menjadi percaya dan taat kepada ajaran kami, kami membawanya ke tempat di mana mereka yang disebut jemaat dikumpulkan, supaya kami bersama dapat mempersembahkan doa- doa khusuk untuk kami maupun untuk mereka yang dibaptis, dan semua orang di mana- mana, supaya kami dianggap layak; sekarang bahwa kami telah belajar tentang kebenaran, dengan perbuatan- perbuatan kami menjadi para warga yang baik dan pelaksana perintah- perintah Tuhan, supaya kami dapat diselamatkan dengan keselamatan kekal. Setelah doa- doa tersebut selesai, kami menghormati soeorang dengan yang lainnya… Lalu, dibawalah kepada pemimpin jemaat, roti dan piala anggur yang dicampur dengan air; dan ia mengambil itu, memberi pujian dan kemuliaan kepada Bapa alam semesta, melalui nama Allah Putera dan Roh Kudus, dan mempersembahkan ucapan syukur yang cukup panjang karena kami dianggap layak untuk menerima semua ini dari tangan-Nya. Dan ketika ia [pemimpin jemaat] telah selesai dengan doa dan ucapan syukur, semua orang yang hadir mengucapkan persetujuan mereka dengan mengatakan, Amin. Perkataan Amin adalah jawaban di dalam bahasa Ibrani yang artinya, “terjadilah demikian”. Dan ketika pemimpin telah mengucapkan terima kasih, dan semua orang telah menyatakan persetujuan mereka, mereka yang kami panggil “diakon” memberikan kepada semua yang hadir untuk dapat mengambil bagian roti dan anggur yang dicampur dengan air…. Dan makanan ini kami kenal dengan sebutan Ekaristi, dan tak seorangpun boleh mengambil bagian di dalamnya, selain ia yang percaya bahwa hal- hal yang kami ajarkan adalah benar dan ia yang telah dibaptis untuk penghapusan dosa- dosa, dan untuk kelahiran kembali, dan ia yang hidup sesuai dengan ajaran Kristus. Sebab bukanlah seperti roti dan minuman biasalah yang kami terima, tetapi, seperti Yesus Kristus Penyelamat kita, yang telah menjelma menjadi daging oleh Sabda Allah, mempunyai daging dan darah untuk penyelamatan kita, demikianlah juga, kami diajarkan bahwa makanan yang telah diberkati oleh doa dari Sabda-Nya dan dari perubahannya (transmutation) tubuh dan darah kita dikuatkan, adalah daging/tubuh dan darah Yesus yang telah menjelma menjadi daging. Sebab para rasul, dalam ajaran-ajaran Yesus yang mereka susun yang disebut Injil, telah menurunkan kepada kita apa yang telah diajarkan kepada mereka; yaitu bahwa Yesus mengambil roti, dan ketika Ia telah mengucap syukur, berkata, “Lakukanlah ini sebagai peringatan akan Daku, inilah Tubuh-Ku: Dan lalu dengan cara yang sama, setelah mengambil piala dan mengucap syukur, Ia berkata, “Inilah Darah-Ku”, dan memberikannya kepada mereka….” (First Apology, ch. 65-66)

Lalu St. Yustinus menyimpulkan tentang tata cara penyembahan Kristiani dengan menyebutkan secara khusus tentang pengudusan hari Minggu sebagai Hari Tuhan dengan Misa Kudus, sebagai berikut:

“Dan selanjutnya kami sehati sepikir dalam hal-hal ini, dan mereka yang berkecukupan membantu yang berkekurangan… Dan pada hari yang disebut Minggu, semua yang hidup di kota maupun di desa berkumpul bersama di satu tempat, dan ajaran-ajaran para rasul atau tulisan- tulisan dari para nabi dibacakan, sepanjang waktu mengijinkan; lalu ketika pembaca telah berhenti, pemimpin ibadah mengucapkan kata- kata pengajaran dan mendorong agar dilakukannya hal- hal yang baik tersebut. Lalu kami semua berdiri dan berdoa, dan seperti dikatakan sebelumnya, ketika doa selesai, roti dan anggur dan air dibawa, dan pemimpin selanjutnya mempersembahkan doa- doa dan ucapan syukur… dan umat menyetujuinya, dengan mengatakan Amin, dan lalu diadakan pembagian kepada masing- masing umat, dan partisipasi atas apa yang tadi telah diberkati, dan kepada mereka yang tidak hadir, bagiannya akan diberikan oleh diakon. Dan mereka yang mampu dan berkehendak, memberikan (persembahan) yang dianggap layak menurut kemampuan mereka, dan apa yang dikumpulkan oleh pemimpin, ditujukan untuk menolong para yatim piatu dan para janda dan mereka yang, karena sakit maupun sebab lainnya, hidup berkekurangan, dan mereka yang ada dalam penjara dan orang asing di antara kami, pendeknya, ia (pemimpin) mengatur [pertolongan bagi] semua yang berkekurangan. Tetapi hari Minggu adalah hari di mana kami mengadakan ibadah bersama, sebab hari itu adalah hari yang pertama, yaitu pada saat Tuhan, setelah mengadakan pengubahan dalam kegelapan dan materia, telah menciptakan dunia; dan Yesus Kristus Penyelamat kita pada hari yang sama telah bangkit dari mati. Sebab Ia telah disalibkan pada hari sebelum hari Saturnus (Sabtu); dan pada hari setelah hari Saturnus, yaitu hari Minggu, setelah menampakkan diri kepada para rasul dan murid-Nya, Ia mengajarkan kepada mereka hal- hal ini…..” (First Apology, ch. 67)

Demikianlah, sudah sejak awal, jemaat berkumpul, lalu dibacakanlah bacaan-bacaan dari Kitab Suci, dari Perjanjian Lama (kitab para nabi) dan bacaan dari kitab-kitab para Rasul atau Injil, homili dan doa-doa, persembahan roti dan anggur yang dicampur air, dengan rumusan konsekrasi, kemudian Komuni dibagikan dan para diakon diberi tugas untuk mengantar Komuni kepada jemaat yang absen. Juga disebutkan di sana, peran pemimpin perayaan, yaitu bahwa pemimpinlah yang mengucapkan doa syukur [sehubungan dengan persembahan roti dan anggur itu], dan umat menjawab, Amin. Perayaan tersebut diadakan pada hari Minggu, untuk mengenangkan kebangkitan Tuhan Yesus.

St. Hippolytus (235)

St. Yustinus tidak memberikan rumusan ucapan syukur yang didoakan oleh pemimpin ibadat. Seiring dengan waktu, terbentuklah doa ‘anaphora‘, yang artinya ‘mengangkat tinggi/ mempersembahkan’, dan untuk ini kita mengacu kepada doa yang disusun oleh St. Hippolytus. Dalam traktatnya, The Apostolic Tradition, dituliskan demikian:

“Tuhan bersamamu”, dan biarlah semua menjawab: “Dan bersama roh-mu”. “Marilah mengarahkan hati kepada Tuhan”: “Sudah kami arahkan kepada Allah”. “Marilah bersyukur kepada Tuhan”. “Sudah layak dan sepantasnya.” Dan biarlah ia melanjutkan: Kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah, melalui Putera-Mu yang terkasih, Yesus Kristus, yang di zaman akhir ini telah Kau-utus kepada kami, Penyelamat dan Penebus dan Utusan kehendak-Mu; yang adalah Sabda-Mu yang tak terpisahkan, yang melalui-Nya Engkau telah menciptakan segala sesuatu dan yang di dalam-Nya Engkau berkenan; yang telah Engkau utus dari surga ke dalam rahim Sang Perawan, dan yang, dengan dikandung, menjelma menjadi daging dan ditunjukkan menjadi Putera-Mu, dilahirkan dari Roh Kudus dan oleh seorang Perawan; yang untuk menggenapi kehendak-Mu dan mempersiapkan bagi-Mu bangsa yang kudus, telah merentangkan tangan-Nya saat Ia menderita supaya Ia dapat melepaskan dari penderitaan, mereka yang telah percaya kepada-Mu.

Ia yang ketika dikhianati sampai kepada menderita dengan rela supaya Ia dapat menghalau kematian dan memutuskan ikatan iblis dan menghancurkan neraka dan menerangi orang-orang benar dan mendirikan perjanjian dan menyatakan kebangkitan, mengambil roti, mengucap syukur kepada-Mu dan berkata: “Terimalah dan makanlah, inilah Tubuh-Ku yang dipecahkan bagimu”. Demikian pula, [mengambil] piala itu, dan berkata: “Inilah Darah-Ku yang ditumpahkan bagimu: lakukanlah ini sebagai kenangan akan Aku.”

Maka, dengan mengenangkan wafat dan kebangkitan-Nya, kami mempersembahkan kepada-Mu roti dan piala ini, mengucap syukur kepada-Mu karena Engkau menganggap kami layak untuk menghadap-Mu dan berbakti kepada-Mu. Dan kami mohon semoga Engkau mengutus Roh Kudus atas kurban Gereja-Mu yang kudus; untuk mempersatukan mereka bersama dalam kesatuan, agar Engkau memberi kepada semua orang kudus yang mengambil bagian dalamnya supaya mereka dapat dipenuhi oleh Roh Kudus untuk menguatkan iman mereka dalam kebenaran, sehingga kami dapat memuji dan memuliakan Engkau melalui Putera-Mu, Yesus Kristus, yang melalui-Nya kemuliaan dan hormat bagi-Mu, Bapa, dan Putera dan Roh Kudus, dalam Gereja-Mu yang kudus, sekarang dan selama-lamanya. Amin.”

Membaca teks ini, kita tidak akan mengalami kesulitan untuk mengenali dalam anafora ini bentuk yang sederhana dan murni dari doa syukur agung dalam Misa Kudus yang ada pada kita sekarang, hanya saja tanpa doa Kudus (Sanctus) dan Mementos (doa bagi yang jemaat yang masih hidup dan yang telah wafat). Dalam doa ini juga sudah ada doa Prefasi, ucapan syukur, atas Inkarnasi Putera Allah, sengsara-Nya, dan buah pengorbanan-Nya, lalu doa Perjamuan Terakhir, dan pernyataan Gereja untuk berlaku taat melakukan perintah-Nya untuk mengenangkan Dia, baik wafat dan kebangkitan-Nya, dalam mempersembahkan roti dan anggur yang dikonsekrasikan. Gereja kemudian memohon Roh Kudus turun atas persembahan itu, agar imannya dikuatkan, dan pujian yang tak berakhir dapat dipersembahkan melalui Kristus kepada Allah Trinitas. Hampir semua yang ada pada teks Misa kita sekarang, telah dikatakan di sini. Betapa kita patut kagum dan bersyukur, akan kesungguhan Gereja untuk melestarikan doa-doa yang merupakan ungkapan iman dalam perayaan Ekaristi.

De Sacramentis (abad ke-4)

Setelah Edict Milan (313) berakhirlah masa penganiayaan Gereja di abad-abad awal. Maka Gereja berkembang pesat, termasuk juga rumusan ibadatnya, termasuk doa-doa untuk Gereja, dan juga rumusan anafora itu sendiri. Liturgi di Gereja Timur dan Barat berkembang; dan mulai digunakan banyak rumusan dalam tahun liturgi. Liturgi Latin mulai lebih banyak dikenal daripada Yunani, dan doa-doa penghantar dalam Misa mulai diatur secara sistematik, dan kanon Misa mulai terbentuk seperti sekarang. Menjelang akhir abad ke-4, St. Ambrosius dari Milan, merumuskan doa-doa ini dalam tulisan ajarannya kepada mereka yang baru dibaptis, De Sacramentis, yang kemudian dilengkapi oleh Paus Gelasius (492-496). Sejak abad ini, banyak gedung-gedung gereja yang megah didirikan. Prosesi perarakan dalam ibadat diadakan, demikian juga dengan pendarasan lagu-lagu chanting dan litani, paduan suara, pengukupan, penggunaan bel dan benda-benda lain untuk ibadat, sikap penghormatan dalam Ekaristi, bahkan sampai kepada pengaturan busana liturgis.

De Sacramentaries (abad ke 5-9)

Doa yang didaraskan oleh imam yang diturunkan sampai kepada kita, ditulis dalam buku yang disebut sacramentaries/ sacramentorium, tiga di antaranya adalah Leonine, Gelasian dan Gregorian.

1. Leonin Sakramentari (540): sejumlah teksnya berasal dari St. Leo (440-461). Kita hanya mempunyai satu manuskrip ini dari abad ke-7, namun sayang tidak lengkap, karena tidak mencakup teks Misa dari masa Natal sampai pertengahan April. Hampir 200 rumusan dari teks misa kita berasal dari teks sakramentari ini.

2. Gelasian Sakramentari: Urutan umum dan rumusan tertentunya dihubungkan dengan tulisan Gelasius (492-496). Ini merupakan teks resmi dan yang sampai kepada kita berasal dari manuskrip di awal abad ke-8. Di sini disampaikan teks Misa dari masa Natal dan Paska, perayaan para Santo/santa, dan Misa pada hari Minggu dan canon untuk Misa votif.

3. Gregorian Sakramentari: diperoleh dari salinan sakramentari yang dikirim oleh Paus Adrian kepada Charlemagne pada tahun 785/786. Ini adalah karya St. Gregorius, dan manuskrip yang sampai kepada kita sekarang berasal dari abad ke-9. Teks awalnya dirancang untuk untuk Misa Paus, sehingga tidak memasukkan Misa Minggu biasa. Di samping sakramentari, juga pada masa ini ditulis leksionari bagi surat-surat para Rasul dan Injil dan antifonari. Kemudian berkembanglah kebiasaan membacakan dari leksionari ini. Pada Abad Pertengahan teks ini dikompilasi menjadi Missale plenarium, yang menjadi cikal bakal terbentuknya Misale Romawi, yang merupakan gabungan dari sakramentari, leksionari dan antifonari.

The Ordines Romani (abad ke 7-14)

Ordines Romani menjabarkan urutan dari Misa Paus dan teks-teks liturgis. Teks ini berasal dari abad ke 7 sampai ke 14. Yang terpenting dari teks ini adalah Ordo Romanus I (dari abad ke-7), yang menjabarkan Misa Romawi pada masa St. Gregorius, fase yang penting dalam evolusi liturgi. Kata “Misa” yang menandai ibadat dan doa ini, berasal dari kata Latin Missa, yang artinya diutus/ dibubarkan. Pada bagian awal/ persiapan, para katekumen diutus [umumnya mereka melanjutkan proses katekumenat di luar perayaan Misa, sementara umat yang lain melanjutkan perayaan]. Setelah perayaan kurban, semua yang hadir diutus.

Misa Paus di zaman Paus Gregorius (awal abad ke-7)

Paus Gregorius adalah tokoh penting yang berpengaruh bagi sejarah penyembahan ilahi dalam Gereja. Karyanya yang terkenal adalah Ordo Romanus I. Urutan-urutan dalam Misa pada saat itu, sangatlah mirip dengan urutan yang ada sekarang. Prosesi pembuka diikuti dengan Kyrie (Tuhan kasihanilah kami) saat Paus menuju kursi selebran, yang terletak di ujung akhir altar. Ia berdoa menghadap ke timur. Ia menutup Kyrie, dan melanjutkan dengan doa Gloria (Kemuliaan), dan kemudian menutup dengan doa. Setelah ritus pembuka ini, kemudian teks Kitab Suci dibacakan. Sub-diakon akan membaca Surat para Rasul, di ambo, yang diikuti dengan teks Kitab Suci yang dinyanyikan berulang (chant), dengan elemen meditasi. Injil dibacakan dengan agung. Diakon meminta berkat Paus, mencium Kitab Suci dan membaca di ambo, yang didahului dengan dua orang pembawa lilin. Bacaan ini diikuti homili. Setelahnya Paus mengajak umat berdoa, sementara akolit dan diakon membentangkan kain di altar. Persembahan diantar ke altar, saat itu Mazmur persembahan dinyanyikan. Paus kemudian mencuci tangan dan kemudian menuju altar untuk mengkonsekrasikan roti dan anggur. Doa konsekrasi didaraskan sebagai peringatan akan perjamuan terakhir yang membawa buah penebusan, ditutup dengan doksologi. Semua doa ini dikenal dengan sebutan canon, karena sifatnya tidak berubah-ubah. Setelah itu doa Bapa Kami didaraskan, dan dimulailah persiapan untuk Komuni. Paus Gregorius menetapkan penempatan doa Bapa Kami, yang didoakan setelah canon. Kemudian Paus memberikan ciuman kudus kepada para pembantunya, dan kepada umat sebagai pernyataan kesatuan dan kasih Kristiani, sebelum menerima Tubuh dan Darah Kristus. Setelah itu tibalah saat pemecahan Hosti, yang dilakukan oleh Paus, dan kemudian juga oleh Uskup, imam dan diakon. Ritus ini dilakukan dalam keheningan. Di abad berikutnya, di zaman Paus Sergius, saat ini diiringi dengan lagu Agnus Dei (Anak Domba Allah). Lalu tibalah saat penerimaan Komuni. Dimulai dari Paus yang mengambil pecahan Hosti dan anggur yang telah dikonsekrasikan. Lalu Paus membagikan Komuni (dalam rupa hosti kudus) kepada para Uskup, imam, diakon dan diakon memberikan kepada mereka Darah Kristus dalam piala kudus. Paus kemudian membagikan Komuni kepada sejumlah umat, ataupun wakil umat, dan para Uskup,  imam dan diakon kepada semua umat yang lain. Ekaristi diterima dalam rupa hosti dan anggur; namun pada masa ini juga sudah diterapkan penerimaan Komuni dalam satu rupa saja. Setelah penerimaan Komuni selesai, Paus kembali ke altar dan mendoakan doa ucapan syukur. Diakon kemudian mengutus jemaat dengan ungkapan Ite missa est. Paus kemudian keluar dalam prosesi sambil memberkati kaum tertahbis maupun umat yang hadir. Demikianlah, mudah bagi kita untuk menangkap kemiripan Misa yang kita rayakan saat ini dengan Misa yang dilakukan di awal abad ke-7, di zaman St. Gregorius ini.

Misa di zaman Abad Pertengahan

Di Abad Pertengahan, terjadi perkembangan iman Kristiani di Eropa. Prosesi religius umum terjadi di mana-mana, perayaan para orang kudus, ziarah ke tempat-tempat suci dan lahirnya banyak ordo religius. Bersamaan dengan itu berkembanglah arsitektur gereja-gereja megah dan katedral yang menjulang tinggi, yang umum dikenal dengan arsitektur Gothic. Kemegahan struktur bangunan yang tinggi memang secara mengagumkan menggambarkan keagungan gereja sebagai rumah Tuhan. Namun di sisi lain, bentuk ruang yang tercipta menimbulkan kesan tinggi dan memanjang sedemikian, sehingga seolah memisahkan imam dan umat. Panti imam, altar dan tabernakel nampak jauh terletak di ujung akhir bangunan, dan terdapat semacam pemisah antara ruang umat dan imam. Demikian juga, umum dibuat partisi besi yang memisahkan paduan suara dengan umat. Entah apakah hal-hal ini membawa pengaruh yang besar kepada umat, namun nyatanya, pada masa ini keikutsertaan umat dalam perayaan Ekaristi semakin berkurang. Misa diadakan dalam bahasa Latin, meskipun masyarakat umum setempat menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Untuk perayaan Misa bagi jumlah jemaat yang kecil, digunakan altar kecil di sisi samping gereja, namun imam tetap merayakannya dalam bahasa Latin. Adanya gap antara umat dan perayaan Ekaristi membawa pengaruh pada umat, yang menjadi rentan terhadap ajaran sesat. Berengarius dari Tour mengajarkan bahwa Yesus tidak sungguh hadir dalam Ekaristi, dan Ekaristi hanya simbol kehadiran-Nya saja. Konsili Lateran IV (1215) mengecam ajaran ini, dan menegaskan dan merumuskan kehadiran Kristus yang nyata dalam Ekaristi, dengan memperkenalkan istilah Trans-substansiasi yang terjadi pada saat konsekrasi, di mana oleh kuasa Roh Kudus, roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Oleh karena itu, di masa ini juga berkembang Adorasi Sakramen Mahakudus, di mana umat diajak untuk menghormati Kristus yang hadir dalam rupa Hosti yang sudah dikonsekrasikan itu.

Misa St. Pius V (abad 16)

Konsili Trente (1545) adalah Konsili yang dimaksudkan untuk menanggapi berbagai ajaran yang menyimpang seiring dengan pemisahan diri Martin Luther dari Gereja Katolik (1517). Konsili Trente juga dimaksudkan untuk mengadakan pembaharuan secara liturgi. Misale yang ada pada kita sekarang adalah karya komisi yang ditunjuk oleh Paus Pius IV, yang diselesaikan oleh Paus Pius V, sesuai dengan arahan Konsili Trente. Misale Paus V dipublikasikan dan dijadikan wajib pada bulan 14 Juli 1570. Dasarnya adalah Misale Kuria Romawi yang disebarkan oleh kaum Fransiskan. Modifikasi yang dilakukan oleh Paus Klemens VII dan Urbanus VIII, dan Pius X, itu tidak berkenaan dengan teks Misa yang tetap/canon, tetapi pada penyesuaian kalender dan tambahan perayaan-perayaan baru dan modifikasi rubrik. Dengan dikeluarkannya Misale Paus V ini, dapat dicapai keseragaman penyelenggaraan Misa di manapun. Di masa ini para imam Jesuit memperkenalkan arsitektur Baroque, di mana ruang gereja tidak lagi menjadi super tinggi, dan pemisahan antara ruang paduan suara dan umat ditiadakan. Jarak antara altar dan umat diperpendek, dan hanya altar rail saja yang masih dipertahankan. Altar ditempatkan rapat ke dinding, yang dihias dari bawah sampai ke langit-langit. Tabernakel diletakkan di altar, dan di atasnya dibuat sebuah ruang untuk pentahtaan bagi Adorasi sakramen Mahakudus. Lagu-lagu liturgi berkembang saat ini, seperti dari Palestrina, Haydn dan Mozart. Sayangnya, lagu-lagu tersebut tidak dengan mudah dapat dinyanyikan oleh umat, sehingga lebih sering Misa yang diadakan adalah Misa tanpa lagu, dan umat menghadirinya dalam keheningan. Namun demikian, bagian-bagian Misa telah dengan jelas terlihat yang masih dipertahankan sampai saat ini, yaitu:

Pembuka: Pujian Confiteor: Pernyataan tobat Kyrie: Tuhan kasihanilah Gloria: Kemuliaan Collect: Doa permohonan

Kemudian seolah Tuhan menanggapi doa-doa kita dengan pengajaran yang disampaikan-Nya melalui Sabda-Nya:

Bacaan surat-surat para Rasul/ kitab Nabi Pendarasan Mazmur Bacaan Injil Homili Credo/ Syahadat

Setelah ini adalah persiapan Gereja dalam mempersembahkan kurban Kristus:

Persiapan persembahan: roti dan anggur dibawa ke altar dan dipersembahkan dalam ritus dan doa. Konsekrasi: persembahan kita diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, doa canon diucapkan. Persiapan Komuni dan Komuni: Doa Bapa Kami, pemecahan Hosti, salam damai, doa sebelum Komuni. Pada saat Komuni, kita menerima kembali persembahan kita, yang telah diubah oleh kuasa Tuhan, dan dengannya kita menerima hidup ilahi.

Setelah penerimaan Komuni, didoakan doa sesudah Komuni, pengutusan, berkat dan penutup.

Perayaan Misa di era Vatikan II

Dokumen pertama yang disetujui oleh Konsili Vatikan II (1962-1965) adalah Konstitusi tentang Liturgi suci. Namun sekitar seabad sebelum dokumen dikeluarkan sudah terjadi gerakan untuk memperbarui liturgi dalam Gereja. Kaum Benediktin menghidupkan kembali lagu-lagu Gregorian dari abad ke 6/7, di mana semua umat saat itu dapat turut berpartisipasi dalam menyanyikannya. Paus Pius X (1903-1914) juga telah mendorong dinyanyikannya kembali lagu-lagu Gregorian, dan menganjurkan Misa Kudus dan Komuni setiap hari, dan memajukan usia penerimaan Komuni bagi anak-anak menjadi sekitar 7 tahun. Paus Pius XII dalam Mediator Dei (1947) juga memberi perhatian yang serupa terhadap pembaharuan liturgi. Maka pembaharuan liturgi yang ditetapkan dalam Konsili Vatikan II bukan merupakan hasil pemikiran tiba-tiba, tetapi merupakan hasil dari pemikiran para pemimpin Gereja dalam sekitar seabad sebelumnya. Tak mengherankan, ide pembaharuan liturgi ini mendapat dukungan penuh dari para bapa Konsili (2.147 suara mendukung dan hanya 4 suara menentang). Beberapa perubahan terjadi, seperti diperbolehkannya penggunaan bahasa setempat dalam perayaan Misa, sehingga Misa tidak hanya diadakan dalam bahasa Latin. Umat juga didorong untuk berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi dengan turut menyanyikan lagu-lagu pujian dan turut mengucapkan doa dalam beberapa bagian Misa. Para musisi gerejawi didorong untuk menciptakan lagu-lagu liturgis yang agung namun sedapat mungkin dapat dinyanyikan oleh umat. Umat dilibatkan untuk turut menghantarkan persembahan. Umat diperbolehkan menyambut Ekaristi dengan tangan atau dengan mulut, dengan berdiri, atau berlutut. Namun apapun perubahan itu, tidaklah mengubah bagian- bagian esensial dari Misa Kudus, yang berawal mula dari Perjamuan Terakhir Kristus dan para rasul-Nya, yang kemudian bertumbuh seiring dengan pertumbuhan Gereja. Berikut ini adalah tinjauan sekilas terhadap bagian-bagian Misa Kudus dan latar belakang sejarahnya.

Beberapa detail tata cara pelaksanaan Misa Kudus dan latar belakang sejarahnya

Perayaan Misa Kudus diawali dengan prosesi masuk imam selebran menuju altar, diiringi para petugas liturgi.  Telah disebutkan pada zaman Paus Gregorius, Paus menuju altar dan tengkurap dalam doa hening, sebelum menuju ke kursi selebran. Cara ini masih dipertahankan dalam perayaan Jumat Agung. Sejak abad ke-14, selebran membuka Misa dengan Tanda Salib, yang mengingatkan kepada Baptisan, sehingga dengan tanda ini, Baptisan dan Ekaristi dihubungkan, di mana ikatan ini diperkuat dengan pemercikan air suci pada perayaan Misa hari Minggu. Pemercikan diiringi lagu Asperges me, atau dalam masa Paskah Vidi aquam. Kemudian Mazmur tobat (Judica me) didaraskan, atau Confiteor. Diawali dengan imam, lalu para pembantunya, mengakui dosa mereka dan meminta doa satu sama lain. Versi panjang ini berasal dari Abad Pertengahan.

Selebran utama mendekati altar dan mencium altar dengan hormat, sebagai penghormatan kepada relikwi para martir/ orang kudus yang diletakkan di dalam altar batu; dan juga terutama penghormatan kepada Kristus sendiri yang dilambangkan oleh altar itu. Ciuman ini berarti ungkapan kasih dan hormat Gereja kepada Kristus, menghormati kesatuan yang dihasilkan oleh kurban-Nya. Tradisi ini umum dilakukan sejak abad ke-11, demikian juga tradisi memberikan ukupan kepada salib dan altar. Tradisi menyanyikan Introit, yaitu Mazmur dengan ulangan antifon, untuk mengiringi prosesi imam menuju altar, ada sejak abad ke-5. Hal ini dipertahankan terutama untuk perayaan-perayaan besar, seperti pada waktu Rabu Abu, Minggu Palma dan Kamis Putih. Gereja memiliki banyak contoh lagu introit, seperti yang dinyanyikan di Minggu pertama Adven, Minggu Gaudete, Natal, Paska, Kenaikan Yesus ke Surga, dan Pentakosta.

Tradisi mendaraskan Kyrie berasal dari Gereja Timur. Awalnya dalam bentuk litani, yaitu rangkaian permohonan yang ditanggapi dengan: Tuhan kasihanilah kami. Pada awalnya jumlah permohonan tidak dibatasi. Awalnya Paus memberi tanda kepada koor saatnya untuk berhenti bernyanyi, saat ia telah sampai ke kursinya. Pada awalnya doa ini mengacu kepada Kristus, Sang Kyrios. Namun sejak Abad Pertengahan, doa ini ditujukan kepada Allah Trinitas. Doa Kyrie, ini menunjukkan kerinduan Gereja akan kedatangan Kristus, di sini dan pada saat ini, dalam perayaan Ekaristi dan dalam berbagai cara dan sarana rahmat-Nya. Lagu Kyrie, Gloria, Credo, Sanctus Agnus Dei dinyanyikan bersahut-sahutan antara umat dan koor.

Gloria, adalah doa pujian kepada Allah Trinitas. Dimulai dari doa kemuliaan yang dinyanyikan para malaikat di Betlehem, lalu dilanjutkan dengan pujian kepada Allah Bapa, dan Putera Tunggal-Nya, dan Roh Kudus. Gereja awal menyanyikan Gloria hanya di Misa Malam Natal. Paus Symmachus mulai memasukkan Gloria, pada misa pontifikal dan perayaan martir. Namun sejak abad ke-11, Gloria dinyanyikan di semua Misa hari Minggu, kecuali pada masa tobat, yaitu di masa Adven dan Prapaska.

Collect, berasal dari ad collectam, adalah doa yang dipanjatkan oleh imam selebran, bagi umat. Maksud adanya doa ini adalah untuk memohon kepada Tuhan dengan pengantaraan Putera-Nya dan atas kuasa Roh Kudus. Doa ini merupakan ungkapan iman Gereja, sehingga diungkapkan keyakinan sebagaimana ada dalam dogma, seperti kesempurnaan Tuhan, kejatuhan manusia dan penyelamatan oleh Tuhan, misteri Kristus, dst. Doa diakhiri dengan permohonan akan pengantaraan Kristus, sebab melalui Dia segala rahmat Allah mengalir kepada Gereja. Doa di  dalam nama Kristus, ini merupakan penggenapan Yoh 14:14. Doa ini merupakan akhir bagian pembuka, yang menghantar kepada pembacaan Sabda Tuhan.

Dalam Misa Romawi kuno, terdapat tiga bagian bacaan: satu dari Perjanjian Lama, satu dari Perjanjian Baru dan bacaan terakhir dari Injil. Bacaan dibacakan di ambo, dengan pembaca menghadap ke umat. Pada masa itu semua bacaan dibacakan dalam bahasa Latin. Di antara bacaan, didaraskan Mazmur yang dinyanyikan, bukan sebagai pengiring prosesi, namun sebagai bagian dari pembacaan Sabda. Lagu Alleluia -artinya terpujilah Yahwe- dinyanyikan untuk mempersiapkan kita bagi sukacita Injil. Sampai zaman Paus Gregorius, Alleluia hanya dinyanyikan pada masa Paska. Paus Gregoriuslah yang meluaskan pendarasan Alleluia pada Misa di masa biasa, di luar masa Prapaska. Bacaan Injil merupakan puncak dari Liturgi Sabda. Karena itulah Kitab Injil dibawa di tempat pertama saat prosesi masuk, dan kitab Injil yang melambangkan Sang Sabda kemudian diletakkan di altar. Sesaat sebelum pembacaan Injil, diakon berlutut di hadapan imam untuk memperoleh berkat dari Allah untuk membacakan Injil. Kemudian diiringi oleh petugas pembawa ukupan ataupun lilin, diakon diantar ke ambo, untuk mendaraskan Injil. Semua umat berdiri, untuk menghormati Injil. Injil umumnya merupakan inti pengajaran pada hari tersebut.

Homili yang mengikuti pembacaan Injil, adalah salah satu bagian tertua dari liturgi. Homili ini mengacu kepada apa yang dilakukan oleh Kristus sendiri setelah membaca Kitab Yesaya di sinagoga di Nazareth (lih. Luk 4:16-22). Walaupun di abad-abad pertama homili relatif langka, namun kita memiliki banyak homili dari Paus St. Leo, Gregorius, dan juga dari St. Agustinus. Homili merupakan khotbah sederhana, yang merupakan penjelasan dari salah satu pelajaran dari Misa Kudus pada hari itu, yang dikaitkan dengan keadaan/ kebutuhan umat beriman.

Credo/ Syahadat adalah tanggapan terhadap bacaan Injil. Syahadat yang ada pada kita sekarang merupakan ungkapan iman yang diucapkan pada saat Baptisan. Syahadat Panjang, atau yang dikenal dengan Syahadat Nicea, berasal dari abad ke-4, yaitu hasil Konsili Nicea (325) dan Konstantinopel (391), yang kemudian ditentukan sebagai pernyataan iman Gereja, di Konsili Kalsedon (451). Syahadat ini awalnya dimasukkan ke dalam Misa dalam liturgi Gereja Timur. Di abad ke 6, Gereja Barat di Spanyol memasukkan Syahadat dalam Misa, sebelum pendarasan doa Bapa Kami. Gereja Roma mengadopsi tradisi ini di tahun 1014. Sikap menunduk pada saat mengucapkan “yang dikandung dari Roh Kudus…..” berasal dari kebiasaan pada abad ke-11 ini. Pernyataan iman dalam Syahadat ini merupakan akhir Liturgi Sabda, yang menghantar menuju persembahan kurban.

Setelah Syahadat diungkapkan doa umat untuk berbagai kebutuhan Gereja. Doa umat meriah pada Jumat Agung menjadi gambaran untuk bentuk doa umat ini. St. Yustinus di abad ke-2 memberikan kesaksian tentang sudah adanya doa umat ini dalam tradisi Gereja awal.

Persembahan roti dan anggur pada mulanya adalah roti biasa, namun secara khusus didedikasikan, berbentuk bundar dan ditandai dengan tanda salib atau mahkota. Di abad ke-9 ketentuan tentang hal ini diperketat, agar menjadi semakin indah dan murni, sesuai dengan maksud aslinya. Ketentuan akhirnya memutuskan untuk digunakannya roti tak beragi dalam bentuk koin di Gereja Barat. Roti tak beragi mengacu kepada jenis roti yang digunakan oleh Kristus pada saat Perjamuan Terakhir. Sedangkan anggur yang digunakan umumnya adalah anggur merah. Persembahan ini dihantar ke altar melibatkan umat, untuk menyatakan bahwa persembahan ini bukan hanya persembahan imam, tetapi juga persembahan seluruh umat beriman yang hadir. Sebab menurut Baptisan mereka adalah “imam yang rajani” (1 Ptr 2:9). Persembahan roti dan anggur ini kemudian diletakkan di altar. Anggur ini dicampur setetes air, yang melambangkan kita umat-Nya, maka campuran ini, menurut St. Siprianus, menggambarkan kesatuan antara Kristus dan Gereja; dan kesatuan umat Kristiani di dalam Kristus. Memang, kurban dalam perayaan Ekaristi adalah kurban Kristus; maka persembahan apapun yang diberikan oleh umat sekalian menerima maknanya hanya dari kesatuannya dengan Sang Kurban ilahi itu. Maka Tuhan Yesus adalah satu-satunya Kurban dalam kurban Ekaristi itu, namun kita semua tergabung erat dengan Dia, sebab kita adalah anggota-anggota Tubuh-Nya. Maka persembahan seluruh Gereja ini, tidak menambah apapun terhadap nilai pengorbanan Kristus, sebab terdapat jarak yang tak terbatas antara kita dan Dia, namun kita dengan erat disatukan dengan Dia, di mana Ia berkenan untuk menghubungkan kita dengan Diri-Nya. Selain itu anggur dan air tersebut juga menggambarkan darah dan air yang keluar dari lambung Kristus, ketika lambung-Nya itu ditusuk dengan tombak oleh serdadu yang memastikan kematian-Nya di kayu salib (lih. Yoh 19:34).

Selanjutnya, doa konsekrasi merupakan bagian Misa Kudus yang paling prinsip, yang hampir tidak pernah berubah, yang dikenal juga dengan sebutan canon actionis. Bagian utamanya adalah narasi Perjamuan Terakhir, yang berakhir pada doksologi sebelum doa Bapa Kami. Diawali dengan anafora dan Kudus (Sanctus), doa Konsekrasi ini kemudian diikuti dengan tambahan doa untuk Gereja yang masih berziarah di dunia maupun yang telah beralih dari dunia ini. Adanya anafora (teks dialog, Tuhan bersamamu…), sudah disebutkan dalam tulisan St. Hippolytus. Anafora yang disambung dengan embolisme, (Sungguh layak dan sepantasnya…. ) mengantar kepada pujian Kudus (Sanctus), sebagaimana ditemukan dalam Apostolic Constitutions dan tulisan Serapion, Uskup Thmuis, Mesir di abad ke-4. Teks Kudus, (Sanctus) sendiri berasal dari teks Misa Paus Sixtus II (119-128). Sedangkan penyusun teks canon Romawi diperkirakan adalah Paus Leo Agung (440-461), atau bahkan sebelumnya, Paus Damasus (366-384). Namun demikian, manuskrip kuno yang memuat teks canon seperti yang ada sekarang, dengan sedikit variasinya, berasal dari abad ke-7.

Teks canon konsekrasi ini telah lama diucapkan dengan lantang. Baru pada pertengahan abad ke-8, teks diucapkan dengan suara yang rendah, dan di abad ke-9 menurut Ordo Romanus II, teks canon ini diucapkan dalam hati imam dalam keheningan. Secara umum, terdapat kecenderungan untuk memberikan penghormatan tertinggi terhadap perkataan Sabda pada canon ini, dan suatu misteri tertentu memang menjadi bagian khusus bagi imam yang merayakan Ekaristi tersebut. Doa Konsekrasi ini diawali dengan permohonan kepada Allah untuk menguduskan dan menerima persembahan roti dan anggur, dan mengubahnya menjadi Tubuh dan Darah, Putera-Nya Yesus Kristus. Teks ini berasal dari De Sacramentis, di abad ke-4. Selanjutnya, teks Konsekrasi yang diawali dengan…..”Pada malam sebelum sengsara-Nya…..” dan seterusnya, juga sudah ada dalam De Sacramentis, namun asal usulnya adalah dari Tradisi Para Rasul di abad pertama, sebagaimana yang kemudian dituliskan dalam Injil, dan Surat Rasul Paulus. Pengangkatan hosti dan piala berisi anggur setelah Konsekrasi dimaksudkan untuk menekankan pentingnya saat kurban Kristus itu, untuk disembah oleh umat. Paus Pius X mengajak umat untuk memandang Hosti dan piala yang telah dikonsekrasikan itu dan menyembahnya. Sedangkan sikap imam yang sujud menyembah setelah konsekrasi, ditentukan oleh Paus Pius V. Dering bel dimaksudkan juga untuk menandai momen yang kudus ini. Di berbagai gereja kuno di Eropa, momen ini ditandai dengan dibunyikannya lonceng gereja, sehingga orang yang karena satu dan lain hal tidak dapat mengikuti perayaan Ekaristi, dengan mendengar bunyi lonceng ini, dapat mendaraskan doa iman untuk turut menghormati saat yang istimewa ini. Yaitu saat Allah menghadirkan kembali kurban yang satu dan sama itu, dengan mengubah roti dan anggur, menjadi Tubuh dan Darah Putera-Nya, Yesus Kristus.

Penghormatan akan Tubuh dan Darah Kristus ini diikuti oleh Anamnese, untuk mengenang wafat, kebangkitan dan kedatangan-Nya kembali, dan dengan demikian menggenapi (1 Kor 11:26). Doa bagi Bapa Paus, Uskup dan para pengajar iman, juga doa bagi semua umat yang hadir, merupakan tambahan doa yang melengkapi doa konsekrasi. Dalam doa tambahan ini juga disebutkan penghormatan kepada para kudus, terutama Bunda Maria, yang disebut sebagai “Bunda Tuhan kita Yesus Kristus”, dan juga para Rasul. Demikian juga, disebutkan permohonan doa untuk jiwa-jiwa orang-orang yang telah meninggal dunia, agar beroleh istirahat kekal di dalam Kristus. Teks permohonan ini berasal dari teks-teks kuno sejak abad ke-4, walaupun dimasukkannya ke dalam teks dalam setiap Misa Kudus, baru terjadi di abad ke-8. Sebelumnya teks permohonan ini hanya diucapkan pada Misa untuk mendoakan arwah. Namun tradisi mendoakan arwah telah ada sejak zaman Gereja perdana, saat jemaat mendoakan jiwa-jiwa sesama jemaat yang telah mendahului mereka.

Selanjutnya, pengangkatan hosti dan piala anggur yang disertai doksologi, adalah doa pujian tertinggi kepada Allah Trinitas, yang mengakhiri doa konsekrasi. Doa ini diambil dari Surat Rasul Paulus (lih. Rm 11:36). Terhadap pujian tertinggi ini umat menjawab: Amin, sebagai ungkapan iman umat atas misteri kudus yang baru saja terjadi di altar-Nya. Aklamasi Amin, di akhir doa konsekrasi ini, telah disebutkan dalam tulisan St. Yustinus Martir di abad ke-2.

Pendarasan doa Bapa Kami dalam Misa Kudus, ditemukan sejak abad ke-4, atau bahkan abad ke-3, di gereja-gereja yang merayakan Ekaristi setiap hari. Pada Bapa Gereja menghubungkan permohonan untuk  “daily bread” dengan Ekaristi, walaupun secara literal berarti roti/ rejeki sehari-hari. Tertullian menyebut doa Bapa Kami sebagai rangkuman Injil. Doa ini menyatukan kita dengan Roh Kristus sebelum kita mengambil bagian di dalam Tubuh-Nya. Berikutnya adalah Salam Damai (Pax Domini), pemecahan hosti, dan dicampurkannya ke dalam anggur yang telah dikonsekrasikan, sebagaimana telah disebutkan dalam teks Misa di zaman Paus Gregorius.

Di abad ke-8, lagu Anak Domba Allah (Agnus Dei) dinyanyikan pada saat ini. Pencampuran antara Hosti dan anggur ini menunjukkan kesatuan sakramen, dan bahwa konsekrasi kedua materia itu tidak memisahkan antara keduanya. Pencampuran ini juga melambangkan kebangkitan Kristus, di mana Tubuh dan Jiwa-Nya bersatu kembali. Selanjutnya, doa menjelang penerimaan Komuni, “Ya Tuhan saya tidak pantas, Engkau datang pada saya….” berasal dari perkataan sang centurion dalam Injil (lih. Mat 8:8). Permohonan ini mengungkapkan kesadaran kita akan ketidaklayakan kita untuk menerima Kristus, namun juga menyatakan iman kita bahwa Tuhan akan memberikan kesembuhan kepada jiwa kita.

Berikutnya adalah penerimaan Komuni Kudus. Komuni dapat diterima dengan tangan ataupun dengan mulut. Penerimaan dengan tangan mengambil dasar dari tulisan St. Sirilus dari Yerusalem (315-386), “Umat menerima Komuni dengan tangan kanan mendukung tangan kiri, dengan telapak yang membentuk cekungan; dan pada saat Tubuh Kristus diberikan, umat menjawab, Amen.” (Mystagogical Catecheses 5,21). Sedangkan penerimaan Komuni dengan mulut mengambil dasar dari:

  1. Paus St. Leo Agung (440-461) mengajarkan Yohanes bab 6 dengan mengatakan, “Seseorang menerima di mulut apa yang dipercayainya dengan iman.” Ini kemungkinan juga berhubungan dengan teks doa kuno sejak abad ke-4, Quod ore sumpsimus, “Semoga apa yang telah kami terima dengan mulut kami, kami miliki dengan kemurnian hati, dan semoga karunia saat ini menjadi bagi kami obat kekekalan.”
  2. Paus St. Gregorius Agung (590-604), dalam dialognya (Roman 3, c.3) menyebutkan bagaimana Paus St. Agapito melakukan mukjizat pada misa kudus, saat ia memberikan Ekaristi di mulut seseorang. Hal ini juga dikatakan oleh Yohanes Diakon.
  3. Konsili Rouen (650): “Jangan memberikan Ekaristi di tangan orang awam, melainkan di mulut.”
  4. Konsili Trullo (692) melarang pemberian Ekaristi di tangan.
  5. St. Thomas Aquinas (1225-1274) menekankan pentingnya sakramen Tahbisan suci untuk menyentuh dan membagikan Komuni suci.

Dengan mengimani bahwa Kristus hadir seutuhnya baik dalam rupa hosti saja maupun anggur saja, maka sejak abad ke-12 Gereja umumnya memberikan Komuni satu rupa, yaitu dalam rupa Hosti. Setelah penerimaan Komuni, masing-masing umat berdoa secara pribadi dalam keheningan, dan kemudian dilanjutkan dengan doa syukur setelah Komuni oleh imam. Setelah imam mendoakan umat umat, umat diutus, Ite, missa est. Imam memberi berkat penutup dan berakhirlah perayaan Ekaristi. Umat dapat melanjutkan dengan doa syukur secara pribadi dalam keheningan, atas Komuni kudus yang baru saja diterima.

Perayaan Misa: perayaan iman yang hidup dan bertumbuh

Dari catatan di atas dapat dilihat perayaan Misa memiliki dasar yang kuat karena berasal dari ajaran Kristus dan para rasul itu sendiri. Tak mengherankan, jika seseorang mempelajari sejarah Gereja untuk menemukan ibadat seperti apa yang  sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Kristus sendiri, ia akan sampai kepada fakta bahwa ibadat itu adalah perayaan Misa atau yang juga disebut perayaan  Ekaristi Kudus. Selain itu sejarah mencatat bahwa sejak Perjamuan Terakhir memang perayaan Ekaristi mengalami perubahan di sepanjang kehidupan Gereja. Namun secara mendasar, intinya tidak berubah. Yang berubah adalah detail pelaksanaannya, berdasarkan keputusan otoritas Gereja, demi menjadikan perayaan Ekaristi menjadi semakin hidup dan dekat menyatu dengan umat. Tanpa mengesampingkan kesakralannya, Gereja memperbaharui liturgi agar umat dapat semakin menghayatinya dan menjadikannya sumber dan puncak kehidupan mereka sebagai umat Kristiani. Untuk hal ini kita perlu bersyukur kepada Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.

 

Sumber Utama:

Francois Amiot, History of the Mass, Twentieth Century Encyclopedia of Catholicism, vol. 110, (New York: Hawthorn Publishers, 1959)

10 COMMENTS

  1. Shalom pak stef dan bu Ingrid
    Smoga Kasih Tuhan kita Yesus Kristus menyertai kita semua…
    Ada beberapa pertanyaan yg ingin saya tanyakan iaitu sejak kapan gereja katolik menubuhkan pelayan altari ? Sebab saya juga salah seorang pelayan altari …sama….saya juga ingin menanyakan apakah Pandangan gereja katolik mengenai Al Quran dan mengapakah gereja tidak mahu mengesahkannya sebagai Firman Allah…sekian dan terima kasih…Jesus Bless :)

    • Shalom Nelson,

      Tulisan-tulisan Gereja di abad kedua dan ketiga telah menjabarkan tentang peran akolit. Di abad ke-4, saat Gereja berkembang pesat, maka rumusan ibadatnya juga berkembang, dan mulai dikembangkan prosesi perarakan dalam ibadat, demikian pula adanya pendarasan litani dan chanting, berbagai bagian liturgis lainnya, seperti penggunaan bel, ukupan dan benda-benda lain dalam ibadat, dan dengan demikian berkembanglah keberadaan para pelayan altar yang menjalankan tugas masing-masing dalam liturgi.

      Gereja Katolik tidak mengakui adanya wahyu umum yang lain yang datang setelah zaman Kristus dan para Rasul. Katekismus mengajarkan:

      KGK 66    “Tata penyelamatan Kristen sebagai suatu perjanjian yang baru dan definitif, tidak pernah akan lenyap, dan tidak perlu diharapkan suatu wahyu umum baru, sebelum kedatangan yang jaya Tuhan kita Yesus Kristus” (DV 4). Walaupun wahyu itu sudah selesai, namun isinya sama sekali belum digali seluruhnya; masih merupakan tugas kepercayaan umat Kristen, supaya dalam peredaran zaman lama kelamaan dapat mengerti seluruh artinya.

      KGK 67    Dalam peredaran waktu terdapatlah apa yang dinamakan “wahyu pribadi”, yang beberapa di antaranya diakui oleh pimpinan Gereja. Namun wahyu pribadi itu tidak termasuk dalam perbendaharaan iman. Bukanlah tugas mereka untuk “menyempurnakan” wahyu Kristus yang definitif atau untuk “melengkapinya”, melainkan untuk membantu supaya orang dapat menghayatinya lebih dalam lagi dalam rentang waktu tertentu. Di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, maka dalam kesadaran iman, umat beriman tahu membedakan dan melihat dalam wahyu-wahyu ini apa yang merupakan amanat otentik dari Kristus atau para kudus kepada Gereja. Iman Kristen tidak dapat “menerima” wahyu-wahyu yang mau melebihi atau membetulkan wahyu yang sudah dituntaskan dalam Kristus. Hal ini diklaim oleh agama-agama bukan Kristen tertentu dan sering kali juga oleh sekte-sekte baru tertentu yang mendasarkan diri atas “wahyu-wahyu” yang demikian itu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Syalom para pengasuh katolisitas, saya mau bertanya lagi perihal misa pada hari sabtu, bukankah seharusnya hari minggu adalah hari tuhan? lalu mengapa hari sabtu disamakan dengan hari minggu?

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel ini terlebih dahulu, di bagian sub-judul, Misa Sabtu sore, silakan klik.]

  3. Syalom para pengasuh katolisitas,saya mau tanya satu hal yaitu bila sebuah Hosti terjatuh bahkan terinjak disaat perayaan misa kudus seharusnya apa yang dilakulan,dan apakah kita yang menjatuhkanya berdosa?,trim Gbu

    • Shalom Jhoseph,

      Sebenarnya, pertanyaannya adalah apakah kejadian Hosti terjatuh tersebut disengaja atau tidak? Sebab jika seseorang sengaja membuat Hosti yang sudah dikonsekrasikan itu jatuh dan kemudian menginjaknya, maka ini termasuk dosa sakrilegi dan karena ada unsur kesengajaan, ini adalah dosa berat. Namun jika hal itu terjadi karena faktor kurang hati-hati dari orang yang melakukannya dan tidak disengaja, maka tergolong dosa ringan.

      Sedangkan bagaimana yang harus dilakukan pada Hosti yang terjatuh, silakan membaca jawaban kami di sini, silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  4. Selamat sore pengasuh Katolisitas & para pembaca.

    Terima kasih atas artikel di atas yg sangat informatif.

    Saya ingin bertanya tentang sejarah adorasi Sakramen Mahakudus yg biasa kita lakukan pada hari Jumat pertama tiap bulan.
    Saya pernah diceritakan (ketika masih remaja) bahwa ada masa2 ketika umat Katolik di Eropa tertimpa berbagai kesusahan entah itu berupa wabah penyakit, kelaparan atau dikepung/diserang bangsa lain. Keadaan sulit tsb berdampak pada terbatasnya berbagai hal terutama kesempatan untuk mengadakan ekaristi dan juga keterbatasan Hosti Kudus untuk umat. Selanjutnya diceritakan pula bhw beberapa pemimpin gereja memutuskan, jika kondisi sangat darurat maka umat dicukupkan dengan upacara penghormatan Sakramen Mahakudus. Didahului dengan upacara singkat (barangkali seperti adorasi yg sekarang ini), hosti ditahtakan pada monstrans lalu diangkat agar umat bisa melihat. Imam dan umat percaya bahwa HANYA DENGAN MELIHAT HOSTI tsb maka umat disucikan sehingga dengan hati yg lebih damai dan tenang dapat kembali bekerja menolong orang2 yg terdampak wabah penyakit/kelaparan ataupun pergi menyongsong musuh yg mengepung di gerbang kota.

    Pertanyaan saya: benarkah sejarah (latar belakang) diadakannya adorasi Sakramen Mahakudus itu? [Untuk catatan anda & pembaca, saya pun yakin percaya bhw kita/umat yg ikut adorasi ini disucikan setelah memandang Tubuh Kristus dalam monstrans tsb, dengan catatan, sudah mempersiapkan batin dengan baik, serta percaya pada kuasa dan kasih Tuhan Jesus yang ingin agar semua manusia selamat.]

    Persoalan (pribadi saya) yg kedua, saya merasa bahwa seakan-akan adorasi pada Jumat pertama lebih penting daripada Ekaristi Kudus, padahal diujung Ekaristi kita diajak menyambut Tubuh dan Darah Kristus, tidak sekedar menonton ketika monstrans diangkat! Barangkali ini hanya kesan saya saja krn kita bisa/terbiasa ikut perayaan Ekaristi tiap hari, sebaliknya hanya ada adorasi 1 kali sebulan. Kesan tsb juga karena ada suasana khusus/khusyuk yg sengaja diciptakan pada saat monstrans diangkat oleh Imam, yaitu seluruh lampu dipadamkan kecuali beberapa spotlight yg diarahkan ke altar/monstrans, ditimpali dengan dentang bel logam, bel kayu serta gong.
    Dalam beberapa tahun terakhir, pikiran seperti itu (serta kisah sejarah yg disampaikan kepada saya) “menggoda” saya untuk bersikap “mencukupkan diri” dengan perayaan Ekaristi Kudus sehingga tidak terlalu “ngotot” untuk menghadiri upacara Adorasi Sakramen Mahakudus setiap Jumat pertama. Selama ini saya berusaha melawan pikiran tsb dengan berpikir sebaliknya, yaitu: apa salahnya jika saya dapat menikmati keindahan suasana itu serta dapat melanjutkan doa setelah komuni. Apa salahnya kalau saya (dlm bahasa Jawa) ikut “ngalap berkah” lebih banyak lagi?

    Saya menunggu pencerahan dari pengasuh Katolisitas yg menjelaskan pandangan resmi Gereja Katolik tentang Adorasi Sakramen Mahakudus serta “kedudukannya” jika dibandingkan dengan perayaan Ekaristi.

    Terima kasih, semoga berkat Tuhan Jesus Kristus menyertai kita semua.

    • Selamat sore (lagi) buat pengasuh Katolisitas & para pembaca.

      Setelah mengetik pertanyaan di atas, saya coba2 googling “history of eucharistic adoration in the catholic church”. Banyak sumber2 yg bisa dibaca (a.l dari wikipedia, ewtn.com, yg Katolik atau sekular dsb) namun tentu saya ingin diberi informasi yg resmi dari Gereja Katolik.
      Terima kasih.

      • Shalom Hermanwib,

        Apa yang disampaikan oleh situs EWTN tentang The History of Eucharistic Adoration, silakan klik, adalah tulisan yang resmi diakui oleh pihak otoritas Gereja Katolik, dan hal ini nyata dalam pernyataan Uskup Jerome J. Hastrich Gallup, New Mexico U.S.A, yang ada di bawah ulasan yang dikarang oleh Fr. John A Hardon, SJ, tersebut. Di sana, Fr. Hardon hanya menyampaikan fakta-fakta dan ajaran resmi Magisterium Gereja Katolik tentang sejarah diadakannya Adorasi Sakramen Mahakudus.

        Silakan menjadikan tulisan tersebut sebagai sumber bagi informasi yang Anda butuhkan sehubungan dengan Adorasi Sakramen Mahakudus.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- katolisitas.org

    • Shalom Hermanwib,

      Silakan membaca artikel di atas yang baru saja kami tayangkan untuk menanggapi pertanyaan Anda, silakan klik.

      Penyembahan Sakramen Mahakudus berakar dari iman Gereja akan kehadiran Kristus dalam rupa Ekaristi. Ajaran iman ini telah menjadi iman Gereja sejak awal, sehingga bukan baru timbul di Abad Pertengahan di Eropa. Namun demikian, sebagai suatu ibadah yang dilakukan umat secara bersama-sama di gereja/ kapel, memang mungkin baru umum dilakukan di sekitar Abad Pertengahan, terutama setelah Paus Urbanus IV menetapkan Hari Raya Corpus Christi  (1264) untuk mengkhususkan suatu hari tertentu agar umat dapat mensyukuri penyertaan dan kehadiran Kristus di tengah Gereja-Nya dalam rupa Ekaristi dan melakukan penyembahan kepada-Nya. Umumnya perayaan dinyatakan dengan prosesi dan kemudian dilanjutkan dengan perayaan Ekaristi. Bahwa pada sekitar abad itu (abad 13-14) Adorasi Sakramen Mahakudus diadakan sebagai ucapan syukur setelah Gereja berhasil mengatasi kekacauan akibat ajaran sesat Albigenses, dan wabah (yang umum dikenal sebagai Black Death di Eropa) itu memang benar, namun tidak berarti bahwa tradisi penyembahan terhadap Ekaristi baru dikenal pada saat itu. Sebab tradisi Adorasi Sakramen Mahakudus itu tak terlepas dari iman Gereja akan kehadiran Yesus dalam Ekaristi, yang telah lama ada sejak Gereja berdiri. Dengan kehadiran Yesus sendiri dalam Ekaristi, maka memang tak mengherankan bahwa Ia dapat memutuskan untuk mengabulkan doa-doa yang dipanjatkan di hadapan sakramen-Nya yang Mahakudus itu. Namun Adorasi Ekaristi di luar perayaan Ekaristi ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan perayaan Ekaristi itu sendiri.

      Perayaan Ekaristi tetaplah adalah bentuk ibadah tertinggi dalam Gereja Katolik. Perayaan Ekaristi yang dimaksud adalah perayaan kurban Kristus- sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga, peringatan Perjamuan Terakhir, dan gambaran akan Perjamuan Surgawi, maka merupakan “sumber dan puncak kehidupan Kristiani”, yang mempersatukan kita dengan liturgi surgawi (KGK 1324, lihat juga KGK 1322-1323, 1326). Melalui perayaan Ekaristi, kita menerima keseluruhan Kristus: Tubuh, Darah, Jiwa, dan ke-Allahan-Nya dalam tubuh, darah dan jiwa kita. Persatuan/ Komuni ini membawa kita ke dalam persekutuan dengan Allah; yang kelak mencapai kesempurnaannya di Surga. Dalam perayaan Ekaristi, sesungguhnya kita dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, juga menyembah Kristus. Adorasi sakramen Mahakudus, jika kita meminjam perkataan Paus Benediktus XVI, adalah suatu tindakan yang memperpanjang dan memperdalam segala sesuatu yang terjadi dalam perayaan Ekaristi (lih. Sacramentum Caritatis, 66), namun tidak dapat menggantikan peran perayaan Ekaristi kudus.

      Devosi pada dasarnya adalah suatu bentuk ulah kesalehan/ ungkapan kasih kita akan Allah, sehingga kita didorong untuk menjadi siap sedia untuk melakukan kehendak-Nya dengan segera dan dengan suka cita. Nah, karena merupakan ungkapan cinta, maka memang kita tidak dapat memaksakan ataupun mengharuskan. Namun, tentu orang yang melakukan devosi dengan sukarela dan dengan suka cita, akan menerima manfaatnya. Selanjutnya tentang Devosi, silakan klik di sini.

      Tentang Devosi Jumat Pertama, silakan klik di sini.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  5. Shallom,
    disini saya ingin belajar berkenaan dengan asal usul perayaan misa kudus, susunan dari yang pertama sekali sehinggalah yang kita ada didalam paroki masing-masing. Adakah terdapatnya buku yang boleh dijadikan rujukan untuk perkara ini? Mohon bantuan saudara terkasih. Email saya: gdicx@yahoo.com.

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas yang baru saja kami tayangkan untuk menjawab pertanyaan Anda, silakan klik]

Comments are closed.