[Hari Minggu Biasa ke XII: Yer 20:10-13; Mzm 69:8-10,14,17, 33-35; Rm 5:12-15), Mat 10:26-33)]
Di zaman ini, kita melihat adanya paham yang mulai dianut oleh sejumlah orang yang cenderung mempertanyakan keberadaan Tuhan. Banyak di antara mereka bahkan memilih untuk tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Salah satu alasannya adalah karena mereka memercayai teori evolusi, yang konon membuat mereka yakin bahwa dunia dan segala isinya berawal dari suatu sel yang secara kebetulan bermutasi dan membentuk berbagai makhluk: dari makhluk sederhana sampai menjadi semakin rumit dan akhirnya, manusia. Paham itu meyakini bahwa manusia terbentuk secara berangsur-angsur dari makhluk semacam kera. Salah satu perkiraan makhluk kuno itu konon telah ditemukan di Trinil, Jawa Timur oleh seorang bernama Dr. Eugene Dubois di akhir abad ke-19. Dubouis memberikan nama makhluk itu: Pithecanthropus erectus. Tercetaklah nama itu di banyak buku-buku pelajaran, seolah makhluk itu pasti ada, dan dianggap benar adanya. Namun kalau kita membaca kisahnya, sebenarnya penemuan makhluk ini sangat lemah dasarnya, karena melibatkan asumsi penelitinya. Sebab, fosil yang ditemukan sesungguhnya sangat terbatas. Yaitu hanya sebuah tengkorak dengan gigi yang dianggap milik seekor kera yang ditemukan tahun 1891, dan setahun kemudian berjarak 50 kaki dari temuan pertama, ditemukannya tulang yang menyerupai tulang paha manusia. Namun dari kedua fosil ini, Dubois lalu menyimpulkan bahwa keduanya adalah milik satu spesies yang sama, dan terbentuklah rekonstruksi Java man (Pithecanthropus erectus).
Namun cerita itu tak berhenti sampai di situ. Sebab ditemukanlah juga fosil tengkorak manusia, yang berasal dari zaman yang sama. Artinya, manusia yang sesungguhnya sudah hidup bersama-sama dengan Java man (manusia purba di Jawa) di jangka waktu yang sama. Ini sebenarnya, sudah meruntuhkan asumsi adanya proses evolusi yang terjadi antara manusia purba sampai menjadi manusia. Karena, kalau teori evolusi benar, maka dengan terbentuk manusia, maka mestinya manusia purba sudah tidak eksis lagi. Kalau keduanya tetap ada di zaman yang sama, artinya kedua makhluk itu sudah ada dengan ciri-cirinya sendiri, dan tidak berasal satu dari yang lainnya! Akhirnya Dubois sendiri merevisi teorinya pada tahun 1938, dan mengatakan bahwa Java man itu sebenarnya bukan manusia purba tetapi adalah kera raksasa. Namun apa mau dikata, para pendukung paham teori evolusi tetap menempatkan Java man dalam rantai evolusi manusia, dalam klasifikasi Homo erectus. Betapa memprihatinkan bahwa ada banyak orang yang terkecoh karenanya, dan memutuskan meninggalkan iman. Padahal, tak bisa dipungkiri, klaim-klaim penemuan fosil itu melibatkan asumsi penelitinya yang tentu saja, dapat dan mungkin salah. Sebab penemuan fosil “makhluk antara” penghubung species yang yang satu dan species yang lain sebenarnya relatif sangat langka. Fakta yang ada justru adalah sebaliknya: hampir semua makhluk hidup telah memiliki ciri khas yang tetap sama dalam jangka waktu yang lama, bahkan sejak berjuta-juta tahun lalu. Betapa seharusnya hal ini membuka mata, bahwa argumen tentang semua makhluk adalah hasil evolusi dari makhluk lainnya yang lebih rendah, adalah argumen yang dipaksakan. Logika mengatakan, tidak ada orang dapat memberi jika ia tak lebih dahulu memiliki. Namun herannya, ada orang-orang yang tetap menganggap bahwa hewan bersel satu dapat membentuk sendiri hewan bersel banyak, dari makhluk yang tidak punya mata dan telinga dapat menurunkan makhluk yang punya mata dan telinga… Begitu seterusnya sampai: dari kera menurunkan manusia. Padahal nyatanya, fosil makhluk-makhluk peralihannya tidak ada. Atau kalaupun dianggap ada, sangatlah langka dan rekonstruksinya melibatkan asumsi penelitinya sendiri. Sayangnya adalah juga realita, banyak orang mengikuti paham ini. Implikasinya bagi mereka: tidak ada manusia pertama, sebab manusia telah terjadi dengan sendirinya, dari sekian banyak jumlah kera yang berevolusi karena seleksi alam ataupun mutasi. Juga dengan sendirinya mereka menolak bahwa seluruh manusia berasal dari sepasang manusia pertama, dan bahwa manusia pertama ini telah jatuh dalam dosa yang diturunkan kepada seluruh umat manusia. Tak mengherankan bahwa orang yang meyakini teori evolusi kera jadi manusia ini, lantas juga menolak adanya Allah Pencipta dan perlunya penyelamatan manusia oleh Yesus Kristus.
Namun hari ini kita mendengar hal yang sebaliknya, yang diwahyukan Allah, dan bukan atas dasar asumsi manusia. Pewahyuan dari Allah sendiri, tentu dasarnya kuat, sebab Allah tidak mungkin berdusta. Sabda Allah di Bacaan Kedua menceritakan tentang kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa. “Dosa telah masuk ke dalam dunia lantaran satu orang, dan karena dosa itu, masuklah juga maut…. Sebab jika karena pelanggaran satu orang itu semua orang telah jatuh dalam kuasa maut, jauh lebih besarlah kasih karunia dan karunia Allah, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang lantaran satu orang, yaitu Yesus Kristus” (Rm 5:12-15). Demikianlah, kita sebagai umat Katolik, tidak dapat berpegang pada teori yang mengandaikan bahwa tidak ada manusia pertama; atau bahwa Adam dan Hawa mewakili banyak pasang manusia pertama. Apalagi mengasumsikan bahwa manusia adalah hasil dari evolusi kera, entah karena mutasi atau seleksi alam.
Kita percaya bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia pertama: seorang laki-laki yaitu Adam dan kemudian seorang perempuan, yaitu Hawa. Allah lah yang menciptakan manusia yang mempunyai tubuh jasmani dan jiwa rohani. Allah lah yang menciptakan jiwa manusia dari ketiadaan; maka keberadaan jiwa manusia tidak mungkin merupakan evolusi maupun kelanjutan dari jiwa binatang. Manusia diciptakan Allah dengan begitu istimewa. Hanya sayangnya, manusia tetap jatuh dalam dosa. Dosa Adam itulah yang diturunkan kepada semua umat manusia, yang kemudian ditebus oleh Adam yang baru, yaitu Kristus. Ini adalah inti pengajaran Paus Pius XII dalam Humani generis, yang menjelaskan bagaimana Gereja menyikapi sejumlah paham keliru yang mengancam dan merendahkan fondasi ajaran Katolik. Betapa pentingnya kita umat Katolik mengenali betapa kita hidup di zaman di mana banyak paham yang berupaya menggoncang ataupun mencabut iman kita. Bukan berarti bahwa dengan beriman kita mengesampingkan akal budi, sebab akal budi dan iman sebenarnya tak mungkin bertentangan. Namun kita harus beriman dengan akal sehat yang benar, agar dapat memilah, apakah atau siapakah yang layak dipercaya. Kita tidak boleh terhanyut oleh berbagai paham dunia yang dikemas sedemikian rupa seolah masuk akal, tetapi ada kemungkinan merupakan satu rekayasa! Atau setidaknya, belum terbukti secara meyakinkan, bahkan dengan menggunakan standar ilmu pengetahuan itu sendiri.
Bacaan Injil hari ini kembali mengingatkan kita agar kita berani mengakui Allah. Allah yang telah menciptakan kita, yang berkuasa atas tubuh dan jiwa kita. “Takutlah kepada-Nya yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh…” (Mat 10:28). Dunia dapat menawarkan dan mengajarkan banyak hal yang bertentangan dengan iman kita. Dunia bahkan dapat memusuhi kita karena kita mengimani Kristus. Namun Yesus mengingatkan, “Janganlah kamu takut kepada mereka yang memusuhimu, karena tidak ada sesuatu pun yang tertutup yang tidak akan dibuka, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui…” (Mat 10:26). Yesus berjanji, bahwa apa yang nampaknya masih tertutup dan tak dapat dipahami oleh manusia secara seutuhnya sekarang, suatu saat akan dinyatakan dengan jelas. Di dalam Kristus yang adalah Sang Terang dan Sang Kebenaran, segala sesuatunya akan menjadi terang dan jelas, dan kita tak mungkin disesatkan. Sedangkan segala macam paham yang ditawarkan dunia, masih terus berubah-ubah, dapat direvisi bahkan oleh sang penemunya sendiri. Bacaan Kitab Suci hari ini mengajak kita untuk menjadi orang yang teguh beriman dan bergantung kepada Allah. Sebab ada saat-saatnya kita menghadapi tantangan untuk tetap setia berpegang pada ajaran iman kita dan melaksanakannya. Adalah tidak mudah juga untuk meneruskan ajaran iman kita kepada anak-anak kita. Mungkin bahkan merupakan suatu perjuangan bagi setiap orangtua zaman ini untuk membicarakan hal-hal rohani dengan anak-anak yang lebih tertarik dengan tawaran dunia: bermacam gadget, beragam atraksi youtube dan musik zaman ini. Belum lagi, tersedianya begitu banyak informasi yang menyesatkan iman, yang tersedia di internet, dan hanya sejauh “klik” saja. Pendeknya, tidak mudah untuk selalu menjadi orang Katolik yang konsisten melaksanakan apa yang kita imani, dan menularkannya kepada orang-orang di sekitar kita. Maka pengalaman Nabi Yeremia yang kita dengar di Bacaan Pertama dapat meneguhkan kita. Sebab Allah akan menyertai kita. Semoga kita semua dapat tetap setia mengimani Tuhan di tengah dunia ini yang menawarkan sebaliknya.
“Tuhan Yesus, sudilah dengarkan rintihan umat-Mu. Bantulah kami agar setia beriman sampai akhir. Berani mengakui Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat kami. Siap sedia hidup di dalam pimpinan-Mu dalam kebenaran dan kejujuran. Dan dengan tekun, meneruskan warisan iman ini kepada anak-anak kami, dengan perkataan dan perbuatan. Sebab kami percaya bahwa segala sesuatu kelak akan dinyatakan dalam terang. Dan akan ada mahkota kehidupan yang Engkau sediakan bagi orang-orang yang setia beriman sampai akhir. Topanglah dan mampukanlah kami ya Tuhan Yesus. Ini kami mohon, demi nama-Mu yang kudus. Amin.”