Pendahuluan
“Tuhan Yesus setia.” (2 Tes 3:3) Ini adalah janji Tuhan yang selalu ditepati-Nya. Terutama dalam keadaan sakit, saat kita tidak lagi dapat mengandalkan manusia, kita dapat bersandar pada janji Tuhan ini. Memang, pada saat kita sakit dan menderita, kita justru dapat lebih memahami sengsara Yesus pada saat memanggul salibNya ke gunung Kalvari, sehingga kita sungguh dapat merasakan persatuan dengan Yesus. Janganlah kita lupa bahwa pada saat yang sulit ini, Tuhan Yesus rindu untuk mempersatukan kita dengan DiriNya, agar kita memperoleh jamahan-Nya. Syukur kepada Tuhan, Gereja memiliki Sakramen Urapan Orang Sakit, yang menjadi tanda penyertaan Kristus, sarana pengurapan dan penyembuhan orang sakit, yang dapat mendatangkan rahmat yang luar biasa, entah berupa kesembuhan rohani, jasmani, ataupun keduanya, atau jika waktunya telah tiba, merupakan persiapan bagi kita untuk bertemu muka dengan muka dengan Tuhan.
Penyakit dapat membawa kita lebih dekat kepada Tuhan
Tak dapat kita pungkiri, bahwa penyakit dan penderitaan merupakan pencobaan yang terberat dalam kehidupan manusia. Melalui penyakit, kita mengalami bahwa kita terbatas dalam banyak hal; bahwa segala kepandaian dan kekayaan bahkan tidak dapat menggantikan arti kesehatan. Dan di atas semua itu, kita diingatkan akan kematian.[1] Maka, tak jarang, penyakit dapat menimbulkan rasa takut, ingin menutup diri, bahkan putus asa dan ‘marah’ kepada Tuhan. Tetapi sebaliknya, penyakit dapat membuat kita lebih pasrah, lebih dapat melihat apa yang terpenting di dalam hidup ini, sehingga kita tidak lagi mencari segala sesuatu yang tidak penting. Seringkali, penyakit membawa kita mencari Tuhan dan kembali kepada-Nya.[2]
Jadi meskipun kelihatannya penyakit itu sesuatu yang buruk, namun sesungguhnya ia dapat memberikan kepada kita sesuatu yang positif. Yang pertama adalah pertobatan.[3] Biasanya dengan mengalami sakit, terutama jika sakit yang cukup berat, kita menjadi sadar bahwa telah sekian waktu kita mengandalkan kekuatan sendiri, dan kurang mengandalkan Tuhan. Kita disadarkan bahwa segala sesuatu yang ada pada kita adalah pemberian Tuhan dan Tuhanlah yang berkuasa atas segalanya, karena semuanya itu akhirnya akan berpulang kepada-Nya.
Kedua, penyakit kita dapat mempunyai arti penyilihan bagi orang-orang lain. Artinya, dalam keadaan sakit, kita dapat mendoakan orang lain, terutama untuk pertobatan mereka, dan Tuhan dapat berkenan mengabulkannya. Paus Yohanes Paulus II dalam surat Apostoliknya, Salvifici Doloris (On the Christian Meaning of Human Suffering), mengatakan bahwa setiap manusia yang menderita dapat mengambil bagian dalam karya Keselamatan[4] yang dipenuhi oleh Kristus. Oleh karena persatuan dengan penderitaan Kristus, penderitaan kita memperoleh arti yang baru.[5] Inilah yang disebut oleh Rasul Paulus, “Di dalam tubuhku, aku melengkapi apa yang kurang dalam penderitaan Kristus demi TubuhNya, yaitu Gereja-Nya.” (Kol 1:24). Jadi hanya dalam konteks Gereja, Tubuh mistik Kristus yang kini masih berkembang dalam ruang dan waktu, kita dapat berpikir tentang ‘apa yang kurang dalam penderitaan Kristus’. Ini berarti bahwa penderitaan Kristus yang menyelamatkan dapat selalu dilengkapi secara terus menerus oleh penderitaan manusia sepanjang zaman, sampai pada kesudahannya nanti di akhir dunia. Oleh karena inilah, penderitaan selalu menjadi perhatian Gereja, dan Gereja tunduk menghormati penderitaan di dalam iman akan Keselamatan [6] yang menjadi buahnya oleh jasa Kristus.
Mungkin saya dapat membagikan cerita mengenai hal ini, lewat kesaksian pastor pembimbing saya sewaktu saya tinggal di Filipina, yaitu Pastor Bob. Pastor Bob menceriterakan pengalamannya saat ia rutin mengunjungi rumah sakit. Suatu hari ia mengunjungi seorang ibu yang terkena multiple sclerosis yang menyebabkan ia harus diamputasi kedua lengan dan kakinya sampai ke pangkal paha. Ia menjadi sangat putus asa dan merasa tidak berguna. Pada saat itulah Pastor Bob mengunjungi dia dan memberikan sakramen Pengurapan Orang sakit. Lalu, ibu itu bertanya pada Pastor, suatu pertanyaan yang membuat Pastor Bob terhenyak, “Pastor, untuk apa saya hidup? Kenapa Tuhan tidak langsung saja mengambil nyawa saya?” Karena tidak tahu harus menjawab apa, lalu Pastor Bob berjanji akan mencari jawabnya dalam kunjungannya seminggu kemudian. Begitu ia pulang ke pastoran, Pastor Bob mendapat tugas untuk memimpin retret anak-anak muda di paroki, minggu depan, bertepatan dengan hari kunjungan Pastor ke rumah sakit. Maka sehari sebelum Pastor berangkat ke retret, ia berkunjung ke ibu yang sakit itu, sambil berkata, “Nah, sekarang aku mengetahui apa yang akan kukatakan kepadamu, mengenai arti hidupmu. Maukah engkau berdoa bagi anak-anak muda yang akan mengikuti retret besok?” Ibu itu setuju, dan Pastor Bob memberikan kepada ibu itu, daftar nama anak-anak yang mengikuti retret. Pastor itu mengatakan, “Doakanlah anak-anak ini, agar mereka dapat mengalami kasih Tuhan dan pertobatan yang sungguh.” Kemudian Pastor Bob meninggalkannya dan ibu itu mulai berdoa, mendoakan anak-anak itu satu demi satu.
Esok harinya retret anak muda itu dimulai dan ketika retret mencapai akhirnya, Pastor Bob menjadi sangat tertegun karena retret itu menjadi salah satu retret yang terbaik yang pernah dia pimpin. Semua peserta retret mengalami kasih Tuhan yang luar biasa, dan banyak dari mereka mengalami pertobatan dan pengalaman pribadi dengan Tuhan Yesus. Pastor itu segera teringat akan ibu yang terbaring di rumah sakit. Akhirnya ia mengumumkan kepada para peserta retret, “Jika kalian telah mengalami kasih Tuhan malam ini, bersyukurlah kepada Tuhan. Namun ketahuilah juga bahwa ada seorang ibu yang terbaring sakit yang mendoakan setiap dari kalian selama tiga hari ini. Saya percaya, Tuhan mendengarkan doa ibu itu, yang didoakan ditengah penderitaan dan kesakitannya. Tuhan berkenan mengabulkannya dan membuat kalian semua di sini mengalami kasih Allah yang ajaib. Ibu itu adalah ….(diberikannya nama ibu itu beserta nomor kamar rumah sakit).”
Hari berikutnya sepulang dari retret, Pastor Bob mengunjungi ibu itu di rumah sakit. Di sana ia menemukan ibu itu sedang sibuk membaca surat-surat yang ditulis oleh anak-anak muda yang baru saja selesai mengikuti retret. Mereka mengirimkan juga bunga dan kartu ucapan terima kasih. Akhirnya, ibu itu berkata, “Pastor, sekarang aku tahu untuk apa aku hidup. Aku akan terus berdoa untuk pertobatan banyak orang, termasuk mereka yang kukasihi, anak- anak dan anggota keluargaku. Kini aku tahu mengapa Yesus mengizinkan aku memikul salibku ini, yaitu agar aku dapat berjalan bersama-Nya untuk ikut mendatangkan keselamatan bagi dunia…”
Pengalaman ibu ini mengajarkan kita, agar kita tidak menyia-nyiakan pengalaman sakit yang kita alami. Sebab, justru pada saat kita sakit, kita dapat mempersatukan penderitaan yang kita alami untuk mendoakan banyak orang untuk keselamatan mereka,[7] termasuk mohon ampun untuk kesalahan kita sendiri di masa lalu. Kita dapat memohon agar melalui penyakit ini banyak orang dapat diselamatkan dan kita sendiri dimurnikan oleh Tuhan. Lihatlah akan banyak keajaiban yang mungkin terjadi melalui doa-doa yang kita naikkan ditengah-tengah penderitaan kita yang menjadikan kita semakin serupa dengan Kristus; karena dengan mempersatukan penderitaan kita dengan penderitaan-Nya, kita beroleh kuasa kebangkitan-Nya yang menyelamatkan.[8]
Dasar dari Kitab Suci
Sesungguhnya, pengurapan orang sakit diberikan atas perintah Yesus sendiri. Yesus memberikan perintah kepada para muridNya untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah dan mengurapi orang sakit dengan minyak (lih. Mrk 6:13, Luk 10:8-9). “Sembuhkanlah orang sakit,” (Mat 10:8) demikianlah seruan Yesus kepada para rasulNya. Penderitaan dan penyakit manusia selalu menarik perhatian Tuhan, sehingga semasa hidupNya, kemanapun Yesus pergi mengajar, hampir selalu disertai dengan mukjizat penyembuhan orang-orang sakit (Mat 12:5, 14:36, Mrk 1:34, 3:10).
Dalam menyembuhkan, Yesus tidak hanya menyembuhkan badan namun juga jiwa para orang sakit dengan mengampuni dosa mereka (lih. Mrk 2:5-12); dan pengampunan dosa (kesembuhan rohani) dilihat oleh Yesus sebagai sesuatu yang lebih utama daripada kesembuhan badan. Yesus menginginkan agar para penderita sakit untuk percaya kepada-Nya (lih. Mrk 5: 34,36). Ia menggunakan tanda-tanda untuk menyembuhkan, seperti ludah dan perletakan tangan (lih. Mrk 7:32-36; 8:22-25), adonan dari tanah dan pembasuhan (lih. Yoh 9:6-7), ataupun penjamahan jubahNya (lih. Luk 6:19).
Perhatian Yesus inilah yang diteruskan secara turun temurun oleh para rasul dan para murid-Nya. Rasul Yakobus adalah yang secara khusus menuliskan hal ini, “Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia mamanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesinya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni” (Yak 5:14-15). Tradisi ini yang diturunkan menjadi salah satu dari ketujuh sakramen Gereja.[9]
Pengurapan Orang Sakit dalam menurut Tradisi Gereja
- St. Yohanes Krisostom (387), mengatakan bahwa para imam menerima kuasa dari Tuhan untuk membersihkan jiwa dari dosa. Dalam hal ini mereka lebih daripada para imam Yahudi yang diberi kuasa untuk menyatakan apakah seseorang sudah sembuh/ tahir dari penyakit lepra. Sebab para imam sekarang oleh kuasa Kristus tidak hanya ‘menyatakan’ seseorang tahir, tetapi sungguh menjadikan orang tahir dari dosa. Imam melakukan hal ini tidak saja dengan pengajaran, tetapi dengan kuasa doa. Bukan saja pada waktu Pembaptisan, tetapi sesudahnya sesuai dengan pesan Rasul Yakobus…”[10]
- St. Paus Innocentius I (wafat tahun 417) menyatakan bahwa Pengurapan Orang sakit dengan minyak yang telah diberkati oleh Uskup adalah sakramen yang ditujukan untuk menghapuskan dosa, dan meningkatkan kekuatan jiwa dan badan.[11]
- Sakramen Urapan Orang Sakit dinyatakan oleh Konsili Trente (1545-1563) sebagai salah satu dari ke-tujuh sakramen. Konsili Trente menyebutkan bahwa “Urapan ini ditetapkan oleh Kristus Tuhan kita…., yang disinggung oleh Markus, tetapi dianjurkan kepada orang beriman dan diumumkan oleh Yakobus, Rasul dan saudara Tuhan.”[12]
- Konsili Vatikan II (1962-1965) menganjurkan agar Sakramen Pengurapan ini tidak hanya diberikan kepada seseorang yang sedang mengalami ajal, namun juga kepada siapa saja yang mulai mengalami sakit berat dan mereka yang menderita kelemahan karena usia lanjut. Dalam hal ini Gereja meneruskan tugas yang dipercayakan oleh Yesus untuk menyembuhkan orang sakit, terutama kesembuhan rohani.
Kapan sebaiknya menerima Sakramen Urapan Orang Sakit?
Katekismus mengikuti pengajaran Vatikan II, menegaskan bahwa Urapan orang sakit tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang berada di ambang kematian saja. Maka saat yang baik adalah pada saat kita mulai menghadapi bahaya maut, misalnya ketika akan menghadapi operasi besar, ataupun ketika baru mendapat diagnosa penyakit tertentu yang cukup serius; ataupun jika kita sudah lanjut usia.[13] Jika sesudah menerima sakramen ini kita sembuh, kita dapat menerimanya kembali jika kita mengalami sakit berat lagi.[14]
Siapa yang dapat memberikan Sakramen Urapan Orang Sakit?
Yang dapat memberikan sakramen Urapan Orang sakit hanyalah imam (Uskup dan pastor). Kita hendaknya mendorong para orang sakit untuk memanggil imam untuk menerima Sakramen ini, termasuk jika kita sendiri mengalami sakit berat. Sebelum menerima sakramen ini, hendaknya orang yang sakit mempersiapkan diri, sehingga dapat menerimanya dengan keadaan batin yang baik.[15]
Bagaimana Urapan Orang Sakit dirayakan?
Sakramen Urapan orang sakit adalah perayaan liturgi dan perayaan bersama, baik itu di rumah, rumah sakit atau di gereja. Jadi sakramen ini bukan hanya melibatkan imam dan orang yang sakit, melainkan juga komunitas; yaitu anggota keluarga ataupun yang merawat orang yang sakit. Jika memungkinkan, Urapan Orang sakit ini dapat dirayakan di dalam perayaan Ekaristi, yaitu kenangan Paska Tuhan; yang dapat didahului oleh penerimaan Sakramen Pengakuan Dosa. Sehingga urutannya adalah Sakramen Pengakuan, lalu diikuti oleh sakramen Urapan Orang Sakit dan ditutup dengan Sakramen Ekaristi. Jika tiba waktunya, memang Ekaristi sebaiknya menjadi Sakramen terakhir yang kita terima dalam perjalanan hidup kita di dunia, dan menjadi bekal untuk peralihan ke hidup abadi.[16] Sebagai sakramen kematian dan kebangkitan Yesus, Ekaristi menjadi sakramen peralihan dari kematian kita menuju kehidupan yang baru di rumah Allah Bapa.[17]
Jika dirayakan di dalam Misa Kudus di gereja, demikianlah urutannya:
- Misa dimulai seperti biasa, diawali dengan doa khusus untuk mereka yang akan menerima Pengurapan. Bacaan diambil dari bacaan Mingguan atau bacaan khusus yang disiapkan untuk perayaan misa tersebut.
- Sesudah homili, dibacakan litani doa untuk yang sakit dan mereka yang merawat yang sakit.
- Mereka yang sakit kemudian dibawa ke depan altar. Imam akan meletakkan tangan di atas kepala setiap yang sakit, mengikuti cara Yesus yang menumpangkan tangan atas para penderita sakit dan menyembuhkan mereka (lih. Luk 4:40).
- Minyak dibawa ke altar dan doa dibacakan atas minyak tersebut.
- Imam membuat tanda salib dan memberkati para orang sakit itu dengan minyak di dahi, sambil berdoa, “Semoga karena pengurapan suci ini Allah yang Maharahim menolong Saudara dengan rahmat Roh Kudus.” Semua menjawab: “Amin”. Lalu imam mengurapi telapak tangan orang yang sakit dengan tanda salib sambil berkata, “Semoga Tuhan membebaskan Saudara dari dosa dan membangunkan Saudara dalam rahmat-Nya.” Semua menjawab: “Amen.”
- Kemudian, Misa dilanjutkan dengan Liturgi Ekaristi, seperti biasa.
Jika Pengurapan dilakukan di rumah atau di rumah sakit, demikian urutannya:
- Ritus dimulai dengan tanda salib dengan air suci yang mengingatkan kita akan janji baptis, bahwa kita akan mati bersama Kristus agar dapat bangkit dengan kehidupan baru bersama Dia.
- Bacaan Kitab Suci sesuai dengan kondisi orang yang sakit. Imam akan berdoa dan akan menyampaikan doa-doa dari sesama anggota Gereja dan mengundang yang sakit untuk juga berdoa bagi anggota Gereja.
- Imam menumpangkan tangan ke atas kepala orang yang sakit, berdoa atas minyak suci dan mengurapi dahi dan tangan orang yang sakit.[18]
- Imam mendoakan orang yang sakit dan mengundang semua yang hadir untuk berdoa “Bapa Kami”.
- Selanjutnya, orang yang sakit dapat menerima Komuni kudus.
- Imam kemudian memberkati orang sakit dan semua yang hadir.
Apakah kita pasti mengalami kesembuhan setelah menerima Pengurapan?
Perlu kita ketahui bahwa hal karunia kesembuhan total adalah kehendak Tuhan. Adalah suatu misteri, bahwa jika setelah berdoa mohon kesembuhan, atau menerima sakramen pengurapan orang yang sakit, tidak semua orang sakit disembuhkan secara jasmani. Namun, kita dapat mengimani bahwa sakramen pengurapan membawa kesembuhan rohani yang lebih penting daripada kesembuhan jasmani, terutama jika diterima dengan disposisi hati yang baik.
Kenyataan ini membuat hati kita dapat menjadi lebih berpasrah kepada Tuhan. Sebab Rasul Paulus sendiri mengalami sakit badani (Gal 4:13-14), ataupun sakit yang disebutnya sebagai ‘duri dalam daging’. Rasul Paulus memohon agar Tuhan menyembuhkannya, namun Tuhan membiarkan hal itu, untuk maksud menyatakan kuasa-Nya di tengah kelemahan manusia (2 Kor 12:7-9).
Buah-buah Pengurapan Orang Sakit
Sakramen Urapan Orang Sakit ini mendatangkan buah-buah yang baik bagi yang sakit, yaitu:
- Suatu anugerah khusus dari Roh Kudus. Melalui kisah pengalaman Pastor Bob di atas, kita mengetahui bahwa rahmat sakramen ini adalah kekuatan, ketenangan, dan kebesaran hati untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan penyakit tersebut ataupun kelemahan karena usia lanjut. Rahmat ini memperbaharui iman dan pengharapan, sehingga orang yang sakit tidak berkecil hati dan tidak takut menghadapi kematian. Rahmat ini dapat mendatangkan pengampunan dosa, menyembuhkan jiwa, dan dapat pula menyembuhkan badan, jika hal tersebut sesuai dengan kehendak Allah.[19]
- Persatuan dengan sengsara Kristus. Oleh Sakramen ini orang yang sakit menerima kekuatan dan anugerah untuk mempersatukan diri lebih erat lagi dengan sengsara Tuhan Yesus. Dalam keadaan sedemikian, orang yang sakit seolah diangkat menjadi ‘sahabat sejati’ Tuhan Yesus yang tidak saja menjadi sahabat di waktu senang, tetapi juga di waktu susah. Dengan menderita bersama Yesus, sengsara kita akibat dari dosa asal mendapat suatu nilai yang baru: kita dapat turut serta dalam karya keselamatan Yesus.[20] Inilah yang disebut sebagai “redemptive suffering” atau sengsara yang menyelamatkan.
- Rahmat Gerejani. Orang yang sakit dapat menggabungkan penderitaannya dengan penderitaan Yesus dan memberikan sumbangan bagi kesejahteraan umat Allah.[21] Dari contoh kisah Pastor Bob di atas dapat kita lihat bagaimana doa sang ibu yang sakit dapat membawa buah pertobatan bagi banyak anak muda anggota Gereja. Jadi Pengurapan dapat menghasilkan buah yang ganda, sebab yang menerima rahmat tidak saja orang yang sakit, tetapi juga para anggota Gereja. Orang sakit yang didoakan oleh Gereja (melalui imam) dalam persekutuan orang kudus menerima rahmat Roh Kudus, dan orang yang sakit tersebut menyumbangkan rahmat yang diterimanya dari Pengurapan, yaitu doa yang menguduskan Gereja.[22]
- Persiapan untuk perjalanan terakhir. Urapan ini merupakan persiapan untuk perjalanan terakhir terutama bagi mereka yang tengah menghadapi ajal. Bagi mereka, Urapan ini membuat mereka semakin serupa dengan Kristus sendiri. Urapan Orang sakit ini menjadi semacam rangkuman kehidupan kita di dunia, yang telah dimulai dengan (1)Pembaptisan yang telah mempersatukan kita dengan kematian dan kebangkitan Kristus, dan yang telah memberikan kehidupan baru dalam Roh, (2)Penguatan meneguhkan kita di dalam iman, dan (3) Pengurapan Terakhir (temasuk Ekaristi) membekali kita untuk menghadapi perjuangan sebelum memasuki kehidupan kekal di rumah Bapa.[23]
Penutup
Marilah kita bersyukur kepada Tuhan untuk karunia Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Karena melalui sakramen ini, Tuhan Yesus menjamah dan menguduskan orang sakit untuk mendatangkan kesembuhan jasmani dan rohani, namun terutama kesembuhan rohani, dengan membersihkan dari dosa, dan memberikan rahmat Roh Kudus-Nya. Jika oleh kebijaksanaan-Nya, Tuhan memandang bahwa kesembuhan jasmani itu baik bagi pertumbuhan iman dan keselamatan kita, Ia dapat memberikan kepada kita kesembuhan itu. Namun ada kalanya, Tuhan memandang sebaliknya, diizinkannya kita memikul salib kita, agar kita dapat lebih bertumbuh di dalam iman dan kasih kepada-Nya. Dalam keadaan apapun, kita diundang untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, dan mempercayakan hidup kita ke dalam tangan-Nya. Apapun rencana Tuhan bagi kita, Ia tak pernah mengizinkan pencobaan melampaui kekuatan kita (1Kor 10:13), dan jika kenyataannya Tuhan masih memberi kesempatan kita untuk hidup, artinya tugas kita di dunia belum selesai. Maka baiklah kita menjalaninya dengan semangat hidup dan kasih yang berkobar. Ya, rahmat Allah akan memampukan kita untuk selalu mempunyai damai sejahtera dalam keadaan apapun juga. Rahmat ini khusus diberikan-Nya melalui Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Melalui Pengurapan ini, Yesus mempersatukan kita yang sakit dengan Diri-Nya sendiri, sehingga kita dapat mempersembahkan penderitaan kita yang dengan kesatuannya dengan penderitaan Kristus dapat mendatangkan keselamatan, baik bagi diri kita maupun orang lain. Jika saatnya tiba bagi kita masing-masing, mari kita menyambut sakramen ini dengan hati lapang, “Tuhan Yesus, kuterima rahmat-Mu, yang mempersatukan aku dengan sengsara-Mu yang menyelamatkan. Semoga rahmat-Mu mendatangkan pengampunan, kesembuhan dan keselamatan bagiku, juga bagi mereka yang kudoakan, dan bagi dunia. Semoga rahmat-Mu mempersiapkan aku untuk menyongsong Engkau kelak dalam kehidupan abadi di surga. Aku tak tahu kapan saatnya Engkau memanggilku pulang, namun izinkanlah aku mengandalkan kasih-Mu dan kebaikan-Mu. Bantulah aku agar sungguh bertobat, dan agar aku tidak menjadi tawar hati. Biarlah selalu bergema di hatiku, bahwa penderitaanku, apapun bentuknya, tidak dapat memisahkan aku daripada-Mu, yang telah lebih dahulu memilih untuk menderita bagiku demi menyelamatkan aku. Mari, peganglah tanganku ya Tuhan, dalam menjalani kehidupanku ini, sampai saatnya nanti aku memandang Engkau di dalam kehidupan yang akan datang ….”
[1] Lihat Katekismus Gereja Katolik 1500.
[2] Lihat KGK 1501
[3] Lihat KGK 1502
[4] Lihat Pope John Paul II, Salfivici Doloris (On the Christian Meaning of Human Suffering), 19
[5] Lihat Ibid., 20
[6] Ibid., 24
[7] Lihat Lumen Gentium 41
[8] KGK 1505
[9] Lihat KGK 1510, 1526
[10] Diterjemahkan dari St. Yohanes Krisostomus, On the Priesthood 3:6:190ff
[11] Lihat St. Innocent, “Letter to Decentius”, seperti dikutip oleh John Willis, The Teaching of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002), p. 430-431.
[12] Konsili Trente, DS 16, 95 seperti dikutip di KGK 1511.
[13] Lihat KGK 1514, 1515
[14] Lihat KGK 1515
[15] Lihat KGK 1516
[16] Lihat KGK 1517, 1525
[17] Lihat KGK 1524
[18] Lihat KGK 1519
[19] Lihat KGK 1520
[20] Lihat KGK 1521
[21] Lihat Lumen Gentium 11, seperti dikutip di KGK 1522
[22] Lihat KGK 1522
[23] Lihat KGK 1523
apakah maksudnya saya diurapi oleh minyak karisma sewaktu saya tidur?
[Dari Katolisitas: Siapa yang mengurapi Anda? Apakah Anda sedang sakit? Apakah Anda menerima sakramen? Pertanyaan Anda kurang jelas sehingga kami tidak dapat menanggapinya.]
Bapak saya sakit stroke sudah lama dan setahun terakhir kondisinya sudah tidak dapat mengenal lingkungan dan orang-orang disekitarnya juga sudah tidak dapat berkomunikasi, beliau sudah beberapa kali bahkan pernah sebulan dua kali meneriman sakramen pengurapan orang sakit karena permintaan dari ibu saya. Dan menjelang hari orang sakit sedunia ini kembali ibu saya mendesak kami anak-anaknya untuk memangil pastor dan memberikan sakramen ini kepada Bapak. Pertanyaan saya haruskah dan perlukah seseorang yang dalam keadaan seperti Bapak ini berkali-kali diberikan sakramen orang sakit ini ?
Terima kasih.
[Dari Katolisitas: Jika sakitnya cenderung bertambah parah, sehingga setiap kali ada kemungkinan bapak Anda berpulang, maka tidak ada salahnya, dan bahkan sangat baik, jika ia menerima lagi sakramen Pengurapan orang sakit. Sakramen Pengurapan ini tidak hanya untuk diberikan kepada seorang yang sudah dalam sakrat maut, tetapi baik juga diberikan sebelum sakrat maut itu tiba. Jika Tuhan berkenan, sakramen ini dapat menyembuhkan dan meringankan penderitaannya, atau akan menjadi bekal yang sangat berguna baginya untuk menghadap Tuhan, jika saatnya tiba.]
Shalowm,
apa gunanya minyak urapan (oleh2) yg sdh diberkati (oleh Romo yg menemani ziarah) bagi saya/umat/awam?
Terimakasih.
[Dari Katolisitas: Air suci ataupun minyak suci yang sudah diberkati oleh imam tersebut, merupakan benda-benda sakramentali, yang dimaksudkan untuk menguduskan umat beriman. Atas dukungan doa syafaat Gereja, benda-benda sakramentali ini dapat mendatangkan efek-efek rohani kepada mereka yang menerima/ mengenakannya, jika dengan kesungguhan hati mereka mengimani campur tangan Tuhan yang terus menyertai Gereja-Nya dalam mendatangkan berkat/ rahmat-Nya melalui benda-benda yang telah diberkati tersebut.]
Syahlom,
Maaf bila hal ini sudah pernah ditanyakan sebelumnya. Mohon penjelasannya.
Bagaimana bila seorang yang telah berdosa “berat”, selama hidupnya belum pernah mengaku dosanya itu lewat sakramen pertobatan. Tetapi menjelang akhir hidupnya telah menerima sakramen pengurapan orang sakit, namun belum sempat mengaku dosa-dosanya karena keadaannya tidak memungkinkan ( tidak bisa berbicara lagi karena kondisi kesehatannya memburuk ).
1. Apakah segala dosa_dosanya dihapuskan ( termasuk dosa berat ) ?
2. Apakah nantinya dia masuk ke api penyucian atau neraka ?
3. Apakah doa-doa kita yang masih hidup di dunia ini dapat mengurangi hukuman akibat dosa-dosa yang bersangkutan.
Terima kasih
Damai Kristus beserta kita.
Dono
Shalom Steven,
Dosa berat dapat diampuni dengan Sakramen Tobat atau sesal sempurna yang diikuti dengan niatan secepatnya mengaku dosa di dalam Sakramen Tobat jika memungkinkan. Dalam KGK dituliskan sebagai berikut:
Jadi, kalau seseorang dalam kondisi sakit dan tidak dapat menerima Sakramen Tobat, namun dia mempunyai sesal sempurna, maka dia akan menerima keselamatan, walaupun mungkin dia akan masuk ke Api Penyucian terlebih dahulu sebelum masuk ke Surga. Doa-doa kita serta indulgensi yang kita lakukan di dunia ini dapat membantu jiwa-jiwa yang ada di Api Penyucian. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
saya mau bertanya;
saat seorang pastor dipanggil umat untuk mengadakan sakramen pengurapan orang sakit, apakah ia harus menyetujuinya atau bisa menolaknya??
Salam Heddina,
Pada prinsipnya imam tidak menolak permintaan pelayanan sakramen apapun. Mengenai permintaan Sakramen Pengurapan Orang Sakit, Pastor bisa melakukan diskresi atas permintaan tersebut. Yang dijadikan bahan diskresi ialah: keadaan pasien dan jadwalnya sendiri serta jadwal pastor lain. Namun pada prinsipnya selalu segera harus dilakukan secepatnya. Hal ini ditunjang oleh ketentuan kanon 1003 paragraf 3: “Setiap imam manapun boleh membawa minyak yang diberkati agar dalam keadaan mendesak dapat melayani sakramen pengurapan orang sakit”. Diskresi imam juga mempertimbangkan kanon 1004 par. 1: “Sakramen pengurapan orang sakit diberikan kepada orang beriman yang telah dapat menggunakan akal budi yang telah berada dalam bahaya karena sakit atau usia lanjut”. Jadi hanya dalam keadaan bahaya maut karena penyakit itu atau karena bahaya maut lain, misalnya kecelakaan atau sakit tua di mana maut di ambang pintu. Imam akan menolak permintaan pengurapan orang sakit pada orang yang sakit ringan.
Selanjutnya Kanon 1007 menghendaki agar imam menolak permintaan pengurapan orang sakit untuk orang yang membandel hidup dalam dosa berat yang diketahui umum, dan memang ia sendiri menolak atau tidak mau menerimanya. Jika ada orang yang berbaik hati menawarkan dan menjelaskan makna Sakramen Pengurapan Orang Sakit kepada pasien yang berdosa berat, dan si sakit tetap saja menolak kebenaran iman akan sakramen, maka imam pun tak bisa memberikan sakramen yang bernilai keselamatan ini kepadanya.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Dear Tim Katolisitas,
Saya buka2 artikel lama di sini & saya senang sekali menemukan artikel tentang Sakramen Pengurapan Orang Sakit.
Bagaimana menanggapi ajaran salah satu denominasi Protestan yg membawa2 minyak urapan kemana2 & sedikit2 mengolesi apa saja yg tidak berkenan dengan minyak urapan sambil doa “dalam nama Yesus”.
Mertua saya ikut gereja ini & kerap mengolesi kepala anak saya dengan minyak ini, saya sejujurnya sama sekali ga sreg, bu, tapi mau gimana, beliau tetap Ibu Mertua saya yg harus saya hormati.
Bagaimana menolaknya tapi dengan sikap kasih? Setelah membaca artikel ini saya semakin tau bahwa Minyak Urapan itu ga boleh sembarang orang yg mengolesi, umat awam seperti saya ga boleh, betul kan, bu?
Minyak urapan dalam gereja Protestan ini sepertinya sudah menjadi barang komersil, menjaring umat dengan banyaknya kesaksian muzizat , bahkan mereka mendokumentasikan dalam bentuk video seorang Ibu yg sudah 3 thn meninggal tapi jenazahnya masih dalam keadaan utuh. Bagaimana Gereja Katolik menanggapi fenomena ini? Adakah kesesuaiannya dengan ajaran GK?
Shalom Dea Putri,
Sakramen Pengurapan orang sakit dalam Gereja Katolik memang hanya dapat diberikan oleh Imam, sebab salah satu efeknya, adalah mengampunan dosa, dan hal kuasa mengampuni dosa ini hanya diberikan oleh Kristus melalui imam-Nya. Maka memang hal ini tidak sama dengan makna minyak urapan yang diajarkan oleh gereja- gereja lain. Mungkin ada baiknya memang jika keadaannya memungkinkan untuk juga menceritakan akan pandangan Gereja Katolik tentang sakramen Pengurapan Orang Sakit, sehingga ibu mertua Anda mengetahui bedanya, dan bahwa penghayatan Anda berbeda dengan pemahamannya. Semoga ia menghormati pandangan Anda. Bagi Gereja Katolik Pengurapan Orang Sakit merupakan sakramen, maka bukanlah sesuatu yang berbau komersial.
Hal jenazah yang masih utuh merupakan fenomena tersendiri, yang tidak sepenuhnya dapat kita pahami. Gereja Katolik sendiri memiliki banyak Santa dan Santo yang jenazahnya masih utuh, tidak hanya tiga tahun tetapi bahkan sampai ratusan tahun bahkan ada yang hampir mendekati seribu tahun. Beberapa fotonya sudah pernah ditayangkan di sini, silakan klik. Tubuh para Santa dan Santo ini tetap utuh, dan tidak diawetkan, sekilas tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Ibu Inggrid,
Terimakasih untuk penjelasan yg indah. Mengenai minyak urapan yg sering diolesi ke kepala anak saya, seringkali saya biarkan saja walo saya tidak mengimani sama sekali tata cara gereja mertua saya. Saya anggap saja sebagi tindakan mengasihi & mendoakan. Mungkin sikap saya ini akan dipandang salah dalam ajaran Katolik, tapi ini semua saya lakukan supaya mertua saya tidak tersinggung & salah2 saya akan dianggap fanatik kalo tidak mengijinkannya. Saya bawa dalam doa tiap hari supaya kelak anak saya bisa mengerti saat saya beri pengertian mengenai perbedaannya.
Shalom Dea Putri,
Menurut hemat saya, sikap Anda tidak salah. Sebab ibu mertua Anda juga bermaksud baik dan atas dasar kasih ia mendoakan cucunya, maka biarlah hal ini dilakukannya. Janganlah hal- hal kecil semacam ini menjadi sumber konflik dalam keluarga. Lagipula minyak yang dipakai, setahu saya adalah minyak olive biasa. Lain ceritanya, jika minyak yang dipakai adalah minyak yang berhubungan dengan praktek magis/ kuasa gelap; sebab yang ini harus ditolak.
Maka yang penting adalah penghayatan Anda sendiri, dan Anda memahami bedanya makna minyak urapan dari ibu mertua Anda dengan sakramen Perngurapan Orang Sakit dalam Gereja Katolik. Dan semoga Anda dapat juga menjelaskan kepada anak Anda agar ia suatu haripun mengerti perbedaannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Bagaimana susunan liturgi Sakramen Pengurapan Orang Sakit?
[dari Katolisitas: susunan liturgi Sakramen Pengurapan Orang Sakit telah dijabarkan secara urut di dalam artikel di atas, silakan klik, tepatnya di bawah judul, “Jika dirayakan di dalam Misa Kudus di gereja, demikianlah urutannya”]
Shallom katolisitas..mo tanya nih,ttng viaticum apa itu apakah sama dg sakramen minyak suci? mhn pencerahannya trimakasih..
Shalom Inus,
Viaticum adalah kata bahasa Latin yang terjemahan bebasnya adalah bekal perjalanan. Maka Viaticum itu mengacu pada Komuni Kudus yang diberikan kepada orang yang sedang dalam sakrat maut atau orang sakit yang ada dalam bahaya kematian, sebagai bekal baginya menuju kehidupan kekal.
Maka pemberian Viaticum ini umumnya menjadi bagian dari Sakramen Perminyakan Suci kepada orang sakit. Sakramen Perminyakan ini diberikan oleh Uskup atau imam, dan bukan oleh diakon ataupun prodiakon, sebab di dalam Sakramen Perminyakan suci ini ada pemberian Sakramen Tobat. Jadi, di dalam Sakramen Perminyakan ini ada pengakuan dosa, pemberian Komuni (Viaticum) dan pengolesan dengan minyak yang sudah diberkati, dan tentu dengan doa- doa yang diucapkan oleh imam/ Uskup tersebut, yang diikuti oleh orang yang sakit dan juga oleh keluarga yang sakit.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
mw tny..
aq pernah dengar kalo menerima Sakramen Minyak Suci tidak boleh dilakukan bila wktnya masih seminggu…
kalo ada org yg sakit parah andaikata tgl 1 menerima Sakramen Minyak suci..
trs tgl 7nya dia sakitnya lebih parah lg.. apakah dia tidak boleh menerima Sakramen Minyak Suci lagi?
dan setahu saya menerima Sakramen Minyak Suci itu boleh dilakukan kpn aja..wlopun jarak wktnya cuman sehari..
Mohon tanggapan dan bimbingannya..
Shalom Benedicta Maria,
Ya, orang yang sakit itu dapat menerima kembali Sakramen Perminyakan Suci jika diperlukan, misalnya, karena sakitnya bertambah parah. Dalam seminggu ia dapat menerima kembali sakramen ini, atau bahkan hari berikutnya, namun tidak pada hari yang sama.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Selamat malam,
Mau tanya nih. Apakah boleh seseorang yang sudah menerima sakramen Perminyakan sebelum operasi, menerima sakramen Perminyakan lagi dua hari sesudahnya manakala kondisinya memburuk ?
Terima kasih
Shalom Agustinus,
Ya, diperkenankan bagi seseorang untuk menerima kembali Sakramen Perminyakan/ Urapan Orang Sakit, jika kondisinya memburuk. Karena pada dasarnya sakramen tersebut menyampaikan rahmat bagi kesembuhan, baik jasmani maupun rohani, terutama di sini rohani, agar yang sakit dapat mempunyai kelapangan hati untuk menerima kehendak Tuhan: apakah ia dapat sembuh atau apakah sudah menjadi kehendak Tuhan untuk memanggilnya pulang ke rumah Bapa; dan agar ia menerima pengampunan dari Tuhan atas dosa-dosanya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati -www.katolisitas.org
Syalom,
Bu Ingrid, saya ingin bertanya apakah seorang prodiakon bisa diberikan pengecualian oleh pastor untuk memberikan sakramen pengurapan dalam keadaan sangat darurat seperti misalnya pasien mendadak berada dalam bahaya kematian sementara tempat tinggalnya sangat jauh dari Gereja Katolik atau dari tempat tinggal Pastor. Jika tidak diperbolehkan, mengapa sakramen pembaptisan yang juga tidak kalah pentingnya diperbolehkan dilakukan oleh awam Katolik jika keadaannya darurat. Atas jawaban pertanyaan ini, saya ucapkan terima kasih.
Shalom Andryhart,
Gereja Katolik memang mensyaratkan bahwa yang dapat memberikan Sakramen Pengurapan Orang sakit adalah hanya imam saja. Hal ini kita ketahui dari Katekismus Gereja Katolik dan Kitab Hukum Kanonik:
KGK 1516 Hanya imam (Uskup dan presbiter) adalah pemberi Urapan Orang Sakit (Bdk. Konsili Trente: DS 1697; 1719; CIC, can. 1003; CCEO, can. 739). Para pastor mempunyai kewajiban untuk mengajarkan umat beriman mengenai daya guna yang menyelamatkan dari Sakramen ini. Umat beriman hendaknya mendorong orang sakit, supaya memanggil imam, dan menerima Sakramen ini. Orang sakit harus mempersiapkan diri untuk itu, supaya menerimanya dalam keadaan batin yang baik. Para pastor dan seluruh jemaat hendaknya membantu mereka dan menyertai mereka dalam doa dan perhatian persaudaraannya.
Kan. 1003 – § 1. Setiap imam dan hanya imam dapat melayani pengurapan orang sakit secara sah.
§ 2. Kewajiban dan hak melayani pengurapan orang sakit dimiliki oleh semua imam, yang ditugaskan untuk penggembalaan jiwa-jiwa, terhadap umat beriman yang diserahkan pada tugas pastoralnya; atas alasan yang masuk akal, setiap imam lain manapun dapat melayani sakramen itu dengan persetujuan yang sekurang-kurangnya diandaikan dari imam yang disebut diatas.
§ 3. Setiap imam manapun boleh membawa minyak yang diberkati, agar dalam keadaan mendesak dapat melayani sakramen pengurapan orang sakit.
Fr. John Zuhlsdorf mengatakan terdapat dua jenis sakramen jika ditinjau dari kondisi orang yang menerimanya, yaitu sakramen yang diberikan kepada mereka yang ‘hidup’ secara rohani, dan kepada mereka yang ‘mati’ secara rohani. Sakramen Pembaptisan dan Pengakuan Dosa diberikan kepada orang yang ‘mati’ secara rohani, sedangkan, Perminyakan/ Pengurapan Orang sakit dan sakramen yang lainnya diberikan kepada orang yang ‘hidup’ secara rohani, atau setidak-tidaknya demikianlah seharusnya. Oleh karena itu, memang terdapat perbedaan antara Pengurapan Orang Sakit dan Pembaptisan. Pengurapan/ perminyakan orang sakit diberikan umumnya (dan seharusnya) kepada orang yang dalam keadaan berdamai dengan Tuhan (in the state of grace). Seandainya tidak, maka sebaiknya diadakan terlebih dahulu sakramen Pengakuan Dosa, baru setelah itu diberikan sakramen Pengurapan/ perminyakan. Hanya saja jika keadaan sungguh tidak memungkinkan, misalnya, pasien sudah tidak dapat berkomunikasi lagi (walaupun ia masih hidup), maka diadakan langsung Pengurapan/ perminyakan, dan dalam hal ini perminyakan juga dapat mengampuni dosa.
Justru karena efek dari Sakramen Pengurapan ini, yaitu: pengampunan dosa, maka yang diperbolehkan memberikan adalah hanya imam saja, karena kuasa untuk mengampuni dosa seseorang hanya diberikan oleh Yesus kepada para imam (yang menjadi penerus para rasul) saja. Diperlukan kerendahan hati dari pihak kita untuk menerima hal ini, karena pasti Tuhan Yesus dan Gereja telah mengatisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi, sehingga ditentukan hanya imam saja yang diperbolehkan memberikan Pengurapan orang sakit. Permanen diakon saja (yang ditahbiskan) tidak diperbolehkan untuk memberikan Sakramen Perminyakan ini, apalagi petugas prodiakon yang tidak ditahbiskan.
Topik ini memang cukup sering dibahas, sampai akhirnya pihak Vatikan, melalui CDF menegaskan kembali ketentuan sesuai dengan KGK 1516 dan Kan. 1003 tersebut. Silakan membaca link ini (silakan klik) dan ini (silakan klik)
Memang di kedua dokumen tersebut, tidak disebutkan eksplisit alasannya, kecuali bahwa Yesus sendiri seperti yang dituliskan dalam Alkitab menginginkan demikian. Namun perkiraan saya, mungkin pihak Magisterium telah melihat bahwa jika hal itu diperbolehkan, dapat terjadi ‘abuse‘/ penyalahgunaan, yang merugikan iman umat. Contoh saja, (ini menurut saya) jika hal itu diijinkan, maka orang mungkin akan semakin malas mengaku dosa di Sakramen Pengakuan, terutama jika mereka salah seorang kerabat atau bahkan tetangga dari diakon/ prodiakon. Pikirnya, ‘toh kalau sampai kepepet, sebelum saya dipanggil Tuhan saya dapat menerima pengampunan dosa dari diakon/ prodiakon kenalan saya itu’. Ini mungkin terdengar sangat ekstrim, tetapi mari kita merenungkan, betapa hal ini akan sangat merusak kehidupan rohani umat, apalagi jika dilakukan oleh banyak orang. Orang tidak mau lagi berjuang untuk hidup kudus yang salah satunya ditandai dengan pertobatan yang terus menerus. Memang tidak mudah untuk membuat suatu keputusan tentang penerapan ajaran Kristus, (sebab segala kondisi dan akibatnya harus dipikirkan masak-masak) dan oleh karena itu, kita harus percaya, bahwa pihak Magisterium Gereja telah diberi rahmat kebijaksanaan oleh Tuhan Yesus sendiri untuk melakukan apa yang terbaik untuk melaksanakan kehendak-Nya.
Jangan lupa, bahwa Gereja Katolik, dengan memberikan ketentuan bahwa dalam keadaan darurat Pembaptisan boleh dilakukan oleh siapapun asal melakukannya sesuai dengan ketentuan Gereja, telah menunjukkan betapa sungguh-sungguh Gereja menjalankan misinya agar semua orang dapat diselamatkan. Pembaptisan memang merupakan pintu gerbang menuju keselamatan, dan memang setelah itu diperlukan kerjasama dari yang sudah dibaptis untuk bertumbuh dalam iman. Maka ketentuan untuk orang yang sudah dibaptis, tidak mungkin sama dengan orang yang belum dibaptis.
Demikian semoga bermanfaat.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Bu Ingrid, dan Andryhart, dasar alasan ada pada surat st Yakobus bab 5 ayat 14-15. Kalau di antara kamu ada yang sakit, baiklah ia memanggil memanggil para imam Gereja (terjemahan LAI/Protestan: penatua jemaat), supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Doa yg lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu, dan Tuhan akan membangunkan dia, dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Terjemahan bhs Inggris: Is anyone among you sick? Let him call in the presbyters of the Church and let them pray over him and anoint him with oil in the name of the Lord. Memang, Protestan di Indonesia selalu menerjemahkan “presbyters” dengan penatua-penatua, dan “the Church” diterjemahkan “jemaat”. Suatu yang lain sekali dari makna yang dimaksudkan oleh penulis Alkitab itu sendiri. Tetapi jelas dengan terjemahan yang benar, kita tahu bahwa imam-imam lah yang mengurapi dengan minyak.
Shaloom Isa Inigo
Shalom Isa Inigo,
Terima kasih atas tanggapan anda. Sebenarnya ayat itu sudah saya tulis di artikel di atas (lihat sub-judul Dasar dari Kitab Suci), dan juga disebutkan kembali dalam pernyataan CDF yang saya sertakan linknya (silakan klik), sehingga saya tidak menuliskannya kembali. Yang saya tambahkan di jawaban adalah yang belum pernah saya tuliskan sebelumnya, yaitu dari KGK dan KHK mengenai ‘hanya imam’ saja yang dapat memberikan Pengurapan Orang Sakit. Tetapi terima kasih, memang mungkin sebaiknya diulangi, agar lebih jelas. Ya, memang ayat itu yang dipakai oleh Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) sewaktu menjelaskan mengapa hanya imam yang diperbolehkan untuk memberikan Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Karena kata ‘penatua jemaat’ dalam Yak 5:14 maksudnya adalah para imam yang ditahbiskan, yang menjalankan peran sebagai para penerus rasul. Sekali lagi, terima kasih.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Sakramen orang sakit. Kalau mendengar orang sakit dan oleh romo telah diberi Sakramen ini, saya mempunyai kesan bahwa orang tersebut mendekati ajal dan banyak orang mengatakan Sakramen ini disebut Sakramen terakhir.
Sewaktu anak saya duduk di SMP pernah mengatakan, bahwa orang tua temannya sakit keras dan oleh romo sudah diberikan sakramen pencabut nyawa. Saya jawab : ” Huss… bukan itu maksudnya.. itu pengertian yang tidak benar…dst.nya”, dan selanjutnya saya berikan penjelasan secukupnya.
Sdr. Ingrid Listiati yang dikasihi Tuhan.
Menurut pendapat saya Sakramen Orang Sakit tidak hanya diberikan kepada orang yang sakit keras, jompo dan diambang kematian saja, tetapi diberikan kepada orang yang sakit rohani dan dapat diberikan kepada semua orang, berapa saja umurnya, dan sudah dibabtis secara Katolik. Sebab banyak orang yang kelihatan sehat tetapi rohaninya sakit.
Pertanyaan saya, apakah pendapat saya ini benar?.
Terima kasih.
Shalom Julius,
Sebenarnya alasan pemberian Sakramen Urapan Orang Sakit tidak terlepas dari alasan pemberian ketujuh sakramen yang ditujukan untuk menguduskan keseluruhan hidup kita, dari kelahiran sampai kepada kematian. Dasarnya adalah:
1) Paus Pius XII dalam surat ensikliknya Mystici Corporis (On the Mystical Body of Christ and Our Union in it with Christ), #18, menyatakan bahwa Kristus telah mengaruniakan kepada Tubuh Mistik-Nya sakramen-sakramen, sehingga seolah dengan rahmat yang tidak terputus menopang anggota-anggotanya dari saat kelahiran sampai kematian, dan bahwa ketetapanNya yang murah hati tersebut digunakan bagi kepentingan bersama seluruh Gereja.
2) St. Thomas Aquinas dalam "On the Articles of Faith and the Sacraments of the Church" menjelaskan alasannya mengapa Kristus menetapkan ketujuh sakramen dengan mengutip pengajaran dari Konsili Florence, dalam dekritnya kepada jemaat Armenia (1439), DS 1311; CF 1306: "Terdapat tujuh sakramen dalam Hukum yang Baru…. kelima sakramen yang pertama ditujukan untuk menyempurnaan rohani seseorang, dan kedua sakramen yang terakhir ditujukan untuk pengaturan dan perkembangan Gereja. Karena dengan Pembaptisan kita dilahirkan secara spiritual dan dengan Penguatan kita bertumbuh di dalam rahmat dan dikuatkan di dalam iman; setelah dilahirkan kembali dan dikuatkan, kita diberi makanan rohani oleh Ekaristi. Jika karena dosa kita menjadi sakit di dalam jiwa, kita disembuhkan secara rohani dengan Pengakuan Dosa; kita juga disembuhkan secara jasmani dan rohani jika itu dipandang baik bagi jiwa kita, melalui Pengurapan Orang Sakit. Melalui Tahbisan suci Gereja diatur and menerima pertumbuhan rohani, melalui Perkawinan, Gereja menerima perkembangan tubuh."
3) Katekismus Gereja Katolik 1514: Urapan orang sakit "bukanlah Sakramen bagi mereka yang ada di ambang kematian saja. Maka saat yang baik untuk menerimanya pasti sudah tiba, bila orang beriman mulai ada dalam bahaya maut karena menderita sakit atau sudah lanjut usia (Sacrosanctum Concilium 73) Jadi kita melihat di sini, tujuan utama penerimaan sakramen Pengurapan Orang Sakit adalah untuk menyampaikan rahmat kepada orang yang sakit, dalam hal ini tidak semua penyakit (flu, mulas, pilek, dst tidak termasuk), namun penyakit yang cukup serius dan mengingatkan akan maut. Sedangkan penyakit rohani disembuhkan oleh Sakramen Pengakuan Dosa, karena penyakit rohani adalah nama lain dari dosa.
Demikian, semoga saya menjawab pertanyaan Julius.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati.
Comments are closed.