Tidak. Gereja Katolik memang tidak menjadikan ajaran bahwa Bunda Maria tidak mengalami sakit melahirkan sebagai dogma, namun Gereja Katolik mengajarkannya demikian.[1] Ajaran ini bertumpu kepada dua ajaran definitif lainnya yang telah dinyatakan oleh Gereja, yaitu: 1) Bunda Maria tetap perawan, sebelum, pada saat, dan setelah melahirkan Kristus (lih. Yes 7:14, 66:7; Yeh 44:1-3; KGK 499); dan 2) Bunda Maria dikandung tidak bernoda (lih. Ineffabilis Deus 1854, KGK 491), sedangkan sakit melahirkan disebabkan karena dosa asal (lih. Kej 3:16). Baik Bunda Maria maupun Kristus yang dilahirkannya tidak mempunyai dosa asal, maka Bunda Maria tidak mengalami konsekuensi dosa asal ini. Maka Bunda Maria tidak mengalami sakit melahirkan.

Seorang apologis Katolik, Dr. Taylor Marshall, menjelaskan, “Sejumlah orang menganggap bahwa keyakinan Katolik tentang  hal ini merendahkan kemanusiaan Kristus. [Namun] kita mesti mengingat bahwa Kristus berjalan di atas air, berubah rupa di Gunung Tabor, keluar dari kubur sebelum kubur terbuka, dan menembus pintu yang terkunci. Tak ada satupun dari fakta ini yang merendahkan kemanusiaan Kristus. Karena itu, percaya bahwa Kristus keluar dari rahim Bunda Maria dengan cara yang misterius bukanlah tanpa alasan ataupun kurang hormat. Sebaliknya, hal ini adalah keyakinan dari para orang kudus yang tersuci dan terpandai dalam Gereja Katolik. Bagi siapapun yang menyangkal ketiadaan rasa sakit dan keperawanan pada kelahiran Kristus, mari kita tanyakan kepadanya kutipan dari Santo/Santa atau Paus mana yang mengajarkan demikian, yaitu teks yang menegaskan bahwa kelahiran bayi Kristus menyebabkan kesakitan kepada Maria, dan merusak keperawanan fisik Maria. …. Dari 33 orang Doktor Gereja, tak ada satu orang pun yang menyangkal bahwa kelahiran Kristus tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak merusak. Bahkan, sedikitnya 20 orang dari para Doktor Gereja itu secara eksplisit menegaskan bahwa kelahiran Kristus tidaklah menimbulkan rasa sakit dan secara ajaib meninggalkan keperawanan fisik Maria tetap terjaga. Lagi, ini semua kembali ke nubuat nabi Yesaya, “Sebelum menggeliat sakit, ia sudah bersalin, sebelum mengalami sakit beranak, ia sudah melahirkan anak laki-laki…”  (Yes 66:7) Nubuat ini mengacu kepada Kristus, secara jelas dan sederhana.”[2]

Dasar dari Kitab Suci

  • Yes 7:14: “Sesungguhnya, seorang perawan (virgin/almah) mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia, Imanuel.”
  • Yes 66:7: “Sebelum menggeliat sakit, ia sudah bersalin, sebelum mengalami sakit beranak, ia sudah melahirkan anak laki-laki…”
  • Yeh 44:1-3: “Kemudian ia membawa aku kembali ke pintu gerbang luar dari tempat kudus, yang menghadap ke timur; gerbang ini tertutup. Lalu TUHAN berfirman kepadaku: “Pintu gerbang ini harus tetap tertutup, jangan dibuka dan jangan seorangpun masuk dari situ, sebab TUHAN, Allah Israel, sudah masuk melaluinya; karena itu gerbang itu harus tetap tertutup…”

Dasar dari Tradisi Suci

  • Gregorius dari Nissa (388): “Meskipun datang dalam rupa manusia, tapi tidak dalam segala sesuatu Ia tunduk kepada hukum alam; sebab sementara kelahiran-Nya dari seorang wanita mengisahkan kodrat alamiah manusia; keperawanan yang dapat melahirkan anak menunjukkan sesuatu yang melampaui manusia. Tentang Dia maka beban Ibu-Nya menjadi ringan, kelahiran-Nya tanpa noda, cara kelahiran-Nya tanpa rasa sakit, kelahiran-Nya tanpa ketidakmurnian, tidak diawali dari keinginan daging, atau dilewati dengan dukacita… ia yang membawa hidup ke dunia harus menyelesaikan proses kelahiran dengan suka cita.”[3]
  • Ambrosius dari Milan (391): “Siapakah pintu gerbang ini (Yeh 44:1-3), jika bukan Maria? Bukankah ia tertutup karena ia [Maria] adalah seorang perawan? Maria adalah pintu yang melaluinya Kristus masuk ke dunia, ketika Ia lahir dalam kelahiran yang perawan dan cara kelahiran-Nya tidak merusak meterai keperawanan … Terdapat sebuah pintu dari rahim itu … bahwa melaluinya Seseorang yang lahir dari Sang Perawan keluar tanpa merusak keutuhan organ reproduksinya.”[4]
  • Agustinus (354-430): “Adalah tidak benar, bahwa Ia yang datang untuk menyembuhkan kerusakan malah pada saat kedatangannya merusak keutuhan.”[5]

“Saat melahirkan, engkau sepenuhnya murni, saat melahirkan, engkau tidak merasa sakit.”[6]

“Sungguh, Kristus mengatasi, mukjizat-mukjizat dari semua di samping itu, dengan lahir dari seorang perawan, dan dengan Ia sendiri memiliki kuasa, baik dalam konsepsi-Nya maupun kelahiran-Nya, untuk menjaga keutuhan integritas ibu-Nya…”[7]

  • Paus St. Leo Agung (430): “Ia [Maria] melahirkan Dia [Yesus] tanpa kehilangan keperawanan seperti ia telah mengandungNya tanpa kehilangan.”[8]
  • Paus Pelagius I (w 561): “Yesus Kristus, Allah benar dan juga sungguh manusia keluar dari, yaitu lahir, sementara keperawanan ibu-Nya tetap utuh: sebab Sang Perawan tetap demikian pada saat melahirkan, seperti halnya pada saat mengandungNya.”[9]
  • Proklus dari Konstantinopel (w 446): “O misteri! Aku melihat mukjizat-mukjizat dan aku mewartakan Tuhan… Sebab Sang Emanuel telah membuka pintu-pintu kodrat sebagai manusia, tetapi sebagai Tuhan, Ia tidak merusak keperawanan.”[10]
  • Andreas dari Kreta (650-720): “Perawan ini adalah Theotokos (Bunda Allah)… yang dari rahimnya Sang Ilahi lahir dalam daging, dan oleh siapa Ia sendiri menyiapkan sebuah tempat kediaman yang menakjubkan bagi diri-Nya sendiri. Ia [Maria] mengandung tanpa benih laki-laki dan melahirkan tanpa kerusakan—sebab Puteranya adalah Allah meskipun Ia juga lahir dalam daging—tanpa percampuran dan tanpa rasa sakit melahirkan…. Perawan ini, setelah melahirkan seseorang yang dikandung tanpa benih, tetap adalah Perawan yang murni, dengan tanda keperawanannya yang tetap terjaga tidak rusak.”[11]
  • Yohanes Damaskus (676-749): “Bagaimana mungkin kematian dapat mengklaim sebagai mangsanya, seorang yang sungguh terberkati ini, yang telah mendengarkan Sabda Tuhan dengan kerendahan hati, dan telah dipenuhi dengan Roh Kudus, mengandung karunia Allah Bapa melalui Malaikat, melahirkan tanpa kecondongan terhadap dosa dan tanpa campur tangan laki-laki, Sang Pribadi Sabda Ilahi,… yang melahirkan Dia tanpa rasa sakit melahirkan, karena kesatuan yang penuh dengan Tuhan?…. Adalah layak bahwa tubuhnya, yang mempertahankan keperawanannya tetap utuh saat melahirkan, tetap dijaga dari kerusakan bahkan setelah kematian…. Adalah layak bahwa ia yang memandang Puteranya wafat di salib, dan menerima di dalam hatinya pedang rasa sakit yang tidak dialaminya pada saat melahirkan, memandang Dia yang duduk di sisi Bapa.[12]
    “Sejauh bahwa Ia [Yesus] dilahirkan oleh seorang wanita, kelahiran-Nya adalah sesuai dengan hukum kodrat kelahiran manusia, namun sejauh bahwa Ia tidak mempunyai bapa [dalam arti jasmani], kelahiran-Nya melampaui kodrat kelahiran manusia: dan bahwa itu terjadi pada waktu yang normal [sebab Ia lahir pada saat genap 9 bulan…], kelahiran-Nya sesuai dengan kodrat kelahiran manusia, namun bahwa kelahiran-Nya tidak melibatkan rasa sakit, hal itu mengatasi hukum kodrat kelahiran manusia. Sebab sebagaimana kesenangan tidak mendahuluinya [kelahiran-Nya], rasa sakit juga tidak mengikutinya, sesuai dengan yang dikatakan oleh Nabi Yesaya, “Sebelum menggeliat sakit, ia sudah bersalin, sebelum mengalami sakit beranak, ia sudah melahirkan anak laki-laki (Yes 66:7). Karena itu, sang Putera Allah yang mengambil rupa manusia telah dilahirkan olehnya… Tetapi seperti Ia yang telah dikandung menjaga dia yang mengandung agar tetap perawan, dengan cara yang sama, Ia [Yesus] yang telah dilahirkan menjaga keperawanannya [Maria] tetap tidak terganggu, hanya melewatinya dan menjaganya tetap terkunci (Yeh 44:2).”[13]
  • Bonaventura (1221-1274): “O Allah, Allahku: Aku akan memuliakan Engkau melalui ibu-Mu. Sebab ia telah mengandung Engkau dalam keperawanan: dan tanpa kesakitan ia telah melahirkan Engkau.”[14]
  • Thomas Aquinas (1225-1274): “… Sakit melahirkan disebabkan oleh bayi yang membuka jalan dari rahim. Telah dikatakan … bahwa Kristus lahir dari rahim ibu-Nya yang terkunci, dan karena itu, tanpa membuka jalan keluarnya. Konsekuensinya, tidak ada rasa sakit pada saat kelahiran itu, seperti juga tidak ada kerusakan apa pun. Sebaliknya, ada begitu besar sukacita sebab Allah-Manusia “telah lahir ke dunia”….[15]

Dasar dari Magisterium:

Konsili Ekumenis kelima di Konstantinopel (553) memberikan gelar kepada Maria, “Perawan selamanya”.[16]

Sinode Lateran (649) yang dipimpin oleh Paus Martin I: “Jika seseorang tidak sesuai dengan para Bapa Gereja mengakui bahwa Maria yang kudus dan tetap perawan dan tanpa noda, sungguh dan benar-benar Bunda Allah, sehingga ia, pada saat genap waktunya, dan tanpa benih, mengandung dari Roh Kudus, Allah dan Sang Sabda sendiri, yang sebelum segala masa telah lahir dari Allah Bapa, dan tanpa kehilangan integritas melahirkan Dia dan setelah kelahiran-Nya tetap menjaga keperawanannya utuh tak terganggu, terkutuklah ia.”[17]

Konsili Toledo XVI (693): “Dan sebagaimana Sang Perawan mencapai kesederhanaan keperawanan sebelum Konsepsi, ia juga mengalami tidak kehilangan integritasnya; sebab sebagai perawan ia mengandung, sebagai perawan ia melahirkan, dan setelah kelahiran tetap mempertahankan kesederhanaan yang tak terganggu sebagai seorang perawan yang utuh.”[18]

Katekismus Romawi, hasil Konsili Trente (1566):
“Kelahiran Kristus melampaui aturan alamiah. Tetapi karena Konsepsi tersebut [terbentuknya janin Kristus] itu sendiri melampaui aturan alamiah, demikian juga kelahiran Tuhan kita menampilkan kepada pandangan kita, tiada yang lain selain apa yang ilahi….

Di samping itu, apa yang mengagumkan jauh melampaui kuasa pikiran ataupun perkataan untuk mengungkapkannya, Ia [Kristus] dilahirkan oleh Ibu-Nya tanpa pengurangan sedikitpun keperawanan ibu-Nya, seperti ketika kemudian Ia keluar dari kubur sementara kubur itu tertutup dan terkunci, dan masuk ke ruangan di mana para murid-Nya berkumpul, sementara pintu-pintu terkunci. Atau agar tidak beranjak dari contoh-contoh sehari-hari: seperti halnya berkas-berkas sinar matahari menembus kaca, tanpa memecahkan atau merusak sedikit pun kekerasan substansi kacanya, demikianlah, seperti itu juga namun dengan cara yang lebih agung, Yesus Kristus lahir dari rahim ibu-Nya tanpa merusak keperawanan ibunya. Karena itu, keperawanan ini yang tanpa noda dan tetap selamanya, membentuk tema yang benar/layak tentang pujian kita. Hal sedemikian adalah karya Roh Kudus, yang pada saat Konsepsi dan kelahiran Sang Putera, begitu melimpahi rahmat kepada Sang Bunda Perawan, dengan  memberikan berkat kesuburan kepadanya, sementara tetap utuh menjaga keperawanannya.

“Kepada Hawa dikatakan: “Dalam kesakitan kamu akan melahirkan anak-anakmu” (lih. Kej 3:16). Maria dibebaskan ketentuan ini; sebab tetap menjaga keutuhan keperawanannya, ia melahirkan Yesus Putera Allah, tanpa mengalami, seperti telah kami katakan, kesakitan apapun.”[19]

Katekismus Gereja Katolik, 499: “Pengertian imannya yang lebih dalam tentang keibuan Maria yang perawan, menghantar Gereja kepada pengakuan bahwa Maria dengan sesungguhnya tetap perawan[20], juga pada waktu kelahiran Putera Allah yang menjadi manusia.[21] Oleh kelahiran-Nya, “Puteranya tidak mengurangi keutuhan keperawanannya, melainkan justru menyucikannya.”[22] Liturgi Gereja menghormati Maria sebagai “yang selalu perawan” [Aeiparthenos].”[23]

 

[1] Lih. St. Thomas Aquinas, Summa Theologica, III, q. 28, a. 2;  Catechism of the Council of Trent, Part 1: The Creed, article III,

[2] Dr. Taylor Marshall, Mary’s Painless Delivery of Christ (Scripture, Church Fathers, Popes, and Doctors of the Church), http://taylormarshall.com/2010/12/marys-painless-delivery-of-christ.html.

[3] St. Gregory of Nyssa, Homily on Nativity of Christ, ref: http://full-of-grace-and-truth.blogspot.com/2011/12/homily-on-nativity-of-christ-by-st.html.

[4] St. Ambrose of Milan, The Consecration of a Virgin and the Perpetual Virginity of Mary, 8:52, ref: http://home.earthlink.net/~mysticalrose/virginityinpartu.htm.

[5] St. Augustine, Sermon 189:2, ref: http://www.dec25th.info/Augustine%27s%20Sermon%20189.html.

[6] St. Augustine, Sermon on Nativity, http://taylormarshall.com/2010/12/marys-painless-delivery-of-christ.html.

[7] St. Augustine, Tractate 91:3, ref: https://books.google.com/books?id=mII56pCHfkIC&pg=PA164&lpg=PA164&dq=St.+Augustine,+Tractate+91&source=bl&ots=gFY7TePWNO&sig=FPGn-xPtnXZS8uSzp5PiD_3vTq4&hl=en&sa=X&ei=KNpAVeSRK5H1gwTt7oHwBg&ved=0CC0Q6AEwAw#v=onepage&q=St.%20Augustine%2C%20Tractate%2091&f=false.

[8] Pope St. Leo the Great, Tome to Flavian, II, ref: http://www.newadvent.org/fathers/3604028.htm.

[9] Pope Pelagius I, Letter to King Childebert I, ref: http://taylormarshall.com/2010/12/marys-painless-delivery-of-christ.html.

[10] St. Proclus of Constantinople, Oratio 1, no. 10; PG 65:692A, ref: Ibid.

[11] St. Andrew of Crete, Discourse on the Nativity of the Theotokos, ref: http://www.stgeorgegreenville.org/OurFaith/Feasts%20for%20Theotokos/Natvity-AndrewofCrete.html

[12] St. John Damascene, Second Homily on the Dormition of the Mother of God, ref:
http://taylormarshall.com/2010/12/marys-painless-delivery-of-christ.html.

[13] St. John Damascene, On the Orthodox Faith, IV, 14, ref: Ibid.

[14] St. Bonaventure, Psalter of the Blessed Virgin Mary, 62, ref: Ibid.

[15] St. Thomas Aquinas, Summa Theologica, III, q.35, a.6, ref: Ibid.

[16] D 214, 218, 227.

[17] D 256, DS 503.

[18] DS 571.

[19] Diterjemahkan dari Catechism of the Council of Trent, Part 1: The Creed, article III, ref: http://www.catecheticsonline.com/Trent.php

[20] Bdk. DS 427.

[21] Bdk. DS 291; 294, 442; 503; 571; 1880.

[22] LG 57.

[23] KGK 499, Bdk. LG 52.

7 COMMENTS

  1. Shalom
    Dalam peristiwa -peristiwa mulia Doa Rosario, poin ke 5 adalah ” Maria dimahkotai di surga” dgn mngambil ayat Why 12 :1 . Namun stelah sya prhatikn ayat sterusnya ( Why 12:2 ), dstu dcritakn bhwa tokoh pda ayat 1 tdi ( Bunda Maria , dsna trtulis kta ganti ‘Ia”) dcritakn tengah menderita hendak melahirkn dan berteriak ksakitan . Bgaimna tanggapan katolisitas ttg ayat tsb ?
    Mohon penjelasannya.
    Pax Christi

    [dari katolisitas: Silakan melihat tanya jawab ini – silakan klik]

    Silakan juga melihat FAQ ini:

    [qa id=14370]

  2. MISTERI SEGALA MISTERI, Orang Yahudi dimasa lalu yang sering memberontak membuat kepercayaan tandingan , sehingga Yesus harus datang lahir dari seorang perempuan. [….edit] Selamat menyambut Natal di 2013. Dan berjaga -jagalah.

  3. Dear Katolisitas,

    terima kasih sudah menjawab pertanyaan2 kami.

    Saya agak bingung bagaimana menghubungkan ayat di Yeh 44:1-3 dengan Bunda Maria, karena ayat itu tampak literal, pintu gerbang yg menghadap ke timur dan yg ke utara, mulai dari Yeh 40.

    “..sebab TUHAN, Allah Israel, sudah masuk melaluinya; karena itu gerbang itu harus tetap tertutup. Hanya raja itu, oleh karena ia raja boleh duduk di sana makan santapan di hadapan TUHAN”

    Tampak seperti ada dua Pribadi; yaitu TUHAN (Allah Bapa, Yahwe), dan raja itu.

    Terima kasih atas penjelasannya.
    Roberts

    • Shalom Roberts,

      Dalam Yeh 44:2 dituliskan “Lalu TUHAN berfirman kepadaku: “Pintu gerbang ini harus tetap tertutup, jangan dibuka dan jangan seorangpun masuk dari situ, sebab TUHAN, Allah Israel, sudah masuk melaluinya; karena itu gerbang itu harus tetap tertutup.” Tuhan Allah Israel, yaitu Tuhan Allah yang satu, Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakub (lih. Kel 3:6). Tuhan yang bersabda kepada Abraham, Ishak dan Yakub serta dengan perantaraan para nabi kemudian menyapa umat-Nya secara langsung, yaitu dengan menjadi manusia dan tinggal di antara kita (lih. Yoh 1:14). Dan Allah ini adalah Yesus Kristus. Bagaimana Yesus Kristus masuk ke dalam sejarah manusia? Dengan melalui pintu gerbang keperawanan Maria, karena Dia lahir dari seorang perawan (lih. Gal 4:4). Dengan pengertian ini, maka tidak heran, kalau para Bapa Gereja, termasuk St. Ambrosius menyatakan bahwa ayat ini mendukung keperawanan Maria.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  4. Mohon penjelasan;

    Ringkasnya, alur logika tulisan di atas adalah: karena “sakit melahirkan” (dan juga “sakit” lainnya secara umum) adalah buah dari dosa asal dan dosa pribadi, maka karena Bunda Maria tidak berdosa asal maupun tidak ada dosa pribadi, maka Bunda Maria tidak mengalami sakit melahirkan.

    Tuhan Yesus pun tidak mempunyai dosa. Apakah Tuhan Yesus juga tidak merasakan “sakit” ketika di-salib?

    Menurut saya, Tuhan Yesus maupun Bunda Maria, karena tidak mempunyai dosa, maka tidak bisa mengalami “PENDERITAAN ROHANI” yaitu penderitaan karena terpisah dgn Allah karena dosa, yg berwujud: rasa kesepian, rasa tidak dicintai, benci/amarah/dendam, tidak dapat menerima keadaan, stress, putus-asa, dll

    Tetapi saya pikir, mereka tetap dapat merasakan “sakit fisik/badaniah” karena sakit-badani itu adalah konsekuensi (beda dikit dgn akibat) mereka mempunyai TUBUH yang FANA… demikian juga TUBUH FANA harus bekerja agar dapat makan, mengolah tanah/ladang, merasa haus dan lapar (ketika Yesus puasa 40malam), dll… walaupun penderitaan2 spt ini disebutkan juga di kitab kejadian sebagai buah dosa.

    demikian.. terima kasih atas tanggapan Katolisitas.

    • Shalom Fxe,

      Dari Kitab Suci kita mengetahui bahwa ‘sakit melahirkan’ merupakan akibat dosa asal yang harus ditanggung oleh kaum wanita (lih. Kej 3:16); seperti juga susah payah mencari rezeki bagi kaum pria (Kej 3:17). Berpegang pada prinsip ini, maka para Bapa Gereja mengajarkan bahwa karena Bunda Maria tidak berdosa, dan tidak mempunyai dosa asal, maka ia tidak mengalami sakit melahirkan. Ini berkaitan juga dengan misinya sebagai Bunda yang melahirkan Putera Allah, yang tidak berdosa, maka keistimewaan yang dialami Bunda Maria ini adalah demi menyatakan ke-Allahan Kristus yang dikandung dan dilahirkannya, yang tidak dapat disamakan dengan manusia yang berdosa.

      Selanjutnya, memang benar bahwa segala penyakit dan kematian juga merupakan akibat dosa, namun demikian, meskipun Yesus tidak berdosa, Ia tetap mengalami rasa sakit dan kematian. Rasa sakit yang dialami oleh Kristus adalah rasa sakit yang nyata, sebab Ia dengan sukarela mengambil rasa sakit itu, demi misi-Nya untuk menebus dosa manusia, dengan mengambil akibat dosa itu bagi diri-Nya sendiri. Maka rasa sakit dan kematian yang dialami oleh Yesus tidak menunjukkan bahwa Ia berdosa, namun adalah karena Ia mau menebus dosa manusia, maka Ia menanggung akibat semua dosa itu.

      St. Thomas menjelaskan bahwa Kristus mengalami rasa sakit dan penderitaan di kayu salib, sebagai penderitaan yang terbesar yang pernah dialami oleh manusia, dengan 4 sebab -untuk teks selengkapnya, silakan membaca di link ini, silakan klik:

      1. Penyebab dari sumber sakitnya, yaitu tubuhnya yang terluka dan tergantung di salib, mengakibatkan rasa sakit yang sangat di seluruh anggota tubuh-Nya. Juga fakta bahwa Yesus tidak langsung wafat, seperti halnya mereka yang dibunuh dengan pedang. Selain itu, Ia mengalami sakit yang sangat di dalam hati akibat: 1) menanggung dosa seluruh umat manusia yang ditebus-Nya, 2) secara khusus dosa bangsa Yahudi dan para Rasul-Nya; 3) kehilangan hidup jasmaninya.

      2. Dari derajat beratnya penderitaan, yang ditentukan dari tingkat kepekaan baik di jiwa maupun tubuh. Tubuh Kristus dibentuk secara sempurna melalui karya Roh Kudus. Maka segala indera dan kemampuan tubuh untuk merasakan sakit, adalah sempurna. Demikian juga jiwa-Nya, yang mempunyai kemampuan yang sempurna, menjadikannya semakin dapat memahami semua penyebab kesedihan.

      3. Berat-Nya penderitaan Kristus dapat diperkirakan dari setiap rasa sakit dan kesedihan-Nya. Bagi para penderita yang lain kesedihan dalam hati ataupun penderitaan yang nampak diringankan oleh semacam pertimbangan akal budi, …. namun tidak demikian halnya dengan Kristus yang menderita, sebab ‘Ia mengizinkan semua kuasa/kemampuan-Nya untuk melakukan fungsi yang semestinya (St. Yohanes Damaskinus, De Fide Orth. iii)

      4. Berat-Nya penderitaan Kristus dapat diperhitungkan dari rasa sakit dan kesedihan yang diterima dengan sukarela demi tujuan untuk membebaskan umat manusia dari dosa, dan konsekuensinya, Ia menanggung penderitaan yang proporsional dengan besarnya buah yang dihasilkan olehnya.

      Demikianlah, maka penderitaan yang dialami Kristus, yang memuncak pada saat Ia disalibkan, adalah penderitaan jasmani yang sesungguhnya, demikian pula rasa sakit yang nyata di dalam hati-Nya, akibat dosa dari semua manusia, terutama dosa orang-orang yang terdekat dengan-Nya.

      Namun demikian segala rasa sakit ini, tidak memisahkan Kristus dengan Allah Bapa. Sebab Kristus mempunyai pandangan kesempurnaan surgawi (beatific vision) di mana Kristus selalu berada di dalam kesatuan dengan Bapa-Nya. Maka dalam penderitaan maupun kematian-Nya, Kristus tetap tidak terpisahkan dari Allah Bapa.

      Sedangkan tentang Bunda Maria, walaupun tidak secara eksplisit tertulis dalam Kitab Suci, namun para Teolog secara umum memperkirakan bahwa Bunda Maria tetap mengalami kematian di akhir hidupnya, yang bukan disebabkan karena dosa, namun karena mengikuti jejak Puteranya. Sebab Kristus Puteranya mengalami kematian, maka Bunda Maria-pun mengalami kematian, sebelum diangkat tubuh dan jiwanya oleh Allah ke dalam kemuliaan Surga.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  5. Shalom Pak Stef & Bu Ingrid yg t’kasih…

    Boleh trang’n serba-sdikit ttng proses klahiran Yesus..? Soalnya saya prnah t’bca d 1 sumber bhwa gereja2 eropah d zman p’tngahan prcaya akn 1 tradisi bhwa pd wktu klahiran Yesus, t’dpat lingkungan chaya terang yg mnaungi bunda Maria spya dia x mrasai ksakitan ktika b’salin…

    Mohon p’cerahan..?
    Thanx in advance
    God bless…

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas, silakan klik. Bahwa Bunda Maria tidak mengalami sakit melahirkan, itu diajarkan oleh para Bapa Gereja, jauh sebelum Abad Pertengahan. Silakan membaca terlebih dahulu tulisan-tulisan para Bapa Gereja di artikel di atas.]

Comments are closed.