Pertanyaan:
shalom,mohon tanggapan :
Berikut adalah Wawancara dengan Bapa Uskup Surabaya yang dimuat di Jawa Pos hari ini (Minggu, 14 Februari 2010), bagian Metropolis, hal. 30 (atau alamat situsnya: http://jawapos.co.id/metropolis_weekend/index.php?act=detail&nid=117218)
[ Minggu, 14 Februari 2010 ]
Monsiyur yang Larang Misa Imlek
“BUKAN salah bunda mengandung, tapi salah bapak nggak pakai sarung,” celetuk Uskup Surabaya Monsigneur (baca: monsinyur-Mgr) Vincentius Sutikno Wisaksono tentang ke-Tionghoa-annya. Dia lantas tertawa kencang.
Ya, pemimpin gereja Katolik yang meliputi 15 kota di Jatim plus dua kabupaten di Jateng itu memang berdarah Tionghoa. Tapi, sejak kecil dia tak menerapkan tradisi leluhurnya secara sakelijk (baca: saklek). Bahkan, saat ditemui di kantor Keuskupan Surabaya, Jalan Polisi Istimewa, Monsinyur Tik berterus terang bahwa dia kurang antusias berbincang soal Imlek yang jatuh hari ini.
Kegairahan tahun baru Tionghoa itu memang tak meletup-letup dalam diri Sutikno. Sejak umur lima tahun, dia mengaku tak lagi disentuhkan dengan tradisi Tionghoa. “Masiyo Tionghoa aku blas nggak iso ngomonge. Nggak tahu diuruki. (Meskipun orang Tionghoa saya tidak bisa berbahasa Tionghoa. Tidak pernah diajari),” katanya. Dia lantas tertawa lagi.
Di samping itu, Sutikno juga menganggap bahwa dia sudah nggak cocok jadi Tionghoa. “Kulitku nggak putih, mripatku yo nggak sipit-sipit banget (kulit saya tidak putih, mata saya juga tidak sipit, Red),” imbuhnya sambil menarik kelopak mata dengan telunjuknya agar terlibat lebih sipit.
Suktikno lalu mengambil secarik kertas. Dia lalu menuliskan: Oei Tik Haw. “Ini nama Tionghoa saya. Sekarang jadi Sutikno Wisaksono,” kata arek Suroboyo asli yang terkenal sangat ceplas-ceplos itu. Sutikno lalu menuliskan nama kedua orang tuanya. Yakni Oei Tik Tjia, ayahnya dan Kwa Siok Nio, ibunya.
Meski benar-benar berasal kalangan Tionghoa, Sutikno mengaku tidak berperan banyak untuk kebudayaan Tionghoa. Bahkan dengan ketegasannya sebagai Uskup, pemangku gereja, Sutikno menegaskan peraturan yang dia sadari bisa memancing cibiran umat dari kalangan Tionghoa. Yakni, membebaskan liturgi (tata perayaan) Katolik dari pernik-pernik Imlek.
Memang, sejak Sutikno ditahbiskan menjadi Uskup Surabaya pada 29 Juni 2007, tidak ada lagi gereja-gereja Katolik di bawah Keuskupan Surabaya yang berani memasang pernik-pernik khas Imlek. Tentu saja sudah tidak ada lagi misa Imlek. “Sudah saya larang keras. Sekarang sudah bersih,” katanya.
Pria 56 tahun itu lalu menceritakan, sebelum dia menjabat Uskup, ada beberapa gereja Katolik yang terang-terangan mengadakan misa Imlek. Perayaannya pun terkesan megah. Misalnya ada tarian-tarian barongsai, kolekte (persembahan, Red) pun dengan barang-barang wah. Selain itu, bagi-bagi angpau juga dilakukan di dalam gereja. “Masak waktu misa ada tari-tariannya. Sing siao se sa saui,” katanya menirukan logat Tionghoa awur-awuran. Sutikno lalu berdiri, tangannya digerak-gerakkan mencoba menirukan gerakan tarian Barongsai. “Kan nggak ada hubungannya dengan Ekaristi (misa). Nek kecekluk piye,” imbuhya lalu tertawa kencang.
Dia lalu menyempatkan masuk ke ruangannya untuk mengambil buku. Buku hijau itu berjudul Redemtionis Sacramentum yang berarti Sakramen Penebusan. Mengenakan kacamata bacanya, Sutikno meneliti daftar isi. “Mmmm mana ya,” gerutunya sambil memicingkan mata. “Nah ini dia halaman 44,” ucapnya.
Setelah menemukannya dia lalu membacakan isi buku. “Tidak diizinkan mengaitkan misa dengan peristiwa-peristiwa profan atau duniawi atau mengaitkan dengan situasi-situasi yang tidak dengan sepenuhnya sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Juga perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut upacara-upacara lain,” tuturnya.
“Nah sudah jelas kan?” imbuhnya. Sutikno menerangkan bahwa pelarangan misa Imlek bukanlah tanpa dasar. Tapi itu sudah diatur dalam peraturan Gereja Katolik. Aturan itu dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen pada Hari Raya Kabar Sukacita kepada Santa Perawan Maria pada 25 Maret 2004.
Sebenarnya, Sutikno bukan anti kebudayan Tionghoa. Dia sangat menghargai dan mendukung perayaan Imlek oleh orang yang merayakan. Tapi itu tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan Gereja Katolik. Dia mempersilakan umatnya untuk merayakan Imlek di luar gereja..
Tak hanya urusan peribadatan saja yang pernah membuat Sutikno menuai cibiran. Berkaitan statusnya yang Tionghoa, Sutikno dicap sebagai Uskup yang pelit dan sangat perhitungan dalam hal keuangan. “Oh pantes lha wong Uskupe Tionghoa,” ucap Sutikno menirukan beberapa pihak yang menggerutu.
Menurutnya, saat kursi Uskup Surabaya kosong beberapa tahun lalu, laporan keuangan gereja-gereja Keuskupan Surabaya sangat amburadul. Bahkan beberapa gereja tidak pernah melaporkan keuangannya ke keuskupan. “Padahal itu kan uang umat yang harus dipertanggungjawabkan,” katanya.
“Katanya saya mata duiten lah, mau cari untung lah. Tapi cuek saja. Yang penting saya benar. Ini untuk dipertanggungjawabkan ke umat,” kata Uskup yang ditahbiskan menjadi imam pada 21 Januari 1982 itu. “Mungkin ini untungnya punya uskup Tionghoa. Teliti masalah keuangan,” imbuhnya. Kembali, tawanya meledak.
Sutikno menceritakan sejak kecil, dirinya tidak pernah dicekoki kedua orang tuanya tentang kebudayaan Tionghoa. Sebab, kata Sutikno, meski keturunan Tionghoa asli, latar pendidikan kedua orang tuanya lebih mengarah ke budaya Belanda. Ayahnya yang bernama Indonesia Widiatmo Wisaksono dulu bersekolah di sebuah SMK milik Belanda yang terletak di kawasan Pasar Turi.
Bahkan kedua orang tuanya lebih kuat menanamkan kebudayaan Indonesia kepada Sutikno. “Kita ini orang Indonesia yang hidup dari Indonesia dan harus berbuat banyak untuk negara Indonesia,” tutur Sutikno menirukan wejangan ayahnya.
Menurutnya Tionghoa, Jawa, Betawi dan ras lainnya hanyalah sebuah kebetulan yang sudah ditentukan oleh Tuhan. “Tapi pada hakikatnya kita adalah manusia yang sama di mata Tuhan,” terangnya. “Jadi saya menjadi Tionghoa bukan karena salah bunda mengandung, tapi salah bapak nggak pakai sarung,” selorohnya. Uskup itu lantas cekikikan. (kuh/dos)
Jawaban:
Shalom Robert Indargo,
Pertama- tama kami mohon maaf atas keterlambatan jawaban kami.
Demikianlah tanggapan kami terhadap pernyataan di atas:
1. Jika Bapa Uskup Sutikno telah melarang diadakannya Misa Imlek, maka sebagai umat Katolik (baik imam maupun awam) yang berdomisili di keuskupan Surabaya wajib menaatinya. Mari kita menghargai kebijaksaan Bapa Uskup yang mungkin bermaksud mencegah terjadinya percampuran budaya yang simpang siur, di mana ada barongsai masuk gereja, yang tentu tidak sesuai dengan ajaran Kristiani.
2. Di lain pihak, kita mengetahui di beberapa negara yang merayakan Imlek, seperti di Singapura, dan China, umum dilakukan Misa untuk merayakan Imlek. Imlek di sini dianggap semata- mata hanya perayaan syukur, apalagi di China sana, Imlek itu juga berkonotasi dengan musim semi. Jadi datangnya musim semi ini dirayakan sebagai tanda syukur kepada Tuhan. Jika ini motivasinya, maka tidak bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik, karena perayaan Ekaristi intinya juga adalah ucapan syukur. Namun demikian, terjadi pertentangan kalau dimasukkan unsur- unsur budaya seperti barongsai/ tarian naga, dst, yang memang rancu, karena di Kitab Suci, naga menggambarkan Iblis (lih. Why 12). Dan demikian jadi aneh dan tidak pada tempatnya, jika naga menari-nari di dalam gereja.
Namun perayaan Misa Imlek di Singapura, seperti yang pernah juga saya ikuti, tidak melibatkan tarian barongsai ataupun dekorasi lampion. Misanya sederhana saja, seperti pada hari Minggu biasa, paling-paling ada dekorasi dengan kain merah dan bunga- bunga. Setelah Misa selesai, umat menerima jeruk, sebagai tanda syukur atas berkat Tuhan.
Jadi jika di keuskupan lain Uskup memperbolehkan diadakannya Misa Imlek, maka silakan saja bagi yang merayakannya untuk mengikutinya. Hanya saja memang perlu dicermati, agar di dalam Misa tidak dicampuradukkan budaya yang tidak pada tempatnya. Tidak perlu gereja “disulap” dengan lampion seperti klenteng, ataupun ada tari- tarian barongsai di Misa. Jika sampai mau diadakan pembagian jeruk, silakan dilakukan setelah Misa selesai, setelah berkat dan lagu penutup.
Kesimpulannya, mari kita menaati apa yang telah ditetapkan oleh pemimpin Gereja Katolik, di mana kita berada. Kita percaya, para Uskup memutuskan segala sesuatu sesuai dengan keadaan umat di wilayahnya, dan mari kita dengan lapang hati menaatinya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
Dear Stefanus dan Inggrid,
Mohon tanya:
1. Apakah diperkenankan melaksanakan misa untuk merayakan Imlek ( Tahun
Baru China ) oleh Gereja Katolik ?
2. Andaikata diperkenankan dokumen/peraturan Gereja yang mana yang di-
pergunakan untuk mendasari hal tersebut ?
Atas penjelasannya kami menyampaikan terima kasih.
Salam,
Theodorus-Jember
[Dari Katolisitas: Silakan terlebih dulu membaca artikel di atas, silakan klik]
Terima kasih jawaban Ibu Inggrid Listiani untuk pertanyaan saya sangat mencerahkan. Tuhan memberkati.
Sekarang ini menjelang tahun baru imlek. Saya ada pertanyaan, karena kelihatannya umat Katolik sekarang sudah mulai kritis.
1. Bagaimana cara Gereja Katolik menyikapi dalam merayakan Imlek?
2. Haruskah Liturgi Gereja dikalahkan sekedar memeriakan keramaian Imlek?
3. Apakah diperbolehkan Gereja merayakan Imlek dengan warna merah?
4. Ada liong yang dianggap berhala masuk gereja sampai didepan Altar apakah ini tidak menyalahi?
Demikian atas bantuan jawabannya diucapkan terima kasih. Tuhan memberkati.
Shalom Lucas,
Tentang Misa syukur Imlek, sudah pernah diulas di sini, silakan klik
1. Bagaimana cara Gereja Katolik menyikapi dalam merayakan Imlek?
Perayaan Imlek tidak termasuk di dalam penanggalan liturgi Gereja Katolik. Maka jika sampai diadakan perayaan Ekaristi pada hari Tahun Baru Imlek, itu sesungguhnya hanya Misa syukur biasa, dengan bacaan liturgis menurut penanggalan liturgis pada hari itu. Hanya saja dimungkinkan dapat dimasukkan nuansa Imlek pada hari itu, yang mungkin terlihat dari dekorasi gereja, pemilihan lagu- lagu liturgis maupun dibagi- baginya jeruk seusai Misa, sebagai lambang berkat Tuhan. Semua ini merupakan penghormatan Gereja kepada nilai budaya setempat, dan sebagai tanda bahwa segala budaya yang baik dapat diarahkan untuk mengucap syukur kepada Tuhan.
2. Haruskah Liturgi Gereja dikalahkan sekedar memeriahkan keramaian Imlek?
Tidak. Tidak ada yang kalah dan menang dalam hal ini, sebab ini bukan perang. Misa pada hari tahun baru Imlek adalah Misa syukur pada masa biasa, jadi tidak ada yang diubah dalam liturgi. Bacaan liturgis nya sama (mengikuti masa biasa), demikian juga urutan Misa, tetap sama.
3. Apakah diperbolehkan Gereja merayakan Imlek dengan warna merah?
Jika yang dimaksud adalah dekorasi kain merah di beberapa tempat, silakan saja. Tetapi warna liturgis (warna jubah imam dan perlengkapan di altar) adalah mengikuti masa pada saat itu. Umumnya dipergunakan warna hijau (jika jatuh pada masa biasa) atau putih (jika jatuh pada perayaan khusus/ sebagai lambang perayaan syukur). Jika sampai memakai warna merah, seperti pada tahun lalu, itu adalah karena bertepatan dengan perayaan St. Blaise (Blasius) yang adalah martir (3 Februari). Warna liturgis untuk perayaan memperingati martir adalah merah.
4. Ada liong yang dianggap berhala masuk gereja sampai di depan Altar apakah ini tidak menyalahi?
Ini adalah praktek yang keliru, tidak seharusnya terjadi demikian dalam liturgi perayaan Ekaristi. Silakan membicarakannya dengan seksi liturgi dan imam di paroki Anda. Mungkin atas praktek- praktek yang sedemikian inilah maka Uskup Agung Surabaya, Msgr. Vincentius melarang Misa Imlek di wilayahnya. Nampaknya perlu dilakukan katekese umat, agar umat memahami makna sakramen Ekaristi dan bagaimana merayakannya, sesuai dengan ajaran iman kita.
Tentang pengertian berhala, silakan klik di sini. Setiap negara mempunyai simbol- simbol sendiri yang mungkin berkaitan dengan cerita rakyat/ keyakinan masyarakat setempat. Sepanjang tidak disembah sebagai tuhan (allah lain), simbol-simbol itu bukan berhala. Namun penggunaan simbol- simbol ini yang tidak berkaitan dengan liturgi dalam perayaan Ekaristi, adalah suatu praktek yang keliru.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Katolisitas,
Berkenaan dengan poin no.3, saya ingin menanyakan:
Dalam kondisi seperti apakah diperbolehkan untuk mengubah warna liturgi.
Setahu saya warna liturgi memiliki artinya sendiri-sendiri. Kebetulan tgl 3 Peb 2012 yang lalu di suatu paroki diadakan Perayaan Ekaristi Syukur dalam rangka Tahun baru Imlek. Dalam perayaan ekaristi tsb para pastor yang memimpin (konselebran) semua menggunakan jubah warna merah, padahal tgl tsb warna liturgi seharusnya hijau (http://www.imankatolik.or.id/kalender.php)
Tentu saja bisa dijawab tgl 3 adalah untuk memperingati pesta St.Blasius, tetapi kalau melihat tema yg ada kesannya jadi seperti dipaksakan / dipas2kan. Kalau alasan ini yg dipakai bisa jadi misa2 harian kebanyakan memakai warna merah juga, toh hampir tiap hari kita memperingati pesta para kudus/martir.
Terima kasih
MGBU.
Shalom Ryan,
Tanggal 3 Februari adalah hari peringatan St. Blasius martir sebagai (optional memorial) jadi artinya memang dapat dirayakan, atau tidak dirayakan (sifatnya optional/ tidak harus). Kalau dirayakan, maka warna liturgi adalah merah, karena merah adalah warna bagi peringatan martir. Sedangkan kalau tidak dirayakan, maka warna liturgi mengikuti masa biasa yaitu hijau. Silakan klik di link EWTN untuk mengetahui tentang hal optional memorial ini pada tgl 3 Februari yang lalu. Tidak semua perayaan orang kudus itu memakai warna merah, hanya yang martir saja yang memakai warna merah. Selebihnya, warna liturgi bagi peringatan orang kudus yang tidak wafat sebagai martir adalah putih atau hijau (tergantung dari apa yang dinyatakan dalam kalender liturgi)
Di beberapa paroki di Jakarta Imlek tahun 2012 dirayakan pada tanggal 23 Januari, dan pada hari itu bertepatan dengan hari doa untuk perlindungan anak/ janin di dalam kandungan, sehingga warna liturginya adalah putih, silakan klik di link ini. Sedang kalau jatuh pada misa biasa, maka warna liturginya hijau.
Kalau sudah mengetahui warna liturgi yang sesuai dengan kalender liturgi maka seharusnya tidak diubah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Damai Dalam Kristus..
Maaf saya ikut komentar dalam topik ini, perkenalkan saya Daniel (bisa dibilang juga keturunan Thionghua atau Jawa, sebab ayah Thionghua dan ibu Jawa). Menurut saya masalah ini sangat menarik untuk di perdebatkan, tetapi janganlah menjadi suatu masalah yang menjadikan “Perpecahan Dalam Gereja”. Mari bersama Gereja untuk membangun Gereja.
Langsung saja ke pokok permasalahan. Sebelumnya saya minta maaf kepada Bpk. Mgr. ,Romo dan Team Katoliksitas.org
Setelah saya membaca artikel “Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi” yang ditulis oleh Katoliksitas.org sendiri pada 06/08/2010 yang isinya sebagai berikut TANPA saya edit:
Adaptasi-akulturasi
Penyesuaian yang lebih mendalam terjadi bila penyesuaian itu berkaitan dengan budaya orang setempat yang mengambil bagian dalam perayaan. Dalam tahap ini penyesuaian dapat digolongkan dalam adaptasi-akulturasi dan inkulturasi. Adaptasi-akulturasi terjadi kalau ritus romawi dengan unsur-unsur budaya romawi disesuaikan dengan unsur-unsur budaya orang-orang setempat.[6] Titik tolak proses penyesuaian ini (terminus a quo) adalah ritus romawi dan yang mau dicapai atau dihasilkan dalam proses ini adalah ritus romawi dengan unsur budaya setempat (terminus ad quem). Tata perayaan ritus romawi tidak mengalami perubahan besar namun unsur-unsur yang didukung oleh budaya romawi dapat mengalami perubahan karena disesuaikan dengan budaya setempat. Misalnya tata perayaan Ekaristi romawi tidak berubah tetapi bahasanya, gaya pengungkapan atau simbol-simbolnya dapat berubah karena disesuaikan dengan budaya orang setempat seperti budaya Jawa.
Dalam proses adaptasi-akulturasi[7] ini kekhasan bentuk budaya romawi yang terdapat dalam unsur-unsur perayaan liturgi dapat dilucuti dan diganti, dapat pula dipertahankan dan di diperjelas.
Kemungkinan pertama: unsur dengan ciri khas budaya romawi dilucuti dan diganti. Bentuk ekspresi dari unsur-unsur tata perayaan romawi itu dihilangkan karena kurang menyentuh atau bahkan bertentangan dengan bentuk ekspresi budaya setempat. Dengan kata lain kekhasan ekspresi budaya romawi dalam unsur-unsur itu dihilangkan (tanpa menghilangkan maknanya) lalu diganti dengan kekhasan ekspresi budaya setempat sehingga arti dari unsur itu tidak hilang tetapi dapat dengan lebih mudah dipahami dan dihayati oleh orang-orang setempat. Misalnya perecikan air suci yang dicampur dengan garam diganti dengan perecikan air kelapa muda yang dicampur dengan daun tumbuhan hijau dan sejuk atau perecikan dengan air yang ditaburi bunga menurut adat kebiasaan setempat. Dalam hal ini makna dari perecikan tidak dihilangkan tetapi bentuk ekspresi budaya romawi diganti dengan kekhasan ekspresi budaya setempat.
Kemungkinan lain: unsur dengan ciri khas budaya romawi dipertahankan dan diperjelas. Unsur budaya romawi itu dipertahankan tetapi maknanya diperjelas dengan tambahan unsur budaya khas setempat. Misalnya rumusan doksologi Doa Syukur Agung yang diakhiri Amin tidak dihilangkan tetapi diperjelas dengan tambahan unsur budaya yang khas sebagai tanda setuju dari suku tertentu seperti seruan hooo hooo heee heee.
Adaptasi-akulturasi dapat menimbulkan dinamika hubungan antara dua budaya serentak membuat unsur-unsur budaya yang berbeda-beda itu saling tumpang-tindih tanpa ada asimilasi satu sama lain.[8] Chupungco menggambarkan proses akulturasi ini sebagai perpaduan unsur budaya A+B = AB. Keduanya disatukan tetapi masing-masing mempertahankan identitasnya. Tidak terjadi perubahan berarti pada masing-masing unsur budaya. Menghilangkan atau mempertahankan salah satu unsur budaya yang berbeda itu (entah unsur budaya romawi atau budaya setempat) tidak akan menimbulkan kerugian besar.[9] Inilah tantangan yang harus dihadapi dalam proses penyesuaian pada tahap ini. Ada pertemuan dari unsur-unsur dua budaya (romawi dan non romawi) tetapi masing-masing mempertahankan kekhasannya dan tidak melebur untuk membentuk satu budaya baru. Akan tetapi akulturasi merupakan syarat yang penting menuju inkulturasi liturgi.[10]
https://katolisitas.org/penyesuaian-dan-inkulturasi-liturgi/
Lalu bagaimana? itulah potongan artikel yang sudah saya baca. Jika di dalam Perayaan Ekaristi dan di dalamnya di padukan dengan Budaya Thionghua (Budaya Setempat khususnya) Budaya A+B=AB, whay not?? knp tidak? Bisa jadi menjadi suatu nilai plus atau kekayaan Liturgi Katolik sendiri. Kan juga tidak mengurangi ke-Kudusan Ekaristi dan Tidak Mengurangi Nilai-Nilai Ekaristi sendiri. Namun hanya perlu diperhatikan mana yang boleh dan mana yang tidak. Penambahan ornamen-ornamen seperti lampion, kain berwarna merah, saya rasa itu tidak masalah.
Mungkin jika barongsai masuk di dalam Gereja, melenggang-lenggong di dalam Gereja…hahaha….nahh itu patut kita waspadai, perlu adanya suatu ketegasan Gereja untuk melarangnya… Dan untuk menambah pertimbangan lagi. Kenapa, adat jawa boleh masuk dalam perayaan liturgi? gamelan masuk di dalam Gereja, lagu-lagunya berbahasa jawa, memakai kebaya, memakai blangkon, misa Romonya menggunakan bahasa jawa,dll itu kan sama saja?? Mungkin ini yang dapat saya sampaikan, dan dari sini juga saya dapat belajar lebih mendalam. Mohon penjelasannya, jika terjadi kesalahan, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Semoga dapat menjadi penambahan wawasan untuk saya kedepannya…Berkah Dalem
Shalom Daniel Setiyo,
Memang pada prinsipnya, Gereja Katolik tidak menolak budaya setempat yang baik, yang dapat diterima sebagai kekayaan liturgi Gereja. Demikian, maka kita melihat adanya gamelan atau alat- alat musik tradisional lainnya yang dapat diterima sebagai alat musik liturgi sepanjang iramanya tetap mendukung/ menciptakan suasana sakral, sesuai dengan keputusan Ordinaris setempat. Dengan prinsip yang sama, di China dan negara- negara yang mayoritas penduduknya berkebangsaan Tionghoa juga merayakan Misa Imlek, atau mungkin perayaan lainnya sesuai dengan kebudayaan setempat. Artinya di keuskupan- keuskupan di negara- negara tersebut, Misa Imlek diperbolehkan/ tidak dilarang, karena dianggap sebagai Misa Syukur biasa.
Nah, sekarang mungkin Anda bertanya, mengapa di keuskupan Surabaya dilarang? Silakan, jika Anda ingin mengetahui alasan persisnya, untuk menulis surat kepada Bapa Uskup Vinsensius Sutikno untuk bertanya kepada beliau. Namun, jika melihat sekilas dari wawancaranya (silakan membaca kembali artikel di atas), nampaknya karena beliau menilai bahwa di keuskupannya ini perayaan Misa Imlek itu sudah berlebihan, oleh karena itu beliau melarangnya. Sebab masalahnya bukan soal memasang lampion di dalam gedung gereja (sebab kalau hal hanya memasang lampion saja nampaknya tidak apa- apa, asalkan tidak berlebihan), tetapi banyak pernak- pernik Imlek lainnya yang beresiko mengaburkan pemahaman umat akan makna liturgi perayaan Ekaristi. Pernak- pernik Imlek ini misalnya bagi- bagi angpao di dalam gereja, (mungkin bagi- bagi jeruk juga?), tari- tarian barongsai masuk gereja, dst, yang memang tidak sesuai dengan liturgi karena seolah menjadikan perayaan liturgi bak pertunjukan dan ajang bagi- bagi hadiah duniawi, sesuatu yang dapat beresiko mengalihkan perhatian umat dari Kristus, Sang Sabda Allah dan Sang Roti Surgawi, yang menjadi pusat liturgi. Ironisnya, di Singapura dan Hong Kong sendiri (sejauh yang pernah saya ikuti) perayaan Misa Imlek dirayakan dengan relatif sederhana, baik dari segi dekor maupun pernak pernik lainnya, tanpa tari- tarian, tanpa bagi- bagi angpao di dalam gereja. Mungkin karena itu, di sana Misa Imlek tidak dilarang, karena menjadi seperti perayaan Misa biasa saja, hanya di akhir Misa sebelum pulang, umumnya di pintu keluar dibagikan kepada umat, jeruk yang konon merupakan lambang berkat.
Maka, jika Uskup Vinsensius Sutikno mengacu kepada Redemptoris Sacramentum no. 78 (mungkin kalau diterjemahan bahasa Indonesia paragraf ini tercetak di halaman 44), tentu ada alasannya. Mungkin baik di sini jika saya mengutipnya juga, agar jelas persoalannya:
78. It is not permissible to link the celebration of Mass to political or secular events, nor to situations that are not fully consistent with the Magisterium of the Catholic Church. Furthermore, it is altogether to be avoided that the celebration of Mass should be carried out merely out of a desire for show, or in the manner of other ceremonies including profane ones, lest the Eucharist should be emptied of its authentic meaning.
Terjemahannya:
78. Tidak diizinkan mengkaitkan perayaan Misa dengan peristiwa- peristiwa politik atau sekular atau situasi-situasi yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Magisterium Gereja Katolik. Juga perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut upacara-upacara lain, termasuk yang bersifat profan, jika tidak, maka Ekaristi menjadi dikosongkan dari makna aslinya.
Kemungkinan Bapa Uskup melihat adanya bahaya bahwa pernak- pernik Imlek yang sudah terlanjur melekat dengan perayaan Imlek di keuskupannya berpotensi untuk mengalihkan perhatian umat dari makna Ekaristi yang sesungguhnya, sehingga oleh karena itu, beliau melarangnya. Tentang apakah larangan ini bersifat tetap atau tidak, mari kita serahkan saja ke dalam kebijaksanaan Bapa Uskup. Beliau yang paling mengetahui keadaan umatnya, dan beliau pasti telah mempertimbangkan segala sesuatunya sebelum memberlakukan larangan itu. Lagipula larangan diadakannya Misa Imlek tidak berarti bahwa tidak ada perayaan Ekaristi Kudus pada hari tahun baru Imlek. Perayaan Ekaristi akan tetap ada setiap hari, tak terkecuali pada hari Imlek, namun perayaan tersebut tidak diadakan dengan pernak pernik Imlek. Mungkin saja justru dengan cara ini Bapa Uskup ingin mendidik umat di keuskupannya untuk lebih memusatkan perhatian kepada makna inti dari perayaan Ekaristi sebagai ucapan syukur di hari tersebut, dengan memusatkan perhatian kepada Kristus, dan bukan kepada pernak- pernik Imlek tersebut.
Demikian yang dapat saya tuliskan menanggapi pertanyaan/ pernyataan Anda, semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Saya lebih melihat Uskup Vincentius dari sudut kemanusiaannya, seandainya dia seorang uskup yang lahir di china, atau di negara yang mayoritas china, pasti dia tidak akan melakukan pelarangan demikian, yach, itulah manusia , manusia , manusia ……………….
Shalom Alexander Lin,
Sebagai umat Katolik, kita selayaknya menghormati keputusan Bapa Uskup, karena dalam kapasitasnya sebagai gembala umat, beliau adalah penerus Rasul. Jadi mari, janganlah kita menghakimi Bapa Uskup jika keputusannya tidak sesuai dengan harapan kita. Bapa Uskup Vincentius pasti mempunyai alasan tersendiri sebelum memutuskan larangan Misa Imlek tersebut. Ia adalah orang yang paling memahami keadaan umat di keuskupannya, yang mungkin berbeda dengan keadaan umat di keuskupan lainnya. Kita sebagai umat tidak mempunyai gambaran yang menyeluruh tentang keadaan umat di suatu keuskupan, tetapi Bapa Uskup mengetahuinya, dan marilah kita menghormati keputusan beliau.
Seperti telah saya ungkapkan sebelumnya, bahwa memang perlu diakui bahwa perayaan Misa Imlek di Indonesia (sebagaimana yang pernah saya ikuti) umumnya berkesan ‘terlalu meriah’, dan beresiko menyaingi (atau bahkan melampaui) kemeriahan perayaan liturgis seperti Natal dan Paskah; dan kemungkinan inilah yang ingin dihindari oleh Bapa Uskup. Sebab walaupun ekspresi luar perayaan sifatnya hanya ‘kulit’, namun ini juga menggambarkan juga penghayatan di hati umat; akan manakah perayaan yang lebih mendapat tempat di hati umat. Maka ditinjau dari sisi ini, adalah baik jika Bapa Uskup memutuskan untuk mendidik umatnya terlebih dahulu akan makna perayaan Ekaristi secara umum, dan makna perayaan liturgis lainnya sehubungan dengan rencana keselamatan Allah, hingga umat benar- benar paham dan memahami tingkatannya.
Hal ini memang mungkin tidak terjadi di keuskupan- keuskupan di China ataupun di negara- negara yang mayoritas penduduknya adalah keturunan China, seperti di Singapura ataupun Hong Kong. Saya dan Stef pernah berkesempatan menghadiri Misa Imlek di Singapura dan Hong Kong, dan kami berkesan bahwa perayaan Misa Imlek di sana jauh lebih sederhana dengan perayaan Imlek di Indonesia.
Ya, memang Bapa Uskup adalah manusia, sama dengan kita namun bedanya Anda dan saya bukan penerus Rasul, dan ini adalah perbedaan yang cukup besar. Oleh karena itu, mari kita mendoakan Bapa Uskup dan para imam, agar mereka dapat memimpin umat sesuai dengan kehendak Allah dengan hikmat kebijaksanaan dari Roh Kudus yang terus menyertai Gereja-Nya; sementara kita sebagai umat, marilah kita dengan rendah hati menaati dan mendukung apa yang telah diputuskan oleh para gembala kita, yang telah menerima kuasa dari Kristus untuk memimpin Gereja-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Kalo misa imlek boleh, tentu misa 1 suro/muharram juga ok, betul gak ?
—-> http://www.jogjatv.tv/berita/08/12/2010/umat-katolik-gelar-misa-malam-1-suro
nanti ada misa ultah ibu dan bapak StefanusTay.
akhirnya misa tidak lebih dari sebuah acara permintaan sesuai selera umat ……ha ha ha…
uskup surabaya sudah tepat melarang misa imlek, karena setiap misa inkulturasi harus ada persetujuan dari Vatikan. Apa sudah ada persetujuan sehingga uskup yang lain itu berani mengadakan misa inkulturasi ? atau uskup surabaya itu orang bodoh tidak tahu peraturan dan mengada-ada ?
salam dan semoga sadar.
Tonys Yth
KHK tidak mengatur secara rinci dan detail ttg Misa Inkulturasi tapi KHK berbicara ttg Ekaristi Mahakudus pada Buku IV Judul III kan 897 dstnya. Bagi saya misa hanya satu Misa Kudus. Kalaupun ada misa jumper (Jumat Pertama) itu karena dirayakan pada hari Jumat pertama, Imlek dirayakan pada hari Imlek, suro dirayakan pada hari suro, sama dengan misa kudus 25 tahun perkawinan karena ada yang merayakan 25 thn perkawinan. Saya tidak berani mengatakan bodoh, umat tentu harus dibimbing yang penting prinsip misa kudus pada umumnya tetap ditepati dan tidak dilanggar. Karena ada hal yang tidak bisa diubah dan ditambah sesuai keinginan pemimpin.
Kalau ditanya boleh tidak misa yang demikian itu boleh asal itu tadi misa kudus seperti pada umumnya menurut ritus Latin.
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Tonys,
Agaknya perlu diketahui terlebih dahuku bahwa perayaan Ekaristi itu pada hakekatnya adalah perayaan syukur, dan di Gereja Katolik, perayaan Ekaristi itu diadakan setiap hari. Jadi sesungguhnya tidak ada masalah jika kemudian umat mau mengajukan intensi khusus pada perayaan Ekaristi, sebagai ucapan syukur. Ini bukan soal selera umat, sebab tata cara perayaan Ekaristi-nya tetap sama, ritus Latin yang berlaku secara universal di Gereja Katolik, tidak ada yang diubah oleh umat. Perayaan pada hari- hari tertentu, itu hanya karena bertepatan saja dengan hari- hari syukur, tetapi tidak mengubah tata cara perayaan Ekaristi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Yth Romo Wanta,
Dalam dokumen Gerejawi No,40 (Liturgi Romawi dan Inkulturasi) cukup jelas bahwa misa inkulturasi memerlukan persetujuan dari Vatikan.
Sepengetahuan saya yang bodoh ini, Gereja Katolik memiliki Kalender Liturgi sendiri yang dikeluarkan oleh Congregation of the Liturgy at the Vatican.
Saya tidak melihat adanya misa Imlek maupun 1 suro di dalam kalender tsb
http://www.catholicculture.org/culture/liturgicalyear/calendar/month.cfm
Tanggal 3 Feb adalah peringatan Saint Blase, bishop and martyr, aneh jika tanggal 3 Feb itu Misa Kudus dimaknai Imlek yang tidak lain adalah peringatan kelahiran Kong Hu Cu.
Tanggal 7 Des 2010 adalah peringatan Saint Ambrose, bishop and doctor, sangat merusak tradisi Katolik jika hari itu dimaknai dengan 1 Suro alias Tahun Baru Islam.
Lalu bagaimana dengan hari raya Waisak ? Tahun baru Hindu Nyepi ? Rosh Hashanah tahun baru Yahudi ? dsb dsb dsb ………….
Alasan “tidak mengubah tata cara perayaan Ekaristi” rasanya terlalu dicari-cari (legalism??), karena dengan jelas dan terang benderang diumumkan di Gereja (yang melakukannya) bahwa tanggal tersebut adalah Misa IMLEK. Intensinya jelas Imlek, gong xi fa cai=rejeki berlimpah ruah (duniawi !). Homili romo pun jelas maknanya imlek, Tahun kelinci, umat diminta bersikap seperti kelinci. (Kelinci jadi patron, bukan para santa dan santo……….. masyaallah…)
Jadi jelas misa Imlek adalah misa inkulturasi walaupun tidak merubah tata cara perayaan tapi telah merubah makna dan intensi dari misa itu sendiri yang akan berujung pada sinkretisme.
Semoga kita bangga sebagai umat Katolik ROMA dengan ciri khas sendiri. Merekalah yang seharusnya mengadopsi ciri-ciri kita, bukan sebaliknya. Seperti yang telah mereka lakukan dengan mengadopsi kalender Gregorian.
Salam
Tonnys
Salam Tonnys,
Misa Imlek atau Misa 1 Suro sebenarnya adalah misa pada hari Imlek dan pada hari 1 Suro, yang tata perayaannya tidak berubah, tetapi ada unsur-unsur tertentu dari budaya Imlek dan 1 Suro yang dipakai sejauh tidak bertentangan dengan iman kita. Jadi bukanlah misa inkulturatif tetapi lebih baik disebut misa dengan unsur-unsur inkulturatif (pakaian, hiasan, simbol, bahasa dll). Karena menyangkut unsur budaya setempat (yang didukung-dihayati orang setempat) penggunaannya di dalam perayaan Ekaristi perlu dikaji sungguh-sungguh dan perlu mendapat persetujuan dari pimpinan Gereja setempat (aprobasi dari Uskup) dan Gereja Universal (rekonyisi dari Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen). Ini sebuah proses yang kadang-kadang kurang diperhatikan karena ada kecenderungan untuk segera melakukan sesuatu yang baru, menarik hati-perhatian, menyentuh atau menggugah para peraya. Jadi sebenarnya harus ditanya apakah sudah dibuat proses itu dan sudah mendapat persetujuan atau belum? Sekian dulu dan terima kasih.
Salam dan doa. Gbu.
Pst B.Boli SVD.
Saya pada prinsipnya juga sangat tidak setuju dengan perayaan Imlek di Gereja yang terkesan menyulap sebuah Gereja seolah-olah menjadi Klenteng. Soal perayaan misa yg tujuannya hnya sebagai ungkapan syukur saya pikir syah2 saja, hanya ornamen dan dekorasi serta tata perayaan ekaristi di Gereja tidak perlu di buat ala Imlek. Kejadian ini banyak ditemui di Gereja-Gereja di kalimantan barat terutama di kota Pontianak dan Singkawang, yang umat Katolik dari kalangan Tionghoa cukup banyak
Shalom Agapitus,
Secara prinsip, Gereja tidak menghilangkan nilai-nilai yang baik yang ada di dalam budaya lokal, melainkan mengangkatnya, sehingga liturgi dapat dilaksanakan dan dihayati dengan lebih baik. Yang jelas, jangan sampai pengambilan budaya lokal ini mengubah liturgi yang telah baku. Dan yang perlu dipikirkan adalah jangan sampai perayaan Misa imlek menjadi lebih meriah daripada perayaan-perayaan besar di dalam liturgi, seperti masa Paskah, Natal, dll. Silakan melihat artikel dari Romo Boli Ujan tentang inkulturasi liturgi di sini – silakan klik. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
wah wah..jngan dah bingung imlek misa atau tahun baru (tahun masehi)misa..atau suro( Bulan jawa) misa…Saka( tahun hindu) misa.SEMU BENAR…tapi yang penting adalah bagaimana para Uskup dan Romo mempersembahkan dan mengawal misa itu sendiri supaya misa tidak menjadi ajang SHOW dan ajang ‘ EKSIS ‘ suatu suku atau kelompok tertentu…MISA TETAP DAN HARUS MEMILIKI MAKNA TUJUAN DAN ARAH YANG JELAS SESUAI YANG DI GARISKAN selama misa merupakan bentuk rasa syukur dan ucapan terima kasih pada Bapa Putra dan Roh Kudus dan permohonan doa untuk berkat dan berkah ditahun baru atau menyongsong suatu masa tertentu yng memang begitu berarti bagi mereka..mengapa tidak?
[Dari Katolisitas: Ya, saya rasa pandangan anda tepat. Demikian pulalah yang kami sampaikan di atas, bahwa pada dasarnya Misa adalah ungkapan syukur, dan sepanjang hal ini dihayati, maka tidak ada salahnya dengan mengadakan Misa Imlek atau misa lainnya sehubungan dengan perayaan syukur. Namun jika ada Bapa Uskup yang melarang hal itu di daerah keuskupannya, marilah kita hormati juga keputusan beliau, sebab tentunya beliau mempunyai alasan tersendiri, yang juga demi kebaikan umat dalam wilayah keuskupannya].
Salam Damai teman-teman semua,
Tidak ada yang salah semuanya benar, yang salah adalah jika kita sudah mengarah/ menganggap budaya orang lain itu berhala, tidak sesuailah, dlsb. Allah dipuji dan manusia bersyukur dengan cara apapun, Ia yang Maha agung tetaplah MahaAgung, Ia Mahaagung bukan karena gelar yang diberikan manusia. Saya sangat menghormati pendapat-pendapat yang ada namun itu semua hanyalah soal cara mengekspresikan dan cara kita memandang, hanya karena kita manusialah yang sering kali memberikan penilaian terkadang terlampau berlebihan, kita lupa bahwa Allah lebih mengetahui niat di hati kita. Seandainya bisa saya lihat dengan kasat mata pastilah Tuhan “terbahak-bahak” melihan dan mendengar perdebatan, larangan, komentar kita (manusia). Maka menurat saya larangan apapun janganlah melunturkan niat kita megungkapkan rasa syukur kita kepada Tuhan, dengan cara yang sesuai dengan kebudayaan kita masingng-masing, sebab warisan nenek moyang kita tentulah warisan yang bermaksud baik bagi kebahagian kita dan sesama kita.Kalaupun Institusi gereja dalam hal ini Uskup Surabaya melarang, itu hanya berlaku didalam gereja (Misa) di Keuskupan Surabaya saja.
Ya…… sudahlah kita ikuti aja, memang di dunia terkadang kita harus lebih tunduk kepada peraturan yang dibuat manusia meskipun sering-kali sebuah peraturan itu dibuat atas dasar senang dan tidak senang. Itulah dunia yang fana ini.
Marilah kita memohon kepada Tuhan kerendahan hati untuk menyadari keterbatasan kita sebagai manusia siapapun dan apapun jabatan kita dalam berpendapat, memutuskan, hanya Tuhanlah yang Mahabenar.
Yang perlu kita renungkan ialah: Hukum dan peraturan untuk manusia bakan manusia untuk hukum dan peraturan, lebih-lebih yang membelenggu. Mohon maaf atas keterbatasan bahasa saya.
Semoga Damai Tuhan beserta kita semua. Amin.
Syalom Katolisitas.org
Langsung saja pertanyaan saya:
1. saya berasal dari keluarga cina yang masih “totok”. tapi sudah lama saya dan ibu serta adik saya masuk katolik. saya pernah mengajak ibu saya untuk merayakan Natal seperti menyambut tamu dll selayaknya imlek yang sampai sekarang masih kami lakukan, tapi ibu saya tak menjawab. apakah kalau sudah masuk katolik tradisi cina seperti perayaan imlek, hari makan ‘bakcang’, sembahyang kubur, bakar kapal pada tgl 15 bulan 7 tahun china, makan besar sehari sebelum imlekdsb diperbolehkan?
2. kebetulan di gereja kota saya bersebelahan dengan kelenteng, karena di paroki tersebut warganya tionghua, jadi ketika imlek diselenggarakan Misa Imlek, pas dengan upacara ibadah kelengteng tersebut. kemudian teman saya yg kristen-non katolik bertanya “masa ada ibadah Misa? apa bedanya gereja Katolik dengan kelenteng?” seraya menyindir. bagaimana menjelaskannya?
thx katolisitas. JBU
Shalom Ndo,
1. Melakukan tradisi China, apakah diperbolehkan?
Pada prinsipnya Gereja Katolik tidak menolak tradisi budaya apapun yang tidak bertentangan dengan tradisi Kristiani. Atas prinsip inilah kita menilai suatu tradisi, apakah masih dapat kita lakukan ataukah tidak, setelah kita menjadi Katolik. Hal merayakan tahun baru Imlek (di negeri asalnya menyambut musim semi) bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan iman Katolik, karena sebagai seorang murid Kristus, kita diajarkan untuk mengucap syukur dalam segala hal (1 Tes 5:18), entah itu tahun baru atau setiap hari dalam sepanjang tahun, tidak menjadi masalah. Jadi jika ditetapkan suatu waktu tertentu di mana kita bersyukur secara khusus (misalnya perayaan Imlek) maka hal ini dapat diterima oleh Gereja Katolik. Inilah yang menyebabkan bahwa di negara- negara mayoritas penduduknya dari etnis China, seperti di China, Hong Kong, dan Singapura umumnya diadakan Misa Syukur pada hari Raya Imlek. Tentu dengan catatan, perayaan ini tidak berlebihan. Demikian halnya, maka kebiasaan silaturahmi, mengunjungi kerabat pada saat tersebut juga adalah sesuatu yang baik, dan dapat saja tetap dilakukan. Walaupun tentu, alangkah baiknya, jika pada hari Natal ataupun Paskah, seperti saran anda, anda dapat melakukannya juga, setidaknya mengunjungi kerabat dekat anda.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka hal makan bakcang, juga dapat saja dilakukan, jika maksudnya hanya sekedar makan untuk mengenang tradisi. Kristus mengajarkan bahwa yang menajiskan orang bukan apa yang masuk ke mulut, tetapi apa yang keluar dari mulut (lih. Mat 15: 10-20). Hal makanan sembahyangan, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Sedangkan perihal makan- makan bersama keluarga sebelum Imlek (malam Imlek), dapat dilakukan dengan catatan bahwa: 1) harus tetap diperhatikan hal pengendalian diri (maksudnya jangan berlebihan), 2) sedapat mungkin dibarengi dengan tindakan amal kepada mereka yang membutuhkan sebab pengendalian diri adalah kemurahan hati adalah buah- buah Roh Kudus (Gal 5:22-23).
Sedangkan untuk sembahyang kubur, sepanjang itu sesuai dengan tradisi Katolik, silakan anda lakukan. Gereja Katolik mengajak kita untuk mendoakan saudara- saudari kita yang telah meninggal dunia secara khusus pada tanggal 2 November dan juga selama bulan November. Ini sesuai dengan apa yang diajarkan dalam 2 Mak 12:46. Cara yang terbaik untuk mendoakan jiwa- jiwa kerabat kita yang telah mendahului kita adalah dengan mengajukan intensi ujud misa di gereja. Gereja malah memberikan indulgensi sebagian kepada jiwa tersebut yang berada di Api Penyucian, jika kita yang mendoakannya mengunjungi kuburnya antara tanggal 1- 8 November. Selanjutnya tentang indulgensi penuh dan indulgensi sebagian, sudah pernah dituliskan di artikel ini, silakan klik.
Hanya tentang bakar kapal tanggal 15 bulan 7, saya kurang paham, apa maksudnya, sehingga saya tidak dapat menjawabnya apakah ini masih dapat diterima oleh Gereja Katolik atau tidak.
2. Tentang Misa Imlek
Maka tidak ada salahnya dengan Misa Imlek, sejauh itu diijinkan oleh Uskup setempat. Makna perayaan Ekaristi adalah ucapan syukur, sehingga dapat dilakukan setiap hari (seperti yang umumnya dilakukan oleh Gereja Katolik di seluruh dunia), termasuk pada hari raya Imlek. Tentu saja perayaan Imlek di kelenteng berbeda dengan perayaan Misa syukur Imlek di gereja. Perayaan Misa di Gereja adalah perayaan syukur dalam kesatuan dengan kurban Kristus, dan inilah yang membedakannya dengan perayaan Imlek di luar Gereja.
Maka tidak perlu merasa tersindir jika ada orang yang menanyakan perihal Misa Imlek ini. Maksud utama perayaan tersebut adalah ucapan syukur, dan tidak ada yang salah dengan ucapan syukur kepada Tuhan atas segala berkat- berkat-Nya yang kita terima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Kalau misa imlek dilarang berdasarkan alasan yang terdapat didalam buku “hijau” (sakrramen pnebusan )mengapa di paroki-paroki di keuskupan lain (malang misalnya ) misa imlek diperbolehkan? bukkankah alasan yang sama seharusnya diterapkan di seluruh paroki di seluruh dunia sebab kita gereja katolik adalah satu kesatuan utuh yang universal sehingga alasan-alasan yang disebutkan di dalam buku hijau seharusnya berlaku juga untuk paroki2 lain di indonesia dong??
kalupun dilarang karena kemewahan dll itukan ahany tampilan luar saja semau itu kan bis adiubah toh yang penting ucapan syukurnya dan itu adalah inti dari perayaan ekaristibukan begitu??.
Daniel Yth,
Sejauh membaca instruksi Sakramen Penebusan (Redemptionis Sacramentum), saya tidak menemukan suatu larangan untuk misa syukur pada hari Imlek dengan unsur-unsur budaya khas Tionghoa. Bila dilaksanakan, hendaklah diperhatikan pedoman-pedoman dalam membuat penyesuaian.
Salam dan doa. Gbu.
Pst. Boli.
Halo, ikutan nimbrung.
Menurut saya, what really matters adalah semangat saat selebrasi misa tersebut. Ornamen dan pernak-pernik adalah sarana penunjang saja.
Misa imlek, atau misa bergaya Tionghoa, sebenarnya sama saja dengan misa bergaya Jawa (spt di Ganjuran, dan banyak lainnya), misa bergaya Sunda (spt di Kuningan Cirebon, dll), bergaya Manado, bergaya Batak, bergaya Eropa Barat, bergaya Italia, bergaya Rusia, bergaya Amerika, bergaya Swahili, dan lainnya.
Hal ini merupakan bentuk adaptasi yang sangat natural yang pasti akan terjadi tergantung di komunitas yang menjadi umat Gereja tersebut.
Contoh lain pula, bentuk gereja yang lokasinya di Cina tentu menyerupai kelenteng, yang berada di Eropa tentu menyerupai kastil, yang di Jawa tentu mengambil filosofi Joglo, yang di Padang tentu memasukkan nilai Rumah Gadang, dan sebagainya. Sehingga tidak perlu harus berbentuk seperti bangunan Padang Pasir yang kubis dengan wind-tower-nya, ketika gerejanya berlokasi di hutan tropis Kalimantan.
IMHO, tidak begitu esensial bila Atribut Liturgi, bahkan Kostum, Lagu, Bahasa, dan atribut lainnya, WAJIB bergaya Timur Tengah / Semitik / Arabik, hanya karena Yesus kebetulan lahir di belahan dunia itu, serta komunitas Katolik pertama merupakan suku/ras tersebut, apalagi bila dengan alasan Alkitab ditulis pertama dengan bahasa-bahasa setempat di region tsb.
Dan salah kaprahnya pula, persepi banyak orang (termasuk di Indonesia), seolah-olah saat ini “tendensi budaya” gereja adalah ke-Eropa-eropa-an / ke-Barat-Barat-an sebab kebetulan Roma berada di benua Eropa dengan budaya nya sendiri. PADAHAL bila ditilik dari historis antropologisnya, hal ini merupakan hasil inkulturasi budaya Semitik dengan budaya Eropa Italia (warisan budaya Romawi) ketika komunitas Katolik mulai aktif ekspansi ke wilayah itu beberapa saat setelah wafat-nya Yesus Kristus.
Satu lagi, bagi saya pribadi, tidak menjadi masalah atau merupakan hal yang jelek, bahwa memang tatacara liturgi, urutan, atribut lain pada selebrasi / seremoni gereja awal, atau gereja yang berlokasi di Israel & Palestina, memang merupakan modifikasi, inkulturasi atau mengambil nilai-nilai Judaism & local wisdom yang telah LEBIH DULU ADA. So what? sebab sekali lagi what really matters is semangat-nya.
Hal-hal atributif & seringkali superfisial tersebut bagi saya hanyalah bentuk “pengakraban” institusi / organisasi gereja dengan local market-nya, yang mungkin memang necessary & hampir tidak berdampak pada intensitas keimanan privat setiap umat.
Mohon maaf.. hanya IMHO. Salam,
Shalom Paulus Prana,
Saya rasa benar bahwa ornamen dan pernak- pernik hanyalah sarana penunjang saja, namun yang juga penting di sini adalah jangan sampai ornamen dan pernak- pernik yang digunakan tidak sesuai dengan lambang- lambang dalam iman Kristiani, ataupun digunakan secara berlebihan. Untuk itulah saya kira, maka Uskup Surabaya, Mgr. Vincentius Sutikno melarang adanya misa Imlek di keuskupannya, karena dipandangnya telah menjurus ke arah yang negatif. Misalnya dengan tarian naga/ barongsai masuk gereja tersebut. Jika demikian halnya memang sudah tidak pada tempatnya. Mari kita hargai keputusan beliau ini.
Namun mari kita juga menghargai keputusan para Uskup lainnya, yang memang tidak melarang Misa Imlek, seperti di Palembang, Singapura, dan juga di Hong Kong atau China. Karena memang benar Imlek di daerah- daerah tersebut sudah menjadi bagian dari budaya kehidupan setempat. Dan sepanjang perayaan dilakukan tidak berlebihan dan tidak menggunakan lambang- lambang yang tidak sesuai dengan iman kita, maka tentu perayaan tersebut dapat dilakukan.
Maka di sini bukan masalah penghayatan iman privat saja yang perlu diperhatikan, tetapi sejauh mana ibadah yang berkaitan dengan iman tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Saya rasa kenyataan telah menunjukkan bahwa Gereja Katolik merangkul budaya- budaya di dunia, hanya saja memang keuskupan setempat mempunyai tugas untuk mengarahkannya agar jangan sampai terjadi pengambilan nilai- nilai/ makna yang tidak sesuai dengan iman Katolik. Tentu saja bangunan gereja di tiap- tiap negara dapat mempertahankan ciri khas bangunan daerah tersebut. Contohnya, di Jawa dengan bentuk joglo, atau di China dengan bentuk seperti klenteng: itu memang boleh- boleh saja, tetapi yang penting di dalamnya tidak ada simbol- simbol yang bertentangan dengan iman kita.
Selanjutnya, juga tidak pada tempatnya, jika perayaan Misa Imlek di Indonesia ini dilakukan berlebihan, dengan dekorasi yang seperti ‘pesta’ besar bahkan melebihi Natal dan Paskah. Ini yang menurut saya tidak pada tempatnya, dan mungkin ini juga yang dirasakan oleh Uskup Surabaya tersebut. Namun sebenarnya, jika dirayakan secara sederhana saja, seperti yang pernah saya ikuti di Singapura, maka tidak ada salahnya, sebab Misa Imlek pada dasarnya ‘hanya’ merupakan misa ucapan syukur biasa.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Shalom Bu Inggrid,
Saya setuju dng Uskup Sutikno untuk melarang diadakan Misa Imlek .
Imlek sendiri penuh dng nilai-nilai budaya yang bertentangan dgn Katolik/kristen . Apalagi ditambah dengan pertunjukan barongsai yang adl manifestasi naga , artinya iblis spt yang ada dalam alkitab .
Dulu saya juga setuju ada misa imlek tp ada penginjil Katolik bilang bahwa imlek itu adl perayaan kuasa kegelapan. Bgmn terang bisa bersatu dengan gelap. seringkali dicampuradukkan agar org tionghoa lebih mencintai Tuhan , wah jadi kacau-balau.
Ada juga seorg hamba Tuhan bilang bahwa imlek berhub dgn 12 shio , shio adl ilmu tenung, ilmu ramalan yang mengikat org yang lahir pd tahn tertentu dikuasai oleh roh binatang. Shio itu muncul krn dongeng bhw sebelum budha moksa ia memanggil binatang2 tp yang datang 12 binatang & ia menyerahkan kekuasaannya pd 12 binatang itu , kacau deh …
Shalom Budi Yoga,
Menurut pengetahuan saya, Imlek pada dasarnya adalah perayaan syukur atas datangnya musim semi. Hal tarian barongsai, lampion, ang-pao, dst itu hanyalah cara- cara bagaimana merayakannya.
Nah, bahwa Uskup Sutikno melarangnya, kemungkinan karena beliau melihat keadaan umat dalam keuskupannya yang dapat cenderung ‘salah kaprah’ dalam merayakan Imlek ini. Terus terang, saya yang pernah tinggal di negara yang secara nasional merayakan Imlek, cukup heran jika membandingkannya dengan perayaan Imlek di Indonesia. Walaupun di negara itu ada misa Imlek, tetapi tidak ada yang berlebihan di sana. Tetapi kalau di Indonesia, misa Imlek bisa sangat meriah, bahkan sampai menandingi kemeriahan Natal atau Paskah. Mungkin inilah yang menjadi tidak pas, sehingga dilarang oleh Bapa Uskup.
Setiap budaya memang mempunyai simbol- simbolnya sendiri. Gereja Katolik tidak menolak budaya- budaya yang ada di dunia, namun hanya memakai/ mengambil unsur- unsur yang baik dan sesuai dengan ajaran Kristiani. Maka, menurut hemat saya, memang tidak seharusnya ada barongsai masuk dalam liturgi Gereja. Namun jika acara itu diadakan luar acara liturgi Gereja, itu sifatnya seperti pertunjukan tari rakyat, dan tidak perlu dipermasalahkan. Hal ramalan nasib yang berdasarkan dengan shio, memang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik; karena Gereja Katolik menurut Katekismus (KGK 2117) menolak aneka bentuk ramalan nasib.
Jadi, jika ada Bapa Uskup yang melarang Misa Imlek di keuskupannya, marilah kita hormati keputusan ini. Namun jika ada uskup yang memperbolehkannya, mari kita hormati juga keputusan ini. Sebab intinya jika Imlek hanya dirayakan sebagai ungkapan syukur, tentu ini tidak menjadi masalah dan sejalan dengan maksud perayaan Ekaristi, yang maknanya adalah ucapan syukur.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Gereja katolik kan sudah ada buku panduan yang namanya KOMPENDIUM yang bisa di baca oleh umat maupun pastornya…disitu sdh jelas aturannya gak perlu neko 2x
Ini adalah teks pidato kata sambutan Ketua DPP Hati Kudus Palembang yang di sampaikan sebelum berkat penutup pada Misa Syukur Imlek 2010.
u info bahwa paroki Hati Kudus memiliki umat yg mayoritas keturunan Tionghoa.
Semoga kandungan isi dari teks kata sambutan ini dapat bermanfaat,karena di ambil dari sudut pandang yang amat berbeda dengan yang kontra misa sincia.
————————————————————————————————————————————————
Cu wi ni men,cau an,
khang sie Thien Cu,ing wei ching thien,wo men neng ko cai ichi ,ching thien se wo men tek sin nien ,sin nien hauw.
Gembira sekali kita semua berkumpul di misa kudus ini,yg tahun ini bertepatan dengan hari raya sincia yg saat ini kita rayakan sebagai warga keturunan tionghoa.
Hari raya sincia,bagi warga tionghoa,bukan hanya sekedar pesta kemeriahan tahun baru,namun di balik itu ,ada makna makna,ada kandungan kandungan ajaran ,yang menyiratkan jati diri kita semua sebagai warga keturunan tionghoa.
Sehingga sincia merupakan tradisi budaya yg tidak pernah lepas dari warga keturunan tionghoa dimanapun mereka berada…………
Sincia ini penuh dengan simbol,menggunting rambut,mengenakan baju baru dan pembersihan rumah,adalah sebagai makna u menyambut /memasuki tahun baru dengan lembaran baru,dengan lebih optimis dan ceria,membersihkan rumah,bagi orang tionghoa bermakna sebagai pembersihan jiwa…kue lapis legit dan makanan yg manis,juga sebagai tanda pengharapan,bahwa tahun ini akan menjadi “manis”,alias banyak hoki seperti kue lapis,hokinya berlapis lapis alias bertambah ..nien nien you i (tiap tahun bertambah selalu ada lebih),dan tak lupa kue keranjang atau nien kauw (diartikan yek kauw,yg berarti makin tinggi/makin meningkat)
Dan yg lebih penting dari tradisi sincai adalah,bahwa dalam hari sincia ini,kita di ingatkan lagi akan 2 tiang/poros utama kehidupan ,2 garis harmonisasi,yakni THIAN (garis naik keatas/vertikal) dan REN (garis mendatar/horisontal),yg pertama dan utama adalah THIAN (TUHAN),orang Israel menyebutNya El Loah ,Tuhan Yesus mengajar kita memanggilnya Ti’e atau Bapa dan ini yg sekarang sedang kita lakukan,pagi2 kita datang ke rumah Tuhan ini untuk bersembah sujud,dan mengucapkan syukur atas perlindungan & kasih karuniaNya pada hari2 di tahun yang lalu,juga tak lupa memohon berkat dan penyertaan di hari hari kedepan di tahun macan ini.
Tiang ke 2 ,yakni REN,kita laksanakan dalam tradisi penghormatan pada orang tua dan kunjungan pada sesama.
Tahun ini dalam tradisi tionghoa adalah tahun macan (Lou hu) yang dalam siklus 12 tahun penanggalan shio di kalender tiongkok kuno dimana ini tdk lepas dari 5 unsur yang membentuk dunia yakni emas,api,air,kayu dan tanah.
Macan(LOU HU) sendiri dalam tradisi tionghoa memiliki unsur api atau menggambarkan faktor yang dari keseimbangan yin/yang,positif/negatif,2 hal penentu harmoni dari suatu kehidupan,apakah itu kehidupan manusia pada khususnya ataupun kehidupan alam semesta dalam arti luas.
Keberadaan shio sendiri bagi kita umat Khatolik,tentunya bukan di titik beratkan pada ramal meramal mengenai masa depan ….karna masa depan itu adalah Hak Allah yg menentukan,namun inilah simbol kearifan filosofi timur yang kaya dengan pengajaran luhur dari para pendahulu2 kita sebagai warga keturunan tionghoa.
Macan yg mewakili unsur api mengajak kita untuk menyikapi tahun ini dengan penuh optimis,penuh semangat membara (pe cyia yo cing sen)sebagaimana nyala api itu sendiri untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Api dalam iman Khatolik kita kenal sebagai simbol ROH KUDUS,sebagaimana para rasul,yang dalam peristiwa pantekosta menerima curahan Roh Kudus yang di gambarkan dalam bentuk lidah api yg menyala sehingga para rasul menjadi bangkit semangatnya dan dengan gagah berani,bergerak keluar dan mewartakan Injil,maka kitapun sebagai umat Allah ,di tahun macan ini,di panggil juga untuk menjadi lebih berani mengungkapkan dan mendalami iman Khatolik kita dalam persatuan dengan para kudus dalam Gereja khatolik yang Kudus dan Apostolik,Gereja yg di bangun oleh Tuhan Yesus dengan tradisi para rasul,yg kini di persatukan dalam Santo Bapa,Paus Benecdiktus XVI, dengan para Uskup dan para imam,kita di ajak untuk lebih semangat dalam melayani Tuhan dan Gereja,lebih bertumbuh dalam hidup beriman ,lebih optimis dalam menghadapi tantangan hidup,lebih giat mencari nafkah,lebih tahan benturan,dan lebih ulet serta lebih banyak melakukan amal serta kebaikan
Hari ini,saya menyampaikan kata sambutan dengan membaca teks di handphone Nokia 9500 Komunikator,sebagai suatu simbol bahwa kini,generasi tionghoa sudah ada dalam zaman modern ,pada era digital dengan tehnologi canggihnya.
Kita sebagai orang tionghoa juga harus mampu membaca tanda tanda jaman dan beradaptasi dengan perkembangannya.
Namun ,jaman yang semakin modern,kiranya jangan sampai membuat kita meninggalkan nilai2 warisan tradisi dan budaya yang telah di wariskan pada kita semua turun temurun dari orang orang tua kita.
karna dalam tradisi dan budaya yg positif,banyak sekali terkandung ajran2 moral dan budi pekerti yg setelah di terangi dengan Ajaran Jalan Tuhan melalui iman Khatolik,semestinya justru dapat menjadi pegangan dalam mengikuti cepatnya perkembangan jaman.
Seperti 2 poros utama,yakni sembah bakti pada THIAN dan penghargaan/penghormatan pada sesama …,sebenarnya ke 2 poros itu merupakan pintu masuk untuk memahami 2 hukum utama yang di ajarkan Sang Guru Agung kita,Tuhan Yesus, dalam Injil Mrk 12:30-31
yang berbunyi.
12:30 Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.
12:31 Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.”
Saat tradisi budaya kita di terangi dalam iman Khatolik,u menuntun kita, masuk dalam pemahaman akan ajaran Jalan Tuhan…inilah yg di namakan INKULTURASI TIONGHOA dalam Gereja Khatolik
Sebagaimana nanti ,kita semua akan di bagi jeruk yg telah di berkati,jeruk atau li cik ce bagi orang tionghoa bermakna TA JIK,TA LIK ( artinya: rejeki berlimpah makin kuat ),jeruk akan di bagikan oleh Bp Uskup dan para imam sebagai ajaran bahwa rejeki itu berasal dari Tuhan dan jadi makin kuat karna berkat Tuhan
Kita adalah warga negara indonesia keturunan tionghoa yg beriman Khatolik,ke indonesiaan kita,tidak perlu di ragukan lagi,karena ke indonesiaan itu ada dalam merahnya darah kita,dan putihnya tulang kita,tiong hoa itu adalah jiwa kita,jati diri kita,dan yang utama,ke Khatolikan adalah nafas hidup kita.
Terima kasih pada semua panitia,para donatur,dan semua umat yg telah berpartisipasi di misa syukur hari raya sincia ini.
Rayakanlah sincia dengan penuh ke arifan,bukan dengan kemewahan pesta pora yg berlebihan,namun dengan semangat utk makin banyak berbuat amal dan kebaikan.
Akhirnya,kami,mewakili segenap keluarga besar dewan pastoral Paroki Hati Kudus,ketua2 sie,ketua2 lingkungan,dan semua ketua kelompok kategorial mengucapkan
GONG XI XI NIEN,SIN NIEN KHUAI LE,SHEN THI CHIEN KHANG,WAN SE RU I
Palembang,14 Februari 2010
(pada Perayaan Ekaristi Syukur Tahun Baru Imlek 2561)
Ketua DPP Hati Kudus Palembang
Paulus Ignasius Handoko al Kho Bing Han
Pidato yang menurut saya amat baik, dan memiliki dampak positif bagi institusi gereja katolik setempat.
Sebab dengan penegasan seperti itu, umat tidak “dipaksa untuk dicabut” dari akar budaya-nya, melainkan di-embrace dan ditunjukkan betapa value-value yang mulia dari tradisi budaya dan iman kepercayaan-nya ternyata berjalan sinergis dan beriringan, dalam rangka meningkatkan kualitas hidup setiap individu.
Betapa damai dan indahnya.
Kekhawatiran bahwa tradisi budaya & iman kepercayaan sifatnya adalah dikotomis & bahkan konfrontatif, menurut saya sudah lewat masanya (alias sudah jadul, hehe..). Bahkan, secara mengagumkan, 2000 tahun yang lalu, para rasul & komunitas katolik awal telah menggunakan strategi “embrace” ini ketika memperluas wilayah ajarannya ke benua Eropa dan Afrika Utara, sehingga bahkan berhasil membuat Kaisar Romawi meng-konversi diri & kekaisarannya menjadi Katolik & Roma menjadi basis penyebaran ajaran Yesus.
Walaupun, memang ada catatan sejarah kelam, dimana para misionaris yang “terlalu bersemangat” akhirnya mengambil strategi “cabut akar”, yang dalam jangka pendek mempercepat tercapainya target kuantitas penyebaran ajaran Kristiani, tetapi menyisakan potensi konflik lokal yang terpendam, yang mengakibatkan orang jadi sibuk melakukan denial dan/atau “faith enforcement” ke komunitas sekitarnya.
Barangkali fenomena ini menyebabkan lebih sedikit-nya perasaan damai, nyaman, & affinitas positif umat jelata terhadap kepercayaan-nya, sementara di sisi lain lebih merasa takut salah, takut berdosa, takut tidak sesuai kitab suci, takut masuk neraka, dan takut-takut lainnya, sehingga kepercayaannya menjadi sesuatu yang lebih bersifat “menakutkan” dibandingkan “menyamankan & mendamaikan hati”.
Well, just my 2 cents. Salam,
Shalom Paulus Prana,
Berikut ini adalah yang diajarkan oleh Katekismus perihal Gereja dan inkulturasi:
KGK 854 Dalam perutusannya, “Gereja menempuh perjalanan bersama dengan seluruh umat manusia, dan bersama dengan dunia mengalami nasib keduniaan yang sama. Gereja hadir ibarat ragi dan bagaikan penjiwa masyarakat manusia, yang harus diperbaharui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga Allah” (Gaudium et Spes 40,2). Dengan demikian misi menuntut kesabaran. Ia mulai dengan pewartaan Injil kepada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok yang belum percaya kepada Kristus Bdk. RM 42-47.; ia maju terus dan membentuk kelompok-kelompok Kristen, yang harus menjadi “tanda kehadiran Allah di dunia” (Ad Gentes 15), serta selanjutnya mendirikan Gereja-gereja lokal (Bdk. Redemptoris Missio 52-54). Ia [Gereja] menuntut suatu proses inkulturasi, yang olehnya Injil ditanamkan dalam kebudayaan bangsa-bangsa (Bdk. Redemptoris Missio 48-49), dan ia sendiri pun tidak bebas dari mengalami kegagalan-kegagalan. “Adapun mengenai orang-orang, golongan-golongan dan bangsa-bangsa, Gereja hanya menyentuh dan merasuki mereka secara berangsur-angsur, dan begitulah Gereja menampung mereka dalam kepenuhan Katolik” (Ad Gentes 6).
KGK 856 Tugas misi menuntut dialog penuh hormat dengan mereka yang belum menerima Injil (Bdk. Redemptoris Missio 55). Orang beriman dapat menarik keuntungan untuk dirinya dari dialog ini, karena mereka akan mengerti lebih baik segala “kebenaran atau rahmat mana pun, yang sudah terdapat pada para bangsa sebagai kehadiran Allah yang serba rahasia” (Ad Gentes 9). Kalau umat beriman mewartakan berita gembira kepada mereka, yang belum mengenalnya, mereka melakukan itu, untuk menguatkan, melengkapi, dan meningkatkan yang benar dan yang baik, yang telah Tuhan sebarkan di antara manusia dan bangsa-bangsa dan supaya manusia-manusia ini dibersihkan dari kekeliruan dan kejahatan “demi kemuliaan Allah, untuk mempermalukan setan dan demi kebahagiaan manusia” (AG 9).
Maka memang benar bahwa Gereja harus merangkul budaya setempat agar ajarannya dapat ditanamkan dengan baik. Dalam proses ‘merangkul’ ini, Gereja dapat mengambil nilai- nilai budaya yang baik yang sesuai dengan ajaran Kristiani, namun sebaliknya, tidak mengambil nilai- nilai budaya tertentu yang tidak sesuai dengan ajaran Kristiani.
Namun soal bahwa ada perasaan ‘takut’ salah/ berdosa dan bukan perasaan damai, saya rasa tidak semata- mata disebabkan karena proses penyampaian iman dengan cara ‘cabut akar’ budaya setempat. Hal itu lebih disebabkan karena kurang baiknya proses katekese umat, dengan penekanan bahwa Allah itu Maha Adil yang tidak seimbang dengan Allah itu Maha Kasih dan Pengampun.
Pada akhirnya, memang benar, diperlukan ‘prudence‘/ kebijaksanaan dalam hal inkulturasi ini, dan oleh karena itu kita membutuhkan arahan dari pihak otoritas Gereja, dalam hal ini bapa Uskup setempat.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
saya sependapat dengan penjelasan ini. Rasanya masih ada banyak orang yang memahami inkulturasi sebatas mengadopsi atau menempelkan unsur2 budaya lokal dalam sebuah perayaan ekaristi. Tidak heran bila dengan pemahaman seperti ini di banyak tempat perayaan ekaristi menjadi ajang eksperimen atau “panggung pertunjukan” budaya lokal.. Inkulturasi yang benar mesti mempertimbangkan masak2, menganalisa, dan akhirnya memilih unsur2 mana yang bisa digunakan untuk mengungkapkan iman dalam konteks budaya lokal.
Sejauh saya pahami.. yang dilarang mungkin bukan misanya.. tapi CARA merayakan misa yang keliru sebagaimana ditulis di atas. Sebagai puncak dan sumber kehidupan umat beriman, tentunya perayaan ekaristi bisa saja (dan alangkah baiknya) dirayakan dalam moment2 penting hidup, asal cara dan intensinya benar.. Peace..
Dear Katolisitas
Saya sangat sependapat dengan keputusan Uskup Surabaya Sutikno yang sangat bijaksana, dimana acara tradisi budaya Imlek di larang dalam sebuah Misa Ekaristi yang Kudus, meskipun saya merupakan generasi ke 3 keturunan Tionghoa yang bergaul kental sekali dengan budaya negeri asal di dalam lingkungan keluarga, dan tulisan saya ini tidak berarti saya menentang budaya leluhur..
Perlu kita ketahui beberapa hal yang sangat mendasar, dimana Hari Raya Imlek dalam budaya Tionghoa dimaksudkan untuk dirayakan sebagai sebuah perayaan “awal penggantian musim baru” untuk bercocok tanam. bersamaan juga merupakan penggantian sebuah tahun baru menurut perhitungan kalender Tionghoa.
Secara umum (budaya di dalam masyarakat Tionghoa) merayakan hari Imlek ini untuk berkumpul bersama sanak keluarga, saling kujung mengunjungi antara sesama sanak saudara yang mana lebih bersifat sebuah kebersamaan. Keadaan ini telah di tanamkan kepada anak cucu secara turun temurun dgn penyampaian secara lisan dan dipraktekkan berabad2 lamanya, yang lama kelamaan merupakan sebuah kebudayaan umum. (dalam hal ini lebih diutamakan makna sebuah hari raya yang dikait-kaitkan degan budaya masing2 wilayah menurut propinsi-nya.)
Ada hal yang perlu di ketahui bahwa budaya Tionghoa yang kita kenal di Indonesia hanya merupakan cermin sebagian kecil dari budaya suku-suku Tionghoa, merupakan akibat urbanisasi seperti yang kita ketahui menurut sejarah dan bukan mewakili kebudayaan secara umum/konkrit .
Didalam merayakan Hari Raya Imlek masyarakat sejak zaman dahulu sampai sekarang dengan mengunjungi kelenteng untuk berdoa agar hari esok lebih baik, menanyakan hal nasib bagi yang ingin mengetahui nasibnya setelah bersembahyang kepada dewa2, dan ini benar2 merupakan cermin sebuah budaya penyembahan berhala. (artinya adalah mengembalikan/membayar hutang dengan persembahan kepada dewa dewi yang telah memberikan berkah2 di waktu lampau.)
Upacara ritual syukuran bagi seluruh rakyat Tionghoa hanya boleh di lakukan oleh sang raja (kaisar) karena rakyat Tionghoa sendiri (pada zaman dulu) secara umum percaya dan menyebut sang kaisar adalah anak Allah, maka hanya rajalah yang mempunyai hak otoritas untuk memohon kemakmuran bagi seluruh negeri dan rakyatnya. (Hal ini bisa terbentuk di karenakan pengajaran Taoisme dan Konfuciusisme yang mengakar pada tingkat masyarakat di Tiongkok selama ribuan tahun).
Menyinggung acara tarian barongsai, awalnya merupakan sebuah atraksi di Tiongkok bagian selatan yang melibatkan para Wusu (Perkumpulan bela diri Kungfu) yang di adakan dalam pertandingan2 kungfu musiman, namun jika kita teliti kembali menurut penuturan para ahli barongsai, dimana setiap kali sebelum dimulainya sebuah pertandingan barongsai, sang barongsai tsb diproses dengan ritual2 pengisian roh-roh untuk memperkuat bagi yang membawa barongsai tadi… Hal ini sangat bertentangan dengan iman Kekristenan juga menyesatkan umat beriman. Sehingga sangat beralasan untuk tidak dibawa masuk kedalam lingkungan Gereja apalagi untuk dijadikan alasan sebuah acara perayaan Imlek.
Dari beberapa ulasan saya diatas, sungguh tepat keputusan bapak Uskup Sutikno itu, bersyukurlah sekarang kita semua yang telah di angkat menjadi anak2 Allah, di akuiNya sebagai saudara oleh Tuhan kita Yesus Kristus, bagi kita semua yang dibenarkan oleh iman telah terpanggil menjadi anggota Kerajaan Sorga. di bawah naungan Gereja Katolik oleh bimbingan Magiterium Gereja, kita berkesempatan mengenal lebih mendalam tentang keillahian Allah kita. dimana oleh wafat dan kebangkitan Yesus Kistus kita telah menerima rahmat pemulihan hubungan dengan Allah oleh karena kasih.
Kita yang menjadi satu/dipersatukan dengan Tuhan Yesus sendiri oleh Sakramen Ekaristi, hendaknya dan seharusnyalah kita lebih..dan lebih lagi mengimani ajaran2 Kristus dan para Bapa Gereja, sehingga kita menggapai tingkat spiritual Kristiani sesuai dengan kapasitas kita masing2.
Akhir kata, kesimpulan saya bahwa sebuah budaya bangsa manapun patut kita hormati, namun untuk mengimani budaya tadi hendaknya kita kembali kepada iman ke Kristenan kita, sebab yang menjadi pusat (centre fokus) ibadah kita seharusnya adalah Sang Kristus juga Sang Raja dan bukan hal-hal menyentuh kehidupan seperti budaya yang tidak membawa kita kepada Tuhan yang kita cintai bersama.
Salam damai dan sejahtera.
Felix Sugiarto
Dear Katolisitas,
Terus terang, setelah membaca ulasan pada berita di atas, saya cukup sependapat dengan Mgr.Sutikno perihal Misa Imlek, sekalipun saya sendiri juga keturunan Tionghoa. Memang benar pendapat saya, hendaknya perayaan Imlek ini dipisahkan dari acara-acara liturgis. Sebab sedikit banyak juga menyumbangkan pelanggaran-pelanggaran dalam Ekaristi. Mungkin jikalau diadakan pun bisa sebagai bentuk ucapan syukur, namun tidak boleh mengalahkan perayaan wajib secara liturgis pada hari tersebut. Juga perihal warna liturgi yang sering dipakai, yaitu merah pada misa imlek. Menurut saya, ini kurang pas dengan hakikat warna liturgi seturut ritus Romawi/Latin. Bagaimana pun, sekalipun mengandung unsur inkulturatif, namun tetap memiliki hakikat bentuk ritus Latin pada umumnya, juga berlaku untuk misa inkulturatif lainnya seperti gaya Jawa, dll. Akan lebih aman rasanya dalam merayakan liturgi Ekaristi dengan aturan rubrik yang baku dan tidak coba-coba (ad experimentum). Terima kasih kepada Mgr. Vincentius Sutikno yang memperhatikan dokumen perihal instruksi dalam Ekaristi seperti Redemptionis Sacramentum, hendaknya ini juga patut dicontoh oleh keuskupan lain dan para imam serta awam yang aktif dalam liturgi.
Pax Christe
shalom,mohon tanggapan :
Berikut adalah Wawancara dengan Bapa Uskup Surabaya yang dimuat di Jawa Pos hari ini (Minggu, 14 Februari 2010), bagian Metropolis, hal. 30 (atau alamat situsnya: http://jawapos.co.id/metropolis_weekend/index.php?act=detail&nid=117218)
Monsiyur yang Larang Misa Imlek ……
[Dari Katolisitas: pertanyaan selengkapnya dan jawaban kami ada di atas, silakan klik]
Comments are closed.