Belajar memberi

“Mama, mana uang kolektenya, adik yang akan masukkan ke dalam kantong kolekte ya Ma?” Itulah keinginan seorang anak usia lima tahun. Luar biasa. Sudah sejak kecil seorang anak yang biasa mengikuti perayaan Ekaristi Hari Minggu merasakan dorongan untuk memberi sumbangan berupa kolekte. Patut dipuji kalau ada dorongan seperti itu untuk belajar memanfaatkan kesempatan yang tersedia untuk memberi sesuatu bagi orang lain. Apalagi kalau dorongan itu disalurkan dengan ikhlas hati tanpa pamrih.

Dalam Injil, Yesus telah memuji keikhlasan hati seperti itu yang diperlihatkan oleh seorang janda miskin ketika ia memasukkan dua peser ke dalam peti persembahan. Menurut Yesus si janda miskin itu memberi lebih banyak karena ia memberi dari kekurangannya, bukan dari kelebihannya (bdk Luk 21:1-4). Mengapa?

Umumnya manusia cenderung merasa kekurangan ini dan itu. Karena itu ada keinginan kuat juga untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya dengan keyakinan semakin banyak memiliki, semakin terjamin hidup hari ini dan masa depan. Maka dapat timbul rasa haus akan harta yang semakin banyak dari waktu ke waktu dan dapat berkurang rasa rela memberi atau membagi apa yang dimiliki kepada orang lain yang berkekurangan. Selain itu keberhasilan dalam mengumpulkan lebih banyak dapat menimbulkan rasa perasaan bangga atas karya sendiri, semacam rasa mengandalkan kekuatan diri sendiri, rasa sukses karena kerja keras dan bisa saja pada akhirnya mengurangi kepekaan akan anugerah daya kekuatan dari atas, dari Allah sebagai sumber hidup.

Pemberian si janda miskin dalam Injil itu amat bermakna karena sebenarnya mengungkapkan pemberian seluruh diri. Si janda miskin itu tidak menunda kesempatan untuk memberi sesuatu kepada orang lain meskipun ia tidak mengenal orang-orang itu. Ia tidak menanti sampai ia berkecukupan atau berkelebihan. Kesempatan yang tersedia untuk memberi dimanfaatkannya dengan segera. Kebiasaan menunda-nunda dalam memberi karena macam-macam pertimbangan dapat membuat manusia kehilangan kepekaan terhadap kebutuhan orang lain yang sangat mendesak. Setiap pemberian (termasuk derma atau kolekte) selain bermaksud menolong orang yang berkekurangan, sebenarnya pertama-tama menjadi suatu tanda untuk menyampaikan pujian dan syukur kepada Tuhan, sumber hidup yang memberi kepada semua makluk anugerah berlimpah yang menguatkan dan menghidupkan.

Dua persepuluhan dan kolekte

Kolekte dalam liturgi mengingatkan kita akan kebiasaan orang Israel untuk mempersembahkan kepada Tuhan hasil karya yang pertama, baik hewan maupun hasil panen perdana (Kel 27:7; Im 1:3; Im 23:10-13; Ul 26:2). Orang-orang Israel mengenal kebiasaan memberi dua persepuluhan, yang menjadi tanda syukur atas anugerah dari Tuhan berupa hasil ternak dan panen. Secara konkret pemberian itu digunakan untuk memberi makan kepada kaum Lewi yang menjalankan fungsi pelayanan sebagai imam. Sebagian lagi diberikan kepada orang-orang miskin yang sangat membutuhkan pertolongan.

Kebiasaan mempersembahkan persepuluhan ini diteruskan juga oleh para pengikut Kristus. Banyak Gereja mempraktekkan cara persembahan ini. Besarnya persembahan itu bisa  tepat sebagai persepuluhan, tetapi ada juga pemberian yang kurang atau bahkan lebih dari persepuluhan. Ada yang memberikannya di luar perayaan liturgis tetapi ada yang melakukannya sebagai bagian utuh dari perayaan liturgis. Kita mengenal bentuk pemberian sebagian dari hasil karya atau pendapatan kita pada saat perayaan liturgis dengan nama kolekte.

Pada hari Minggu, Hari Raya atau hari-hari perayaan khusus, biasanya dibuat kolekte untuk disatukan dengan bahan persembahan roti dan anggur serta bahan persembahan lain yang diarak ke altar agar diambil oleh pemimpin perayaan yang bertindak selaku Kristus yang menghargai setiap pemberian sekecil apa pun (bdk. Mat. 14:15-19). Kolekte bersama bahan persembahan lainnya seharusnya diterima dengan penuh sukacita dan dihargai dengan meletakkannya di suatu tempat yang pantas, sebaiknya dekat altar (bukan di atas meja altar), karena di atas altar hanya diletakkan bahan korban syukur Yesus Kristus yaitu roti dan anggur ((Pedoman Umum Misale Romawi no. 73 dan 140 (terj. dari Institutio Generalis Missalis Romani, editio typica tertia 200, oleh Komisi Liturgi KWI, Jakarta 2002), hlm. 53 dan 75. Selanjutnya disingkat PUMR.)) yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus.

Meremehkan kolekte

Sikap penghargaan atas bahan-bahan persembahan dan kolekte itu tidak selalu diungkapkan oleh imam pemimpin perayaan. Bahkan bisa muncul kekecewaan atau kemarahan kalau imam melihat bahan-bahan persembahan sangat minim dan tak berharga di hadapan matanya. Pernah terjadi dalam suatu perayaan Ekaristi imam pemimpin merasa jengkel sekali melihat kurangnya bahan persembahan yang dihantar oleh umat. Serta merta imam itu mengubah teks nyanyian persiapan persembahan yang sedang dinyanyikan oleh umat untuk mengiringi perarakan. Teks nyanyian sebenarnya adalah:

Trimalah roti anggur persembahan diri kami ((Teks nyanyian liturgi berjudul “Trimalah ya Bapa” dalam Yubilate: Buku Doa dan Nyanyian Katolik, no. 262, Disusun Oleh Komisi Liturgi Keuskupan Senusa Tenggara, Seksi Musik Liturgi (Penerbit Nusa Indah, Ende, 1991), hlm. 426. ))
Trimalah ya Bapa trimalah
Pralambang karya kami suka duka hidup ini
Trimalah ya Bapa trimalah.
(Trimalah syukur kami atas sgala kurnia-Mu
Trimalah ya Bapa trimalah): 2x

Secara spontan teks itu diubah oleh imam yang menyanyikannya dengan suara sangat lantang sehingga didengar oleh seluruh umat (teks yang diubah dicetak dengan huruf tebal):

Tidak ada ya Tuhan persembahan diri kami
Tidak ada persembahan
Pralambang karya kami suka duka hidup ini
Tidak ada persembahan
(Tak ada syukur kami atas sgala kurnia-Mu
Tidak ada persembahan): 2x

Spontanitas yang kreatif ini (semoga tak terulang!) memang menimbulkan kegaduhan dalam gereja. Umat bersungut-sungut karena pemberian mereka sama sekali dipandang hina tak berarti bahkan dipandang “tidak ada” oleh sang pastor. Bagi umat spontanitas sang pastor itu tidak mewakili sikap Kristus yang penuh rasa penghargaan terhadap semua bahan persembahan. Yesus Kristus sendiri memberi contoh yang patut ditiru oleh semua imam, yang sebenarnya bertindak dalam setiap perayaan liturgi “selaku Kristus” (in persona Christi). ((PUMR, no 27; Sacramentum Caritatis (Sakramen Cinta Kasih), Anjuran Apostolic Pasca-Sinode dari Bapa Suci Benedictus XVI kepada Para Uskup, Imam, Biarawan-Biarawati, dan Kaum Beriman Awam, mengenai Ekaristi sebagai Puncak Kehidupan serta Perutusan Gereja (Terj. Komisi Liturgi Konferensi Waligereja, Jakarta, 2008), no. 23.)) Yesus sendiri menerima dengan sukacita lima ketul roti dan dua ekor ikan dari seorang anak kecil, lalu mengucap syukur atas roti dan ikan itu (bukan mengeluh dan menolak karena terlalu sedikit dan justru diberi oleh anak kecil), Ia memecah-mecahkan dan membagi-bagikannya kepada ribuan orang (bukan memakannya sendiri) dan mereka semua yang berjumlah ribuan makan sampai kenyang, bahkan masih ada sisa duabelas bakul penuh (bdk. Yoh 1:1-14).

Menghargai dengan tulus dan gembira setiap pemberian, bersyukur atas setiap bentuk pemberian dan kerelaan memecahkan serta membagi-bagikannya untuk banyak orang lain yang membutuhkan, akan sungguh membuat banyak orang kagum dan bahagia. Itu berarti mengambil bagian dalam melestarikan mujizat Yesus. Setiap kali kita merayakan Ekaristi, peristiwa itu dan maknanya kita kenangkan dan alami kembali.

Menghargai dengan tulus

Dalam sharing pengalaman liturgi di Taipei (Taiwan) pada sidang para pemerhati liturgi Asia Tenggara dan Asia Timur tahun 2004, seorang imam dari wilayah pedalaman Kamboja berceritera sebagai berikut:

Dalam salah satu perayaan Ekaristi di sebuah desa yang terpencil, saya melihat seorang anak kecil aktif menolong sebagai salah satu petugas pengumpul kolekte. Anak itu mengedarkan kotak kolekte kepada teman-temannya yang masih kecil. Ia memperlihatkan dengan wajah gembira kotak kolekte kepada semua anak dengan harapan dapat diisi oleh mereka. Namun ternyata kotaknya kosong tak terisi. Anak itu tidak malu karenanya. Bahkan ia berani berarak bersama para petugas kolekte lain menuju altar dan menyerahkan kotak yang kosong itu kepada sang imam. Saya menerimanya dengan senyum. Lalu secara spontan saya mengangkat kotak kolekte yang kosong itu dan berdoa, “Pandanglah kami umat-Mu ya Tuhan yang mahamurah, berkenanlah menerima apa yang ada pada kami, diri kami seadanya, juga kekosongan dan kekurangan kami, terimalah dan penuhilah sesuai dengan kehendak-Mu”.

Itulah sikap yang terpuji, sikap penghargaan yang tulus seperti Yesus sendiri yang tidak pernah menolak pemberian yang tulus. Cerita contoh ini tidak bermaksud mendorong kita untuk tidak memberi apa-apa dalam kesempatan kolekte, tetapi sebaliknya mau menyemangati kita untuk mempersembahkan sesuatu sebagai bagian utuh dari diri kita dengan semangat “kenosis”, semangat pengosongan diri di hadapan Tuhan sumber pemenuhan hidup manusia baik rohani maupun jasmani.

Makna kolekte

Apa saja yang dikumpulkan untuk dipersembahkan dan apa maknanya? Dalam praktek Gereja abad III, selain roti dan anggur untuk Ekaristi, dipersembahkan juga minyak, lilin, gandum, buah anggur dan barang bernilai lainnya. Pada abad pertengahan muncul kebiasaan mengumpulkan derma dalam bentuk uang sebagai bagian dari persiapan persembahan. ((P.Visentin, “Eucaristia”, dalam Domenico Sartore e Achille M.Tricca (ed.), Nuovo Dizionario di Liturgia (Edizioni Paoline, Roma, 1983), hlm 497;  Bdk. P.Bernard Boli Ujan, SVD, Mendalami Bagian-bagian Perayaan Ekaristi (Yogyakarta, 1992), hlm. 44-48.)) Pengumpulan uang derma dapat dilakukan sebagai awal persiapan persembahan. Inilah yang disebut kolekte. ((Tata Perayaan Ekaristi (Ordo Missae), Buku Imam (Terj. Komisi Liturgi KWI, Jakarta 2008), no. 19, hlm. 37. Selanjutnya disingkat TPE.)) Selain asal usul kata kolekte, juga konteks liturgis persiapan persembahan ini turut memberi makna pada kegiatan kolekte itu.

Kata kolekte berasal dari collecta (bahasa Latin) yang berarti sumbangan untuk makan bersama, pengumpulan, rapat atau sidang. ((P. Th. L Verhoeven, SVD, dan Marcus Carvallo, Kamus Latin-Indonesia (Ende, Penerbit Ledalero, Maumere 1969), hlm. 163.)) Istilah yang sama ini (collecta) dalam tradisi liturgi dipakai untuk persekutuan beriman yang terbentuk sebagai satu kelompok doa di suatu tempat (gereja). Di Roma pada abad-abad pertama biasanya umat berkumpul di salah satu gereja “statio”. Di sana mereka berdoa bersama lalu berarak bersama-sama menuju tempat perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Paus di sebuah gereja lain sambil berdoa dan bernyanyi. ((Mengenai sejarah Ekaristi di gereja statio di Roma, lihat Marcel Metzger, “The History of the Eucharistic Liturgy in Rome” dalam Anscar J.Chupungco, O.S.B. (ed.), Handbook for Liturgical Studies: The Eucharist (A Pueblo Book, The Liturgical Press Collegeville, Minnesota, 1997), hlm. 110-114)) Selanjutnya istilah collecta dipakai juga sebagai nama untuk Doa Pembuka dalam perayaan Ekaristi, karena doa itu yang diucapkan secara lantang oleh imam pemimpin sebenarnya mengumpulkan dalam rumusan yang singkat-padat semua intensi atau maksud hati dari umat beriman yang hadir (yang berdoa dalam hati dalam keheningan sesudah ajakan imam: “Marilah berdoa”). ((PUMR, no. 54; Bdk. Vincenzo Raffa, Liturgia eucaristica, mistagogia della messa: dalla storia e dalla teologia alla pastorale practica (Edizioni Liturgiche, Roma, 1998), hlm. 68-69; P.Bernard Boli Ujan, SVD, Op.Cit. hlm. 23-24.)) Maka collecta dalam arti pengumpulan uang (kolekte) sebagai bagian dari persiapan persembahan mempunyai hubungan erat sekali dengan persatuan-persaudaraan dan dengan doa.

Kolekte tidak hanya sekedar memberikan sesuatu dari diri sendiri kepada orang lain, tetapi kolekte itu mempererat persatuan-persaudaraan antara kita dengan orang lain yang menerima sesuatu dari diri kita. Kolekte adalah bagian dari doa yang mempersatukan kita sebagai saudara saudari dalam Tuhan. Kita bisa berdoa dengan kata-kata, dengan nyanyian, dengan sikap-gerak, tetapi juga dengan pemberian (kolekte). Aspek penting dari doa yang seharusnya mewarnai juga pemberian (kolekte) adalah syukur-pujian atas anugerah yang telah diterima dan atas kesempatan untuk berbuat baik dengan meneruskan anugerah itu kepada orang lain yang membutuhkannya meskipun orang-orang itu tidak kita kenal. Inilah makna liturgis penting dari kolekte: bersama-sama mengumpulkan sesuatu untuk kepentingan banyak orang lain. Maka semakin kita rela memberi (kolekte) semakin kita tahu bersyukur (dalam Doa Syukur Agung), semakin kita bersatu padu dengan saudara-saudari yang lain dan dengan Tuhan sendiri sebagai sumber anugerah (dalam komuni).

Menurut tradisi liturgi memang pernah ada semacam syarat untuk boleh menerima komuni (menyambut Tubuh dan Darah Yesus Kristus), yaitu selain berada dalam keadaan pantas-layak karena penuh rahmat dan tidak berdosa berat, juga kalau penerima komuni itu telah membawa dan memberi sesuatu sebagai bagian dari kolekte pada saat persiapan persembahan. ((“Dalam sinode Elvira (awal abad IV) ditegaskan bahwa umat yang membawa persembahan adalah umat yang ikut komuni. Maka persembahan itu dibawa hanya oleh orang yang telah dipermandikan dan mau berpartisipasi lebih penuh sebagai umat beriman yang sudah dipilih menjadi imam rajawi. Di daerah Gallia terdapat kebiasaan menyebut nama orang yang membawa pesembahan dalam doa persembahan. Tetapi di Roma tidak ada tradisi itu.” P.Bernard Boli Ujan, SVD, Op.Cit. hlm. 45-46.)) Ada hubungan yang erat antara kolekte dan komuni dalam perayaan Ekaristi. Dalam hal ini kolekte tidak “membeli komuni”. Kalau kita memberi dengan penuh rasa syukur, dengan sendirinya kita mengalami persaudaraan-persatuan sejati bersama sesama dan Tuhan yang dirayakan secara sakramental dalam komuni.

Semangat yang benar

Dalam konteks persiapan persembahan, membuat kolekte berarti memberikan bagian dalam mempersiapkan bahan kurban syukur Yesus Kristus. Maka urutan perarakan dan penyerahan bahan-bahan persembahan adalah: pertama-tama roti dan anggur (yang akan menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus) lalu bahan-bahan lain dan kolekte. ((Bdk. Peter J. Elliott, Ceremonies of the Modern Roman Rite: The Eucharist and the Liturgy of the Hours, A Manula for Clergy and All Involved in Liturgical Ministries (Ignatius Press, San Francisco, 1995), hlm. 100-105.)) Itu berarti kita tidak mengandalkan atau mengutamakan pemberian-kurban kita, tetapi menomorsatukan pemberian-kurban Yesus Kristus. Bila demikian kita terhindar dari sikap “memberi sambil menuntut balasan dari Tuhan” alias do ut des (Latin = saya beri supaya engkau membalas). Yesus sendiri memberi seluruh diri-Nya sebagai kurban syukur pujian kepada Bapa, tanpa menuntut apa-apa dari Bapa sebagai gantinya. Maka ganti memberi sambil menuntut, kita akan memberi dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan yang selalu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kita. Kehadiran orang yang berkekurangan bisa menjadi kesempatan bagi kita untuk meneruskan kebaikan dan perhatian Tuhan yang berlimpah-limpah itu seraya mendorong orang-orang lain untuk selalu bersyukur kepada Tuhan, dan bukan terutama kepada kita. Itulah sebabnya Yesus mengingatkan kita untuk memberi dengan tangan kanan sedemikian rupa sehingga tangan kiri tidak mengetahuinya (bdk Mat 6:3).

Bila dirayakan Ibadat Sabda tanpa Ekaristi, ada kemungkinan membuat kolekte pada Ritus Penutup ibadat sebelum pengutusan dan berkat. Itu berarti kolektenya diberikan dalam konteks pengutusan ke tengah dunia. Kolekte lalu menjadi satu bentuk dari kesaksian iman bagi banyak orang lain yang dilayani dalam hidup harian. Selanjutnya dengan kolekte itu orang yang menerimanya dapat semakin percaya dan berharap pada Tuhan sumber kekuatan dan hidup. Maka kita tidak memberi kepada orang lain untuk membuat mereka menjadi malas dan kurang berusaha berdikari. Patut disesali bila kita enggan memberi kolekte hanya karena berprasangka bahwa pemberian cuma-cuma itu akan membuat si penerima kurang bersemangat untuk mencari jalan keluar mengatasi kekurangannya.

Untuk siapa?

Untuk siapa kolekte itu digunakan? Sejak abad-abad pertama umat beriman membuat kolekte dengan tujuan menopang hidup para pelayan altar, mengatasi kemiskinan orang-orang papa, dan memenuhi kebutuhan rumah Allah atau tempat ibadat. Para pelayan altar yang menjalankan tugas-tugas pengabdian bagi banyak orang lain termasuk memimpin perayaan-perayaan liturgis sepantasnya mendapat dukungan materi dan keuangan selain dukungan moril serta rohani agar dapat sehat, kuat dan tekun memberikan pelayanan sebagaimana mestinya. Bagi orang-orang miskin dan berkekurangan kolekte itu dapat membantu menciptakan keadilan untuk lebih banyak orang. Santo Yustinus dalam abad ke-tiga mengingatkan orang Kristen untuk tidak melalaikan kewajiban menolong orang miskin. Ia menulis dalam Apologia I, no. 65: “Orang-orang yang berada dalam kelimpahan kalau ingin menyumbang hendaknya meletakkan itu di dekat si pemimpin yang akan menggunakannya untuk membantu yatim piatu dan para janda, orang miskin yang sakit, para narapidana, orang-orang asing disekitarnya dan semua orang yang sangat membutuhkannya.” ((Lihat terjemahan dalam bahasa Inggris oleh R.C.D. Jasper & G.J.Cuming, Prayers of the Eucharist, 2nd ed. (New York, 1980), hlm. 20. Bdk. Herman Wegman, Christian Worship in East and West: A Study Guide to Liturgical History (terj. Gordon W. Lathrop dari teks asli Geshiedenis van de Christelijke Eredienst in het Westen en in het Oosten, Pueblo Publishing Company, New York, 1985), hlm. 42.)) Kemudian St. Agustinus kembali mencanangkan kewajiban orang Kristiani untuk memberi kolekte buat orang miskin. ((Bdk. Joseph A. Jungmann, The Mass of the Roman Rite: Its Origins and Development Vol. Two (Benzinger Brothers, Inc., New York, 1955) hlm. 1-41.))

Kolekte merupakan tanda solidaritas dengan orang-orang kecil, juga dengan keluarga, lingkungan, wilayah dan paroki bahkan keuskupan atau siapa saja yang menderita kekurangan tanpa batas wilayah maupun agama. Maka di beberapa tempat kolekte itu menjadi sumber untuk membentuk dana solidaritas. Ada banyak tempat yang membutuhkan dana untuk membangun dan memperlengkapi kebutuhan rumah sakit, panti asuhan atau rumah para lansia, selain rumah ibadat dan pastoran atau gedung paroki dan ruang serba guna untuk berbagai kegiatan umum.

Dalam kenyataan ada banyak paroki yang jumlah kolektenya setiap minggu mencapai jutaan bahkan puluhan juta rupiah. Namun tidak dapat disangkal bahwa banyak paroki hanya berhasil mengumpulkan kolekte mingguan sebanyak ratusan ribu atau bahkan hanya puluhan ribu rupiah. Mengapa? Umumnya orang langsung menunjukkan sebab perbedaan itu dalam tingkat kesejahteraan hidup para anggota persekutuan beriman di paroki masing-masing. Kolektenya besar karena umatnya kebanyakan kaya raya, kolektenya sedikit karena umatnya sebagian besar terdiri dari orang miskin. Mungkin ada benarnya, tetapi belum tentu selalu demikian.

Meningkatkan kesadaran

Hal lain yang sebenarnya sangat menentukan besar kecilnya kolekte adalah “kesadaran” para peraya akan pentingnya memberi sebagian dari hasil karya (pendapatan) tiap minggu kepada Tuhan dan sesama yang sangat membutuhkan. Maka perlu ditempuh cara yang tepat dan bijaksana untuk menumbuhkembangkan kesadaran itu. Menanamkan motivasi yang kuat, membuat laporan yang jujur dan transparan, menggunakan hasil kolekte sesuai dengan tujuan sebenarnya, menerima dengan rela dan menghargai dengan tulus berbagai bentuk kolekte (uang dan barang), kesaksian hidup (cara hidup) yang jujur dan sederhana dari para petugas pastoral yang bertanggungjawab mengelola dan menggunakan hasil kolekte, membuat pengawasan yang teliti dan memberikan katekese yang memadai, adalah beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan “kesadaran” memberi dan sekaligus memperbesar jumlah hasil kolektenya.

Untuk menanamkan kesadaran dan motivasi yang kuat dalam diri umat agar rela membagi apa yang ada padanya untuk kepentingan banyak orang lain yang membutuhkan, ada seorang pastor paroki yang menceriterakan anekdot sbb:

Konon ada pertengkaran antara lembaran uang kertas limapuluh ribu dengan limaratus rupiah. Lembaran limapuluh ribu mengejek yang limaratus rupiah katanya: Wah saya ini paling laku dan bersih karena saya bisa naik ojek, bisa naik taksi, bisa masuk rumah makan dan bisa masuk tempat diskotek, tetapi kau limaratus rupiah tidak laku apa-apa, naik ojek saja tidak bisa, apalagi naik taksi, lebih sulit lagi kau masuk diskotek dan rumah makan. Saya sangat bersih tapi kau kotor dan hitam. Kau sungguh tidak laku.
Maka kata lembaran limaratus rupiah: Iya saya memang tidak bisa naik ojek, juga sulit untuk naik taksi, apalagi masuk rumah makan, bioskop atau diskotek dan hotel mewah. Namun saya paling rajin dan setia masuk gereja. Kau biar bersih tetapi takut tampil bahkan tidak laku di hadapan Allah dalam gereja. Tetapi saya biar hitam, kotor dan lusuh, toh paling laku di tempat kudus. Kalau kau tidak undang saya untuk sama-sama naik ojek dan  taksi atau untuk sama-sama masuk rumah makan, diskotek, bioskop dan hotel berbintang karena saya kotor dan hitam, maka saya dengan sangat senang hati mengundang engkau hai limapuluh ribu rupiah agar rajin-rajinlah bersama saya mengunjungi gereja dan masuk ke dalamnya. Ayo jangan lupa minggu depan datang ke gereja ya. Pasti kau akan senang dan bahagia karena kau membawa kegembiraan besar kepada banyak orang. Kalau saya saja telah menggembirakan banyak orang termasuk pastor dan pembantu di sekretariat dan dapur, apalagi kau yang bersih dan cerah pasti membuat wajah orang lain semakin cerah. Saya yakin kalau kau rajin ke gereja, seratus ribu juga bisa tergerak melihat kegembiraan yang kau bagi-bagikan kepada banyak orang. Ayooo kita rame-rame bagi kegembiraan. Mari kita setia pergi ke gereja.

Ketika sang Pastor menceriterakan anekdot ini kepada umatnya, ada tawa ria di dalam gereja. Umat menganggukkan kepala tanda tergelitik geli dan setuju. Mereka memahami makna ajakan sang Pastor yang jenaka. Pesan yang jelas, dibalut dengan cerita lucu, mampu memberi umat motivasi yang kuat untuk rela memberi. Perlahan-lahan tetapi pasti, kolekte pada kesempatan-kesempatan berikutnya meningkat dan sungguh menggembirakan seluruh umat serta petugas pastoralnya. Pastor menyadari bahwa suatu katekese mengenai makna dan manfaat dari kolekte dalam liturgi serta hidup Gereja perlu dilaksanakan bagi seluruh umat dalam paroki.

Bawa pasar ke Altar dan Altar ke pasar?

Kolekte sungguh menggembirakan tetapi bisa saja disalahpahami dan disalahgunakan. Ada orang yang memandang kolekte sebagai alat yang ampuh di tangan manusia untuk membeli kemurahan Tuhan. Semangat jual beli di pasar dibawa masuk ke dalam tempat perayaan, menyusup masuk sampai di panti imam. Ada yang merasa bahwa tempat panti imam dan suasananya amat tepat untuk menyampaikan macam-macam reklame. Altar jadi tempat tawar menawar barang jualan antara manusia, tempat tawar menawar dengan Allah untuk membeli anugerah-Nya. Terjadilah simonia (bdk. Kis. 8:18-24). Sadar atau tidak ada kecenderungan mencontohi Simon seorang tukang sihir di sebuah kota di Samaria yang berani menawarkan uang kepada Petrus dan Yohanes untuk membeli kuasa menumpangkan tangan supaya Roh Kudus turun atas orang-orang yang mendapat tumpangan tangan itu. Hati Simon tidak lurus karena ia mau membeli karunia Allah dengan uang.

Karunia adalah karunia bukanlah barang jual-beli. Bila karunia dipandang sebagai barang dagangan, dan kolekte dipergunakan sebagai alat untuk membeli karunia dari Tuhan, maka kita telah membuat kekeliruan. Petrus menamakan sikap ini “suatu kejahatan” dan ia berseru kepada Simon tukang sihir itu, “Bertobatlah dari kejahatanmu ini dan berdoalah kepada Tuhan, supaya Ia mengampuni niat hatimu ini; sebab kulihat, bahwa hatimu telah seperti empedu yang pahit dan terjerat dalam kejahatan.” Akhirnya Simon tukang sihir itu bertobat katanya, “Hendaklah kamu berdoa untuk aku kepada Tuhan, supaya kepadaku jangan kiranya terjadi segala apa yang telah kamu katakan itu” (Kis. 8:22-24). Beranikah kita mendengar dan menanggapi secara serius seruan Petrus itu? Maukah kita melihat kembali praktek-praktek kita dalam liturgi yang mengarah kepada simonia yaitu membeli karunia Allah dengan uang? Bukankah karunia-karunia Allah tidak boleh dibeli oleh manusia tetapi harus disyukuri terus menerus?

Ada petugas pastoral yang menggunakan kesempatan perayaan liturgi sebagai saat yang jitu untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dengan memperbanyak saat kolekte yang dikumpulkan dalam beberapa jenis kotak kolekte. Ada kotak satu, dua dan tiga atau dibedakan dengan warna: kotak abu-abu, kuning, merah dll disertai penjelasan tentang perbedaan peruntukannya. Liturgi dan gereja dapat berubah menjadi kesempatan jual beli, tempat pengumpulan dana sebesar-besarnya. Mengapa tidak diciptakan kesempatan non liturgis untuk mengumpulkan dana seperti bazar, malam dana dengan acara lelang dan jual suara? Ada banyak kalangan-kelompok dan paroki juga keuskupan yang telah melakukannya dan sangat berhasil tanpa mengorbankan perayaan liturgi dan ruang ibadat dalam gereja sebagai kesempatan transaksi.

Yesus pernah sangat marah karena pelataran Bait Suci di Yerusalem dijadikan tempat jual beli barang dagangan (bdk. Yoh. 2:13-16). Apalagi kalau bagian dalam gereja dipakai untuk mempromosikan barang-barang dan menjadi tempat jual-beli atau lelang-lelangan. Sangat disayangkan kalau gereja dan perayaan-perayaan liturgi khususnya Ekaristi menjadi tempat penawaran barang-barang jualan kepada umat dengan cara menggugah rasa religius umat. Kita harus cukup waspada terhadap kecendrungan membawa pasar kedalam gereja dan menggunakan Altar atau Mimbar Sabda sebagai tempat reklame barang-barang dagangan. Kewaspadaan yang sama perlu kita miliki bila mau membawa altar ke tengah pasar.

Di tengah pasar kita sebagai orang beriman mau bertransaksi dengan semangat penuh syukur dan kerelaan untuk saling membagi keuntungan dan kebahagiaan, bukan untuk mengeruk dan mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya seraya merugikan orang-orang lain secara tidak adil dalam bentuk apa saja entah sebagai penjual atau pembeli. Mampukah kita menghayati di tengah pasar semangat kurban-syukur yang kita rayakan di altar dalam gereja? Mampukah kita menghayati semangat yang sama dalam segala kegiatan tukar-menukar lain baik di rumah maupun di tempat kerja dan rekreasi? Sebagai orang beriman kita yakin bahwa dalam dan bersama Tuhan kita dapat menghayati semangat kurban syukur itu. Kalau kita menyadari dan menghayatinya dalam liturgi, kita diberi kekuatan juga untuk menjadi orang utusan yang berani memberi kesaksian tentang semangat ini dalam hidup sehari-hari.

Sacra comercia dan profana comercia

Dalam tradisi doa-doa liturgis digunakan satu ungkapan dari dunia pasar yang bisa menimbulkan salah kaprah. Ungkapan itu adalah sacra comercia (= perdagangan atau pertukaran suci) yang terdapat dalam kumpulan doa-doa Sacramentarium Veronense (abad V-VII) dan dipakai juga dalam Buku Misa Paulus VI edisi ke-tiga hasil revisi Paus Yohanes Paulus II tahun 2002, khususnya dalam doa-doa pada masa Natal dan Paskah. ((MISSALE ROMANUM, Ex Decreto Sacrosncti Oecumenici Concilii Vaticani II Instauratum Auctoritate Pauli PP. VI Promulgatum Ioannis Pauli PP. II Cura Recognitum, Editio Typica Tertia (Typis Vaticanis, A.D. MMII), hlm. 155, 163, 383, 384, 399-400, 406, 425)) Ungkapan “pertukaran suci” dipakai untuk menjelaskan tindakan Tuhan sebagai karya penyelamatan yang agung, anugerah terbesar bagi manusia ketika Yesus Putra Tunggal Allah turun ke dunia dan lahir menjadi manusia supaya kita ditebus dari dosa-dosa dan kematian abadi, dan ketika Yesus naik ke surga, kembali kepada Bapa, kita semakin diberi kemampuan untuk mengambil bagian dalam hidup ilahi Allah. Itulah tindakan penyelamatan Allah: menukar dosa dan kematian kita dengan penebusan dan hidup dalam Yesus Kristus, menukar kemanusiaan kita dan hidup sementara di bumi ini dengan hidup ilahi dan abadi dalam Allah.

Jadi sacra comercia adalah tindakan Allah, adalah anugerah keselamatan dari Allah, bukanlah tindakan kita manusia ala profana comercia (manusia mau menukar barang dan jasanya dengan uang sesama bahkan dengan anugerah Allah). Profana comercia terjadi kalau kita memberi kolekte sesudah homili, dengan maksud untuk membayar jasa pengkhotbah, sehingga semakin hebat pengkhotbahnya semakin besar kolektenya. Kalau kita menghantar kolekte ke kaki altar, dengan tujuan utama untuk membayar jasa imam yang memimpin misa dan mau membeli anugerah kebaikan Tuhan di altar yang sebenarnya diberi kepada kita dengan cuma-cuma, itu juga profana comercia yang tidak lain adalah simonia. Apalagi kalau Mimbar Sabda dan Altar kita pakai untuk menjual produk-produk kegiatan manusia kepada para pembeli yang adalah umat beriman. Seraya menghindarkan profana comercia di dalam liturgi, kita mau mengalami dengan rasa kagum dan penuh syukur-pujian sacra comercia Allah sendiri, karunia penyelamatan cuma-cuma dari Allah. Maka kita akan memberi kolekte dengan rela dan tulus terutama untuk bersyukur kepada Tuhan atas anugerah Sabda-Nya dan mengambil bagian dalam kurban Syukur Yesus Kristus. Kita boleh memberi kolekte sambil menyampaikan permohonan-permohonan tetapi selalu dalam semangat penuh syukur bukan dalam semangat menuntut dan memaksa Tuhan.

Kiat-kiat

Untuk menghindarkan penyalahgunaan kolekte agar tujuan sebenarnya dapat terwujud, maka pemantauan tentang penggunaan kolekte serta laporan pertanggunganjawab yang transparan akan sangat berguna. Pemantauan yang teliti menolong membentuk satu sistim keuangan yang rapih dan teliti sekaligus menjauhkan kecenderungan untuk korupsi. Administrasi keuangan yang amburadul memberi peluang yang besar untuk menggelapkan uang dan barang-barang milik Gereja. Kalau hal itu terjadi, berdasarkan pengalaman di banyak paroki atau komunitas, semangat umat beriman untuk memberi kolekte akan menurun.

Laporan yang transparan dan jujur tidak hanya meliputi besarnya pemasukan dan pengeluaran, tetapi juga pengeluaran untuk pemakaian sesuai dengan tujuan awal pengumpulan kolekte itu. Kalau tujuan kolekte jelas dan pengeluarannya juga sesuai dengan sasaran yang dimaksud, maka kepercayaan umat akan bertumbuh dan kerelaan untuk memberi kolekte dengan sendirinya akan dipacu. Bagi semua orang yang telah dengan rela memberikan kolekte, pertanggunganjawab yang transparan merupakan satu tanda terima kasih yang ikhlas. Transparansi laporan keuangan turut memperlihatkan penghargaan yang tulus kepada semua orang yang telah memberi kolekte dengan rela dan tulus.

Kesaksian lewat cara hidup yang sederhana sangat berpengaruh dalam meningkatkan jumlah kolekte, sebaliknya gaya hidup yang serba mewah dari para petugas pastoral dapat mengurangkan kolekte. Demikian pula cara pemanfaatan uang atau barang-barang milik Gereja yang efektif demi kepentingan umum akan menanamkan kepercayaan dalam diri umat untuk rela memberi. Sebaliknya cara hidup boros dari para petugas pastoral turut memperlemah semangat umat untuk memberi. Bila petugas pastoral memiliki semangat tinggi untuk melayani orang lain dengan rendah hati, maka umat semakin percaya bahwa pemberian mereka tidak disia-siakan tetapi diteruskan oleh para hamba yang setia dalam melaksanakan tugas penggembalaan. Petugas pastoral seperti inilah yang selalu didukung oleh umat yang dilayani, misalnya lewat kerelaan dan kesetiaan memberi kolekte.

Semoga Nama Tuhan semakin dipuji karena kesaksian hidup orang beriman baik yang memberi maupun yang mengelola dan memanfaatkan kolekte yang diperoleh dalam liturgi. Kiranya orang-orang yang berkehendak baik memperoleh rahmat dan damai sejahtera dari Tuhan secara berlimpah-limpah dan berusaha meneruskan anugerah kebaikan Tuhan kepada lebih banyak orang lain yang berkekurangan agar dapat semakin mengalami sacra comercia Allah dan menjauhkan profana comercia yang mengarah kepada simonia baik dalam liturgi maupun dalam hidup harian.

41 COMMENTS

  1. Salam dlm KRISTUS, tolong dibantu atas kebingungan saya mengenai CHARITY BOARD, yaitu suatu bentuk tanda terima kasih kepada orang yg menyumbang dlm pembangunan Gereja berupa PENULISAN NAMA-NAMA PENYUMBANG di sebuah dinding/papan yg diletakkan di sekitar Gereja. Bukankah Tuhan kita JESUS KRISTUS mengajarkan kita (Mat 6:3) ” TETAPI JIKA ENGKAU MEMBERI SEDEKAH, JANGANLAH DIKETAHUI TANGAN KIRIMU APA YG DIPERBUAT TANGAN KANANMU” Tidakkah CHARITY BOARD bertentangan dg Firman tsb ? Tolong pencerahan karena sekarang ini ada beberapa Gereja menggunakan CHARITY BOARD untuk mencari dana pembangunan Gereja.

    ” SIAPA MENINGGIKAN, IA AKAN DIRENDAHKAN “

    • Salam Kent,

      Mengenai pencantuman nama penyumbang di tempat atau bangunan, sebenarnya merupakan tanda ucapan syukur kepada Tuhan sekaligus ucapan terimakasih dari pihak yang disumbang (pengurus atas nama umat) kepada penyumbang. Hal ini sudah menjadi kesepakatan sejak awal hendak menyumbang ketika proposal proyek pembangunan dibuat. Hal ini wajar. Bahkan, juga bisa menjadi pintu masuk bagi transparansi dan akuntabilitas keuangan.

      Ayat yang Anda pakai itu, bisa pula dipakai alasan bagi korupsi dan pencucian uang, jika kita tak tahu semangatnya, yaitu kerendahan hati dan keikhlasan dalam menyumbang.

      Di zaman ini, tanda keikhlasan dan rendah hati ialah justru mampu diperiksa (transparent) dan ditanggunggugat (accountable) dalam menyumbang dana bagi Gereja dan lembaga sosial keagamaan.

      Mengenai soal kesombongan dan kejahatan dalam menyumbang, tak cukup tolok ukurnya hanya jika memakai ayat tersebut, bahkan ayat itu bisa dipelintir untuk kejahatan.

      Maka, mencantumkan nama penyumbang sesuai kesepakatan dalam proposal oleh Panitia Pembangunan selalu sah secara moral, asalkan yang bersangkutan sepakat dan besarnya proporsional. Jika tidak sepakat, artinya tak mau dicantumkan, juga tidak apa-apa, namun jumlah sumbangan dan namanya tetap harus dicatat oleh Panitia Pembangunan.

      Hal yang sama terjadi dalam pencantuman nama di buku kenangan ulang tahun paroki atau lembaga sosial keagamaan, dan sebagainya. Prinsipnya tetapan transparan-akuntabel. Justru di situlah kita kredibel (bisa dipercaya), sebagaimana credo (aku percaya) akan Gereja. Kalau mau menjadi dipercaya, Gereja harus transparan dan akuntabel.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto, Pr.

      [tambahan dari redaksi: silakan membaca juga artikel mengenai kolekte yang ditulis Rm Boli Ujan, SVD di atas, klik di sini]

      • Salam damai KRISTUS Romo Yohanes
        Terima kasih atas tanggapan sebelumnya
        Sepertinya Romo salah paham yg saya maksud CB bukan laporan/daftar penyumbang yg berguna untuk pertanggung jawaban panitia (kalau yg ini memang harus, biasanya berupa print out kertas selembar ) seperti Romo katakan berupa buku yg bisa disimpan bukan untuk diPAMERKAN.

        yang saya maksud adalah
        CHARITY BOARD = MONUMEN YG MENULISKAN (mengukirkan) NAMA PENYUMBANG (nominal tertentu) PADA PLAKAT-PLAKAT LOGAM (ukuran tertentu) YG AKAN DI TEMPELKAN/ DISUSUN PADA SEBUAH PAPAN atau DINDING untuk diPAMERKAN disekitar GEREJA yg mungkin akan BERADA di situ dlm waktu yg LAMA ( selama GEREJA itu berdiri). (sekali lagi BUKAN suatu bentuk PERTANGGUNG JAWABAN)

        (MATIUS 6:2) ” Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah mencanangkan hal itu, seperti yg dilakukan org-org munafik di rumah-rumah ibadat dan lorong-lorong.supaya mereka dipuji org, Aku berkata kpdmu sesungguhnya mereka sdh mendapat upahnya”

        (MATIUS 6:3) Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.

        Bila mengikuti MATIUS 6:2-3 seharusnya & JELAS kita TIDAK boleh MELAKUKANNYA , (pada kedua ayat ini jelas sekali apa yg mau disampaikan oleh JESUS Tuhan kita dan di sini Dia tdk memakai perumpamaan yg harus di tafsirkan dgn khusus oleh org yg berkompeten (ahli kitab Suci)

        saya jadi berpikir apakah kalau lagi ada kepentingan tertentu (mencari dana) kita boleh melanggar apa yg diajarkan JESUS TUHAN kita?.. Kalau niatnya untuk tanda terima kasih bisa kita berikan souvenier secara pribadi kepada “penyumbang”.
        Dgn CB ini seakan Gereja mengajak org menyumbang & mengiming-imingi dgn KETENARAN (nama penyumbang akan terukir di Gereja untuk selamanya).
        mohon pencerahannya Romo
        ma’af bila ada kata-kata saya yg salah
        Tuhan JESUS memberkati

        • Salam Kent,

          Berdasar Matius 6:2 ” Jadi apabila engkau memberi sedekah…” pencantuman “charity board” tidak bermasalah secara moral karena yang memuat “charity board” bukan pihak penyumbang, melainkan pihak si tersumbang / si penerima. Rumusannya bukan “Jadi, apabila engkau “menerima” sedekah” melainkan jika engkau “memberi” sedekah.

          Misalnya, saya sebagai pihak penerima, karena sangat berterimakasih maka saya cantumkan nama penyumbang dengan ukuran wajar (tidak mencolok) di salah satu sudut bangunan. Jika saya sebagai penyumbang, saya menyumbang dengan ikhlas saja dan berkata “Mau dicantumkan atau tidak bukan urusan saya”. Itu tidak menyalahi Injil. Namun, mencantumkan nominal jumlah sumbangan adalah keterlaluan dan tidak etis. Bahkan bisa menyinggung keikhlasan penyumbang.

          Hak penerima-lah untuk mengucapkan terimakasih dan menentukan bentuk ucapan terima kasih. Mengimini-imingi ketenaran? Menurut pengalaman saya, Panitia Pembangunan tidak berpikir ke situ selain ucapan terima kasih. Terserah penyumbang menanggapi dengan motivasinya yang kita tak berhak menghakiminya (Luk 6:37). Namun sejauh ini, penyumbang Katolik selalu ikhlas. Ada pula penyumbang yang tidak mau dicantumkan namanya dalam “charity board” atau dicantumkan nama samaran. Atau, yang paling bagus ialah, dalam “charity board” itu dicantumkan kutipan baik Kitab Suci, nasehat para kudus, maupun kutipan dokumen Gereja, baru setelahnya ada nama penyumbang yang hurufnya tidak sebesar kutipan. Namun ucapan terima kasih sebagai Panitia Pembangunan, tidak bisa dilakukan secara pribadi. Hal ini akan menjadi preseden karena bisa melanggar ketentuan transparansi-akuntabilitas Lembaga Panitia Pembangunan.

          Ucapan terima kasih mesti dalam rangka Lembaga, yaitu Panitia Pembangunan atau Dewan Paroki atau lembaga keagamaan Gereja Katolik.

          Salam
          Yohanes Dwi Harsanto Pr

          • Salam damai KRISTUS
            Terima kasih atas tanggapan Romo Yohanes
            Ma’af sekali lagi saya menjelaskan CHARITY BOARD (CB) adalah sebuah program pengumpulan dana “khusus” yg diadakan di luar pengumpulan dana Gereja biasanya (konvensional ) misalnya kolekte, kotak PPG, atau kartu PPG.
            Program CB ini menawarkan kpd umat/siapa saja yg mau menjadi donatur, namanya akan ditulis di CB dgn harga minimal yg nominalnya berbeda-beda (sbg contoh [edit: di salah satu paroki] CB mempunyai “golongan” Emas & Perak )

            “Berdasar Matius 6:2 ” Jadi apabila engkau memberi sedekah…” pencantuman “charity board” tidak bermasalah secara moral karena yang memuat “charity board” bukan pihak penyumbang, melainkan pihak si tersumbang / si penerima. Rumusannya bukan “Jadi, apabila engkau “menerima” sedekah” melainkan jika engkau “memberi” sedekah.”
            Melihat kalimat di atas seperti (ma’af) mendengar alasan koruptor yg tertangkap basah berkelit “SAYA TIDAK MEMINTA TETAPI MEREKA YG MEMBERI JADI SAYA TDK BERSALAH” (inilah hebatnya manusia akan selalu mencari celah dlm hukum apapun, walau dalam hati kecilnya ia tahu keliru)

            (MATIUS 6:2) ” Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah mencanangkan hal itu, seperti yg dilakukan org-org munafik di rumah-rumah ibadat dan lorong-lorong.supaya mereka dipuji org, Aku berkata kpdmu sesungguhnya mereka sdh mendapat upahnya”
            Memang betul ayat di atas ditujukan kpd pemberi sedekah, tetapi di sini para panitia PPG yg tentunya terdiri dari Umat/Pengurus Gereja yg (mungkin) lebih mengerti Firman Tuhan JESUS dari pada umat Gereja umumnya seharusnya tidak mengadakan program CB yg dapat “menjerumuskan” umat untuk melanggar MATIUS 6:2-3.
            Memang ada umat yg menyumbang dgn iklas dan tdk ingin namanya di tulis penyumbang ini otomatis disalurkan ke pengumpulan dana gereja biasanya/konvensional (diterima dan dibukukan tdk dipamerkan) tetapi tidak dipungkiri banyak juga penyumbang yg ingin namanya ditulis agar bisa dilihat org banyak bahwa dia adalah donatur pembangunan Gereja (seandainya PPG tdk mengadakan CB mungkin tdk akan ada keinginan umat yg demikian,walaupun ada niatan yg demikian yg paling penting GEREJA tdk membenarkan dan tdk “menyediakan” WADAHNYA)

            Sebagai ungkapan syukur dan terima kasih kpd penyumbang Panitia cukup memberikan souvenir atau piagam kpd pribadi penyumbang (bukan panitia pribadi) yg dibawa pulang oleh penyumbang dan akan dipajang atau diapakan olehnya tergantung pribadi penyumbang itu sendiri, di sini akan terlihat siapa yg ikhlas dan siapa yg tidak, tdk akan ada kata-kata org (ma’af) munafik seperti “saya menyumbang dgn tulus dan saya tdk mau nama saya ditulis di CB , tetapi karena panitia (penerima) yg menulis jadi bukan salah saya”
            Sebenarnya masih banyak cara penggalangan dana selain CHARITYBOARD yg kontroversial dan dapat menjadi batu sandungan iman, kadang panitia PPG hanya mengandalkan diri mereka dan lupa mengandalkan “doa”makanya mereka mencari berbagai cara guna menggalang dana.
            “ANDALKANLAH JESUS KRISTUS TUHANMU MAKA SEGALA SESUATU AKAN DIMUNGKINKANNYA ”
            ma’af bila ada kata saya yg salah, Tuhan JESUS memberkati

          • Salam Kent,

            Jadi jelas bagi saya bahwa “Charity Board” yang Anda maksud bukan istilah umum seperti yang saya pahami, melainkan istilah untuk program khusus yang memang tujuannya untuk mencari dana oleh sekelompok orang tertentu demi tujuan tertentu dalam karya Gereja di paroki tertentu dengan cara memajang nama-nama penyumbang di papan atau tembok atau batu yang tahan lama bahkan “abadi”.

            Mencari dana itu sendiri sah-sah saja, sejauh tidak melanggar hukum negara (termasuk perpajakan) dan norma moral umum. Sedangkan prinsip moral umum berdasarkan Mat 6:2 mengatur pemberian dana yang bermoral: adil, benar dan kasih. Sedangkan moral umum bagi penenerima dana hanyalah pertanggungjawaban dan ucapan terimakasih dan bertujuan baik. Bagaimana bentuknya harus tetap berprinsip pada moralitas umum keadilan, kebenaran, dan kasih tersebut.

            Motivasi orang per orang tidak bisa tampak dalam “Daftar Penyumbang” seharusnyalah hanya satu yaitu: ikhlas. Namun catatan Anda penting diperhatikan bagi siapapun yang mau terlibat dalam sumbang-menyumbang yang ada kecenderungan “menyumbang dengan tujuan namanya tercantum abadi di tembok”. Kecenderungan membuat program “charity board” hendaknya berhati-hati dalam hal ini, agar tidak “jor-joran” dan menjadi “kesombongan rohani”, walaupun tidak melanggar hukum negara sekalipun. Memang, jika ditempelkan abadi di tembok, akan terkesan sombong dan jumawa, atau terkesan ingin dikenang abadi, atau motivasinya yang tidak abadi diminta dikenang secara abadi, suatu yang tidak sepadan, mengingat semua di dunia ini termasuk hidup kita, hanyalah milik Allah. Secara moral dan ajaran Gereja yang hanya mengikuti ajaran Kristus, tujuan yang semata-mata demikian tidaklah pantas.

            Baru kali ini saya mendengar hal ini. Lain sekali dengan pengalaman saya di Jawa Tengah dan Yogyakarta tempat hidup saya sebelum pindah di Jakarta. Saya belum pernah mendengar penawaran pencarian dana seperti “charity board” ini. Maka, saya sendiri merasa bahwa diperlukan kepekaan hati nurani untuk menilai akan kelayakan program semacam ini. Pendapat pribadi saya, jika motivasinya untuk dicantumkan saja, tentu salah secara moral.
            Ada banyak cara lain yang lebih mudah dipertanggungjawabkan secara moral (benar), adil, terhormat bermartabat bagi penyumbang dan penerima.

            Salam
            Yohanes Dwi Harsanto, Pr

          • Salom sdr Kent penjelasan dr Romo juga sdh tepat dan penjelasan dari sdr Kent juga tdk salah, namun kita liat motivasi dr pemasangan nama2 org yg menyumbang:
            1. ada org yg menyumbang dengan harapan namanya diumumkan agar diketahui oleh umat lain bahwa si anu menyumbang besar, berarti yg diharapkan ialah pujian.
            2. ada org yg menyumbang tp tdk mau namanya diumumkan, karena patuh kepada firman YESUS, dan juga org merasa apa yg diberikan itu tdk berarti apa2 dgn berkat dr TUHAN.
            3. dgn pemasangan pengumuman itu juga, agar memacu umat yg lain utk menderma atau memberi. Salom sdrku Kent dan Romo Yohanes

          • Salam kasih Kristus sdr. Simon

            (MATIUS 6:2) ” Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah mencanangkan hal itu, seperti yg dilakukan org-org munafik di rumah-rumah ibadat dan lorong-lorong.supaya mereka dipuji org, Aku berkata kpdmu sesungguhnya mereka sdh mendapat upahnya”
            Memang betul ayat di atas ditujukan kpd pemberi sedekah, tetapi di sini para panitia PPG yg tentunya terdiri dari Umat/Pengurus Gereja yg (mungkin) lebih mengerti Firman Tuhan JESUS dari pada umat Gereja umumnya seharusnya tidak mengadakan program Charity Board yg dapat “menjerumuskan” umat untuk melanggar MATIUS 6:2-3.
            Memang ada umat yg menyumbang dgn iklas dan tdk ingin namanya di tulis penyumbang ini otomatis disalurkan ke pengumpulan dana gereja biasanya/konvensional (diterima dan dibukukan tdk dipamerkan) tetapi tidak dipungkiri banyak juga penyumbang yg ingin namanya ditulis agar bisa dilihat org banyak bahwa dia adalah donatur pembangunan Gereja (seandainya PPG tdk mengadakan CB mungkin tdk akan ada keinginan umat yg demikian,walaupun ada niatan yg demikian yg paling penting GEREJA tdk membenarkan dan tdk “menyediakan” WADAHNYA)
            Jadi SEHARUSNYA Charity Board jangan di adakan karena jelas-jelas sangat BERTENTANGAN dgn firman Tuhan Yesus (MATIUS 6:2-3).
            Tuhan Yesus memberkati

          • Shalom Kent,

            Izinkan saya menutup diskusi ini yang sudah diajukan melebihi dua kali putaran, melebihi kebiasaan yang ada di situs ini. Anda sudah menyampaikan argumen Anda, dan sesungguhnya ini adalah masukan yang baik. Saya tidak tahu di manakah Anda mengetahui adanya program Charity Board? Entah di Indonesia atau di luar Indonesia, silakan saja Anda sampaikan keberatan Anda pada panitia atau pihak paroki yang menyelenggarakannya. Memang nampaknya di Indonesia belum umum program macam itu, karena biasanya yang kita kenal di sini adalah pengumpulan Dana Papa, kotak APP, ataupun pengumpulan dana lainnya tanpa memajang/ mengabadikan nama penyumbang. Mungkin karena belum umum itulah nampaknya ada perbedaan persepsi antara Anda dan Rm. Santo, tentang hal ini, yang jika ditelusuri mempunyai juga dasarnya masing- masing.

            Jadi silakan Anda menghubungi pihak paroki atau panitia yang mengadakan program tersebut, dan sampaikan keberatan Anda. Semoga dapat mendapat perhatian.

            Mari kita tutup diskusi ini sampai di sini.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Saya mau bertanya:”bagaimana pandangan gereja katolik,thd org yg bekerja atau profesi nya penceramah agama,yg sering melakukan kkr dan yang sering di minta doa nya oleh umat?
    Dlm benak hati sy(tanpa ada mksud m’hakimi) bertanya: bukan apa yg kita dpt dr Nya,kita harus bagi kan kepada sesama dng gratis?lalu bgmn jika dlm praktek nya,hanya org b’duit aja yg mndapat pelayanan dr ‘hamba Tuhan’tsb??karna sbg manusia kita tkadang t’goda oleh yg nama nya uang atau harta….

    Knp tkadang bnyk org yg lebih percaya pada pendoa’ ketimbang bdoa sendiri atau paling tidak minta d doakan pada romo lah yg memang btugas sbg imam??bukan kah Tuhan tidak memandang susunan kata’yg indah dlm doa?apa b’arti para pendoa lebih d berkati ketimbang umat’ biasa lain nya?

    Trima kasih

    Berkah Dalem
    JBU

    • Shalom Michael,

      Apakah maksud anda tentang, ‘orang yang bekerja/ profesinya adalah penceramah agama yang sering melakukan KKR’, adalah kaum awam yang bekerja secara full-time untuk dalam karya pengajaran tentang iman Katolik? Jika ya, harus diakui bahwa para pengajar itu, terutama mereka yang tidak berkerja di bawah organisasi/ hirarki Gereja Katolik, harus mengusahakan juga agar ia dapat hidup dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan anggota keluarganya (jika ia sudah menikah). Maka, ia harus dengan bijaksana mengatur hal tersebut, walaupun tanpa mengurangi komitmennya untuk menjalankan panggilan hidupnya untuk memberikan pelayanan/ pengajaran tanpa motivasi mendapatkan uang/ harta. Sejujurnya, orang yang sudah menjawab panggilan untuk menjalankan karya kerasulan awam di Gereja Katolik, sesungguhnya sudah mengetahui sejak awal, bahwa panggilan tersebut tidak menjanjikan harta duniawi, melainkan lebih kepada memenuhi panggilan jiwa untuk turut mengambil bagian dalam meluaskan Kerajaan Allah di dunia ini.

      Anda bertanya, “Mengapa orang banyak lebih percaya kepada doa pendoa/ atau imam ketimbang berdoa sendiri?” Wah walaupun hal ini terpulang kepada hati nurani tiap- tiap orang, namun menurut hemat saya, adalah meminta dukungan doa dari sesama umat beriman tidaklah melawan kehendak Allah. Sabda Tuhan mengajarkan kepada kita untuk saling menolong dalam menanggung beban (lih. Gal 6:2); dan bahwa doa orang benar besar kuasanya (lih. Yak 5:16). Oleh karena itu, tidak ada salahnya meminta para pendoa, maupun para Romo untuk mendoakan kita, walaupun tentu kita juga dapat berdoa sendiri secara pribadi. Kita tidak dapat mengetahui kedalaman hati setiap orang untuk menilai dari luar, sejauh mana seseorang itu sungguh dekat dengan Tuhan. Hanya Tuhan sendirilah yang mengetahuinya, dan karena itu bagian kita adalah berusaha untuk bertumbuh di dalam kehidupan doa kita, agar kita juga semakin bertumbuh di dalam iman, pengharapan dan kasih kita kepada Tuhan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

    • Shalom

      Terima kasih bu Ingrid atas jawabannya.
      Memang betul yang saya maksud adalah para penceramah agama tsb yang tidak termasuk dalam hirarki Gereja.

      Ya saya sangat setuju dengan jawaban bu Ingrid mengenai doa tsb…namun apakah ada hubungannya jika kita semakin menjauhi dosa, maka doa permohonan kita kemungkinan besar bisa terkabul?

      Saya mau menanyakan sejarah Doa Rosario? Apakah memang ada hubungannya dengan Perang Salib?
      (Soalnya saya pernah melihat film tentang Perang Salib yang mengatakan doa tsb pertama kali didoakan oleh para kesatria Salib yang akan berjuang di tanah suci)

      Bu Ingrid: “Apakah seorang awam bisa menjadi seorang exorcist? Apakah hanya biarawan romo atau suster yang bisa menjadi exorcist?

      Berkah Dalem.

      • Salam Michael,

        Hanya imam yang mendapat kewenangan dari uskup bisa menjadi eksorsis. Imam yang tidak mendapat penugasan dari uskup pun tidak bisa menjadi eksorsis, apa lagi awam (suster, bruder, bapak, ibu, dll). Dalam Hukum Kanonik, suster dan bruder (biarawan-biarawati) termasuk awam. Namun, imam non eksorsis dan awam telah diberi tanda karunia berkat Baptisan dan Krisma mereka untuk melawan kuasa roh jahat. Jika mau dan yakin dalam iman, serta rendah hati dan hidup kudus, jika menemui kasus, Anda bisa melepaskan kuasa kegelapan dengan doa-doa Anda, bisa pula diperkuat dengan air suci dan tanda-tanda berkat lainnya yang Anda minta dari imam.

        Salam,
        Rm Yohanes Dwi Harsanto Pr

        Tambahan dari Ingrid :

        Shalom Michael,

        Secara umum, kita ketahui bahwa dosa adalah penghalang hubungan kasih kita dengan Allah. Maka, wajarlah jika kita menjauhi dosa, maka hubungan kita dengan Allah menjadi lebih erat. Dalam keadaan ini, maka dalam doa permohonan kitapun tidak lagi terfokus pada kehendak kita sendiri, namun kepada kehendak Tuhan. Kita menerima apapun kehendak Tuhan dengan hati lapang, percaya penuh bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik bagi kita. Dengan sikap seperti ini, maka doa kita dikabulkan, bahkan sering kali, lebih indah daripada apa yang pernah kita minta atau bayangkan.

        Lalu tentang asal usul doa rosario, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Bahwa doa rosario besar kuasanya, itu contohnya terbukti dalam peristiwa pertempuran di Lepanto 1571, di mana pasukan Kristen yang secara manusiawi tidak mungkin menang (karena dari segi jumlah maupun kekuatan lainnya tidak sebanding dengan kekuatan pasukan Ottoman). Ini pernah sekilas dibahas di sini, silakan klik.

        Jawaban pertanyaan tentang eksorsis, mohon membaca jawaban dari Romo Santo di atas.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati – katolisitas.org

  3. Pater Bernard, Romo Wanta & Tim Katolisitas (Pa Stef & Bu Ingrid) Yth.

    Sebelumnya saya menyampaikan banyak terima kasih atas artikel, dan juga jawaban-jawaban serta argumentasi atas pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang yang ingin mendalaminya, dengan demikian membantu kami agar lebih memahami aspek-aspek penting dalam ajaran Gereja Katolik yang dewasa ini “cenderung” (walaupun tidak semua) disederhanakan entah karena ketidaktahuan ataupun sengaja diabaikan. Saya ingin menanyakan beberapa hal berkaitan dengan kolekte. Sejak kecil saya hidup di paroki yang dalam perayaan ekaristi hanya diadakan satu kali kolekte. Sekarang saya tinggal di salah satu stasi di salah satu keuskupan di Kalimantan Timur. Sekedar diketahui bahwa di paroki saya (di tiga stasi), sering diadakan kolekte pertama (saat persipapan persemahan) yang memang sudah sesuai dengan apa yang diterapkan di dalam Gereja Katolik, dan juga kolekte kedua (pada saat pengumuman / warta Gereja). Dan kadang-kadang juga diadakan kolektek ketiga setelah kolekte kedua dijalankan. Pertanyaan saya, apakah kolekte kedua dan ketiga layak dan boleh diadakan pada satu perayaan ekaristi dengan penempatan seperti di atas? Kalau kolekte kedua dan ketiga boleh diadakan, Apakah kolekte kedua dan ketiga HARUS diserahkan ke paroki (karena kami berada di stasi) ataukah disimpan di wilayah tersebut untuk kepentingan tertentu seperti pembelian peralatan (kebutuhan dalam ekaristi) dll? Kami mohon pencerahan dari Pater Bernard, Romo Wanta, Pa Stef dan Bu Ingrid, agar kami bisa menjelaskan kepada umat yang sering kali menanyakan hal ini kepada kami sabagai salah satu pengurus. Terima kasih.

    Flotamar

    • Salam Flotamar,

      Dalam Tata Perayaan Ekaristi tidak terdapat petunjuk tentang kolekte kedua dan ketiga pada saat sesudah pengumuman. Hanya ada satu kolekte, yaitu pada saat persiapan persembahan. Bila mau mengumpulkan dana untuk suatu maksud khusus, hendaknya dicari kesempatan yang cocok di luar perayaan Ekaristi.

      Salam dan doa. Gbu.
      Pst B.Boli SVD.

  4. Kepada Romo yth.

    Saya ingin menanyakan soal Tanda Salib dalam perayaan Ekaristi..

    Dalam perayaan Ekaristi ada beberapa umat yang pakai tanda salib berulang2..sementara Romo di Paroki kami mengatakan Tanda Salib hanya 2 (dua) kali selama perayaan misa berlangsung yaitu: Tanda Salib pembukaan dan Penutup misa..

    Pertanyaan saya:

    Apakah yg di anjurkan oleh Romo kami berlaku juga untuk semua Gereja Katolik seluruh Indonesia? atau hanya berlaku di Keuskupan setempat saja..

    Demikian pertanyaan saya..

    Tuhan memberkati Romo dalam pelayanannya.Amin

    John

    • John Yth

      Apa yang dikatakan pastor parokimu itu. Secara liturgis, tanda salib dua kali saja (awal dan akhir Misa) dan tidak ada lagi tanda salib tambah- tambah saat homili, saat persembahan dll. Berlaku untuk seluruh dunia. Umat katolik Indonesia kreatif jadi banyak tanda salib, tapi ini malah keliru.

      salam
      Rm Wanta

      • salom romo Wanta, membaca penjelasan ttg tanda salib yg cukup 2 kali dlm awal misa dan akhir..saya jadi ingat thn2 1960 ,tanda salib itu, mulai misa, konsekrasi 4x, waktu hosti diangkat dan diturunkan, dan juga anggur. Waktu mau terima komuni, sesudah terimah komuni, dan terakhir pemberkatan pengutusan, belum lagi waktu keluar dr gereja sesudah mengambil air berkat…kok sekarang tinggal 2x aja, banyak sekali terjadi perubahan dlm perayaan Ekaristi dl dgn sekarang. Mungkinkah ini modernisasi?

        • Shalom Simon,
          Secara prinsip, tanda salib yang menjadi bagian dari Misa adalah pada saat pembuka dan penutup. Sedangkan tanda salib yang lain adalah merupakan devosi, yang bersifat tidak mengikat, atau dapat dilakukan atau tidak dilakukan. Devosi ini juga termasuk membuat tanda salib dengan air ketika masuk dan keluar gereja.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          stef – katolisitas.org

  5. Membaca artikel ini sungguh memperkaya wawasan saya. Terimakasih Romo Boli…

    Saya ada sedikit pertanyaan mengenai kolekte ini. Sekarang ini saya tinggal di salah satu negara di Afrika. Yang saya lihat untuk masalah kolekte tidak berbeda dengan di Indonesia. Hanya saja disini umat maju kedepan ketika memberikan kolekte (disediakan tempat khusus untuk kolekte). Menurut saya ini hanya masalah kebiasaan saja.

    Yang saya lihat berbeda disini ada second offering dan terkadang ada acara Harvest atau penggalangan dana (misal pembangunan paroki). Pada second offering, umat yang akan memberikan kolekte maju dan didepan romo/suster/petugas siap memerciki dengan air suci. Sedangkan pada acara Harvest, ini yang agak berbeda. Minggu sebelumnya disebarkan leaflet dan disitu ditulis :
    ‘The Lord will bless you abundantly and multiply your treasures as you sow in his vineyard.” (Saya belum lama jadi Katolik, tapi seingat saya di GK indonesia belum pernah menemui acara ini)
    Petugas/kadang-kadang saja romo akan memberikan pendahuluan (misalkan untuk pembangunan… lebih sering semacam “rayuan” bahwa Tuhan akan melipatgandakan persembahan kita klo kita mau memberi), kemudian menawarkan siapa yang akan memberi. Disini seperti dilakukan tantangan, disebutkan nomial persembahan kemudian siapa yang mau memberi dipersilahkan maju dan didoakan oleh romo. Nominal ini dimulai dari besar dan akhirnya kecil. Disini terlihat sekali siapa yang memberi terbanyak, biasanya pada saat maju dia akan mendapat aplaus dari umat.

    Yang jadi pertanyaan saya:
    1. Apakah persembahan pada acara harvest dan penggalangan dana yang demikian diperkenankan oleh gereja?
    2. Seolah2 dengan cara seperti ini gereja lebih menghargai pemberian umat berdasarkan jumlah nominal uang, bukan berdasarkan kerelaan hati seperti cerita janda miskin. Bagaimana pendapat romo?

    Terimakasih sebelumnya. Mohon maaf kalau pertanyaannya kurang berkenan dan agak membingungkan.

    Salam

    • Monika Yth,

      Second offering seperti itu kelihatan lebih menyerupai suatu acara penggalangan dana dengan macam-macam cara untuk membujuk dan menantang umat disertai aplaus bagi mereka yang bermurah hati. Jadi sifatnya lebih rileks dan profan. Juga kegiatan ini memperpanjang/memperlama perayaan Ekaristi. Sebaiknya kegiatan seperti ini dilaksanakan di luar perayaan Ekaristi.

      Salam dan doa. Gbu.
      Pst. Boli.

      • Terimakasih romo atas jawabannya.

        Memang acara second offering ini memperlama misa, bahkan menjadikan kita kehilangan greget karena dilakukan sebelum ekaristi (pada waktu ekaristi kita sudah menjadi boring).

        Kalau boleh tahu apakah hal yang demikian diketahui oleh Vatican? atau hanya ide dari keuskupan lokal saja? Maaf ya romo soalnya harvest ini hampir tiap minggu dengan judul/tema yang beda-beda. Jadi saya merasa sedikit aneh.

        Salam

          • salom romo bernard dan sdr monika,,
            mengenai cara2 yg dialami sdri monika dan sdh ada penjelasan dr romo, dpt dipahami, namun kesan umat tentu sedikit negatif..seolah gereja cari uang aja, dl memeng kolekte hanya 1 x, sekarang ada 2 x, sebenarnya tdk masalah, karena pemberian dengan rela….tp jk dgn cara yg dilakukan seperti sdri monika ceriterakan, rasanya tdk begtu baik, walaupun niat utk memacu umat lain agar mau menyumbang, tp ada peluang umat mengharapkan pujian, bisa jadi suatu kesombongan, sedangkan yg tdk memberi, merasa rendah diri atau minder. Sebaliknya juga mungkin ada umat yg tdk mau ikut memberi karena tdk pas dgn nuraninya dan ajaran YESUS, jd alangkah gereja ingin mengumpulkan dana dgn cara2 yg tdk berkesan, GEREJA CARI UANG, ada juga romo yg pernah berkotbah:org diberkati di gereja, stipendiumnya hanya 150 ribu, tp pesta kawin puluhan juta….rasanya risih mendengar seperti itu, keluar dr kesan BERILAH DENGAN SUKACITA…….. trims dan salom

            [Dari Katolisitas: Perlu diketahui bahwa dana stipendium juga tidak dapat dengan begitu saja dikumpulkan menjadi milik pribadi sang Romo. Ada ketentuannya sendiri tentang stipendium, sehingga kelebihannya dalam sehari juga harus disetor ke pihak otoritas Gereja untuk disalurkan kepada pihak-pihak lain/ paroki-paroki lain yang membutuhkan. Maka Imam tidak akan menjadi kaya dengan uang stipendium. Perihal Romo yang berkhotbah tentang stipendium yang sedikit padahal pesta perkawinannya sangat mahal, menurut saya, merupakan ungkapan yang wajar untuk membangun kesadaran umat. Sebab memang tidak ada ketentuan baku tentang jumlah stipendium (patokannya minimum sebesar biaya untuk makan) namun tentu jika pasangan itu dapat memberi lebih, tidak ada salahnya memberi lebih, sebagai ucapan terima kasih, atas berkat yang diterimanya dalam sakramen perkawinan yang diterimanya. Karena berkat sakramen merupakan hal yang inti dalam perkawinan, maka masuk akal jika pasangan tersebut juga bermurah hati untuk memberi stipendium dengan jumlah yang layak, sesuai dengan kemampuannya, namun yang tidak terlalu kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran lainnya seperti untuk dekorasi maupun untuk biaya resepsi. Jika hal ini dipahami, maka memberi stipendium dengan jumlah yang layak juga dapat dilakukan dengan suka cita]

  6. Perkenankan saya mohon penjelasan kepada Tim Katolisitas khususnya Rm Boli Ujan, mengenai tatacara adorasi sakramen mahakudus. Di beberapa persekutuan doa di Jakarta, menurut teman saya yang ikut, adorasi (pentahtahan sakramen mahakudus) dilaksanakan antara seruan Anak Doma Allah dan komuni. Di Keuskupan Agung Semarang yang saya ikuti, biasanya setelah komuni. Bagaimana aturan liturgi Adorasi Sakramen Mahakudus yang benar? Terima kasih. Salam. Isa Inigo.

    • Salam Isa Inigo,

      Adorasi Sakramen Mahakudus dengan pentakhtaan sebelum Anak Domba Allah sebaiknya dipindahkan ke saat sesudah Ekaristi atau di luar perayaan Ekaristi, karena adorasi itu termasuk devosi. Dan hendaknya dihindarkan bentuk-bentuk devosi di tengah perayaan Ekaristi terutama di tengah Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi atau memasukkan devosi sebagai pengganti unsur/bagian tertentu dari liturgi. Devosi seharusnya menyiapkan orang untuk merayakan liturgi (Ekaristi) dan bersumber dari liturgi (Ekaristi) bukan dibuat di tengah perayaan Ekaristi. Kalau adorasi dibuat sesudah Komuni, sebagai bagian dari Komuni juga kurang tepat tetapi kalau dibuat sebagai unsur dari Ritus Penutup itu masih bisa diterima, karena baik Ritus Pembuka maupun Ritus Penutup dapat diganti dengan kegiatan lain. Itu berarti sebaiknya pentakhtaan dan adorasi dibuat sesudah ada pengumuman dan amanat singkat, bukan sebelumnya.

      P.Bernardus Boli Ujan SVD

      • Pater Bernardus Ytk.

        Hal yang sama yaitu adorasi Sakramen Mahakudus ditempatkan ditengah-tengah perayaan Ekaristi juga saya alami di salah satu paroki di Bekasi. Saya juga sependapat dengan Pater bahwa devosi adalah untuk menyiapkan Ekaristi; bukan sebaliknya. Saya tidak tahu apakah ini karena ketidaktahuan sang pastor atau apa…yang jelas saya perhatikan umat mengikuti saja “tak berdaya”.

        -erwin-

        • Salam Erwin,

          Kemungkinan, ada pastor yang melihat praktek itu di tempat lain dan merasa bisa melaksanakannya di parokinya sendiri tanpa mempelajari dengan seksama pedoman tentang hal ini.

          P Bernardus Boli Ujan SVD

    • Salam kasih
      Mohon penjelasan, dalam suatu perayaan liturgi, umat membludak sehingga banyak umat yang duduk di luar gedung gereja. Terjadi perdebatan boleh tidak memakai TV monitor. Bagaimana peraturan liturgi yang sebenarnya?

      [Dari Katolisitas: pertanyaan ini disatukan karena masih satu topik]
      Bagaimana ketentuan liturgis penggunaan alat-alat canggih seperti TV Monitor dan Infokus dalam liturgi?
      Terima kasih

      • Salam Fransiskus Andi,

        Penggunaan alat-alat canggih dalam liturgi khususnya tv monitor dan infokus. Sampai sekarang saya belum melihat satu ketentuan mengenai penggunaan alat2 canggih ini. Hanya prinsip yang dipakai adalah agar pemakaian semua sarana dalam liturgi membantu para peraya untuk mengarahkan dan memusatkan perhatian pada inti misteri yang dirayakan dan bukan sebaliknya mengalihkan perhatian kepada hal-hal lain. Pemakaian monitor tv di halaman gereja atau di ruang samping gereja untuk para peraya yang tidak dapat melihat dan mengarahkan perhatiannya langsung kepada kegiatan liturgis di dalam ruang gereja yang sempit dapat di pahami, karena mata mereka terhalang oleh dinding/tembok atau tiang gereja tetapi mereka telah datang dan berkumpul besama para peraya lain di tempat perayaan sebagai satu persekutuan beriman yang beribadat bersama. Mereka sama-sama menyanyi, berdoa, berdiri, duduk, membungkuk, berlutut dll dalam perayaan pada waktu yang sama dalam satu kesatuan berkat bantuan tv monitor itu. Partisipasi di halaman atau di samping gereja via monitor tv ini berbeda dengan melihat siaran misa via tv di rumah. Ada ijin khusus bagi orang sakit atau jompo yang tidak dapat datang ke gereja (tempat perayaan bersama) tetapi tidak diijinkan bagi umat beriman lain yang sehat untuk mengikuti perayaan Misa lewat TV di rumah. Perlu dihindarkan pula pemakaian infokus yang mengganggu konsentrasi umat pada kegiatan liturgis yang sedang terjadi.

        P.Bernardus Boli Ujan SVD

        • Terima kasih romo atas jawabannya. Semua sangat berguna untuk kami. Sekali lagi terima kasih.

  7. tolong dong jelaskan pandangan persembahan persepuluhan antara umat khatoli dan protestan…karena ada sebuah pertanyaan dari teman saya seorang protestan yang menyatakan mengapa umat khatolik koq tidak mewajibkan persepuluhan(kalau bisa ada dasar kutipan dari nas kitab suci)….terima kasih

    • Shalom Jefryzone21,

      Terima kasih atas pertanyaannya. Silakan melihat jawaban ini tentang topik perpuluhan – silakan klik. Semoga dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  8. terimakasih untuk jawabanya romo, membuat saya semakin bangga berada dalam kerahiman katolik… dan saya senang karena seperti yang saya pikirkan dan harapkan selama ini.

  9. shalom bu inggrid dan pak stevan, nanya lagi nih.. :) alokasi kolekte 1 bagiamana? apakah kolekte hanya sampai kepada keuskupan? apakah kolekte kita ada yang sampai ke vatican? jika sampai vatican apakah sifatnya wajib atau sukarela? apakah data2 baptis dan pernikahan kita sampai vatican? bagaimana keterikatan gereja terhadap vatican? apakah keterkaitan gereja hanya sebatas urusan doktrinal saja, atau sampai pada administrasinya? sebelumnya terimakasih atas jawabannya, maaf kalau sering bertanya.. :)

    • Endro Yth

      Kolekte adalah kegiatan liturgis sebagai persembahan syukur umat atas rezeki dan hasil karya mereka kepada Tuhan dalam suatu perayaan iman. Salah satu tujuan dari kolekte berdasarkan ajaran Gereja adalah untuk memenuhi kebutuhan peribadatan agar dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Silahkan baca para artikel kolekte di web katolisitas (silakan klik). Kolekte sebenarnya dilakukan sekali saja dalam Misa kudus, intentio dantis kolekte pertama agar peribadatan suci dan keberlanjutan peribadatan dapat terjamin serta untuk karya misi Gereja. Maka ada beberapa kolekte wajib disetor ke takhta suci melalui Karya Kepasusan Indonesia, seperti Minggu panggilan, Minggu Misi, dll. Seluruh dunia terkumpul dana itu untuk didistribusikan kembali ke Gereja-Gereja di seluruh dunia demi kepentingan misi Gereja. Tapi ada kolekte yang sampai pada tingkat keuskupan saja selain yang diwajibkan setor ke KKI. Keterikatan Gereja terhadap Takhta Suci mengikat secara hukum dan ajaran Gereja, termasuk di dalamnya administrasi. Setiap tahun paroki di tiap keuskupan melaporkan data baptisan krisma, perkawinan, keuangan dll ke keuskupan. Kemudian Uskup melaporkan perkembangan Gereja Lokal yg dipimpin oleh Uskup diosesan ke Takhta Suci setiap tahun dan lima tahun ad limina berjumpa dengan Bapa Suci (tergantung dari jadwal Bapa Suci). Semoga dapat dipahami.

      salam
      Rm Wanta

    • Salam Endro,

      Kolekte I biasanya dikumpulkan untuk kepentingan hidup dan karya paroki-pastoran dan untuk pelayanan sosial terutama bagi yang miskin dan berkekurangan. Ada kolekte yang diserahkan kepada keuskupan dan diteruskan ke KWI seperti kolekte pada masa Prapaskah yang disebut Dana APP yang dikirim ke Komisi PSE KWI, atau kolekte pada Hari Komunikasi yang dikirim ke komisi Komsos KWI untuk membiayai kegiatan-kegiatan di bidang masing-masing. Ada juga kolekte yang diteruskan ke Vatikan, seperti kolekte pada Hari Anak Misioner (Januari), Hari Minggu Panggilan (Minggu Paskah IV), Hari Minggu Misi (Oktober), yang dikirim ke keuskupan lalu diserahkan ke KKI (Karya Kepausan Indonesia) dan diteruskan ke Vatikan untuk membiayai kegiatan pembinaan anak-anak, calon-calon imam dan karya misi. Lalu untuk karya pastoral Paus (kolekte pada bulan Juni) dan untuk Tanah Suci (kolekte Jumat Agung), dua kolekte terakhir dikirim langsung ke Kedutaan Vatikan di Indonesia yang akan meneruskannya ke Vatikan. Sifatnya sukarela, tergantung dari kesadaran umat dan motivasi yang diberikan oleh petugas pastoral kepada umat.

      Data-data baptis dan penikahan biasanya disimpan di paroki-paroki. Yang disampaikan ke keuskupan, KWI dan ke Vatikan adalah jumlahnya dan bukan seluruh data-file. Namun sekarang dengan adanya komputer dan internet, data-data di paroki-paroki yang sudah menggunakan sarana itu dapat diakses oleh Vatikan. Saya belum tahu apakah sudah ada keputusan yang mewajibkan paroki-paroki untuk mengirimkan data-file seluruhnya ke keuskupan, KWI dan Vatikan. Ada keterkaitan doktrinal dan administratif, juga kerohanian dan doa. Kita saling meneguhkan secara rohani dengan saling mendoakan. Ada intensi bulanan dari Sri Paus demi kepentingan umum yang didoakan kita semua, dan berapa banyak doa (dalam Ekaristi) yang dipanjatkan untuk Sri Paus.

      P.Bernardus Boli Ujan SVD

    • apa betul setiap Misa hari Jum’at seluruh kolekte dikirim ke Vatikan.
      saat Jumat Agung , seluruh hasil kolekte dikirim ke Vatikan.

      • Breakdance Yth

        apa betul setiap Misa hari Jum’at seluruh kolekte dikirim ke Vatikan. Tidak betul kalau setiap hari Jumat.
        saat Jumat Agung , seluruh hasil kolekte dikirim ke Vatikan. Ini benar, kalau memang ada kolekte pada hari Jumat Agung..

        P.Bernardus Boli Ujan SVD

        • Yth, Breakdance,
          Pada Jumat Agung tidak terjadi/tidak ada kurban misa/ekaristi, namun upacara mengenang sengsara Tuhan Yesus. “Kolekte” pada upacara itu juga tidak harus ada.

          salam,
          erwin

Comments are closed.