Oleh RD. Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta*)
Pengantar
Tulisan ini untuk para pembina seminari dan pemerhati seminari tentang pembentukan imamat bagian “discernment”. Pembentukan imamat merupakan proses yang progresif dan memiliki dimensi temporal. Seorang pemuda (seminaris) yang masuk ke seminari mengalami pertumbuhan dan kedewasaan pribadi. Secara perlahan dan bertahap ia mengubah dirinya dan gambaran imam yang ideal, mengidentifikasi dirinya seperti Kristus Sang Imam Agung.
Proses ini berlangsung terus menerus, seperti aliran air sungai yang tak terbendung terus mengalir turun menuju ke lembah. Untuk dapat berjalan dalam proses yang benar, seminaris perlu membedakan secara pasti penghalang dan rintangan yang dapat dikenali dari ciri-ciri khususnya. Proses itulah yang disebut “discernment” panggilan.
Allah Memanggil, Gereja Menanggapi
Menjadi imam adalah karunia cuma-cuma dari Tuhan. Tak seorangpun dapat mengatakan pada-Nya siapa yang dipanggil maupun yang tidak. Pada prinsipnya pintu seminari terbuka bagi siapa saja yang merasa terpanggil. Tidak ada diskriminasi atau seleksi yang sewenang-wenang. Imamat adalah perutusan gereja; dengan demikian sesuatu yang berhubungan dengan Gereja haruslah “mengikat dan melepas” (bdk.Mat 18:18). Tak seorangpun yang mengetuk pintu seminaris memerlukan suatu panggilan. Kita diwajibkan untuk menjalankan penglihatan tersebut yakni melihat dengan mata iman panggilan Allah.
Secara esensial, keseluruhan periode pembentukan adalah periode ketajaman. Discernment memegang peranan dalam pembentukan dan kepentingan calon/seminaris itu sendiri. Hal ini benar-benar istimewa pada awalnya. Sebelum masuk ke seminari, penting bagi mereka untuk menganalisis dengan hati-hati apa yang menjadi panggilan hidupnya. Adalah penting untuk mengetahui sedari awal tentang discernment panggilan yang menipu terutama mengenai pemilihan calon yang layak untuk masuk ke seminari. Dalam hal ini tak ada rasa kagum baginya bila ia masuk ke seminari hanya mengandalkan tanda-tanda yang jelas yang menunjukkan bahwa ia terpanggil. Hal ini menjadi tidak adil dengan membawa sikap yang dangkal terhadap proses masuk ke seminari, jika pada akhirnya mengatakan pada calon seminaris bahwa seminari bukanlah tempat baginya. Ada satu pengalaman, menghambat seseorang masuk ke seminari ini berarti mendukung karirnya sebagai awam, merupakan hal yang sangat merusak.
Peduli pada calon lain adalah alasan yang lain untuk mencermati ketajaman panggilan tersebut. Seminaris yang merasa tidak pada tempatnya dan tidak teridentifikasi oleh panggilan imamatnya dapat menjadi unsur negatif di dalam kehidupan seminari. Secara signifikan jumlah yang bersikap diam atau seminaris yang bersikap ragu atau siapapun yang kurang atau tidak memiliki kualitas yang dibutuhkan, membuat lingkungan perkembangan positif seminaris pada umumnya terganggu.
Secara serius dan penuh perhatian, ketajaman panggilan adalah suatu kelayakan. Bahkan saat panggilan terlihat langka, kita membutuhkan pemuda-pemuda dengan panggilan hidup imamat, bukan pada mereka yang mulai tanpa bekal panggilan di jalur yang semestinya, karena hal ini bukan sekadar pertanyaan yang semata-mata untuk memenuhi kekosongan dalam lembaga manusiawi namun untuk menerima siapapun yang merasa dipanggil oleh Tuhan. Pertanyaan dasar yang terlontar adalah: betulkah dia yang sungguh-sungguh telah dipilih oleh Tuhan?
Panduan Untuk Memahami Ketajaman Panggilan Hidup Secara Tepat
Hanya Tuhan yang mengetahui jawaban dari pertanyaan awal ini. Tak ada sistem yang mudah untuk dapat menemukan kehadiran panggilan imamat yang sempurna. Untuk alasan ini, doa merupakan tugas pertama bagi siapapun yang mempunyai tanggungjawab yang sulit untuk dapat masuk dalam pusat pembentukan imamat. Mereka harus ditanya dengan rendah hati tentang cahaya Roh Tuhan yang menerangi akal dan pikiran para pemuda yang mencari jalan masuk ke seminari.
Meskipun ada beberapa kriteria yang tersimpan di benak kita dalam rangka menemukan kehendak Tuhan sejauh ini secara manusiawi hal itu diperbolehkan. Pada tiap kasus individu, sesuai dengan waktu dan tempat terdapat beberapa faktor yang spesifik dan kongkrit tersimpan dalam pikiran, namun kita dapat juga membicarakan beberapa kriteria umum yang diperoleh berdasarkan panggilan dan perutusan imamat dan dari permintaan betapa pentingnya pembentukan untuk menempatkan para calon pada panggilan imamatnya. Kita dapat mengelompokkan kriteria tersebut di seputar dua pendapat yang sangat berhubungan yaitu: kesesuaian dari para calon dan kehadiran nyata dari suatu panggilan ilahi.
Kesesuaian Dari Para Calon
Maksudnya apa? Tidak ada pilihan lain jika seseorang tidak cocok bagi kehidupan imamat, Tuhan pasti tidak akan memanggilnya. Tuhan tidak akan bertentangan dengan Diri-Nya sendiri. Beberapa aspek penting dalam melakukan discernment sebagai faktor menelisik ketajaman panggilan seminaris.
1.Pengetahuan Yang Dimiliki Para Calon
Hal pertama yang dilakukan adalah mempelajari tipe orang-orang yang masuk ke seminari. Caranya, seseorang yang berwenang dalam penerimaan calon seminaris (Rektor dan tim seleksi masuk seminari menengah) wajib meluangkan waktu untuk berbicara dengan para calon, bila memungkinkan hal itu dapat dilakukan pada beberapa kesempatan. Mengenal keluarga dan lingkungan di mana calon seminaris berasal akan sangat membantu. Saat itu, beberapa hal dapat terungkap. Mengenali para calon berarti mengetahui latar belakangnya: pola asuh dan pendidikan, spiritualitas dan perjalanan hidup manusiawinya, kejadian masa lalu, atau situasi yang dapat berpengaruh pada masa depannya.
Psikologi dapat membantu dalam teritori-area yang sedang kita bahas. Hal ini tidak akan terlihat berlebihan untuk mensyaratkan, jika mungkin, diadakan test psikologi secara teliti sebelum memutuskan secara pasti siapa yang berhak masuk ke seminari. Para psikolog yang melaksanakan dan menginterpretasikan hasil uji tersebut tidak hanya profesional dan mampu di bidangnya namun juga harus bisa menunjukkan pengetahuan dan penghargaan dari panggilan imamat. Jika ia seorang imam, itu lebih baik. Jika terdapat kesangsian atau kasus-kasus yang sulit sebaiknya dilanjutkan wawancara dengan psikolog, hal ini untuk memperlihatkan bahwa calon memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Izin masuk bagi calon seminaris tidak akan pernah menjadi hal yang terburu-buru. Waktu diperlukan untuk mengenali para calon dan mereka juga butuh waktu untuk mengenali dirinya sendiri dan menetapkan langkah yang akan mereka ambil. Pada kesempatan ini kita dapat memperpanjang waktu selama pendidikan di seminari kecil. Bagi yang lain, hal ini memantapkan panggilan hidup di bawah bimbingan imam yang mereka kenal atau dengan mengadakan kunjungan ke seminari. Di beberapa tempat, seminar tentang panggilan terbukti berguna dalam memahami ketajaman panggilan hidup.
2.Kesehatan Mental dan Fisik
Pertanyaan tentang kesesuaian bagi panggilan imam melibatkan bermacam aspek manusia. Di tempat pertama, kesehatan fisik yang memadai diperlukan untuk mampu bertahan dari tuntutan hidup di seminari dan dapat bekerja sama dengan rajin sebagai pelayan di ladang anggur Tuhan. Hal ini adalah pengecualian khusus, namun merupakan hal yang sungguh luar biasa dan mengandung alasan yang kuat.
Kesesuaian secara psikologis lebih sulit untuk dievaluasi, meski hal ini tidak begitu menentukan. Bidang yang terbatas dari diskusi yang baru-baru ini kita lakukan, menjadi penghalang bagi kita untuk mempelajari detil-detil yang berkenaan dengan beragam aspek yang terlibat dalam area ini. Kita dapat meyakinkan, bahwa, kesehatan mental adalah prasyarat adanya panggilan hidup. Imam terpanggil untuk memimpin dan membimbing orang lain. Dalam hal ini, kita dapat menjabarkan pertanyaan rasul Paulus dalam surat pertamanya pada Timotius: “Jika seseorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri bagaimanakah ia dapat mengurus jemaat Allah?” (1 Tim 3:5).
Suatu saat seseorang dapat berubah secara psikologis, meski hal itu normal, namun hal itu menunjukkan tanda-tanda kelemahan, hambatan, atau ketidakstabilan. Hal ini tidak selalu bisa dicermati dengan segera dan diputuskan apakan calon tersebut sesuai atau tidak. Kebijaksanaan, akal sehat, pengalaman, dan waktu yang akan memberikan jawaban terbaik.
Penyakit dan keraguan lebih mudah untuk diperhatikan. Jika menghadapi kasus kejiwaan, keputusannya sangat jelas: hal itu tidak mungkin dapat sembuh; pengabaian atau pura-pura hal itu tidak terjadi akan menipu kita sendiri dan calon yang bersangkutan. Bila kita temukan gejala penyakit syaraf, dianjurkan untuk mengadakan test untuk mengambil kesimpulan yang tepat. Dalam hal ini, tidak ada tempat bagi suatu penyakit yang mengganggu proses panggilan seperti sakit syaraf (gila) hal ini membawa konsekuensi yang serius. Jika merasa ragu-ragu, berkonsultasi dengan ahlinya (dokter jiwa) sangat dianjurkan.
3.Beberapa Kebajikan Fundamental
Kita tak dapat berharap bahwa siapapun yang masuk ke seminari telah memiliki kebajikan dan kualitas sebagai seorang imam yang ideal. Jika hal itu terjadi ,maka hal itu tidak dibutuhkan oleh para seminaris. Meski demikian, pembentukan imamat mensyaratkan kualitas manusiawi yang memadai dan dasar iman kristiani untuk dibangun.Tak peduli, meski bukan para calon yang memiliki kebajikan sebagai imam yang baik, kita mempunyai kemampuan untuk memperolehnya.
Tentu saja terdapat kebajikan dan kualitas khusus yang harus dimiliki saat seorang pemuda menjalani panggilan imamatnya, setidaknya sampai batas tertentu, dalam rangka mendukung keberhasilan tahbisan. Contohnya adalah ketulusan. Orang yang tidak jujur dan penuh kepalsuan akan mengalami kesulitan dalam menjalani proses pendewasaan yang semestinya. Ia mungkin mampu mematuhi norma-norma eksternal pada saat ia diamati, namun ia tidak akan pernah memahami prinsip-prinsip pembentukan pribadi. Hal ini akan berpengaruh pada kemampuan dirinya untuk hidup dalam komunitas dan bekerja sama dengan orang lain. Sama halnya, bila seseorang mempunyai perangai dan pola asuh tertentu yang mengakibatkan ia sama sekali tidak mampu hidup bersama orang lain, berdialog, bekerja dalam tim, hingga sulit untuk membayangkan bagaimana ia berhasil membentuk dirinya dalam lingkungan komunitas dan setidaknya membuat dirinya dapat diterima orang lain dalam rangka melaksanakan tugas perutusan sebagai imam di masa depan.
Bersama dengan pembentukan dasar manusiawi, identitas spiritual calon seminaris juga harus dibangun. Setidaknya pengetahuan agama (teologi) dan praktek religius sangat diperlukan, dan kemampuan untuk hidup dalam rahmat. Seorang imam adalah anak Allah, seorang pelayan yang menuntun manusia menuju hidup ilahi dan membawanya kembali melalui pengampunan dosa jika mereka berbuat dosa atau sesat di jalan hidupnya. Jika seseorang dosanya sudah berakar kuat dan tampaknya mustahil untuk dapat diatasi, maka perlu dipikirkan dengan serius sebelum membiarkan dia untuk meneruskan langkahnya. Kita tidak boleh meragukan kekuatan Tuhan, namun kita juga tidak boleh mencobaiNya.
a.Kapasitas Intelektual
Para pembimbing juga harus menganalisis kapasitas intelektual para calon. Disebut sebagai guru dan pembimbing, ia harus dengan cermat mempersiapkan teritori-area yang mensyaratkan pengabdian akademik, seperti filsafat dan teologi. Walaupun dalam sejarah Gereja dibicarakan tentang kepandaian para imam kudus yang beroleh karunia intelektual, kita tidak akan menganggap remeh hal itu. Merupakan suatu ketidakadilan jika menerima seseorang yang pada akhirnya merasa frustasi sebelum mengalami kesulitan dalam menempuh studi imamatnya, atau mengatakan untuk meninggalkan seminari karena ia dianggap tak mampu menyelesaikan studinya. Jika ia telah menyelesaikan studinya, biasanya mereka masuk ke seminari tinggi yang memiliki kesamaan pembentukan manusiawi dan keilmuan untuk mempersiapkan mereka masuk ke wilayah pendidikan yang lebih tinggi.
b.Tidak ada halangan Kanonik (kapasitas personal)
Parameter terakhir yang penting untuk mengukur kesesuaian para calon adalah dengan memperhatikan apakah mereka mengalami kesulitan secara terus menerus atau hanya mengalami sedikit kesulitan dalam rangka memahami hukum kanonik. Hal ini menjadi tidak berguna dan tidak bertanggungjawab jika mengijinkan seseorang masuk ke seminari sedangkan ia tak dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
c.Keberadaan Panggilan Ilahi (kapasitas spiritual)
Hal ini tidak cukup untuk memastikan bahwa seseorang yang memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk masuk ke seminari; kita harus melihat bahwa ia mempunyai “panggilan”. Di sini kita tidak menunjuk “panggilan” sebagai kecenderungan manusia maupun suatu profesi/pekerjaan yang lain. Kita menyebut sebagai suatu panggilan ilahi yang nyata dan pribadi. Hal ini tak mudah untuk dicermati. Faktanya hal ini jauh lebih sulit daripada mencermati kesesuaian para calon secara subjektif. Di sini kita berada sebelum memahami misteri manusia dan di sinilah kita berdiri sebelum memahami misteri Allah.
d.Intensi (motivasi dasar) yang benar dan besar
Hal pertama yang harus diingat adalah intensi yang memotivasi seseorang untuk mencari jalan masuk. Apakah ia merasa terpanggil atau sesuatu yang mendorongnya? Keputusan yang diambil haruslah secara sadar dan bebas. Kewaspadaan dibutuhkan bila calon berada di bawah tekanan, baik secara internal maupun eksternal. Jika permohonannya tidak secara sukarela, maka calon tersebut tidak diijinkan untuk melanjutkan.
Direktur penerimaan seharusnya memastikan agar para calon memahami, setidaknya hal-hal umum, apa dan bagaimana panggilan dan cara hidup imamat dan tepatnya apa yang mereka butuhkan. Sebagai tambahan, direktur penerimaan harus dapat melihat bahwa mereka masuk ke seminari bukan karena terpengaruh misalnya oleh saudara atau didorong oleh alasan lain seperti patah hati, ingin melarikan diri dari dunia, takut menghadapi kerasnya hidup.
Ada beberapa kasus bahwa seseorang masuk ke seminari hanya untuk memperoleh keuntungan akademik. Perhatikan, yang harus diingat ketika orangtua secara gamblang memaksa putra mereka masuk ke seminari. Mereka hanya tertarik bahwa putra mereka akan memperoleh pendidikan murah namun berkualitas. Dengan mengizinkan ia masuk, dalam kasus ini, akan mengalahkan tujuan seminari dan berkompromi untuk sanggup membentuk mereka supaya benar-benar memikirkan panggilan imamatnya. Ini membuktikan hal tersebut akan merusak diri mereka sendiri karena ia hidup dalam kebohongan, di lingkungan di mana ia tidak terpanggil dan ia tidak dapat mengenalinya.
e.Suara Tuhan
Saran yang sangat dibutuhkan untuk para seminaris supaya berdoa secara intensif. Hal ini dimaksudkan juga untuk menguji minat dan motivasi mereka. Dengan cara ini kita dapat mendeteksi adanya kemungkinan sugesti pribadi, tekanan dari luar, bahkan paksaan untuk menjadi imam. Hal ini akan membantu para seminaris untuk semakin memperdalam kehidupan doanya dan memperoleh pengalaman untuk mendengarkan suara Tuhan. Praktek tersebut terbukti dapat menentukan kehidupan seseorang untuk berhenti sebagai seorang seminaris atau imam. Sesekali Tuhan mengijinkan dirinya untuk mendengar secara lebih dalam, ini merupakan saat intim dan langsung. Pada kesempatan lain ia akan berbicara mengenai hal-hal yang penting atau hal-hal yang sepele. Suara Tuhan bergema dengan penuh semangat dan terus menerus di dalam hati para pemuda. Suara tersebut acapkali datang seperti angin yang lembut hampir tak terasa. Semangat itu membuat mereka mengalami cinta Kristus sebagai suatu hal yang bermanfaat. Membuat orang lain menyadari bahwa panenan melimpah namun pekerja sedikit. Secara sederhana hal ini akan mengundang orang lain untuk mendukung panggilannya. Beberapa orang muda yang masuk ke seminari sangat antusias dengan panggilannya, sebagian lebih suka melawan panggilan ilahi tersebut, namun semua tunduk pada yang Kuasa. Beberapa orang melihat panggilannya dengan jelas. Beberapa terasa samar dan meragukan apakah mereka benar-benar terpanggil.
Penutup
Tulisan ini tidak mencari kepastian yang mutlak sebagai proses discernment dalam teritori-area menjawab panggilan Tuhan dan mencari pembuktian. Cahaya yang redup dari suatu panggilan membuat kita berkata, ”mari kita lihat”. Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentang keseluruhan periode pembentukan seminaris khususnya pada tahapan awal, yang merupakan saat untuk mengasah ketajaman panggilan (mengasah discernment). Bila Tuhan tidak memanggil, namun mengizinkan banyak pemuda untuk memulai perjalanan tersebut tentu ada jalan panggilan. Hal ini menjadi suatu alasan tersendiri bahwa seminaris yang berusaha menyerahkan seluruh kehendaknya tidak akan pernah salah di mata Tuhan. Masih banyak hal yang dibicarakan namun kiranya di lain kesempatan kita masih dapat berbicara tentang panggilan Allah menjadi imam. Suatu misteri ilahi di tangan manusiawi yang penuh kelemahan dan dosa.
*) Penulis tim website: Katolisitas, kini sebagai Pastor Paroki St Maria Ratu Rosari, Gianyar, Bali.
Shalom,
saya ingin bertanya, bagaimanakah kita ingin mendengar suara panggilan Tuhan? adakah ia daripada minat yang mendalam terhadap imamat?
[Dari Katolisitas: Yang pertama-tama, melalui doa. Tuhan memiliki cara yang berbeda untuk menyatakan panggilan-Nya pada setiap orang. Jika Tuhan memanggil Anda secara khusus untuk menjadi imam-Nya, Ia akan menyatakannya kepada Anda, mungkin tidak hanya sekali tetapi melalui beberapa peristiwa. Namun hal ini hanya dapat dirasakan dan dialami, jika Anda memiliki kepekaan rohani. Maka kehidupan doa menjadi sesuatu yang penting dalam hal ini, baik untuk mengetahui panggilan Tuhan itu sejak awal, maupun kelak untuk menjaga dan menumbuhkannya. Jika Anda sudah mulai merasakannya, dan ingin mengetahui lebih lanjut, silakan menghubungi bapa spiritual Anda (imam yang kepadanya Anda rutin mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan) ataupun mengikuti retret Panggilan ataupun retret pribadi untuk intensi ini.]
terima kasih atas jawabannya romo.. :)
Shalom Romo, saya ingin bertanya adakah batasan umur dari aturan gereja untuk orang yang ingin menjadi imam? Bagaimanakah dengan masa lalunya, misalnya sudah pernah melakukan hubungan suami-istri di luar nikah atau setelah istrinya meninggal? dan adakah cara yang konkrit untuk membuktikan bahwa panggilan untuk menjadi imam itu murni panggilan dari Allah dan bukan hasil sugesti diri, pelarian atau niat-niat tidak murni lainnya?
Kefas yth
Batasan umur tentu ada paling tidak di bawah 30 tahun kecuali ada yang luar biasa dari calon dan diterima oleh Uskup. Masa lalu perlu diceritakan secara terbuka kepada imam yang menyeleksi calon imam agar dapat menjadi pertimbangan dan bagaimana rekomendasi dari pastor paroki di mana calon tinggal berdomisili. Cara konkrit menilai motivasi panggilan sebagai pelarian atau tidak murni adalah dengan melihat secara konkrit hidup harian calon imam, dia perlu tinggal di seminari atau komunitas atau pastoran untuk dilihat hidup sehari-harinya oleh seorang imam/pastor pembimbing.
salam
Rm Wanta
Comments are closed.