Walaupun tidak dikatakan secara eksplisit dalam ayat-ayat tersebut, namun dapat disimpulkan bahwa Rasul Paulus berdoa untuk Onesiforus yang sudah wafat (2 Tim 1:16-18, 2 Tim 4:19).
Berikut ini adalah keterangan yang saya sarikan tulisan Dave Amstrong di link ini, silakan klik:
Hal ini [Onesiforus sudah wafat] bukan hanya menurut ajaran Gereja Katolik. Sebab beberapa ahli Kitab Suci Protestan juga memperkirakan bahwa kemungkinan Onesiforus ini sudah meninggal pada saat surat kepada Timotius itu ditulis. Hal ini dapat dibaca di ISBE, New Bible Commentary. Para ahli Kitab Suci dari Kristen non-Katolik juga mengatakan demikian, seperti A.T. Robertson dari Kristen Baptis, Begel dari Lutheran dan Alford dari Anglikan. Memang dari teksnya saja (2 Tim 1:16-18) tidak dapat diketahui dengan pasti apakah Onesiforus itu pasti sudah mati pada saat surat itu dituliskan. Namun sebaliknya, ayat itu juga tidak menunjukkan dengan pasti bahwa Onesiforus masih hidup. Kendati demikian, di antara dua kemungkinan ini lebih masuk akal jika Onesiforus sudah wafat pada saat surat kepada Timotius ditulis.
Marcus Dods (1834-1909, dari Free Church, Scotlandia) memberikan alasan mengapa perkataan dalam surat ini ditujukan kepada Onesiforus yang sudah meninggal dunia:
“Pastilah bahwa kemungkinan yang seimbang berpihak kepada pandangan bahwa Onesiforus sudah wafat ketika Paulus menuliskan kata- kata ini. Bukannya hanya fakta bahwa di sini ia [Paulus] mengatakan “keluarga Onesiforus” dalam hubungannya dengan saat ini, dan tentang Onesiforus sendiri hanya dalam hubungannya dengan saat lampau. Ada juga fakta yang lebih jelas bahwa pada salam terakhir, ketika salam- salam ditujukan kepada Prisca dan Aquila, dan dari Ebulus, Pudens, Linus dan Klaudia, namun sekali lagi hanya ‘keluarga Onesiforus’, dan bukannya Onesiforus sendiri yang diberi salam. Gaya bahasa ini hanya dapat sepenuhnya dimengerti jika Onesiforus tidak lagi hidup di dunia ini, tetapi masih memiliki istri dan anak- anak yang masih hidup di Efesus. Tetapi adalah tidak mudah untuk menjelaskan referensi ini kepada keluarga Onesiforus, jika ia [Onesiforus] sendiri masih hidup…..
“Juga terdapat karakter tertentu dari doa Sang Rasul. Mengapa ia membatasi harapannya agar Tuhan menunjukkan kemurahan-Nya pada Hari-Nya (Hari Tuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan Hari Penghakiman/ akhir dunia- Yes 13:6; Yl 1:15, 2:1,11; Ams 5:20; Ob1:15; Zef 1:7,14; Luk 21:34; Kis 2:20; 1 Kor 1:8; 3:13, 5:5; 2 Kor 1:14; 1 Tes 5:2; 2 Tes 2:2; 2 Tim1:12; Ibr 10:25; 2 Pet 3:10). Mengapa ia [Paulus] tidak juga berdoa agar rahmat Tuhan dicurahkan kepadanya [Onesiforus] di dalam kehidupan ini? Perkataan Rasul Paulus ini akan terdengar janggal jika Onesiforus masih hidup, namun menjadi lebih masuk akal jika Onesiforus sudah wafat.
Tentang hal yang kedua, nampaknya tidak ada alasan untuk meragukannya bahwa perkataan Rasul Paulus itu merupakan sebuah doa…. bahwa Sang Hakim pada Hari Penghakiman Terakhir akan mengingat semua perbuatan baik yang dilakukan Onesiforus, yang tidak dapat dibalas oleh Rasul Paulus, dan menempatkannya [semua kebaikan itu] sebagai miliknya. Paulus tidak dapat membalasnya, tetapi berdoa agar Tuhan melakukannya dengan menunjukkan rahmat belas kasihan kepadanya [Onesiforus] pada Hari Terakhir itu.” (Marcus Dods, Robert Alexander Watson, Frederic William Farrar, An Exposition on the Bible: a series of expositions covering all the books of the Old and New Testament, Volume 6 [Hartford, Conn.: S.S. Scranton Co., 1903, p. 464)
Mari kita baca keseluruhan ayat yang tersebut:
“Tuhan kiranya mengaruniakan rahmat-Nya kepada keluarga Onesiforus yang telah berulang-ulang menyegarkan hatiku. Ia tidak malu menjumpai aku di dalam penjara. Ketika di Roma, ia berusaha mencari aku dan sudah juga menemui aku. Kiranya Tuhan menunjukkan rahmat-Nya kepadanya pada hari-Nya. Betapa banyaknya pelayanan yang ia lakukan di Efesus engkau lebih mengetahuinya dari padaku.” (2 Tim 1:16-18)
Kalimat tersebut menjadi kurang logis, jika kita mengartikan bahwa Onesiforus masih hidup namun hanya berpisah dengan keluarganya untuk sementara, seperti interpretasi sejumlah orang. Sebab jika Onesiforus masih hidup, mengapa Rasul Paulus hanya memohon rahmat Tuhan untuk keluarga Onesiforus? Sedangkan kepada Onesiforus sendiri, Rasul Paulus hanya memohon rahmat Tuhan ‘pada hari-Nya’, yang dalam banyak ayat lainnya dalam Kitab Suci mengacu kepada hari Penghakiman? Bukankah kalau Onesiforus masih hidup, akan lebih logis jika Rasul Paulus akan memohon rahmat Tuhan baginya untuk setiap hari, dan bukan hanya rahmat pada hari Penghakiman? Namun faktanya adalah Rasul Paulus memohon rahmat Allah bagi sahabatnya itu pada ‘hari-Nya’, yang berkonotasi pada penghakiman setelah kematian. Interpretasi ini diperkuat oleh ayat berikutnya. Yaitu bahwa Rasul Paulus ingat akan segala perbuatan baik Onesiforus, dan karena itu berharap Tuhan menunjukkan rahmat-Nya kepada Onesiforus di hari Penghakimannya. Sebab setiap orang akan mati, dan sesudah itu dihakimi (Ibr 9:27), menurut perbuatannya (Why 20:12). Tentu saja kalau diasumsikan Onesiforus masih hidup saat itu, maka korelasi dan koherensi antara ayat ke 16 dan 18 menjadi kabur. Ayat itu menjadi dua ayat yang tidak berhubungan satu sama lain. Yang satu adalah permohonan doa untuk keluarga seorang sahabat. Dan yang lain adalah permohonan untuk belas kasihan Allah pada seorang sahabat untuk hari kematiannya, padahal ia masih hidup.
Melihat kepada penjabaran ini, adalah lebih masuk akal, jika disimpulkan bahwa Onesiforus sudah wafat ketika Rasul Paulus menuliskan suratnya kepada Timotius. Maka ayat 2 Tim 1:16-18 ini menjadi salah satu dasar dari Kitab Suci yang mengajarkan bahwa adalah baik bagi kita yang masih hidup untuk mendoakan jiwa- jiwa orang yang sudah meninggal dunia. Sebab selain hal itu diajarkan dalam Kitab Makabe (2 Mak 12:38-45), hal itu juga telah diajarkan dan dilakukan oleh Rasul Paulus, kepada sahabatnya, Onesiforus.
sumber: http://www.sarapanpagi.org/onesiforus-vt5626.html
Apa yang dilakukan oleh Onesiforus memang ditulis dalam bentuk “aoris tense” (kalau dalam bahasa Inggris agak mirip dengan simple past). Maksud Aorist Tense adalah untuk menyatakan bahwa sesuatu hal pernah terjadi atau pernah dilakukan (tetapi, belum tentu merupakan suatu petunjuk bahwa orang yang melakukan itu sudah meninggal).
Kita baca beberapa commentary di bawah ini:
Sumber: The New Bible Commentary, Inter-Varsity Press, London, 1976, menafsirkan ayat-ayat tsb, sbb:
Onesiforus adalah perkecualian dari mereka berpaling dari Paulus ketika Paulus mengalami kesusahan. Onesiforus tetap berpihak pada Paulus dan menolong Paulus sesudah ditahan, dan bahkan setelah dia tiba di Roma, dia sengaja bersusah payah menjumpai Paulus (jelas ini tidak gampang) untun sekali lagi memberikan semangat kepada Paulus. Ayat 18: Timotius juga mengetahui banyak pelayanan yang dilakukan oleh Onesiforus di Efesus.
Di sini Onesiforus kelihatan sebagai terpisah dari keluarganya, mungkin karena meninggalkan rumahnya. Itu sebenarnya bukan berarti Paulus berdoa untuk keselamatannya seperti seorang yang sudah meninggal, dimana sekali-kali tidak ditemukan dalam Alkitab Protokanon. Doa itu sekali-kali bukan mengenai keadaan antara kematian dan kebangkitan, melainkan mengenai kelakuan pada masa hidup ini dan pembalasannya pada hari penghakiman. Bandingkan dan bedakan sosok Onesiforus dengan ayat di bawah ini tentang sosok Aleksander:
* 2 Timotius 4:14
Aleksander, tukang tembaga itu, telah banyak berbuat kejahatan terhadap aku. Tuhan akan membalasnya menurut perbuatannya.
Sumber: John RE Stott, The Message of 2 Timothy, Inter-Varsity Press, London, 1989:
Beberapa afli tafsir mengemukakan – berdasarkan ucapan tentang “keluarga Onesiforus” (2 Timotius 1:16 yang diulang pada 4:19) tentang ‘hari-Nya’, bahwa Onesiforus itu sudah meninggal pada waktu itu, dan bahwa karena ayat 18a adalah doa bagi arwah yang sudah meninggal. Asumsi ini takabur sekali. Fakta bahwa ucapan Paulus mengenai Onesiforus terpisah dari ucapannya mengenai keluarga Onesiforus, memang berarti bahwa Onesiforus tidak berada di sisi keluarganya. Tapi ini belum berarti bahwa Onesiforus sudah meninggal. Mungkin kala itu Onesiforus berada di Roma dan keluarganya berada di Efesus.
Uskup Handley Moule mengatakan: “Pada hemat saya, doa itu bagi kedua belah pihak, yang dipanjatkan secara terpisan, sebab saat itu mereka sementara waktu terpisah oleh hamparan dataran dan laut… Sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap Onesiforus telah meninggal. Bahwa ia terpisah dari keluarganya oleh perjalanan, itu jelas dari tutur bahasa dalam ayat ini.”
Semua orang telah meninggalkan Paulus kecuali Onesiforus. Dalam situasi kemurtadan yang hampir total inilah Timotius sekarang diminta ‘mempertahankan harta yang indah’ yaitu berpegang kuat kepada ajaran yang sehat. Bahwa dia harus memelihara Injil secara utuh dan tak bercacat. Ini adalah suatu tanggung jawab yang berat, dan sosok Onesiforus menjadi suatu teladan yang baik bagi Timotius. Inilah maksud Paulus dalam surat penggembalaanya kepada Timotius.
KEPUSTAKAAN.
E. E Ellis, NTS 17, 1970-1971, hlm 437-452; F. J Badcock, The Pauline Epistles, 1937, khususnya hlm 150-158. D Guthrie (TNTC, 1957) dan J. N. D Kelly (Harper-Black, 1963) membicarakan masalah-masalah mengenai Onesiforus.
[Dari Katolisitas: pertanyaan ini digabungkan karena masih dari pengirim yang sama tentang topik yang sama:]
mohon tanggapannya…
selain bukti dalam artikel di atas apakah ada tradisi para rasul yg mendoakan orang yang sudah meninggal? karena ke 2 argument tsb menurut saya memiliki dua sudut pandang yang berbeda walaupun dari sumber yang sama.
Shalom Exodus,
Pertama-tama perlu kita ketahui bahwa ajaran Gereja Katolik yang menghormati jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal dan mendoakan mereka, itu bukan semata-mata tergantung dari ayat mengenai Onesiforus ini. Ada banyak ayat lain yang mendukung ajaran ini, demikian pula Tradisi Suci para Rasul, dan bahkan bukti arkeologis tentang kubur jemaat Kristen awal, membuktikan bahwa telah sejak awal Gereja mendoakan jiwa-jiwa sesama jemaat yang sudah meninggal.
Nah, sekarang izinkan saya menanggapi interpretasi yang Anda kutip, yang mengatakan Onesiforus sebenarnya tidak meninggal tetapi hanya sedang terpisah dari keluarganya. Sejujurnya, seperti telah disampaikan di atas, memang ayat itu tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Onesiforus pasti sudah wafat. Namun interpretasi ini mempunyai kemungkinan yang lebih kuat dibandingkan dengan asumsi bahwa Onesiforus sekedar hanya pergi meninggalkan/ berpisah dengan keluarganya. Mengapa?
1. Dari ayat-ayatnya sendiri, lebih logis kalau diinterpretasikan jika Onesiforus sudah wafat.
Mari kita baca keseluruhan ayat yang tersebut:
“Tuhan kiranya mengaruniakan rahmat-Nya kepada keluarga Onesiforus yang telah berulang-ulang menyegarkan hatiku. Ia tidak malu menjumpai aku di dalam penjara. Ketika di Roma, ia berusaha mencari aku dan sudah juga menemui aku. Kiranya Tuhan menunjukkan rahmat-Nya kepadanya pada hari-Nya. Betapa banyaknya pelayanan yang ia lakukan di Efesus engkau lebih mengetahuinya dari padaku.” (2 Tim 1:16-18)
Kalimat tersebut menjadi kurang logis, jika kita mengartikan bahwa Onesiforus masih hidup namun hanya berpisah dengan keluarganya untuk sementara. Sebab jika demikian, mengapa Rasul Paulus hanya memohon rahmat Tuhan untuk keluarga Onesiforus? Sedangkan kepada Onesiforus sendiri, Rasul Paulus hanya memohon rahmat Tuhan ‘pada hari-Nya’, yang dalam banyak ayat lainnya dalam Kitab Suci mengacu kepada hari Penghakiman? Bukankah kalau Onesiforus masih hidup, akan lebih logis jika Rasul Paulus akan memohon rahmat Tuhan baginya untuk setiap hari, dan bukan hanya rahmat pada hari Penghakiman? Namun faktanya adalah Rasul Paulus memohon rahmat Allah bagi sahabatnya itu pada ‘hari-Nya’, yang berkonotasi pada penghakiman setelah kematian. Interpretasi ini diperkuat oleh ayat berikutnya. Yaitu bahwa Rasul Paulus ingat akan segala perbuatan baik Onesiforus, dan karena itu berharap Tuhan menunjukkan rahmat-Nya kepada Onesiforus di hari Penghakimannya. Sebab setiap orang akan mati, dan sesudah itu dihakimi (Ibr 9:27), menurut perbuatannya (Why 20:12). Tentu saja kalau diasumsikan Onesiforus masih hidup saat itu, maka korelasi dan koherensi antara ayat ke 16 dan 18 menjadi kabur. Ayat itu menjadi dua ayat yang tidak berhubungan satu sama lain. Yang satu adalah permohonan doa untuk keluarga seorang sahabat. Dan yang lain adalah permohonan untuk belas kasihan Allah pada seorang sahabat untuk hari kematiannya, padahal ia masih hidup.
Selanjutnya, tentang kasus Aleksander yang dijadikan pembanding bagi kasus Onesiforus. Dalam ayat 2 Tim 4:4 itu, tidak disebutkan tentang “hari-Nya”, sehingga tidak ada dasar untuk mengandaikan bahwa Aleksander sudah wafat saat itu. Lagipula apa yang dilakukan Aleksander itu adalah kebalikan dari yang dilakukan oleh Onesiforus. Maka, adalah logis jika Rasul Paulus memohonkan rahmat Tuhan bagi Onesiforus pada hari Penghakimannya; sedangkan Paulus tidak menagtakan hal yang sama bagi Aleksander.
2. Apakah benar: tidak mungkin Rasul Paulus mendoakan Onesiforus yang sudah wafat, sebab doa terhadap orang-orang yang sudah meninggal tidak ada dalam Alkitab Protokanon?
Pernyataan ini tidak benar sebab dibangun atas dasar pemahaman (premis) yang tidak tepat. Sebab Kitab Suci Kristiani pada saat ditentukannya pertama kali oleh Gereja di abad ke-4, tidak membedakan antara Protokanon dan Deuterokanon. Kanon Kitab Suci yang ditetapkan Gereja adalah 73 kitab (46 kitab PL dan 27 kitab PB). Kanon PL mengacu kepada kitab Septuaginta yang telah dipergunakan oleh umat Yahudi sejak sekitar abad ke-2 sebelum Masehi, artinya termasuk zaman Tuhan Yesus dan para Rasul. Ke-46 kitab PL ini sudah termasuk 7 kitab yang baru di abad ke-16 kemudian umum disebut sebagai kitab-kitab Deuterokanonika.
Nah, maka baru di abad ke-16 tersebut Martin Luther mempertanyakan keabsahan ke-46 kitab PL tersebut, antara lain karena di dalam salah satu kitab itu (kitab 2 Makabe) menyebutkan adanya ajaran agar kita mendoakan jiwa-jiwa yang sudah meninggal dan mempersembahkan kurban penebus salah bagi mereka. Luther yang mengajarkan bahwa keselamatan hanya diperoleh oleh iman saja (Sola Fide) menganggap bahwa ajaran kitab 2 Makabe ini sebagai ajaran yang tidak mendukung ajarannya. Maka ia berusaha membuangnya, atau mempertanyakan keaslian kitab ini, yang berujung pada keputusannya untuk mengelompokkan kitab 2 Makabe beserta dengan ke enam kitab lainnya sebagai kitab ‘kelas dua’ dalam PL, dan menempatkan kitab-kitab tersebut dalam terjemahan Kitab Sucinya di bagian belakang, sebagai tambahan. Keputusan ini diambilnya, juga karena mengacu kepada kanon kitab suci Ibrani yang ditetapkan oleh para rabi Yahudi di sekitar tahun 100. Namun sejujurnya, adalah suatu pertanyaan besar, apakah dasarnya, sehingga ia sebagai umat Kristen, mau mengambil patokan kanon Kitab Suci dari penetapan para rabi umat Yahudi yang sudah jelas-jelas menentang Kristus, daripada mengambil patokan dari penetapan oleh Gereja awal, yang dipimpin oleh penerus Rasul Petrus?
Nah, jika kita memahami duduk masalahnya, semoga kita dapat menilai apakah argumen di atas itu benar atau tidak. Sebab ajaran Gereja yang otentik sesungguhnya jelas termasuk ajaran untuk mendoakan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal. Karena itu, tak mengherankan, jika para Rasul (termasuk Rasul Paulus) juga kemungkinan besar telah melakukan hal tersebut terhadap sahabatnya Onesiforus.
3. Uskup Handley Moule mengajarkan bahwa ayat 2 Tim1: 16-18 tidak berarti bahwa Rasul Paulus mendoakan Onesiforus yang sudah meninggal?
Mungkin saja Handley Moule (1841-1920) memang mengajarkan demikian, namun ia adalah uskup Anglikan, dan bukan uskup Katolik, sehingga pengajarannya tidak mempunyai otoritas yang setara dengan otoritas Magisterium Gereja Katolik. Interpretasi Moule dapat saja diterima oleh umat Anglikan dan umat Kristen non-Katolik lainnya, sebab sudah dari awalnya premis yang dijadikan acuan memang sudah tidak sesuai dengan dasar yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Sedangkan Gereja Katolik tidak dapat melihat ajaran Moule ini sebagai ajaran yang sesuai dan konsisten dengan ajaran Gereja yang telah berakar sejak 20 abad sebelumnya.
Menarik untuk disimak, adalah fakta bahwa di kalangan para ahli Kitab Suci Kristen non-Katolik sendiri, terdapat perbedaan paham. Sebab sejumlah dari mereka -sebagaimana yang kami kutip di atas- juga mengajarkan seperti yang diajarkan oleh Gereja Katolik, yaitu kemungkinannya lebih besar bahwa Onesiforus sudah wafat saat Rasul Paulus menuliskan suratnya itu kepada Timotius. Dan dengan demikian, melalui suratnya itu, Rasul Paulus mengajarkan tentang mendoakan jiwa-jiwa orang-orang yang sudah meninggal.
Marilah kita memohon kepada Tuhan untuk menunjukkan kepada kita, manakah informasi yang lebih konsisten dan lebih sesuai dengan pemahaman akal sehat, dan sesuai juga dengan keseluruhan ayat Kitab Suci yang telah diterima oleh Gereja sejak awal mula. Sebab ajaran untuk mendoakan arwah umat beriman ini juga didukung oleh bukti arkeologis, seperti di makam- makam jemaat awal sejak abad pertama, di berbagai monumen dan ukiran di katakomba, yang menuliskan doa-doa bagi para arwah orang beriman. Contohnya adalah di makam Abercius dari Hieropolis di Phrygia (abad ke-2). Demikian pula, Gereja menyimpan peninggalan teks doa-doa yang dipanjatkan oleh jemaat perdana dalam perayaan Ekaristi bagi jiwa-jiwa yang telah dipanggil Tuhan. Di abad ke-2 sampai abad ke-4, Tertulianus, St. Sirilius dari Yerusalem, St. Yohanes Krisostomus mengajarkan agar kita membantu jiwa-jiwa yang telah meninggal dunia dengan mendoakan mereka. St. Agustinus di abad ke-4 dan St. Gregorius Agung di abad ke-6 juga mengajarkan tentang hal ini. Kita juga melihat praktek para rahib mendoakan jiwa rekan-rekan mereka yang meninggal dengan mendaraskan Mazmur dan mempersembahkan Misa kudus. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran untuk mendoakan mereka yang telah meninggal seperti yang diajarkan oleh para Bapa Gereja telah dilaksanakan dalam kehidupan Gereja, sejak abad-abad awal. Nah tentu kesaksian jemaat awal ini, yang hidup lebih dekat dengan zaman Kristus dan para Rasul, jauh lebih kredibel daripada interpretasi para ahli Kitab Suci di abad ke 16 ataupun ke-19/20 ini!
Akhirnya, Exodus, saya menyerahkan kepada Anda semua informasi ini untuk Anda renungkan. Percayalah, bahwa kebenaran yang sejati akan mempunyai kekuatannya sendiri untuk menarik orang-orang kepada dirinya. Tentu, asalkan kita memiliki keterbukaan, kejujuran dan kerendahan hati untuk menyikapinya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih Bu Ingrid untuk penjelasannya, ya saya akan selalu berusaha untuk terbuka, jujur dan rendah hati dalam menyikapi setiap hal..
Kepada Ibu pengasuh Katolisitas
Sebagai orang katolik saya senang bisa menemukan situs ini.
saya ingin menanyakan :
1. apakah Onesiforus yang didoakan oleh St Paulus dalam 2 Timotius 1 : 18 pada waktu itu sudah meninggal dunia ?
2. apakah kiamat terjadi setelah Yesus datang kembali ke dunia ?
3. apakah kita (umat katolik) pada waktu Yesus datang kembali akan dibawa serta ? dan bagaimana umat lain yang tidak dibawa ? akankah mereka mati semua ?
4. Jika mereka tidak mati , apakah mereka tetap tinggal di dunia ini ?
Mohon pencerahan
[Dari Katolisitas: pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Syalom ibu Ingrid
Mohon pencerahan sekali lagi tentang jawaban ibu berikut ini :
Orang-orang benar -tubuh dan jiwanya- akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, sedangkan orang- orang yang jahat akan masuk ke neraka, juga dalam jiwa dan tubuh mereka.
Bagaimana dengan orang-orang yang meninggal sebelum akhir dunia (yang sudah lama meninggal dunia), apakah mereka juga diberikan tubuh atau mereka hidup sebagai roh saja. Apakah Allah juga memiliki tubuh ?
Laras
Shalom Larasati,
Pada saat kebangkitan badan di akhir jaman, semua manusia yang sudah wafat, baik yang wafat pada menjelang akhir jaman ataupun yang sudah meninggal lama sebelum akhir jaman. Saya baru saja menayangkan artikel tentang Kebangkitan Badan, silakan klik di sini untuk membacanya.
Allah itu Roh (Rom 4:24) yang tidak bertubuh, namun pada suatu saat dalam sejarah manusia, Ia mengirimkan Kristus Allah Putera untuk menjelma menjadi manusia. Dengan demikian, saat itu Ia mengambil rupa tubuh manusia. Tubuh Kristus inilah yang kemudian wafat, bangkit, dan naik ke surga. Sejak saat itu, Kristus dengan Tubuh-Nya yang mulia berada di surga; Tubuh-Nya menjadi yang sulung/ yang pertama bangkit dari tubuh semua orang yang mati (lih. Kol 1:18). Tubuh-Nya menjadi model (archetype) bagi tubuh semua orang benar yang dibangkitkan pada akhir jaman. Ciri- ciri tubuh kebangkitan ini, dapat anda baca di artikel tentang Kebangkitan Badan, yang saya sertakan linknya di atas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.