[Hari Minggu Biasa VII: Im 19:1-2, 17-18; Mzm 103:1-13; 1Kor 3:16-23, Mat 5:38-48]
Hari Minggu ini kita mendengarkan ajaran Tuhan Yesus yang mungkin paling sulit: “Bila orang menampar pipi kananmu, berikanlah juga pipi kirimu…” Lalu, “Kasihilah musuhmu!” Juga, “Berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu!” Waduh! Mudah diucapkan, tapi tak mudah dilakukan. Bukankah sudah menjadi kecenderungan kita, bahwa kita tidak terima kalau disakiti orang lain? Wong urusan pilkada saja bisa membuat orang jadi sensitif, bagaimana kalau itu urusan lain yang lebih pribadi sifatnya? Lalu sebenarnya, apa maksudnya, kalau kita sudah ditampar pipi kanan, koq harus memberikan pipi kiri pula?
St. Agustinus menjelaskannya demikian, “Sebab Tuhan Yesus telah bersedia, tidak hanya untuk ditampar pipi-Nya, bagi keselamatan manusia, tetapi untuk disalibkan dengan seluruh tubuh-Nya. Maka dapat ditanyakan, Apakah yang secara khusus ditandai dengan pipi kanan? Sebab wajah adalah sesuatu yang dengannya manusia dikenal. Ditampar di wajah, menurut sang Rasul adalah ekspresi penghinaan dan kebencian. Tapi karena kita tak dapat mengatakan ‘wajah kanan’ dan ‘wajah kiri’, dan namun kita memilikinya, satu sisi di hadapan Tuhan dan satu sisi di hadapan dunia, maka itu terbagi seolah-olah menjadi pipi kanan dan pipi kiri, sehingga barangsiapa dari antara murid Kristus yang dibenci karena ia adalah seorang Kristiani, dapat menjadi siap untuk lebih dibenci karena apapun penghormatan dari dunia yang dimilikinya” (St. Augustine, Serm. in Mont., i, 19).
Kupandang salib yang tergantung di dinding dekat meja belajarku. Di sana nampak jelas pengorbanan Tuhan Yesus, yang tidak hanya merelakan kedua pipi-Nya ditampar, melainkan seluruh tubuh-Nya dihancurkan, demi menebus dosa-dosaku dan dosa seluruh dunia. Salib-Nya menjadi tanda penghinaan dan kebencian yang dinyatakan oleh manusia kepada Tuhannya. Melalui penderitaan-Nya di salib, Yesus seolah telah kehilangan kemuliaan ilahi-Nya, dan bersamaan itu juga, kehilangan penghormatan yang diterimaNya dari para pengikut-Nya. Namun Yesus tidak membenci orang-orang yang telah menyalibkan Dia, dan bahkan mendoakan mereka (lih. Luk 23:34). Demikianlah, Yesus telah memberikan contoh kepada kita, bagaimana melaksanakan ajaran-Nya yang paling sulit ini: yaitu untuk tidak membalas ketika dihina dan disakiti, dan untuk mengasihi musuh dan mendoakan mereka. Yesus menanggung semua penderitaan-Nya, demi kasih-Nya kepada Bapa dan kepada kita. Kepada kesempurnaan kasih inilah kita pun dipanggil. “Haruslah kamu sempurna…” (Mat 5:48), kata Yesus. Yaitu untuk dapat mengasihi Allah dan sesama, termasuk orang-orang yang telah menyakiti hati kita. Sebab kasih yang sejati diukur dari sejauh mana kita tetap mengasihi walau tidak dibalas dengan kasih, atau bahkan walau dibalas dengan rasa benci. Kalau ada pepatah “air susu dibalas dengan air tuba” pada kisah anak durhaka; hari ini Injil mengajarkan kepada kita sebaliknya. “Air tuba dibalas dengan air susu”, jika kita ingin menjadi sempurna. Artinya, membalas kejahatan dengan kebaikan; membalas rasa sakit hati, dengan kemurahan hati.
Setiap orang punya ceritanya sendiri-sendiri, tentang siapakah orang yang pernah menyakiti hatinya, atau siapa yang baginya paling sulit dikasihi. Hari ini sabda Tuhan mengingatkan kita, agar kita mengasihi dan mendoakan orang-orang yang pernah mengisi lembaran kelabu dalam hidup kita. Sulit mungkin, memang, tetapi itulah tantangannya bagi kita, jika kita mau melaksanakan sabda Tuhan hari ini. “Kuduslah kamu…. Jangan engkau membenci saudaramu… jangan engkau menuntut balas, dan jangan menaruh dendam, melainkan kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri!” (Im 19: 2, 17-18). Maka mengasihi sesama bukanlah suatu pilihan—boleh ya boleh tidak—tetapi suatu perintah Allah. Kalau kita sungguh mengasihi Allah, maka buktinya adalah kita mengasihi sesama, dan bukti kuatnya lagi adalah, kalau kita bisa mengasihi orang yang membenci kita. Tentang yang terakhir ini, aku terkesan dengan perkataan mendiang Mother Angelica, pendiri stasiun televisi Katolik EWTN. Di salah satu talk show-nya, ia pernah ditanya, bagaimana menghilangkan rasa benci terhadap orang yang telah pernah menyakiti hati kita. Dengan candanya yang khas, Mother Angelica kurang lebih menjawab demikian, “Coba bayangkan kalau Anda dan orang itu sama-sama sudah meninggal dunia… Lalu musuh Anda itu ternyata masuk Surga, karena ia sempat bertobat sebelum meninggalnya… tetapi kamu tak bisa masuk, karena kamu masih menyimpan rasa benci terhadapnya….” Tak elak, para pemirsa tertawa mendengarnya. Lalu tambahnya, “Maka, lebih baik, ampunilah dia. Sebab siapa tahu, bahwa tiket Anda untuk dapat masuk Surga, tergantung dari bisa atau tidaknya Anda mengampuni dia. Bayangkan…. kalau Anda masuk Surga, Andalah yang harus berterima kasih kepadanya, sebab justru karena dialah, Anda dibentuk Tuhan menjadi orang yang kudus, yang bisa mengampuni, seperti Tuhan Yesus telah mengampuni Anda!” Jujur saja, sekarang setiap kali kujumpai orang-orang yang menjengkelkan, aku selalu ingat perkataan Mother Angelica ini. Dan aku berdoa, O Tuhan, bantulah aku untuk mengampuni… jangan biarkan aku kelak hanya menunggu di luar pintu Surga, karena tidak bisa mengampuni dan tidak mendoakan orang-orang yang telah menyakiti hatiku.
Juga tak kalah berharga, nasehat dari St. Maksimus dari buku Ibadat Harian hari ini. Ia memberikan kuncinya, agar kita bisa mengasihi, mengampuni, dan tahan menderita. Yaitu, kita harus memiliki kasih Tuhan, dan kasih akan Tuhan itu harus melebihi perhatian kita kepada hal-hal duniawi, supaya kita tidak jadi orang yang egois dan baper. Begini kata St. Maksimus, “Kemurahan hati tidak ditunjukkan hanya dengan memberi uang. Kemurahan hati lebih dinyatakan dengan melayani secara pribadi, seperti juga menyampaikan sabda Tuhan kepada sesama. Nyatanya, kalau pelayanan seseorang kepada saudara-saudaranya sungguh tulus dan kalau ia sungguh melepaskan perhatian kepada hal-hal duniawi, ia terbebas dari keinginan mementingkan diri sendiri. Sebab ia kini mengambil bagian dalam pengetahuan dan kasih Tuhan. Karena ia memiliki kasih Tuhan, ia tidak mengalami kekuatiran, sebab ia mengikuti Tuhan Allahnya. Sesungguhnya, mengikuti Nabi Yeremia, ia tahan terhadap setiap bentuk celaan dan kesulitan, tanpa menyimpan pikiran jahat terhadap siapapun… Jangan katakan: ‘… Hanya iman saja akan Tuhan Yesus Kristus, dapat menyelamatkan saya.’ Dari dirinya sendiri iman tak dapat mencapai apapun. Sebab bahkan setan pun percaya dan gemetar ketakutan [di hadapan Tuhan]. Tidak, iman harus digabungkan dengan cinta kasih yang aktif akan Tuhan, yang dinyatakan dalam perbuatan-perbuatan baik. Orang yang berbuat kasih dikenali dari pelayanan yang tulus dan tahan terhadap penderitaan, kepada sesamanya, dan juga terlihat dari bagaimana ia menggunakan harta bendanya dengan benar/ bijaksana.” Rupanya rahasia supaya orang bisa membalas kejahatan dengan kebaikan adalah, ia harus memiliki kasih Tuhan terlebih dahulu di dalam hatinya. Sebab dengan menempatkan Tuhan di tempat yang utama dalam hidup kita, kita akan dikuatkan dan dimampukan untuk mengikuti teladan-Nya: untuk tetap mengasihi sesama walau belum tentu dibalas kasih, tetap mengampuni walau belum tentu tidak disakiti lagi. Sebab kita mengingat, bahwa Tuhan terlebih dahulu telah mengasihi dan mengampuni segala kesalahan kita.
“Tuhan, tambahkanlah di hati kami, kasih kepada-Mu, agar kami dapat mengasihi dan mengampuni sesama kami. Jauhkan dari kami sikap mementingkan diri sendiri. Bantulah kami agar kami dapat melayani sesama dengan tulus dan tahan terhadap berbagai kesulitan dan penderitaan. St. Maksimus, doakanlah kami. Amin.”