Berikut ini adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari ensiklik Paus Benediktus XVI yang berjudul Caritas in Veritate (Kasih di dalam kebenaran).

Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan dapat diberitahukan kepada kami.

AN  UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL CARITAS IN VERITATE
@COPYRIGHT 2009 – KATOLISITAS


SURAT ENSIKLIK CARITAS IN VERITATE

DARI IMAM AGUNG TERTINGGI
BENEDIKTUS  XVI

KEPADA PARA USKUP
PARA IMAM DAN DIAKON
KAUM PRIA DAN WANITA RELIGIUS
KAUM AWAM
DAN SEMUA BANGSA YANG BERKEHENDAK BAIK DALAM PERKEMBANGAN UMAT MANUSIA SEUTUHNYA DI DALAM KASIH DAN KEBENARAN

PENDAHULUAN

1. Kasih dalam kebenaran, yang dinyatakan oleh Yesus Kristus dengan kehidupan-Nya di dunia, terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya, adalah kekuatan yang prinsip di balik perkembangan otentik setiap orang dan semua umat manusia. Kasih — caritas — adalah kekuatan yang luar biasa yang memimpin manusia untuk memilih suatu kewajiban yang berani dan murah hati di dalam bidang keadilan dan perdamaian. Ini adalah sebuah kekuatan yang berasal mula dari Tuhan, Kasih abadi dan Kebenaran yang mutlak. Setiap orang menemukan kebahagiaannya dengan mengikuti rencana Tuhan baginya, agar dapat mewujudkannya dengan sepenuhnya: di dalam rencana ini, ia akan menemukan kebenarannya, dan dengan mengikuti kebenaran ini ia menjadi bebas merdeka (lih. Yoh 8:32). Karena itu, untuk mempertahankan kebenaran ini, untuk merumuskannya dengan kerendahan hati dan keyakinan, dan untuk memberikan kesaksian tentangnya di dalam hidup adalah bentuk- bentuk perwujudan kasih yang tepat dan sangat diperlukan. Kenyataannya, kasih “bersuka cita di dalam kebenaran” (1 Kor 13:6). Semua orang merasakan dorongan dari dalam untuk mengasihi secara murni: kasih dan kebenaran tidak pernah mengabaikan mereka sepenuhnya, sebab ini adalah suatu panggilan yang ditanamkan oleh Tuhan di dalam hati dan pikiran setiap orang.  Pencarian akan kasih dan kebenaran dimurnikan dan dimerdeka-kan oleh Yesus Kristus dari pemiskinan yang dibawa oleh kemanusiaan kita, dan Ia menyatakan kepada kita dalam segala kepenuhannya, maksud dari kasih dan suatu rencana untuk kehidupan sejati yang dipersiapkan oleh Tuhan bagi kita. Di dalam Kristus, kasih di dalam kebenaran menjadi Wajah Pribadi-Nya, sebuah panggilan bagi kita untuk mengasihi saudara dan saudari kita di dalam kebenaran rencana-Nya. Sungguh, Ia sendiri adalah Kebenaran (lih. Yoh 14:6).

2. Kasih berada di inti ajaran sosial Gereja Katolik. Setiap tanggung jawab dan setiap komitmen yang mengalir dari ajaran itu diperoleh dari kasih, yang menurut ajaran Yesus, adalah rangkuman dari keseluruhan Hukum Tuhan (lih. Mat 22:36-40). Kasih memberikan hakekat yang nyata dari hubungan yang pribadi dengan Tuhan dan dengan sesama; kasih tidak saja merupakan prinsip bagi hubungan mikro (dengan teman-teman, anggota keluarga atau di dalam kelompok kecil) tetapi bagi hubungan makro (hubungan sosial, ekonomi dan politik). Bagi Gereja, yang diperintahkan oleh Injil, kasih adalah segala sesuatu sebab, seperti yang diajarkan oleh St. Yohanes (lih. 1 Yoh 4:8, 16) dan seperti yang tertulis dalam surat ensiklik saya yang pertama, “Allah adalah kasih” (Deus Caritas Est); setiap ciptaan berasal dari kasih Allah, dan setiap ciptaan dibentuk oleh kasih Allah, dan setiap ciptaan diarahkan menuju kasih Allah. Kasih adalah pemberian Tuhan yang terbesar kepada umat manusia, kasih adalah janji –Nya dan pengharapan kita.

Saya menyadari akan cara-cara di mana kasih telah dan terus disalah-mengertikan dan dikosongkan maknanya, dengan akibat resiko disalah-tafsirkan, dipisahkan dari kehidupan yang beretika dan, dalam aneka kejadian, kurang dihargai. Di dalam bidang-bidang sosial, yuridis, budaya, politik dan ekonomi –konteks- konteks tersebut, dengan perkataan lain, yang sangat terbuka terhadap bahaya ini– kasih dengan mudah disingkirkan sebagai yang tidak relevan untuk menafsirkan dan memberikan arahan bagi tanggung jawab moral. Oleh karena itu, kebutuhan untuk menghubungkan kasih dengan kebenaran tidak hanya dalam urutan, seperti yang diajarkan oleh St. Paulus, yaitu veritas in caritate/ kebenaran di dalam kasih (Ef 4:15), tetapi juga kebalikannya dan dalam urutan yang saling melengkapi, caritas in veritate/ kasih di dalam kebenaran. Kebenaran perlu dicari, ditemukan, dan diekspresikan di dalam “ekonomi” kasih, tetapi sebaliknya kasih juga perlu dimengerti, ditegaskan dan diterapkan di dalam terang kebenaran. Dengan cara ini, kita tidak hanya melakukan sebuah pelayanan kasih yang diterangi oleh kebenaran, tetapi kita juga membantu memberikan kredibilitas kepada kebenaran, membuktikan kekuatannya yang berpengaruh dan otentik di dalam kerangka praktis kehidupan sosial.  Ini bukan sesuatu hal yang kecil dewasa ini, di dalam konteks sosial dan budaya yang membuat kebenaran menjadi hal yang relatif, yang sering tidak memperhatikan kebenaran, dan yang menunjukkan peningkatan rasa enggan untuk mengakui adanya kebenaran.

3. Melalui hubungan yang dekat ini dengan kebenaran, kasih dapat dikenali sebagai ekspresi kemanusiaan dan sebagai elemen dari kepentingan yang mendasar di dalam hubungan antar manusia, termasuk mereka yang ada di daerah publik. Hanya di dalam kebenaran kasih bersinar, hanya di dalam kebenaran kasih dapat benar-benar dilaksanakan secara murni. Kebenaran adalah terang yang memberikan arti dan nilai kepada kasih. Terang itu adalah terang akal dan terang iman, yang melaluinya akal budi mencapai kebenaran kodrat dan adikodrati dari kasih: ia mencakup artinya sebagai karunia pemberian, penerimaan, dan persekutuan. Tanpa kebenaran, kasih menurun tingkatnya menjadi hal-hal sentimental. Kasih menjadi bungkus kulit yang kosong, untuk diisi dengan cara yang sewenang-wenang tanpa batas. Di dalam budaya yang tanpa kebenaran, ini adalah resiko fatal yang dihadapi oleh kasih.  Hal ini menjatuhkan korban dalam kesatuan emosi dan pendapat yang subyektif, kata “kasih” disalahgunakan dan diubah, menuju titik yang malah berarti sebaliknya. Kebenaran membebaskan kasih dari batas-batas emosionalisme yang mencabutnya dari maknanya yang bersifat relasional dan sosial, dan dari fideisme yang mencabutnya dari kemanusiaan dan ruang nafas universal. Di dalam kebenaran, kasih mencerminkan dimensi personal namun juga dimensi publik dari iman di dalam Tuhan yang dikisahkan dalam Kitab Suci, Ia yang adalah Agape dan Logos: Kasih dan Kebenaran, Kasih dan Firman.

4. Karena dipenuhi dengan kebenaran, nilai-nilai kasih dapat dimengerti secara melimpah, kasih dapat dibagikan dan disampaikan. Sesungguhnya, Kebenaran adalah logos yang menciptakan dia-logos, dan karena itu menciptakan komunikasi dan komuni/ persekutuan. Kebenaran, dengan memampukan kaum pria dan wanita untuk melepaskan pandangan-pandangan dan kesan-kesan subyektif, membiarkan mereka bergerak melampaui keterbatasan budaya dan sejarah, dan untuk datang bersama –sama dalam mengevaluasi nilai-nilai dan hakekat dari hal-hal tertentu. Kebenaran membuka dan menyatukan pikiran kita di dalam logos tentang kasih: ini adalah pewartaan Kristiani dan kesaksian tentang kasih. Di dalam konteks sosial dan budaya saat ini, di mana terdapat kecenderungan yang meluas untuk menjadikan kebenaran sebagai sesuatu yang relatif, pelaksanaan kasih di dalam kebenaran membantu orang-orang untuk mengerti bahwa mengikuti nilai-nilai Kristiani tidak hanya bermanfaat, tetapi sangat penting untuk membangun masyarakat yang baik dan untuk perkembangan sejati umat manusia seutuhnya. Sebuah kasih Kristiani tanpa kebenaran akan menjadi kurang lebih seperti sebuah kolam sentimen-sentimen yang baik, yang membantu bagi keterpaduan sosial, tetapi sedikit relevansinya. Dengan perkataan lain, tidak akan ada tempat nyata bagi Tuhan di dunia. Tanpa kebenaran, kasih dibatasi menjadi sebuah ladang yang sempit tanpa hubungan-hubungan. Kasih menjadi terlepas dari rencana-rencana dan proses-proses untuk meningkatkan perkembangan manusia di lingkup universal, di dalam dialog antara pengetahuan dan penerapan.

5. Kasih adalah cinta yang diterima dan diberikan. Kasih adalah “rahmat” (charis). Sumbernya adalah mata air Allah Bapa kepada Allah Putera di dalam Roh Kudus. Kasih turun kepada kita dari Allah Putera. Kasih adalah cinta yang mencipta, yang olehnya kita ada; kasih adalah cinta yang menyelamatkan, yang olehnya kita diciptakan kembali. Kasih dinyatakan dan dihadirkan oleh Kristus (lih. Yoh 13:1) dan “dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Rom 5:5). Sebagai sasaran dari kasih Tuhan, kaum pria dan wanita menjadi sasaran kasih, mereka dipanggil untuk menjadikan diri mereka alat-alat rahmat, untuk membagikan kasih Tuhan dan untuk menjalin rangkaian kasih.

Dinamika kasih yang diterima dan dibagikan ini adalah yang mengakibatkan timbulnya ajaran Gereja di bidang sosial, yang adalah caritas in veritate in re sociali: pewartaan kebenaran kasih Kristus di dalam masyarakat. Ajaran ini adalah sebuah pelayanan bagi kasih, tetapi tempatnya adalah kebenaran. Kebenaran menjaga dan mengekspresikan kekuatan kasih untuk memerdekakan di dalam kejadian-kejadian yang selalu berubah di dalam sejarah. Kasih adalah, pada saat yang sama, kebenaran iman dan kebenaran akal, baik di dalam pembedaan dan juga dalam persatuan dari kedua bidang pengertian tersebut. Perkembangan, kesejahteraan sosial, pencarian sebuah solusi yang memuaskan terhadap problem serius tentang sosial ekonomi yang menyangkut kemanusiaan, semua itu membutuhkan kebenaran ini.

Apa yang dibutuhkan mereka secara lebih lagi adalah bahwa kebenaran ini harus dicintai dan dilakukan. Tanpa kebenaran, tanpa kepercayaan dan cinta kepada apa yang benar, maka tidak ada nurani sosial dan tanggung jawab, dan kegiatan sosial berakhir dengan melayani kebutuhan-kebutuhan pribadi dan logika kekuasaan, yang menghasilkan perpecahan sosial, terutama di dalam masyarakat global pada saat-saat yang sulit seperti sekarang ini.

6. “Caritas in veritate” adalah prinsip yang mengarahkan ajaran sosial Gereja, sebuah prinsip yang mengambil bentuk praktis di dalam kriteria yang mengatur tindakan moral. Secara khusus, saya mempertimbangkan kedua hal ini, tentang hubungan khusus terhadap komitmen untuk perkembangan di dalam sebuah masyarakat global yang berkembang: keadilan dan kebaikan bersama/ common good.

Pertama- tama, keadilan. Ubi societas, ibi ius: setiap masyarakat menggambarkan sistem keadilannya tersendiri. Kasih melampaui keadilan, sebab mengasihi adalah memberi, menawarkan apa yang menjadi “milik saya” kepada orang lain; tetapi tanpa menghilangkan keadilan, yang mendorong kita untuk memberi kepada yang lain, apa yang menjadi “miliknya”, apa yang menjadi haknya karena alasan keberadaannya atau perbuatannya. Saya tidak dapat “memberi” apa yang menjadi milik saya kepada orang lain, tanpa pertama-tama memberikan kepadanya apa yang menjadi haknya dalam keadilan. Jika kita mengasihi orang lain dengan kasih, maka pertama-tama kita akan berbuat adil terhadap mereka. Keadilan bukan hanya tidaklah tiada berhubungan dengan kasih, keadilan bukan hanya tidak merupakan sebuah alternatif atau jalan yang paralel dengan kasih: keadilan adalah tidak terpisahkan dari kasih, ((Cf. Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio (26 March 1967), 22: AAS 59 (1967), 268; Second Vatican Ecumenical Council, Pastoral Constitution on the Church in the Modern World Gaudium et Spes, 69.)) dan menyatu dengannya. Keadilan adalah jalan utama dari kasih, atau dalam perkataan Paus Paulus VI, “ukuran minimum” dari kasih, ((Address for the Day of Development (23 August 1968): AAS 60 (1968), 626-627.)) sebuah bagian integral dari kasih “dalam perbuatan dan dalam kebenaran” (1 Yoh 3:18), yang diajarkan oleh St. Yohanes. Di satu sisi, kasih menuntut kebenaran: pengenalan dan penghormatan untuk hak yang sesuai hukum bagi orang-orang dan bangsa- bangsa. Kasih berjuang keras untuk membangun kota duniawi sesuai dengan hukum dan keadilan. Di lain pihak, kasih mengatasi keadilan dan melengkapinya di dalam logika memberi dan memaafkan. ((Cf. John Paul II, Message for the 2002 World Day of Peace: AAS 94 (2002), 132-140.)) Kota duniawi dimajukan tidak saja hanya dengan hubungan antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban, tetapi secara lebih besar dan lebih mendasar adalah dengan hubungan pemberian yang melebihi apa yang disyaratkan, belas kasihan dan persekutuan. Kasih selalu mewujudkan kasih Tuhan di dalam hubungan antar manusia juga, kasih memberikan nilai teologis dan penyelamatan kepada semua komitmen bagi keadilan di dunia.

7. Sebuah pertimbangan lain adalah kebaikan bersama. Mengasihi seseorang adalah menginginkan kebaikan bagi orang itu dan mengambil langkah-langkah efektif untuk mewujudkannya. Di samping kebaikan dari perorangan, terdapat kebaikan yang dikaitkan dengan kehidupan di masyarakat: yaitu kebaikan bersama. Kebaikan ini adalah kebaikan untuk “kita semua” yang terdiri dari perorangan, keluarga dan kelompok-kelompok menengah yang bersama-sama membentuk masyarakat. ((Cf. Second Vatican Ecumenical Council, Pastoral Constitution on the Church in the Modern World Gaudium et Spes, 26.)) Kebaikan ini adalah kebaikan yang dicari tidak demi dirinya sendiri, tetapi untuk orang-orang yang menjadi bagian dari komunitas sosial dan yang hanya dapat secara sungguh-sungguh dan secara efektif mengejar kebaikan mereka di dalamnya. Menginginkan kebaikan bersama dan berjuang untuk mencapainya adalah sebuah persyaratan bagi keadilan dan kasih. Mengambil sikap demi kebaikan bersama, di satu sisi adalah untuk menjadi prihatin terhadap, dan di sisi lain, adalah untuk menyediakan diri bagi, segala institusi yang kompleks yang memberikan tatanan bagi kehidupan masyarakat, secara yuridis, pemerintahan sipil, politis, dan budaya, yang membuatnya menjadi polis atau “kota”. Semakin kita berjuang keras untuk mencapai kebaikan bersama yang sesuai dengan kebutuhan riil sesama kita, semakin efektiflah kita mengasihi mereka. Setiap orang Kristen dipanggil untuk menerapkan kasih ini, dengan cara yang sesuai dengan derajat pengaruh yang dimilikinya di dalam polis/ kota tersebut. Ini adalah jalur institusional – kita dapat juga menyebutnya jalur politis- dari kasih, yang tidak kurang istimewa dan efektif daripada jenis kasih yang bertemu secara langsung dengan sesama, di luar perantaraan kelembagaan dari kota tersebut. Jika dijiwai oleh kasih, komitmen terhadap kebaikan bersama mempunyai nilai yang lebih luhur daripada yang dimiliki oleh kedudukan sekular dan politik semata-mata. Seperti semua komitmen keadilan, komitmen ini memiliki tempat di dalam kesaksian tentang kasih ilahi yang membuka jalan bagi kekekalan melalui kegiatan sementara [di dunia]. Kegiatan duniawi manusia, ketika diinspirasikan dan didukung oleh kasih, menyumbang kepada pembangunan kota Tuhan yang universal, yang menjadi tujuan dari sejarah keluarga besar umat manusia. Di dalam sebuah masyarakat global yang meningkat, kebaikan bersama dan usaha untuk mencapainya tidak dapat gagal untuk mengangkat segi-segi keluarga besar umat manusia secara keseluruhan, yaitu, komunitas bangsa-bangsa dan negara, ((Cf. John XXIII, Encyclical Letter Pacem in Terris (11 April 1963): AAS 55 (1963), 268-270.)) dengan cara sedemikian untuk membentuk kota duniawi di dalam kesatuan dan kedamaian, yang menunjukkan pada tingkat tertentu, sebuah antisipasi dan penggambaran dari kota Tuhan yang tidak terbagi-bagi.

8. Di tahun 1967, ketika ia mengeluarkan ensiklik Populorum Progressio, pendahulu saya yang terhormat, Paus Paulus VI menerangkan tema yang besar tentang perkembangan bangsa-bangsa dengan terang yang megah tentang kebenaran dan terang yang lembut tentang kasih Kristus. Beliau mengajarkan bahwa hidup di dalam Kristus adalah faktor utama dan faktor penting bagi perkembangan ((Cf. no. 16: loc. cit., 265.)) dan beliau mempercayakan kepada kita tugas untuk menjalani jalur perkembangan [umat manusia] dengan seluruh hati dan akal budi kita, ((Cf. ibid., 82: loc. cit., 297.)) maksudnya adalah dengan semangat kasih dan kebijaksanaan kebenaran. Adalah kebenaran pertama dari kasih Tuhan, rahmat yang dicurahkan kepada kita, yang membuka hidup kita kepada karunia dan membuatnya mungkin untuk mengharapkan sebuah “perkembangan keseluruhan manusia secara pribadi dan semua umat manusia”,   ((Ibid., 42: loc. cit., 278.)) untuk mengharapkan kemajuan “dari kondisi manusia yang kurang baik menuju keadaan yang lebih manusiawi”, ((Ibid., 20: loc. cit., 267.)) yang dicapai dengan mengatasi kesulitan-kesulitan yang tak terhindari di sepanjang jalan.

Pada jarak sekitar empat puluh tahun dari penerbitan ensiklik tersebut, saya bermaksud untuk menyatakan penghargaan dan untuk menghormati kenangan akan Paus Paulus VI, dengan membahas kembali pengajaran-pengajaran beliau tentang perkembangan manusia seutuhnya dan mengambil tempat saya di dalam jalur yang ditandai oleh ajaran- ajaran tersebut, agar dapat menerapkannya pada masa sekarang. Penerapan yang berkesinambungan di dalam keadaan-keadaan saat ini dimulai dengan ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, yang telah dipilih oleh pelayan Tuhan Paus Yohanes Paulus II untuk menandai 20-tahun peringatan penerbitan Populorum Progressio. Sampai pada saat itu, hanya Rerum Novarum yang pernah diperingati secara demikian. Sekarang, bahwa dua puluh tahun telah berlalu, saya menyatakan keyakinan saya bahwa Populorum Progressio layak untuk dianggap sebagai “Rerum Novarum pada masa sekarang”, yang memberikan terang atas perjalanan umat manusia menuju persatuan.

9. Kasih di dalam kebenaran — caritas in veritate — adalah tantangan besar bagi Gereja di dalam dunia yang sekarang menjadi berubah dan teresapi globalisasi. Resiko pada masa kita sekarang adalah bahwa kemerdekaan de facto dari bangsa dan negara-negara tidak dibarengi dengan interaksi etis dari hati nurani dan pikiran yang dapat menimbulkan perkembangan sejati umat manusia. Hanya di dalam kasih, diterangi oleh terang akal budi dan iman, maka [akan] menjadi mungkin untuk mengejar tujuan-tujuan perkembangan yang memiliki nilai yang lebih manusiawi dan bernilai menjadikan manusia sebagai manusia. Pembagian barang- barang dan sumber daya, yang olehnya dihasilkan perkembangan otentik, tidak dijamin oleh kemajuan teknis semata dan hubungan- hubungan kebutuhan, tetapi oleh potensi kasih yang mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (lih. Rom 12:21), yang membuka jalan menuju kerjasama timbal balik dari hati nurani dan kebebasan/ kemerdekaan.

Gereja tidak mempunyai solusi- solusi teknis untuk ditawarkan ((Cf. Second Vatican Ecumenical Council, Pastoral Constitution on the Church in the Modern World Gaudium et Spes, 36; Paul VI, Apostolic Letter Octogesima Adveniens (14 May 1971), 4: AAS 63 (1971), 403-404; John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus (1 May 1991), 43: AAS 83 (1991), 847.)) dan tidak mengklaim “untuk mempengaruhi dengan cara apapun di dalam politik Negara.” ((Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 13: loc. cit., 263-264.)) Namun demikian, Gereja mempunyai misi kebenaran untuk dipenuhi, di dalam setiap waktu dan keadaan, untuk sebuah masyarakat yang bersahabat dengan manusia, dengan martabatnya dan dengan panggilan hidupnya. Tanpa kebenaran, adalah mudah untuk jatuh dalam pandangan yang empiris dan skeptis tentang kehidupan, tidak dapat naik melebihi tingkatan praktis karena kurangnya minat dalam memahami nilai-nilai –kadangkala bahkan arti-arti – yang diperlukan untuk menimbang dan mengarahkan kehidupan. Kesetiaan kepada manusia mensyaratkan kesetiaan kepada kebenaran, yang adalah satu-satunya jaminan bagi kebebasan/ kemerdekaan (lih. Yoh 8:32) dan bagi kemungkinan perkembangan manusia seutuhnya. Untuk alasan ini Gereja mencari kebenaran, mengumumkannya tanpa lelah, dan mengenalinya ketika hal tersebut diwujudkan. Misi kebenaran ini adalah sesuatu yang tidak pernah ditinggalkan oleh Gereja. Ajaran sosial Gereja adalah sisi khusus dari pewartaan ini: Ajaran sosial ini adalah pelayanan terhadap kebenaran yang memerdekakan kita. Terbuka bagi kebenaran, dari cabang pengetahuan apapun ia datang, ajaran sosial Gereja menerimanya, menyusunnya menjadi satu kesatuan bagian-bagian yang di dalamnya ajaran itu ditemukan, dan menyampaikannya di dalam pola kehidupan yang terus menerus berubah di dalam masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara. ((Cf. Pontifical Council for Justice and Peace, Compendium of the Social Doctrine of the Church, 76.))

BAB SATU

PESAN DARI POPULORUM PROGRESSIO

10. Pembacaan Populorum Progressio, yang lebih dari empat puluh tahun sesudah penerbitannya, mengundang kita untuk tetap setia kepada pesannya tentang kasih dan kebenaran, yang dilihat dalam konteks keseluruhan dari magisterium khusus Paus Paulus VI, dan secara umum, dalam tradisi ajaran sosial Gereja. Lebih lagi, sebuah evaluasi diperlukan tentang istilah-istilah yang berbeda yang menyatakan masalah perkembangan [manusia] dewasa ini, dibandingkan dengan empat puluh tahun yang lalu. Sehingga, cara pandang yang benar adalah, yang menjadi pandangan Tradisi iman rasuli, ((Cf. Benedict XVI, Address at the Inauguration of the Fifth General Conference of the Bishops of Latin America and the Caribbean – Aparecida, 13 May 2007.)) sebuah warisan baik yang kuno maupun baru, yang tanpanya Populorum Progressio akan menjadi dokumen tanpa akar — dan hal-hal tentang perkembangan akan ter-reduksi menjadi hanya data sosiologis.

11. Penerbitan Populorum Progressio terjadi setelah penutupan Konsili Vatikan II, dan di dalam alinea pembuka, ensiklik tersebut menyatakan hubungan yang dekat dengan Konsili tersebut. ((Cf. nos. 3-5: loc. cit., 258-260.)) Dua puluh tahun kemudian, di dalam Sollicitudo Rei Socialis Yohanes Paulus II, di dalam masanya, menekankan hubungan yang berbuah antara ensiklik terdahulu dengan Konsili Vatikan II, dan secara khusus dengan Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes. ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Sollicitudo Rei Socialis (30 December 1987), 6-7: AAS 80 (1988), 517-519.)) Saya juga ingin mengingat di sini pentingnya Konsili Vatikan II bagi surat ensiklik Paulus VI dan untuk keseluruhan Magisterium sosial sesudahnya dari para Paus. Konsili menyelidiki lebih dalam apa yang sudah selalu menjadi milik kebenaran iman, yaitu bahwa Gereja, yang berada pada pelayanan Tuhan, adalah berada pada pelayanan dunia, dalam pengertian kasih dan kebenaran. Paulus VI menjabarkan dari visi ini untuk mencapai dua kebenaran yang penting. Pertama adalah bahwa seluruh Gereja, dalam keberadaannya dan tindakannya – ketika ia mengumumkan, ketika ia merayakan, ketika ia melakukan perbuatan-perbuatan kasih – terikat di dalam usaha memajukan perkembangan manusia seutuhnya/ secara keseluruhan. Ia mempunyai peran publik yang mengatasi dan di atas kegiatan-kegiatan kasih dan pendidikan: semua kekuatan yang dibawanya demi memajukan manusia dan persaudaraan universal diwujudkan ketika ia dapat bekerja di dalam iklim kemerdekaan. Di dalam kasus yang tidak sedikit, kemerdekaan itu dihalangi oleh larangan-larangan dan penganiayaan, atau dibatasi ketika kehadiran Gereja secara publik direduksi menjadi semata-mata kegiatan kemanusiaan saja. Kebenaran kedua adalah bahwa perkembangan manusia secara otentik berkaitan dengan keseluruhan pribadi manusia di dalam setiap dimensi. ((Cf. Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 14: loc. cit., 264.)) Tanpa sudut pandang kehidupan ilahi, ruang pernafasan kemajuan manusia di dunia ini disangkal. Terperangkap dalam sejarah, kemajuan manusia ini mempunyai resiko berkurang menjadi semata-mata pengumpulan kekayaan, sehingga kemanusiaan kehilangan keberanian untuk melayani kebaikan-kebaikan yang lebih tinggi, untuk melayani inisiatif-inisiatif yang luhur dan tidak terpusat untuk kepentingan pribadi, yang dituntut oleh kasih universal. Manusia tidak berkembang melalui kekuatannya sendiri, dan perkembangan tidak diberikan langsung kepadanya. Menurut sejarah, sering dikatakan bahwa penciptaan lenbaga-lembaga adalah cukup untuk menjamin pemenuhan hak-hak manusia untuk perkembangannya. Sayangnya, terlalu banyak kepercayaan diberikan kepada lembaga-lembaga itu, seolah-olah mereka dapat mengirimkan sasaran yang diinginkan secara otomatis. Kenyataannya, lembaga-lembaga tersebut tidaklah cukup, sebab perkembangan manusia seutuhnya pada dasarnya terletak pada sebuah panggilan hidup, dan oleh karena itu, melibatkan sebuah pengambilan tanggung jawab secara bebas di dalam solidaritas di pihak setiap orang. Lagipula, perkembangan itu mensyaratkan visi yang transenden dari pribadi seseorang, perkembangan tersebut membutuhkan Tuhan: tanpa Tuhan, perkembangan manusia itu disangkal ataupun dipercayakan hanya kepada manusia, yang jatuh dalam suatu perangkap karena berpikir bahwa ia dapat menghasilkan keselamatan bagi dirinya sendiri, dan berakhir dengan mengajukan bentuk perkembangan yang kurang manusiawi. Hanya melalui sebuah pertemuan dengan Tuhan, kita dapat melihat di dalam diri orang lain sesuatu yang lebih dari sekedar ciptaan yang lain, ((Cf. Benedict XVI, Encyclical Letter Deus Caritas Est (25 December 2005), 18: AAS 98 (2006), 232.)) untuk mengenal gambaran ilahi di dalam diri orang lain sehingga dapat sungguh-sungguh memahaminya dan bertumbuh di dalam kasih yang dewasa yang “memperhatikan dan mempedulikan orang lain”. ((Ibid., 6: loc cit., 222.))

12. Hubungan antara Populorum Progressio dan Konsili Vatikan II tidak berarti bahwa magisterium sosial yang diajarkan Paulus VI menandai pemutusan dengan ajaran para Paus pendahulunya, sebab Konsili Vatikan II merupakan sebuah penyelidikan yang mendalam dari magisterium ini di dalam kesinambungan dengan kehidupan Gereja. ((Cf. Benedict XVI, Christmas Address to the Roman Curia, 22 December 2005.)) Dalam hal ini, kejelasan tidak didukung oleh pembagian-pembagian abstrak tertentu dari ajaran sosial Gereja, yang menerapkan kategori-kategori terhadap ajaran sosial dari Paus yang tidak berhubungan dengan ajaran itu. Ini bukan kasus adanya dua tipologi ajaran sosial, yang satu sebelum Konsili dan yang lainnya setelah Konsili, yang berbeda satu dengan lainnya: sebaliknya, hanya ada satu pengajaran yang konsisten dan pada saat yang bersamaan, baru. ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Sollicitudo Rei Socialis, 3: loc. cit., 515.)) Adalah satu hal untuk memperhatikan ciri-ciri khusus satu ensiklik atau yang lain, tentang pengajaran seorang Paus atau Paus lainnya, tetapi adalah sesuatu hal yang lain jika seseorang kehilangan pandangan akan kesesuaian dari keseluruhan corpus pengajaran tersebut. ((Cf. ibid., 1: loc. cit., 513-514.)) Kesesuaian tidak berarti sebuah sistem yang tertutup; sebaliknya itu berarti kesetiaan yang dinamis terhadap terang yang diterima. Ajaran sosial Gereja menerangi masalah-masalah baru yang terus timbul dengan terang yang tak berubah. ((Cf. ibid., 3: loc. cit., 515.))    Ajaran ini menjaga karakter yang tetap dan historis dari ajaran “warisan”, ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Laborem Exercens (14 September 1981), 3: AAS 73 (1981), 583-584.)) yang dengan ciri-ciri khususnya, merupakan bagian dan bingkisan dari Tradisi Gereja yang selalu hidup. ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 3: loc. cit., 794-796.)) Ajaran sosial dibangun di atas pondasi yang dipercayakan oleh para Rasul kepada para Bapa Gereja, dan kemudian diterima dan selanjutnya diselidiki oleh para Doktor/ pujangga besar Gereja. Ajaran ini secara definitif menunjuk kepada Sang Manusia Baru, kepada “Adam yang akhir [yang] menjadi roh yang menghidupkan (1 Kor 15:45), dasar dari kasih yang “tiada berkesudahan” (1 Kor 13:8). Ajaran ini dibuktikan oleh para orang kudus dan oleh mereka yang memberikan hidup mereka untuk Kristus Penyelamat kita di dalam hal keadilan dan perdamaian. Ajaran sosial merupakan ekspresi tugas nubuatan dari Imam Agung yang tertinggi untuk memberikan bimbingan apostolik/ rasuli kepada Gereja Kristus dan untuk melihat tuntutan-tuntutan kebutuhan penginjilan. Untuk alasan-alasan ini, Populorum Progressio, yang terletak di dalam arus Tradisi besar, dapat tetap berbicara kepada kita saat ini.

13. Sebagai tambahan terhadap hubungan yang penting dengan keseluruhan ajaran sosial Gereja, Populorum Progressio berhubungan erat dengan keseluruhan magisterium Paulus VI, terutama magisterium sosial-nya. Ajaran beliau adalah sungguh sebuah ajaran sosial yang sangat penting: beliau menggarisbawahi sangat diperlukannya Injil untuk membangun masyarakat sesuai dengan kebebasan dan keadilan, di dalam sudut pandang yang ideal dan historis dari sebuah peradaban yang dijiwai oleh kasih. Paulus VI dengan jelas memahami bahwa pertanyaan sosial telah mendunia ((Cf. Encyclical Letter Populorum Progressio, 3: loc. cit., 258.))  dan beliau menangkap hubungan antara dorongan menuju persatuan umat manusia dan idealisme Kristiani yang mencakup satu keluarga bangsa-bangsa di dalam solidaritas dan persaudaraan. Di dalam pengertian perkembangan, yang dimengerti di dalam istilah manusia dan Kristiani, beliau memperkenalkan inti dari pesan sosial Kristiani, dan beliau mengusulkan kasih Kristiani sebagai kekuatan prinsip yang melayani perkembangan manusia. Didorong oleh keinginan untuk membuat kasih Kristus menjadi nampak secara penuh kepada kaum pria dan wanita di jaman sekarang, Paulus VI membahas dengan keras pertanyaan-pertanyaan etis yang penting, tanpa menyerah kepada kelemahan-kelemahan budaya pada jamannya.

14. Dalam Surat Apostolik Octogesima Adveniens tahun 1971, Paulus VI merefleksikan tentang arti-arti politik, dan bahaya yang terkandung dalam pandangan-pandangan utopia dan ideologis yang menempatkan sisi-sisi etis dan kemanusiaan dalam bahaya. Ini adalah hal-hal yang berhubungan erat dengan perkembangan. Sayangnya, ideologi yang negatif terus berkembang. Paulus VI telah memperingatkan terhadap [ancaman] ideologi teknokratis yang sangat umum dewasa ini, ((Cf. ibid., 34: loc. cit., 274.)) sadar sepenuhnya akan bahaya mempercayakan seluruh proses perkembangan hanya kepada teknologi semata, sebab dengan cara itu, perkembangan manusia dapat kehilangan arah. Teknologi, dilihat di dalam dirinya sendiri, mengandung dua hal yang bertentangan. Jika di satu pihak, beberapa orang dewasa ini lebih condong untuk mempercayakan seluruh proses perkembangan kepada teknologi, di pihak yang lain kita menyaksikan peningkatan ideologi- ideologi yang menolak in toto nilai perkembangan itu sendiri, yang terlihat sebagai anti kemanusiaan secara radikal dan hanya semata-mata sumber penurunan [kemanusiaan]. Ini menuju kepada sebuah penolakan, tidak saja terhadap jalan yang menyimpang dan tidak adil di mana kemajuan sering diarahkan, tetapi juga terhadap penemuan-penemuan ilmiah sendiri, yang jika digunakan dengan benar dapat berperan sebagai sebuah kesempatan perkembangan bagi semua orang. Ide tentang sebuah dunia tanpa perkembangan menunjukkan kurangnya kepercayaan terhadap manusia dan terhadap Tuhan. Oleh karena itu, adalah suatu kesalahan serius untuk menganggap rendah kemampuan manusia untuk melakukan pengendalian terhadap penyimpangan- penyimpangan dari perkembangan atau untuk mengabaikan kenyataan bahwa manusia pada dasarnya mempunyai kecenderungan untuk “menjadi lebih”. Meng-idealkan kemajuan teknik atau memandang utopia tentang kembalinya kepada tingkat asal kodrat manusia, adalah dua hal yang kontras untuk melepaskan kemajuan dari evaluasi moral dan karenanya, dari tanggung jawab kami.

15. Dua dokumen Paulus VI, tanpa hubungan langsung dengan doktrin sosial – ensiklik Humanae Vitae (25 Juli 1968) dan Wejangan Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 December 1975) — adalah sangat penting untuk melukiskan perkembangan arti kemanusiaan secara penuh seperti yang diajarkan Gereja. Karena itu, adalah sangat membantu untuk mempertimbangkan tulisan-tulisan ini juga dalam hubungannya dengan Populorum Progressio.

Ensiklik Humanae Vitae menekankan baik arti persatuan maupun prokreatif dari seksualitas, sehingga meletakkan pasangan suami istri pada pondasi masyarakat, yang saling menerima satu sama lain, dalam perbedaan dan dalam persamaan: sebuah pasangan, yang terbuka terhadap kehidupan. ((Cf. nos. 8-9: AAS 60 (1968), 485-487; Benedict XVI, Address to the participants at the International Congress promoted by the Pontifical Lateran University on the fortieth anniversary of Paul VI’s Encyclical “Humanae Vitae, 10 May 2008.)) Ini bukan sebuah pertanyaan tentang moralitas perorangan semata: Humanae Vitae menyatakan hubungan yang kuat antara etika kehidupan dan etika sosial, yang mengarahkan ke dalam daerah baru dari ajaran magisterium yang telah sedikit demi sedikit dibicarakan di dalam beberapa dokumen seri, yang terakhir adalah Ensiklik Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae. ((Cf. Encyclical Letter Evangelium Vitae (25 March 1995), 93: AAS 87 (1995), 507-508.)) Gereja dengan kuat memegang hubungan antara etika kehidupan dan etika sosial, sadar sepenuhnya bahwa “sebuah masyarakat kurang kuat pondasinya jika, di satu sisi, ia menyatakan nilai-nilai seperti martabat manusia, keadilan dan kedamaian, namun di lain sisi, sebaliknya bertindak radikal dengan memperbolehkan atau mentolerir aneka cara di mana kehidupan manusia direndahkan dan dirusak, terutama ketika kehidupan manusia itu lemah dan tersingkir”. ((Ibid., 101: loc. cit., 516-518.))

Wejangan Apostolik, Evangelii Nuntiandi, pada tempatnya, berhubungan erat dengan perkembangan, sebab, menurut perkataan Paulus VI, “evangelisasi tidak akan genap jika ia tidak memperhitungkan peran timbal balik yang tak terputuskan antara Injil dan kehidupan manusia yang nyata, baik pribadi maupun sosial”. ((No. 29: AAS 68 (1976), 25.)) “Antara evangelisasi dan kemajuan manusia – perkembangan dan pembebasan – sesungguhnya terdapat hubungan-hubungan yang mendalam” ((Ibid., 31: loc. cit., 26.)) : berdasarkan pendapat ini, Paulus VI secara jelas mengetengahkan hubungan antara pengajaran Kristus dan kemajuan pribadi manusia di dalam masyarakat. Kesaksian terhadap kasih Kristus, melalui perbuatan-perbuatan keadilan, perdamaian, dan perkembangan, adalah bagian dan paket evangelisasi, sebab Yesus Kristus yang mengasihi kita, menaruh perhatian-Nya pada keseluruhan manusia. Ajaran-ajaran yang penting ini membentuk dasar bagi aspek missionaris ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Sollicitudo Rei Socialis, 41: loc. cit., 570-572.)) dari ajaran sosial Gereja, yang menjadi elemen yang esensial dari evangelisasi. ((Cf. ibid.; Id., Encyclical Letter Centesimus Annus, 5, 54: loc. cit., 799, 859-860.)) Ajaran sosial Gereja mengumumkan dan memberi kesaksian tentang iman. Ajaran ini adalah sebuah alat dan sebuah kerangka yang sangat diperlukan bagi pembentukan di dalam iman.

16. Di dalam Populorum Progressio, Paulus VI mengajarkan bahwa kemajuan, di dalam asal usulnya dan esensinya, adalah pertama-tama sebuah penggilan hidup: “di dalam rencana Tuhan, setiap manusia dipanggil untuk mengembangkan dan memenuhi dirinya, sebab setiap kehidupan adalah sebuah panggilan.” ((No. 15: loc. cit., 265.)) Ini adalah sesuatu yang memberikan kekuasaan kepada keterlibatan Gereja di dalam keseluruhan hal perkembangan. Jika perkembangan hanya berkaitan dengan aspek-aspek teknikal dari hidup manusia, dan tidak dengan arti ziarah manusia melalui sejarah di dalam kawanan dengan sesama umat manusia lainnya, dan tidak dengan adanya tujuan dari perjalanan itu, maka Gereja tidak mempunyai kuasa untuk berbicara tentang itu. Paulus VI, seperti Leo XIII sebelumnya di dalam Rerum Novarum, ((Cf. ibid., 2: loc. cit., 258; Leo XIII, Encyclical Letter Rerum Novarum (15 May 1891): Leonis XIII P.M. Acta, XI, Romae 1892, 97-144; John Paul II, Encyclical Letter Sollicitudo Rei Socialis, 8: loc. cit., 519-520; Id., Encyclical Letter Centesimus Annus, 5: loc. cit., 799.)) mengetahui bahwa ia mengemban tugas yang layak bagi jabatannya dengan menebarkan terang Injil terhadap masalah-masalah sosial pada jamannya. ((Cf. Encyclical Letter Populorum Progressio, 2, 13: loc. cit., 258, 263-264.))

Menganggap perkembangan sebagai sebuah panggilan hidup adalah mengenali, di satu sisi, bahwa perkembangan berasal dari sebuah panggilan yang transenden (mengatasi semua), dan di lain sisi, bahwa perkembangan tidak dapat, dengan dirinya sendiri, untuk memberikan artinya yang tertinggi. Bukan tanpa alasan bahwa kata “panggilan” juga ditemukan di dalam perikop yang lain di dalam Ensiklikal, di mana kita membaca: “Tak ada kemanusiaan yang sejati, selain dari yang terbuka kepada Sang Absolut, dan yang sadar akan panggilan yang memberi arti sesungguhnya dari kehidupan manusia.” ((Ibid., 42: loc. cit., 278.)) Visi perkembangan ini ada di inti Populorum Progressio, dan visi ini ada di dalam semua refleksi dari Paulus VI tentang kebebasan/ kemerdekaan, tentang kebenaran, dan tentang kasih di dalam perkembangan. Visi ini juga menjadi alasan penting mengapa Ensiklik itu masih relevan pada jaman kita sekarang ini.

17. Sebuah panggilan hidup adalah sebuah panggilan yang mensyaratkan jawaban yang bebas dan bertanggung jawab. Perkembangan manusia seutuhnya mensyaratkan kebebasan yang bertanggung jawab dari individu dan bangsa-bangsa: tidak ada struktur yang dapat menjamin perkembangan ini di atas tanggung jawab manusia. “Tipe-tipe messiamisme yang memberikan janji-janji namun menciptakan ilusi-ilusi” ((Ibid., 11: loc. cit., 262; cf. John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 25: loc. cit., 822-824.)) selalu membangun kasus mereka di atas penolakan akan segi transenden dari perkembangan, dengan keyakinan bahwa hal itu tergantung sepenuhnya pada kontrol mereka. Keamanan yang semu ini menjadi sebuah kelemahan, sebab ia melibatkan penurunan manusia menjadi hamba, menjadi alat semata-mata bagi perkembangan, sedangkan kerendahan hati mereka yang menerima panggilan hidup diubah menjadi otonomi yang sejati, sebab mereka dijadikan merdeka. Paulus VI tidak ragu bahwa hambatan-hambatan dan bentuk-bentuk dari pengkondisian menghambat perkembangan, namun beliau juga yakin bahwa “setiap orang, apapun pengaruh-pengaruh yang mempengaruhinya, tetap menjadi alat kesuksesan atau kegagalannya sendiri.” ((Encyclical Letter Populorum Progressio, 15: loc. cit., 265.)) Kebebasan ini memperhatikan tipe perkembangan yang sedang kita pertimbangkan, tetapi ia juga mempengaruhi keadaan-keadaan dari kurangnya perkembangan/ underdevelopment yang tidak disebabkan karena kebetulan atau keharusan sejarah, tetapi yang disebabkan oleh tanggung jawab manusia. Inilah sebabnya mengapa “bangsa-bangsa yang kelaparan sedang membuat permohonan dramatis kepada bangsa-bangsa yang terberkati dengan limpahnya”. ((Ibid., 3: loc. cit., 258.)) Ini juga adalah sebuah panggilan hidup/ pengabdian, sebuah panggilan yang diserukan oleh subyek yang bebas kepada subyek bebas yang lainnya dalam rangka pengambilan tanggungjawab bersama. Paulus VI mempunyai perasaan yang tajam tentang pentingnya struktur ekonomi dan lembaga-lembaga, tetapi ia mempunyai juga perasaan yang jelas tentang kodrat mereka sebagai alat-alat kebebasan manusia. Hanya jika perkembangan itu bebas/ merdeka maka hal itu dapat menjadi seutuhnya manusiawi; hanya di dalam sebuah iklim kebebasan yang bertanggung jawab, perkembangan dapat tumbuh dengan cara yang memuaskan.

18. Di samping mensyaratkan kebebasan, perkembangan manusia seutuhnya sebagai panggilan hidup juga menuntut penghormatan terhadap kebenarannya. Panggilan menuju kemajuan mendorong kita untuk “melakukan lebih, mengetahui lebih agar mempunyai lebih”. ((Ibid., 6: loc. cit., 260.)) Tetapi di sini terdapat masalah: apakah artinya “untuk menjadi lebih”? Paulus VI menjawab dengan pertanyaan yang menyatakan kualitas esensial dari perkembangan “otentik”: perkembangan itu harus integral, yaitu seutuhnya, menyeluruh, artinya, ia harus memajukan kebaikan bagi setiap orang dan semua umat manusia”. ((Ibid., 14: loc. cit., 264.)) Di tengah visi antropologis yang berbeda dan saling bersaingan yang diusulkan di dalam masyarakat sekarang ini, bahkan lebih [jika] dibandingkan dengan jaman Paulus VI, visi Kristiani mempunyai ciri khusus tentang pernyataan dan pembenaran nilai yang tak bisa berubah dari kemanusiaan manusia dan arti dari pertumbuhannya. Panggilan Kristiani untuk perkembangan membantu menaikkan kemajuan seluruh umat manusia dan keseluruhan manusia. Seperti yang dituliskan oleh Paulus VI: “Apa yang kami anggap penting adalah manusia, setiap manusia dan setiap kelompok manusia, dan kami bahkan memasukkan keseluruhan umat manusia”. ((Ibid.; cf. John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 53-62: loc. cit., 859-867; Id., Encyclical Letter Redemptor Hominis (4 March 1979), 13-14: AAS 71 (1979), 282-286.)) Di dalam memajukan perkembangan, iman Kristiani tidak mengandalkan hak-hak istimewa atau posisi kekuasaan, atau bahkan pada jasa-jasa orang-orang Kristen (meskipun ini terjadi dan terus terjadi bersamaan dengan keterbatasan-keterbatasan mereka), ((Cf. Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 12: loc. cit., 262-263.)) tetapi hanya pada Kristus, yang kepada-Nya setiap panggilan otentik terhadap perkembangan manusia seutuhnya harus diarahkan. Injil adalah sangat fundamental bagi perkembangan, sebab di dalam Injil, Kristus, “di dalam wahyu misteri Allah Bapa dan kasih-Nya, secara penuh menyatakan umat manusia kepada dirinya sendiri” ((Second Vatican Ecumenical Council, Pastoral Constitution on the Church in the Modern World Gaudium et Spes, 22.))  Diajar oleh Tuhannya, Gereja memeriksa tanda-tanda jaman dan menginterpretasikan tanda- tanda itu, menawarkan kepada dunia “apa yang dimilikinya sebagai sifatnya yang khas: sebuah visi global tentang manusia dan tentang umat manusia”. ((Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 13: loc. cit., 263-264.)) Tepatnya karena Tuhan memberikan sebuah persetujuan “ya” kepada manusia, ((Cf. Benedict XVI, Address to the Participants in the Fourth National Congress of the Church in Italy, Verona, 19 October 2006.)) manusia tidak dapat gagal untuk membuka dirinya terhadap panggilan ilahi untuk mengejar perkembangan dirinya sendiri. Kebenaran dari perkembangan tersebut bersandar pada kelengkapannya: jika itu tidak melibatkan keseluruhan manusia dan setiap manusia, itu bukan perkembangan yang sejati. Ini adalah pesan utama dari Populorum Progressio, yang berlaku untuk sekarang dan sepanjang masa. Perkembangan manusia seutuhnya dalam hal kodrat, sebagai sebuah tanggapan terhadap panggilan dari Tuhan Pencipta, ((Cf. Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 16: loc. cit., 265.)) menuntut pemenuhan diri di dalam “kemanusiaan transenden yang memberikan [kepada manusia] kemungkinan terbesar untuk kesempurnaannya: ini adalah tujuan yang tertinggi dari perkembangan pribadi”. ((Ibid.)) Maka panggilan Kristiani menuju perkembangan ini menerapkan baik hal kodrat dan adikodrati/ ilahi; itulah sebabnya mengapa, “ketika Tuhan dikaburkan, kemampuan kita untuk mengenal tatanan kodrat, tujuan dan ‘kebaikan’ mulai semakin berkurang”.  ((Benedict XVI, Address to young people at Barangaroo, Sydney, 17 July 2008.))

19. Akhirnya, visi perkembangan sebagai panggilan membawa bersamanya tempat utama bagi kasih di dalam perkembangan tersebut. Paulus VI, dalam Surat Ensiklik- nya Populorum Progressio, mengemukakan bahwa sebab-sebab kurangnya perkembangan bukan berasal dari tatanan materi. Beliau mengajak kita untuk mencari sebab-sebab itu di dalam dimensi yang lain di dalam diri manusia: pertama, di dalam kehendak/ keinginan, yang sering kali mengabaikan tugas-tugas solidaritas, kedua, di dalam pemikiran, yang tidak selalu memberikan arahan yang layak bagi keinginan. Oleh karena itu, dalam mengejar perkembangan, terdapat kebutuhan untuk “pemikiran yang mendalam dan refleksi dari orang-orang yang bijak dalam mencari humanisme yang baru, yang akan memampukan manusia modern untuk menemukan dirinya secara baru”. ((Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 20: loc. cit., 267.)) Tetapi, ini bukan segalanya. Kurangnya perkembangan mempunyai sebab yang bahkan lebih penting daripada kekurangan pemikiran yang mendalam: itu adalah “kekurangan persaudaraan di antara pribadi-pribadi dan bangsa-bangsa”. ((Ibid., 66: loc. cit., 289-290.)) Akankah mungkin untuk mencapai persaudaraan ini hanya dengan usaha manusia sendiri? Karena masyarakat menjadi lebih global, ia membuat bagi kita sesama/ tetangga, namun tidak membuat bagi kita saudara-saudara. Akal budi dengan sendirinya mampu menangkap persamaan antara manusia dan memberikan stabilitas terhadap ko-eksistensi kemasyarakatan mereka, tetapi akal budi tidak dapat menghasilkan persaudaraan. Persaudaraan berasal di dalam panggilan transenden dari Allah Bapa, yang mengasihi kita terlebih dahulu, yang mengajarkan melalui Allah Putera apakah kasih persaudaraan itu. Paulus VI, yang mengemukakan tingkat-tingkat yang bervariasi di dalam proses perkembangan manusia, menempatkan pada puncaknya, setelah menyebut iman, “kesatuan di dalam kasih Kristus yang memanggil kita semua untuk mengambil bagian sebagai anak-anak di dalam kehidupan Allah yang hidup, Bapa bagi semua orang”. ((Ibid., 21: loc. cit., 267-268.))

20. Sudut-sudut pandang ini, yang dibuka oleh Populorum Progressio, tetap fundamental untuk memberikan ruang pernafasan dan arahan bagi komitmen kita terhadap perkembangan bangsa-bangsa. Lagipula, Populorum Progressio berkali-kali menggarisbawahi kebutuhan yang mendesak bagi pembaharuan, ((Cf. nos. 3, 29, 32: loc. cit., 258, 272, 273.)) dan di dalam menghadapi masalah-masalah besar dari ketidakadilan di dalam perkembangan bangsa-bangsa, ensiklik ini menyerukan tindakan berani untuk dilakukan tanpa terlambat. Keadaaan mendesak ini juga adalah akibat dari kasih di dalam kebenaran. Adalah kasih Kristus  yang mendorong kita pada: “caritas Christi urget nos” (2 Kor 5:14). Keadaaan mendesak tidak dijabarkan hanya di dalam benda-benda, tidak diperoleh hanya dari kejadian-kejadian cepat yang beruntun dan masalah-masalah, tetapi juga dari hal itu sendiri yang menjadi taruhannya: perwujudan persaudaraan yang otentik.

Pentingnya tujuan ini adalah seperti menuntut keterbukaan kita untuk memahaminya secara mendalam dan untuk menggerakkan kita sendiri pada tingkatan “hati”, agar dapat memastikan bahwa proses ekonomi dan sosial saat ini berangsur berubah menuju hasil-hasil yang benar-benar manusiawi.

BAB  DUA

PERKEMBANGAN MANUSIA PADA JAMAN KITA

21. Paulus VI mempunyai sebuah visi yang artikulatif dari perkembangan. Beliau memahami istilah untuk memperlihatkan tujuan untuk menyelamatkan bangsa-bangsa, pertama dan utama, dari kelaparan, perampasan, penyakit-penyakit menular dan buta huruf. Dari sudut pandang ekonomi, ini berarti partisipasi aktif, pada pengertian yang setara, di dalam proses ekonomi internasional; dari sudut pandang sosial, ini berarti evolusi mereka menjadi masyarakat yang berpendidikan yang ditandai dengan solidaritas; dari sudut pandang politis itu berarti konsolidasi dari regim demokratik yang mampu menjamin kebebasan dan perdamaian. Setelah banyak tahun terlewati, setelah kita mengamati dengan seksama perkembangan-perkembangan dan sudut-sudut pandang dari rangkaian krisis yang mempengaruhi dunia dewasa ini, kita bertanya, sampai manakah harapan-harapan Paulus VI telah terpenuhi oleh model perkembangan yang diterapkan di dalam dekade baru-baru ini. Oleh karena itu, kita mengenali, bahwa Gereja mempunyai alasan yang baik untuk menjadi prihatin tentang kemampuan dari sebuah masyarakat teknologis yang murni untuk mematok tujuan-tujuan realistis dan untuk menggunakan dengan baik alat-alat dalam wewenangnya. Keuntungan/ profit berguna kalau itu digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang menyediakan suatu pengertian baik tentang bagaimana untuk menghasilkannya dan bagaimana untuk menggunakannya dengan sebaik-baiknya.  Ketika keuntungan/ profit menjadi tujuan eksklusif, jika itu dihasilkan dengan cara yang tidak layak dan tanpa kebaikan bersama sebagai tujuan akhirnya, hal itu beresiko merusak kesehatan dan menciptakan kemiskinan. Perkembangan ekonomi yang diharapkan oleh Paulus VI adalah dimaksudkan untuk menghasilkan pertumbuhan yang nyata, yang menguntungkan setiap orang dan dapat bertahan secara sungguh-sungguh. Adalah benar bahwa pertumbuhan telah terjadi, dan terus menjadi faktor positif yang mengangkat milyaran orang dari kesengsaraan —  baru-baru ini hal ini telah memberikan kepada banyak negara kemungkinan untuk menjadi lakon efektif dalam politik internasional. Tetapi harus diakui bahwa pertumbuhan ekonomi yang sama telah dan terus dibebani oleh kesalahan fungsi-fungsi dan masalah-masalah dramatis, yang dinyatakan secara lebih jelas dengan krisis sekarang ini. Ini memberikan kita pilihan-pilihan yang tidak dapat ditunda mengenai sesuatu yang tidak kurang dari tujuan hidup manusia itu sendiri, yang lebih-lebih lagi  tidak dapat terlepas dari kodratnya. Kekuatan-kekuatan teknis yang bermain, hubungan timbal balik yang global, efek-efek yang merusak dari ekonomi riil yang diatur dengan buruk dan persetujuan finansial yang kebanyakan spekulatif, migrasi dalam skala besar dari bangsa-bangsa, sering diprovokasi oleh keadaan khusus tertentu dan lalu diberikan perhatian yang tidak cukup, penggunaan tak teratur sumber-sumber bumi: semua ini memimpin kita untuk merefleksikan pada ukuran-ukuran yang penting untuk menyediakan sebuah solusi terhadap masalah-masalah yang tidak hanya baru dalam perbandingan terhadap apa yang disampaikan oleh Paus Paulus VI, tetapi juga, di atas semua itu, tentang pengaruh yang kuat yang menentukan atas umat manusia di masa sekarang dan di masa mendatang. Aspek-aspek yang berlainan dari krisis, solusi-solusinya, dan perkembangan baru apapun yang dapat terjadi di masa mendatang, adalah saling berhubungan secara meningkat, mereka menyatakan satu sama lain, mereka mensyaratkan usaha-usaha baru dari pengertian yang menyeluruh dan sebuah rangkuman kemanusiaan yang baru. Kompleksitas dan kegawatan keadaan ekonomi masa kini layak membuat kita prihatin, tetapi kita harus mengambil sikap yang realistis pada saat kita mengambil suatu tanggung jawab dengan percaya diri dan pengharapan, di mana kita dipanggil oleh kemungkinan sebuah dunia yang membutuhkan pembaharuan budaya secara mendalam, sebuah dunia yang perlu untuk menemukan nilai-nilai fundamental untuk membangun masa depan yang lebih baik. Krisis yang terjadi sekarang ini mengharuskan kita untuk merencanakan kembali perjalanan kita, untuk menentukan aturan-aturan baru bagi kita sendiri dan untuk menemukan bentuk-bentuk komitmen yang baru, untuk membangun di atas pengalaman-pengalaman yang positif dan untuk menolak pengalaman-pengalaman yang negatif. Maka, krisis ini menjadi sebuah kesempatan untuk pemahaman, yang di dalamnya membentuk visi baru untuk masa depan.  Di dalam semangat ini, dengan percaya diri bukannya pengunduran diri, layaklah kita membahas kesulitan-kesulitan jaman ini.

22. Dewasa ini, gambaran perkembangan mempunyai banyak lapisan yang bertumpuk-tumpuk. Terdapat banyak jumlah para pemain dan penyebab di dalam kurangnya perkembangan maupun di dalam perkembangan, kesalahan -kesalahan dan jasa-jasanya [dapat] dibedakan. Kenyataan ini seharusnya mendorong kita untuk membebaskan diri sendiri dari ideologi- ideologi, yang sering menyederhanakan realitas dalam cara-cara yang artifisial, dan hal ini seharusnya memimpin kita untuk memeriksa secara obyektif masalah-masalah segi manusia seutuhnya. Seperti yang telah diamati oleh Yohanes Paulus II, garis batas antara negara- negara yang kaya dan yang miskin tidak lagi jelas seperti pada jaman Populorum Progressio. ((Cf. Encyclical Letter, Sollicitudo Rei Socialis, 28: loc. cit., 548-550.)) Kekayaan dunia bertumbuh dalam pengertian absolut, tetapi ketidaksetaraan meningkat. Di dalam negara-negara kaya, sektor-sektor baru dalam masyarakat membuka jalan bagi kemiskinan dan timbullah bentuk-bentuk baru dari kemiskinan. Di daerah-daerah yang lebih miskin beberapa kelompok menikmati semacam “perkembangan super” dari sejenis konsumerisme yang boros yang membentuk sebuah kontras yang tak dapat diterima dengan keadaan-keadaan yang terus menerus menjadi semakin tidak manusiawi. “Skandal ketidaksetaraan yang menyolok” ((Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 9: loc. cit., 261-262.)) terus terjadi. Korupsi dan hal-hal yang illegal sayangnya secara nyata terjadi dalam tingkah laku kelas ekonomi dan politik di negara-negara kaya, baik yang lama dan baru, seperti juga di dalam negara-negara miskin. Di antara mereka yang sering gagal untuk menghormati hak-hak azasi manusia dari para pekerja adalah perusahaan- perusahaan multinasional dan juga produser-produser lokal. Bantuan internasional sering telah dibelokkan dari tujuan-tujuan yang layak, melalui tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab baik di dalam rangkaian para donatur maupun yang menerima bantuan. Demikian juga, dalam konteks sebab-sebab yang tidak bersifat material atau sebab-sebab budaya dari perkembangan dan kurangnya perkembangan/ underdevelopment, kita menemukan pola-pola tanggung jawab yang sama terjadi kembali. Pada sisi negara-negara yang kaya, terdapat semangat yang berlebihan untuk melindungi pengetahuan melalui sebuah tuntutan yang tegas yang terlalu kaku tentang hak pemilikan intelektual, terutama dalam bidang pemeliharaan kesehatan (health care). Pada saat yang sama, di  beberapa negara miskin, model-model budaya dan norma-norma sosial dari tingkah laku tetap ada yang menghindari proses perkembangan.

23. Banyak daerah di dunia kini telah mengalami perubahan yang besar, sekalipun di dalam cara yang problematik dan berbeda-beda, sehingga mengambil tempatnya di antara kekuasaan-kekuasaan besar yang ditentukan untuk memainkan peran-peran yang penting di masa yang akan datang. Tetapi perlu ditekankan bahwa kemajuan yang hanya dari hal ekonomis dan teknologi adalah tidak cukup. Di atas segalanya, perkembangan perlu menjadi sesuatu yang sejati dan menyeluruh/ seutuhnya. Fakta semata kebangkitan dari keterbelakangan ekonomi, meskipun positif, tidak menyelesaikan hal-hal yang kompleks tentang kemajuan manusia, tidak juga untuk negara-ngara yang mempelopori kemajuan tersebut, tidak juga untuk mereka yang secara ekonomi sudah maju, bahkan tidak untuk mereka yang masih miskin, yang dapat menderita tidak hanya melalui bentuk-bentuk eksploitasi lama, tetapi juga dari konsekuensi-konsekuensi negatif dari pertumbuhan yang ditandai dengan ketidakteraturan dan ketidakseimbangan.

Setelah kejatuhan sistem ekonomi dan politik dari negara-negara Komunis di Eropa Timur dan akhir dari blok-blok yang bertentangan, sebuah peninjauan kembali yang menyeluruh bagi perkembangan sangat diperlukan. Paus Yohanes Paulus II menyerukan hal ini, ketika pada tahun 1987 beliau menunjukkan bahwa eksistensi dari blok-blok ini sebagai salah satu dari sebab utama dari kurangnya perkembangan, ((Cf. Encyclical Letter Sollicitudo Rei Socialis, 20: loc. cit., 536-537.)) karena politik-politik menarik sumber-sumber daya dari ekonomi dan dari kebudayaan, and ideologi menghalangi kebebasan/ kemerdekaan. Lagipula, di tahun 1991, setelah kejadian-kejadian tahun 1989, beliau mengajak bahwa, dengan maksud mengakhiri blok-blok, diperlukan suatu rencana komprehensif  untuk perkembangan, tidak hanya di negara-negara tersebut, tetapi juga di negara-negara Barat dan di bagian-bagian lain di dunia yang sedang dalam proses perubahan ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 22-29: loc. cit., 819-830.)) Ini telah dicapai hanya sebagian, dan hal ini masih menjadi tugas nyata yang perlu dilaksanakan, mungkin melalui pilihan-pilihan yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi belakangan ini.

24. Dunia yang terpampang di depan Paulus VI – meskipun masyarakat [saat itu] sudah berubah sampai pada titik di mana beliau dapat berbicara tentang hal-hal sosial dalam istilah-istilah global–  adalah masih kurang terintegrasi dibandingkan dengan dunia sekarang ini. Kegiatan ekonomi dan proses politik keduanya dilaksanakan di dalam daerah geografis yang sama, dan maka dapat saling mendukung satu dengan yang lain. Produksi umumnya mengambil tempat di dalam batas-batas nasional, dan investasi-investasi finasial sepertinya mempunyai sirkulasi yang terbatas di luar negara, sehingga politik dari banyak Negara masih dapat menentukan prioritas-prioritas ekonomi tersebut dan sampai pada taraf tertentu mengatur pelaksanaannya dengan menggunakan alat-alat yang ada dalam kontrol mereka. Oleh karena itu, Populorum Progressio memberikan sebuah peran yang sentral walaupun tidak eksklusif, terhadap “otoritas –otoritas publik”. ((Cf. nos. 23, 33: loc. cit., 268-269, 273-274.))

Pada jaman kita, Negara menemukan dirinya harus membahas keterbatasan-keterbatasan terhadap kekuasaannya yang ditentukan oleh konteks baru dari perdagangan dan keuangan internasional, yang dicirikan dengan mobilitas yang meningkat, baik dalam hal modal finansial dan cara-cara produksi, materi dan bukan materi. Konteks baru ini telah mengubah kekuasaan politik dari Negara.

Dewasa ini, saat kita meresapkan di hati pelajaran-pelajaran dari krisis ekonomi baru-baru ini, yang melihat otoritas-otoritas publik Negara langsung terlibat dalam memperbaiki kesalahan-kesalahan dan kegagalan fungsi, kelihatannya lebih realistis untuk meng-evaluasi kembali peran mereka dan kekuasaan mereka, yang perlu untuk ditinjau kembali secara bijak dan dibentuk kembali agar memampukan mereka, mungkin melalui bentuk-bentuk baru dari perjanjian, untuk menangani tantangan-tantangan dunia sekarang ini. Ketika peran otoritas-otoritas publik telah lebih jelas didefinisikan, seseorang dapat meramalkan sebuah peningkatan di dalam bentuk-bentuk baru dari partisipasi politik, secara nasional dan internasional, yang telah terjadi melalui aktivitas dari organisasi-organisasi yang bekerja di dalam masyarakat sipil; dengan cara ini, dapat diharapkan bahwa kepentingan warga dan partisipasi di dalam res publica akan berakar lebih dalam.

25. Dari sudut pandang sosial, sistem-sistem proteksi dan kesejahteraan, yang sudah ada di banyak negara pada jaman Paulus VI, sedang menemukan kesulitan dan dapat menemukan bahkan lebih besar kesulitan di masa mendatang untuk mencapai tujuan keadilan sosial yang sejati di dalam lingkungan masa kini yang berubah secara menyeluruh. Pasar global telah merangsang pertama-tama dan terutama, pada pihak negara- negara kaya, sebuah pencarian daerah- daerah di mana [dimungkinkan] membeli produksi dengan harga yang semurah-murahnya dengan pandangan untuk mengurangi harga-harga banyak barang, yang meningkatkan kemampuan pembelian dan lalu meningkatkan tingkat perkembangan dalam pengertian peningkatan ketersediaan dari barang-barang konsumsi untuk pasar dalam negeri. Akibatnya, pasar telah menimbulkan bentuk-bentuk baru persaingan antara Negara karena mereka bermaksud menarik bisnis luar negeri untuk menentukan tempat-tempat produksi, melalui alat-alat yang bervariasi, termasuk regim-regim fiscal yang menarik/ favourable fiscal dan deregulasi pasar pekerja. Proses-proses ini telah mengakibatkan penyusutan sistem- sistem keamanan sosial sebagai harga yang harus dibayar untuk pencapaian keuntungan kompetitif yang besar di dalam pasar global, dengan konsekuensi bahaya yang besar bagi hak-hak pekerja, bagi hak-hak azasi manusia dan bagi solidaritas yang berhubungan dengan bentuk-bentuk tradisional dari Negara sosial. Sistem-sistem keamanan sosial dapat kehilangan kemampuan untuk melaksanakan tugas mereka, baik di dalam negara-negara yang berkembang dan di dalam negara-negara yang termasuk di antara negara-negara yang telah lebih dulu berkembang, maupun di dalam negara-negara miskin. Di sini kebijakan-kebijakan keuangan, dengan pemotongan-pemotongan dalam pengeluaran sosial sering dibuat di bawah tekanan dari lembaga-lembaga keuangan internasional, dapat menjadikan para warga menjadi tak kuasa menghadapi resiko-resiko lama dan baru; ketidakberdayaan yang sedemikian ditingkatkan oleh kekurangan proteksi yang efektif di pihak asosiasi para pekerja. Melalui kombinasi dari perubahan sosial dan ekonomis, trade union organizations mengalami kesulitan-kesulitan lebih besar dalam mengemban tugas mereka untuk mewakili kepentingan-kepentingan para pekerja, sebagian disebabkan karena para Pemerintah, dengan alasan-alasan keperluan ekonomi, sering membatasi kebebasan atau kemampuan negosiasi dari serikat pekerja. Oleh karena itu, jaringan-jaringan  tradisional solidaritas memiliki lebih dan lebih lagi halangan untuk diatasi. Seruan-seruan yang berulang kali dikeluarkan di dalam doktrin sosial Gereja, dimulai dengan Rerum Novarum, ((Cf. loc. cit., 135.)) untuk kenaikan dari asosiasi para pekerja yang dapat mempertahankan hak-hak mereka harus dihormati di jaman ini lebih daripada di masa yang lalu, sebagai tanggapan segera dan yang memandang jauh ke depan, terhadap keperluan mendesak untuk bentuk-bentuk kerjasama yang baru di tingkat internasional, dan juga di tingkat lokal.

Mobilitas pekerja, yang disosiasikan dengan sebuah iklim deregulasi, adalah sebuah fenomena yang penting dengan aspek-aspek positif, sebab itu dapat merangsang produksi kekayaan dan pertukaran kebudayaan. Meskipun demikian, ketidakpastian tentang kondisi-kondisi kerja yang disebabkan oleh mobilitas dan deregulasi ketika itu menjadi endemik, cenderung menciptakan bentuk-bentuk baru ketidakstabilan psikologis, yang meningkatkan kesulitan dalam hal penempaan rencana-rencana hidup yang terkait, termasuk rencana tentang perkawinan. Ini mengakibatkan keadaan penurunan manusia, tanpa menyebut tentang pemborosan sumber-sumber daya sosial. Dalam perbandingan dengan korban-korban dari masyarakat industri di jaman lalu, pengangguran di jaman sekarang menyebabkan bentuk-bentuk baru marjinalisasi ekonomi dan krisis sekarang ini hanya dapat membuat keadaan ini menjadi semakin parah. Keluar dari pekerjaan atau menjadi tergantung dari bantuan- bantuan publik atau pribadi untuk jangka waktu yang lama merendahkan kebebasan dan kreativitas seseorang dan keluarganya dan hubungan-hubungan sosial, menyebabkan penderitaan yang besar dalam hal kejiwaan dan kerohanian. Saya ingin mengingatkan semua orang, terutama para pemerintah yang terkait dalam hal meningkatkan asset-aset ekonomis dan sosial, bahwa modal utama yang harus dijaga dan dihargai adalah manusia, diri manusia di dalam martabatnya: “Manusia adalah sumber, fokus dan tujuan dari semua kehidupan ekonomi dan sosial.” ((Second Vatican Ecumenical Council, Pastoral Constitution on the Church in the Modern World Gaudium et Spes, 63.))

26. Dalam bidang kebudayaan, dibandingkan dengan jaman Paulus VI, perbedaan bahkan semakin nyata. Pada saat itu kebudayaan-kebudayaan secara relatif lebih terdefinisi dan mempunyai kesempatan lebih besar untuk mempertahankan diri dari usaha-usaha untuk menggabungkan budaya-budaya menjadi satu. Sekarang ini kemungkinan hubungan timbal balik telah meningkat dengan sangat pesat, meningkatkan terbukanya kesempatan-kesempatan yang baru bagi dialog antar budaya: sebuah dialog bahwa, kalau itu menjadi efektif, harus mengacu pada sebuah pengetahuan yang mendalam tentang identitas khusus dari rekan-rekan dialog yang bervariasi. Janganlah dilupakan bahwa peningkatan komersialisasi pertukaran budaya dewasa ini mengakibatkan dua jenis bahaya. Pertama, seseorang dapat mengamati sebuah budaya eklektik/ campuran yang sering diangkat tanpa dikritisi: budaya-budaya dengan mudahnya ditempatkan sejajar satu dengan yang lainnya dan dipandang sebagai sesuatu yang sama secara substansial dan dapat ditukarkan satu dengan yang lain. Ini secara mudah menghasilkan relativisme yang tidak melayani dialog yang sejati antar budaya; di bidang sosial, budaya relativisme mempunyai akibat bahwa kelompok-kelompok budaya eksis berdampingan, tetapi tetap terpisahkan, tanpa dialog yang otentik dan karenanya tanpa integrasi yang benar. Kedua, terdapat bahaya yang berlawanan, yaitu tentang penyamaan tingkat budaya dan penerimaan secara indiskriminatif dari tipe-tipe tingkah laku dan gaya hidup. Dengan cara ini seseorang dapat kehilangan pandangan akan arti yang mendalam dari budaya negara-negara yang berbeda, dari tradisi-tradisi bangsa-bangsa yang bermacam-macam, yang melaluinya seseorang mendefinisikan dirinya dalam hubungan dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang kehidupan. ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 24: loc. cit., 821-822.)) Apa yang umum dari eklektisme dan penyamaan tingkat budaya adalah pemisahan budaya dari kodrat manusia. Karena itu, budaya-budaya tidak dapat lagi mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kodrat yang mengatasi mereka, ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Veritatis Splendor (6 August 1993), 33, 46, 51: AAS 85 (1993), 1160, 1169-1171, 1174-1175; Id., Address to the Assembly of the United Nations, 5 October 1995, 3.)) dan manusia akhirnya direduksi menjadi sebuah statistik budaya semata-mata. Ketika ini terjadi, kemanusiaan mempunyai resiko baru dalam hal perbudakan dan manipulasi.

27. Kehidupan di dalam negara-negara miskin masih sangat tidak aman sebagai akibat dari kurangnya makanan, dan keadaan tersebut dapat menjadi lebih parah: kelaparan masih mengakibatkan sejumlah besar korban-korban di antara mereka yang seperti Lazarus, tidak diizinkan untuk mengambil tempat mereka di meja orang kaya, yang bertentangan dengan harapan Paulus VI. ((Cf. Encyclical Letter Populorum Progressio, 47: loc. cit., 280-281; John Paul II, Encyclical Letter Sollicitudo Rei Socialis, 42: loc. cit., 572-574.)) Berilah makan pada orang lapar (lih Mt 25: 35, 37, 42) adalah keharusan etis bagi Gereja universal, seperti ia menanggapi ajaran-ajaran dari Pendirinya, Tuhan Yesus Kristus, mengenai solidaritas dan pembagian harta milik. Lagipula, di era global, penghapusan kelaparan dunia telah menjadi sebuah persyaratan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas dunia ini. Kelaparan ini tidak semata-mata tergantung dari kekurangan benda-benda material seperti kekurangan sumber-sumber sosial, yang terpenting darinya adalah yang bersifat kelembagaan. Dengan kata lain, apa yang hilang, adalah sebuah jaringan lembaga-lembaga ekonomi yang mampu untuk menjamin akses regular untuk makanan dan air yang cukup untuk kebutuhan-kebutuhan pangan, dan juga yang mampu menangani kebutuhan-kebutuhan dasar dan kepentingan-kepentingan yang terjadi dari krisis pangan yang sesungguhnya, apakah karena sebab-sebab alami atau ketiadaan tanggungjawab politis, secara nasional dan internasional. Masalah ketidak-amanan dalam hal pangan harus ditangani dengan perspektif jangka panjang, menghapuskan sebab-sebab struktural yang mengakibatkannya dan meningkatkan perkembangan pertanian pada negara-negara yang lebih miskin. Ini dapat dilakukan dengan investasi pada infrastruktur di daerah pedesaan, sistem pengairan, transport, organisasi pasar dan di dalam perkembangan dan penyebaran teknologi pertanian yang dapat menggunakan tenaga manusia, alam dan sumber sosio- ekonomis yang lebih tersedia pada tingkat lokal, pada saat bersamaan juga menjamin kesinambungan mereka pada jangka waktu yang lama. Semua ini perlu dicapai dengan keterlibatan komunitas-komunitas lokal di dalam pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi tanah pertanian. Dengan perspektif ini, dapatlah menjadi berguna untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang terbuka terhadap penggunaan yang layak dari teknik-teknik tradisional dan juga teknik pertanian yang inovatif, selalu dengan anggapan bahwa ini telah dipertimbangkan, setelah diuji secukupnya, menjadi layak, menghormati lingkungan dan memperhatikan kepentingan bangsa-bangsa yang paling berkekurangan. Pada saat yang bersamaan, persoalan tentang reformasi agraria yang layak di negara-negara berkembang seharusnya tidak diabaikan. Hak untuk memperoleh makanan, seperti halnya hak untuk memperoleh air, mempunyai tempat yang penting dalam pengejaran hak-hak yang lain, yang dimulai dengan hak dasar untuk hidup. Oleh karena itu, adalah sangat penting untuk mengusahakan sebuah nurani publik yang menganggap bahwa makanan dan akses terhadap air adalah hak-hak universal untuk semua umat manusia, tanpa perbedaan atau diskriminasi. (( Cf. Benedict XVI, Message for the 2007 World Food Day: AAS 99 (2007), 933-935.)) Selanjutnya, adalah penting untuk menekankan bahwa solidaritas dengan negara-negara miskin di dalam proses perkembangan dapat menuju ke sebuah solusi terhadap krisis global sekarang ini, seperti yang telah diperkirakan baru-baru ini oleh para politisi dan direktur institusi internasional. Melalui bantuan untuk negara-negara yang miskin ekonominya dengan rencana-rencana finansial yang diinspirasikan oleh solidaritas — sehingga negara-negara ini dapat melangkah untuk memenuhi kebutuhan para warga mereka sendiri dalam hal barang-barang konsumen dan perkembangan —   tidak saja pertumbuhan ekonomi yang sejati dapat dihasilkan, tetapi sebuah kontribusi dapat dibuat menuju penopangan kapasitas produksi negara-negara kaya yang ber- resiko dikompromikan oleh krisis tersebut.

28. Salah satu yang aspek yang paling menonjol dari perkembangan pada saat ini adalah persoalan penting tentang penghormatan terhadap kehidupan, yang tidak dapat dilepaskan sama sekali dari persoalan tentang perkembangan bangsa-bangsa. Hal ini adalah sebuah aspek yang telah memperoleh keutamaan secara meningkat belakangan ini, yang mengharuskan kita untuk memperluas konsep kita tentang kemiskinan ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Evangelium Vitae, 18, 59, 6364: loc. cit., 419-421, 467-468, 472-475.)) dan kurangnya perkembangan, untuk melibatkan persoalan-persoalan yang terkait dengan penerimaan kehidupan, terutama di dalam kasus-kasus di mana kehidupan dihalangi dengan berbagai cara.

Tak hanya keadaan kemiskinan yang masih mempengaruhi tingkat kematian bayi di banyak kawasan, tetapi beberapa bagian dunia masih mengalami praktek-praktek untuk mengendalikan kependudukan, di pihak pemerintah-pemerintah yang sering mendorong kontrasepsi dan bahkan sampai sejauh menentukan aborsi. Di negara-negara yang telah berkembang secara ekonomi, peraturan yang bertentangan dengan kehidupan sangat tersebar luas, dan hal itu telah membentuk sikap-sikap moral dan praktek, yang menyumbangkan penyebaran mental anti-kelahiran; seringkali usaha-usaha dibuat untuk meng-ekspor mentalitas ini ke Negara-negara lain seperti seolah-olah hal itu adalah sebuah bentuk kemajuan budaya.

Beberapa Organisasi non-pemerintah bekerja aktif untuk menyebarkan aborsi, seringnya mendukung praktek- parktek sterilisasi di negara-negara miskin, di beberapa kasus bahkan tidak memberitahukan para wanita yang terlibat. Lagipula, terdapat alasan untuk menduga bahwa bantuan perkembangan seringkali dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan khusus pemeliharaan kesehatan (health- care) yang secara de facto melibatkan penekanan pengukuran pengontrolan kelahiran dengan kuatnya. Hal-hal selanjutnya yang memprihatinkan adalah hukum-hukum yang memperbolehkan euthanasia, dan juga tekanan dari kelompok-kelompok lobby, secara nasional maupun internasional, yang condong kepada pengakuan euthanasia secara yuridis.

Keterbukaan terhadap kehidupan terletak di pusat perkembangan sejati. Ketika masyarakat bergerak menuju penolakan atau penekanan terhadap kehidupan, ia akan berakhir dengan tidak lagi menemukan motivasi dan energi yang diperlukan untuk mengusahakan kebaikan sejati bagi manusia. Jika sensitivitas pribadi dan sosial menuju penerimaan sebuah kehidupan hilang, maka bentuk-bentuk lainnya tentang penerimaan yang berharga bagi masyarakat juga layu. ((Cf. Benedict XVI, Message for the 2007 World Day of Peace, 5.)) Penerimaan terhadap kehidupan memperkuat jaringan moral dan membuat orang-orang dapat saling membantu. Dengan mengusahakan keterbukaan terhadap kehidupan, bangsa-bangsa yang kaya dapat memahami kebutuhan bangsa-bangsa yang miskin dengan lebih baik, mereka dapat menghindari penggunaan sumber-sumber daya intelektual dan ekonomi secara besar-besaran untuk memuaskan keinginan-keinginan yang egois dari para warga mereka sendiri, dan sebaliknya mereka dapat memajukan kegiatan-kegiatan kebajikan dalam perspektif produksi yang baik secara moral dan ditandai dengan solidaritas, yang menghormati hak fundamental untuk hidup dari setiap bangsa dan setiap pribadi.

29. Terdapat aspek lain di kehidupan modern yang sangat berhubungan erat dengan perkembangan: penolakan hak kebebasan beragama. Saya tidak mengacu hanya kepada pergolakan-pergolakan dan konflik-konflik yang terus dipertengkarkan di dunia demi motif-motif agama, bahkan sering motif agama digunakan semata-mata sebagai kedok untuk alasan-alasan lainnya, seperti keinginan untuk kekuasaan dan kekayaan. Saat ini, kenyataannya, orang-orang kerap membunuh di dalam nama Tuhan yang kudus, seperti yang sering diakui dan diratapi secara publik oleh pendahulu saya Yohanes Paulus II dan saya sendiri. ((Cf. John Paul II, Message for the 2002 World Day of Peace, 4-7, 12-15: AAS 94 (2002), 134-136, 138-140; Id., Message for the 2004 World Day of Peace, 8: AAS 96 (2004), 119; Id., Message for the 2005 World Day of Peace, 4: AAS 97 (2005), 177-178; Benedict XVI, Message for the 2006 World Day of Peace, 9-10: AAS 98 (2006), 60-61; Id., Message for the 2007 World Day of Peace, 5, 14: loc. cit., 778, 782-783.)) Kekerasan meletakkan rem pada perkembangan otentik dan menghambat evolusi bangsa-bangsa menuju kesejahteraan yang lebih besar dalam hal sosial ekonomi dan rohani. Ini secara khusus terlihat pada terrorisme yang dimotivasi oleh fundamentalisme, ((Cf. John Paul II, Message for the 2002 World Day of Peace, 6: loc. cit., 135; Benedict XVI, Message for the 2006 World Day of Peace, 9-10: loc. cit., 60-61.)) yang menghasilkan duka cita, kehancuran dan kematian, menghalangi dialog antara negara-negara dan mengalihkan sumber-sumber daya esktensif dari pengunaan-penggunaan mereka bagi perdamaian dan masyarakat sipil.

Tetapi harus ditambahkan bahwa, sepertihalnya fanatisme agama yang sampai konteks tertentu menghalangi penerapan hak kebebasan beragama, juga, demikian juga peningkatan keacuhan terhadap agama (religious indifference) yang dilakukan dengan sengaja atau atheisme praktis di pihak banyak negara menghalangi persyaratan-persyaratan untuk perkembangan bangsa-bangsa, menghilangkan mereka dari sumber-sumber daya spiritual dan manusia. Tuhan adalah penjamin perkembangan manusia, karena, setelah menciptakan manusia sesuai dengan gambaran-Nya, Ia juga menetapkan martabat transenden bagi para pria dan wanita dan mengenyangkan kerinduan yang tertanam di dalam diri mereka untuk “menjadi lebih”. Manusia bukanlah sebuah atom yang hilang tidak disengaja di dalam sebuah alam semesta ((Cf. Benedict XVI, Homily at Mass, Islinger Feld, Regensburg, 12 September 2006.)) : ia adalah ciptaan Tuhan, yang telah dipilih Tuhan untuk dianugerahi jiwa yang kekal dan yang selalu dikasihi oleh-Nya. Jika manusia hanya merupakan buah dari kebetulan atau kebutuhan, atau jika ia harus merendahkan cita-cita kepada cakrawala dunia yang terbatas di mana ia hidup, jika semua realitas adalah semata-mata sejarah dan budaya, dan manusia tidak mempunyai sebuah kodrat yang mengatasi dirinya di dalam kehidupan ilahi, maka seseorang dapat berbicara tentang pertumbuhan atau evolusi, tetapi bukan perkembangan. Ketika Negara memajukan, mengajarkan, atau mengadakan bentuk-bentuk atheisme praktis, Negara menghalangi para warganya dari kekuatan moral dan spiritual yang sangat diperlukan untuk pencapaian perkembangan manusia seutuhnya dan Negara merintangi mereka dari pergerakan maju dengan dinamisme yang diperbaharui saat mereka berjuang untuk menawarkan tanggapan manusiawi yang lebih murah hati terhadap kasih ilahi. ((Cf. Benedict XVI, Encyclical Letter Deus Caritas Est, 1: loc. cit., 217-218.)) Dalam konteks hubungan-hubungan budaya, komersial dan politik, kadang dapat terjadi bahwa negara-negara yang sudah maju secara ekonomi atau negara-negara yang sedang berkembang mengekspor pandangan yang kurang baik tentang manusia dan tujuan hidupnya kepada negara-negara miskin. Ini adalah kerusakan yang disebabkan oleh “perkembangan super” ((John Paul II, Encyclical Letter Sollicitudo Rei Socialis, 28: loc. cit., 548-550.))  terhadap perkembangan otentik ketika hal itu disertai oleh “kurangnya perkembangan moral”. ((Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 19: loc. cit., 266-267.))

30. Dalam konteks ini, tema perkembangan manusia seutuhnya bahkan mencakup arti-arti yang lebih luas: hubungan korelasi antara elemen-elemen yang banyak mensyaratkan komitmen untuk membantu perkembangan interaksi dari tingkat-tingkat pengetahuan manusia yang berbeda-beda dalam rangka menaikkan perkembangan otektik bangsa-bangsa. Seringkali dikira bahwa perkembangan, atau ukuran-ukuran sosial dan ekonomi yang menyertainya, hanya mensyaratkan untuk diterapkan melalui kerja sama. Namun demikian, kerja sama ini, harus diberi pengarahan, sebab “semua kegiatan sosial melibatkan sebuah ajaran”. ((Ibid., 39: loc. cit., 276-277.)) Dalam hal kerumitan masalah-masalahnya, sangat jelas bahwa berbagai disiplin harus bekerja sama melalui pertukaran inter-disipliner yang teratur. Kasih tidak membuang pengetahuan, namun sebaliknya, mensyaratkan, menaikkan, dan menghidupkannya dari dalam. Pengetahuan tidak pernah murni hasil kerja dari akal budi. Pengetahuan tentu dapat dikurangi menjadi [hanya] perhitungan dan percobaan, tetapi jika ia bercita-cita sebagai kebijaksanaan yang dapat mengarahkan manusia dalam terang awal mula manusia, dan tujuan akhir hidupnya, maka pengetahuan harus “dibumbui” dengan “garam” kasih. Perbuatan-perbuatan tanpa pengetahuan adalah kebutaan, dan pengetahuan tanpa kasih adalah kemandulan. Memang, “pribadi yang dihidupkan oleh kasih sejati bekerja dengan ahlinya untuk menemukan sebab-sebab penderitaan, untuk menemukan sarana-sarana untuk melawannya dan untuk menanggulanginya dengan pasti”. ((Ibid., 75: loc. cit., 293-294.)) Dihadapi dengan fenomena yang terbentang di hadapan kita, kasih dalam kebenaran mensyaratkan pertama-tama bahwa kita mengetahui dan mengerti, mengenali dan menghormati keahlian khusus dari setiap tingkat pengetahuan. Kasih bukanlah sesuatu ekstra yang ditambahkan, seperti sebuah appendix terhadap sebuah pekerjaan yang telah dirangkum dalam setiap disiplin yang berbeda-beda: kasih mengikat mereka [berbagai disiplin] dalam dialog sejak dari awal mula. Tuntutan-tuntutan kasih tidak bertentangan dengan tuntutan-tuntutan akal budi. Pengetahuan manusia tidaklah cukup dan kesimpulan-kesimpulan ilmu pengetahuan tidak dapat menentukan sendiri jalan menuju perkembangan manusia seutuhnya. Selalu ada kebutuhan untuk mendorong ke arah yang lebih maju:  ini adalah yang disyaratkan oleh kasih dalam kebenaran. ((Cf. Benedict XVI, Encyclical Letter Deus Caritas Est, 28: loc. cit., 238-240.)) Meskipun demikian, pergi melampaui, tidak pernah berarti meninggalkan kesimpulan-kesimpulan akal, ataupun menentang hasil-hasilnya. Kecerdasan dan kasih tidaklah berada dalam wadah yang berbeda: kasih adalah kaya dalam kecerdasan dan kecerdasan adalah kepenuhan kasih.

31. Ini berarti bahwa evaluasi moral dan penemuan ilmu pengetahuan harus berjalan berdampingan, dan bahwa kasih harus menghidupi mereka di dalam keseluruhan inter-disiplin yang serasi. Ajaran sosial Gereja, yang mempunyai “sebuah dimensi interdisiplin yang penting”, ((John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 59: loc. cit., 864.)) dapat menerapkan, di dalam sudut pandang ini, sebuah fungsi keberdayagunaan yang luar biasa. Ajaran ini mengizinkan iman, teologi, metafisik dan ilmu pengetahuan untuk datang bersama-sama di dalam usaha yang saling membangun dalam pelayanan terhadap umat manusia. Di sinilah terutama bahwa ajaran sosial Gereja menampakkan dimensi kebijaksanaannya. Paulus VI telah melihat dengan jelas di antara sebab-sebab kurangnya perkembangan (underdevelopment), terdapat kekurangan dalam hal kebijaksanaan dan permenungan, kekurangan pemikiran yang mampu merumuskan rangkuman yang dapat mengarahkan, ((Cf. Encyclical Letter Populorum Progressio, 40, 85: loc. cit., 277, 298-299.)) yang daripadanya “sebuah pandangan yang jelas dari semua aspek ekonomi, sosial, budaya dan rohani”, ((Ibid., 13: loc. cit., 263-264.)) disyaratkan. Pembagian/ segmentasi pengetahuan yang berlebihan, ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Fides et Ratio (14 September 1998), 85: AAS 91 (1999), 72-73.))  penolakan metafisik oleh ilmu-ilmu pengetahuan manusia, ((Cf. ibid., 83: loc. cit., 70-71.)) kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam dialog antara ilmu pengetahuan dan teologi adalah merusak, tidak hanya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga terhadap perkembangan bangsa-bangsa, sebab hal-hal ini membuatnya lebih sulit untuk melihat keseluruhan kebaikan manusia di dalam dimensi-dimensi yang bermacam-macam. “Perluasan konsep kita tentang akal dan penerapannya” ((Benedict XVI, Address at the University of Regensburg, 12 September 2006.)) adalah sangat diperlukan jika kita harus berhasil dalam menimbang semua elemen yang terlibat dengan secukupnya, di dalam masalah perkembangan dan dalam hal penyelesaian masalah-masalah sosial ekonomi.

32. Elemen-elemen baru yang penting dalam gambaran perkembangan bangsa-bangsa dewasa ini dalam banyak kasus menuntut solusi-solusi yang baru. Ini harus ditemukan bersama, dengan menghormati hukum-hukum yang layak untuk setiap elemen dan di dalam terang pandangan manusia seutuhnya, yang mencerminkan aspek-aspek yang berbeda dari manusia, yang dilihat melalui lensa yang dimurnikan oleh kasih. Pemusatan pandangan yang hebat dan solusi-solusi yang memungkinkan akan timbul menerangi, tanpa adanya komponen dasar hidup manusia yang dikaburkan.

Martabat pribadi manusia dan tuntutan-tuntutan keadilan mensyaratkan, secara khusus sekarang ini, agar pilihan-pilihan ekonomi tidak menyebabkan peningkatan perbedaan dalam kekayaan secara berlebihan dan secara moral tidak dapat diterima, ((Cf. Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 33: loc. cit., 273-274.)) dan bahwa kita terus memprioritaskan tujuan kesempatan lapangan kerja yang tetap bagi setiap orang. Semua hal dipertimbangkan, ini juga disyaratkan oleh “logika ekonomi”. Melalui peningkatan ketimpangan sosial yang sistematik, baik di dalam sebuah negara maupun di antara populasi-populasi negara yang berbeda-beda (yaitu peningkatan yang besar dalam hal kemiskinan relatif), tak hanya mengganggu kesatuan sosial, sehingga menempatkan demokrasi pada kondisi beresiko, tetapi juga mengganggu ekonomi, melalui pengikisan progresif dari “modal sosial”: jaringan hubungan kepercayaan, saling ketergantungan, dan hormat terhadap peraturan, yang semuanya sangat diperlukan untuk bentuk apapun juga tentang kehidupan kebersamaan masyarakat sipil.

Ilmu pengetahuan ekonomi mengatakan pada kita bahwa ketidak-amanan struktural menghasilkan sikap-sikap anti-produktif yang memboroskan sumber-sumber daya manusia, karena para pekerja cenderung untuk menyesuaikan diri secara pasif terhadap mekanisme otomatis daripada bersikap kreatif. Tentang hal ini juga, terdapat persamaan pandangan antara ilmu pengetahuan ekonomi dan evaluasi moral. Biaya-biaya manusia selalu melibatkan biaya ekonomi, dan ekonomi yang tidak berfungsi selalu melibatkan biaya-biaya manusia.

Haruslah diingat bahwa pengurangan budaya ke [arah] dimensi teknik, bahkan jika itu menaruh simpati pada keuntungan jangka pendek, dalam jangka panjang menghambat usaha saling memperkaya dan dinamika kerjasama. Adalah sangat penting untuk membedakan antara pertimbangan-pertimbangan jangka pendek maupun jangka panjang dalam hal ekonomi atau sosiologi. Merendahkan tingkat perlindungan yang sesuai dengan hak-hak para pekerja, atau membuang mekanisme pembagian kekayaan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan bersaing suatu negara di era internasional, menghambat pencapaian perkembangan yang dapat bertahan lama. Lagipula, akibat-akibat manusia dari kecenderungan-kecenderungan yang terjadi baru-baru ini ke arah ekonomi jangka pendek –seringkali jangka sangat pendek– perlu untuk di-eveluasi secara seksama. Ini mensyaratkan permenungan lebih jauh dan lebih dalam dalam hal arti ekonomi dan tujuan-tujuannya, ((Cf. John Paul II, Message for the 2000 World Day of Peace, 15: AAS 92 (2000), 366.)) dan juga peninjauan kembali yang mendalam dan mengarah pada jangka panjang dari model perkembangan dewasa ini, agar dapat memperbaiki gangguan-gangguan fungsi dan penyelewengan-penyelewengan. Ini adalah dituntut, bagaimanapun juga, oleh tingkat bumi/ dunia ini dalam hal kesehatan ekologi; terutama ini disyaratkan oleh krisis budaya dan moral manusia, yang gejala-gejalanya telah sangat jelas terjadi selama beberapa waktu di seluruh dunia.

33. Lebih dari empat puluh tahun setelah  Populorum Progressio, tema dasarnya, yaitu kemajuan, tetap merupakan masalah terbuka, ynag dibuat semakin akut dan mendesak oleh krisis ekonomi dan keuangan yang terjadi baru-baru ini. Jika beberapa tempat di dunia, dengan sejarah kemiskinan, telah mengalami perubahan-perubahan yang hebat dalam hal pertumbuhan ekonomi dan keterlibatan mereka dalam produksi dunia, tempat-tempat yang lain masih hidup di dalam sebuah situasi keterbelakangan yang dapat dibandingkan dengan masa Paulus VI, dan di dalam banyak kasus, malah dapat dikatakan lebih mundur. Adalah penting bahwa beberapa kasus dalam situasi ini dijelaskan di dalam Populorum Progressio, seperti tarif-tarif yang tinggi yang dibebankan oleh negara-negara yang telah berkembang secara ekonomi, yang membuat sulitnya bagi produk-produk negara-negara miskin untuk memperoleh kedudukan di pasar negara-negara kaya. Selain itu, penyebab yang lain, yang hanya disebutkan sepintas di dalam Ensiklikal tersebut, kini telah timbul dengan tingkat kejelasan yang lebih besar. Sebuah kasus dalam hal ini adalah evaluasi dari proses dekolonisasi, yang pada waktu itu sedang mencuat. Paulus VI berharap untuk melihat perjalanan menuju otonomi yang terbentang dengan bebas dan dalam damai. Setelah lebih dari empat puluh tahun, kita harus mengakui betapa sulitnya perjalanan ini, baik karena bentuk-bentuk baru dari kolonialisme dan ketergantungan yang terus berlanjut kepada kekuasaan-kekuasaan yang lama dan kekuasaan-kekuasaan asing yang baru maupun karena ketiadaan tanggung jawab di dalam negara-negara itu sendiri yang telah mencapai kemerdekaan.

Keistimewaan baru yang prinsip adalah meledaknya saling ketergantungan secara mendunia, yang umum dikenal dengan globalisasi. Paulus VI telah meramalkannya sebagian, tetapi langkah perkembangan yang begitu ganas tersebut tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Berasal dari negara-negara yang telah berkembang secara ekonomi, proses ini secara natural telah menyebar untuk melibatkan semua ekonomi. Itu telah menjadi kekuatan prinsip yang mendorong di belakang kemunculan [suatu negara] dari keadaan kekurangan perkembangan di seluruh kawasan, dan hal itu sendiri mewakili sebuah kesempatan yang besar. Namun demikian, tanpa bimbingan kasih dalam kebenaran, kekuatan global ini dapat menyebabkan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menciptakan kotak-kotak baru di dalam keluarga besar manusia. Oleh karena itu kasih dan kebenaran menghadapkan kita dengan sebuah tantangan yang sama sekali baru dan kreatif, sesuatu yang tentunya besar dan kompleks. Ini adalah tentang perluasan lingkup akal dan membuatnya mampu untuk mengetahui dan mengarahkan kekuatan-kekuatan baru yang sangat kuat ini,  yang menghidupkan kekuatan-kekuatan ini di dalam sudut pandang “peradaban kasih” tersebut yang bijinya telah ditanamkan oleh Tuhan di dalam setiap bangsa, di dalam setiap budaya.

 

BAB TIGA

PERSAUDARAAN, PERKEMBANGAN EKONOMI DAN MASYARAKAT SIPIL

34. Kasih di dalam kebenaran menempatkan manusia di hadapan pengalaman karunia yang menakjubkan. Hal pemberian yang melebihi apa yang disyaratkan ada di dalam hidup kita dalam banyak bentuk, yang sering tidak dikenali karena pandangan murni konsumeristik dan utilitarian di dalam hidup. Manusia diciptakan untuk menjadi karunia, yang mengekspresikan dan menghadirkan dimensinya yang transenden. Seringkali manusia modern diyakinkan secara keliru bahwa ia adalah perancang utama dari dirinya sendiri, hidupnya dan masyarakatnya. Ini adalah sebuah anggapan yang mengalir dari keadaan tertutup secara egois dalam dirinya sendiri, dan ini adalah sebuah akibat – dalam istilah iman–  dari dosa asal. Kebijaksanaan Gereja telah selalu menunjuk kepada kehadiran dosa asal di dalam kondisi- kondisi sosial dan di dalam struktur masyarakat: “Pengingkaran kenyataan bahwa manusia mempunyai kodrat yang terluka yang condong kepada kejahatan menyebabkan adanya kesalahan-kesalahan serius di dalam area pendidikan, politik, kegiatan sosial dan moral”. ((Catechism of the Catholic Church, 407; cf. John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 25: loc. cit., 822-824.)) Di dalam daftar area di mana efek-efek merusak dari dosa jelas terjadi, ekonomi telah termasuk di dalamnya untuk sekian waktu sekarang. Kita mempunyai bukti kuat akan hal ini pada saat ini. Keyakinan bahwa manusia akan cukup dengan sendirinya dan dapat dengan sukses menghapuskan kejahatan di dalam sejarah dengan perbuatannya sendiri, telah membuatnya mencampuradukkan kebahagiaan dan keselamatan dengan bentuk-bentuk kekayaan material dan kegiatan sosial yang tetap ada. Lalu, keyakinan bahwa ekonomi harus bersifat otonom, bahwa itu harus diberi tameng dari “pengaruh-pengaruh” dari sebuah karakter moral, telah memimpin manusia untuk menyalahgunakan proses ekonomi di dalam cara yang seluruhnya merusak. Pada jangka waktu yang panjang, keyakinan-keyakinan ini telah memimpin kepada sistem- sistem ekonomi, sosial dan politik yang menginjak-injak kebebasan pribadi dan sosial, dan karenanya tidak dapat mewujudkan keadilan yang mereka janjikan. Seperti yang telah saya katakan di dalam Surat Ensiklik Letter saya Spe Salvi, sejarah menjadi kehilangan pengharapan Kristiani, ((Cf. no. 17: AAS 99 (2007), 1000.)) kehilangan sumber daya sosial yang kuat untuk melayani perkembangan manusia seutuhnya, yang berakar pada kebebasan dan di dalam keadilan. Pengharapan membesarkan akal dan memberikan kepadanya kekuatan untuk mengarahkan keinginan. ((Cf. ibid., 23: loc. cit., 1004-1005.)) Pengharapan telah hadir di dalam iman, memang diwujudkan dengan iman. Kasih di dalam kebenaran mengambil makanannya dari pengharapan dan, pada saat yang sama mewujudkan pengharapan. Sebagai karunia mutlak yang diberikan cuma-cuma oleh Tuhan, pengharapan memenuhi hidup kita sebagai sesuatu yang tidak merupakan hak kita, sesuatu yang mengatasi setiap hukum keadilan. Karunia secara kodratnya melampaui jasa, aturannya adalah yang melimpah dengan ruahnya. Karunia menempati tempat pertama di dalam jiwa kita sebagai tanda kehadiran Tuhan di dalam kita, sebuah tanda akan apa yang diharapkan-Nya dari kita. Kebenaran – yang adalah karunia, seperti halnya kasih–  adalah sesuatu yang lebih besar dari kita, seperti yang diajarkan oleh Santo Agustinus. ((Saint Augustine expounds this teaching in detail in his dialogue on free will (De libero arbitrio, II, 3, 8ff.). He indicates the existence within the human soul of an “internal sense”. This sense consists in an act that is fulfilled outside the normal functions of reason, an act that is not the result of reflection, but is almost instinctive, through which reason, realizing its transient and fallible nature, admits the existence of something eternal, higher than itself, something absolutely true and certain. The name that Saint Augustine gives to this interior truth is at times the name of God (Confessions X, 24, 35; XII, 25, 35; De libero arbitrio II, 3, 8), more often that of Christ (De magistro 11:38; Confessions VII, 18, 24; XI, 2, 4).)) Demikian juga kebenaran tentang diri kita, tentang hati nurani kita, adalah pertama-tama dikaruniakan kepada kita. Di dalam proses berpikir, kebenaran bukan merupakan sesuatu yang kita hasilkan, melainkan sesuatu yang selalu ditemukan, atau lebih baik, sesuatu yang diterima. Kebenaran, seperti halnya kasih, “adalah bukan direncanakan atau diinginkan, tetapi sepertinya terletak sendiri di dalam diri manusia”. ((Benedict XVI, Encyclical Letter Deus Caritas Est, 3: loc. cit., 219.))

Oleh karena ia merupakan sebuah karunia yang diterima oleh setiap orang, kasih di dalam kebenaran adalah sebuah kekuatan yang membangun komunitas, ia membawa semua orang bersama tanpa mengadakan pembatas ataupun batas-batas. Komunitas manusia yang kita bangun sendiri tidak pernah, murni dari dirinya sendiri, menjadi sebuah komunitas persaudaraan yang sempurna, ataupun dapat mengatasi setiap pemisahan dan menjadi sebuah komunitas universal sejati. Kesatuan umat manusia, sebuah persekutuan persaudaraan yang mengatasi segala pembatas, diadakan oleh sabda Tuhan, yang adalah Kasih. Untuk membahas masalah utama ini, kita harus membuatnya jelas, di satu sisi, bahwa logika karunia tidak membuang keadilan, dan juga karunia tidak hanya duduk di samping keadilan seperti sebuah elemen kedua yang ditambahkan dari luar; dan di sisi yang lain, perkembangan ekonomi, sosial dan politik, kalau itu harus menjadi perkembangan manusia yang otentik, perlu memberikan tempat bagi prinsip pemberian yang melebihi apa yang disyaratkan sebagai ungkapan dari persaudaraan.

35. Di dalam iklim saling kepercayaan, pasar adalah lembaga ekonomi yang mengizinkan pertemuan antara orang-orang, lantaran mereka adalah pelaku-pelaku ekonomi yang mempergunakan kontrak-kontrak untuk mengatur hubungan mereka ketika mereka menukarkan barang-barang dan jasa pelayanan-pelayanan yang bernilai setara di antara mereka, dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka. Pasar tergantung dari prinsip-prinsip yang disebut keadilan pengganti (commutative justice), yang mengatur hubungan-hubungan pemberian dan penerimaan antara pihak-pihak dalam sebuah transaksi. Namun ajaran sosial Gereja telah tak henti-hentinya menekankan keutamaan keadilan distributif dan keadilan sosial untuk ekonomi pasar, tidak hanya karena ia berada dalam sebuah konteks sosial dan politik yang lebih luas, tetapi juga karena lebih luasnya jaringan hubungan yang di dalamnya ia bekerja. Sesungguhnya, kalau pasar diatur hanya dengan prinsip kesetaraan nilai pertukaran barang-barang, itu tidak akan menghasilkan kohesi/ persatuan sosial yang disyaratkan agar pasar dapat berfungsi dengan baik. Tanpa bentuk-bentuk internal dari solidaritas dan saling percaya, pasar tidak dapat sepenuhnya mencapai fungsi ekonomi yang layak. Dan dewasa ini, kepercayaan inilah yang sudah tidak ada lagi, dan kehilangan kepercayaan ini adalah kehilangan yang sangat besar. Sudah saatnya, ketika Paulus VI dalam Populorum Progressio meminta dengan tegas bahwa sistem ekonomi itu sendiri akan mengambil keuntungan dari penerapan keadilan yang berjangka luas, lantaran pihak yang pertama yang menerima keuntungan dari perkembangan negara-negara miskin adalah negara-negara kaya. ((Cf. no. 49: loc. cit., 281.)) Menurut Paus Paulus VI, hal itu tidak hanya sekedar memperbaiki kesalahan-kesalahan fungsi melalui bantuan. Mereka yang miskin tidak boleh dianggap sebagai sebuah “beban”, ((John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 28: loc. cit., 827-828.)) tetapi sebuah sumber daya, bahkan dari sudut pandang ekonomi secara murni. Namun demikian, juga salah untuk menganggap bahwa ekonomi pasar mempunyai sebuah kebutuhan yang tertanam akan sebuah kuota kemiskinan dan kurangnya perkembangan agar dapat berfungsi yang terbaik. Adalah menjadi kebutuhan-kebutuhan pasar untuk memajukan emansipasi, tetapi agar dapat melakukannya secara efektif, pasar tidak dapat bergantung hanya pada dirinya sendiri, sebab ia tidak dapat menghasilkan bagi dirinya sendiri sesuatu yang berada di luar keahliannya. Pasar harus memperoleh kekuatan-kekuatan moralnya dari pelaku-pelaku lain yang mampu untuk menghasilkan hal-hal tersebut.

36. Kegiatan ekonomi tidak dapat menyelesaikan semua masalah sosial melalui penerapan sederhana dari logika komersial. Ini perlu untuk diarahkan menuju pencapaian kebaikan bersama, yang mana komunitas politik secara khusus juga harus bertanggung jawab. Oleh karena itu, harus ditanamkan dalam pikiran bahwa ketidakseimbangan yang parah dihasilkan ketika kegiatan ekonomi, yang dimengerti hanya sebagai sebuah mesin untuk penciptaan kekayaan, dipisahkan dari kegiatan politik, yang dimengerti sebagai sebuah sarana untuk mengejar keadilan melalui penyebaran kembali (redistribution).

Gereja selalu berpegang bahwa kegiatan ekonomi tidak untuk dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan masyarakat. Di dalam dan dari dirinya sendiri, pasar adalah tidak, dan harus tidak menjadi, suatu tempat di mana mereka yang kuat menundukkan yang lemah. Masyarakat tidak harus melindungi dirinya sendiri dari pasar, seperti seolah-olah perkembangan pasar adalah ipso facto untuk membawa kematian hubungan-hubungan manusia yang otentik. Tidak dapat disangkal, pasar memang dapat menjadi kekuatan negatif, tidak karena memang demikian secara kodratnya, tetapi karena sebuah ideologi tertentu dapat membuatnya menjadi demikian. Haruslah diingat bahwa pasar tidak eksis di dalam kondisi yang murni. Pasar dibentuk oleh konfigurasi budaya yang menegaskan dan memberikan arahan kepadanya. Ekonomi dan keuangan, sebagai sarana-sarana, dapat digunakan dengan buruk ketika mereka yang dalamnya dimotivasi oleh tujuan-tujuan yang secara murni mementingkan diri sendiri. Sarana-sarana yang jika berdiri sendiri adalah baik dapat diubah menjadi sesuatu yang berbahaya. Namun akal manusia yang gelap-lah yang menghasilkan akibat- akibat ini, dan bukannya sarananya itu sendiri. Oleh karena itu, bukannya sarananya yang harus bertanggung jawab, tetapi orang-orangnya, hati nurani mereka, dan tanggung jawab mereka secara pribadi maupun sosial.

Ajaran sosial Gereja menganggap bahwa hubungan-hubungan sosial manusia yang otentik tentang persahabatan, solidaritas dan hubungan timbal balik dapat juga dilakukan di dalam kegiatan ekonomi, dan bukan hanya di luarnya atau “sesudah”-nya. Lingkup ekonomi bukanlah netral secara etika, ataupun yang sifatnya tidak manusiawi dan berlawanan dengan masyarakat. Lingkup ekonomi adalah bagian dan paket dari kegiatan manusia dan justru karena ia bersifat manusiawi, lingkup ekonomi ini harus dibangun dan diatur di dalam cara yang etis.

Tantangan yang besar di hadapan kita, yang diperkuat oleh masalah-masalah perkembangan di dalam era global dan bahkan dibuat lebih mendesak oleh krisis ekonomi dan keuangan, adalah untuk membuktikan, di dalam hal pemikiran dan tingkah laku, tidak hanya bahwa prinsip-prinsip tradisional dalam hal etika sosial, seperti transparansi, kejujuran dan tanggung jawab tidak dapat diabaikan atau ditepiskan, tetapi juga bahwa di dalam hubungan-hubungan komersial prinsip pemberian yang melebihi dari apa yang disyaratkan dan logika karunia sebagai sebuah ekspresi persaudaraan, dapat dan harus menemukan tempat mereka di dalam kegiatan ekonomi yang normal. Ini adalah tuntutan manusia pada saat ini, tetapi juga ini dituntut oleh logika ekonomi. Ini merupakan tuntutan kasih maupun juga tuntutan kebenaran.

37. Ajaran sosial Gereja telah selalu menetapkan bahwa keadilan harus diterapkan di dalam setiap fase kegiatan ekonomi, karena hal ini selalu berkaitan dengan manusia dan kebutuhan-kebutuhannya. Penempatan sumber-sumber daya, keuangan, produksi dan konsumsi dan semua fase lainnya di dalam siklus ekonomi secara tak terelakkan mempunyai implikasi- implikasi moral. Oleh karena itu setiap keputusan ekonomi mempunyai sebuah konsekuensi moral. Ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan arahan yang diambil oleh ekonomi dewasa ini menunjuk juga kepada kesimpulan yang sama. Mungkin pada suatu saat dianggap bahwa pertama-tama penciptaan kekayaan dapat dipercayakan kepada ekonomi, dan lalu tugas pendistribusiannya dapat dipercayakan kepada politik. Dewasa ini hal itu  menjadi lebih sulit, karena kegiatan ekonomi tidak lagi dibatasi di dalam batas-batas territorial, sementara otoritas pemerintah-pemerintah tetap pada prinsipnya bersifat lokal. Dengan demikian, batas- batas keadilan harus dihormati dari permulaan, pada saat proses ekonomi terbentang, dan bukan hanya setelahnya atau merupakan hal tidak disengaja. Ruang juga perlu diciptakan di dalam pasar untuk kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pelaku-pelaku yang memilih dengan bebas untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang berbeda dari prinsip-prinsip yang murni keuntungan (pure profit), tanpa mengorbankan produksi nilai ekonomi di dalam prosesnya. Banyaknya badan-badan ekonomi yang berasal dari inisiatif-inisiatif religius dan awam membuktikan bahwa hal ini secara nyata mungkin terjadi.

Di dalam era global, ekonomi dipengaruhi oleh model-model persaingan yang terikat oleh budaya-budaya yang nyata benar berbeda di antara mereka sendiri. Bentuk bentuk yang berbeda dari kegiatan usaha ekonomi yang dihasilkannya menemukan titik temu utama di dalam keadilan pengganti (commutative justice). Kehidupan ekonomi tak dapat diragukan mensyaratkan kontrak-kontrak perjanjian, dalam rangka mengatur hubungan- hubungan pertukaran antara barang-barang yang bernilai setara. Tetapi kehidupan ekonomi juga membutuhkan hukum- hukum yang adil dan bentuk-bentuk penyebaran (redistribusi) yang diatur oleh politik, dan lebih lagi, ia memerlukan pekerjaan-pekerjaan yang diberi aroma semangat karunia (the spirit of gift). Ekonomi di dalam era global kelihatannya memberikan hak-hak istimewa kepada logika yang terdahulu, yaitu tentang pertukaran kontrak, tetapi secara langsung atau tidak langsung ekonomi juga membuktikan kebutuhannya terhadap dua hal lainnya: logika politik dan logika dari pemberian secara tak bersyarat.

38. Pendahulu saya, Yohanes Paulus II mengarahkan perhatian kepada masalah ini di Centesimus Annus, ketika beliau berkata tentang dibutuhkannya sebuah sistem dengan tiga pelaku: pasar, Negara dan masyarakat sosial. ((Cf. no. 35: loc. cit., 836-838.)) Beliau melihat masyarakat sosial sebagai kerangka yang paling kodrati untuk sebuah ekonomi tentang pemberian yang melebihi dari apa yang disyaratkan dan persaudaraan, tetapi tidak berarti menolaknya sebagai tempat bagi kedua kerangka lainnya. Dewasa ini kita dapat berkata bahwa kehidupan ekonomi harus dimengerti sebagai sebuah fenomena yang berlapis-lapis: di setiap lapis ini, pada derajat yang berbeda-beda dan dengan cara-cara yang khusus sesuai dengan setiap tingkatan, hal persaudaraan yang timbal balik harus ada. Di dalam era global, kegiatan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari pemberian yang melebihi dari apa yang disyaratkan, yang membantu perkembangan dan menyebarkan solidaritas dan tanggung jawab untuk keadilan dan kebaikan bersama di antara para pelaku ekonomi. Ini adalah jelas sebuah bentuk demokrasi ekonomi yang khusus dan amat mendalam. Solidaritas adalah pertama-tama dan utama sebuah rasa tanggungjawab pada setiap orang tentang setiap orang, ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Sollicitudo Rei Socialis, 38: loc. cit., 565-566.)) dan karenanya hal ini tidak dapat semata-mata didelegasikan kepada Negara. Sementara di waktu yang lalu, adalah mungkin untuk berpendapat bahwa keadilan harus tercapai terlebih dulu, dan baru kemudian pemberian yang melebihi dari apa yang disyaratkan dapat terjadi berikutnya sebagai pelengkap, dewasa ini adalah jelas bahwa tanpa pemberian yang melebihi dari yang disyaratkan, tidak mungkin ada keadilan di tempat utama. Karena itu, apa yang diperlukan adalah sebuah pasar yang mengizinkan operasi yang bebas, di dalam kondisi-kondisi kesempatan yang sama, dari kegiatan usaha untuk mencapai tujuan-tujuan kelembagaan yang berbeda-beda. Bersamaan dengan kegiatan usaha pribadi yang diorientasikan untuk keuntungan dan bermacam tipe kegiatan usaha publik, harus terdapat ruang untuk badan-badan komersial yang didasari oleh prinsip-prinsip saling ketergantungan dan pencapaian tujuan-tujuan sosial untuk berakar dan mengekspresikan diri mereka. Adalah dari pertemuan yang timbal balik di dalam pasar maka seseorang dapat berharap munculnya bentuk-bentuk campuran dari tingkah laku komersial, dan karena itu sebuah perhatian untuk cara-cara untuk membuat ekonomi lebih beradab. Kasih di dalam kebenaran, dalam hal ini, mensyaratkan bahwa bentuk dan struktur diberikan kepada tipe-tipe inisiatif ekonomi yang, tanpa menolak keuntungan, mentargetkan pada tujuan yang lebih tinggi daripada hanya logika pertukaran hal-hal yang setara, dengan keuntungan sebagai tujuan satu-satunya.

39. Paulus VI dalam Populorum Progressio mengusulkan penciptaan sebuah model ekonomi pasar yang dapat melibatkan dalam jangkauannya semua bangsa-bangsa dan bukan hanya bangsa-bangsa yang lebih baik saja. Beliau mengusulkan usaha-usaha untuk membangun dunia yang lebih manusiawi untuk semua, sebuah dunia yang di dalamnya “semua akan dapat memberi dan menerima, tanpa sebuah kelompok membuat kemajuan dengan mengorbankan yang lain”. ((No. 44: loc. cit., 279.)) Dengan cara ini, beliau menerapkan secara global pandangan-pandangan dan cita-cita yang terkandung dalam  Rerum Novarum, yang ditulis pada waktu, sebagai hasil dari Revolusi Industri, idea ini pertama kali diusulkan – sepertinya lebih awal dari waktunya– bahwa urutan/ order masyarakat sipil, untuk pengaturan dirinya sendiri, juga memerlukan intervensi dari Negara untuk maksud redistribusi. Saat ini, tidak hanya pandangan ini terancam dengan keadaan di mana pasar-pasar dan masyarakat menjadi terbuka, tetapi hal itu jelas menjadi tidak cukup untuk memuaskan tutntutan-tuntutan dari sebuah ekonomi yang sepenuhnya manusiawi. Apa yang selalu ditegakkan oleh ajaran sosial Gereja, dengan dasar pandangannya terhadap manusia dan masyarakat, diperkuat sekarang ini dengan dinamika-dinamika globalisasi.

Ketika baik logika pasar dan logika Negara akhirnya setuju bahwa masing-masing akan tetap menerapkan sebuah monopoli atas wilayah pengaruhnya, dalam jangka panjang akan banyak mendatangkan kehilangan: solidaritas dalam hubungan antar warga negara, partisipasi dan pelekatan [satu warga/ kelompok dengan yang lain], kegiatan-kegiatan yang melebihi dari apa yang disyaratkan, semuanya bertentangan dengan pemberian untuk menerima kembali (logika pertukaran) dan pemberian karena kewajiban (logika keharusan publik, yang diadakan oleh hukum Negara). Untuk mengalahkan kurangnya perkembangan, kegiatan dibatasi tidak hanya dalam hal meningkatkan transaksi-transaksi berdasarkan pertukaran dan membangun struktur-struktur kesejahteraan publik, tetapi di atas semua itu, dalam hal meningkatkan keterbukaan, di dalam konteks dunia, untuk membentuk aktivitas ekonomi yang ditandai dengan kuota pemberian yang melebihi dari yang disyaratkan dan persekutuan.  Model pasangan ekslusif antara pasar- ditambah- Negara adalah merusak bagi masyarakat, sedangkan bentuk-bentuk ekonomi yang berdasarkan solidaritas, yang secara kodrati menemukan tempatnya di dalam masyarakat sipil tanpa dibatasi olehnya, membangun masyarakat. Pasar dari pemberian yang melebihi dari apa yang disyaratkan tidak eksis, dan sikap memberi yang demikian tidak dapat diadakan oleh hukum. Namun baik pasar maupun politik membutuhkan orang-orang yang terbuka terhadap pemberian yang timbal balik.

40. Adegan ekonomi internasional yang terjadi sekarang, yang ditandai dengan penyimpangan-penyimpangan dan kegagalan yang parah, membutuhkan sebuah cara baru yang mendalam yang memahami kegiatan usaha bisnis. Cara-cara lama lenyap, tetapi cara-cara yang baru dan menjanjikan sedang mencari bentuknya untuk tampil ke permukaan. Tanpa ragu, salah satu dari resiko-resiko yang terbesar dari bisnis adalah bahwa mereka nyaris hanya menjawab para investor mereka secara ekslusif, dan dengan demikian membatasi nilai-nilai sosial mereka. Demi mengejar skala pertumbuhan dan kebutuhan pertambahan modal lebih dan lebih lagi, kegiatan-kegiatan usaha bisnis telah menjadi semakin jarang untuk berada di tangan seorang direktur yang stabil yang merasa bertanggung jawab dalam jangka waktu panjang, tidak hanya jangka pendek, untuk kehidupan dan hasil-hasil perusahaannya, dan menjadi semakin jarang bagi usaha-usaha bisnis untuk bergantung pada satu teritori. Lagipula, apa yang disebut sebagai “outsourcing of production” (pengambilan sumber produksi dari luar) dapat memperlemah rasa tanggungjawab perusahaan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan – yaitu, para pekerja, suppliers/ pemasok, konsumen, lingkungan alam dan masyarakat yang lebih luas– demi mementingkan pihak-pihak pemegang saham, mereka yang tidak terikat dengan sebuah kawasan geografi tertentu dan yang karenanya mempunyai mobilitas yang luar biasa. Pasar modal internasional sekarang ini menawarkan kebebasan yang besar dalam kegiatan. Tetapi terdapat juga peningkatan kesadaran akan tanggung jawab sosial yang lebih besar di bidang bisnis. Bahkan jika pertimbangan- pertimbangan etik yang belakangan ini menginformasikan debat dalam hal tanggungjawab sosial dalam dunia pekerjaan tidak semuanya dapat diterima dari sudut pandang ajaran sosial Gereja, setidak-tidaknya terdapat sebuah keyakinan bahwa manajemen bisnis tidak dapat memperhatikan dirinya sendiri, hanya dengan kepentingan-kepentingan dari para pemilik, tetapi harus juga mengambil tanggung jawab untuk semua pihak yang berkepentingan yang terlibat dalam kehidupan bisnis tersebut: para pekerja, para langganan, supplier/ pemasok dari berbagai elemen produksi, komunitas yang bersangkutan. Pada tahun-tahun ini manajer-manajer berkelas kosmopolitan telah muncul, yang sering bertanggungjawab hanya kepada pihak-pihak yang berkepentingan secara umum terhadap dana- dana anonim yang secara de facto menentukan gaji mereka. Walaupun demikian, saat ini banyak manajer yang jauh melihat ke depan menjadi semakin menyadari akan hubungan yang erat antara kegiatan usaha mereka dengan daerah/ teritori atau daerah-daerah/ teritori di mana perusahaan mereka beroperasi. Paulus VI mengundang orang-orang untuk memberikan perhatian serius terhadap kerusakan yang dapat disebabkan terhadap negara asal seseorang dengan pengalihan modal yang secara murni dilakukan demi keuntungan pribadi. ((Cf. ibid., 24: loc. cit., 269.)) Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa penanaman modal mempunyai kepentingan moral, bersamaan dengan kepentingan ekonomi. ((Cf. Encyclical Letter Centesimus Annus, 36: loc. cit., 838-840.)) Semua ini — hal ini harus ditekankan — masih berlaku saat ini, di samping kenyataan bahwa pasar modal telah dijadikan bebas secara besar- besaran, dan pemikiran teknologi modern dapat menyarankan bahwa penanaman modal hanyalah merupakan kegiatan teknikal, bukan perbuatan manusia dan perbuatan etis.Tak ada alasan untuk menolak bahwa sejumlah besar modal dapat menghasilkan sesuatu yang baik, jika di-investasikan di luar negeri daripada di dalam negeri. Namun persyaratan-persyaratan keadilan harus dijaga, dengan pertimbangan yang adil tentang cara di mana modal dihasilkan dan tentang bahaya yang dihasilkan bagi orang-orang jika hal itu tidak dipergunakan di tempat dimana itu dihasilkan. ((Cf. Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 24: loc. cit., 269.)) Apa yang harus dicegah adalah penggunaan spekulatif dari sumber daya keuangan yang memberikan godaan untuk mencari keuntungan jangka pendek, tanpa memperhatikan ketahanan kegiatan usaha jangka panjang, keuntungannya bagi ekonomi riil dan perhatian terhadap kemajuan, dengan cara- cara yang sesuai dan layak, tentang inisiatif-inisiatif ekonomi selanjutnya di dalam negara-negara yang memerlukan perkembangan. Adalah benar bahwa ekspor investasi dan keahlian-keahlian dapat menguntungkan populasi negara yang menerimanya. Tenaga kerja dan pengetahuan teknik adalah suatu kebaikan yang universal. Namun adalah suatu yang tidak benar untuk meng-ekspor hal-hal ini hanya demi memperoleh kondisi-kondisi yang menguntungkan, atau lebih parah lagi, demi maksud eksploitasi, tanpa membuat kontribusi yang nyata bagi masyarakat lokal dengan membantu untuk menghasilkan sebuah sistim produksi yang kuat dan sistem sosial, sebuah faktor yang penting untuk perkembangan yang stabil.

41. Dalam konteks diskusi ini, adalah berguna untuk memperhatikan bahwa kegiatan usaha bisnis melibatkan nilai-nilai yang luas jangkauannya, yang menjadi lebih luas sepanjang waktu. Pengaruh budaya yang terus menerus tentang sepasang model yang terdiri dari pasar-plus- Negara telah menjadikan kita biasa berpikir hanya dalam rangka pemimpin bisnis privat dari sebuah kapitalis di satu sisi, dan direktur Negara di sisi yang lain. Pada kenyataannya, bisnis harus diartikan di dalam cara yang mudah dimengerti. Terdapat banyak alasan-alasan, tentang hal meta-ekonomi, untuk mengatakan hal ini. Kegiatan bisnis mempunyai kepentingan manusiawi, sebelum kepentingan professional. ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 32: loc. cit., 832-833; Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 25: loc. cit., 269-270.)) Kepentingan manusia ini terjadi di dalam semua pekerjaan, yang dimengerti sebagai sebuah kegiatan pribadi, sebuah “actus personae” ((John Paul II, Encyclical Letter Laborem Exercens, 24: loc. cit., 637-638.)), yang membuat mengapa setiap pekerja harus memperoleh kesempatan untuk membuat kontribusi, mengingat bahwa biar bagaimanapun “ia sedang bekerja ‘untuk dirinya sendiri’” ((Ibid., 15: loc. cit., 616-618.)) Dengan maksud yang baik, Paulus VI mengajarkan bahwa “setiap orang yang bekerja adalah seorang pencipta”. ((Encyclical Letter Populorum Progressio, 27: loc. cit., 271.)) Adalah dalam rangka menanggapi kebutuhan-kebutuhan dan martabat pekerja, bersamaan juga dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, maka terdapatlah bermacam variasi tipe kegiatan usaha bisnis, yang melampaui dan di atas perbedaan sederhana antara “privat” dan “publik”. Setiap dari mereka mensyaratkan dan mengungkapkan kapasitas bisnis yang khusus. Dalam rangka membangun sebuah ekonomi yang segera akan mengambil posisi melayani kebaikan nasional dan kebaikan global, adalah layak untuk mempertimbangkan keutamaan yang luas tentang kegiatan bisnis. Ini menaruh simpati pada pembiakan silang antara tipe-tipe yang berbeda dari kegiatan bisnis, dengan pergeseran keahlian dari dunia “non- profit” kepada dunia “profit” dan sebaliknya, dari dunia publik ke dunia masyarakat sipil, dari ekonomi yang maju kepada negara-negara yang sedang berkembang.

Kekuasaan politik juga melibatkan sebuah kerangka luas dari nilai-nilai, yang harus tidak diabaikan di dalam proses pembangunan sebuah keteraturan yang baru tentang produktivitas ekonomi, yang bertanggung jawab secara sosial dan dalam ukuran manusia. Bersamaan dengan pengolahan bentuk-bentuk yang berbeda dari aktivitas bisnis dalam tatanan global, kita harus juga memajukan sebuah penyebaran otoritas politik, yang secara efektif terjadi di tingkat-tingkat yang berbeda. Ekonomi terpadu pada masa sekarang ini tidak membuat peran Negara menjadi berlebih-lebihan, tetapi mengarahkan pemerintah- pemerintah untuk bekerja sama dengan lebih baik satu sama lain. Baik kebijakan maupun kebijaksanaan menganjurkan agar tak terlalu tergesa-gesa untuk mengatakan kematian/ kebangkrutan suatu Negara. Dalam rangka penyelesaian krisis yang terjadi sekarang ini, peran Negara kelihatannya ditentukan untuk bertumbuh, sebab ia memperoleh banyak keahlian-keahlian. Lagipula, dalam beberapa bangsa, pembangunan atau pembangunan kembali Negara tersebut tetap menjadi kunci utama bagi perkembangan mereka. Fokus bantuan internasional, dalam sebuah rencana yang berdasarkan solidaritas untuk menyelesaikan problem-problem ekonomi dewasa ini, seharusnya lebih merupakan penggabungan sistem-sistem konstitusi, yuridis dan administratif di negara-negara yang belum sepenuhnya menikmati hal-hal ini. Bersamaan dengan bantuan ekonomi, bantuan tersebut perlu diarahkan untuk memperkuat jaminan yang layak  bagi hukum Negara: sebuah sistem tatanan publik dan pembatasan efektif yang menghormati hak-hak azasi menusia, institusi-institusi yang benar-benar demokratif. Negara tidak perlu untuk mempunyai karakter yang persis sama di mana-mana: dukungan/ bantuan yang ditujukan bagi perkuatan sistem-sistem konstitusi yang lemah dapat diiringi dengan perkembangan pelaku-pelaku politik yang lain, dari sebuah kebudayaan, sosial, territorial atau kodrat religius, di samping Negara. Perwujudan/ artikulasi otoritas politik pada tingkat-tingkat lokal, nasional dan internasional adalah salah satu dari cara-cara yang terbaik untuk memberikan arah bagi proses globalisasi ekonomi. Itu juga merupakan cara untuk memastikan bahwa hal itu ternyata tidak mengurangi pondasi demokrasi.

42. Kadang globalisasi dilihat dalam pengertian fatalistic, seperti seolah-olah dinamika-dinamika yang terlibat merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan anonim yang tak manusiawi atau struktur-struktur yang tak tergantung dari keinginan manusia. ((Cf. Congregation for the Doctrine of the Faith, Instruction on Christian Freedom and Liberation Libertatis Conscientia (22 March 1987), 74: AAS 79 (1987), 587.)) Dalam hal ini, adalah berguna untuk mengingat bahwa walaupun globalisasi tentunya harus dimengerti sebagai proses sosio- ekonomi, namun ini bukanlah satu-satunya dimensi globalisasi. Di bawah proses yang lebih terlihat, umat manusia sendiri menjadi lebih saling terkait; yang terdiri dari orang-orang dan bangsa-bangsa yang kepadanya proses ini harus menawarkan keuntungan/ kebaikan-kebaikan dan perkembangan, ((Cf. John Paul II, Interview published in the Catholic daily newspaper La Croix, 20 August 1997.)) ketika mereka mengambil tanggung jawab yang sesuai, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif. Pembongkaran batas-batas bukanlah hanya merupakan sebuah kenyataan material: itu juga merupakan kejadian budaya baik dalam hal sebab-sebabnya maupun akibat-akibatnya. Jika globalisasi dipandang dari sudut pandang kepastian yang menentukan, kriteria yang dipakai untuk mengevaluasi dan mengarahkannya menjadi hilang. Sebagai sebuah kenyataan manusia, globalisasi adalah hasil dari kecenderungan-kecenderungan budaya yang berbeda-beda, yang perlu tunduk kepada sebuah proses “discernment”. Kebenaran tentang globalisasi sebagai sebuah proses dan kriteria etis yang mendasar diberikan oleh kesatuan keluarga besar manusia dan perkembangannya menuju apa yang baik. Oleh karena itu, diperlukan sebuah komitmen yang menopang untuk memajukan proses budaya yang berorientasi pada perorangan dan komunitas yang bersifat mendunia yang terpadu, yang terbuka ke arah yang transenden.

Di samping beberapa elemen-elemen struktural, yang harus tidak ditolak maupun dilebih-lebihkan, “globalisasi, a priori, adalah bukan sesuatu yang baik atau buruk. Ia akan menjadi apa yang dibuat oleh manusia”. ((John Paul II, Address to the Pontifical Academy of Social Sciences, 27 April 2001.)) Kita tidak boleh menjadi korban-korbannya, melainkan menjadi tokoh-tokoh pelaku utama, yang bertindak dengan terang akal, yang dibimbing dengan kasih dan kebenaran. Perlawanan [terhadap globalisasi] secara buta akan menjadi suatu kesalahan dan sikap yang mencurigai, yang tak dapat mengenali aspek-aspek positif dari proses itu, dengan konsekuensi resiko kehilangan kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari banyak kesempatan untuk perkembangan. Proses-proses globalisasi, yang dimengerti dan diarahkan dengan semestinya, membuka kemungkinan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap skala besar redistribusi kekayaan dalam sebuah jangkauan yang mendunia; namun demikian, jika diarahkan dengan buruk, proses- proses tersebut dapat memimpin ke arah peningkatan kemiskinan dan ketimpangan, dan bahkan dapat menyebabkan sebuah krisis global. Adalah penting untuk memperbaiki fungsi-fungsi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, beberapa di antaranya adalah serius, yang menyebabkan perpecahan antara bangsa-bangsa, dan juga untuk menjamin bahwa redistribusi kekayaan tidak terjadi melalui redistribusi atau peningkatan kemiskinan: sebuah bahaya yang nyata jika situasi sekarang ini dikelola dengan buruk. Telah lama dianggap bahwa bangsa-bangsa yang miskin harus tetap tinggal pada tingkat perkembangan yang tertentu, dan harus puas untuk menerima bantuan dari kedermawanan bangsa-bangsa yang telah berkembang. Paulus VI secara keras menentang mentalitas ini dalam Populorum Progressio. Sekarang ini sumber-sumber daya material yang tersedia untuk membebaskan bangsa-bangsa ini dari kemiskinan secara potensial lebih besar daripada sebelumnya, tetapi mereka akhirnya dalam jumlah besar jatuh ke tangan-tangan orang- orang dari bangsa-bangsa yang telah berkembang, yang telah mengambil keuntungan lebih dari liberisasi yang terjadi di dalam mobilitas modal dan tenaga kerja. Karena itu, penyebaran bentuk-bentuk kemakmuran yang terjadi secara mendunia harus tidak dilakukan dengan proyek-proyek yang terpusat pada diri sendiri, proteksionis, atau yang melayani kepentingan-kepentingan pribadi. Sungguh, keterlibatan negara-negara yang sedang muncul atau berkembang memperbolehkan kita untuk mengatur krisis dengan lebih baik dewasa ini. Transisi yang melekat di dalam proses globalisasi menghadirkan kesulitan-kesulitan besar dan bahaya-bahaya yang hanya dapat diatasi jika kita dapat menempatkan dengan wajar semangat anthropologis dan etika yang mendasar yang mendorong globalisasi menuju tujuan solidaritas yang berperikemanusiaan.  Sayangnya, semangat ini seringkali terbanjiri atau tertekan oleh pertimbangan- pertimbangan etis dan budaya dari kodrat individualistik dan utilitarian. Globalisasi adalah sebuah fenomena yang beraneka-segi dan kompleks yang harus ditangkap di dalam keberagaman dan kesatuan dari semua dimensi yang berbeda-beda, termasuk dimensi teologis. Dengan cara ini, akan menjadi mungkin untuk mengalami dan mengendalikan globalisasi kemanusiaan di dalam pengertian- pengertian relasional, di dalam rangka persekutuan dan pembagian barang-barang/ hal-hal yang baik.

BAB EMPAT

PERKEMBANGAN BANGSA
HAK- HAK DAN KEWAJIBAN- KEWAJIBAN LINGKUNGAN

43. “Realitas solidaritas manusia yang merupakan sebuah keuntungan bagi kita, juga menekankan sebuah kewajiban”. ((Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 17: loc. cit., 265-266.)) Dewasa ini banyak orang akan meng-klaim bahwa mereka tidak berhutang kepada siapapun, kecuali kepada mereka sendiri. Mereka hanya memperhatikan hak-hak mereka, dan mereka seringkali mempunyai kesulitan besar dalam hal mengambil tanggung jawab untuk perkembangan seutuhnya dari diri mereka sendiri dan diri orang lain. Karena itu, adalah penting untuk mengadakan sebuah permenungan yang diperbaharui dalam hal bagaimana hak-hak mensyaratkan kewajiban-kewajiban, jika hak-hak tidak untuk hanya menjadi lisensi/ izin belaka. ((Cf. John Paul II, Message for the 2003 World Day of Peace, 5: AAS 95 (2003), 343.)) Dewasa ini, kita menyaksikan sebuah keadaan yang tidak konsisten secara besar-besaran. Di satu sisi, himbauan-himbauan dibuat terhadap hak-hak yang dideklarasikan, didasari pertimbangan subyektif dan non-esensial secara kodrat, diiringi oleh tuntutan bahwa mereka diakui dan didukung oleh struktur-struktur publik, sedangkan, di lain pihak, hak-hak dasar dan mendasar tetap tidak dikenali dan dilanggar di banyak kawasan di dunia. ((Cf. ibid.)) Sebuah kaitan seringkali terlihat antara klaim-klaim tentang “hak menjadi berlebihan”, dan bahkan untuk pelanggaran dan sifat buruk, di dalam masyarakat yang berlebihan, dengan keadaan kekurangan makanan, air yang dapat diminum, instruksi dasar dan penanganan kesehatan di daerah-daerah di bagian dunia yang belum berkembang dan di daerah luar pusat- pusat metropolitan. Hubungannya terdiri dari ini: hak-hak individual, ketika dilepaskan dari kerangka tanggungjawab yang menjamin maknanya secara penuh, dapat menjadi liar, yang memimpin ke arah peningkatan tuntutan-tuntutan yang secara efektif menjadi tak terbatas dan indiskriminatif. Penekanan berlebihan atas hak-hak dapat meyebabkan pengabaian kewajiban. Kewajiban memberikan batas kepada hak-hak karena mereka mengacu kepada kerangka anthropologis dan etis di mana hak-hak merupakan sebuah bagiannya, dan dengan demikian memastikan bahwa mereka tidak menjadi lisensi/ izin belaka. Maka, kewajiban memperkuat hak-hak dan mensyaratkan pertahanannya dan promosinya sebagai sebuah tugas untuk dilaksanakan demi pelayanan terhadap kebaikan bersama. Jika tidak demikian, kalau dasar hak-hak manusia hanya untuk ditemukan di dalam pertimbangan-pertimbangan dari kumpulan para warganegara, maka hak-hak itu dapat diubah kapan saja, dan sehingga kewajiban untuk menghargai dan mengejar hal itu menjadi pudar dari kesadaran bersama. Para pemerintah dan badan internasional dapat kemudian kehilangan pandangan terhadap obyektivitas dan “keadaan yang tidak dapat diganggu gugat” dari hak-hak. Ketika ini terjadi, perkembangan otentik dari bangsa-bangsa menjadi terancam. ((Cf. Benedict XVI, Message for the 2007 World Day of Peace, 13: loc. cit., 781-782.)) Pemikiran dan tindakan semacam ini mengkompromikan otoritas badan-badan internasional, khususnya di mata negara-negara yang paling membutuhkan perkembangan. Memang, negara-negara tersebut menuntut bahwa komunitas internasional mengambil tugas kewajiban untuk membantu mereka agar menjadi “pekerja ahli dari nasib mereka sendiri”, ((Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 65: loc. cit., 289.)) yaitu untuk mengambil kewajiban-kewajiban mereka sendiri. Pembagian kewajiban-kewajiban yang timbal balik adalah sebuah insentif/ pendorong yang lebih kuat terhadap tindakan daripada hanya semata-mata pernyataan hak-hak.

44.  Pikiran tentang hak-hak dan kewajiban di dalam perkembangan harus juga memperhatikan masalah-masalah yang berhubungan dengan perkembangan populasi. Ini adalah sebuah aspek yang sangat penting dari perkembangan otentik, karena hal ini memperhatikan nilai-nilai yang tidak asing bagi kehidupan dan keluarga. ((Cf. ibid., 36-37: loc. cit., 275-276.)) Menganggap peningkatan populasi sebagai penyebab utama dari kurangnya perkembangan, adalah keliru, bahkan dari sudut pandang ekonomi. Cukuplah untuk dipertimbangkan, di satu sisi, pengurangan angka kematian bayi secara signifikan dan peningkatan umur rata-rata yang terdapat di negara-negara yang telah berkembang secara ekonomi, dan di lain sisi, tanda-tanda krisis yang dapat dicermati di negara-negara yang menunjukkan penurunan yang sangat memprihatinkan dalam hal angka kelahiran. Nampaknya perhatian yang perlu harus diberikan bagi “responsible procreation” (pembiakan yang bertanggungjawab), yang bersama dengan hal-hal lain memberikan sumbangan yang positif terhadap perkembangan manusia seutuhnya. Gereja, di dalam perhatiannya terhadap perkembangan otentik bagi manusia, mendesak manusia untuk memiliki penghormatan penuh terhadap nilai-nilai kemanusiaan di dalam penerapan seksualitasnya. Seksualitas tidak dapat direduksi menjadi semata-mata kesenangan atau hiburan, ataupun pendidikan seksual direduksi menjadi instruksi teknis yang ditujukan pertama-tama untuk perlindungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dari kemungkinan penyakit atau “resiko” dari procreation. Ini merupakan pemiskinan dan pengabaian makna seksualitas yang terdalam, sebuah arti yang perlu diakui dan disesuaikan secara bertanggungjawab tidak hanya oleh perorangan tetapi juga oleh komunitas. Adalah tidak bertanggungjawab untuk memandang seksualitas sebagai sebuah sumber kesenangan, dan lalu mengaturnya melalui strategi-strategi wajib tentang pengontrolan kelahiran. Di dalam kedua kasus di atas, ide- ide dan kebijakan-kebijakan materialisme-lah yang bekerja, dan para individu akhirnya tunduk pada bermacam bentuk pelanggaran. Untuk menolak kebijakan-kebijakan semacam itu, diperlukan adanya usaha untuk mempertahankan keahlian mendasar tentang keluarga dalam hal seksualitas, ((Cf. ibid., 37: loc. cit., 275-276.)) yang bertentangan dengan Negara dan kebijakan-kebijakannya yang membatasinya, dan untuk menjamin bahwa para orang tua dipersiapkan secara layak untuk memenuhi tanggung jawab mereka.

Keterbukaan terhadap kehidupan sebagai tanggungjawab moral mewakili sebuah sumber sosial dan ekonomi yang kaya. Bangsa-bangsa yang padat penduduknya sudah dapat mengatasi kemiskinan; terima kasih setidak-tidaknya kepada jumlah populasi dan bakat-bakat dari orang-orangnya. Di samping itu, bangsa-bangsa yang tadinya makmur, pada saat ini melalui tahap yang tidak pasti, dan di dalam beberapa kasus menurun, terutama karena tingkat kelahiran mereka yang menurun drastis; ini telah menjadi masalah yang kritikal bagi masyarakat yang sangat makmur. Penurunan tingkat kelahiran, yang jatuh di bawah “tingkat penggantian/ replacement level”, juga mengakibatkan tekanan kepada sistem kesejahteraan sosial, meningkatkan ongkos-ongkosnya, memakan tabungan dan juga sumber-sumber keuangan yang diperlukan untuk penanaman modal, mengurangi ketersediaan tenaga kerja yang berkompeten, dan mempersempit “jumlah otak/ brain pool” yang daripadanya para bangsa dapat memenuhi kebutuhannya. Selanjutnya, keluarga yang kecil dan seringkali sangat kecil mempunyai resiko mempermiskin hubungan sosial, dan gagal untuk menjamin bentuk-bentuk solidaritas yang efektif. Kondisi-kondisi ini merupakan gejala kurangnya rasa percaya diri pada masa depan dan kelelahan/ kebosanan moral. Karena itu, menjadi sebuah kebutuhan sosial dan bahkan ekonomis sekali lagi untuk memberikan kepada generasi mendatang keindahan perkawinan dan keluarga, dan kenyataan bahwa institusi-institusi ini sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan terdalam dan martabat manusia. Di dalam pandangan ini, Negara dipanggil untuk membuat kebijakan-kebijakan yang menaikkan keutamaan dan integritas keluarga yang dibangun di atas perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, kelompok sel vital yang mendasar di dalam masyarakat, ((Cf. Second Vatican Ecumenical Council, Decree on the Apostolate of Lay People Apostolicam Actuositatem, 11.)) dan untuk mengambil tanggungjawab untuk kebutuhan-kebutuhan ekonomis dan fiskal, di samping menghormati esensi karakternya yang bersifat relasional.

45. Kerja keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan moral yang terdalam dari seseorang juga mempunyai akibat-akibat yang menguntungkan pada tingkat ekonomi. Kebutuhan ekonomi  membutuhkan etika agar dapat berfungsi dengan benar – bukan etika sembarangan, tetapi sebuah etika yang berpusat pada manusia. Saat ini kita mendengar banyak pembicaraan tentang etika dalam dunia ekonomi, keuangan dan bisnis. Pusat- pusat penelitian dan seminar dalam etika bisnis meningkat; sistem sertifikasi etis tersebar di seluruh dunia yang sudah berkembang sebagai bagian dari gerakan ide-ide yang dihubungkan dengan tanggung jawab bisnis terhadap masyarakat. Bank-bank mengajukan account dan dana investasi yang “etis.” “Perencanaan keuangan etis” dikembangkan, secara khusus melalui kredit- mikro, dan secara lebih umum, melalui keuangan mikro. Proses-proses ini patut dipuji dan layak untuk didukung. Efek-efek positif dari usaha ini juga dirasakan di bagian dunia yang kurang berkembang. Walaupun demikian, lebih dianjurkan, untuk mengembangkan sebuah kriteria yang baik untuk melihat (discernment), karena istilah “etis” dapat disalahgunakan. Ketika kata tersebut digunakan secara umum, ia dapat mempunyai banyak interpretasi, bahkan pada titik di mana kata itu memasukkan keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan yang bertentangan dengan keadilan dan kesejahteraan manusia yang otentik.

Kenyataannya, banyak hal tergantung dari sistem moralitas yang sudah ada. Dalam hal ini, ajaran sosial Gereja dapat memberikan kontribusi khusus, sebab ajaran ini berdasarkan atas penciptaan manusia “di dalam gambaran Allah” (Kej 1:27), sebuah datum/ pemersatu yang menghasilkan martabat manusia yang tak dapat dilanggar dan nilai transenden dari norma-norma moral secara kodrati. Ketika etika bisnis menyimpang dari kedua pilar ini, maka tak terelakkan ia mempunyai resiko kehilangan kodratnya yang khas, dan jatuh termangsa ke dalam bentuk-bentuk eksploitasi, dan secara lebih khusus, etika bisnis beresiko menjadi tunduk terhadap sistem-sistem ekonomi dan keuangan yang ada daripada mengkoreksi aspek-aspek yang tidak berfungsi dari sistem-sistem itu. Selain dari itu, etika bisnis beresiko dipergunakan untuk membenarkan proyek-proyek pendanaan yang dalam kenyataannya tidak etis. Oleh karena itu, kata “etis”, seharusnya tidak digunakan untuk membuat pembedaan- pembedaan ideologis, seolah- olah untuk menunjukkan bahwa inisiatif- inisiatif yang tidak secara formal ditujukan merupakan sesuatu yang tidak etis. Usaha- usaha diperlukan – dan adalah penting untuk mengatakan ini– tidak hanya untuk menciptakan sektor-sektor atau segmen-segmen yang “etis” dalam dunia ekomoni dan keuangan, tetapi untuk menjamin bahwa keseluruhan ekonomi – keseluruhan keuangan – adalah etis, tidak hanya semata-mata karena label dari luar, tetapi karena penghormatannya terhadap syarat-syarat yang melekat sesuai dengan kodratnya.
Ajaran sosial Gereja sangat jelas dalam hal ini, mengingat bahwa ekonomi, di dalam semua cabang- cabangnya, merupakan sebuah sektor aktivitas manusia. ((Cf. Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 14: loc. cit., 264; John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 32: loc. cit., 832-833.))

46. Ketika kita mempertimbangkan hal-hal yang terlibat di dalam hubungan antara bisnis dan etika, dan juga evolusi yang sekarang ini terjadi di dalam metoda-metoda produksi, maka akan kelihatan bahwa pembedaan tradisional yang berlaku antara perusahaan-perusahaan profit-based dan organisasi-organisasi non-profit tidak dapat lagi melakukan keadilan yang sempurna terhadap kenyataan, atau menawarkan pengarahan praktis untuk masa depan. Di dalam dekade dewasa ini, sebuah area peralihan yang luas telah timbul antara kedua jenis kelompok kegiatan usaha ini. Area ini terbentuk dari perusahaan-perusahaan tradisional yang memberikan persetujuan bantuan sosial untuk mendukung negara-negara yang kurang berkembang/ underdeveloped countries, yayasan-yayasan sosial yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan individual, kelompok-kelompok perusahaan yang berorientasi pada kesejahteraan sosial, dan dunia yang dibedakan dengan yang disebut sebagai “ekonomi sipil” dan “ekonomi persekutuan”. Ini bukan semata-mata sebuah “sektor ketiga”, tetapi sebuah kenyataan komposit yang baru dan luas yang merangkul bidang privat dan publik, sesuatu yang tidak menolak keuntungan, namun sebaliknya menganggapnya sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuan kemanusian dan sosial. Tentang apakah perusahaan-perusahaan yang demikian membagikan dividen atau tidak, atau apakah struktur yuridisnya sesuai dengan satu bentuk atau bentuk lain yang sudah ada [atau tidak]  menjadi nomor dua jika dibandingkan dengan keinginan mereka untuk melihat keuntungan sebagai alat untuk mencapai tujuan dari pasar dan masyarakat yang lebih manusiawi. Diharapkan bahwa bentuk-bentuk baru dari kegiatan usaha ini akan berhasil untuk menemukan struktur yuridis dan fiskal yang cocok di dalam setiap negara. Tanpa prasangka terhadap kepentingan dan keuntungan- keuntungan ekonomi dan sosial dari  bentuk-bentuk bisnis yang lebih tradisional, mereka mengemudikan sistem ke arah pengambilan tugas- tugas yang lebih jelas dan lebih menyeluruh di pihak para pelaku ekonomi. Dan tidak hanya itu. Bentuk-bentuk institusional yang sangat beraneka ragam dari bisnis mengakibatkan sebuah pasar/ market yang tidak hanya lebih manusiawi namun juga lebih kompetitif.

47. Penguatan berbagai tipe bisnis, khususnya tipe-tipe yang mampu untuk melihat keuntungan sebagai alat untuk mencapai tujuan sebuah pasar dan masyarakat yang lebih manusiawi, harus juga dikejar di dalam negara-negara yang tidak termasuk atau yang di batas marjinal dari lingkaran pengaruh ekonomi global. Pada negara- negara ini, adalah sangat penting untuk bergerak maju dengan subsidiaritas/ bantuan yang bersifat projects based, yang direncanakan dan dikelola dengan layak, yang ditujukan untuk memantapkan hak-hak namun juga menyediakan pengambilan tanggung jawab yang sesuai. Di dalam program-program perkembangan, prinsip keutamaan manusia, sebagai pelaku yang bertanggungjawab secara mendasar untuk perkembangan, harus dipertahankan. Perhatian khusus secara prinsip harus diadakan untuk meningkatkan kondisi-kondisi penghidupan yang aktual dari orang- orang di daerah itu, sehingga memampukan mereka untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut yang tidak dapat dipenuhi oleh mereka pada saat ini karena kemiskinan mereka. Perhatian sosial tidak pernah boleh berupa sikap yang abstrak. Program- program perkembangan, jika mereka disesuaikan dengan situasi perorangan, harus fleksibel; dan orang-orang yang diuntungkan harus dilibatkan secara langsung di dalam perencanaannya dan pelaksanaannya. Kriteria yang diterapkan harus ditujukan terhadap perkembangan yang menguntungkan di dalam konteks solidaritas – dengan “monitoring” yang hati-hati terhadap hasil-hasilnya – lantaran karena tidak ada solusi-solusi valid yang universal. Banyak hal tergantung dari bagaimana program- program dikelola pada prakteknya. “Bangsa- bangsa sendiri mempunyai tanggung jawab utama untuk bekerja demi perkembangan mereka sendiri. Tetapi mereka mereka tidak akan menghasilkan hal ini di dalam isolasi.” ((Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 77: loc. cit., 295.)) Perkataan Paulus VI ini adalah sangat tepat sekarang ini, karena dunia kita menjadi semakin lebih terintegrasi secara progresif. Dinamika –dinamika keterlibatan hampir tidak otomatis. Solusi-solusi perlu untuk dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan kehidupan konkrit manusia, berdasarkan atas evaluasi yang bijaksana dari setiap keadaan. Bersamaan dengan proyek-proyek besar/ makro, diadakan tempat untuk proyek-proyek kecil/ mikro, dan di atas semua itu, terdapat kebutuhan untuk mobilisasi aktif dari semua pelaku masyarakat sipil, baik perorangan secara yuridis maupun fisik.

Kerjasama internasional mensyaratkan bangsa yang dapat menjadi bagian dari proses perkembangan ekonomi dan perkembangan manusia melalui solidaritas kehadiran mereka, supervisi, pelatihan dan respek. Dari titik tolak ini, organisasi-organisasi internasional dapat mempertanyakan ke-efektifan aktual dari birokrasi dan perangkat administratif mereka, yang seringnya berongkos mahal. Di banyak kesempatan, terjadi bahwa mereka yang menerima bantuan menjadi tunduk terhadap mereka yang memberikan bantuan,dan [negara] yang miskin tetap melanjutkan birokrasi yang mahal yang memakan prosentase yang tinggi dari biaya yang dimaksudkan untuk perkembangan. Oleh karena itu, harus diharapkan bahwa semua badan- badan internasional dan organisasi- organisasi non- pemerintah akan mengharuskan diri mereka menuju transparansi yang total, memberitahukan kepada pihak donor dan pihak publik tentang prosentase pendapatan mereka yang ditujukan untuk program-program kerjasama, isi aktual dari program-program tersebut, dan akhirnya, perincian biaya-biaya dari institusi tersebut.

48. Sekarang ini subyek perkembangan adalah juga berhubungan dekat dengan tugas-tugas yang timbul dari hubungan kita dengan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah karunia Tuhan  kepada semua orang, dan di dalam penggunaannya oleh kita, kita mempunyai tanggung jawab terhadap orang- orang miskin, terhadap generasi mendatang, dan terhadap umat manusia secara keseluruhan. Ketika alam, termasuk manusia, dipandang sebagai hasil dari sebuah kebetulan atau keyakinan evolusi, maka rasa tanggung jawab kita memudar.  Di dalam alam, seorang beriman mengakui hasil yang mengagumkan dari perbuatan Tuhan yang menciptakan, yang dapat kita gunakan secara bertanggungjawab untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan kita yang legitim, baik material ataupun non-material, sementara menghormati keseimbangan yang ada di alam ciptaan. Jika visi ini hilang, kita akhirnya akan menganggap alam sebagai sesuatu yang tabu dan tak tersentuh, atau sebaliknya, malah menyalahgunakannya. Tidak ada satupun dari sikap ini yang sesuai dengan visi Kristiani tentang alam sebagai buah dari ciptaan Tuhan.

Alam menyatakan sebuah rencana kasih dan kebenaran. Alam ada sebelum kita, dan diberikan kepada kita oleh Tuhan sebagai kerangka bagi hidup kita. Alam berbicara kepada kita tentang Pencipta kita (lih. Rom 1:20) dan kasih-Nya kepada manusia. Alam direncanakan agar “dipersatukan” di dalam Kristus di akhir jaman (lih. Ef 1:9-10; Kol 1:19-20). Oleh karena itu, ia (alam) juga adalah sebuah “panggilan”. ((John Paul II, Message for the 1990 World Day of Peace, 6: AAS 82 (1990), 150.)) Alam berada di dalam kuasa kita, bukan sebagai “a heap of scattered refuse”/ kumpulan dari buangan yang tercerai berai, ((Heraclitus of Ephesus (Ephesus, c. 535 B.C. – c. 475 B.C.), Fragment 22B124, in H. Diels and W. Kranz, Die Fragmente der Vorsokratiker, Weidmann, Berlin, 1952, 6(th) ed.)) tetapi sebagai sebuah karunia dari Sang Pencipta yang telah memberikan pengaturan yang sudah ada di dalamnya, yang memampukan manusia untuk mengambil daripadanya prinsip-prinsip yang dibutuhkan untuk “mengusahakan dan memelihara”- nya (Kej 2:15). Tetapi harus juga ditekankan bahwa adalah suatu yang bertentangan dengan perkembangan otentik untuk melihat alam sebagai sesuatu yang lebih penting daripada manusia. Pandangan ini mengarah kepada sikap neo-paganisme  atau paganisme / pantheisme baru—  keselamatan manusia tidak dapat datang dari alam saja,  yang dimengerti di dalam arti naturalistik yang murni. Seperti yang telah disebutkan, adalah penting untuk menolak posisi yang bertentangan dengan pandangan ini, yaitu yang bertujuan pada dominasi teknik secara total atas alam, sebab lingkungan alam adalah lebih dari bahan mentah untuk dimanipulasikan menurut kesenangan manusia; alam adalah pekerjaan Pencipta kita yang mengagumkan, yang mengandung sebuah “tatanan” yang menjabarkan tujuan-tujuan dan kriteria untuk penggunaannya yang bijaksana, bukannya untuk eksploitasi yang sembarangan. Dewasa ini banyak bahaya yang dilakukan terhadap perkembangan sebagai hasil dari pandangan- pandangan yang menyimpang ini. Pembatasan alam semata-mata sebagai kumpulan data yang terjadi secara kebetulan, berakhir dengan melakukan pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan bahkan mendorong kegiatan yang gagal untuk menghormati kodrat manusia itu sendiri. Kodrat kita, terdiri tidak hanya dari tubuh, tetapi juga jiwa, dan karena itu, yang dikaruniai dengan arti dan tujuan-tujuan transenden, adalah juga menentukan kebudayaan. Manusia menginterpretasikan dan membentuk lingkungan hidup melalui kebudayaan, yang pada gilirannya memperoleh pengarahan dari penggunaan kebebasan yang bertanggung jawab, sesuai dengan ketentuan hukum moral. Sebagai akibatnya, proyek-proyek perkembangan manusia secara keseluruhan tidak dapat mengabaikan generasi-generasi mendatang, tetapi perlu untuk ditandai oleh solidaritas dan keadilan inter- generasi, di samping memperhatikan konteks-konteks yang bervariasi: ekologis, yuridis,ekonomi, politis dan kebudayaan. ((Pontifical Council for Justice And Peace, Compendium of the Social Doctrine of the Church, 451-487.))

49. Masalah-masalah yang berkaitan dengan pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup dewasa ini perlu untuk memperhatikan masalah energi. Fakta bahwa beberapa Negara, kelompok-kelompok tenaga [listrik] dan perusahaan-perusahaan yang menimbun sumber energi yang tak dapat diperbaharui (non-renewable energy resources) mewakili penghalang yang besar bagi perkembangan di negara-negara miskin. Negara-negara tersebut kekurangan cara ekonomis, baik untuk memperoleh akses terhadap sumber- sumber energi non-renewable yang ada, atau untuk membiayai penelitian alternatif- alternatif baru. Penimbunan persediaan sumber daya alam, yang di banyak kasus ditemukan di negara-negara miskin itu sendiri, mengakibatkan timbulnya eksploitasi dan konflik yang sering terjadi di antara dan di dalam negara-negara. Konflik-konflik ini sering diadakan di tanah air negara-negara yang bersangkutan, yang mengakibatkan tingginya angka kematian, pengrusakan dan kemunduran selanjutnya. Komunitas internasional mempunyai tugas yang genting untuk menemukan cara kelembagaan untuk mengatur eksploitasi sumber- sumber daya yang tak dapat diperbaharui, dengan melibatkan negara-negara miskin di dalam prosesnya, demi merencanakan bersama bagi masa depan.

Dalam hal ini juga, terdapat kebutuhan moral yang mendesak untuk solidaritas yang diperbaharui, khususnya di dalam hubungan- hubungan antara negara-negara yang sedang berkembang dan negara-negara yang secara industri telah sangat maju. ((Cf. John Paul II, Message for the 1990 World Day of Peace, 10: loc. cit., 152-153.)) Masyarakat-masyarakat yang secara teknologis sudah maju dapat dan harus merendahkan pemakaian energi dalam negeri, baik melalui evolusi metoda manufaktur atau melalui sensitivitas ekologis yang lebih tinggi di antara warga negaranya. Harus ditambahkan bahwa pada saat ini adalah mungkin untuk mencapai kemajuan efisiensi energi yang pada saat bersamaan mendukung penelitian bentuk-bentuk energi alternatif. Meskipun demikian, apa yang juga dibutuhkan adalah redistribusi sumber daya secara mendunia, sehingga negara-negara yang kekurangan sumber daya dapat memperoleh akses untuk mendapatkannya. Nasib negara-negara tersebut tidak dapat diserahkan ke dalam tangan-tangan siapa saja yang pertama kali memperoleh klaim sumber daya tersebut, atau siapapun yang berhasil menang memperolehnya atas yang lain. Di sini kita berurusan dengan hal-hal utama, jika hal- hal itu harus dihadapi dengan secukupnya, maka setiap orang harus secara bertanggung jawab mengenali akibat yang mereka berikan kepada generasi-generasi mendatang, secara khusus pada banyak orang muda di negara-negara miskin, yang “memohon untuk mengambil bagian aktif mereka di dalam pembangunan sebuah dunia yang lebih baik.”. ((Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 65: loc. cit., 289.))

50. Tanggung jawab ini adalah sesuatu yang global sebab ia tidak hanya mempertimbangkan energi tetapi juga seluruh ciptaan, yang harus tidak diturunkan kepada generasi-generasi mendatang dalam keadaan kosong dari sumbernya. Manusia secara legitim mempunyai sebuah tanggungjawab mengelola alam, untuk dapat melindunginya, menikmati buahnya, dan mengembangkannya dalam cara-cara baru, dengan bantuan teknologi yang maju, sehingga alam dapat dengan layak meng-akomodasikan dan memberi makan terhadap populasi dunia. Di dunia ini terdapat ruang yang cukup untuk setiap orang: di sini seluruh keluarga besar umat manusia harus mendapatkan sumber daya [baginya] untuk hidup bermartabat, melalui bantuan alam itu sendiri – karunia Tuhan bagi anak-anak-Nya – dan melalui kerja keras dan kreativitas. Pada saat yang sama, kita harus mengenali tugas berat kita untuk menurunkan dunia ini kepada generasi-generasi yang akan datang di dalam kondisi bahwa mereka juga dapat dengan layak tinggal di dalamnya dan terus mengembangkannya. Ini artinya komitmen untuk membuat keputusan- keputusan gabungan “setelah merenungkan jalan yang bertanggung jawab yang harus diambil, keputusan- keputusan yang ditujukan untuk memperkuat perjanjian antara umat manusia dengan lingkungan hidup, yang harus mencerminkan  kasih penciptaan Allah, yang daripada-Nya kita diciptakan dan kepada-Nya kita berziarah menuju”. ((Benedict XVI, Message for the 2008 World Day of Peace, 7: AAS 100 (2008), 41.)) Mari kita berharap bahwa komunitas internasional dan pemerintah-pemerintah individu akan berhasil di saat berhadapan dengan cara-cara yang berbahaya untuk memperlakukan lingkungan hidup. Maka menjadi kewajiban pihak-pihak yang berkompeten untuk membuat setiap usaha untuk menjamin bahwa biaya- biaya ekonomi dan sosial dari penggunaan sumber daya bersama dilakukan dengan transparansi dan sepenuhnya ditanggung oleh mereka yang memperolehnya, bukan oleh orang-orang lain ataupun generasi-generasi mendatang: perlindungan lingkungan hidup, sumber daya dan iklim mengharuskan semua pemimpin internasional untuk bertindak bersama-sama dan untuk menunjukkan kesiap- siagaan untuk bekerja di dalam iman/ maksud yang baik,  yang menghormati hukum dan meningkatkan solidaritas dengan bagian terlemah di planet ini. ((Cf. Benedict XVI, Address to the General Assembly of the United Nations Organization, New York, 18 April 2008.)). Salah satu tantangan yang terbesar untuk menghadapi ekonomi adalah untuk mencapai penggunaan yang paling efisien – bukannya penyalahgunaan – dari sumber-sumber daya alam, berdasarkan atas sebuah kesadaran bahwa pengertian “efisiensi” tidak bebas-arti/ ‘value-free.’

51. Cara manusia memperlakukan lingkungan hidup mempengaruhi cara manusia memperlakukan dirinya sendiri dan sebaliknya. Ini mengundang masyarakat sekarang untuk memeriksa kembali secara serius gaya hidupnya, yang di banyak bagian dunia, rentan terhadap hedonisme dan konsumerisme, tanpa memperhatikan konsekuensi yang membahayakan dari hal-hal itu. ((Cf. John Paul II, Message for the 1990 World Day of Peace, 13: loc. cit., 154-155.)) Apa yang dibutuhkan adalah pengalihan efektif di dalam mentalitas, yang dapat mengarah kepada pengambilan gaya hidup baru “yang mana pencarian kebenaran, keindahan dan kebaikan dan persekutuan dengan orang lain demi perkembangan bersama adalah faktor-faktor yang menentukan pilihan-pilihan konsumen, tabungan dan investasi”. ((John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 36: loc. cit., 838-840.)) Setiap pelanggaran terhadap solidaritas dan persahabatan sipil membahayakan lingkungan hidup, seperti pemerosotan lingkungan hidup pada gilirannya mengganggu hubungan-hubungan di dalam masyarakat. Alam, secara khusus pada jaman kita, digabungkan ke dalam dinamika masyarakat dan kebudayaan sehingga sekarang ia hampir tidak mengandung variabel yang berdiri sendiri. Desertifikasi dan penurunan produksi di dalam area pertanian adalah juga hasil dari pemiskinan dan kurangnya perkembangan/ underdevelopment di antara para penduduk. Ketika insentif ditawarkan bagi perkembangan ekonomi dan kebudayaan, alam sendiri dilindungi. Selanjutnya, betapa banyak sumber daya alam yang dirusak oleh perang! Damai di dalam dan di antara bangsa-bangsa akan menyediakan perlindungan yang lebih besar terhadap alam. Penimbunan sumber daya, terutama air, dapat menimbulkan konflik yang serius di antara negara- negara yang bersangkutan. Perjanjian-perjanjian tentang penggunaan sumber- sumber daya dapat melindungi alam dan pada saat yang sama, kesejahteraan masyarakat yang menjadi perhatian.

Gereja mempunyai tanggung jawab terhadap alam ciptaan dan ia harus menyatakan tanggung jawab ini kepada lingkup publik. Dengan demikian, ia harus mempertahankan tidak saja bumi, air dan udara sebagai karunia-karunia ciptaan yang merupakan milik semua orang. Gereja harus pertama-tama melindungi umat manusia dari pengrusakan diri sendiri. Terdapatlah kebutuhan terhadap apa yang disebut sebagai ekologi manusia, yang dimengerti secara benar. Pengrusakan alam pada kenyataannya berkaitan dengan kebudayaan yang membentuk ko-eksistensi manusia: ketika “ekologi manusia” ((Ibid., 38: loc. cit., 840-841; Benedict XVI, Message for the 2007 World Day of Peace, 8: loc. cit., 779.)) dihormati di dalam masyarakat, ekologi lingkungan hidup juga memperoleh keuntungan. Seperti kebajikan- kebajikan manusia juga saling berkaitan, sehingga perlemahan dari satu kebajikan mempengaruhi yang lainnya, maka sistem ekologi di dasari atas penghormatan terhadap rencana yang mempengaruhi baik kesehatan masyarakat dan hubungannya yang baik dengan alam.

Untuk melindungi alam, tidak cukup hanya dengan meng-intervensi dengan insentif ekonomi atau kekuatan militer; bahkan pendidikan dalam hal yang bersangkutan tidaklah cukup. Hal- hal ini adalah langkah-langkah penting, tetapi yang menjadi hal yang menentukan adalah keadaan moral secara keseluruhan di dalam masyarakat. Kalau tidak ada penghormatan terhadap hak untuk hidup dan untuk kematian yang wajar, kalau konsepsi manusia, gestasi dan kelahiran dibuat artifisial, kalau janin manusia dikorbankan untuk penelitian, hati nurani masyarakat berakhir dengan kehilangan konsep tentang ekologi manusia dan, bersamaan dengan itu, tentang ekologi lingkungan hidup. Adalah sesuatu yang bertentangan untuk menekankan bahwa generasi-generasi mendatang harus menghormati lingkungan hidup ketika sistem-sistem pendidikan dan hukum-hukum tidak membantu mereka untuk menghormati diri mereka sendiri. Kitab kehidupan alam adalah satu dan tidak dapat dibagi-bagi: itu berkaitan tidak saja dengan lingkungan hidup, tetapi juga kehidupan, seksualitas, perkawinan, keluarga, hubungan sosial: dengan kata lain: perkembangan manusia seutuhnya. Tugas-tugas kita terhadap lingkungan hidup berkaitan dengan tugas-tugas kita terhadap manusia, yaitu tugas terhadap diri sendiri dan terhadap hubungannya dengan orang lain. Adalah salah untuk menjunjung tinggi salah satu perangkat tugas-tugas, sementara menginjak-injak tugas- tugas yang lain. Di sini terletak pertentangan yang berat di dalam mentalitas kita dan praktek pada masa ini: seseorang yang merendahkan manusia mengganggu lingkungan hidup dan merusak masyarakat.

52. Kebenaran, dan kasih yang dinyatakan oleh kebenaran, tidak dapat dihasilkan: keduanya hanya dapat diterima sebagai sebuah karunia. Sumber utama keduanya adalah bukan dan tidak bisa dari manusia, tetapi hanya Tuhan, yang adalah Kebenaran dan Kasih. Prinsip ini adalah teramat sangat penting bagi masyarakat dan bagi perkembangan, sebab masyarakat dan perkembangan tidak dapat merupakan produk manusia secara murni; panggilan untuk perkembangan di pihak perorangan dan bangsa- bangsa tidak berdasarkan hanya atas pilihan manusia, tetapi merupakan bagian yang melekat dari sebuah rencana yang ada sebelum kita dan membentuk bagi kita sebuah tugas untuk diterima dengan bebas. Bahwa apa yang sebelum kita dan membentuk kita – Kasih dan Kebenaran yang tetap selamanya– menunjukkan kepada kita, apa itu kebaikan, dan terdiri dari apa kebahagiaan kita yang sejati. Ia menunjukkan pada kita jalan menuju perkembangan yang sejati.

BAB LIMA

KERJA SAMA KELUARGA MANUSIA

53. Salah satu bentuk kemiskinan yang paling dalam yang dapat dialami manusia adalah isolasi/ keterpisahan. Kalau kita melihat dari dekat bermacam bentuk kemiskinan, termasuk bentuk-bentuk material, kita melihat bahwa mereka lahir dari isolasi, dari tidak dicintai atau dari kesulitan untuk dapat mencintai. Kemiskinan sering dihasilkan dari penolakan atas kasih Tuhan, oleh kecenderungan dasar dan tragis manusia yang menutup diri sendiri, memikirkan diri sendiri sebagai “self-sufficient”/ cukup dengan diri sendiri atau semata-mata sebuah fakta yang tidak penting dan hanya sekejap mata, seorang”asing” di dalam sebuah alam semesta yang acak. Manusia terasing ketika ia sendirian, ketika ia terpisah dari realitas, ketika ia berhenti berpikir dan percaya akan sebuah pondasi. ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 41: loc. cit., 843-845.)) Semua manusia terasing ketika terlalu banyak kepercayaan diberikan kepada proyek-proyek manusia semata, ideologi-ideologi dan utopia yang palsu. ((Cf. ibid)) Sekarang umat manusia timbul menjadi lebih interaktif daripada di jaman dahulu: rasa kedekatan antara satu dengan lainnya ini harus dapat diubah menjadi persekutuan yang sejati. Di atas segalanya, perkembangan bangsa-bangsa tergantung dari sebuah pengakuan bahwa umat manusia adalah sebuah keluarga yang bekerja sama di dalam persekutuan yang sejati, tidak saja merupakan sebuah kelompok dari para pelaku yang kebetulan hidup berdampingan. ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Evangelium Vitae, 20: loc. cit., 422-424.))

Paus Paulus VI menyatakan bahwa “dunia ada di dalam kesulitan karena kekurangan berpikir”. ((Encyclical Letter Populorum Progressio, 85: loc. cit., 298-299.)) Ia membuat suatu pengamatan, tetapi juga menyatakan pengharapan: sebuah pemikiran maju/ meroket yang baru diperlukan supaya dapat mencapai pengertian yang lebih baik dari implikasi-implikasi bahwa kita adalah satu keluarga; interaksi di antara bangsa-bangsa di dunia memanggil kita untuk berangkat memulai kemajuan baru ini, sehingga integrasi dapat menandai solidaritas ((Cf. John Paul II, Message for the 1998 World Day of Peace, 3: AAS 90 (1998), 150; Address to the Members of the Vatican Foundation “Centesimus Annus – Pro Pontifice”, 9 May 1998, 2; Address to the Civil Authorities and Diplomatic Corps of Austria, 20 June 1998, 8; Message to the Catholic University of the Sacred Heart, 5 May 2000, 6.)) bukannya malah menjadikan marginalisasi. Pemikiran seperti ini mensyaratkan sebuah evaluasi kritis yang lebih dalam tentang kategori hubungan/ relasi. Ini adalah sebuah tugas yang tidak dapat diambil oleh ilmu-ilmu sosial saja, sebab kontribusi dari ilmu-ilmu seperti metafisik dan teologi dibutuhkan kalau martabat manusia yang transenden itu mau diartikan dengan sesungguhnya.

Sebagai mahluk spiritual, sorang manusia didefinisikan melalui relasi-relasi interpersonal. Semakin otentik ia hidup dalam relasi-relasi ini, semakin dewasalah identitas pribadinya. Manusia tidak menciptakan jatidirinya dengan isolasi, tetapi dengan menempatkan dirinya di dalam relasi dengan sesamanya dan dengan Tuhan. Oleh karena itu, relasi-relasi ini mengambil tempat istimewa yang mendasar. Ini berlaku juga bagi bangsa-bangsa. Oleh karena itu, pengertian metafisik tentang relasi antar manusia adalah keuntungan yang besar bagi perkembangan mereka. Di dalam hal ini, akal memperoleh inspirasi dan pengarahan di dalam wahyu Kristiani, yang menurutnya komunitas umat manusia tidak menghisap/ menghilangkan individu, melenyapkan otonominya, seperti yang terjadi dalam bentuk- bentuk totalitarianisme, melainkan menghargai manusia  dengan lebih lagi sebab hubungan antara individu dan komunitas adalah hubungan antara satu totalitas dengan totalitas lainnya. ((According to Saint Thomas “ratio partis contrariatur rationi personae”, In III Sent., d. 5, q. 3, a. 2; also “Homo non ordinatur ad communitatem politicam secundum se totum et secundum omnia sua”, Summa Theologiae I-II, q. 21, a. 4, ad 3.)) Seperti sebuah keluarga tidak menenggelamkan identitas-identitas anggota-anggotanya, seperti Gereja bersuka cita in dalam setiap “ciptaan baru” (Gal 6:15; 2 Kor 5:17) yang tergabung melalui Pembaptisan ke dalam Tubuhnya, maka juga kesatuan keluarga umat manusia tidak menenggelamkan identitas- identitas individual, bangsa-bangsa dan kebudayaan, tetapi membuat mereka menjadi lebih transparan satu dengan yang lainnya, dan menghubungkan mereka dengan lebih dekat di dalam perbedaan- perbedaan yang legitim di antara mereka.

54. Tema perkembangan dapat diidentifikasikan dengan keterlibatan di dalam relasi semua individu dan bangsa di dalam satu komunitas umat manusia, yang dibangun di dalam solidaritas di atas basis  nilai-nilai dasar keadilan dan kedamaian. Perspektif ini diterangi di dalam cara yang sangat jelas dengan hubungan di antara Pribadi dari Allah Trinitas di dalam satu kesatuan Hakekat ilahi. Trinitas adalah kesatuan absolut; bahwa ketiga Pribadi ilahi adalah hubungan yang murni/ “pure rationality”.  Transparansi timbal balik di antara Pribadi ilahi adalah total dan ikatan di antara mereka lengkap, sebab Mereka merupakan sebuah kesatuan yang unik dan absolut. Tuhan berkehendak untuk menggabungkan kita ke dalam realitas persekutuan ini juga: “supaya mereka menjadi satu seperti Kita adalah satu” (Yoh 17:22). Gereja adalah sebuah tanda dan istrumen dari kesatuan ini. ((Cf. Second Vatican Ecumenical Council, Dogmatic Constitution on the Church Lumen Gentium, 1.)) Hubungan- hubungan antara manusia di sepanjang sejarah tidak dapat tidak diperkaya oleh acuan terhadap contoh ilahi ini. Secara khusus, di dalam terang dari misteri Trinitas yang dinyatakan,  kita memahami bahwa keterbukaan yang sejati tidak berarti penghilangan identitas individual tetapi saling memasuki/ interpenetration yang mendalam. Ini juga timbul dari pengalaman-pengalaman umum manusia tentang kasih dan kebenaran.  Seperti kasih sakramental dari pasangan suami istri mempersatukan mereka secara spiritual di dalam “satu daging” (Kej 2:24; Mt 19:5; Ef 5:31) dan membuat dari keduanya sebuah kesatuan relasi/ hubungan, sehingga secara analogis, kebenaran mempersatukan jiwa-jiwa dan menyebabkan mereka berpikir dalam kesatuan, menarik mereka sebagai suatu kesatuan kepada kebenaran itu sendiri.

55.Wahyu Kristiani tentang kesatuan umat manusia mensyaratkan  sebuah interpretasi metafisik tentang “humanum” yang di dalamnya hal hubungan adalah elemen yang esensial. Kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama lain mengajarkan persaudaraan dan damai dan oleh karena itu, adalah menjadi sangat penting bagi perkembangan manusia seutuhnya. Namun demikian, beberapa sikap religius dan kultural tidak sepenuhnya merangkul prinsip kasih dan kebenaran, dan oleh karena itu mengakibatkan pemuduran atau penghambatan terhadap perkembangan manusia yang otentik. Terdapat budaya-budaya religius tertentu di dunia sekarang ini yang tidak mengharuskan para pria dan wanita untuk hidup di dalam persekutuan tetapi malah dipisahkan satu dengan yang lainnya demi memenuhi kesejahteraan individual, terbatas kepada pemuasan keinginan-keinginan psikologis. Selanjutnya, sebuah perkembangan pesat tertentu dari “jalan-jalan” religius yang berbeda- beda, yang menarik kelompok- kelompok kecil atau bahkan orang-orang secara pribadi, bersama- sama dengan sinkretisme religius, dapat menghasilkan perpisahan dan pemutusan hubungan. Salah satu efek negatif dari proses globalisasi adalah kecenderungan untuk menyukai bentuk sinkretisme ini ((Cf. John Paul II, Address to the Sixth Public Session of the Pontifical Academies of Theology and of Saint Thomas Aquinas, 8 November 2001, 3.)) dengan mendorong bentuk-bentuk “agama” yang bukannya membawa orang-orang untuk bersama, tapi malah mengasingkan mereka satu dengan yang lainnya dan memisahkan mereka dari realitas. Pada saat yang sama, beberapa tradisi religius dan budaya tetap berkukuh, yang membuat masyarakat menjadi kaku di dalam pengelompokan sosial yang rigid, dengan kepercayaan magis yang gagal untuk menghormati martabat manusia, dan di dalam sikap takluk kepada kekuasaan-kekuasaan okultisme. Dalam konteks- konteks ini, kasih dan kebenaran mempunyai kesulitan untuk menyatakan diri mereka dan perkembangan secara otentik menjadi terhambat.

Untuk alasan ini, di samping tetap benar bahwa perkembangan membutuhkan agama-agama dan budaya-budaya dari bangsa yang berbeda- beda, maka adalah juga benar bahwa “discernment” yang memadai juga diperlukan. Kebebasan beragama tidak berarti tidak peduli pada agama/ religious indifferentism, atau tidak berarti bahwa semua agama adalah sama. ((Cf. Congregation for the Doctrine of the Faith, Declaration on the Unicity and Salvific Universality of Jesus Christ and the Church Dominus Iesus (6 August 2000), 22: AAS 92 (2000), 763-764; Id., Doctrinal Note on some questions regarding the participation of Catholics in political life (24 November 2002), 8: AAS 96 (2004), 369-370.)) Diperlukan adanya discernment tentang kontribusi budaya-budaya dan agama-agama, terutama di pihak mereka yang memegang kuasa politik, jika komunitas sosial harus dibangun di atas semangat untuk menghormati kebaikan bersama. Discernment ini harus didasari oleh kriteria kasih dan kebenaran. Sebab perkembangan manusia dan bangsa-bangsa adalah taruhannya, maka discernment harus memperhitungkan kebutuhan untuk emansipasi dan peng-libatan (inclusivity), di dalam konteks sebuah komunitas umat manusia yang benar- benar universal. “The whole man and all men”/ keseluruhan diri manusia dan seluruh umat manusia, adalah juga tolok ukur untuk meng-evaluasi budaya-budaya dan agama-agama. Kristianitas, agama  tentang “Tuhan yang mempunyai wajah manusia”, ((Benedict XVI, Encyclical Letter Spe Salvi, 31: loc. cit., 1010; Address to the Participants in the Fourth National Congress of the Church in Italy, Verona, 19 October 2006.)) sungguh mengandung tolok ukur ini di dalam dirinya sendiri.

56. Agama Kristiani dan agama-agama lain dapat menawarkan kontribusi mereka kepada perkembangan hanya jika Tuhan mendapat tempat di ruang publik, secara khusus di dalam hal budaya, sosial, ekonomi dan secara khusus di dalam dimensi politik. Ajaran sosial Gereja lahir dalam rangka meng-klaim “status kewarganegaraan” untuk agama Kristiani. ((John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 5: loc. cit., 798-800; Benedict XVI, Address to the Participants in the Fourth National Congress of the Church in Italy, Verona, 19 October 2006.)) Pengingkaran hak- hak seseorang untuk menyatakan agama di muka publik dan hak untuk menyatakan kebenaran-kebenaran iman di dalam menjalani kehidupan publik memberikan konsekuensi-konsekuensi negatif kepada perkembangan sejati. Pembuangan agama dari ruang publik – dan di sisi ekstrim lainnya — fundamentalisme religius — menghambat sebuah pertemuan antar manusia dan kerjasama mereka bagi kemajuan umat manusia. Kehidupan publik terhisap dari motivasinya dan politik mempunyai karakter dominasi dan agresif. Hak- hak azasi manusia mempunyai resiko diacuhkan entah karena sifat transendennya dirampas, atau karena kebebasan pribadinya tidak diakui.  Sekularisme dan fundamentalisme mencoret kemungkinan dialog yang berbuah dan kerjasama yang efektif antara akal dan iman religius. Akal budi selalu tetap perlu dimurnikan oleh iman: ini juga tetap benar untuk alasan politik, yang tidak boleh menganggap dirinya sendiri sebagai mahakuasa. Sebab bagiannya, agama selalu perlu dimurnikan dengan akal budi, agar dapat memperlihatkan wajah kemanusiaannya yang otentik. Pelanggaran apapun dari dialog ini [antara agama dan akal budi] hanya akan mengakibatkan harga yang besar terhadap perkembangan manusia.

57. Dialog yang berhasil antara iman dan akal budi tidak dapat tidak mengembalikan pekerjaan/ tindakan kasih menjadi lebih efektif di dalam masyarakat dan itu merupakan kerangka kerja yang paling layak untuk memajukan kerjasama persaudaraan antara umat/ orang-orang yang percaya dan yang tidak percaya di dalam komitmen bersama untuk bekerja bagi keadilan dan kedamaian bagi keluarga besar umat manusia. Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, para bapa Konsili menyatakan bahwa “umat beragama dan tak beragama setuju hampir dengan suara bulat bahwa semua hal di dunia harus diatur demi manusia sebagai pusat dan puncaknya”. ((No. 12.)) Untuk umat beriman, dunia berasal tidak dari “blind chance” /kesempatan buta ataupun dari “strict necessity”/ keharusan yang kaku, tetapi dari rencana Allah. Inilah yang menyebabkan timbulnya tugas dari umat beriman untuk mempersatukan usaha-usaha mereka dengan usaha semua pria dan wanita yang berkehendak baik, dengan para pengikut agama-agama lain dan dengan mereka yang tidak beragama, sehingga dunia kita ini dapat secara efektif menanggapi rencana ilahi: untuk hidup sebagai sebuah keluarga di bawah pengawasan mata Sang Pencipta. Sebuah manifestasi khusus tentang kasih dan sebuah kriteria yang membimbing untuk kerjasama persaudaraan antara umat yang percaya dan yang tidak percaya, adalah tak diragukan lagi merupakan prinsip dari subsidiaritas, ((Cf. Pius XI, Encyclical Letter Quadragesimo Anno (15 May 1931): AAS 23 (1931), 203; John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 48: loc. cit., 852-854; Catechism of the Catholic Church, 1883.))  sebuah ekspresi dari kebebasan manusia yang tidak dapat dicabut. Subsidiaritas adalah pertama-tama dan utama merupakan sebuah bentuk bantuan kepada manusia melalui otonomi badan-badan perantara. Bantuan semacam ini ditawarkan ketika orang-orang secara individu atau kelompok tidak dapat menyelesaikan sesuatu dengan usahanya sendiri, dan bantuan ini selalu direncanakan untuk mencapai keterlibatan/ emansipasi mereka, sebab itu meningkatkan kebebasan dan partisipasi melalui mengambilan tanggungjawab. Subsidiaritas menghormati martabat manusia dengan mengakui di dalam dirinya seorang pelaku yang selalu mampu memberi sesuatu kepada orang lain. Dengan mempertimbangkan hal timbal balik sebagai inti dari apa yang menjadi hakekat manusia, subsidiaritas adalah obat pemulih yang paling efektif melawan segala bentuk penguasaan hal kesejahteraan oleh Negara. Subsidiaritas dapat memperhitungkan baik berbagai artikulasi rencana-rencana – dan dengan demikian keberagaman para pelaku–  maupun koordinasi dari rencana-rencana itu. Oleh karena itu prinsip subsidiaritas secara khusus sangat cocok dengan pengaturan globalisasi dan pengarahannya kepada pengembangan manusia yang otentik.  Agar tidak menghasilkan kekuasaan universal yang berbahaya yang bersifat tirani, pengaturan globalisasi harus ditandai dengan subsidiaritas, yang dinyatakan di dalam beberapa lapisan dan melibatkan tingkatan-tingkatan yang dapat bekerja sama. Globalisasi pasti memerlukan otoritas, lantaran globalisasi berkaitan dengan masalah kebaikan bersama yang harus dikejar/ dicapai. Namun demikian, otoritas ini, harus diatur di dalam sebuah subsidiaritas dan jalan stratifikasi, ((Cf. Pius XI, Encyclical Letter Quadragesimo Anno (15 May 1931): AAS 23 (1931), 203; John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 48: loc. cit., 852-854; Catechism of the Catholic Church, 1883.)) jika itu tidak untuk melanggar kebebasan dan jika itu adalah untuk menghasilkan hasil-hasil yang efektif di dalam pelaksanaannya.

58. Prinsip subsidiaritas harus tetap berhubungan dengan prinsip solidaritas dan begitu juga sebaliknya, sebab subsidiaritas tanpa solidaritas membuka jalan kepada privatisme sosial, sedangkan solidaritas tanpa subsidiaritas membuka jalan ke arah bantuan sosial paternalis yang merendahkan mereka yang membutuhkan. Aturan umum ini harus diambil secara luas dalam pertimbangan ketika membahas hal-hal tentang bantuan perkembangan internasional (international development aid). Bantuan tersebut, apapun maksud-maksud para donatur, kadang-kadang dapat mengunci bangsa-bangsa di dalam keadaan tergantung dan bahkan menunjang keadaan-keadaan penindasan lokal dan eksploitasi pada negara-negara yang menerima bantuan. Bantuan ekonomi, supaya menjadi benar sesuai dengan maksudnya, harus tidak mengejar tujuan-tujuan sekunder. Bantuan itu harus didistribusikan dengan keterlibatan tidak saja pihak pemerintah negara-negara yang menerima bantuan, tetapi juga badan-badan ekonomi lokal dan penunjang budaya di dalam kehidupan sosial, termasuk Gereja-gereja lokal. Program-program harus secara meningkat mendapatkan karakter-karakter partisipasi dan penyelesaian dari akar rumput/ masyarakat basis. Sungguh, sumber daya yang paling berharga di dalam negara-negara yang menerima bantuan perkembangan adalah sumber daya manusia: di sinilah terletak modal nyata yang perlu untuk dikumpulkan untuk menjamin sebuah masa depan yang sungguh otonom bagi negara-negara yang termiskin. Harus juga diingat bahwa di dalam lingkup ekonomi, bentuk prinsip bantuan yang dibutuhkan oleh negara-negara yang sedang berkembang adalah yang berkaitan dengan sesuatu yang memperbolehkan dan mendorong penetrasi perlahan-lahan dari produk-produk hasil mereka ke dalam pasar internasional, sehingga memungkinkan bagi negara-negara ini untuk berpartisipasi sepenuhnya di dalam kehidupan ekonomi internasional. Sudah terlalu sering di masa lalu, bantuan dilakukan hanya untuk menciptakan pasar-pasar pinggiran untuk produk-produk negara-negara donor ini. Ini seringnya disebabkan oleh kurangnya kebutuhan yang sungguh-sungguh akan produk-produk tersebut: oleh karena itu adalah penting untuk membantu negara-negara tersebut untuk memperbaiki produk-produk mereka dan menyesuaikan mereka dengan lebih efektif terhadap kebutuhan yang ada. Selanjutnya, terdapat pihak-pihak yang takut terhadap akibat-akibat persaingan melalui import produk-produk— biasanya produk-produk pertanian— dari negara-negara yang miskin secara ekonomi. Walaupun demikian, haruslah diingat bahwa bagi negara-negara tersebut, kemungkinan untuk memasarkan produk mereka seringnya adalah yang menjamin kelangsungan hidup mereka baik secara jangka pendek maupun jangka panjang. Perdagangan internasional yang adil dan wajar di dalam produk hasil pertanian dapat menguntungkan bagi semua orang, baik bagi supplier (negara penghasil) maupun para pemakai. Untuk alasan ini, tidak hanya dibutuhkan orientasi komersial bagi produk jenis ini, tetapi juga penentuan peraturan- peraturan perdagangan internasional untuk mendukungnya dan pendanaan yang lebih luas untuk perkembangan agar dapat meningkatkan produktivitas ekonomi-ekonomi ini.

59. Kerjasama untuk perkembangan harus tidak hanya mengkhususkan perhatian pada dimensi ekonomi: kerjasama ini menawarkan sebuah kesempatan yang istimewa bagi pertemuan di antara budaya-budaya dan bangsa-bangsa. Jika pihak-pihak dalam kerjasama ini pada sisi negara- negara yang telah berkembang secara ekonomi – seperti yang sudah sering terjadi – gagal untuk mempertimbangkan identitas budaya mereka sendiri atau negara-negara lain, atau nilai-nilai kemanusiaan yang membentuknya, mereka tidak dapat membangun dialog yang berarti dengan para warga negara- negara yang miskin. Jika para warga miskin  ini, pada giliran mereka, tidak mengkritisi dan tanpa memilah terbuka terhadap setiap proposal budaya, mereka tidak akan berada dalam posisi mengambil tanggung jawab terhadap perkembangan mereka sendiri secara otentik. ((Cf. Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 10, 41: loc. cit., 262, 277-278.)) Masyarakat- masyarakat yang telah maju secara teknologi harus tidak mencampur adukkan perkembangan teknologi mereka dengan anggapan superioritas budaya, tetapi sebaliknya harus menemukan di dalam diri mereka sendiri kebajikan- kebajikan yang sering terlupakan yang telah memungkinkan mereka berkembang di sepanjang sejarah mereka. Masyarakat yang berkembang harus tetap setia kepada semua hal yang sungguh-sungguh manusiawi di dalam tradisi- tradisi mereka, mencegah godaan-godaan untuk menutup tradisi tersebut secara otomatis dengan mekanisme-mekanisme kemasyarakatan dengan teknologi global. Di dalam semua budaya, terdapat contoh-contoh pemusatan pandangan yang etis, beberapa di antaranya terpisah satu sama lain, beberapa yang lain saling berkaitan, sebagai suatu ekspresi dari satu kodrat kemanusiaan yang diinginkan oleh Sang Pencipta; tradisi kebijaksanaan etis mengenal hal ini sebagai hukum kodrat (natural law). ((Cf. Benedict XVI, Address to Members of the International Theological Commission, 5 October 2007; Address to the Participants in the International Congress on Natural Moral Law, 12 February 2007)) Hukum moral yang universal menyediakan dasar yang kuat bagi semua dialog budaya, religius dan politis, dan hukum itu menjamin bahwa pluralisme yang dari berbagai segi dari keanekaragaman budaya tidak melepaskan dirinya dari penyelidikan umum terhadap kebenaran, kebaikan dan Tuhan. Oleh karena itu, kesetiaan terhadap hukum menggoreskan di dalam hati manusia kondisi awal bagi semua kerjasama sosial yang membangun. Setiap budaya mempunyai beban-beban yang daripadanya ia harus dibebaskan dan bayangan-bayangan yang daripadanya ia harus timbul. Iman Kristiani, yang merasuk/ menjelma di dalam budaya-budaya dan pada saat yang sama mengatasi mereka secara transenden, dapat membantu mereka bertumbuh di dalam persaudaraan yang universal dan solidaritas, bagi kemajuan global dan perkembangan komunitas.

60. Dalam pencarian solusi-solusi pada krisis ekonomi yang terjadi sekarang ini, bantuan perkembangan bagi negara-negara miskin harus diperhitungkan sebagai sebuah cara yang sah/ valid untuk menciptakan kesejahteraan bagi semua. Adakah program bantuan yang dapat menghasilkan prospek- prospek pertumbuhan yang signifikan – bahkan dari titik tolak ekonomi dunia – sebagai pendukung populasi- populasi manusia yang masih berada di dalam tahap awal perkembangan ekonomi? Dari sudut pandang ini, negara-negara yang secara ekonomi telah berkembang harus melakukan segala sesuatu yang dapat mereka lakukan untuk menempatkan bagian yang lebih besar dari produk domestik global mereka bagi bantuan perkembangan, sehingga dengan demikian mereka menghormati kewajiban-kewajiban yang diambil oleh komunitas internasional dalam hal ini. Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah dengan memeriksa kembali bantuan sosial dalam negeri dan kebijakan kesejahteraan (welfare policies), menerapkan prinsip subsidiaritas dan menciptakan sistem kesejahteraan yang terintegrasi dengan lebih baik, dengan partisipasi aktif dari pihak perorangan dan masyarakat sipil. Dengan cara ini, adalah mungkin untuk memperbaiki pelayanan sosial dan program-program kesejahteraan, dan pada saat yang sama menghemat sumber daya — dengan menghapuskan dana yang tidak perlu dan menolak klaim-klaim yang curang — yang sesungguhnya dapat dialokasikan untuk solidaritas internasional. Sebuah sistem organik dan yang lebih dapat ditransfer dari solidaritas sosial, yang lebih tidak birokratif tapi tetap terkoordinasi dengan baik, akan membuatnya mungkin untuk memanfaatkan secara efektif kekuatan yang terpendam, bagi kebaikan solidaritas antar bangsa.

Sebuah pendekatan yang mungkin bagi bantuan perkembangan adalah untuk menerapkan secara efektif apa yang diketahui sebagai subsidiaritas fiskal, yang memperbolehkan para warga untuk memutuskan bagaimana caranya untuk menentukan bagian bagi pembayaran pajak kepada Negara. Asalkan hal ini tidak turun derajatnya menjadi peningkatan kepentingan-kepentingan pribadi, ini dapat membantu untuk mendorong bentuk-bentuk solidaritas kesejahteraan dari bawah, dengan kebaikan-kebaikan yang jelas terlihat dalam hal solidaritas untuk perkembangan juga.

61. Solidaritas yang lebih besar pada tingkat internasional terlihat secara khusus di dalam kemajuan yang terus menerus — bahkan di tengah krisis ekonomi — akses yang lebih besar terhadap pendidikan, yang pada saat yang sama merupakan kondisi awal yang penting bagi kerjasama internasional yang efektif. Istilah “pendidikan” mengacu tidak hanya pada pengajaran di dalam kelas dan pendidikan dalam lapangan kerja — yang keduanya merupakan faktor penting di dalam perkembangan — tetapi pendidikan di sini adalah untuk menyelesaikan pembentukan sebagai manusia. Dalam hal ini terdapat satu masalah yang harus diperhatikan: untuk mendidik, adalah penting untuk mengetahui kodrat seorang manusia, untuk mengetahui siapakah dia. Peningkatan keutamaan dalam hal pengertian yang relatif dari kodrat manusia menghadirkan masalah-masalah serius bagi pendidikan, khususnya pendidikan moral, yang membahayakan makna luasnya yang universal. Ketergantungan pada relativisme macam ini, membuat setiap orang menjadi lebih miskin dan mempunyai akibat yang negatif dalam ke-efektif-an bantuan bagi populasi manusia yang paling miskin, yang kekurangan tidak hanya dalam hal sarana- sarana ekonomi dan teknologi, tetapi juga metoda-metoda pendidikan dan sumber-sumber daya untuk membantu orang- orang dalam mewujudkan potensi manusia sepenuhnya.

Sebuah ilustrasi dari keutamaan masalah ini ditawarkan oleh fenomena turisme internasional, ((Cf. Benedict XVI, Address to the Bishops of Thailand on their “Ad Limina” Visit, 16 May 2008.)) yang dapat menjadi faktor utama di dalam perkembangan ekonomi dan pertumbuhan budaya, tetapi dapat juga menjadi sebuah kesempatan bagi eksploitasi dan pemunduran moral. Situasi pada saat ini menawarkan kesempatan-kesempatan unik bagi aspek-aspek ekonomi dari perkembangan — yaitu bahwa aliran uang dan munculnya jumlah kegiatan usaha lokal secara signifikan —untuk dipadukan dengan aspek-aspek budaya, dan terutama adalah pendidikan. Di dalam banyak kasus inilah yang terjadi, namun di kasus-kasus lainnya turisme internasional mempunyai akibat pendidikan yang negatif baik bagi turis maupun penduduk lokal. Penduduk lokal seringnya terekspos kepada bentuk-bentuk tingkah laku yang tidak bermoral atau bahkan melenceng, seperti di dalam kasus yang dikenal dengan sex-tourism, di mana banyak orang dikorbankan, bahkan pada usia muda. Adalah menyedihkan untuk melihat bahwa perbuatan ini seringnya terjadi dengan dukungan dari pemerintah lokal, dengan adanya kondisi ‘tutup mulut’ dari mereka pada negara-negara asal para turis dan dengan keterlibatan banyak dari operator tur. Bahkan dalam kasus yang kurang ekstrim, turisme internasional sering mengikuti pola-pola konsumeristik dan hedonistik, sebagai sebuah bentuk pelarian dengan cara yang tipikal di negara-negara asalnya, dan karena itu tidak kondusif bagi pertemuan otentik antara para pribadi/ perorangan dan budaya. Oleh karena itu, kita perlu mengembangkan tipe turisme yang berbeda, yang mempunyai kemampuan untuk memajukan saling pengertian yang tulus, tanpa membuang elemen istirahat dan rekreasi yang sehat. Turisme tipe ini perlu untuk ditingkatkan, sebagian melalui koordinasi yang lebih dekat dengan pengalaman yang diperoleh dari kerjasama internasional dan kegiatan usaha bagi perkembangan.

62. Aspek lainnya dari perkembangan manusia seutuhnya yang layak untuk diperhatikan adalah fenomena migrasi. Ini adalah sebuah fenomena yang mencengangkan karena terjalnya jumlah orang-orang yang terlibat, problem-problem sosial, ekonomi, politis, budaya dan religius yang ditimbulkannya, dan tantangan-tantangan dramatis yang dimilikinya terhadap bangsa-bangsa dan komunitas internasional. Kita dapat berkata bahwa kita menghadapi sebuah fenomena sosial tentang ukuran-ukuran yang membuka jaman batu yang mensyaratkan kebijakan-kebijakan kerja sama internasional yang berani dan berwawasan ke masa depan jika itu untuk ditangani secara efektif. Kebijakan-kebijakan tersebut harus dibentuk dari kerjasama yang dekat antara negara-negara asal para migran dan negara- negara tujuan mereka; hal itu harus dibarengi dengan norma-norma internasional yang memadai yang dapat mengkoordinasikan sistem-sistem legislatif dengan pandangan untuk menjaga kebutuhan- kebutuhan dan hak-hak individu para migran dan keluarga mereka, dan pada saat yang sama, mereka yang dari negara tuan rumah. Tidak ada satupun negara yang dapat diharapkan untuk membahas masalah- masalah migrasi dewasa ini secara sendirian. Kita semua adalah saksi dari beban penderitaan, tergelincirnya dan cita-cita yang mengiringi aliran para migran. Fenomena ini, seperti diketahui semua orang, sulit untuk diatur; tetapi, tidak diragukan, bahwa para perkerja asing, di samping segala kesulitan yang berkaitan dengan integrasi, memberikan kontribusi yang signifikan kepada perkembangan ekonomi negara tuan rumah melalui tenaga kerja mereka, di samping bahwa mereka juga mengembangkan ekonomi negara asalnya dengan uang yang mereka kirimkan kembali ke rumah/ negara asalnya. Jelaslah, bahwa para pekerja ini tidak dapat dianggap sebagai sebuah komoditas atau sebuah kekuatan kerja. Oleh karena itu, mereka harus tidak diperlakukan seperti faktor produksi lainnya. Setiap migran adalah seorang manusia, dan karena itu, mempunyai hak-hak yang fundamental, dan tidak dapat dicabut yang harus dihormati oleh setiap orang dan di dalam setiap keadaan. ((Cf. Pontifical Council for the Pastoral Care of Migrants and Itinerant People, Instruction Erga Migrantes Caritas Christi (3 May 2004): AAS 96 (2004), 762-822.))

63. Tidak ada satupun pertimbangan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan dapat gagal untuk menunjukkan hubungan langsung antara kemiskinan dan pengangguran. Di dalam banyak kasus, kemiskinan merupakan hasil dari pelanggaran martabat pekerjaan manusia, entah karena kesempatan kerja yang terbatas (melalui pengangguran atau kekurangan pekerjaan), atau “sebab sebuah nilai yang rendah dipasang pada pekerjaan dan hak-hak yang mengalir daripadanya, khususnya hak untuk memperoleh gaji yang wajar dan untuk keamanan personal dari pekerja dan keluarganya”. ((John Paul II, Encyclical Letter Laborem Exercens, 8: loc. cit., 594-598.)) Untuk alasan ini, pada tanggal 1 May 2000, pada kesempatan tahun Yubelium para Pekerja, pendahulu saya yang terhormat Paus Tohanes Paulus II mengeluarkan permohonan untuk “sebuah koalisi global yang memihak kepada ‘pekerjaan yang layak’”, ((Jubilee of Workers, Greeting after Mass, 1 May 2000.)) untuk mendukung strategi Organisasi Buruh Internasional. Dengan cara ini, beliau memberi dorongan moral yang kuat kepada tujuan ini, melihatnya sebagai sebuah cita-cita dari keluarga-keluarga di setiap negara di dunia. Apakah yang dimaksudkan dengan istilah “layak” dalam hubungannya dengan pekerjaan? Itu berarti pekerjaan yang mengekspresikan martabat hakiki dari setiap laki-laki dan perempuan di dalam konteks masyarakat mereka yang khusus: pekerjaan yang dipilih secara bebas tanpa paksaan, lembaga-lembaga para pekerja yang efektif, baik laki-laki dan perempuan, dengan perkembangan komunitas mereka; pekerjaan yang memampukan pekerja agar dihormati dan bebas dari segala bentuk diskriminasi; pekerjaan yang membuatnya mungkin bagi para keluarga untuk memenuhi kebutuhan mereka dan menyediakan pendidikan/ biaya sekolah bagi anak-anak mereka, tanpa anak-anak mereka terpaksa harus bekerja; pekerjaan yang mengizinkan para pekerja untuk mengatur diri mereka sendiri dengan bebas, dan untuk membuat suara mereka didengarkan; pekerjaan yang menyediakan kesempatan bagi penemuan kembali akar diri seseorang pada tingkat pribadi, keluarga dan rohani; pekerjaan yang menjamin mereka yang sudah pensiun sebuah standar kehidupan yang layak.

64. Sementara merenungkan tema pekerjaan, adalah pantas untuk mengingat pentingnya bahwa serikat-serikat pekerja —  yang selalu harus didorong dan didukung oleh Gereja —  harus terbuka kepada sudut pandang yang baru yang timbul di dunia pekerjaan. Dengan melihat kepada masalah- masalah yang lebih luas daripada katagori spesifik tentang tenaga kerja yang untuknya serikat- serikat itu dibentuk, organisasi-organisasi serikat dipanggil untuk menanggapi beberapa masalah baru yang timbul di dalam masyarakat kita: Saya pikir, sebagai contohnya, isu-isu kompleks yang dijabarkan oleh para ilmuwan sosial dalam hal konflik antara pekerja dan masyarakat pemakai/ konsumen. Tanpa perlu mendukung thesis bahwa fokus utama pada pekerja telah memberikan jalan kepada fokus utama pada konsumen, ini akan tetap tampak sebagai dasar baru bagi serikat- serikat untuk menjelajahi kreativitas. Konteks global yang di dalamnya pekerjaan mengambil tempat juga menuntut agar serikat-serikat kerja nasional, yang cenderung untuk membatasi diri mereka sendiri untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan para anggota yang terdaftar, harus mengalihkan perhatian mereka kepada mereka yang di luar keanggotaan mereka, dan secara khusus kepada para pekerja di negara-negara berkembang di mana hak-hak sosial seringnya dilanggar. Perlindungan para pekerja ini, yang sebagian dicapai melalui inisiatif-inisiatif yang layak, yang ditujukan pada negara-negara asal mereka, akan memampukan serikat- serikat perdagangan untuk membuktikan motivasi-motivasi etis dan budaya yang otentik yang membuatnya mungkin bagi mereka, di dalam sebuah konteks sosial dan tenaga kerja yang berbeda, untuk memainkan peran yang menentukan di dalam perkembangan. Ajaran tradisional Gereja membuat perbedaan yang valid antara peran-peran dan fungsi-fungsi serikat-serikat perdagangan dan politik. Pembedaan ini memperbolehkan serikat-serikat untuk mengenali masyarakat sipil sebagai wadah yang layak bagi kegiatan mereka yang diperlukan untuk mempertahankan dan memajukan tenaga kerja, terutama atas nama para pekerja yang dieksploitasi dan yang tidak terwakili, yang kesengsaraannya sering diabaikan oleh pandangan masyarakat yang teralihkan.

65. Oleh karena itu, keuangan, — melalui struktur-struktur yang diperbaharui dan metoda-metoda pelaksanaan yang harus direncanakan setelah disalahgunakan, yang menimbulkan malapetaka pada ekonomi riil — sekarang perlu untuk kembali menjadi sebuah alat yang diarahkan menuju peningkatan penciptaan kesejahteraan dan perkembangan. Karena mereka adalah alat, keseluruhan ekonomi dan keuangan, tidak saja sektor-sektor tertentu, harus digunakan dengan cara yang etis sehingga menciptakan kondisi-kondisi yang cocok bagi perkembangan manusia dan bagi perkembangan bangsa-bangsa. Tentu adalah sesuatu yang berguna, dan di dalam beberapa keadaan merupakan keharusan, untuk meluncurkan inisiatif-inisiatif keuangan di mana dimensi humanitarian mendominasi. Namun demikian, ini harus tidak menghalangi kenyataan bahwa seluruh sistem keuangan harus ditujukan pada penopangan perkembangan yang sejati. Di atas semuanya, maksud untuk melakukan kebaikan tidak boleh dianggap tidak sejalan dengan kemampuan efektif untuk menghasilkan sesuatu. Para ahli keuangan harus menemukan kembali pondasi kegiatan mereka, agar tidak menyalahgunakan alat-alat yang canggih yang dapat digunakan untuk mengkhianati kepentingan- kepentingan para penabung. Maksud yang benar, transparansi, dan penyelidikan untuk hasil-hasil positif adalah hal –hal yang saling berkaitan dan harus tidak dipisahkan satu sama lain. Jika kasih itu bijaksana, maka kasih dapat menemukan cara- cara yang sesuai dengan hemat cermat dan kebijaksanaan yang adil, seperti yang telah digambarkan dengan cara yang signifikan oleh banyaknya pengalaman dari koperasi-koperasi kredit/ credit unions.

Baik pengaturan sektor keuangan, agar melindungi pihak-pihak yang lebih lemah dan mencegah spekulasi yang keji, maupun eksperimen dengan bentuk-bentuk baru keuangan, yang direncanakan untuk mendukung proyek-proyek perkembangan, adalah pengalaman-pengalaman positif yang harus diselidiki dan didorong lebih lanjut, dengan menekankan tanggungjawab investor. Selanjutnya, pengalaman keuangan mikro (micro-finance), yang berakar pada pemikiran dan kegiatan para masyarakat sipil – saya pikir terutama timbulnya rumah pegadaian – seharusnya diperkuat dan diperhalus/ fine-tuned. Ini adalah lebih penting di hari-hari ini ketika kesulitan-kesulitan keuangan dapat menjadi parah bagi banyak sektor-sektor yang lebih rentan di masyarakat, yang harus dilindungi dari resiko riba dan dari keputus asa-an. Anggota- anggota masyarakat yang terlemah harus ditolong untuk mempertahankan diri mereka sendiri terhadap riba, sama seperti orang-orang miskin harus dibantu untuk memperoleh keuntungan riil dari kredit kecil (micro-credit), agar tidak terjadi eksploitasi yang mungkin terjadi di dalam kedua hal ini. Sebab negara-negara kaya juga mengalami bentuk-bentuk kemiskinan yang baru, keuangan makro dapat memberikan bantuan praktis dengan peluncuran inisiatif-inisiatif baru dan pembukaan sektor-sektor baru bagi keuntungan/ kebaikan golongan-golongan yang lebih lemah di dalam masyarakat, bahkan pada saat penurunan ekonomi secara umum.

66. Keterkaitan global telah memimpin kepada timbulnya sebuah kekuasaan politik baru yaitu yang terdiri dari para konsumen dan asosiasi-asosiasinya. Ini adalah fenomena yang perlu untuk diselidiki, sebab hal ini mengandung elemen-elemen yang perlu didorong, namun juga perbuatan-perbuatan keterlaluan yang harus dihindari. Adalah baik bagi masyarakat untuk menyadari bahwa pembelian adalah selalu merupakan tindakan moral —dan bukan hanya tindakan ekonomi. Oleh karena itu, konsumen mempunyai tanggung jawab sosial yang khusus, yang berjalan berdampingan dengan tanggung jawab sosial dari kegiatan usaha. Para konsumen harus terus menerus dididik ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 36: loc. cit., 838-840.)) sesuai dengan peran mereka sehari-hari, yang dapat dilakukan dengan penghormatan terhadap prinsip-prinsip moral, tanpa mengurangi rasionalitas ekonomi yang terlekat dalam kegiatan pembelian. Di dalam industri retail, khususnya pada saat-saat seperti sekarang ini ketika daya beli telah menurun dan orang-orang harus hidup dengan lebih sederhana/ hemat, adalah penting untuk menyelidiki cara-cara lain: contohnya, bentuk- bentuk pembelian secara bersama-sama seperti koperasi- koperasi pembeli yang telah diterapkan sejak abad ke sembilan belas, yang sebagian dimulai atas inisiatif umat Katolik. Sebagai tambahan, adalah berguna untuk meningkatkan cara-cara baru tentang pemasaran produk-produk dari daerah- daerah yang terpencil di dunia, demi menjamin pengembalian yang layak bagi para penghasil/ produser mereka. Namun demikian, kondisi-kondisi tertentu perlu dipenuhi: pasar harus benar- benar transparan, para penghasil/ produser selain meningkatkan batas keuntungan/ profit margin, juga harus menerima peningkatan pembentukan tenaga dan teknologi profesional; dan akhirnya perdagangan jenis ini harus tidak menjadi jaminan/ sandera bagi ideologi- ideologi partisan. Sebuah peran yang lebih melibatkan para konsumen, sepanjang mereka sendiri tidak dimanipulasi oleh asosiasi- asosiasi yang tidak benar- benar mewakili mereka, adalah sebuah elemen yang diperlukan bagi pembangunan demokrasi ekonomi.

67. Menghadapi pertumbuhan yang tak berbelas kasihan dari ketergantungan global, terdapat sebuah kebutuhan yang sangat keras terasa, bahkan ditengah-tengah resesi global, untuk sebuah reformasi dari organisasi- organisasi PBB/ Perserikatan Bangsa- bangsa (United Nations Organization) dan juga dari institusi-institusi ekonomi dan keuangan internasional, sehingga konsep keluarga bangsa-bangsa dapat memperoleh gigi yang nyata. Seseorang juga merasakan kebutuhan yang mendesak untuk menemukan cara- cara inovatif yang menerapkan prinsip tanggung jawab untuk melindungi ((Cf. Benedict XVI, Address to the Members of the General Assembly of the United Nations Organization, New York, 18 April 2008.)) dan memberikan negara-negara yang lebih miskin sebuah suara di dalam pengambilan keputusan secara bersama. Ini kelihatannya perlu supaya dapat tercapai sebuah keteraturan politis, yuridis dan ekonomis yang dapat meningkatkan dan memberikan arahan kepada kerjasama internasional bagi perkembangan semua bangsa di dalam solidaritas. Untuk mengatur ekonomi global; untuk menghidupkan ekonomi yang terpukul oleh krisis, dan untuk menghindari pemunduran dari krisis yang terjadi sekarang ini dan ketidak-seimbangan yang lebih besar yang akan dihasilkan; untuk mencapai gencatan senjata yang utuh dan tepat pada waktunya, keamanan persediaan makanan dan perdamaian; untuk menjamin perlindungan lingkungan hidup dan untuk mengatur migrasi; untuk semua ini, terdapat kebutuhan yang mendesak tentang sebuah otoritas politik dunia yang sejati, seperti yang diindikasikan oleh pendahulu saya Yohanes XXIII yang Terberkati beberapa tahun yang lalu. Sebuah otoritas yang demikian akan perlu diatur oleh hukum, untuk secara konsisten menerapkan prinsip subsidiaritas dan solidaritas, untuk mencari pencapaian kebaikan bersama, ((Cf. John XXIII, Encyclical Letter Pacem in Terris, loc. cit., 293; Pontifical Council for Justice and Peace, Compendium of the Social Doctrine of the Church, 441.)) dan untuk membuat sebuah komitmen untuk melindungi perkembangan manusia seutuhnya yang otentik, yang diinspirasikan oleh nilai-nilai kasih di dalam kebenaran. Selanjutnya, otoritas itu perlu diakui secara universal dan dilengkapi oleh kekuasaan efektif untuk menjamin keamanan semua pihak, menghormati keadilan dan hak-hak. ((Cf. Second Vatican Ecumenical Council, Pastoral Constitution on the Church in the Modern World, Gaudium et Spes, 82.)) Jelaslah, bahwa itu akan memerlukan otoritas untuk memastikan pemenuhan/ kesesuaian dengan keputusan- keputusannya dari semua pihak, dan juga dengan ukuran-ukuran koordinasi yang diambil di dalam berbagai forum internasional. Tanpa hal ini, di samping kemajuan besar yang tercapai di berbagai sektor, hukum internasional akan mempunyai resiko dikondisikan oleh keseimbangan kekuasaan di antara bangsa-bangsa yang terkuat. Perkembangan bangsa-bangsa yang seutuhnya dan kerjasama internasional mensyaratkan pengadaan sebuah tingkat yang lebih besar tentang pengaturan internasional, yang ditandai oleh subsidiaritas, untuk pengaturan globalisasi. ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Sollicitudo Rei Socialis, 43: loc. cit., 574-575.)) Mereka juga mensyaratkan sebuah konstruksi keteraturan sosial yang pada akhirnya sesuai dengan peraturan moral, sesuai dengan hubungan timbal balik antara bidang moral dan sosial, dan dengan hubungan antara bidang politik dan ekonomi dan kemasyarakatan, seperti yang telah digambarkan oleh anggaran dasar Perserikatan Bangsa- Bangsa.

BAB ENAM

PERKEMBANGAN BANGSA- BANGSA DAN TEKNOLOGI

68. Perkembangan bangsa-bangsa secara dekat berhubungan dengan perkembangan para individu. Pribadi manusia secara kodrati terlibat secara aktif di dalam perkembangan dirinya sendiri. Perkembangan dalam masalah bukan hanya melulu merupakan hasil dari mekanisme-mekanisme kodrat, karena setiap orang mengetahui, bahwa kita semua mampu membuat pilihan-pilihan yang bebas dan bertanggung jawab. Tidak juga semata-mata berada pada belas kasihan atas perubahan pikiran kita yang tiba-tiba terjadi, sebab kita mengetahui bahwa kita adalah sebuah karunia/ gift, bukan sesuatu yang lahir dengan sendirinya/ self-generated. Kebebasan kita secara mendalam dibentuk oleh keberadaan kita dan oleh keterbatasan keberadaan kita. Tidak ada seorangpun membentuk hati nuraninya secara acak/ subyektif terlepas dari batas-batas, tetapi kita semua membangun diri “saya” sendiri atas dasar seorang “diri sendiri” yang diberikan kepada kita. Tidak hanya bahwa orang-orang lain berada di luar kontrol kita, tetapi setiap dari kita berada di luar kontrol dirinya sendiri. Perkembangan seseorang dikompromikan, kalau ia mengklaim bahwa ia sendirilah yang bertanggungjawab untuk menghasilkan perkembangan dirinya sendiri. Analoginya, perkembangan bangsa-bangsa menjadi serba salah kalau manusia berpikir bahwa ia dapat menciptakan dirinya melalui ‘keajaiban-keajaiban’ teknologi, sama seperti perkembangan ekonomi terekspos sebagai kepura- puraan yang menghancurkan, kalau perkembangan itu mengandalkan ‘keajaiban-keajaiban’ keuangan untuk menopang pertumbuhan yang tidak wajar dan konsumtif. Menghadapi anggapan Promethean, kita harus memperkuat kasih kita akan kebebasan/ kemerdekaan yang tidak hanya terjadi secara acak, tetapi yang dibuat sungguh manusiawi dengan pengenalan akan kebaikan yang mendasarinya. Untuk tujuan ini, manusia perlu melihat ke dalam dirinya untuk mengenali norma-norma dasar dari hukum kodrat moral yang telah dituliskan oleh Tuhan di dalam hati kita.

69. Dewasa ini, tantangan perkembangan berhubungan erat dengan kemajuan teknologi, dengan penerapan yang sangat mengherankan di bidang biologi. Teknologi – layaknya ditekankan di sini – adalah sungguh realitas manusia, terkait dengan otonomi dan kebebasan manusia. Di dalam teknologi kita mengekspresikan dan meneguhkan kekuasaan roh atas materi. “Roh manusia, yang ‘terus meningkat bebas dari belenggu mahluk-mahluk ciptaan, dapat lebih mudah diarahkan kepada penyembahan dan kontemplasi kepada Sang Pencipta”. ((Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 41: loc. cit., 277-278; cf. Second Vatican Ecumenical Council, Pastoral Constitution on the Church in the Modern World Gaudium et Spes, 57.)) Teknologi memampukan kita untuk menerapkan penguasaan atas materi, untuk mengurangi resiko- resiko, untuk menghemat tenaga kerja, untuk memperbaiki kondisi- kodisi kehidupan. Teknologi menyentuh inti panggilan tenaga kerja manusia: di dalam teknologi, yang dilihat sebagai hasil keahliannya, manusia mengenali dirinya sendiri dan menempa kemanusiaannya sendiri. Teknologi adalah sisi obyektif dari kegiatan manusia, ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Laborem Exercens, 5: loc. cit., 586-589.)) yang asalnya dan raison d’etre ditemukan di dalam elemen subyektif: [yaitu] si pekerja itu sendiri. Untuk alasan ini, teknologi tidak pernah hanya sebagai teknologi. Teknologi menyatakan manusia dan cita-citanya menuju perkembangan, ia menyatakan tekanan dari dalam yang mengharuskannya berangsur-angsur mengatasi keterbatasan- keterbatasan materi. Teknologi, dalam hal ini, adalah sebuah tanggapan terhadap perintah Tuhan untuk mengusahakan dan memelihara tanah itu (lih. Kej 2:15) yang dipercayakan-Nya kepada umat manusia, dan teknologi harus melayani untuk memperkuat perjanjian antara manusia dan lingkungan hidup, perjanjian yang harus mencerminkan kasih Tuhan yang kreatif.

70. Perkembangan teknologi dapat menimbulkan ide bahwa teknologi mencukupkan dirinya sendiri (self-sufficient) ketika terlalu banyak perhatian diberikan kepada pertanyaan- pertanyaan “bagaimana”, dan tidak cukup untuk banyak pertanyaan “mengapa” yang mendasari aktivitas manusia. Karena alasan ini teknologi dapat terlihat sepertinya bertentangan. Dihasilkan melalui kreativitas manusia sebagai alat kebebasan personal, teknologi dapat dimengerti sebagai perwujudan kebebasan absolut, kebebasan yang mencari keterlepasan dari keterbatasan yang melekat pada benda-benda. Proses globalisasi dapat menggantikan ideologi- ideologi dengan teknologi, ((Cf. Paul VI, Apostolic Letter Octogesima Adveniens, 29: loc. cit., 420.)) yang mengizinkan teknologi menjadi kekuatan ideologis yang mengancam untuk membatasi kita di dalam sebuah  a priori yang menahan kita untuk menemukan hakekat dan kebenaran. Jika itu terjadi, kita semua akan mengetahui, mengevaluasi dan membuat keputusan- keputusan tentang situasi hidup kita dari dalam sebuah perspektif budaya yang teknokrat, yang menjadi kepunyaan kita secara struktural, tanpa pernah dapat memahami arti yang tidak kita buat sendiri. Sudut pandang dunia secara ‘teknis’ yang mengikuti pandangan ini sekarang  sangatlah dominan bahwa kebenaran dilihat sebagai sesuatu yang bertepatan dengan apa yang mungkin terjadi. Tetapi ketika kriteria utama dari kebenaran adalah efisiensi dan utilitas/ kegunaan, maka perkembangan secara otomatis diabaikan. Perkembangan sejati tidak melulu terdapat di dalam hal ‘melakukan’ sesuatu. Kunci perkembangan adalah sebuah pikiran yang dapat berpikir di dalam pengertian-pengertian teknologis dan pemahaman arti manusia sepenuhnya dari kegiatan-kegiatan manusia, di dalam konteks arti keseluruhan dari keberadaan tiap- tiap orang. Bahkan ketika kita bekerja melalui satelit atau melalui gerakan-gerakan elektronik yang langka, kegiatan-kegiatan kita selalu tetap bersifat manusiawi, sebuah ekspresi kebebasan kita yang bertanggung jawab. Teknologi adalah sangat menarik sebab ia menarik kita ke luar dari keterbatasan-keterbatasan fisik dan memperluas cakrawala kita. Tetapi kebebasan manusia menjadi otentik hanya kalau kebebasan itu menanggapi pesona teknologi dengan keputusan-keputusan yang merupakan buah dari tanggung jawab moral. Oleh karena itu penting adanya pembentukan/ formasi di dalam penggunaan teknologi yang bertanggung jawab secara etis. Bergerak melampaui pesona daya tarik yang dihasilkan oleh teknologi, kita harus menyesuaikan kembali arti sesungguhnya dari kebebasan, yang bukan merupakan sebuah kemabukan/ intoksikasi dengan total otonomi, tetapi sebuah tanggapan akan panggilan keberadaan kita [sebagai manusia], yang dimulai dengan keberadaan diri masing-masing dari kita sendiri.

71. Penyimpangan ini dari prinsip-prinsip yang kuat tentang kemanusiaan yang dapat dihasilkan oleh kerangka pikir teknis, dewasa ini terlihat di dalam penerapan-penerapan teknologis di bidang-bidang perkembangan dan perdamaian. Seringnya perkembangan bangsa- bangsa diperkirakan sebagai sebuah hal teknis finansial/ keuangan, pembebasan pasar, penghapusan tarif-tarif, investasi di dalam produksi, dan reformasi-reformasi kelembagaan – dengan perkataan lain, sebuah hal yang murni teknis. Semua faktor ini adalah sangat penting, tetapi kita harus bertanya mengapa pilihan-pilihan teknis yang dibuat sejauh ini telah menimbulkan hasil-hasil yang bervariasi. Kita perlu berpikir keras tentang penyebabnya. Perkembangan tidak akan dapat dijamin sepenuhnya melalui kekuatan- kekuatan otomatis yang impersonal, entah itu berasal dari pasar maupun dari politik-politik internasional. Perkembangan adalah tidak mungkin tanpa manusia laki-laki dan perempuan yang tulus tanpa para ahli keuangan dan politikus, yang suara hati nuraninya sungguh-sungguh terbiasa dengan persyaratan- persyaratan tentang kebaikan bersama (common good). Keduanya, baik keahlian profesional dan konsistensi moral, diperlukan. Ketika teknologi diperbolehkan untuk mengambil alih, maka hasilnya adalah percampuran antara tujuan dan sarana, seperti bahwa kriteria utama untuk kegiatan di dalam bisnis dianggap sebagai usaha memaksimalkan keuntungan, di dalam politik, konsolidasi kekuasaan, dan di dalam ilmu pengetahuan, penemuan-penemuan penelitian. Seringkali, di bawah intrik-intrik ekonomi, hubungan-hubungan keuangan dan politik, di sana tetap terdapat  kesalahpahaman, kesulitan dan ketidak adilan. Aliran teknologi ‘know-how’ (apa-bagaimana dari sesuatu) meningkat, tetapi itu hanya menjadi milik mereka yang mendapat keuntungan darinya, sementara keadaan di lapangan bagi bangsa-bangsa yang hidup di bawah bayang-bayangnya tetap saja tidak berubah: bagi mereka hanya terdapat sedikit kesempatan untuk emansipasi.

72. Bahkan perdamaian dapat beresiko dianggap sebagai produk teknis, semata-mata sebagai hasil dari perjanjian-perjanjian antara para pemerintah atau dari inisiatif-inisiatif yang ditujukan untuk menjamin bantuan ekonomi yang efektif. Adalah benar bahwa pembangunan perdamaian mensyaratkan hubungan timbal balik yang terus menerus dari pihak-pihak diplomatik, pertukaran ekonomi, teknologi dan budaya, perjanjian-perjanjian tentang proyek-proyek bersama, seperti halnya strategi bersama untuk menahan ancaman konflik militer dan untuk membasmi penyebab dasar dari terorisme. Namun demikian, kalau usaha-usaha itu harus mempunyai efek yang berkepanjangan/ seterusnya, usaha- usaha itu harus didasari atas nilai- nilai yang berakar pada kebenaran tentang kehidupan manusia. Yaitu, suara dari bangsa- bangsa yang terpengaruh harus didengarkan, dan situasi mereka harus diperhitungkan, jika harapan-harapan mereka mau ditafsirkan dengan benar. Seseorang harus menyesuaikan dirinya, sepertinya demikian, dengan usaha-usaha yang tidak dikatakan oleh begitu banyak orang yang berkomitmen sungguh-sungguh untuk membawa bangsa-bangsa bersama- sama dan untuk mem-fasilitasi perkembangan atas dasar kasih dan pengertian yang timbal balik. Di antara mereka adalah anggota-anggota umat Kristiani, yang terlibat dalam tugas besar untuk mendukung dimensi manusia seutuhnya tentang perkembangan dan perdamaian.

73. Terkait dengan perkembangan teknologis adalah kehadiran sarana komunikasi sosial yang dapat meresap secara meningkat. Dewasa ini hampir tidak mungkin untuk membayangkan kehidupan keluarga manusia tanpa mereka. Baik akibat baik atau buruk, sarana komunikasi tersebut merupakan bagian integral dari kehidupan dewasa ini, sehingga kelihatannya tidak dapat dikatakan bahwa sarana tersebut adalah netral – dan oleh karena itu tidak terpengaruh oleh pertimbangan-pertimbangan moral tentang orang-orang. Seringkali pandangan demikian, menitikberatkan pada sifat dasar teknis dari media, secara efektif mendukung ke-tundukan mereka kepada kepentingan-kepentingan ekonomi yang mendominasi pasar, tidak sedikit, mengusahakan untuk menekankan contoh-contoh budaya yang mendukung agenda-agenda ideologis dan politik.  Dengan mengetahui kepentingan dasar media di dalam mengatur perubahan- perubahan sikap terhadap realitas dan manusia, kita harus merenungkan dengan sungguh-sungguh pengaruh media, secara khusus di dalam hal dimensi etis dan budaya dari globalisasi dan perkembangan bangsa-bangsa di dalam solidaritas. Pencerminan apa yang disyaratkan pada sebuah pendekatan yang etis bagi globalisasi dan perkembangan, dan demikian juga, arti dan maksud dari media harus dicari di dalam sebuah perspektif anthropologis. Ini berarti bahwa mereka dapat mempunyai sebuah efek kemasyarakatan tidak hanya ketika, terima kasih kepada perkembangan teknologis, mereka meningkatkan kemungkinan-kemungkinan komunikasi informasi, tetapi di atas semua itu, ketika mereka diarahkan menuju visi tentang manusia dan kebaikan bersama yang mencerminkan nilai- nilai yang sungguh-sungguh universal. Hanya karena komunikasi- komunikasi sosial meningkatkan kemungkinan-kemungkinan saling keterkaitan dan penyebaran ide-ide, tidaklah berarti bahwa mereka memajukan kebebasan atau meng- internasionalkan perkembangan dan demokrasi bagi semua orang. Untuk mencapai tujuan-tujuan semacam ini, mereka perlu untuk memusatkan diri kepada memajukan martabat manusia, dan bangsa-bangsa, mereka perlu untuk dengan tegas didorong oleh kasih dan ditempatkan pada pelayanan kebenaran, kebaikan dan persaudaraan baik natural/ kodrati maupun supernatural/ adi kodrati. Kenyataannya, kebebasan manusia pada dasarnya terkait dengan nilai-nilai yang lebih tinggi ini. Media dapat membuat sebuah kontribusi yang penting menuju pertumbuhan di dalam hal persekutuan keluarga besar manusia dan ethos kemasyarakatan ketika media digunakan untuk memajukan partisipasi universal dalam hal pencarian bersama tentang apa yang adil.

74. Sebuah pertempuran khusus yang penting di dalam pergumulan budaya dewasa ini antara keutamaan teknologi dan tanggungjawab moral manusia adalah di bidang bio-etik, di mana kemungkinan perkembangan manusia seutuhnya itu sendiri dipertanyakan secara radikal. Di dalam bidang yang sangat halus dan penting ini, pertanyaan fundamental menyatakan dirinya seniri dengan kuatnya: apakah manusia adalah hasil dari pekerjaannya sendiri, ataukah ia bergantung dari Tuhan? Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan di dalam bidang ini dan kemungkinan- kemungkinan intervensi teknologi kelihatannya sangat canggih seolah memaksa sebuah pilihan antara dua tipe pemikiran: pemikian yang terbuka terhadap hal yang transenden atau pemikiran yang tertutup di dalam hal yang ada/ immanence. Kita dihadapkan pada kedua pilihan yang jelas tentang ini atau itu (either/ or). Namun rationalitas dari penggunaan teknologi yang terpusat pada diri sendiri (self- centred) terbukti sebagai tidak masuk akal, sebab itu mengakibatkan penolakan yang tegas terhadap arti dan nilai. Tidaklah merupakan kebetulan bahwa penutupan pintu terhadap hal yang transenden mengakibatkan seseorang mengalami jalan buntu menghadapi kesulitan: bagaimana sesuatu dapat timbul dari ketiadaan, bagaimana akal budi/ kepandaian dapat lahir dari suatu kebetulan? ((Cf. Benedict XVI, Address to the Participants in the Fourth National Congress of the Church in Italy, Verona, 19 October 2006; Id., Homily at Mass, Islinger Feld, Regensburg, 12 September 2006.)) Dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan dramatis ini, akal budi dan iman dapat saling membantu. Hanya dengan bekerja sama, kedua hal itu menyelamatkan manusia. Diterima oleh penyerahan diri yang tertutup (tanpa pertimbangan hal lainnya) kepada teknologi, akal budi tanpa iman akan berakhir tergelepar di dalam sebuah ilusi akan dirinya sendiri yang omnipoten/ maha kuasa. Iman tanpa akal budi beresiko tersingkir dari kehidupan sehari-hari . ((Cf. Congregation for the Doctrine of the Faith, Instruction on certain bioethical questions Dignitas Personae (8 September 2008): AAS 100 (2008), 858-887.))

75. Paulus VI telah mengenali dan menarik perhatian kepada dimensi global tentang masalah sosial. ((Cf. Encyclical Letter Populorum Progressio, 3: loc. cit., 258.)) Meneruskan kepemimpinan beliau, kami perlu menegaskan hari ini bahwa masalah sosial telah secara radikal menjadi sebuah masalah anthropologis, dalam arti bahwa itu menyangkut tidak saja pada bagaimana kehidupan dikandung, tetapi juga tentang bagaimana kehidupan dimanipulasikan, seperti bio-teknologi secara meningkat menempatkan kehidupan di bawah kontrol manusia. Di dalam in vitro fertilization/ bayi tabung, penelitian embrio, kemungkinan membuat kloning dan hibrid manusia: semua ini timbul dan dipromosikan di budaya tanpa ilusi (disillusioned) dewasa ini, yang percaya bahwa ia telah menguasai semua misteri, sebab asal usul kehidupan sekarang berada dalam jangkauan kita. Di sini kita melihat ekspresi yang paling jelas tentang supremasi teknologi. Di dalam tipe budaya ini, hati nurani diundang untuk semata-mata menangkap kemungkinan-kemungkinan teknologis. Namun kita musti tidak menganggap rendah skenario-skenario yang mengganggu yang mengancam masa depan kita, atau alat-alat baru yang sangat berkuasa yang menuju kepada “culture of death”. Dengan adanya penderaan aborsi yang tragis dan merajalela kita harus menambahkan di masa depan — yang memang sekarang sudah terjadi dengan tidak rahasia —  pemrograman secara genetik tentang kelahiran- kelahiran manusia. Sebagai akhir yang lain dari spektrum ini, pola pikir yang pro-euthanasia sedang berjalan, yang sama-sama merupakan pernyataan merusak tentang kontrol terhadap kehidupan yang di bawah keadaan-keadaan tertentu dianggap sudah tidak layak untuk hidup lagi. Di dasar skenario-skenario ini adalah pandangan- pandangan budaya yang menolak martabat manusia. Praktek-praktek ini pada gilirannya mengangkat pengertian materialistis dan mekanistis terhadap kehidupan manusia. Siapa yang dapat mengatur efek-efek negatif tentang mentalitas seperti ini bagi perkembangan? Bagaimana kita dapat dikejutkan oleh ketidakpedulian yang diperlihatkan terhadap keadaan-keadaan penurunan derajat manusia, ketika ketidakpedulian itu meluas bahkan kepada sikap kita terhadap apa yang adalah manusia dan yang bukan manusia? Apa yang mengherankan adalah keyakinan yang tak menentu (arbitrary) dan selektif tentang apa yang dimengerti dewasa ini sebagai sesuatu yang patut dihormati. Hal-hal yang tidak penting dianggap sebagai mengejutkan, tetapi ketidakadilan- ketidakadilan yang belum pernah terjadi sebelumnya sepertinya diterima secara luas. Sementara orang-orang yang miskin di dunia ini terus menerus mengetuk pintu mereka yang kaya, dunia yang kaya beresiko tidak lagi mendengarkan ketukan pintu mereka, atas dasar hati nurani yang tidak dapat lagi membedakan apa manusia itu. Tuhan menyatakan manusia kepada dirinya sendiri; akal budi dan iman bekerja berdampingan untuk menunjukkan kepada kita apa yang baik, asalkan kita mau melihatnya; hukum kodrat, yang di dalamnya Akal budi yang kreatif bersinar keluar, menyatakan kebesaran kita, namun juga kejahatan kita, lantaran kita gagal untuk mengenali panggilan kepada kebenaran moral.

76. Satu aspek pemikiran teknologis dewasa ini adalah kecenderungan untuk menganggap masalah-masalah dan emosi-emosi kehidupan rohani dari sudut pandang psikologis murni, bahkan sampai pada titik reduksi neurologis/ neurological reductionism. Dengan cara ini, kerohanian manusia dikosongkan dari maknanya dan sedikit demi sedikit kesadaran kita tentang kedalaman ontologis jiwa manusia seperti yang diteliti oleh para orang kudus, menjadi hilang. Masalah perkembangan secara dekat terikat dengan pengertian kita akan jiwa manusia, lantaran kita sering mengurangi diri sendiri menjadi pikiran/ psyche, dan mencampur adukkan kesehatan jiwa dengan kesenangan emosional. Penyederhanaan- penyederhanaan yang berlebihan ini berasal dari kegagalan yang mendalam untuk memahami kehidupan spiritual, dan penyederhanaan ini menghalangi kenyataan bahwa perkembangan individu- individu dan bangsa-bangsa tergantung sebagian pada penyelesaian masalah-masalah yang bersifat rohani. Perkembangan harus melibatkan tidak saja pertumbuhan materi, tetapi juga pertumbuhan rohani, sebab manusia adalah “kesatuan antara tubuh dan jiwa”, ((Second Vatican Ecumenical Council, Pastoral Constitution on the Church in the Modern World Gaudium et Spes, 14.)) yang lahir dari kasih Tuhan yang kreatif dan diperuntukkan untuk kehidupan kekal. Manusia berkembang ketika ia bertumbuh secara rohani, ketika jiwanya mengetahui dirinya dan kebenaran-kebenaran yang Tuhan sudah tanamkan di dalam dirinya, ketika ia masuk dalam dialog dengan dirinya sendiri dan Penciptanya. Ketika ia jauh dari Allah, manusia tidak tenang dan mudah sakit.  Keterasingan sosial dan psikologis dan banyaknya penyakit syaraf yang mempengaruhi masyarakat-masyarakat yang kaya disebabkan sebagian oleh faktor-faktor spiritual. Masyarakat yang kaya, yang telah berkembang maju di dalam hal materi tetapi terbeban berat di jiwanya, tidaklah dengan sendirinya kondusif terhadap perkembangan otentik. Bentuk-bentuk baru terhadap perbudakan obat-obatan dan kehilangan harapan di mana banyak orang jatuh dapat dijelaskan tidak saja di dalam pengertian sosiologis dan psikologis tetapi juga secara esensial dalam pengertian spiritual. Kekosongan di mana jiwa merasa ditinggalkan/ diabaikan, disamping ketersediaan segala macam terapi yang tak terhitung bagi tubuh dan jiwa, memimpin [seseorang] kepada penderitaan. Tidak akan ada analisa keseluruhan perkembangan dan kebaikan bersama yang universal kecuali kesejahteraan rohani dan moral manusia diperhatikan, dianggap di dalam kesatuan totalitas sebagai tubuh dan jiwa.

77. Supremasi teknologi cenderung mencegah orang- orang mengenali apapun yang tidak dapat dijelaskan di dalam hal materi saja. Namun setiap orang mengalami banyaknya dimensi spiritual dan yang tidak bersifat material di dalam kehidupan. Mengetahui [sesuatu] bukanlah semata-mata tindakan material, sebab obyek yang diketahui selalu menyembunyikan sesuatu yang melampaui batas-batas empiris yang dapat diraba/ dilihat. Semua pengetahuan kita, bahkan yang paling sederhana, adalah selalu sebuah mukjizat kecil, sebab hal itu tidak pernah dapat dijelaskan secara penuh oleh alat material yang kita terapkan padanya. Di dalam setiap kebenaran, terdapat sesuatu yang lebih daripada yang tadinya kita harapkan, di dalam kasih yang kita terima, selalu ada elemen yang mengejutkan kita. Kita harus tidak pernah berhenti untuk mengagumi semuanya ini. Di dalam semua pengetahuan dan di setiap tindakan kasih jiwa manusia mengalami sesuatu yang “di atas dan melampaui/ over and above”, yang kelihatannya seperti sebuah karunia yang kita terima, atau sebuah ketinggian yang kepadanya kita diangkat. Demikian pula, perkembangan para individu dan bangsa-bangsa terletak pada suatu ketinggian, jika kita mempertimbangkan dimensi spiritual yang harus ada jika perkembangan itu mau disebut sebagai otentik. Hal itu mensyaratkan pandangan mata yang baru dan hati yang baru, yang mampu naik mengatasi pandangan materialistis tentang kejadian-kejadian manusia, mampu melihat di dalam perkembangan sesuatu yang “melampaui”, yang tidak dapat diberikan oleh teknologi. Dengan mengikuti jalur ini, adalah mungkin untuk mengejar perkembangan manusia seutuhnya yang mengambil arahnya dari dorongan kekuatan kasih di dalam kebenaran.

KESIMPULAN

78. Tanpa Tuhan manusia tidak tahu ke mana harus pergi, atau bahkan mengerti siapa dirinya. Menghadapi masalah-masalah yang begitu besar seputar perkembangan bangsa-bangsa, kita menemukan penghiburan di dalam perkataan Tuhan Yesus Kristus, yang mengajarkan kita, “…di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5) dan lalu menguatkan kita, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:20). Saat kita melihat begitu banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan, kita ditopang oleh iman kita bahwa Tuhan hadir di samping mereka yang bersatu di dalam nama- Nya untuk bekerja bagi keadilan. Paulus VI menyebutkan di dalam Populorum Progressio bahwa manusia tidak dapat menghasilkan kemajuan dirinya sendiri tanpa bantuan, sebab dengan dirinya sendiri ia tidak dapat mengadakan sebuah kemanusiaan yang otentik. Hanya jika kita sadar akan panggilan kita, sebagai individu- individu dan sebagai sebuah komunitas, bagian dari keluarga Tuhan sebagai anak- anak laki-laki dan perempuan-Nya, kita akan dapat menghasilkan sebuah visi yang baru dan mengerahkan tenaga baru dalam pelayanan terhadap sebuah kemanusiaan yang benar-benar menyeluruh. Oleh karena itu, pelayanan terbesar bagi perkembangan, adalah sebuah humanisme Kristiani ((Cf. Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 42: loc. cit., 278.)) yang menyalakan kasih dan mengarahkannya dari kebenaran, yang menerima kedua hal itu sebagai sebuah karunia yang tak berakhir dari Tuhan. Keterbukaan kepada Tuhan membuat kita terbuka kepada saudara/i kita dan kepada pemahaman akan kehidupan sebagai sebuah tugas yang penuh suka cita untuk diselesaikan di dalam semangat solidaritas. Di sisi lain, penolakan ideologis tentang Allah dan sebuah atheisme ketidakpedulian, yang lupa kepada Sang Pencipta dan beresiko juga menjadi lupa kepada nilai-nilai manusiawi, membentuk beberapa penghalang utama terhadap perkembangan dewasa ini. Sebuah humanisme yang tidak menyertakan Tuhan adalah humanisme yang tidak menusiawi. Hanya sebuah humanisme yang terbuka terhadap Sang Absolut (yang Maha Tinggi) dapat membimbing kita di dalam pemajuan dan pembangunan bentuk-bentuk kehidupan sosial dan kemasyarakatan — struktur-struktur, institusi-institusi, budaya dan ethos —  tanpa meng-ekspos kita terhadap resiko menjadi terjerat oleh mode-mode pada saat itu. Kesadaran tentang kasih Tuhan yang tak pernah mati menopang kita di dalam pekerjaan kita yang bersusah payah dan menggairahkan pekerjaan bagi keadilan dan perkembangan bangsa- bangsa, di tengah-tengah kesuksesan dan kegagalan, di dalam pengejaran yang tak pernah berhenti akan sebuah keteraturan yang adil tentang perkara-perkara manusia. Kasih Tuhan memanggil kita untuk bergerak melampaui batas- batas dan kesementaraan waktu, kasih itu memberikan kepada kita keberanian untuk terus menerus mencari dan bekerja untuk kebaikan semua orang, bahkan jika ini tidak dapat dicapai dengan cepat dan jika apa yang dapat kita capai, bersama dengan otoritas politik dan mereka yang bekerja di bidang ekonomi, adalah selalu kurang daripada yang kita harapkan. ((Cf. Benedict XVI, Encyclical Letter Spe Salvi, 35: loc. cit., 1013-1014.)) Tuhan memberikan kepada kita kekuatan untuk berjuang dan menderita bagi kasih terhadap kebaikan bersama, sebab Ia adalah Segalanya bagi kita, harapan kita yang terbesar.

79. Perkembangan memerlukan orang-orang Kristiani dengan lengan-lengan mereka terangkat kepada Tuhan di dalam doa, orang-orang Kristiani yang tergerak oleh pengetahuan bahwa kasih yang dipenuhi dengan kebenaran, caritas in veritate, yang daripadanya perkembangan otentik dihasilkan, tidak dihasilkan oleh kita, tetapi diberikan kepada kita. Untuk alasan ini, bahkan di dalam waktu- waktu yang paling sulit dan kompleks sekalipun, di samping mengenali apa yang sedang terjadi, di atas segalanya kita harus kembali kepada kasih Tuhan. Perkembangan mensyaratkan perhatian terhadap kehidupan spiritual, sebuah pertimbangan serius terhadap pengalaman- pengalaman kepercayaan kepada Tuhan, persekutuan spiritual di dalam Kristus, penyerahan kepada penyelenggaraan Ilahi dan belas kasih-Nya, kasih dan pengampunan, penyangkalan diri, penerimaan terhadap sesama, keadilan dan perdamaian. Semua ini adalah penting jika “hati yang keras” adalah untuk diubah menjadi “hati yang taat” (Yeh 36:26), menganggap bahwa hidup di dunia ini sebagai “ilahi” dan karenanya menjadi lebih layak bagi umat manusia. Semua ini adalah tentang manusia, sebab manusia adalah subyek bagi keberadaan dirinya sendiri; dan pada saat yang sama, tentang Tuhan, sebab Tuhan ada sejak awal mula dan akhir dari semua yang baik, semua yang memimpin kepada keselamatan: “…hidup, maupun mati, baik waktu sekarang, maupun waktu yang akan datang. Semuanya kamu punya. Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah.” (1 Kor 3:22-23). Umat Kristiani rindu agar seluruh keluarga manusia memanggil Tuhan sebagai “Bapa Kami!” Di dalam persekutuan dengan Putera-Nya yang Tunggal, semoga semua bangsa belajar untuk berdoa kepada Bapa dan untuk memohon kepada-Nya, di dalam perkataan yang Yesus sendiri ajarkan kepada kita, untuk rahmat untuk memuliakan Dia dengan hidup sesuai dengan kehendak-Nya, untuk menerima makanan/ rejeki sehari-hari yang kita perlukan, untuk menjadi pengertian dan murah hati terhadap yang berhutang kepada kita, tidak dicobai melebihi kemampuan kita dan agar dibebaskan dari yang jahat (lih. Mat 6:9-13).

Di penutupan Tahun Rasul Paulus, saya mengekspresikan dengan gembira harapan ini dengan perkataan Rasul itu, yang diambil dari surat kepada umat di Roma: “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” (Rom 12:9-10. Semoga Perawan Maria – yang disebut sebagai Mater Ecclesiae (Bunda Gereja) oleh Paulus VI dan dihormati oleh umat Kristiani sebagai Speculum Iustitiae dan Regina Pacis– melindungi kita dan memperoleh bagi kita, melalui doa syafaat-nya di surga, kekuatan, pengharapan dan suka cita yang diperlukan untuk terus mendedikasikan diri kita dengan kemurahan hati terhadap tugas menghasilkan “perkembangan dari keseluruhan manusia dan semua manusia. ((Paul VI, Encyclical Letter Populorum Progressio, 42: loc. cit., 278.))

Diberikan di Roma, di gereja St. Petrus, pada tanggal 29 Juni,
pada Hari Raya Rasul Petrus dan Paulus, di tahun 2009, tahun kelima dari Pontifikat saya.

PAUS BENEDIKTUS XVI

8 COMMENTS

  1. syalom,
    untuk mengetahui perkembangan gereja masa kini, perlu juga diketahui kendala atau hambatannya. Dan apakah hambatan tersebut memicu pertumbuhan gereja atau sebaliknya.
    Dan bagaimana sehubungan dengan pernyataan “Allah menunggu kita”, apakah sudah sesuai dengan perkembangan gereja atau tidak. Mohon penjelasannya, dan mohon maaf kalau pertanyaan saya ini sudah dibahas sebelumnya.

    salam sejahtera,
    Pardohar

    [Dari Katolisitas: Mohon diperjelas apa maksud pertanyaan Anda. Allah menantikan pertobatan manusia sebagaimana bapa menantikan pertobatan anaknya yang hilang. Perkembangan Gereja memang melibatkan pertobatan anggota-anggotanya, dan inilah juga yang dinantikan Tuhan, agar Gereja dapat bertumbuh dalam kekudusan menurut kehendak Tuhan (lih. Ef 1:3-4).]

    • syalom,
      terima kasih tanggapannya dan kalau boleh saya rubah pertanyaan saya, dengan pertanyaan yang sama adalah, apakah gereja sangat menentukan terhadap kemajuan budaya dan peradapan, melalui penerapan atau pengaruh dari kebenaran logos itu.
      Terimakasih atas tanggapannya.

      Salam sejahtera
      Pardohar

      [Dari Katolisitas: Kemajuan peradaban manusia dicapai secara bertahap dalam sejarah manusia. Dalam sejarah itu, cukup besarlah peran Gereja, sebagaimana nyata misalnya dalam peran Ordo Benediktin bagi peradaban Eropa, yang juga secara tidak langsung kepada peradaban dunia. Silakan membaca tentang sekilas ulasannya di sini, silakan klik]

  2. Terimakasih Ibu Inggrid atas terjemahan dari Ensiklik Caritas in Veritate. Saya ijin untuk membagikannya kepada beberapa umat di wilayah yg memang sangat menantikan terjemahan Ensiklik ini juga di beberapa website2 katolik, dg menyertakan sumbernya dari http://www.katolisitas.org.

    Salam,
    Joseph

    • Shalom Joseph,
      Ya silakan membagikan, asalkan anda menyebutkan sumbernya, http://www.katolisitas.org dan tolong juga sebutkan bahwa terjemahan ini merupakan “unofficial private translation” jadi bukan terjemahan yang sudah diakui oleh pihak otoritas Gereja. Untuk terjemahan resmi biasanya ada imprimatur dan nihil obstat, tapi pada terjemahan ini belum ada.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  3. Salam Pak Stef dan Bu Inggrid, apakah bisa ensiklik terbaru Bapa Suci Benedictus XVI yang berjudul “Caritas in Veritate” dimuat di website katolisitas.org ini dalam bahasa Indonesia, karena pasti akan sangat berguna bagi kami umat Katolik sbg bahan refleksi dan spy kami dapat mengerti apa yg dimaksud dengan “kasih dalam kebenaran” itu?

    Sebelumnya saya ucapkan banyak terimakasih atas kerja keras dan kerelaan dari Pak stef dan Ibu Inggrid serta para imam yg termasuk dlm tim katolisitas.org ini dalam menjawab pertanyaan2 yg tentu saja sangat melelahkan. Syukur kapada Tuhan atas tersedianya website ini.
    Salam,
    Joseph
    [Dari Admin Katolisitas: pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]

  4. Salam Pak Stef dan Bu Inggrid, saya ingin menanyakan tentang Ensiklik terbaru dari Paus Benedictus XVI, yaitu “Caritas in Veritate”. Apakah katolisitas.org berkenan menuliskan Ensiklik tsb sbg artikel di website ini ke dalam bahasa Indonesia. Supaya kami umat katolik ini dapat mengetahui apa isi Ensiklik Bapa Suci tsb yg tentunya dapat berguna bagi refleksi kami umat katolik dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

    Sekali lagi saya ucapkan banyak terimakasih kepada team katolisitas.org yg telah banyak membantu kami umat katolik untuk lebih mendalami ajaran2 iman katolik.

    Semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan kepada team katolisitas.org serta bimbingan dan rahmatNya selalu. Salam, Joseph.

    [Dari Admin Katolisitas: pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]

    • Shalom Joseph dan Joseph S,
      (Saya tidak tahu apakah anda adalah orang yang sama). Pertama-tama mohon maaf atas keterlambatan saya dalam menyelesaikan dan mem-poskan terjemahan ini karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan lain yang masuk.
      Semoga terjemahan surat ensiklik dari Paus Benediktus XVI ini dapat berguna bagi kita semua.
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

Comments are closed.