[Dari Admin Katolisitas: Berikut ini adalah bagian kedua (no 7 dan 8) dari pertanyaan Sary. Bagian pertama pertanyaan Sary, yaitu tentang Kitab-kitab Deuterokanonika, dapat dibaca di sini, silakan klik]

Pertanyaan:

7. Dosen filsafat Kristen itu mengatakan tentang kejatuhan Gereja Katolik karena adanya penjualan indulgensi, dsb. Yang ingin saya tanyakan, apabila Tuhan memang beserta gerejaNya, mengapa Tuhan mengijinkan gereja Katolik yang adalah gerejaNya mengalami kejatuhan dan pada akhirnya perpecahan?

8. Dosen tersebut juga berkata bahwa gereja Katolik banyak membunuh orang-orang yang ingin menafsirkan Alkitab. Dosen itu juga menyebutkan sebuah nama yaitu Wingkliv (maaf saya tidak tahu pengejaan yang benar) yang dibunuh oleh Gereja Katolik karena menerjemahkan Alkitab dari bahasa Latin ke bahasa Inggris. Apakah hal tersebut benar?

Sekian dulu pertanyaan-pertanyaan saya. Saya sangat berharap dapat mendapatkan jawaban secepatnya dari Bapak/Ibu.
Terimakasih pula untuk kesediaannya menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
Semoga Tuhan selalu memberkati Bapak dan Ibu.

Salam, Sary.

[Dari Katolisitas: Berikut ini juga kami sertakan pertanyaan dari pembaca yang lain, tentang Jan Hus, yang juga sering dianggap oleh gereja-gereja non-Katolik sebagai perintis reformasi Protestan]

9. Tentang Jan Hus. Benarkah ia dibunuh dengan dibakar oleh Gereja Katolik?

Jawaban:

Shalom Sary,

Berikut ini adalah jawaban lanjutan akan pertanyaan anda:

7. Harus diakui bahwa menurut sejarah, Gereja pernah mengalami masa-masa sulit, yang berakhir dengan perpecahan Gereja. Ini adalah suatu realita yang memprihatinkan. Memang masalah yang terjadi pada abad pertengahan itu antara lain adalah kesalahan pelaksanaan ajaran Indulgensi. Mengenai hal ini sudah pernah dijawab di sini, silakan klik. Dan tentang Indulgensi, silakan klik di sini. Pada intinya, bukan ajaran tentang Indulgensinya yang salah, sebab bahkan Luther dalam 95 thesesnya tidak menolak prinsip ajaran Indulgensi. Yang ditentang oleh Luther adalah pelaksanaannya, silakan membaca lebih lanjut di jawaban ini, silakan klik.

Maka pertanyaan anda mengapa Allah membiarkan perpecahan Gereja terjadi, itu serupa dengan pertanyaan mengapa Tuhan membiarkan manusia pertama jatuh di dalam dosa. Ini adalah suatu misteri. Kita mengetahui bahwa Allah begitu mengasihi manusia, dengan menciptakannya seturut gambaran-Nya yaitu sebagai mahluk yang berakal budi dan berkehendak bebas. Maka, konsekuensi dari kehendak bebas inilah yang mengakibatkan manusia dapat membuat keputusan yang bahkan dapat menolak Allah, seperti yang terjadi pada Adam dan Hawa. Mereka jatuh di dalam dosa pertama, yaitu kesombongan, ingin menjadi sama dengan Allah, tidak mau tunduk pada yang telah ditetapkan oleh Allah. Hal yang serupa juga terjadi pada perpecahan Gereja. Beberapa orang melepaskan diri dari kesatuan Gereja Katolik yang telah didirikan oleh Tuhan Yesus, dan mendirikan gereja sendiri. Hal perpecahan ini tentu tidak sesuai dengan kehendak Kristus yang selalu menghendaki agar para murid-Nya bersatu (lih. Yoh 17) dan tentu kesatuan yang dimaksud adalah termasuk kesatuan ajaran dan kesatuan di dalam Tubuh-Nya sendiri, yaitu Gereja yang didirikan-Nya.

Namun kenyataannya bahwa perpecahan sudah terjadi, kita percaya Tuhan juga tetap dapat mendatangkan kebaikan bagi Gereja-Nya; dan bahwa pada suatu saat nanti, semoga gereja-gereja dapat kembali bersatu di bawah pimpinan Bapa Paus. Seperti yang sudah kita lihat sekarang, sejumlah Gereja- gereja Timur kembali ke pangkuan Roma, dan juga baru- baru ini gereja Anglikan juga sedang menjajaki kemungkinan bergabungnya kembali dengan Gereja Katolik.

8. Mengenai John Wyclif/ Wycliffe (1330- 1384), saya membaca dari beberapa sumber, yaitu Encyclopedia Britannica, New Catholic Encyclopedia, atau New Advent, dan beberapa situs lainnya di internet. Dari semua sumber itu, disebutkan bahwa John Wyclif meninggal karena serangan stroke. Dia memang pernah terkena stroke pertama tahun 1382, namun ia masih dapat menulis banyak buku setelah itu, sampai ia terkena lagi serangan stroke (apoplexy) yang kedua pada saat mengikuti misa  tanggal 28 Desember 1384, dan akhirnya wafat pada tanggal 31 Desember 1384. Jadi Wyclif ini wafat karena sakit dan bukan karena dibunuh oleh Gereja Katolik.

Untuk memahami kondisi negara Eropa dan pengaruh Gereja Katolik yang cukup besar pada waktu itu, kita memang harus melihat kepada sejarah sebelumnya yang menyebabkan mengapa demikian. Sejarah mencatat bahwa setelah kejatuhan kerajaan Roma di abad ke-5, maka biara-biara (monasteries) menjadi tempat-tempat yang menyediakan tempat tinggal/ penginapan dan pengobatan orang sakit yang tidak dapat didapatkan di tempat-tempat lain di Eropa. Secara khusus di sini adalah biara-biara yang dipelopori oleh St. Benediktus yang kemudian mempunyai 30.000 biara yang tersebar di seluruh Eropa. Tempat-tempat ini menjadi oasis bagi tempat perawatan orang sakit, karena selain memberikan obat-obatan, juga keteraturan dan lingkungan kekudusan, dengan semboyan utama ordo ini yaitu Ora et labora (berdoa dan bekerja). Di biara-biara inilah para Benediktin menyambut para tamu dan pasien yang sakit seperti menyambut Kristus sendiri, penerapan dari ayat Mat 25:35, di mana Yesus mengatakan, “ketika Aku orang asing kamu memberi Aku tumpangan…. ” Selanjutnya, biara-biara ini menjadi tempat-tempat diadakannya pusat studi tentang ilmu kedokteran, antara abad 5 sampai 10, dengan men- transmisi-kan teks-teks ilmu kedokteran dari abad-abad sebelumnya. ((Lihat Guenter Risse, Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals, NY: Oxford Univ. Press, 1999, p.95)).

Pada saat yang sama, yaitu abad ke-6 sampai ke 10 itu memang terdapat kemunduran dalam hal pembelajaran dan budaya di Eropa, yang disebabkan karena Eropa pada waktu itu ditaklukkan oleh kaum barbar seperti Goths, Vandals, Huns, Vikings, dll. Dalam kondisi demikian, biara menjadi tempat perlindungan bagi masyarakat. Para biarawan/ biarawati menyalin teks- teks dari para pengarang kuno, dan ini berlangsung hingga abad ke 13, sebelum kemudian melibatkan kaum awam, hingga sampai kepada 60.000 orang penyalin. Maka para Benediktin tersebut berperan sangat besar dalam mempertahankan budaya klasik di Eropa. Tidak hanya itu saja, dalam bidang pertanian, para biarawan Benediktin ini juga sangat berjasa. Mereka siap mengubah daerah tandus gersang menjadi subur. Demikian pula, para biarawan Cistercian berperan besar di bidang teknologi, dalam penggunaan tenaga air bagi teknologi pertanian. Hal yang serupa terjadi di berbagai bidang yang lain, di dalam hal pengolahan garam, berjenis besi, aluminium, gypsum, dst… peran para biarawan begitu nyata di kawasan Eropa terutama juga dalam hal memperkenalkan teknologi per-mesin-an. ((lihat Jean Gimpel, The Medieval Machine: the Industrial Revolution of the Middle Ages, NY: Holt, Rinehart and Wiston, 1976, p.1))

Maka tak mengherankan, bahwa kehidupan masyarakat Eropa pada saat itu berkembang di sekitar biara- biara dan gereja. Kehidupan menggereja menjadi tak terpisahkan dengan kehidupan sosial. Mulailah ada semacam sumbangan yang diberikan kepada para biarawan tersebut, karena merekalah yang terjun langsung memperbaiki ataupun membina kehidupan bermasyarakat. Tentu ini ada sisi positifnya, namun lama- kelamaan ada juga dampak negatifnya. Para biarawan tersebut ada yang menyalahgunakan dukungan tersebut dan hidup dalam kelimpahan. Hal ini menjadi salah satu motivasi dari beberapa orang yang kemudian membenci para biarawan/ kaum klerik, dan tidak lagi mempercayai mereka.

John Wyclif, merupakan salah satu dari mereka yang menolak kaum klerik. Wyclif ini memang sering disebut-sebut sebagai perintis Reformasi (sebelum Martin Luther) oleh gereja Protestan. Ia adalah seorang teolog, filsuf naturalis, yang menerima pendidikan di Oxford dan terkenal sebagai salah satu penerjemah Alkitab Vulgate dari bahasa Latin ke bahasa Inggris. Setelah menerima gelar Doktor Theologi, tahun 1374 ia bekerja di bawah kepemimpinan Edward III. Pada saat inilah ia menunjukkan pengaruh ajarannya dalam hal politik. Wycliff mewakili pemerintah Inggris menolak memberikan pajak kepada Roma. Ia menentang peran para klerik yang mempunyai otoritas kepemimpinan, dan mempunyai hak milik (seperti yang dimiliki biara-biara, yang awalnya memang digunakan kembali untuk memajukan masyarakat). Ia mengajarkan bahwa hak otoritas dan hak milik diperoleh dari Tuhan untuk semua orang, namun terbatas pada mereka yang dalam kondisi rahmat/ tidak berdosa. Maka para klerik yang berdosa sudah tidak bisa mempunyai otoritas, dan hak itu dapat dialihkan kepada tuan-tuan tanah. Karena itu, ia mengatakan bahwa sebaiknya kepemilikan biara-biara itu disita/ dialihkan saja kepada para pemimpin negara. Wyclif kemudian mendapat dukungan dari John Gaunt (1340-99), bangsawan Lancaster yang paling kaya di Inggris, yang juga menentang peran para klerik tersebut.

Sejujurnya, pandangan Wyclif ini yang mengatakan bahwa hak memegang otoritas tergantung dari kondisi rahmat [jadi jika seseorang berdosa, tidak boleh memegang otoritas apapun], juga cukup ‘absurd‘. Sebab walaupun tidak dapat dibenarkan bahwa kaum klerik dapat hidup berkelimpahan, namun sebaliknya penggantian peran kaum religius oleh para tuan tanah, juga belum tentu dapat memperbaiki keadaan, walaupun mereka menurut Wyclif, dapat melaksanakan tugasnya jika dibimbing para Teolog. Sebab biar bagaimanapun juga terdapat otoritas memimpin Gereja, yang tidak dapat dialihkan kepada para pemimpin negara/ tuan- tuan tanah. Pada saat Yesus menunjuk Petrus sebagai batu karang di mana Gereja-Nya didirikan (Mat 16:18), Ia juga sudah tahu bahwa Petrus adalah orang berdosa, namun itu tidak menghalangi Yesus untuk memberikan otoritas kepada Petrus untuk memimpin Gereja-Nya. Dan tentu, hal yang sama berlaku kepada para penerus Rasul Petrus; dan justru melalui kelemahan para rasul ini, Yesus menunjukkan kuasa-Nya untuk menjaga Gereja-Nya sampai akhir jaman. Tak heran Paus Gregorius XI mengeluarkan Bulls yang menentang ajaran Wyclif ini soal otoritas yang dikaitkan dengan dosa, yang berujung pada maksud pengambil alihan otoritas kaum klerik kepada tuan-tuan tanah dan pemimpin negara.

Selanjutnya, selain menentang otoritas Paus, Wyclif juga menentang bentuk Gereja yang kelihatan di bawah pimpinan Paus. Baginya Gereja tidak harus kelihatan. Juga, menurut Wyclif, seharusnya Gereja itu miskin, seperti pada jaman para rasul. Sebenarnya klaim bahwa Gereja harus hidup miskin ini tidaklah salah, dan karenanya Wyclif dapat memperoleh dukungan, bahkan dari para biarawan yang memegang kaul kemiskinan. Namun Wyclif tidak berhenti sampai di sini. Ia kemudian menyerang ajaran Gereja Katolik yang lain, yang merupakan salah satu doktrin yang terpenting, yaitu doktrin Transubstansiasi. Wyclif menentang kehadiran Yesus Kristus sendiri di dalam rupa roti dan anggur setelah doa konsekrasi, yaitu di mana roti dan anggur tidak lagi merupakan roti dan anggur melainkan diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Selain menentang otoritas Paus, Transubstansiasi, Wyclif kemudian juga menentang kaul para religius, indulgensi, liturgi dan sakramen, dan hanya menekankan bahwa Alkitab saja sudah cukup untuk mengatur kehidupan masyarakat. Nah, dengan ajaran- ajarannya ini, maka Wyclif tidak lagi mendapat dukungan dari para biarawan manapun yang setia dengan Gereja Katolik, karena sudah ajarannya sudah bertentangan dengan ajaran Kristus, para rasul dan Bapa Gereja.

Pada tahun 1380-1381, Wyclif ini mulai menerjemahkan Alkitab dari bahasa Latin ke bahasa Inggris. Terjemahan ini kemungkinan juga dimungkinkan dengan adanya bantuan dari para muridnya di Oxford. Tahun 1381, pada saat ia pensiun di Lutterworth, terjadi Revolusi Petani. Walaupun tidak dapat diperoleh bukti yang jelas akan kaitan Wyclif dengan revolusi ini, namun dapat diketahui keberpihakannya, karena revolusi ini timbul sebagai reaksi atas khotbahnya yang menentang kepemilikan Gereja. Pada revolusi ini uskup Canterbury Simon Sudbury dibunuh dan kemudian digantikan oleh William Courtenay (1347- 96). Pada tahun 1382 saat Courtenay menuntut agar Universitas Oxford menarik kembali ajaran Wyclif, ia sudah pensiun dari situ. Pada tahun itu kesehatan Wyclif memburuk, sampai akhirnya wafat di tahun 1384 karena stroke. Sumber yang netral, seperti ensiklopedia Britannica, juga mencatat kematian Wyclif yang disebabkan oleh stroke ini. Maka tidak benar jika dikatakan Wyclif dibunuh oleh Gereja Katolik.

Dengan adanya prinsip pengajaran Wyclif yang memang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, maka Wyclif Bible (1383) ditolak oleh Sinode Oxford 1408. Hal ini serupa dengan penolakan Gereja Katolik terhadap terjemahan Alkitab yang dilakukan oleh kaum Cathar dan Albigenses yang memang memasukkan interpretasi mereka (yang bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik) dalam terjemahan Alkitab mereka. Silakan klik di sini untuk membaca tentang ajaran sesat Albigenses. Maka larangan terhadap terjemahan- terjemahan Alkitab tersebut terutama bertujuan untuk menjaga kemurnian Kitab Suci seperti yang diajarkan oleh para rasul dan Bapa Gereja; sebab terjemahan -terjemahan tersebut memuat juga interpretasi dari para penerjemahnya yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.

Demikianlah Sary, yang dapat saya tuliskan menanggapi pertanyaan anda. Saya berharap penjelasan di atas dapat berguna bagi anda, dan anda dapat juga memperoleh penjelasan yang berimbang dari sudut pandang Gereja Katolik, yang menurut saya cukup obyektif.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

[Dari Katolisitas: berikut ini adalah tambahan keterangan tentang Jan Hus]

 

9. Tentang Jan Hus

Jan Hus (1369-1415) adalah seorang Czech (Cekoslovakia), seorang imam yang ditahbiskan tahun 1400, dan kemudian menjadi rektor universitas Praha (1402-1403). Ia dikenal sebagai pendukung ajaran John Wyclif (1324-1384). Meskipun 45 butir ajaran Wyclif sudah dinyatakan salah oleh pihak otoritas Gereja, namun Hus tetap menerjemahkan tulisan Wyclif, Trialogus, ke dalam bahasa Czech dan menyebarluaskannya. Hus berkhotbah menentang moralitas kaum imam pada umumnya saat itu, dan juga menentang keuskupan dan kepausan. Selanjutnya Hus, seperti halnya Wyclif, mengajarkan doktrin yang keliru, terutama tentang Ekaristi dan Gereja.

Oleh karena itu, di tahun 1408, Paus Gregorius XII menulis surat kepada Uskup Agung setempat, Zbynek (Sbinco) tentang adanya penyebaran heresi Wyclif di wilayahnya, akibat pengajaran Hus. Sebelumnya bapa Uskup Zbynek mempercayakan Hus untuk tugas berkhotbah di wilayahnya. Sinoda yang diadakan di bulan Juni 1408 kemudian memerintahkan agar semua tulisan Wyclif diserahkan kepada keuskupan agung, untuk dikoreksi.

Sementara itu perlu diketahui bahwa sejak tahun 1378, terjadi Western Schism dalam Gereja Katolik. Di masa itu Gereja memiliki lebih dari satu orang Paus (adanya semacam Paus tandingan/ antipope(s). Keadaan tidak ideal ini melatarbelakangi protes Hus yang memang tidak setuju terhadap kepausan. Keadaan tersebut baru diputuskan di Konsili Constance (1414), yang menerima Paus Gregorius XXII sebagai Paus yang sah, dan memberhentikan para antipopes, yaitu Yohanes XXIII (penerus Alexander V) dan Benediktus XIII. Di tahun 1417, para kardinal kemudian memilih Paus berikutnya, yaitu Martin V, dan demikian berakhirlah Western Schism.

Di tahun-tahun tersebut, Hus bertentangan dengan Uskup Agungnya, Zybnek, ketika uskup itu menentang Konsili Pisa (1409) yang menurunkan Paus Benediktus XIII (Avignon) dan Gregorius XII (Roma) dengan mengangkat Paus ketiga, Alexander V, yang kemudian dilanjutkan oleh Paus Yohanes XXIII. Konsili Pisa tersebut didukung oleh para ahli/ terpelajar Czech dari Universitas Praha, sementara para ahli Jerman menentangnya, karena mereka berpihak kepada Uskup Agung mereka, yang setia kepada Paus Gregorius XII.

Pada saat yang sama, ada konflik nasional yang terjadi di Cekoslovakia. Raja Wenceslaus berpihak kepada para kardinal yang memisahkan diri dari Paus Gregorius XII. Nah, di universitas Praha, mayoritas kaum terpelajar yang menentukan suara universitas adalah para ahli dari Jerman. Menghadapi situasi tersebut, raja memberikan ketentuan bahwa setiap ahli Czech mempunyai vote 3 suara, sedangkan setiap ahli Jerman hanya satu suara.  Akibatnya ribuan kaum terpelajar Jerman meninggalkan universitas Praha, menuju Leipzig. Raja kemudian melarang komunikasi dengan Paus Gregorius XII dan menentang semua imam yang tidak menaati larangan ini. Karena kondisi ini, Uskup agung menempatkan Praha dan sekitarnya dalam keadaan interdik -dengan sangsi tertentu. Hus yang saat itu ditunjuk menjadi rektor universitas Praha yang kini didominasi kaum Czech, diperingatkan oleh bapa Uskup akan kecenderungannya terhadap heresi Wyclif. Paus Alexander V dalam Bulla 20 Des 1409 mengarahkan bapa Uskup Zbynek untuk melarang Hus berkhotbah, kecuali di katedral, kolese, paroki dan gereja-gereja di biara, dan memerintahkan agar tulisan Wyclif ditarik dari peredaran. Namun Hus menolak larangan ini dan melayangkan protes kepada Paus penerus Alexander V, Yohanes XXIII. Meskipun dilarang, Hus tetap berkhotbah di kapelnya (Kapel Betlehem) dan di Universitas Praha.

Melihat kekerasan hati Hus yang tidak mengindahkan peringatan Paus, Uskup Agung Zbynek di tahun 1410 mengeluarkan sangsi ekskomunikasi kepada Hus dan para pengikutnya. Namun Hus tetap mendukung tulisan Wyclif. Karena itu, Hus dipanggil untuk menghadap Paus, tetapi ia tidak bersedia datang. Bulan Feb 1411, keputusan Paus untuk mengekskomunikasi Hus dikeluarkan, dan diumumkan di tanggal 15 Maret 1411 kepada seluruh Gereja di Praha. Karena tekanan Raja Wenceslaus, Uskup Agung Zbynek kemudian mengungsi ke Hungaria, namun wafat di tengah jalan, tanggal 23 Sept 1411.

Sementara itu Hus terus mendukung ajaran Wyclif, meskipun ditentang oleh rekan akademisnya, John Stokes, yang mengatakan bahwa di Inggris Wyclif sudah dinyatakan sebagai heretik. Protes Hus kembali menguat ketika Paus Yohanes XXIII memberikan indulgensi kepada mereka yang mau mendukung crusade menentang Raja Ladislaus dari Naples. Raja Ladislaus adalah seorang Raja yang telah sejak tahun 1403 menentang Roma, dan ingin menguasainya. Karena ketidaktegasan Paus Gregorius XII, Ladislaus mengambil alih beberapa negara di bawah kuasa Roma (Papal States). Ladislaus menentang Paus Alexander V (antipope) yang memberinya sangsi ekskomunikasi karena perbuatannya menentang kewenangan Paus. Sekitar tahun 1410, Paus Alexander V wafat dan penerusnya Yohanes XXIII mengumumkan crusade melawan Ladislaus.

Hus dan rekannya Hieronimus menentang pemberian indulgensi ini dan merendahkan komisi kepausan yang waktu itu mengunjungi Praha. Hal ini dilaporkan kepada Paus di Roma. Paus kemudian menegaskan kembali ekskomunikasi terhadap Hus. Di tahun 1412, Hus meninggalkan Praha dan mengungsi di Austi, Czech selatan. Di sanalah ia menuliskan karyanya De ecclesia yang menyerupai ajaran Wyclif. Tulisan ini sampai kepada Uskup Agung Konrad von Vechta, yang menangkap adanya karakter heresi.

Di bulan November 1414, diadakan Konsili Constance, dan Hus, atas dorongan Raja Jerman Sigismund, memutuskan untuk hadir di hadapan para Uskup, untuk menjelaskan kasusnya. Raja Sigismund menjanjikan perlindungan kepada Hus, baik menuju Konsili maupun sesudahnya. Namun dalam Konsili itu, setelah diadili, perkara Hus diputuskan sebagai heresi, karena memang bertentangan dengan apa yang selama berabad-abad diajarkan oleh Gereja. Di kesempatan itu Hus diberi kesempatan untuk menarik ajarannya, namun ia menolaknya. Saat itu hukuman untuk seorang heretik adalah hukuman mati. Karena Jan Hus tidak bersedia menarik kembali heresi yang diajarkannya, maka ia kemudian diserahkan ke pengadilan sekular, yang kemudian melaksanakan hukuman mati terhadapnya, dengan dibakar, pada tanggal 6 Juli 1415.

Terlepas bahwa hukuman mati dengan dibakar itu terdengar sangat tidak manusiawi dan kejam di masa sekarang, namun tidak dapat dipungkiri, bahwa di zaman itu, hal itu adalah penghukuman yang umum diberlakukan terhadap penjahat tingkat tinggi. Heretik termasuk di dalamnya, mengingat akibatnya yang menyesatkan, dan dapat pula menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, seperti terjadinya Revolusi Petani (1381) di Inggris akibat ajaran Wyclif yang menentang hirarki dan kepemilikan Gereja.

Nampaknya kekejaman hukuman mati di sekitar abad pertengahan sampai abad ke 18 tersebut, turut mewarnai sejarah dunia, termasuk Gereja. Setelah pecahnya reformasi Protestan, hukuman mati juga diberlakukan oleh kaum Protestan kepada umat Katolik, terutama para imam dan religius yang setia kepada Paus, karena merekapun dianggap heretik oleh para pemimpin Protestan, sebagaimana pernah diulas di sini, silakan klik.

Melihat fakta ini, maka tak ada gunanyalah untuk menyalahkan, dan mencari siapa yang paling bersalah dalam hal ini. Yang lebih kondusif untuk mengusahakan persatuan sesama murid Kristus adalah melihat sejarah sebagai acuan untuk memperbaiki diri di masa kini dan masa mendatang. Dalam bahasa rohani, langkah ini disebut pertobatan, yang diawali juga dengan kesediaan untuk meminta maaf dan memberi maaf. Hal ini telah dilakukan oleh pihak Gereja Katolik, melalui St. Paus Yohanes Paulus II.

Dalam kunjungannya ke negara asal Hus, Cekoslovakia, di tahun 1990, St. Paus Yohanes Paulus II menyampaikan pidatonya dengan mengacu kepada pernyataan Kardinal Praha, Josef Beran, dalam Konsili Vatikan II, dalam pembahasan tentang kebebasan beragama dan toleransi. Kardinal Beran, dalam debat penyusunan dokumen Konsili, Deklarasi tentang Kebebasan Beragama (20 Sept 1965), kurang lebih mengatakan, bahwa kini Gereja Katolik di negaranya seperti ingin menyembuhkan luka lama akibat penghukuman yang dilakukan atas nama Gereja, terhadap Jan Hus yang dilakukan di abad ke-15. Saat itu, pemerintah sekular yang mendukung Gereja Katolik, melaksanakan hukuman yang kemudian melukai hati banyak orang. Trauma ini menyisakan halangan yang sangat besar dalam kehidupan rohani mereka, yang kemudian digunakan oleh para musuh Gereja, bahkan sampai saat ini, untuk menyerang Gereja Katolik. Kejadian sejarah itu mendorong Konsili, untuk menyatakan prinsip kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani. Jika ini dilakukan, dan dengan semangat pertobatan terhadap kesalahan yang telah terjadi di masa lalu, maka otoritas moral Gereja akan dihormati dan ini akan mendatangkan kebaikan bagi dunia.

Pernyataan Kardinal Josef Beran ini menjadi acuan St. Paus Yohanes Paulus II, untuk menyatakan kesediaannya untuk memeriksa kembali fakta sejarah yang terjadi di masa lalu tentang penghukuman Jan Hus. Paus mengakui integritas Jan Hus, terlepas dari pandangan teologis yang dianutnya. Paus antara lain mengatakan,

“Saya masih mengingat perkataan yang disampaikan oleh Kardinal Uskup Agung Praha [Josef Beran] yang memainkan perayn penting dalam sejarah religius dan budaya bangsa Bohemian (Czech). Adalah tugas para ahli -terutama para teolog Czech- untuk mendefinisikan secara persis posisi Jan Hus di antara para reformer Gereja, di samping figur reformer Bohemian di Abad Pertengahan, seperti Thomas dari Stitne, dan John Milic dari Kromeriz. Namun demikian, di atas pandangan teologis yang dianutnya, tak dapat diingkari integritas pribadi dalam hidup Jan Hus dan komitmennya terhadap pengajaran dan pendidikan moral bangsanya.” (St. Paus Yohanes Paulus II dalam kunjungannya ke Praha, 21 April 1990)

Kunjungan Paus ini memberikan buahnya, sebab sejak saat itu baik Gereja Katolik maupun komunitas Evangelical bekerja sama untuk menyelidiki pribadi dan kehidupan Jan Hus. Pada tanggal 6 Juni 1995, Kardinal Miloslav Vlk, Uskup Agung Praha, berpartisipasi dalam peringatan Jan Hus, di gereja tempat di mana Hus memulai khotbahnya untuk mereform Gereja. Ini adalah pertama kalinya, Gereja Katolik mengambil bagian dalam peristiwa peringatan tersebut.

Setelah mengadakan penyelidikan, satu tahun kemudian, Kardinal Vlk menyampaikan penyesalannya, atas nama semua umat Katolik di Czech, tentang kematian Jan Hus. Ini memuncak dalam simposium yang didedikasikan untuk Hus di tahun 1999 di Roma, yang berakhir dengan permintaan maaf St. Paus Yohanes Paulus II tentang penghukuman kejam yang diberlakukan kepada Hus, dan Paus memuji Hus untuk keberanian moral-nya.

Sepuluh tahun kemudian, saat Paus Benediktus XVI mengunjungi Praha (2009), Paus kembali menegaskan perlunya memulihkan luka di masa silam, dan ia mengacu kepada simposium di Roma tentang Jan Hus tahun 1999. Paus Benediktus XVI berharap langkah tersebut dapat membuka jalan untuk kesatuan umat Kristen dan membuahkan hasil yang baik bagi masyarakat Eropa. Sejarah yang terjadi di masa lalu hendaknya menghidupi cita-cita untuk masa mendatang, demikian yang dikatakan oleh Paus.

10 COMMENTS

  1. Dear Katolisitas yang dikasihi Kristus

    Memang benar, Lutheran itu tidak mewakili Protestan , namun setidaknya ,jikalau dengan dicabutnya ekskomunikasi terhadap Luther itu bisa sedikit mengobati luka-luka lama antara ke-dua pihak (Katolik dan Protestan). Bukan soal benar salah , beda doktrin semestinya tidak menghalangi setiap upaya untuk merekonsiliasi sehingga orang “luar” bisa melihat betapa hebat dan luar biasanya Tuhannya orang kristen itu . Benar -benar bisa membuat umatnya itu saling mengampuni dan mengutamakan persatuan .Semoga.

    [dari katolisitas: Silakan juga melihat komentar dari Paus Fransiskus tentang hal ini: silakan klik]

    • Dear Katolisitas yang dikasihi Kristus

      Thanks atas reply nya. Memang sudah selayaknya antara Lutheran dan Katolik bisa saling mengampuni . Ini akan membuka peluang kebersamaan yang lebih lagi, di antara Protestan dan Katolik .GBU
      Untuk ekskomunikasi atas Luther agaknya sudah tidak mungkin dibahas lagi ya, jadinya ya tetap ekskomunikasi abadi …

      [Dari Katolisitas: Silakan membaca tanggapan kami di bawah ini, silakan klik]

  2. Syalom,

    Saya seorang pemeluk kristen protestan .
    Saya ingin bertanya mengenai ekskomunikasi yang Gereja Katolik jatuhkan kepada Martin Luther.
    Sudah 500 tahun lamanya, tidakkah pihak Gereja sudah layak dan sepantasnya untuk mencabutnya ?

    GBU

    [Dari Katolisitas: Berikut ini pertanyaan digabungkan karena dari pengirim yang sama dengan topik yang sama.]

    Sejarah telah bergulir , sudah 500 tahun sejak gereja Katolik menjatuhkan ekskomunikasi kepada Luther dengan berbagai pertimbangan pada waktu itu. Tidak bisakah dicabut demi alasan kemanusiaan ? Perbedaan doktrin semestinya tidak menghalanginya.

    Katolik dan Protestan berkembang dan eksis sampai hari ini pasti tidak terlepas dari campur tangan Tuhan Yesus Kristus. Jadi bukan hanya karena Luther, Calvin, Melanthon, dll yang punya kekurangan sebagai manusia berdosa.

    Mohon pencerahannya. GBU

    • Shalom Kian,

      Mohon maaf ya, untuk tanggapan kami yang terlalu lambat.

      Saya mengundang Anda untuk membaca artikel: Arti Ekskomunikasi, silakan klik.

      Jika kita memahami maksud diberlakukannya eks-komunikasi, kita akan mengetahui bahwa pencabutan eks-komunikasi itu sebenarnya tidak semata-mata tergantung dari Gereja Katolik. Sebab jika pihak yang di-ekskomunikasi itu mengakui kekeliruannya menyatakan keinginannya untuk bergabung kembali secara penuh ke pangkuan Gereja, tentu Gereja mengabulkannya. Bukankah hal ini yang terjadi pada 4 orang Uskup SSPX, sebagaimana pernah diulas di artikel ini, silakan klik.

      Nah, dalam kasus Luther, ia tidak pernah menarik ajarannya yang menentang ajaran Gereja Katolik (yang telah diajarkan Gereja sejak abad awal sampai sekitar tahun 1500-an itu), dan Luther juga tidak pernah menyatakan keinginannya untuk bergabung kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Oleh karena itu, sanksi ekskomunikasi yang dinyatakan kepadanya, tidak dapat dianggap tidak ada oleh Gereja Katolik. Sebab kalau pernyataan ekskomunikasi terhadap Luther dicabut/ dinyatakan tidak ada, malah Gereja Katolik menjadi tidak konsisten dalam menyatakan ajaran mana yang benar, yang sesuai dengan keseluruhan ajaran Kristus dan para Rasul. Lagipula, pengertian ‘ekskomunikasi’ itu pada dasarnya merupakan pernyataan bahwa seseorang dinyatakan ‘di luar kawanan’. Sesungguhnya, tanpa pernyataan ekskomunikasi dari Gereja Katolik-pun,  secara obyektif kita mengetahui bahwa Luther telah menyatakan dirinya berada di luar kawanan Gereja Katolik, dengan menyampaikan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, dan dengan sikapnya yang menentang Paus sebagai pemimpin Gereja, yang sebelumnya juga ia hormati sebagai pemimpinnya.

      Saya percaya Anda telah membaca sekilas tentang Luther dan Ekskomunikasinya, klik di sini. Sungguh betapapun kita menyesali akhir dari segala polemik di masa itu, sehingga Luther memisahkan diri dari Gereja Katolik, dan yang kini membawa dampak adanya begitu banyak denominasi (sampai sekitar 28.000?), namun kita tidak dapat mengubah suatu fakta bahwa saat itu Luther menolak untuk kembali bergabung dengan Gereja Katolik.

      Nah, nampaknya kita perlu dengan rendah hati mengakui bahwa kita tidak mempunyai kuasa untuk mengubah segala sesuatu, terutama keadaan di masa lampau. Yang bisa kita ubah adalah keadaan di masa kini dan yang akan datang. Oleh karena itu, Gereja Katolik juga tidak melimpahkan sanksi ekskomunikasi Luther kepada semua umat Kristen non Katolik. Konsili Vatikan II mengajarkan tentang hal ini demikian:

      “Dalam satu dan satu-satunya Gereja Allah itu sejak awalmula telah timbul berbagai perpecahan[15], yang oleh Rasul dikecam dengan tajam sebagai hal yang layak di hukum[16]]. Dalam abad-abad sesudahnya timbullah pertentangan-pertentangan yang lebih luas lingkupnya, dan jemaat-jemaat yang cukup besar terpisahkan dari persekutuan sepenuhnya dengan Gereja Katolik, yang seringnya karena kesalahan orang- orang di kedua belah pihak. Tetapi mereka, yang sekarang lahir dan di besarkan dalam iman akan Kristus di jemaat-jemaat itu, tidak dapat dipersalahkan dan dianggap berdosa karena memisahkan diri. Gereja Katolik merangkul mereka dengan sikap bersaudara penuh hormat dan cinta kasih. Sebab mereka itu, yang beriman akan Kristus dan dibaptis secara sah, berada dalam suatu persekutuan dengan Gereja Katolik, meskipun persekutuan ini tidak sempurna. Perbedaan- perbedaan yang ada dalam derajat yang berbeda di antara mereka dan Gereja Katolik-  baik perihal ajaran dan ada kalanya juga dalam tata-tertib, maupun mengenai tata-susunan Gereja, memang menciptakan banyak hambatan, kadang menjadi hambatan yang serius, terhadap persekutuan gerejawi yang penuh. Gerakan ekumenis bertujuan mengatasi hambatan-hambatan itu. Sungguhpun begitu, karena mereka dalam Baptis dibenarkan berdasarkan iman, mereka disaturagakan dalam Kristus[17]. Oleh karena itu mereka memang dengan tepat menyandang nama Kristen, dan tepat pula oleh putera-puteri Gereja katolik diakui selaku saudara-saudari dalam Tuhan[18]….” (Unitatis Redintegratio, 3)

      Demikianlah tanggapan kami, Kian. Semoga sebagai sesama murid Kristus, kita dapat bersama-sama berjuang untuk mengikuti ajaran Kristus. Mari jangan terpaku kepada apa yang telah terjadi di masa lampau, tetapi memusatkan perhatian kepada masa kini dan masa depan, saat kita bersama dapat membangun dialog yang tulus atas dasar kasih dan saling menghormati.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Shalom Bu Ingrid yang dikasihi Tuhan

        Ya benar kata ibu agar kita jangan terpaku pada masa lalu.
        Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan : aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku — Filipi 3 :13 —-

        Mau tanya lagi bu Ingrid, apakah setelah Konsili Vatikan ke-2 ini akan diselenggarakan Konsili Vatikan yang ke-3 ?

        Benarkah dogma EENS dari Konsili Vatikan ke-1 itu tidak bisa dibatalkan oleh Konsili Vatikan ke-2 ? Dengan kata lain dogma EENS itu masih berlaku ?
        Bukankah setelah Konsili Vatikan ke-2 gereja Katolik lebih pluralis dan membuka dialog?

        Yang terakhir, Mengapa teolog Swiss yang bernama Hans Kung yang juga seorang imam itu sampai sekarang dijadikan awam oleh gereja Katolik , dan dicabut mandat pengajarnya ? Apakah kesalahan beliau ?

        Salam Damai
        Kian

        • Shalom Kian,

          1. Tentang EENS

          Sejujurnya, saya tidak tahu apakah akan diselenggarakan Konsili Vatikan yang ke-3 atau tidak. Paus ataupun Magisterium Gereja Katolik-lah yang akan memutuskan, apakah hal ini diperlukan.

          Dogma EENS (Extra Ecclesiam Nula Salus/ Di luar Gereja tidak ada keselamatan) adalah ajaran Gereja yang tidak berubah, dan karena itu tidak dibatalkan oleh Konsili Vatikan ke-2. Konsili Vatikan ke-2 hanya merumuskannya secara berbeda, yaitu dengan rumusan positif yang kurang lebih berbunyi, Keselamatan datang dari dalam Gereja; atau Gereja adalah tanda dan sarana keselamatan. Dogma EENS ini tetap berlaku, sebab Gereja percaya akan Sabda Tuhan Yesus sendiri yang mengatakan, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh 14:6) Dan bahwa Gereja tidak terpisah dari Yesus yang adalah Kepalanya (lih. Ef 5:28-32).

          Memang setelah Konsili Vatikan ke-2, Gereja Katolik menunjukkan keterbukaan agar menjadi semakin dekat dan dapat dihayati oleh berbagai bangsa yang tergabung di dalamnya.  Hal ini nampak jelas juga dalam liturgi, yang kini dapat diadakan dalam bahasa- bahasa setempat (vernakular) dan tidak terbatas hanya dalam bahasa Latin. Keberagaman bahasa dan bangsa ini memang menimbulkan kesan Gereja sekarang menjadi lebih pluralis, namun tentang ajaran iman, Gereja tidak berhak untuk mengubahnya. Dialog yang diadakan oleh Gereja dengan berbagai agama tidak menjadikan Gereja mengubah ajarannya, namun dengan dialog itu, Gereja menjadi semakin mengetahui dan menghargai sudut pandang dari agama-agama lain. Gereja semakin menyadari bahwa Allah telah mempersiapkan umat manusia untuk menerima kepenuhan kebenaran dalam Kristus dan Gereja-Nya, dengan memberikan berkas-berkas kebenaran dalam agama-agama lain.

          2. Tentang Hans Kung

          Yang saya ketahui berdasarkan keputusan deklarasi ini, silakan klik, Hans Kung dinyatakan tidak diizinkan untuk mengajar teologi Katolik, dan tidak diakui sebagai teolog Katolik, karena ajarannya telah menyimpang dari keseluruhan kebenaran iman Katolik, dan ia telah berkali-kali diperingatkan namun tidak mengindahkan. Ini nyata dalam pernyataan alinea terakhir dari surat itu, yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ajaran Iman tanggal 15 Desember, yang disetujui oleh St. Paus Yohanes Paulus II:

          “The Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith in the aforesaid document of 1975 refrained at the time from further action regarding the above-mentioned opinions of Professor Küng, presuming that he himself would abandon them. But since this presumption no longer exists, this sacred congregation by reason of its duty is constrained to declare that Professor Hans Küng, in his writings, has departed from the integral truth of Catholic faith, and therefore he can no longer be considered a Catholic theologian nor function as such in a teaching role.”

          Silakan membaca lebih lanjut di dokumen tersebut, secara garis besar, mengapa dan bagaimana ajaran Hans Kung telah menyimpang dari ajaran Gereja Katolik. 

          Namun demikian, dari surat itu, tidak dikatakan bahwa Hans Kung dijadikan awam (laicized) atau dilepaskan dari jabatan imam.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Syallom Bu Ingrid .

            Thanks atas penjelasan ibu.
            Saya membacanya dari wikipedia bu, seperti berikut ini :

            Hans Küng
            Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

            Hans Küng.jpg
            Pastor Hans Küng (lahir 19 Maret 1928 di Sursee, Canton Lucerne), adalah seorang teolog Swiss terkemuka, dan penulis yang produktif. Sejak 1995 ia menjadi Presiden dari Yayasan untuk Etika Global (Stiftung Weltethos). Küng adalah seorang pastor Katolik Roma, tetapi Vatikan telah mencabut haknya untuk mengajar teologi Katolik.

            Küng belajar teologi dan filsafat di Universitas Kepausan Gregoriana di Roma dan ditahbiskan pada 1954. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di berbagai kota Eropa, misalnya di Sorbonne di Paris. Tesis doktoralnya berjudul “Pembenaran. Doktrin Karl Barth dan sebuah refleksi Katolik”.

            Pada 1960 Küng diangkat menjadi profesor teologi di Universitas Eberhard Karls, Tübingen, Jerman. Tepat seperti rekannya Joseph Ratzinger (yang belakangan menjadi Paus Benediktus XVI), pada 1962 ia diangkat menjadi peritus oleh Paus Yohanes XXIII, dan melayani sebagai seorang penasihat ahli teologi bagi para anggota dari Konsili Vatikan II hingga selesai pada 1965. Atas usul Küng, Dewan Dosen Katolik di Tübingen mengangkat Ratzinger sebagai profesor dogmatika. Namun, karena kenyataannya Ratzinger beralih menjadi lebih konservatif sebagai reaksi terhadap revolusi mahasiswa 1968, kerja sama di antara keduanya pun berakhir.

            Pada akhir tahun 1960-an Küng menjadi teolog penting pertama Katolik Roma setelah skisma Gereja Katolik Lama pada akhir abad ke-19 yang menolak doktrin infalibilitas paus, khususnya dalam bukunya Infallible? An Inquiry (“Infalibel? Suatu Telaah”) (1971). Akibatnya, pada 18 Desember 1979, izin mengajarnya sebagai seorang teolog Katolik Roma dicabut, namun ia tetap mengajar sebagai seorang profesor yang berjabatan dalam bidang teologi ekumenis di Universitas Tübingen hingga masa pensiunnya (Emeritierung) pada 1996. Hingga hari ini ia tetap merupakan kritikus yang gigih terhadap kewibawaan paus, yang disebutnya sebagai ciptaan manusia (dan karena itu dapat dibatalkan) dan bukan sesuatu yang ditetapkan oleh Allah. Küng tidak diekskomunikasi dan tetap menjabat sebagai seorang imam Katolik Roma.

            Pada awal tahun 1990-an Küng memulai sebuah proyek yang dinamai Weltethos (Etika Global), yang merupakan upaya untuk menggambarkan kesamaan di antara agama-agama dunia (ketimbang menekankan hal-hal yang membedakan mereka) dan menyusun suatu susunan peraturan perilaku minimal yang dapat diterima oleh setiap orang. Visinya tentang suatu etika global terwujud dalam dokumen yang rancangan awalnya disusun oleh Küng, Menuju suatu Etika Global: Suatu Deklarasi Awal. Deklarasi ini ditandatangani pada Parlemen Agama-agama Dunia tahun 1993 oleh banyak pemimpin agama dan spiritual dari seluruh dunia. Belakangan proyek Küng ini memuncak menjadi “Dialog antar Peradaban” yang diselenggarakan oleh PBB, dan untuk itu Küng ditunjuk sebagai salah satu dari 19 “tokoh terkemuka.” Meskipun proyek ini diselesaikan pada November 2001, tak lama setelah serangan teroris pada 11 September 2001, media AS tidak meliputnya. Hal ini dikeluhkan oleh Küng.

            Berdasarkan pada kuliah-kuliah “Studium Generale” di Universitas Tübingen, terbitannya yang terbaru Der Anfang aller Dinge (“Permulaan dari segala sesuatu”) membahas hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama. Dalam sebuah analisis yang merentang dari fisika kuantum hingga neurosains ia juga mengomentari perdebatan saat ini di Amerika Serikat mengenai evolusi, dan mengecam mereka yang menentang evolusi sebagai orang yang “naif [dan] tidak tercerahkan”.

            Pada 26 September 2005 ia terlibat dalam suatu diskusi bersahabat tentang teologi Katolik dalam sebuah makan malam bersama Paus Benediktus XVI — sesuatu yang mengejutkan sejumlah pengamat.

            Semoga katolisitas semakin diberkati Tuhan Yesus , dan menjadi berkat bagi sesama ! Amin.

            Salam Damai ,
            Kian

            [Dari Katolisitas: Ya, demikianlah memang yang disampaikan oleh Wikipedia. Dari sumber di atas itu juga dikatakan -saya kutip saja, “Küng tidak diekskomunikasi dan tetap menjabat sebagai seorang imam Katolik Roma.” Namun kalau Anda mau membaca menurut sumber kepausan, ya, silakan Anda membaca apa yang disampaikan oleh deklarasi yang saya sertakan linknya di atas.]

  3. Terima Kasih Bu atas penjelasannya, sudah selayak dan pantasnya kita menjelaskan kepada sesama saudara kita bahwa peristiwa di masa lalu merupakan pembelajaran untuk kemajuan dan perkembangan ke arah yang lebih baik agar tidak terulang kembali kejadian di masa yang silam.

  4. Salam sejahtera tim katolisitas, bisa saya bertanya di situs ini mengenai pertanyaan teman saya yang dari kristen: Apakah benar pada masa reformasi gereja kristen ada doktrin-doktrin palsu dan malapraktik gerejawi dari gereja roma katolik khususnya ajaran dan penjualan indulgensi, serta simoni, jual-beli jabatan rohaniwan. Dan Konklaf mengutuk Jan Hus yang dihukum mati, padahal ia datang dengan jaminan keamanan.

    Salam dalam damai Kristus Tuhan

    • Shalom Akasa,

      Silakan Anda membaca tulisan artikel di atas, yang baru saja kami tambahkan, tentang Jan Hus, untuk menanggapi pertanyaan Anda, silakan klik. Jan Hus dihukum mati oleh pengadilan sekular, karena terbukti mengajarkan heresi. Adapun pada saat itu hukuman bagi seorang heretik adalah hukuman mati. Hukuman mati dengan dibakar yang sungguh tak terbayangkan bagi kita di zaman ini, adalah hukuman yang diberlakukan di zaman itu. Betapapun tragisnya fakta ini, nampaknya tak terpisahkan dengan peradaban pada masa itu, sehingga kita yang terpisah sekian abad dengan kejadian itu memang tak mungkin dapat memahaminya sepenuhnya.

      Mengenai pertanyaan berikutnya dari teman Anda, silakan klik di artikel-artikel berikut ini. Untuk selanjutnya, silakan mencari terlebih dahulu dengan fasilitas pencarian di bagian atas homepage dengan kata kunci yang ingin Anda ketahui.

      Katolik menyalahgunakan Indulgensi?
      Penjualan surat pengampunan dosa di Abad Pertengahan?
      Indulgensi, harta kekayaan Gereja

      Luther dan Ekskomunikasinya

      Tanggapan tentang Keberatan akan Beberapa Paus

      Sedangkan tentang simoni, silakan membaca jawaban kami atas pertanyaan serupa di sini, silakan klik.

      Fakta sejarah sepantasnya membuat kita melihat kelemahan umat manusia, yang melalui berbagai pergumulan di sepanjang zaman. Semoga Tuhan memberkati semua orang yang berkehendak baik, untuk mengusahakan kemajuan ataupun perkembangan umat manusia agar hal-hal negatif yang terjadi di masa silam tidak terulang kembali.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

Comments are closed.