Berita pengunduran diri Paus Benedictus XVI cukup mengejutkan. Aku penasaran mengenai alasan pengunduran diri beliau. Setelah mencari berbagai informasi, aku lebih terkejut lagi. Dan malu pada diriku sendiri.
Dalam salah satu akun jejaring sosial Dr. Scott Hahn, aku melihat betapa Bapa Suci bergumul dengan kelemahan dirinya demi melayani Tuhan. September 1991, beliau mengalami hemorrhagic stroke (stroke yang terjadi karena adanya perdarahan di otak) yang merusak penglihatannya untuk sementara. Enam tahun kemudian, beliau ingin mengundurkan diri dari jabatan Prefek CDF (Congregation for the Doctrin of the Faith / Kongregasi untuk Ajaran Iman), yang kemudian ditolak oleh Paus Yohanes Paulus II. Saat voting konklaf (proses pemilihan Paus) yang dulu memilih dirinya sedang berlangsung, beliau berdoa supaya Allah memilih kandidat lain yang lebih muda dan bertenaga, dan Allah berkata lain. Sebulan menjadi Paus, beliau kembali mengalami serangan stroke. Kardinal Barbarin menyatakan bahwa setelah serangan stroke pertama, Bapa Paus telah mengalami masalah jantung dan terus menjalani pengobatan. Seminggu setelah pengunduran dirinya, baru diketahui bahwa sebelum pemilihan beliau tahun 2005 lalu, jantung beliau ternyata telah dipasang pemacu.
Dengan kondisi fisik yang begitu rapuh, beliau tetap menanggapi panggilan Allah menjadi Paus. Tentu saja, menjadi Paus bukan perkara mudah. Terutama, di zaman yang lebih penuh tantangan dan godaan dibanding abad-abad sebelumnya. Aku jadi teringat betapa sering aku berlindung di balik segala kelemahanku ketika Allah memberikan tugas-tugas kecil.
St. Paulus berkata : “Sebab ketika aku lemah, aku kuat” (2 Kor 12:10). Sebagaimana St. Paulus dan Bapa Suci Benedictus XVI dikuatkan Allah dalam segala kelemahan mereka, aku juga ingin belajar bahwa kelemahan dan kekuranganku tidak menjadi halangan akan setiap panggilan dan tugas Kristus padaku.
Masa Pra-Paskah adalah saat yang tepat bagiku untuk belajar bahwa kasih Allah akan menguatkanku untuk menjalankan setiap kehendak-Nya. Gulali memang lembut, namun justru itulah daya tariknya. Aku juga penuh kelemahan, namun Allah tetap tertarik dan mencintaiku. Sebuah gulali manis dari Paus Pendahulu Benedictus XVI akan menemani perjalananku menikmati manisnya Rahmat Pertobatan dari Allah di masa Pra-Paskah ini :
“Kita bukanlah kumpulan dari kelemahan dan kegagalan kita. Kita adalah kumpulan cinta Bapa pada kita dan kemampuan sejati kita untuk menjadi gambaran PutraNya, Yesus.” – Blessed John Paul II.
Facebook Account Scott Hahn :
Saya merasakan bahwa hal ini sering terjadi pada pribadi setiap orang akan tetapi ada yang kuat ada juga yang lemah. Khusus pada diri Paus Benediktus XVI ini merupakan tantangan hidup di mana Yesus mengingini kepada umat untuk menyangkal diri dan memikul salib kehidupan kita, Bapa Paus telah menyatakannya dalam hidup nyata. Walaupun lemah oleh kelemahan tubuhnya, beliau masih mau menjadi saksi Kristus bagi umat Katolik di dunia. Untuk diri saya sendiri ini adalah pelajaran hidup berharga dan sekalipun kita lemah Yesus telah memberikan fasilitas hidup, Dia tak akan membiarkan kita umatnya jatuh melainkan beroleh hidup yang kekal walaupun dalam kesesakan.
Yesus selalu memberkati Paus dan semoga para kardinal dapat memilih Paus yang baru.
salam damai GBU
“Berita pengunduran diri Paus Benedictus XVI cukup mengejutkan. Aku penasaran mengenai alasan pengunduran diri beliau. Setelah mencari berbagai informasi, aku lebih terkejut lagi. Dan malu.”
Kenapa anda MALU? (kata pada kalimat terakhir). Apakah Paus melakukan perbuatan keji sehingga anda malu? Paus tidak melakukan perbuatan keji, kenapa anda malu?
Salam, Yayo
Terima kasih atas pertanyaannya. Saya jadi sadar kalimat saya ambigu. Akan saya perbaiki.
Saya malu bukan pada Bapa Paus Emeritus, namun saya malu pada diri sendiri. Saya malu karena saya sering mengeluh dan berlindung dibalik kelemahan diri saya. Oleh sebab itu, dalam paragraph berikutnya, saya mengatakan “betapa sering saya berlindung di balik kelemahanku ketika Allah memberikan tugas-tugas kecil”. Padahal, Bapa Paus Emeritus begitu tegar menanggung tugas yang dibebankan pada beliau sekalipun kondisi fisik beliau begitu rapuh. Belum lagi beban secara mental.
Perjuangan Bapa Paus Emerituslah yang membuatku malu pada diri sendiri. Melalui teladan beliau, saya mencoba berjuang lebih baik dalam hidup dan tidak lagi bersembunyi dibalik kelemahan diri. Semoga kita semua membuka hati terhadap rahmat Kristus yang menguatkan.
Pacem,
Ioannes
Comments are closed.