Persoalan:
Kasus pembaptisan anak dalam keluarga perkawinan campur beda agama atau beda gereja, sering kali menjadi persoalan keluarga yang tidak mudah untuk diselesaikan. Apalagi jika perkawinan dari orang tua yang bermasalah secara hukum kanonik. Misalnya perkawinan yang diteguhkan tidak seturut norma gereja Katolik. Begitu banyak masalah dalam keluarga kalau dikelompokkan ada bermacam-macam dengan persoalannya masing-masing. Namun pada umumnya persoalan praktis pastoral muncul seperti, mungkinkah pembaptisan anak yang lahir dari perkawinan campur beda agama (beda gereja) dilakukan? Atau dapatkah pembaptisan anak dilakukan meskipun perkawinan orang tuanya bermasalah? Lalu apa yang perlu dilakukan keluarga-keluarga yang menemui persoalan ini? Begitu banyak persoalan muncul jika orang tua dari anak yang akan dibaptis menemui persoalan bukan dari dirinya melainkan dari orang tuanya.
Kita sadar bahwa keluarga kristiani memiliki kewajiban mengusahakan agar anaknya dibaptis dalam minggu-minggu pertama setelah kelahirannya sesuai dengan norma kanonik (bdk. Kan. 867). Apalagi jika orang tua anak beda agama atau beda gereja maka akan muncul persoalan. Tugas itu merupakan bentuk tanggungjawab asasi orang tua katolik yakni dengan menghadap pastor paroki, mempersiapkan diri dan anak yang akan dibaptis dengan baik menjelang penerimaan sakramen pembaptisan melalui kursus persiapan pembaptisan, dan kemudian mendidik anak secara katolik hingga dewasa.
Norma-norma Yuridis:
Pembaptisan anak adalah hak asasi setiap orang tua terhadap iman anaknya. Apakah mau dibaptis setelah anak dapat menggunakan akal budinya? Ataukah dibaptis pada minggu pertama sesudah kelahiran anak? Gereja katolik tentunya memiliki pegangan dasar mengapa orang tua hendaknya mengusahakan agar anaknya dibaptis dalam minggu-minggu pertama setelah kelahirannya. Alasannya mendasar karena anak-anak yang dilahirkan dalam kodrat manusia yang jatuh dan dinodai dosa asal maka mereka membutuhkan kelahiran kembali di dalam Pembaptisan, supaya dibebaskan dari kekuasaan dan dimasukkan ke dalam kerajaan kebebasan anak-anak Allah, kemana manusia dipanggil. Gereja dan orang tua dapat dikatakan menghalangi anak-anaknya memperoleh rahmat tak ternilai menjadi anak Allah, kalau mereka tidak dengan segera membaptisnya sesudah kelahiran (bdk. KGK, 1250). Lalu bagaimana keabsahannya jika orang tua mereka dalam masalah perkawinan (perkawinan campur beda agama/gereja)? Kitab Hukum Kanonik 1983 memberikan pernyataan demi sahnya pembaptisan itu meski orang tua mereka beda agama.
Kanon 868 berbicara tentang lecitasi pembaptisan anak (bayi). Apa yang dikatakan di dalam kanon tersebut.
Dalam kanon 868, KHK 1983 menyatakan bahwa:
§1: ”agar bayi dibaptis secara licit, haruslah:
orang tuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang menggantikan orang tuanya secara legitim, menyetujuinya;
ada harapan cukup berdasarkan bahwa anak itu akan dididik dalam agama Katolik; bila harapan itu tidak ada, baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan memperingatkan orang tuanya mengenai alasan itu”,
§2: ”anak dari orang tua Katolik, bahkan juga dari orang tua tidak Katolik, dalam bahaya maut dibaptis secara licit, juga meskipun orang tuanya tidak menyetujuinya”.
Selain adanya unsur keabsahannya pembaptisan anak dituntut ada salah seorang pihak yang memberikan persetujuannya, perkawinan campur beda agama terdapat tuntutan janji bahwa pihak Katolik agar bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik (bdk. Kan 1125 no. 1). Bagaimana jika persoalan perkawinan mereka secara hukum belum beres. Pembaptisan tetap menjadi tanggungjawab orang tua meskipun perkawinan belum beres. Oleh karena itu, perlu ada perhatian pada pembaptisan anak sebagai nilai tertinggi penyelamatan jiwa-jiwa.
Persoalan kanonik bagi perkawinan akan juga berpengaruh bagi perkembangan iman anak. Persoalan itu memang pelik apalagi jika dihadapkan dengan persoalan kebebasan beragama. Kanon yang berhubungan dengan kebebasan beragama adalah kanon 748 § 2. Kanon tersebut menyatakan bahwa: ”tidak seorangpun pernah boleh memaksakan orang lain untuk memeluk iman Katolik, bila hal itu bertentangan dengan suara hatinya”. Adakah pernyataan ini bertentangan dengan tugas dan tanggungjawab orang tua anak dalam mendidik dan mengusahakan sekuat tenaga untuk dibaptis dalam Gereja Katolik?
Para ahli hukum Gereja tidak melihat adanya kontradiksi antara kedua kanon tersebut. Karena kan. 868 berbicara tentang lecitasi dari tindakan pembaptisan dan kan 748§ 2 berbicara tentang kebebasan hati dalam memilih agama dan aktualisasi dari keberimanan itu dijamin oleh hukum ilahi. Namun apa alasannya seseorang membaptis bayi meskipun orang tuanya tidak beragama Katolik dan perkawinan mereka bermasalah? Apa alasannya seseorang membaptis bayi atau anak dalam keadaan demikian? Tentu ada prinsip-prinsip yang melatarbelakanginya.
Prinsip-prinsip dasar pembaptisan anak:
1. Persetujuan orang tua
Demi sahnya, tindakan pembaptisan pada bayi dibutuhkan persetujuan dari salah satu atau kedua orang tuanya. Pernyataan ini berkaitan dengan kanon sebelumnya yakni kan. 867 yang menyatakan bahwa para orang tua wajib mengusahakan agar bayi dibaptis minggu-minggu pertama sesudah kelahirannya. Namun pembaptisan anak yang orang tuanya bukan Katolik harus mendapat persetujuan dari orang tua pihak bukan Katolik. Prinsip ini mau menghormati hak dari orang tua yang bukan Katolik terhadap pembaptisan anak. Selain itu, nampak kanon ini mau menekankan unsur kebebasan beragama. Hal seperti itu ditegaskan oleh ajaran Konsili Vatikan II dalam Pernyataan tentang Kebebasan Beragama no. 2: menyatakan bahwa ”pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang-orang perorangan maupun kelompok-kelompok sosial dan kuasa manusiawi manapun juga, sedemikian rupa sehingga dalam hal keagamaan tak seorangpun dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya…” (Dignitatis Humanae, no. 2). Maka pembaptisan yang bertentangan dengan kehendak orang tuanya dilarang, namun hanya dalam situasi bahaya maut anak dapat dibaptis meskipun tanpa persetujuan orang tuanya.
2. Pendidikan iman anak tanggungjawab orang tua
Pendidikan iman anak merupakan tanggungjawab pertama dan utama dari orang tua. Merekalah yang menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, maka mereka terikat kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Terutama dalam keluarga kristen, anak-anak sejak dini harus diajar mengenali Allah serta berbakti kepada-Nya dan mengasihi sesama, seturut iman yang telah mereka terima di dalam sakramen pembaptisan (bdk. Gravissimum Educationis, no. 3). Pernyataan ini berhubungan erat dengan hak natural (kodrati) dari orang tua untuk mendidik anaknya dengan sekuat tenaga agar mengikuti iman orang tuanya (bdk St. Thomas Aquinas hak orang tua: Patria Potestas). Atas dasar itulah pembaptisan pada usia bayi dapat dilakukan, karena dijamin oleh orang tua/walinya.
3. Salus animarum (Kan. 1752)
Dibalik pernyataan kanon 868 terdapat suatu prinsip yakni karya pelayanan pastoral Gereja pertama dan utama demi keselamatan jiwa-jiwa, itulah hukum yang tertinggi (bdk. Kan. 1752), Maka dalam pelayanan pastoral khususnya masalah pembaptisan anak dari perkawinan yang bermasalah nilai keselamatan jiwa-jiwa menjadi prinsip utama. Selain itu dalam kasus anak dalam bahaya mati (il pericolo di morte) melakukan pembaptisan demi keselamatan jiwa anak itu hal yang penting dan pokok. Karena itulah dalam keadaan bahaya mati meskipun orang tua tidak semua beragama Katolik atau salah satunya beragama Katolik, tindakan pembaptisan bayi adalah sah dan tidak bertentangan dengan kebebasan beragama.
Yth Romo Wanta,
Artikel yang saya baca baru2 ini tentang ditemukannya kuburan massal 796 anak hasil hamil di luar nikah di Irlandia di salah satu situs berita (http://m.tempo.co/read/news/2014/06/05/117582657/Kuburan-796-Anak-Ditemukan-di-Septic-Tank-Gereja), memuat kalimat yang menyatakan bahwa ” berdasarkan ajaran Katolik, anak-anak yang lahir di luar ikatan pernikahan tidak boleh dibaptis dan tidak dimakamkan sesuai dengan aturan Kristen “.
Sementara dari tulisan Romo ini, saya berkesimpulan anak-anak hasil hamil di luar nikah boleh saja dibaptis. Saya ingin menanyakan apakah dulu (1926-1941) memang pernah ada aturan seperti yang disebutkan?
Terima kasih dan salam saya.
Paulus Yth
Tahun 1926-1941 aturan Kitab Hukum Kanonik bukan yang saya sampaikan (1983) tetapi Kitab Hukum Kanonik 1917. Jadi jelas aturan yang saya uraikan itu, di tahun 1926-1941 belum ada.
salam
Rm Wanta
Yth Romo Wanta,
Apakah dalam kitab hukum kanonik 1917 tersebut hal yang dilakukan pada berita tersebut dibenarkan secara Katolik? Jika ya, dasar/pandangan apakah yang berubah pada tahun 1983 sehingga keluar kitab hukum kanonik 1983?
Terima kasih sebelumnya atas waktunya.
Shalom Paulus Renault,
Pertama-tama, jika kita membaca berita semacam itu (yang linknya Anda sertakan), kita harus melihatnya secara obyektif bahwa hal yang disampaikan di sana baru merupakan dugaan/ hipotesa seorang peneliti yang bernama Catherine Corless. Ulasan di situs ini, silakan klik, yang menampilkan fakta dan bukti dari banyak sumber menunjukkan bahwa klaim tersebut layak dipertanyakan kebenarannya. Mohon maaf karena terbatasnya waktu dan masih banyaknya pertanyaan yang masuk, kami tidak dapat menerjemahkan artikel tersebut untuk Anda. Dengan membaca artikel di link tersebut, dan kalau saja kita mau menggunakan akal sehat kita, kita akan mengetahui bahwa klaim Corless itu tidak didukung oleh data dan fakta yang sesungguhnya dari berbagai sumber, namun hanya atas asumsinya sendiri, dari pengamatan yang terbatas. Sebab memang konon ditemukan serpihan sisa-sisa tulang anak-anak/manusia di sebuah tempat di lokasi panti, namun tidak dapat dipastikan itu milik 800 orang. Laporan polisi dan pemerintah menyatakan hal itu. Sumber Wikipedia yang bukan sumber Katolik-pun mengatakan bahwa yang ditemukan di sana kemungkinan adalah tulang-tulang milik 20 orang. Saat itu, seperti halnya sekarang di rumah-rumah sakit modern, anak-anak yang baru lahir dan meninggal dunia atau yang meninggal prematur, dikuburkan di satu lokasi.
Ada baiknya diketahui bahwa di masa tahun 1920- 1940 an memang di Eropa, termasuk Irlandia berkembang wabah tuberkulosis yang cukup parah. Tak mengherankan bahwa di masa itu terjadi tingkat kematian yang cukup tinggi pada anak-anak di negeri Irlandia secara umum, termasuk di panti Tuam. Para suster pengelola panti (Bon Secours Mother) itu tidak menyiksa ataupun menelantarkan anak-anak itu. Sebaliknya memang para suster itu yang memang memutuskan untuk merawat banyak anak terlantar yang sakit pada masa itu. Namun karena sifat menular dari penyakit tersebut, terutama bagi anak-anak, maka pada saat itu dapat terjadi bahwa tingkat kematian di panti cukup tinggi. Para suster itu mengambil tugas yang sulit untuk merawat anak-anak terlantar yang sakit ini, sebab pada saat itu tidak ada badan pemerintah Irlandia yang melaksanakan tugas itu.
Demikian pula temuan arsip koran Tuam (1939) yang memuat iklan tender bagi pembuat peti mati anak-anak, dengan spesifikasi yang mendetail dengan dilengkapi crucifix, juga dengan kuat membantah dugaan bahwa para suster itu tidak dengan layak menguburkan anak-anak panti yang meninggal dunia.
Selanjutnya, tentang tuduhan bahwa ada larangan Gereja membaptis anak-anak yang lahir di luar ikatan perkawinan, juga nampaknya tidak benar. Sekalipun dapat terjadi sejumlah kasus, kemungkinan itu karena kasus-kasus yang spesifik, di mana tidak dapat dijamin oleh orang tuanya sendiri, bahwa anak itu dapat dididik secara Katolik.
Sebab yang saya ketahui adalah baik KHK 1983 maupun KHK 1917 mengharuskan bahwa dalam keadaan bahaya maut, anak-anak/ bayi sedapat mungkin segera dibaptis (KHK 1983 Kan 867; KHK 1917 Kan 746, 747, 748, 749, 750). Sedangkan dalam keadaan normal, anak-anak diwajibkan untuk segera dibaptis, asalkan dapat dijamin pendidikan secara Katolik, baik oleh orang tuanya maupun oleh orang tua baptisnya (KHK 1983 Kan 686, KHK 1917 Kan 750). Jika hal ini belum dapat dijamin, maka dapat saja pastor paroki menganjurkan agar pembaptisan anak tersebut ditunda, sampai dapat ditemukan orang tua baptis yang dapat menjamin hal tersebut. Penundaan ini tidak sama dengan larangan baptis.
Semoga tanggapan ini menjawab pertanyaan Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Ibu Ingrid Yth,
Terima kasih atas tanggapannya, dan ya, ini sudah menjawab pertanyaan saya tentang hukum Katolik (tertulis di artikel pada komentar pertama saya) mengenai anak hasil di luar nikah (out-of-wedlock -seperti tersebut pada tautan dari Ibu).
Menyoal tautan catholicleague.org yang Ibu berikan terkait kasus yang dipublikasikan tersebut, dan juga soal film ‘PHILOMENA’ yang nyaris meraih piala Oscar, menarik untuk saya ketahui bahwa ada sentimen anti-Katolik dan bias pada keduanya. Sayang sekali ini tidak dipublikasikan pada media massa atau pun media Katolik lain di Indonesia (setidaknya sepengetahuan saya). Malahan ada berita lanjutan seperti ini http://www.tempo.co/read/news/2014/06/05/117582670/Begini-Gereja-Irlandia-Perlakukan-Anak-Luar-Nikah.
Terima kasih atas waktu dan kesediaannya untuk mencerahkan. Salam.
[Dari Katolisitas: Sungguh, mungkin memang sudah menjadi tugas Anda dan saya dan juga pembaca yang lain yang terpanggil, untuk meluruskan informasi ini. Namun satu hal yang pasti, suatu kabar yang tidak benar akan hilang sendiri, sedangkan kabar kebenaran akan terus menetap dan tidak akan goyah.]
Selamat berhari Minggu team Katolisitas.
Saya mau tanya:
1. apakah benar untuk anak yang lahir di luar nikah selain mengacu ke aturan ini juga mengacu ke KHK No. 877 ayat 2?
2. wajibkah mencantumkan nama ayah/ibu di dalam Surat Permandian?
3. apakah boleh mencantumkan nama ayah/ibu di dalam Surat Permandian tanpa sepengetahuan atau sepersetujuan ayah/ibu dimaksud?
Terima kasih.
Syaloom
Van yth
Jelas harus mengacu ke Kan 877 seperti yang anda sampaikan/ pencantuman nama ada dua cara. Pertama, ditulis karena ada dokumen publik dan 2 org saksi yang menyatakan demikan. Nama ibu harus dicantumkan. Kedua, tidak mencantumkan nama ayah kandung dan hanya nama ibu kandung saja. Kebijakan mencantumkan ada pada romo paroki dengan memperhatikan alasan pastoral dan publik
salam
Rm Wanta
mohon penjelasannya,
Apakah anak hasil hubungan di luar nikah boleh dibaptis secara resmi oleh pihak gereja dan pastor mencantumkan nama bapaknya. Padahal orang yg disebut sebagai bapaknya tidak pernah tau bahwa itu adalah anaknya. Dan sampai sekarang masih menjadi polemik besar di daerah kami, karena yang dituduh menghamili ini adalah pejabat publik di kabupaten kami. [dari Katolisitas: kami edit nama tempat tidak kami cantumkan]. Terima kasih atas penjelasan.
Albina Yth
Sesuai dengan Kanon 877 dinyatakan bahwa nama ibu harus dicantumkan sedangkan nama bapa/ayah kandung bisa dua cara, dicantumkan kalau ada bukti publik dan saksi, dapat dicatat pada buku baptis sebagai buku resmi Gereja Katolik. Kedua, dicatat nama ibu saja sedangkan nama ayah kandung tidak dicatat, tidak menyebut nama ayah kandung.
salam
Rm Wanta
Apakah baptis bisa dilakukan oleh orang yang mengalami cacat mental? apakah Gereja juga mensyaratkan IQ minimal untuk menerima baptis? karena dengan IQ di bawah 70 seseorang sudah dinyatakan cacat mental…..
Thanks
[Dari Katolisitas: Tidak ada batasan IQ bagi seseorang untuk menerima Baptisan. Atas dasar Mat 17:14-18, Yesu menyembuhkan anak yang terkena gangguan jiwa/ roh jahat, atas dasar iman bapanya. Jika atas iman bapanya Tuhan berkenan menyembuhkan anak yang terkena gangguan tersebut, demikian juga pada anak-anak yang terkena gangguan mental. Mereka dapat dibaptis atas dasar iman orang tuanya.]
Dear Katolisitas,
shalom,
saya ingin menanyakan tentang baptisan bayi
1. apakah boleh bayi di baptis jika orang tuanya tidak katolik ?
2. Apakah boleh jika oma nya yang menginginkan cucunya dibaptis walaupun orang tua nya tidak katolik ?
3. Jika bayi boleh dibaptis walaupun orang tuanya tidak katolik kalau boleh tau apakah ada dasar-dasar hukum nya dalam KHK.
mohon jawabannya diberikan secara terperinci karena saya ini adalah seorang katekis.
terima kasih atas perhatiannya.
salam Kristus.
Lily
Shalom Lily,
Silakan terlebih dahulu membaca artikel di atas, silakan klik, tentang ketentuan dari KHK (Kitab Hukum Kanonik) tentang Pembaptisan anak/ bayi.
1. Apakah boleh bayi dibaptis jika orang tuanya tidak Katolik?
Jika salah satu dari orang tua menyetujui jika anak dibaptis, atau jika orang yang menggantikan orang tuanya secara legitim, menyetujui, maka anak itu boleh dibaptis.
2. Apakah boleh jika omanya yang menginginkan cucunya dibaptis walaupun orang tua nya tidak Katolik?
Boleh saja, asalkan oma itu mendapat izin dari minimal salah satu dari orang tuanya; atau kalau oma itu sendiri sebenarnya merupakan orang tua legitim dari anak tersebut. Misalnya jika perkawinan orang tua anak itu bermasalah atau keduanya bercerai, sehingga anak itu berada dalam asuhan omanya.
3. Jika bayi boleh dibaptis walaupun orang tuanya tidak Katolik, apakah dasarnya?
Silakan membaca kembali artikel di atas, dan selanjutnya tentang dasar Pembaptisan bayi, yaitu Mengapa Gereja Katolik membaptis bayi?, silakan klik di sini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
saya seorang Buddha. 13 tahun yang lalu saya menikah dengan wanita Katolik secara Buddha. dia kemudian memeluk agama Buddha tanpa paksaan. 3 tahun yang lalu, kami bercerai. dia kemudian kembali ke gereja. dari pembahasan Romo di atas, anak hasil perkawinan campur, jika dibaptis, harus seizin orang ua non-katolik. sekarang, 3 anak saya dibaptis TANPA SEPENGETAHUAN dan TANPA SEIZIN saya. keberatan ini sudah saya sampaikan ke pihak gereja, dan tanggapannya hanya ‘sabar ya pak’. apakah ini yang dinamakan menghargai hak non-katolik sebagai orang tua? apakah peraturan tersebut hanya tertulis saja tanpa dipraktekkan? karena fakta yang terjadi pada saya malah sebaliknya. terima kasih.
Sdr. Stanly yang baik,
Dalam hukum Gereja Katolik, seorang anak bisa dibaptis haruslah dengan sekurang-kurangnya satu dari orangtuanya menyetujuinya (KHK. Kan. 868′ par. 1). Penerapan hukum itu secara logisnya adalah bahwa orangtua yang beragama Katoliklah yang bisa memohon anaknya dibaptis. Karena dialah yang bertanggungjawab atas pendidikan iman anaknya.
Ketika seorang Katolik menikah dengan non-Katolik, maka ia berjanji dua hal, yaitu tetap setia pada imannya dan mendidik serta membaptis anaknya secara Katolik. Dan janji tersebut diberitahukan kepada pasangannya yang non-Katolik bahwa sebagai orangtua Katolik dia berjanji akan mendidik anaknya secara Katolik.
Saya tidak dapat mengikuti kasus anda, karena anda potong di tengah-tengah, sehingga hanya itu yang bisa saya sampaikan, semoga bisa sedikit memberi gambaran.
Salam
Rm Bernardino Agung Prihartana MSF
YTH Romo Bernardino Agung Prihartana, MSF
dalam kasus saya, kami tidak menikah secara Katolik dan tidak ada perjanjian untuk mendidik anak secara Katolik dari awal pernikahan. karena mantan istri saya dengan sukarela memeluk agama Buddha setelah menikah. tetapi setelah kami bercerai, dia kembali ke Katolik, saya tidak mempermasalahkan hal tersebut. tetapi saya tidak bisa menerima kalau ke 3 anak saya dibaptisnya TANPA seizin saya. saya AYAH mereka. bukankah saya mempunyai hak untuk mengetahui dan mengizinkan mereka? mengapa pihak gereja langsung menyetujui pembabtisan tanpa adanya izin dari saya?
mengutip dari tulisan di atas : “Pernyataan ini berkaitan dengan kanon sebelumnya yakni kan. 867 yang menyatakan bahwa para orang tua wajib mengusahakan agar bayi dibaptis minggu-minggu pertama sesudah kelahirannya. Namun pembaptisan anak yang orang tuanya bukan Katolik harus mendapat persetujuan dari orang tua pihak bukan Katolik. Prinsip ini mau menghormati hak dari orang tua yang bukan Katolik terhadap pembaptisan anak.”
bukankah ini berarti gereja juga tidak menghargai HAK saya sebagai orang tua dari anak2 saya? dan juga saya adalah BAPAK dari anak2. sebagai informasi, ke 3 anak saya masih berusia 12, 11 dan 9 tahun.
Stanly yth
Perjanjian pihak-pihak yang menikah dalam Gereja Katolik bagi perkawinan beda agama dan beda gereja membutuhkan komitmen dan kesetiaan dalam perkawinan. Sedangkan perkawinan di luar gereja Katolik, norma hukum tidak mengikat. Perkawinan anda perkawinan di luar Gereja Katolik sehingga tidak terkena perlakuan norma kanonik. Apalagi anda telah bercerai atau putus ikatan perkawinan. Seluruh kewajiban dan hak asuh anak menggunakan hukum sipil. Jika anak diasuh ibunya karena masih di bawah umur (kedewasaan, sesuai hukum sipil maka hak ibu kandung untuk mendidik anak-anak mereka baik pendidikan umum maupun rohaninya. Maka jika ibu itu mendidik anak sesuai agamanya tidaklah salah karena naluri keibuan akan tumbuh secara kodrati. Jadi tidaklah bisa dipersalahkan Gereja memberi leluasa pembaptisan karena saat itu sudah cerai atau putus perkawinannya, dan lagi tidak ada perjanjian itu di depan pastor Katolik. Semoga dapat menjawab persoalan anda
salam
Rm Wanta
Shalom Katolisitas,
Says mau tanya, saya seorang Katolik menikah dengan WN Jerman 3 tahun yg lalu di catatan sipil Berlin dan diketahui oleh KBRI di Berlin. Suami saya tidak memeluk suatu agama. Sekarang kami dikaruniai seorang putri (7bulan). Bisakah saya membaptiskan putri saya secara Katolik? Apa saja syaratnya?
Tolong penjelasan lebih lanjut.
Terima kasih. Tuhan berkati.
Christie Puspita
Shalom Christie,
Sebagaimana disampaikan di atas, sesungguhnya perkawinan orang tua yang bermasalah (tidak sesuai ketentuan hukum Gereja) tidak menghalangi anak untuk dibaptis, sebab keselamatan anak itu tidak tergantung dari status perkawinan orang tuanya. Maka jika Anda menghendaki Pembaptisan bagi anak Anda, silakan pertama- tama mencarikan calon orang tua Baptis bagi anak itu, yang harus beriman Katolik, dan sungguh melaksanakan ajaran iman Katolik, agar dapat membantu Anda untuk mendidik anak Anda itu secara Katolik. Jika Anda sudah menemukan calon orang tua Baptis, langkah berikutnya adalah Anda menghubungi pastor paroki terdekat dan sampaikanlah keinginan Anda kepada pastor tersebut.
Mungkin kesempatan ini juga baik, jika Anda dan suami Anda sepakat, untuk mengadakan konvalidasi perkawinan, artinya perkawinan Anda disahkan menurut hukum Gereja Katolik. (Saya mengandaikan Anda belum mengadakan pemberkatan nikah secara Katolik, sebab Anda tidak menyebutkannya). Untuk itu, silakan Anda mengaku dosa terlebih dahulu dalam sakramen Tobat, dan akuilah kelalaian Anda untuk memperhatikan ketentuan bagi seorang yang sudah dibaptis Katolik, untuk memberkati perkawinannya secara Katolik (walaupun pasangan Anda tidak Katolik. Sebab pemberkatan perkawinan secara Katolik tidak serta merta mengharuskan pasangan yang tidak Katolik untuk menjadi Katolik). Selanjutnya, dengarkanlah nasihat pastor tersebut akan apakah langkah-langkah konkrit yang harus Anda lakukan agar Anda dapat kembali ke pangkuan Gereja Katolik, termasuk syarat-syarat untuk mengadakan konvalidasi perkawinan. Jika konvalidasi sudah dilakukan, Anda dapat menerima kembali Komuni kudus, dan Anda dapat mengupayakan sedapat mungkin dengan segenap kekuatan Anda, untuk membesarkan dan mendidik anak Anda secara Katolik. Dengan demikian, Anda melakukan tugas yang dipercayakan oleh Tuhan kepada Anda sebagai orang tua, yaitu mempersiapkan anak Anda kelak agar dapat beroleh kehidupan kekal di surga.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syalom Romo / Ibu Ingrid,
saya menikah di luar gereja Katolik 14 tahun yang lalu. 4 tahun yang lalu, saya menerima Sakramen Tobat dan oleh Pastor paroki saya boleh menerima Komuni Kudus kembali. Waktu itu Pastor minta fotocopy akta perkawinan saya. Waktu kecil putri kami dibaptis di gereja Protestan (anggota PGI). Putri saya sekarang berusia 11 tahun. Dia ingin sekali dibaptis dan menerima Komuni Kudus. Pertanyaan saya :
1. Bagaimana caranya agar putri saya bisa diterima di gereja Katolik?
Apa harus dibaptis lagi ?
2. Apa maksud Pastor Paroki saya dulu meminta fotocopy akta perkawinan saya?
Terima kasih atas jawabab Romo / Ibu Ingrid. Tuhan memberkati.
Shalom Yuli,
Sambil menunggu jawaban dari Romo Wanta, maka saya akan mencoba menjawabnya. Bersyukurlah bahwa Anda kini dapat kembali ke Gereja Katolik dan menerima rahmat yang mengalir dari Sakramen Ekaristi. Dan mungkin sebelumnya Anda telah menerima konvalidasi untuk mengesahkan perkawinan Anda sebelumnya. Pada waktu itu, Romo meminta akta nikah Anda, agar Romo dapat mencatatkannya di dalam data Gereja, termasuk dengan memberikan keterangan di dalam surat baptis Anda, bahwa Anda telah menikah.
Kalau anak Anda (11 tahun) yang telah dibaptis di Gereja lain (anggota PGI) ingin masuk ke Gereja Katolik, maka dia tidak perlu lagi dibaptis. Yang diperlukan adalah persiapan untuk menerima Komuni Pertama. Bicarakan dengan Romo tentang hal ini dan minta agar putri Anda dapat dipersiapkan untuk menerima Sakramen Ekaristi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Ibu, saya mau tanya ttg janji mendidik anak secara Katolik dalam upacara perkawinan Katolik di gereja apa bisa dihilangkan? Krn waktu saya menghadiri pernikahan sepupu saya (Kristen non Katolik) yg menikah dgn orang Katolik dan upacaranya diadakan secara Katolik waktu itu tidak ada janji mendidik anak secara Katolik (mmg pihak non Katolik mati2-an tidak mau mendidik anaknya kelak secara Katolik) dan tampaknya pasturnya ok2 saja. Terimakasih bu, untuk jawabannya.
Maria yth,
Perjanjian pihak Katolik untuk mendidik anak secara Katolik dan pihak non Katolik mengetahuinya, itu sesuai dengan norma KHK 1983, kan 1125, dan norma itu tidak bisa dihapuskan. Janji itu tidak diucapkan saat upacara perkawinan di Gereja melainkan dinyatakan secara tertulis, ada formnya yang harus ditandatangani, sebelum pemberkatan diberikan. Kalau pihak non Katolik mati-matian tidak mau menandatangani, maka dia memberi alasan dan resikonya adalah, dispensasi tidak bisa diberikan. Persoalan ini serius, kalau pihak non Katolik tidak dijelaskan apa makna perjanjian tertulis itu. Di balik janji itu ada makna teologis bahwa pihak Katolik wajib (sekuat tenaga) mendidik anaknya secara Katolik demi keselamatan anaknya. Tugas orang tua Katolik dalam Familiaris Consortio jelas ditekankan. Yang harus dilakukan oleh pihak Katolik adalah ‘berjuang dengan sekuat tenaga, agar anak dapat dibaptis dan dididik secara Katolik’. Maka jika kenyataannya untuk satu dan lain hal hal ini tidak dapat dilaksanakan, pertanyaannya adalah apakah pihak Katolik tersebut sudah ‘berjuang dengan sekuat tenaga’ untuk melakukan hal tersebut.
Salam,
Rm. Wanta.
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Maria,
Sejujurnya, ketentuan untuk mendidik anak-anak secara Katolik bagi seorang Katolik yang menikah secara Katolik – tidak pernah dihapuskan. Katekismus mengajarkan bahwa orang tua adalah pendidik utama bagi anak-anak mereka (lih. KGK 1653); dan bahwa orang tua merupakan pewarta iman pertama bagi anak-anaknya (lih. KGK 1656, 1666). Kitab Hukum Kanonik 1983 menjelaskannya dengan lebih rinci pada kasus perkawinan campur, yaitu bahwa izin perkawinan campur antara seorang Katolik dan seorang Kristen non-Katolik dapat diberikan oleh pihak Ordinaris (Keuskupan) jika dipenuhi syaratnya demikian:
KHK 1125 Izin semacam itu [Izin untuk perkawinan campur] dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut
pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik;
mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.
Dengan demikian, sesungguhnya imam tersebut harus memberitahukan hal ini sebelumnya dalam proses penyelidikan kanonik, kepada pasangan yang akan menikah tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Romo Yth,
saya sudah bercerai dengan istri saya secara hukum sipil, 5 thn yg lalu.
dan sy sdh urus proses pembatalan perkawinan sy di Tribunal kira” 1’5 thn yg lalu.
dan mantan istri sy sdh menikah lagi 4 thn yg lalu.
kemudian 9 bln yg lalu sy menikah dgn orang Katolik juga hanya secara adat, krn surat pembatalan sy belum selesai.
sekarang saya sudah punya anak yang baru lahir kira” 1 minggu yg lalu.
pertanyaan saya:
apakah anak saya bisa menerima sakramen baptis, karena perkawinan sy bermasalah?
mohon jawabannya segera romo, karena sy mau anak sy segera dibaptis.
terima kasih sebelumnya.
salam
ketut
Shalom Ketut,
Jika Anda dapat menjamin pendidikan anak Anda kelak secara Katolik dengan baik, dan Anda juga telah mencarikan bapa dan ibu baptis yang dapat membantu Anda untuk mendidik anak Anda secara Katolik dengan baik, maka anak Anda dapat dibaptis.
Silakan membaca kembali artikel di atas. Pembaptisan anak tidak ada kaitannya dengan perkawinan Anda yang bermasalah. Masalah perkawinan Anda tetap perlu dibereskan, namun menurut Hukum Gereja, anak Anda tetap dapat dibaptis, sepanjang syarat yang di atas itu (orang tua dapat menjamin pendidikan anaknya secara Katolik dengan baik) dapat dipenuhi. Dalam hal ini keselamatan jiwa anak Anda merupakan prioritas utama.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Mungkinkah Pembaptisan anak ketika perkawinan orang tua bermasalah?
Syalom Alaikem Ingrid. Menurut saya tidak semudah itu, karena saat ini saya sedang membantu saudara kita yang tidak diijinkan membaptis anak2nya (Ayah Katolik, Ibu Protestan, mereka menikah secara Protestan). salah satu syarat administrasi untuk pembaptisan bayi/balita adalah surat menikah secara Gereja Katolik. Pendapat saya pribadi sebenarnya sama dengan Sdri. Ingrid, seharusnya anak tetap dapat dibaptis kalau orang tua dan wali baptis dapat menjamin pendidikan anaknya secara Katolik dengan baik.
Shalom Paulus,
Sesungguhnya menurut ketentuan Kitab Hukum Kanonik 1983, sebagaimana telah dijabarkan di atas oleh Rm. Wanta di atas, permasalahan perkawinan orang tuanya tidak menghalangi anak untuk dibaptis, dalam hal ini adalah perkawinan campur orang tuanya (terutama jika ternyata pernikahan mereka secara Kristen non Katolik itu belum mendapat izin dari pihak otoritas Gereja Katolik yaitu pihak keuskupan). Sepanjang orang tua pihak non- Katolik (dalam hal ini, pihak ibu) setuju agar anak dibaptis secara Katolik dan dididik secara Katolik oleh ayahnya (yang Katolik) dan oleh orang tua/wali baptisnya, maka sesungguhnya tidak ada yang menghalangi anak tersebut untuk dibaptis secara Katolik.
Jika ternyata dulu karena ketidaktahuan ataupun ketidaksengajaan, perkawinan orang tuanya tersebut dilangsungkan tanpa memperoleh dispensasi dari pihak keuskupan, maka sesungguhnya sekarang dapat dilakukan konvalidasi perkawinan, agar perkawinan tersebut dapat dinyatakan sah secara Hukum Kanonik Gereja Katolik. Silakan menghubungi romo paroki untuk mengurus konvalidasi perkawinan ini. Sesungguhnya konvalidasi ini pertama-tama adalah untuk kebaikan pasangan suami istri itu sendiri (jadi bukan semata untuk mengurus pembaptisan anak mereka). Dengan adanya konvalidasi ini maka pihak yang Katolik memenuhi kewajibannya untuk memenuhi ketentuan perkawinan yang sah menurut hukum Gereja Katolik; dan sebagai buahnya, ikatan kasih pasangan suami istri dikuatkan secara sakramental sebagaimana disyaratkan oleh Kristus melalui Gereja-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Ketut yth,
Pembaptisan anak adalah hak orang tua dan tidak ada hubungan langsung dengan perkawinan kecuali anak masih kecil. Maka perlu jaminan bahwa anak yang belum memiliki akal budi yang sudah berkembang baik perlu didampingi oleh orang tua atau wali yang baik menjamin anak didik secara Katolik. Jika ada jaminan dan umat tidak keberatan, bisa dibaptis. Kebijakan selalu melihat sisi pastoral bagaimana rama paroki melihat hal ini.
Salam
Rm Wanta
Ysh,
Sy menikah di gereja protestan(salah satu anggota PGI) “tanpa sepengetahuan atau meminta dispensasi dari gereja katolik”. Sampai saat ini istri tetap tidak bersedia untuk melakukan pengukuhan di gereja katolik dan anak di besarkan dan dibabtis secara protestan.
Berdasar kutipan diatas :
“Jika pasangan yang menikah di luar gereja Katolik tidak mengurus convalidasinya, maka ini termasuk pelanggaran berat, dan karenanya tidak dapat menerima Komuni (lih. KGK 1385), karena salah satu penerimaan Komuni sendiri merupakan bentuk pembaharuan partisipasi pasangan suami istri dalam perjanjian kasih seumur hidup antara Kristus dengan Gereja-Nya sebagaimana yang dijanjikan oleh pasangan tersebut di hadapan Tuhan dan Gereja-Nya, di dalam sakramen Perkawinan. Nah padahal Anda dan istri belum pernah menyatakan hal itu secara sah di hadapan Kristus dan Gereja Katolik. Selain itu, penerimaan Komuni dalam keadaan perkawinan yang belum sah, akan menjadi batu sandungan bagi umat lain yang mengetahuinya”
Pertanyaan saya adalah,
Apakah “selama” istri menolak untuk melaksanakan pengukuhan perkawinan di gereja katolik, maka “selama itu pula” saya tidak layak untuk menerima komuni.
Terima kasih dan salam damai dalam Kristus Tuhan.
Shalom Benedict,
Saya mengundang Anda untuk melihat kasus perkawinan Anda dengan lebih obyektif, sehingga semoga dapat dicarikan jalan keluarnya. Faktanya adalah, Anda yang Katolik, menikah di luar Gereja Katolik tanpa adanya izin dari pihak otoritas Gereja, dalam hal ini Keuskupan. Oleh sebab itu, perkawinan Anda sesungguhnya cacat Kanonik, karena dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Gereja Katolik. Bagi kita umat Katolik, Gereja adalah sebagai keluarga besar, yang ada peraturannya sendiri, seperti halnya setiap keluarga kita mempunyai aturannya sendiri, yang selayaknya tidak diabaikan, seperti jam berapa maksimal kita harus sudah pulang ke rumah, atau kalau pergi ke luar apalagi menginap di luar rumah, selayaknya minta izin kepada orang tua. Maka sudah sepantasnya jika Gereja, sepertihalnya keluarga, mempunyai ketentuan yang harus diikuti, terutama jika itu menyangkut hal yang penting, yaitu perkawinan.
Nah, faktanya, entah karena tidak tahu atau kurang informasi, Anda menikah di luar ketentuan keluarga besar Gereja Katolik. Maka tentu ada yang harus diperbaiki jika Anda ingin agar perkawinan Anda dapat sah menurut ketentuan Gereja Katolik, dan agar Anda tetap dapat menerima sakramen-sakramen Gereja, yang menandai kesatuan Anda yang penuh dengan Gereja Katolik. Nah, proses pengesahan ini namanya konvalidasi perkawinan, dan untuk mengetahui tentang hal ini silakan klik di sini. Sebelum melakukan konvalidasi perkawinan, Anda perlu mengaku dosa terlebih dahulu dalam Sakramen Pengakuan Dosa, mengingat pada faktanya memang Anda tidak melakukan pemberkatan perkawinan Anda sesuai dengan ketentuan keluarga besar Gereja Katolik.
Perlu diketahui di sini, bahwa konvalidasi tetap dapat dilakukan, meskipun istri Anda yang tidak Katolik tidak terpanggil untuk menjadi Katolik. Gereja Katolik tidak memaksa bahwa ia harus menjadi Katolik. Konvalidasi ini adalah pertama-tama untuk kebaikan perkawinan Anda berdua, yang sesungguhnya adalah sakramen, karena Anda berdua sudah dibaptis. Sakramen artinya Anda menjadi tanda kehadiran Kristus bagi istri Anda dan istri Anda menjadi tanda kehadiran Kristus bagi Anda. Demikianlah Gereja Katolik mengartikan sakramen perkawinan, sehingga setelah disahkan, ikatan di antara suami dan istri tidak terceraikan, sebab Kristus sendiri hadir di antara Anda berdua, dan menguduskan ikatan perkawinan ini. Secara khusus rahmat Tuhan ditambahkan kepada Anda (pihak yang Katolik) setiap kali Anda menerima sakramen Ekaristi, yang menandai ikatan kasih Kristus kepada Gereja. Itulah sebabnya perkawinan harus disahkan dulu secara Katolik, agar rahmat ini dapat ditambahkan kepada Anda, di samping Anda juga memberi kesaksian yang hidup, bahwa Anda mengambil bagian di dalam ikatan kasih antara Kristus dengan Gereja.
Maka mungkin ada baiknya jika Anda membicarakan dengan baik-baik dengan istri Anda. Sesungguhnya ia tidak perlu merasa khawatir dengan konvalidasi perkawinan, malah sepantasnya merindukannya. Sebab pada akhirnya ia dan Anda yang akan menerima manfaatnya, dengan menerima rahmat Allah yang Anda butuhkan untuk keutuhan dan dan keteguhan kasih Anda berdua, sebagaimana dikehendaki Allah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
saya ingin bertanya,kalo anak luar nikah itu bis ato tidak utk dibaptis?
apa psyaratannya?
mohon dijawab dgn jls karna saya ingin mbaptis anak saya yg tlahir dgn latar blakang itu.
cici saya dia beda agama dgn suaminya tp anaknya gabisa dibaptis.
apakah anak saya juga tidak bisa dibaptis karna pmasalahan keluarganya yg lbh pelik?
Shalom Agnes,
Anak yang lahir di luar nikah, dapat tetap dibaptis, asalkan dipenuhi syarat- syaratnya. Hal persyaratan Pembaptisan bagi anak yang lahir di luar nikah adalah serupa dengan persyaratan Pembaptisan bagi anak yang lahir dari orang tua yang perkawinannya bermasalah. Tentang hal ini sudah dibahas di artikel di atas, silakan klik.
Sedangkan kondisinya berbeda pada kakak Anda, jika suaminya berbeda agama dengannya. Sebagaimana dituliskan oleh Rm Wanta di sana, “… Namun pembaptisan anak yang orang tuanya bukan Katolik harus mendapat persetujuan dari orang tua pihak bukan Katolik. Prinsip ini mau menghormati hak dari orang tua yang bukan Katolik terhadap pembaptisan anak. Selain itu, nampak kanon ini mau menekankan unsur kebebasan beragama. Hal seperti itu ditegaskan oleh ajaran Konsili Vatikan II dalam Pernyataan tentang Kebebasan Beragama no. 2: menyatakan bahwa ”pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang-orang perorangan maupun kelompok-kelompok sosial dan kuasa manusiawi manapun juga, sedemikian rupa sehingga dalam hal keagamaan tak seorangpun dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya…” (Dignitatis Humanae, no. 2). Maka pembaptisan yang bertentangan dengan kehendak orang tuanya dilarang, namun hanya dalam situasi bahaya maut anak dapat dibaptis meskipun tanpa persetujuan orang tuanya.”
Maka yang perlu ditanyakan adalah apakah suami kakak Anda yang berbeda agamanya dengan kakak Anda itu melarang/ berkeberatan jika anaknya dibaptis? Sebab jika ya, maka dapat dipahami mengapa anak tersebut tidak dapat dibaptis. Tetapi jika sesungguhnya orang tua (dalam hal ini pihak ayah) yang non- Katolik mengizinkan, seharusnya anak itu dapat dibaptis, asalkan pihak kakak Anda yang Katolik bersama dan bapa dan ibu baptis dapat mengusahakan pertumbuhan iman anak itu secara Katolik.
Mohon membaca kembali artikel di atas (dan juga Tanya Jawab di bawah artikel ini), karena sesungguhnya sudah cukup jelas yang disampaikan di sana.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Ada satu hal yang sering mengganggu pikiran saya yaitu bagaimana nasib wanita yang hamil di luar nikah, melahirkan dan membesarkan anak sendiri karena lelaki yg menghamilinya tak mau bertanggung jawab, apakah anak yg dilahirkan bisa dibaptis secara Katolik?? Apakah si wanita ini tdk menerima sakremen komuni sampai akhir hayatnya karena hukum gereja tak membolehkan? Tolong berikan penjelasan buat saya agar tidak bingung lagi.
Shalom Cornell,
Anak yang lahir di luar nikah, dapat tetap dibaptis, asalkan dipenuhi syarat- syaratnya. Hal persyaratan Pembaptisan bagi anak yang lahir di luar nikah adalah serupa dengan persyaratan Pembaptisan bagi anak yang lahir dari orang tua yang perkawinannya bermasalah. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Ibu yang melahirkannya dapat kembali menerima Komuni kudus, asalkan ia sungguh bertobat dan telah mengaku dosanya dalam Sakramen Pengakuan Dosa. Setelah mendapatkan absolusi dan dan melakukan penitensinya, ia dapat kembali menerima Komuni kudus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
msh kah sy bs disebut Khatolik klo sdh nikah di Gereja Non-Katholik…?
Dan apakah sy masih layak tuk menerima Hosti pada perayaan Ekaristi Kudus tiap Hari Minggu, ato hari2 besar Katholik Lainnya…? Kalau mmg g bs lg, b’arti slama ini sy sdh salah, krn msh menerima Hosti pada tiap Perjamuan Ekaristi…
”Sungguh Malang”…
Shalom Wahyu Ade,
Anda tetap Katolik dan baptisan Anda tetap berlaku, hanya sekarang Anda sedang dalam keadaan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum Gereja Katolik, karena masalah perkawinan Anda. Mungkin ibaratnya seperti seorang anak, Anda sedang bepergian keluar rumah tanpa permisi, Anda tetaplah anak keluarga tersebut, tetapi untuk kembali Anda harus berjanji akan memenuhi aturan rumah tangga yang berlaku di dalam keluarga Anda.
Jika dulu Anda menikah di gereja lain, tanpa izin dari otoritas Gereja Katolik, maka perkawinan Anda tidak memenuhi persyaratan kanonik Gereja Katolik. Dengan kondisi ini sebenarnya Anda tidak boleh menerima Komuni, karena perkawinan Anda tidak memenuhi syarat ke-sah-an perkawinan menurut hukum Gereka Katolik. Namun karena Anda tidak tahu akan adanya ketentuan ini, maka ini meringankan bobot kesalahan yang ada. Maka jika Anda ingin kembali menerima Komuni, yang harus dilakukan adalah Anda mengaku dosa di hadapan Allah dalam Sakramen Pengakuan Dosa, dan kemudian silakan mengukuhkan (istilahnya convalidasi) perkawinan Anda di hadapan pastor paroki. Silakan Anda menghubungi pastor paroki Anda untuk menanyakan prosedurnya dengan lebih rinci.
Jika sampai kita berbuat kesalahan, maka langkah yang terpenting adalah memperbaikinya, dan menurut hemat saya, jangan sampai kita menganggap diri kita menjadi “sungguh malang”. Sebab yang terpenting kita sekarang sudah tahu apa yang harus dilakukan, dan kita mau melakukannya. Mungkin yang lebih baik adalah kita mengambil sikap positif yang diajarkan oleh rasul Paulus, yaitu, “aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” (Flp 3:13-14).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
makasih atas penjelasanx…
Ok, tp gimn klo si-Istri g mw diteguhkan kembali di Gereja Katholik, apa yg hrs sy lakukan…?
1. apakah sy hrs memaksa dia…?
2. haruskah sy menceraikan dia, sedangkan dia mau jg spy anak kami dibaptis di Katholik…?
3. klo sdh mengikuti sakramen Pengakuan Dosa, apa sy sdh bs terima komuni lg, tanpa adanya pengukuhan pernikahan di Gereja Katholik krn salah 1 pihak g mau (istri)…?
Trima kasih…
Shalom Wahyu,
Sepertinya yang diperlukan adalah komunikasi yang baik antara Anda dan istri Anda. Silakan dibicarakan dengan baik- baik dengan dia, sebab sesungguhnya ia tidak dirugikan apapun, jika Anda berdua melakukan convalidasi perkawinan Anda. Kemungkinan ia enggan karena berpikir bahwa nantinya ia ‘dipaksa’ untuk menjadi Katolik, tetapi sesungguhnya tidak demikian; sebab tidak ada keharusan menjadi Katolik.
1. Maka jangan Anda memaksa, namun carilah waktu yang tepat untuk membicarakannya secara terbuka dengan istri Anda.
2. Jika ia setuju bahwa anak Anda dibaptis secara Katolik, artinya sudah ada niat baik dari pihaknya untuk menghormati Anda sebagai kepala keluarga dan janji Anda untuk tetap Katolik, membaptis dan mendidik anak secara Katolik. Atas dasar ini, dan terlebih lagi atas dasar janji perkawinan Anda dengannya di hadapan Tuhan, maka janganlah berpikir untuk menceraikan dia.
3. Sakramen Pengakuan dosa mensyaratkan pertobatan yang sungguh, artinya harus ada langkah nyata untuk memperbaikinya. Dalam hal ini, pertobatan Anda harus diikuti langkah yang konkret untuk menjadikan Anda terlepas dari kehidupan yang tidak semestinya di hadapan Tuhan. Karena Anda Katolik namun perkawinan Anda tidak sah menurut hukum Gereja (yang di dalamnya Allah mengesahkan suatu ikatan perkawinan), maka Anda perlu melakukan sesuatu untuk mengesahkan-Nya. Jika tidak, maka sesungguh pertobatan tersebut kurang jelas terlihat buktinya, sebab langkah penitensinya tidak dilakukan.
Jika pasangan yang menikah di luar gereja Katolik tidak mengurus convalidasinya, maka ini termasuk pelanggaran berat, dan karenanya tidak dapat menerima Komuni (lih. KGK 1385), karena salah satu penerimaan Komuni sendiri merupakan bentuk pembaharuan partisipasi pasangan suami istri dalam perjanjian kasih seumur hidup antara Kristus dengan Gereja-Nya sebagaimana yang dijanjikan oleh pasangan tersebut di hadapan Tuhan dan Gereja-Nya, di dalam sakramen Perkawinan. Nah padahal Anda dan istri belum pernah menyatakan hal itu secara sah di hadapan Kristus dan Gereja Katolik. Selain itu, penerimaan Komuni dalam keadaan perkawinan yang belum sah, akan menjadi batu sandungan bagi umat lain yang mengetahuinya.
Wahyu, bawalah hal ini di dalam doa- doa pribadi Anda. Semoga Roh Kudus melembutkan hati istri Anda untuk dapat memahami keadaan Anda dan kerinduan hati Anda untuk menyambut Kristus dalam Komuni kudus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Sungguh baik apa yg dianjurkan kpd sy…
Tp apa yg dimaksud ”Convalidasi”…?
Trima kasih…
Shalom Wahyu,
Konvalidasi perkawinan (marriage convalidation) artinya adalah menjadikan suatu perkawinan yang sudah ada diakui (diberkati) oleh Gereja Katolik. Mereka yang memohon diberikannya konvalidasi perkawinan adalah karena mereka menikah di luar Gereja Katolik. Ketentuan Gereja Katolik adalah agar sebuah perkawinan diakui oleh Gereja Katolik, perkawinan itu harus dilakukan di Gereja (kecuali jika sudah diberikan dispensasi) agar perkawinan dapat dikatakan sebagai sah dan sesuai dengan ketentuan (licit).
Di mata Gereja Katolik, jika minimal salah satu dari pasangan adalah Katolik, namun perkawinan dilakukan di luar Gereja Katolik, maka perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai perkawinan yang sah secara kanonik. Untuk memperbaiki keadaan ini, pasangan perlu menghadap pastor paroki. Pasangan perlu membuktikan bahwa mereka memasuki perkawinan yang non-kanonik itu tanpa maksud mengelabui/ mengakali. Kedua pihak perlu menunjukkan kesungguhan hati/ pertobatannya atas kesalahpahamannya dan perbuatannya yang keliru dan bahwa mereka menghendaki agar ikatan perkawinan tersebut “berlaku selamanya dan eksklusif (hanya melibatkan pasangan suami dan istri itu saja)” dan yang melaluinya mereka “dikuatkan dan sebagaimana seharusnya, dikuduskan bagi tugas- tugas dan martabat status mereka [sebagai pasangan suami istri] oleh sakramen yang khusus” (KHK Kan. 1134). Inilah maksud diadakannya konvalidasi perkawinan.
Jika imam (pastor paroki) mempercayai maksud pasangan dan jika tidak ada halangan lain yang belum dibereskan, maka ia mempunyai hak dan dapat memberikan dispensasi dan mengesahkan perkawinan tersebut, sehingga perkawinan dapat dikatakan sebagai sah dan memenuhi ketentuan (licit).
Kitab Hukum Kanonik menyebutkan tentang konvalidasi sebagai berikut:
KHK Kan. 1156
§ 1 Untuk konvalidasi perkawinan yang tidak sah karena suatu halangan yang bersifat menggagalkan, dituntut bahwa halangan itu telah berhenti atau diberikan dispensasi dari padanya, serta diperbarui kesepakatan nikah, sekurang-kurangnya oleh pihak yang sadar akan adanya halangan.
§ 2 Pembaruan kesepakatan itu dituntut oleh hukum gerejawi demi sahnya konvalidasi itu, juga jika pada mulanya kedua pihak telah menyatakan kesepakatannya dan tidak menariknya kembali kemudian.
Kan 1157
Pembaruan kesepakatan itu harus merupakan suatu tindakan kehendak baru terhadap perkawinan, yang oleh pihak yang memperbarui diketahui atau dikira sebagai tidak sah sejak semula.
Kan 1158
§ 1 Jika halangan itu publik, kesepakatan harus diperbarui oleh kedua pihak dalam tata peneguhan kanonik, dengan tetap berlaku ketentuan Kanon 1127 § 2.
§ 2 Jika halangan itu tidak dapat dibuktikan, cukuplah bahwa kesepakatan diperbarui secara pribadi dan rahasia, dan itu oleh pihak yang sadar akan adanya halangan, asalkan pihak yang lain masih bertahan dalam kesepakatan yang pernah dinyatakannya, atau oleh kedua pihak, jika halangan itu diketahui oleh keduanya.
Kan 1159
§ 1 Perkawinan yang tidak sah karena cacat kesepakatannya, menjadi sah jika pihak yang tidak sepakat sekarang telah memberikannya, asalkan kesepakatan yang diberikan oleh pihak lain masih berlangsung.
§ 2 Jika cacat kesepakatan itu tidak dapat dibuktikan, cukuplah kalau pihak yang tidak memberikan kesepakatan itu secara pribadi dan rahasia menyatakan kesepakatannya.
§ 3 Jika cacat kesepakatan itu dapat dibuktikan, perlulah bahwa kesepakatan itu dinyatakan dalam tata peneguhan kanonik.
Kan 1160
Perkawinan yang tidak sah karena cacat tata peneguhannya, agar menjadi sah haruslah dilangsungkan kembali dengan tata peneguhan kanonik, dengan tetap berlaku ketentuan Kanon 1127 § 2.
Kan 1161
§ 1 Penyembuhan pada akar suatu perkawinan yang tidak sah ialah konvalidasi perkawinan itu, tanpa pembaruan kesepakatan, yang diberikan oleh otoritas yang berwenang; hal itu mencakup dispensasi dari halangan, jika ada, dan dispensasi dari tata peneguhan kanonik, jika hal itu dulu tidak ditepati, dan juga daya surut efek kanonik ke masa lampau.
§ 2 Konvalidasi terjadi sejak saat kemurahan itu diberikan; sedangkan daya surut dihitung sejak saat perayaan perkawinan, kecuali bila secara jelas dinyatakan lain.
§ 3 Penyembuhan pada akar jangan diberikan, kecuali besar kemungkinannya bahwa pihak-pihak yang bersangkutan mau bertekun dalam hidup perkawinan.
Kan. 1127
§ 2 Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang disepakati bersama.
Untuk penjelasan lebih lanjut, silakan menghubungi pastor paroki.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih atas pencerahanx…tp,1 lg yg mw sy tanyakan, apa hal itu akan b’dampak bg sang istri tuk jadi katholik ato tdk…Krn sampai sampai skrg anak sy jg blm sy baptis krn menyangkut hal tersebut di atas…
Shalom Wahyu,
Gereja Katolik tidak pernah memaksa orang untuk menjadi Katolik. Maka jangan kuatir, setelah konvalidatio perkawinan Anda, istri Anda tetap dapat menjadi anggota jemaat gerejanya yang non- Katolik, jika ia memang tidak terpanggil untuk menjadi Katolik. Namun setelah konvalidatio tersebut, maka Anda dapat kembali menerima Komuni Kudus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Puji Tuhan…terima kasih atas penjelasanx…mdh2an bs b’jalan lancar…
Mnt dibantu jg dgn do’a dr tmn2 smwx yach….
GBUs…
Saya nikah dgn wanita yg non-Katholik…
Trus saya nikahnya menurut kepercayaannya…
Skrg anak saya lahir, dan saya mw agar dia dibaptis secara Katholik…
Pertanyaan saya…;
1. apa saya masih disebut org Katolik…?
2. bisakah klo seorang anak dibaptis secara Katholik, klo cm salah satu org tuanya yg setuju…?
3. kalaupun ke-2 org tuanya setuju, walaupun bkn Katholik, apakah nantinya jadi org Katholik juga…?
Mohon diberi penjelasan secara terperinci…
Thks…GBUs…
Shalom Wahyu Ade,
1. Jika Anda pernah dibaptis secara Katolik, maka baptisan itu berlaku seumur hidup. Jika Anda menikah di agama lain, dan sejak itu tidak ke gereja lagi, itu tidak otomatis membatalkan meterai rohani yang Anda terima pada saat Pembaptisan. Maka jika Anda ingin kembali ke Gereja Katolik, yang diperlukan adalah, Anda perlu mengaku dosa di dalam Sakramen Pengakuan Dosa, dan kemudian jika Anda ingin menerima Komuni kembali, maka perkawinan Anda harus dibereskan, artinya di-sahkan secara Katolik. Silakan menghubungi pastor paroki Anda untuk keterangan lebih lanjut.
2. Jika dalam keadaan perkawinan Anda yang belum disahkan secara Katolik, tetapi Anda sudah bermaksud untuk itu, kemudian Anda ingin membaptis anak Anda, maka hal itu dimungkinkan asalkan Anda sendiri menjamin bahwa anak itu akan dididik di dalam agama Katolik. Dalam hal ini penting, Anda sendiri, sebagai orang tuanya, kembali menjadi Katolik, walaupun mungkin istri Anda tetap memutuskan untuk tidak Katolik.
Dalam kanon 868, KHK 1983 menyatakan bahwa:
§1: ”agar bayi dibaptis secara licit, haruslah:
orang tuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang menggantikan orang tuanya secara legitim, menyetujuinya;
ada harapan cukup berdasarkan bahwa anak itu akan dididik dalam agama Katolik; bila harapan itu tidak ada, baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan memperingatkan orang tuanya mengenai alasan itu”,
3. Maka rencana Pembaptisan anak Anda tidak otomatis menjadikan Anda tidak perlu menjalankan ketentuan, jika Anda ingin menjadi Katolik kembali dan menerima Komuni. Anda tetap perlu mengaku dosa dalam Sakramen Pengakuan Dosa, dan membereskan perkawinan Anda terlebih dahulu, sebagaimana telah disebutkan di atas. Silakan menanyakan prosedurnya lebih lanjut kepada pastor paroki Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Tkhs atas penjelasanx…
Tetapi wkt sy nikah, sy g tau klo ada yg nmx ”DISPENSASI”, mksdx apa…?
Apakah itu msh berlaku pd sy, krn wkt diteguhkan, sy g mengetahuix…?
Mohon dijelaskan…makasih…
Shalom Wahyu Ade,
Dalam perkawinan beda gereja, agar dapat dianggap sah oleh Gereja Katolik, maka kemungkinanya adalah: 1) perkawinan diberkati di Gereja Katolik [ini dapat dilakukan tanpa mengharuskan pihak yang non-Katolik menjadi Katolik]; 2) jika tidak memungkinkan karena satu dan lain hal sehingga perkawinan harus diberkati di gereja non- Katolik, maka pihak yang Katolik harus meminta izin kepada pihak ordinaris (keuskupan). Pihak yang Katolik harus menulis surat kepada pihak keuskupan, agar dapat memperoleh surat izin dari pihak keuskupan. Katekismus mengajarkan demikian:
KGK 1635 Sesuai dengan hukum yang berlaku dalam Gereja Latin, maka Perkawinan campur membutuhkan izin eksplisit dari otoritas Gereja, supaya diizinkan (Bdk. KHK, kan. 1124). Dalam hal perbedaan agama dibutuhkan dispensasi eksplisit dari halangan ini demi keabsahannya (Bdk. KHk, kan. 1086). Izin dan dispensasi ini mengandaikan bahwa kedua mempelai mengetahui dan tidak menolak tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan, demikian pula kewajiban yang dipikul pihak Katolik menyangkut pembaptisan dan pendidikan anak-anak dalam Gereja Katolik (Bdk. KHK, kan. 1125).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Pertanyaan saya, beberapa hari atau minggu yang lalu saya melihat dalam tayangan infotement tentang anak bayi dari orang tua artis sella marsela (kasus narkoba) dibaptis dalam gereja Katolik. menurut saya anak yang akan dibaptis tersebut dapat dilakukan jika memenuhi syarat perkawinan orang tuanya, sedangkan sudah jelas perkawinan Sella tidak ada dan tidak diketahui siapa suaminya. apakah dugaan saya barangkali anak Sella itu diangkat oleh orang tua Sella untuk menjadi anak angkat hanya untuk menyelamatkan status anak dan juga supaya anak tersebut dapat dibaptis ?( mohon maaf dugaan saya kalau salah) supaya tidak menjadi batu sandungan atau kebingungan umat yang bertanya tanya kami mohon penjelasan ibu Inggrid atas pertanyaan saya ini. terima kasih sebelumnya atas jawaban pertanyaan saya tentang liturgi. terima kasih.
Shalom Pujaka,
Saya mempersilakan anda membaca artikel yang ditulis oleh Romo Wanta di atas ini, silakan klik.
Prinsipnya, meskipun perkawinan orang tua bermasalah (atau bahkan ayahnya tidak diketahui), tetapi jika salah seorang orang tua anak itu dapat menjamin pendidikan anak itu secara Katolik (misal dengan dibantu oleh bapa dan ibu baptis (Godparents) maka, bayi/ anak tersebut dapat dibaptis. Gereja Katolik tidak mempersalahkan anak itu, sebab yang bersalah adalah orang tuanya, namun anaknya tidak. Maka anaknya tetap dapat dibaptis.
Mohon maaf, saya tidak mengetahui apakah orang tua Sella mengangkat/ mengadopsi anak Sella tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam dalam Kasih,
Romo, Saya Nikah secara Catatan Sipil, Anak-anak saya semua sudah saya Baptis secara katholik ( belum Nikah Gereja ), berapa tahun kemudian Istri saya minta masuk Katholik dan kami Nikah Gereja ( sudah terlaksanakan ), Saya mohon petunjuk / nasihat dari Romo utk kelangsungan kehidupan keluarga kami menjadi Keluarga Katholik yang baik dan benar. Terima kasih
Kris Yth
Anda umat beriman yang baik telah melaksanakan sesuai aturan Gereja Katolik. Untuk mempertahankan keadaan ini maka beberapa hal yang perlu dilakukan:
1. Rajin berdoa setiap malam doa bersama sebisa mungkin berpasangan, baca Injil dan doa ada banyak buku bisa dibeli seperti Ziarah Batin (Obor) atai Inspirasi Batin (Kanisius) atau Mutiara Iman (Nusatama Ykt)
2. Rajin ke gereja bersama setiap minggu dan aktif dalam lingkungan Gereja, ikutkan anak dalam kegiatam misdinar, mudika atau PD remaja, sekolah minggu dll.
3. Ikutlah kegiatan kelompok kategorial seperti Marriage Encounter, PD Kharismatik tidak sendiri tapi berpasangan.
4. Membaca buku rohani yang banyak terjual di toko buku rohani menambah wawasan anda dan anak-anak.
Semoga rahmat Tuhan menyertaimu sekeluarga
salam
Rm Wanta
Dear Katolisitas,
Syukur kepada Allah bahwa pagi ini saya boleh membaca hal ini. Namun dari penjelasan di atas, ada hal yang saya rasa tetap kontradiktif. Dalam kan. 868 disebutkan agar membaptis bayi pada minggu-2 awal dan selanjutnya orangtua bertanggungjawab dalam pendidikan iman katolik anak hingga usia dewasa. Namun dalam kan 748 disebutkan bahwa tidak seorangpun boleh memaksakan masuk agama (saya lebih senang menyebut gereja) katolik bila hal itu bertentangan dengan suara hatinya. Hal ini bisa menjadi kebingungan dan bisa menyebabkan salah dalam memahaminya. Dan hal ini sungguh terjadi pada satu keluarga di paroki kami yang pernah kami temui bahwa sang bapak belum mau membaptis anaknya (smp dan sma) sampai nanti mereka bisa menentukan sendiri pilihan imannya.
Wah, gawat kan kalau sudah begini…
Mohon penjelasan lebih lanjut dari pengasuh. Terimaksih. Tuhan memberkati.
Shalom Yohanes,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang pembaptisan bayi. Kanon 868 mengatakan:
§ 1. Agar bayi dibaptis secara licit, haruslah:
1 orangtuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang secara legitim menggantikan orangtuanya, menyetujuinya;
2 ada harapan cukup beralasan bahwa anak itu akan dididik dalam agama katolik; bila harapan itu tidak ada, baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan memperingatkan orangtuanya mengenai alasan itu.
§ 2. Anak dari orangtua katolik, bahkan juga dari orangtua tidak katolik, dalam bahaya maut dibaptis secara licit, juga meskipun orangtuanya tidak menyetujuinya.
Kanon ini adalah sebagai suatu refleksi akan pentingnya Sakramen Baptis untuk keselamatan. Diskusi ini secara panjang lebar dibahas di sini, baik di artikelnya, maupun pesan dan komentar (silakan klik). Kalau sampai seseorang mengerti pentingnya baptisan untuk keselamatan, maka dia tidak akan menolak anaknya untuk dibaptis, karena kita tidak ingin menghalangi bayi dan anak kecil untuk datang kepada Yesus. (lih. Mk 10:14). Gereja Katolik menanggapi pesan ini secara serius, sehingga dalam kondisi bahaya maut, maka bayi dapat dibaptis secara sah (licit), walaupun orang tuanya tidak setuju.
Orang yang tidak membaptis bayinya dengan alasan menghormati keputusan anaknya (bayi maupun anak kecil), adalah sama seperti seorang tua yang tidak mau memberikan obat sakit flu/kepala/perut, dll, kepada anaknya, karena ingin menghormati keputusan anaknya. Dalam natural order (hukum kodrat), orang tua tidak perlu bertanya kepada anaknya yang sakit, apakah dia setuju atau tidak meminum obat. Demikian juga dalam supernatural order – dimana baptisan adalah merupakan cara yang diberikan oleh Allah untuk keselamatan manusia – maka orang tua tidak perlu menanyakan kepada bayinya untuk mau dibaptis atau tidak.
Kanon 748 § 2, mengatakan “Tak seorang pun boleh memaksa orang (catatan: bukan anak atau bayi) untuk memeluk iman katolik melawan hati nuraninya.” Kanon ini dimaksud bukan untuk menentang baptisan bayi, namun untuk menyatakan bahwa kita tidak boleh memaksakan seseorang yang telah dapat menggunakan akal budinya (tahu baik dan buruk) untuk memeluk iman Katolik. Kanon ini mengacu kepada dokumen konsili Vatikan II, “Dignitatis Humanae“, paragraf 2-4 – pertanyataan tentang kebebasan beragama. Silakan membacanya di sini (silakan klik). Di paragraf 2 dikatakan “Konsili vatikan ini menyatakan, bahwa pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang-orang perorangan maupun kelompok-kelompok sosial atau kuasa manusiawi mana pun juga, sedemikian rupa, sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya, atau dihalang-halangi untuk dalam batas-batas yang wajar bertindak menurut suara hatinya, baik sebagai perorangan maupun dimuka umum, baik sendiri maupun bersama dengan orang-orang lain.“
Semoga keterangan di atas dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom team katolisitas..
Terima kasih dengan penjelasan di dalam rubik tsb, kita semua tahu bahwa di dalam kehidupan kita masih banyak keadaan yang mengnyangkut permaslahan Pembabtisan bayi atau anak2 seperti keadaan2 yang akan saya utarakan di bawah (semuanya adl fakta), semuanya terjadi disebabkan oleh sebuah pernikahan orang tua beda agama (antara Katolik dan Protestan) telah muncul kejadian seperti dibawah ini, permasalahannya adl bahwa anak2 tsb semuanya di didik di sekolah katolik, dan setelah remaja mereka ada yang memilih di baptis ulang di gereja protestan, lalu sebagai salah seorang pihak orang tua yang beragama Katolik seharusnya bagaimana menyikapi keadaan tsb..sebagai contohnya:
1. Anak yang di Baptis Katolik sejak bayi, setelah remaja memilih di Baptis di Gereja Protestan dgn alasan bahwa Baptis sejak bayi itu Tidak Sah sebab sang anak masih belom mengerti / bisa menentukan pilihannya.
Pertanyaan saya: apakah anak ini kan mengalami krisis iman ke Kristenannya ?
2. Anak yang di Baptis Katolik pada usia 15 tahun, namun 3 tahun kemudian menyeberang ke Gereja Protestan.
Pertanyaan saya: apakah anak ini akan mengalami krisis iman ke Kristenannya ?
3. Anak yang belum pernah di Baptis, sejak kecil sekolah di sekolah Katolik, kedua orang tuanya telah cerai, sedangkan anak tsb mempunyai keinginan (saya sebut keinginan sebab tidak berani memilih) memilih Gereja Katolik sebagai pegangan hidupnya…
Pertanyaan saya: apakah anak ini nantinya juga akan mengalami krisis iman ke Kristenannya ?
Terima kasih.
Felix SB.
Felix Yth
Pertanyaan nomor satu: benar bahwa dia mengalami krisis iman dan lebih penting lagi tanggungjawab pendidikan iman orang tua dan wali baptis menjadi penting mengapa sampai terjadi krisis iman?
Maka usaha untuk mendidik iman katolik sebagai tanggungjawab pembaptisan anak menjadi penting.
Pertanyaan kedua: ya benar krisis iman karena pendidikan iman katolik tidak mendalam pada anak itu
Pertanyaan ketiga: anak yang akan dibaptis dan dari kemauan sendiri asal diberi pembinaan iman katolik yang serius dengan lingkungan yang mendukung saya kira tidak akan menimbulkan krisis iman.
semoga anda mau terlibat dalam pendidikan iman anak secara katolik.
salam dan berkat Tuhan
Rm Wanta
Comments are closed.