Tema rekoleksinya cukup menarik. Apalagi imam yang membawakan muda. “Kelihatannya aku akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa, nih,” pikirku. Setelah nyanyian ice breaking ringan, sesi materi dimulai. Setelah 10 menit pertama, aku mulai menyimpulkan bahwa imam muda ini kelihatannya kurang pintar berbicara. Cara penyajian gagasannya terllihat kurang rapi. Semestinya semua file yang akan digunakan di-copy dulu ke desktop laptop, jangan dibuka langsung dari flashdisk. Jadinya lemot dan lama membukanya. Selain itu, banyak video materi yang tidak bisa dimainkan. Mungkin laptopnya sudah kebanyakan file atau virus.
Aku mulai merasa tidak nyaman. Kelihatannya aku tidak jadi mendapat apa-apa kalau begini terus. Pemikiran ini tersentak ketika mouse wireless operator laptop mati. Baterainya habis. Aku teringat bahwa ketika berangkat, entah kenapa aku merasa perlu membawa mouse wireless milikku. “Ah, nggak mungkin dipake,” gumamku pagi tadi. Seandainya aku bawa, kan mereka bisa pakai punyaku. Aku kembali teringat, bahwa ternyata di dalam tasku, aku membawa laptop pribadi saya. Saya menjadi menyesal karena lupa menawarkan laptop saya dari tadi. Padahal, saya duduk dekat dengan operator LCD. Peserta rekoleksi dari bangku belakang saja sampai maju ke depan untuk menawarkan laptopnya. Malah sedari tadi aku mengkritisi kekurangan ini dan itu. Aku merasa diriku egois sekali. Apakah ini yang menyebabkan rasa tidak nyaman ini? Apakah ini yang menyebabkan aku tidak bisa menangkap materi yang disampaikan?
Semakin direnungkan, aku menyadari bahwa ternyata aku berangkat menuju rekoleksi ini dengan disposisi hati yang tidak tepat. Aku ingin dilayani dalam rekoleksi ini, ibaratnya aku memasuki layanan spa rohani untuk dipijat, dibuat santai, dan dibuat nyaman. Ketika hal-hal yang terjadi tidak sesuai tuntutanku, aku langsung mengkritisi semua hal. Fokus dan tenaga yang seharusnya aku pusatkan pada Yesus akhirnya malah habis untuk mengomentari segala sesuatu. Sangat aneh, setelah menyadari bahwa aku telah bersikap egois, materi rekoleksi seakan tampak begitu masuk akal dan saling terhubung. Aku mulai bisa menangkap apa yang imam itu coba untuk sampaikan. Ego diri telah membentuk tembok penghalang bagiku untuk bisa mengerti isi rekoleksi.
Di tengah break rekoleksi, aku kembali berpikir apakah mungkin ini juga yang menyebabkan aku tidak dapat fokus di beberapa kesempatan Misa. Aku sibuk mengomentari paduan suara ibu-ibu yang fals, homili imam yang perlu repackaging supaya menarik, nonik-nonik dengan baju yang lebih cocok untuk ke pantai, bapak-bapak yang sibuk dengan blackberrynya, dll. Tapi aku tidak sadar bahwa aku juga asyik sendiri di dalam Misa : asyik mengomentari orang lain. Mungkin aku datang ke Misa dengan mental orang-orang yang pergi ke Pusat Spa dan Refleksi, datang untuk dilayani. Ketika pelayanan tidak sesuai, komentar dan kritik mulai menjadi fokus perhatian.
Liturgi (Leitourgia/Yun : pelayanan publik) seharusnya menjadi tempat aku mempersembahkan pelayanan pada Allah bersama sesama anggota Gereja. Allah memang mencurahkan rahmat berlimpah dalam Misa untuk aku terima, namun aku tidak boleh lupa bahwa tujuan pertama dan utamaku adalah terlebih dahulu mempersembahkan diri pada Allah. Ketika mentalitas yang aku pegang adalah mentalitas spa rohani, tembok ego akan menutup mataku dari apa yang terjadi dalam Misa sehingga aku tidak akan mendapat apa-apa. Tuhan, maafkan aku yang selalu menuntut sehingga aku lupa memberikan diri.. Kanak-kanak Yesus, ini gulaliku. Walau tidak banyak, semoga dapat membuatMu tersenyum manis..
“Engkau berkata,’Misanya lama’, maka aku menjawab,’karena cintamu terlalu singkat’” – St. Josemaria Escriva
“Tuhan, maafkan aku yang selalu menuntut sehingga aku lupa memberikan diri..”
Terima kasih, tulisan ini menyadarkan saya, Terpujilah Allah karena Dia selalu memberikan rahmat pertobatan secara istimewa dan tidak pernah dapat diduga, Allahku luar biasa.
Semoga Tuhan Yesus selalu memberkati Ioannes.
benar sekali kesaksian anda, saya teringat ada pepatah berbunyi “jangan mencubit kalau tidak mau di cubit”.
Begitu juga rasanya seringkali kita ingin doa-doa kita supaya di dukung oleh semua penghuni sorga, tetapi kita tidak melakukannya terlebih dahulu.
Tuhan Yesus berinisiatif lebih dulu memaafkan kita, sehingga tidak terjadi perbantahan yang berlarut-larut. “Sudah selesai” bisa saja diartikan “kalahkan kejahatan dengan kebaikan”.
salam damai,
Pardohar
Tulisan yg bagus dan mengena sekali, krn sy sering spa rohani, jd diingatkan dan semoga ini menjadi peringatan utk diri sendiri dan mau lebih lagi dlm melayani dan berhenti mengkritik sana sini. Amin
Ego adalah penyakit awal dari manusia, kita harus terus menerus mohon pertolongan Roh Kudus agar rasa ego kita boleh disalibkan oleh Yesus dan kita menjadi lemah lembut murah hati dan selalu setia ,amin
Tulisan diatas sangat bagus sekali, egoisme pribadi masih sangat kental saat kita ke gereja. Terimakasih untuk tulisannya. Berkah Dalem
Tulisan yang sangat bagus.
namun adalah fakta bahwa kita manusia yang adalah makluk inderawi.
Maksud saya gini. Saya punya pengalaman ikut misa dengan pikiran yang sangat terganggu karena kotbah pastor yang kalimat kalimatnya sangat kacau (kalimat tidak selesai, tidak sistematis, tidak koheren/padu, tidak nyambung dengan bacaan, dll). dalam kondisi seperti itu saya mempunyai 2 pilihan. Pertama, mendengarkan tapi perasaan jadi jengkel karena ini romo kok begitu (kasihan umat yang tidak sekolah, apa bisa ngerti–maklum di papua banyak umat tidak sekolah). Pilihan kedua adalah pergi keluar gereja agar tidak pikiran tidak “negatif” karena tidak akan dengar kotbah yang sangat tidak bagus. kedua pilihan ini sama sama tidak baik menurut saya. Tidak mungkin juga saya tetap di situ dengan mengosongkan pikiran, karena telinga saya tetap mendengar kotbah yang tidak “jelas” itu. bagaimana saya harus bersikap?
Shalom Yusup,
Seingat saya, saya sudah pernah menerima pertanyaan Anda yang serupa ini dan sudah pernah saya tanggapi.
Memang idealnya adalah Romo itu dapat berkhotbah dengan baik sehingga dapat ditangkap maksudnya oleh umat. Tetapi jika karena satu dan lain hal, tidak demikian, mari janganlah langsung bersikap negatif dan jengkel, karena itu merugikan diri Anda sendiri. Silakan Anda mendoakan Romo tersebut, dan jika memungkinkan silakan memberikan kepadanya beberapa buku renungan, siapa tahu bisa menjadi bahan masukan untuk homili. Pergi keluar gereja juga menurut saya bukan solusi yang baik, karena itu menjadikan Anda tidak mengikuti perayaan Ekaristi dengan lengkap. Nampaknya Anda perlu memohon rahmat Tuhan agar dapat bersikap lebih positif menyikapi keadaan yang tidak ideal ini. Sebab jika mampu menyikapi hal ini dengan baik, ini bahkan dapat menguduskan Anda, karena Anda menyatukan kurban perasaan Anda dengan kurban Kristus dalam Ekaristi, dan Anda akan memperoleh buah-buahnya bagi pertumbuhan rohani Anda. Dengan Anda tetap berusaha mendengarkan dan berusaha menangkap hal yang baik yang dikatakan oleh Romo tersebut, yang mungkin merupakan’mati raga’ bagi Anda, namun jika Anda lakukan dengan kasih, maka saya percaya, akan ada manfaatnya bagi Anda. Kemungkinan saat itulah Tuhan Yesus membentuk Anda untuk semakin menghayati makna perayaan Ekaristi, yaitu kehadiran Kristus sendiri, sehingga Anda tidak terpengaruh lagi oleh faktor manusia yang terlibat di dalamnya.
Maka kalau boleh saya mengusulkan, Anda tak perlu menutup telinga, keluar dari gedung gereja, ataupun mengosongkan pikiran. Silakan saja berusaha mendengarkan, dan bayangkanlah Anda sedang mendengarkan paduan suara surgawi. Sesungguhnya pengalaman serupa dialami oleh St. Theresia kanak-kanak Yesus, yang terganggu pada saat berdoa bersama rekan-rekan suster lainnya di biara, karena salah satu dari mereka bersuara yang tidak enak didengar. Pada awalnya St. Theresia merasa sangat terganggu, namun setelah ia berdoa, lalu timbullah semacam inspirasi dalam pikirannya, untuk menganggap suara yang tidak enak itu sebagai suara surgawi. Dan ajaibnya, sejak saat itu, ia tak pernah lagi merasa terganggu dengan suara-suara itu, dan bahkan menjadi semakin khusuk dalam doanya kepada Tuhan. Maka silakan Anda mencontoh teladan St. Theresia kanak-kanak Yesus ini, semoga Andapun memperoleh pengalaman yang serupa dengannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Bu Ingrid,
Banyak terima kasih atas kesabaran Ibu. Ya saya pernah mendapatkan jawaban dari Ibu. Namun memang saya masih dalam perjuangan. Saran Ibu sungguh luar biasa bagus buat saya, terutama kisah St. Theresia yang hendaknya saya teladani. Saya akan selalu ingat saran Ibu setiap kali misa dan berhadapan dengan situasi yang sama, walau mungkin dengan Pastor yang berbeda. Saat ini Pastor yang saya maksud sudah dipindahkan ke pedalaman. Namun saran Ibu tetap akan saya laksanakan. Salam dan hormat dari saya.
Comments are closed.