Pendahuluan
Banyak orang tercengang saat bencana menimpa kehidupan mereka, baik dalam masalah pekerjaan, maupun saat didera oleh penyakit, terutama penyakit kanker yang sulit diobati dan dapat merenggut nyawa. Kita mungkin sering mendengar tentang kejadian-kejadian yang memilukan seperti ini. Namun, tetap saja, kita sulit menerima pada saat kejadian tersebut menimpa diri kita maupun orang-orang yang dekat dengan kita. Inilah belum lama terjadi pada istri dari saudara sepupu istri saya, yang bernama Linda. Pada tahun 2007 yang lalu ia didiagnosa mengidap kanker payudara, dan kemudian dioperasi dan menjalani pengobatan chemotherapy. Namun pengobatan ini belum menyelesaikan masalah secara tuntas, karena suatu hari keluarga tersebut menemukan bahwa kanker tersebut kembali lagi. Yang membuat masalah lebih pelik adalah karena hal ini terjadi ketika Linda saat itu sedang mengandung anaknya yang ketiga. Apakah yang harus dilakukan oleh keluarga ini? Apakah Linda harus menjalani chemotherapy, yang dapat menyebabkan kesembuhan sang ibu, namun berakibat fatal bagi sang bayi, ataukah membiarkan sang bayi tetap hidup dengan resiko kehilangan sang ibu? Apakah yang harus dilakukan oleh keluarga muda ini?
Tulisan ini mencoba mengupas pengajaran moral dari Gereja Katolik, sehingga seseorang dapat menentukan sikap dalam kondisi yang sulit. Untuk menjawab kasus ini dan juga kasus-kasus pelik yang lain, kita harus mengerti tentang konsep bagaimana perbuatan dikatakan baik secara moral dan juga teori akibat ganda (the theory of double effect).
Tiga hal yang membuat perbuatan dikatakan baik
Untuk mengatakan bahwa suatu tindakan termasuk tindakan yang secara moral baik atau tidak, ada tiga hal yang perlu dilihat:
1) Objek moral (moral object), yang merupakan objek fisik yang berupa tujuan yang terdekat (proximate end) dari sesuatu perbuatan tertentu (sifat dasar perbuatan) di dalam terang akal sehat.
2) Keadaan (circumstances) yaitu keadaan di luar perbuatan tersebut, tetapi yang berhubungan erat dengan perbuatan tersebut, seperti kapan dilakukan, di mana, oleh siapa, berapa banyak, bagaimana dilakukannya, dan dengan bantuan apa.
3) Maksud/tujuan (intention) yaitu tujuan yang lebih tinggi yang menjadi akhir dari perbuatan tersebut.
Selanjutnya, St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa “Evil results from any single defect, but good from the complete cause,” ((St. Thomas Aquinas, ST, II-I, q.18, a.4 quoting Dionysius, Div. Nom. IV)) Artinya, jika satu saja dari ketiga hal itu tidak dipenuhi dengan baik/ sesuai dengan akal sehat, maka perbuatan dikatakan sebagai kejahatan; dan karenanya merupakan “dosa”, sedangkan perbuatan yang baik harus memenuhi syarat ketiga hal di atas. Dasar ini dapat kita pakai untuk menilai semua perbuatan, apakah itu dapat dikatakan perbuatan baik/ bermoral atau tidak/ dosa.
Kita dapat melihat contoh Robinhood, yang mencuri untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin. Walaupun keadaaan dan maksudnya baik, namun obyek moral dari perbuatan ini adalah mencuri, suatu perbuatan dosa. Dengan demikian, perbuatan tersebut tidak dapat dibenarkan. Orang yang menyanyi, demi untuk memuliakan Tuhan, namun jika dilakukan di gereja pada saat pastor berkotbah, tidak dapat dibenarkan karena keadaan (waktu)nya yang salah. Menyumbang kepada fakir miskin dengan tujuan agar dipuji orang, secara moral tidaklah baik, karena mempunyai tujuan yang salah.
Namun, untuk menentukan kasus yang kadang begitu rumit seperti contoh di atas, diperlukan pertimbangan yang lain selain dari tiga hal di atas.
Teori akibat ganda atau theory of Double Effect
Dalam kasus yang kompleks, kita harus juga mengerti teori dalam teologi moral, yang dinamakan “theory of Double Effect” atau teori akibat ganda. Untuk menangkap pengajaran ini, maka seseorang harus dapat membedakan antara (a) menyebabkan suatu bahaya sebagai akibat sampingan untuk mencapai tujuan yang baik dan (b) menyebabkan suatu bahaya sebagai suatu cara untuk mendapatkan tujuan yang baik. Point terakhir (point b) tidaklah pernah dibenarkan. Penerapan point (b) dapat mengakibatkan seseorang tidak lagi melihat obyek moral dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Sebagai contoh: seorang pelajar tidak dapat menyontek, walaupun dengan tujuan yang baik, yaitu mendapatkan nilai yang baik dan menyenangkan orang tua. Contoh yang lain, adalah tindakan pembunuhan bayi (aborsi) dengan alasan bahwa keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sang bayi. Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa cara yang diambil adalah suatu hal yang buruk, walaupun mempunyai tujuan yang baik. Dan hal ini tidak dapat ditolerir dan secara moral tidak dapat dibenarkan.
Dalam point pertama (point a), maka seseorang diijinkan untuk menjalankan cara tersebut, walaupun menimbulkan bahaya. Perbedaaannya dengan point (b) adalah bahaya tersebut adalah bukanlah cara yang dipilih, namun merupakan akibat samping, yang tidak disengaja atau yang tidak diinginkan, yang dilakukan setelah mempertimbangkannya secara proposional.
Dari prinsip di atas, maka seseorang tidak akan pernah diijinkan untuk mempunyai kehendak jahat secara langsung, baik sebagai suatu tujuan maupun sebagai cara. Seseorang yang mencuri untuk mencukupi kebutuhan keluarganya adalah contoh cara yang jahat, karena obyek moral “mencuri” adalah sesuatu yang jahat. Seseorang mafia yang memberikan sumbangan sosial yang begitu besar dengan tujuan untuk menutupi perbuatannya yang jahat adalah contoh dari tujuan yang jahat.
Dalam moral teologi ada empat kondisi yang dapat diterapkan dalam “teori akibat ganda“:
1) Perbuatan itu sendiri merupakan perbuatan moral yang baik atau minimal netral.
2) Pelaku dari perbuatan tersebut tidak menginginkan atau secara sengaja menyebabkan efek negatif yang timbul. Jika sesuatu yang baik dapat dicapai tanpa menimbulkan efek negatif, maka cara tersebut yang harus diambil.
3) Efek yang baik harus terjadi dari perbuatan yang diambil dan bukan dari efek negatif yang terjadi.
4) Harus ada alasan yang begitu kuat secara proposional untuk mengijinkan efek negatif terjadi. Di sini diperlukan kebijaksanaan untuk memutuskan suatu tindakan, sehingga efek yang baik adalah lebih besar dari efek negatif.
Untuk menerangkan prinsip-prinsip tersebut, akan lebih baik dengan menggunakan contoh-contoh, sehingga kita akan lebih mudah mengerti.
Beberapa penerapan dari dari teori akibat ganda
1. Membunuh orang karena membela diri
St. Thomas Aquinas dalam Summa Theology menjelaskan tentang hal ini dalam ST, II-II, q. 64, a. 4. Dalam kasus yang menyebabkan seseorang membunuh karena membela diri, St. Thomas memberikan argumentasi dari intensi atau tujuan dari tindakan tersebut. Tindakan pembunuhan tersebut bukanlah dengan tujuan untuk membunuh orang yang hendak membunuh, namun untuk melindungi diri. Oleh karena itu, dalam hal ini intensi atau tujuan dari perbuatan ini sangatlah memegang peranan penting. Dan obyek moral dari perbuatan ini bukanlah pembunuhan, namun pembelaan diri. Orang yang membela diri (X), tidak mempunyai intensi untuk membunuh atau melukai orang yang ingin membunuhnya (Y). Kalau Y tidak mencoba membunuh X, maka X tidak mempunyai maksud apapun untuk membunuh Y.
Katekismus Gereja Katolik (KGK, 2263) mengutip St. Thomas mengatakan “Pembelaan yang sah dari pribadi dan masyarakat tidak merupakan pengecualian dari larangan membunuh seorang yang tidak bersalah, yakni melakukan pembunuhan dengan tabu dan mau. “Dari tindakan orang yang membela diri sendiri, dapat menyusul akibat ganda: yang satu ialah penyelamatan kehidupannya sendiri, yan lain ialah pembunuhan penyerang” (Tomas Aqua, s.th. 2-2,64,7). Hanya akibat yang satu dikehendaki, yang lain tidak.“
2. Membela diri secara militer
Prinsip akibat ganda inilah yang mendasari perang yang adil atau just war. Hal ini diterangkan lebih lanjut dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK, 2309), yang mengatakan:
Syarat-syarat yang memperbolehkan suatu bangsa membela diri secara militer, harus diperhatikan dengan baik. Keputusan semacam itu berakibat besar, sehingga hal itu hanya diperbolehkan secara moral dengan syarat-syarat berikut yang ketat, yang harus serentak terpenuhi:
a) Kerugian yang diakibatkan oleh penyerang atas bangsa atau kelompok bangsa, harus diketahui dengan pasti, berlangsung lama, dan bersifat berat.
b) Semua cara yang lain untuk mengakhirinya harus terbukti sebagai tidak mungkin atau tidak efektif.
c) Harus ada harapan yang sungguh akan keberhasilan
d) Penggunaan senjata-senjata tidak boleh mendatangkan kerugian dan kekacauan yang lebih buruk daripada kejahatan yang harus dielakkan. Dalam menentukan apakah syarat-syarat ini terpenuhi, daya rusak yang luar biasa dari persenjataan modern harus dipertimbangkan secara serius.Inilah unsur-unsur biasa, yang ditemukan dalam ajaran yang dinamakan ajaran tentang “perang yang adil”.Penilaian, apakah semua prasyarat yang perlu ini agar diperbolehkan secara moral suatu perang pembelaan sungguh terpenuhi, terletak pada pertimbangan bijaksana dari mereka, yang kepadanya dipercayakan pemeliharaan kesejahteraan umum.
3. Menyelamatkan nyawa ibu namun mengakibatkan kematian bayi dalam kandungan
Mari sekarang kita melihat contoh tentang pergulatan sebuah keluarga yang terombang-ambing untuk mengambil keputusan, apakah dibenarkan untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu, namun dengan resiko secara tidak langsung membunuh bayinya.
Seorang ibu yang mempunyai posisi janin yang tidak normal, yaitu berada di tuba falopi (fallopian tube), atau dikenal dengan kandungan di luar janin (ectopic pregnancy), mempunyai resiko untuk kehilangan nyawanya, karena pada saat janin tersebut terus tumbuh, dapat menyebabkan kerusakan organ di tuba falopi. Secara prinsip, tidak boleh ada intensi untuk membunuh janin yang berada di dalam posisi yang tidak normal. Kalau operasi harus dilakukan, karena tidak ada cara lain untuk menyelamatkan keduanya – ibu dan bayi – , maka perbuatan ini dapat dibenarkan dengan intensi untuk memperbaiki bagian yang rusak. Kalau kita menerapkan prinsip double effect:
1) Perbuatan: tindakan operasi yang dilakukan bukanlah untuk membunuh bayi, namun untuk memperbaiki bagian yang rusak.
2) Tidak menginginkan atau secara sengaja menyebabkan akibat negatif: Tindakan operasi tersebut tidak boleh dilakukan karena ingin membunuh bayi, namun untuk memperbaiki bagian yang rusak. Walaupun tindakan ini dapat membunuh bayi tersebut, namun pembunuhan tersebut bukanlah merupakan tujuan utama namun merupakan akibat negatif yang terjadi dalam proses penyembuhan. Tindakan ini juga diambil karena tidak ada alternatif yang lain, yang dapat menyelamatkan keduanya.
Kalau kita meneliti lebih jauh, ada beberapa metode untuk menangani kasus ectopic pregnancy, yaitu dengan menggunakan 1) obat Methotrexate (MTX), yang secara langsung membunuh bayi dan menyebabkan keguguran, 2) salpingostomy, atau operasi untuk secara langsung menghilangkan bayi yang melekat di tuba falopi, sehingga menyebabkan bayi tersebut meninggal, 3) partial salpingectomy, operasi untuk mengobati bagian dari tuba falopi yang rusak, 4) full salpingectomy, yang terjadi kalau janin menyebabkan kerusakan fatal pada tuba falopi. Metode 1) dan 2) tidak mungkin dilakukan, karena mempunyai intensi secara langsung membunuh bayi yang ada di dalam tuba falopi. Dalam hal ini, keselamatan ibu terjadi dengan cara membunuh bayi secara langsung, baik dengan obat maupun dengan operasi. Sebaliknya, cara 3) dan 4) masih mungkin dilakukan, karena bayi tidak secara langsung dibunuh, namun kematian bayi tersebut adalah merupakan akibat negatif dari pengangkatan bagian tube falopi. Dengan demikian, ibu tersebut selamat, bukan karena bayi dibunuh, namun, bagian dari tube falopi yang rusak yang dicoba untuk diperbaiki.
3) Efek yang baik harus terjadi dari perbuatan yang diambil dan bukan dari efek negatif yang terjadi: Proses keselamatan dari sang ibu bukanlah dari perbuatan membunuh bayi tersebut, namun dari usaha untuk memperbaiki bagian tubuh yang rusak, seperti terlihat pada metode partial salpingectomy dan full salpingetomy.
4) Secara proposional: Alasan yang kuat dari proses tersebut adalah tidak ada cara lain selain operasi untuk menyelamatkan nyawa dari ibu maupun bayi. Dan dari penelitian, tidak ada bayi yang selamat kalau bayi lahir di luar rahim. Kalau suatu saat teknologi kedokteran memungkinkan untuk dapat menyelamatkan bayi dan ibu, maka cara inilah yang harus diambil, sejauh memungkinkan.
Prinsip ini juga berlaku ketika seorang ibu mempunyai kanker rahim pada saat mempunyai bayi di rahimnya, sehingga diperlukan operasi untuk mengangkat rahim ibu tersebut. Walaupun pengangkatan kanker rahim ini dapat membunuh bayi yang ada di rahim, namun tindakan ini dapat dibenarkan secara moral, karena tindakan tersebut dilakukan bukanlah untuk membunuh bayi yang ada di rahim, dan bayi tersebut meninggal sebagai efek negatif dari tindakan operasi. Kita juga dapat melihat, bahwa ibu tersebut dapat diselamatkan bukan dengan membunuh bayi namun dengan pengangkatan rahim yang mempunyai kanker.
Kesimpulan
Dari beberapa prinsip di atas, sebenarnya Linda (lihat kejadian di pendahuluan) dapat menjalankan pengobatan yang diperlukan, termasuk dengan menjalankan chemotherapy, walaupun mempunyai resiko yang besar bagi bayi yang dikandungnya. Hal ini disebabkan chemotherapy yang dilakukan bukanlah dengan tujuan untuk membunuh bayi yang ada di rahimnya secara langsung, namun untuk membunuh sel-sel kanker yang mengganas di payudaranya. Kalaupun bayi yang dikandungnya meninggal karena chemotherapy yang dilakukan, maka itu bukanlah tujuan dari chemotherapy yang dilakukan, namun merupakan akibat negatif dari tindakan medis. Dan sesuai dengan prinsip akibat ganda, tindakan ini dapat dibenarkan.
Namun kenyataannya, keputusan yang dibuat oleh Linda dan suaminya ini membuat saya terpana dan bersyukur atas rahmat Tuhan yang diberikan kepada mereka dalam mengambil keputusan yang sulit ini. Keputusan mereka, mengingatkan saya akan Santa Gianna, yang memilih untuk mengorbankan dirinya demi keselamatan bayi yang dikandungnya. Beberapa hari, sebelum bayi Santa Gianna lahir, dia mengatakan kepada suaminya “If you must decide between me and the child, do not hesitate: choose the child – I insist on it. Save him. (Kalau engkau harus memutuskan antara aku dan bayi itu, janganlah ragu-ragu: pilih bayi itu – saya berkeras akan hal ini. Selamatkan dia [bayi itu])”
Inilah yang diputuskan oleh Linda dan suaminya. Mereka memutuskan untuk melakukan terapi dengan tumbuh-tumbuhan, yang tidak membahayakan kehidupan bayi yang ada di dalam kandungan. Secara sadar mereka mengambil keputusan ini, walaupun dengan resiko kanker tersebut tidak dapat diobati secara maksimal. Namun, mereka telah memutuskan untuk melindungi bayi tersebut dengan resiko apapun, termasuk kesehatan sang ibu. Dan akhirnya bayi tersebut lahir dengan selamat, dengan sehat dan tidak kekurangan apapun, serta mempunyai paras yang cantik seperti ibunya, dan diberi nama Angelina.
Setelah kelahiran Angelina, Linda harus terus berjuang melawan kanker yang semakin ganas karena masa kehamilan yang menyebabkan hormon-hormon bekerja secara lebih aktif, namun terapi yang dijalaninya kurang memadai. Setelah kelahiran Angelina, Linda mendapatkan chemotherapy dan radiotheraphy. Namun, rupanya perjuangannya melawan kanker dan semua terapi yang dilakukan tidak membawa hasil, sampai pada akhirnya Tuhan memanggilnya pulang ke rumah Bapa pada bulan Juli 2009.
Pasangan muda ini sebenarnya dapat melakukan chemotheraphy lebih awal, pada waktu Angelina masih berupa janin dalam kandungan Linda dan hal ini dapat dibenarkan secara moral. Namun, Linda memilih untuk mengorbankan dirinya demi kasihnya kepada bayinya, sehingga Angelina, sang bayinya itu, dapat lahir ke dunia dengan selamat. Kematian Linda memberikan kehidupan baru, dan tindakannya memberikan kesaksian akan kebajikan yang luhur (heroic virtue), sebab sebagai ibu, Linda mengasihi anak yang dikandungnya, sampai rela mengobankan dirinya sendiri. Saya mengundang para pembaca untuk berdoa bagi jiwa Linda, agar dia dapat diterima di dalam Kerajaan Allah, dan juga berdoa bagi Angelina serta keluarganya agar dapat bertumbuh di dalam kekudusan.
Santa Gianna Beretta Molla, pray for Linda and her family…
e Manual of The Holy Catholic Church 2 Volumes 192
|
saya ingin bertanya mengenai kemajuan teknologi yang begitu pesat….
1. Bagaimana pandangan Gereja Katolik mengenai stem cell ( sel punca)?
2. Jika tidak di izinkan apa alasannya? bukankah stem cell di ambil dari tali pusar bayi, lagi pula digunakan untuk menyembuhkan penyakit?
thanks….
[Dari Katolisitas: Silakan membaca tanggapan kami terhadap pertanyaan serupa, di sini, silakan klik].
Syalom,
Saya banyak melihat film2 dan kebanyakannya itu berangkat dari kisah nyata dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua terpaksa mencuri demi anak-anaknya dan banyak lagi. Muncul di benak saya tentang persoalan ini, seorang anak bekerja disebuah perusahaan dan tugasnya adalah membayar gaji karyawan-karyawan yang lainnya. Suatu hari, ibunya mendapat kecelakaan dan butuh biaya yang besar agar ibunya bisa dioperasi. Tak tanggung-tanggung si anak akhirnya “terpaksa” mencuri uang gajian karyawan lain untuk membiayai operasi tersebut. Berangkat dari kasus sperti ini, bagaimana pandangan Gereja dan bagaimana mau menilainya secara Moral. Trims untuk jawabannya dan Tuhan memberkati.
Aldrin
[Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas, silakan klik. Jelas bahwa kalau perbuatan yang dilakukan dengan obyek moral yang salah, maka perbuatan tersebut tidak dapat dibenarkan secara moral. Ini menyerupai kasus Robin Hood yang mencuri demi membagi-bagikan hasilnya kepada fakir miskin. Perbuatan yang baik secara moral, harus memenuhi persyaratan di mana obyek moralnya harus baik, keadaan dan tujuannya juga baik.]
Shalom tim katolisitas, saya ingin bertanya mengenai contoh tujuan yg jahat seperti yg dicontohkan di atas, mengenai mafia yang memberi sumbangan besar dengan tujuan menutupi perbuatannya yang jahat,seandainya mafia tersebut menyumbang dengan tujuan memberi silih atas dosa-dosanya, apakah itu sama dengan jika kita melakukan puasa atau matiraga atau beramal untuk silih atau penitensi atas dosa-dosa kita?apakah tujuan ini jahat?
Shalom Rudolf,
Dalam contoh yang Anda berikan, di mana tujuan memberikan sumbangan adalah untuk menutupi kesalahan disertai pemikiran bahwa mafia tersebut dapat terus melakukan tindakan illegalnya, maka tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara moral. Kalau dia memberikan sumbangan besar dengan niatan melakukan silih atas dosa-dosanya, maka ini adalah tindakan yang benar. Namun, tindakan silih dan pertobatan harus disertai dengan keinginan kuat untuk tidak melakukan dosa lagi. Kalau tindakan silih tersebut tidak disertai dengan pertobatan, maka sebenarnya itu hanyalah tindakan yang hanya ingin menutupi kesalahan dengan bungkus perbuatan silih. Dan ini adalah perbuatan yang juga tidak dapat dibenarkan secara moral. Semoga dapat memberikan kejelasan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Ke mana Preferensi Suara Hati : Melunasi Hutang atau Memberi Angpao ?
1.Si Polan berhutang dalam jumlah cukup besar. Ia hidup sangat prihatin menyisihkan pendapatannya agar bisa melunasi hutangnya tiap bulan. Sementara itu ia mendapatkan 4 undangan nikah anak dari beberapa teman dekatnya, yang pada umumnya “mengharapkan” (kalau tidak munafik) juga angpao, sebagaimana kebiasaan umum masyarakat.
2.Ia bingung.Apakah jumlah uang yang telah disisihkan untuk bayar hutang harus disunat untuk memberi angpao kepada empat pengantin?
Kalau menyunat, maka jumlah dana angsuran hutang berkurang, tetapi kalau tidak mengambil dana tersebut , ia tidak dapat memberi satu sen pun angpao kepada empat pengantin.Ia jadi malu.
3. Pilihan pertama : Ia tidak menghadiri undangan perkawinan karena tidak punya dana cadangan / khusus lagi untuk memberi angpao pernikahan.
4. Pilihan kedua : Ia menyunat sebagian dana cicilan hutang untuk angpao pernikahan , tetapi dengan risiko ia harus menanggung beban tidak komit membayar cicilan hutang sesuai kesepakatan.
5. Pilihan ketiga : ia mengahadiri undangan, tetapi tidak membawa angpao. Risikonya, ia menanggung malu karena datang tanpa membawa angpao sama sekali.
6. Ia akhirnya memilih alternatif ketiga, dengan anggapan ia tidak mau menyusahkan dirinya dengan tidak membayar cicilan hutang sesuai komitmen, tetapi ia juga datang memenuhi undangan dengan tujuan memberi restu. Mungkin pengundang kecewa karena ia tidak memberi angpao kepada pengantin.
7. Sementara itu ia juga merenungkan sejenak perumpamaan janda miskin yang memberikan dari kekurangannya. Apakah ia tidak menerapkan inti pesan dari perumpamaan janda miskin tersebut?
Shalom Herman Jay,
Terima kasih atas pertanyaannya. Dalam kondisi yang Anda paparkan, maka kita harus memberikan prioritas. Menurut saya, prioritas utama adalah untuk membayar hutang atau cicilan, karena membayar cicilan adalah komitmen yang tidak dapat ditunda. Apalagi kalau gagal membayar hutang dapat berakibat pada kesengsaraan keluarga. Itulah sebabnya, kita harus berhati-hati ketika berhutang, sehingga sama sekali tidak ada sisa untuk melakukan hal-hal lain. Kalau teman si Polan adalah teman yang baik, dia akan lebih menghargai kedatangan Polan walaupun tanpa memberikan angpao. Jadi, dalam situasi tersebut lebih baik datang tanpa memberi angpao demi persahabatan dan tetap membayar hutang.
Apakah dengan hal ini maka dia tidak menerapkan seperti pemberian janda miskin? Kita tidak tahu secara persis kondisi si Polan dan keluarga yang menikah. Kalau keluarga yang menikah hidup lebih berkecukupan daripada si Polan, maka tidaklah masuk akal untuk memberikan angpao dengan resiko untuk gagal membayar hutang.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
apabila ada seseorang tersesat di pedalaman dimana tidak ada makanan kemudian ia menemukan mayat seseorang, bolehkan orang tersebut memakan mayat orang tersebut? bagaimana kasusnya kalau orang tersebut tidak menemukan makanan sama sekali dan terpikir ide untuk memotong bagian tubuhnya seperti tangan dan kaki untuk dimakan, bolehkah?
Shalom Sekar,
Kadang orang memberikan contoh-contoh yang ekstrem, yang sesungguhnya sulit terjadi dalam kehidupan nyata. Dalam contoh yang Anda berikan, maka perlu dipertanyakan apakah benar orang tersebut tidak dapat menemukan makanan di hutan tersebut dan bukankah dengan makan mayat justru dapat terkena penyakit? Dalam kondisi ekstrem seperti ini, maka kita bergantung pada kebijaksanaan (prudence), bergantung pada Roh Kudus untuk memimpin kita, sehingga kita dapat mengambil tindakan yang tepat pada saat yang tepat dan kondisi yang tepat.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear, pengasuh katolisitas
Mohon saran dan jawaban atas kasus yang sedang saya hadapi. Sudah dua tahun saya pisah ranjang dengan istri, tidak berhubungan sex, dan tidak berzinah, tetapi kadang beronani, tetapi sejak 1,5 tahun lalu saya membaca dari katolisitas bahwa onani adalah dosa berat sejak itu saya tidak melakukan onani dan sudah melakukan pengakuan dosa. Tetapi februari tahun 2012 saya menderita orchitis yaitu munculnya cairan dalam buah zakar yang menekan sehingga menimbulkan kesakitan, obat yg diberikan dokter adalah antibiotik dan penghilang rasa, sakitnya reda tapi tiap 3 bulan kambuh lagi, yang paling gampang mengatasinya dengan onani karena saat sakit yang hebat saya onani setelah itu rasa sakit itu hilang. tetapi saya merasa berdosa sesudahnya. Akhirnya saya kembali pakai obat, cuma masalahnya saya tergantung kepada antibiotik dan penghilang rasa. Kadang saya menghadapi dilema apakah saya harus onani tapi berdosa atau minum obat tidak berdosa tetapi saya berapa lama tubuh saya bisa menerima obat? mohon saran dan masukan atas masalah ini, terimakasih, GBU
[dari katolisitas: Menurut kami, silakan Anda berkonsultasi dengan beberapa dokter. Silakan bertanya apakah benar bahwa onani dapat membantu menghilangkan sakit dari penyakit ini. Itu adalah langkah yang pertama kali harus dilakukan.]
Shalom Bapak/Ibu Tay,
Sedikit pertanyaan dari saya tentang artikel terkait.
Anggap saja (seandainya) saya adalah seorang prajurit TNI AD yang beragama katolik. Saya seorang 100% Katolik dan 100% Indonesia, yang artinya saya mencintai Tuhan Yesus dan saya juga mencintai negara saya. Bagi saya, Tuhan Yesus dan NKRI adalah harga mati.
Sebagai seorang prajurit, sudah tugas saya untuk menaati perintah atasan. Saya berperang dan berada di garis depan (maklum, prajurit). Belasan, atau mungkin puluhan tentara musuh sudah tewas di tangan saya. Ironisnya, saya tidak tahu pihak (negara) mana yang benar karena saya hanya menjalankan perintah. Sampai akhirnya, seekor peluru melesat dan menembus kepala saya.
1) Menurut hukum Gereja Katolik (GK), membunuh tentara musuh apa merupakan dosa besar?
2) Apakah GK membenarkan perinsip : ‘membunuh demi nama Tuhan’? (saudara yang beragama lain mengenal perinsip ‘darah musuh adalah halal’ jika musuh tsb menghina/merendahkan agama mereka.
3) Menurut hukum GK, kemana tujuan arwah para tentara yang gugur di medan perang? Untuk menjaga obyektifitas, anggap saja tentara yang gugur ini adalah orang yang beriman & berlaku baik semua.
4) Kalau tidak terlalu merepotkan, adalah dasar hukum dari kitab suci, tradisi suci, dan magisterium gereja yang berkaitan tentang hal ini?
Mohon maaf jika pertanyaannya terlalu bertele2, dan/atau mungkin katolisitas sudah membahas tentang artikel terkait, mohon link nya saja.
Terima kasih sudah menanggapi pertanyaan saya di waktu sibuk anda.
Berkah dalem. ^__^
Shalom Bimomartens,
Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tentang perang yang adil, anda dapat membacanya di sini – silakan klik. Perang adalah jalan terakhir yang ditempuh setelah jalan yang lain telah ditempuh, terjadinya penyerangan, dan tidak boleh mendatangkan kerugian dan kekacauan yang lebih buruk daripada kejahatan yang harus dielakkan. Kalau akhirnya terjadi peperangan, maka tentu saja prajurit yang maju berperang dan diharuskan membunuh tidak dapat dikatakan melakukan dosa membunuh, namun justru sebagai seseorang yang menjalankan kebajikan cinta kepada tanah air. Dengan demikian tentara-tentara yang berjuang demi bangsanya dapat masuk ke Api Penyucian atau Sorga sejauh mereka tidak melakukan dosa-dosa berat – di luar tugas membela negara.
Namun, patriotisme di atas tentu saja berbeda dengan prinsip ‘membunuh demi nama Tuhan’, karena prinsip seperti ini dapat menjebak seseorang kepada fanatisme yang mengarah pada kekerasan dan justru bertentangan dengan prinsip keadilan. Semoga jawaban singkat dan link tersebut dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear Katolisitas,
Terima kasih atas ulasan yg indah ini.
Terkait moral, sejauh saya tahu ada 2 aliran yg berbeda.
Satu aliran beranggapan: “It was maintained – even within the realm of Catholic theology – that there is no such thing as evil in itself or good in itself.”.
Tetapi juga ada aliran yang diikuti oleh Teologi Katolik juga, beranggapan: “that there IS such thing as evil in itself or good in itself.”. Atau istilah lain untuk ini adalah sesuatu yang “intrinsically evil” dan sesuatu yg “intrisically good”. St Thomas Aquinas pun dalam menyatakan adanya 3 kriteria yg harus diikuti agar sesuatu disebut baik, juga menyiratkan bahwa ada “such thing as intrisically good or intrisically evil”.
Contoh yg umum digunakan untuk “intrisically evil” adalah “membunuh sesama manusia”. Walaupun seseorang itu membunuh untuk membela diri ataupun membunuh untuk melindungi suatu hal yg lebih besar, tetap saja “membunuh” adalah tindakan jahat dari dirinya sendiri (evil in itself / intrisically evil). Tetapi alasan/circumstance dan akibat dari pembunuhan itu memang dapat mengubah bobot tangung-jawab dari orang yg melakukan pembunuhan.
Contoh yg umum digunakan untuk “intrisically good” adalah “berdoa”. Walaupun orang berdoa karena motivasi yg kurang baik, tetap saja berdoa adalah perbuatan baik dari dalam dirinya sendiri (intrisically good). Tetapi alasan/cicumstances dan motivasi dari tindakan doa itu memang berpengaruh pada dikabulkan atau tidak doa tsb.
Pertanyaan saya adalah:
1. Apakah patokan/tolok-ukur/acuan konkret yg digunakan oleh Teologi Katolik untuk menyatakan bahwa sesuatu itu “intrisically evil” atau sesuatu itu “intrinsically good” ?
2. Dalam Gereja Katolik, bagaimanakah prosedur umum untuk menilai dan menyatakan secara otoritatif bahwa sesuatu itu “intrisically evil” atau “intrisically good”? Adakah daftar hal-hal yg dinyatakan “intrisically evil” dan daftar hal-hal yg “intrisically good” ?
Demikian pertanyaan kami. Terima kasih atas bantuan Katolisitas selama ini.
Dan saya berharap kepada Tuhan semoga tahun 2013 ini membawa berkat yang berlimpah kepada pelayanan Katolisitas. Amen.
Shalom Fxe,
Bahwa satu perbuatan jahat adalah intrinsically evil telah secara jelas dijelaskan oleh St. Thomas Aquinas dan juga Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik veritatis splendor, terutama pada bagian IV. Pada bagian tersebut dijelaskan pentingnya moral obyek sebagai salah satu parameter untuk menentukan apakah sebuah perbuatan adalah baik atau buruk secara moral. Ensiklik ini secara jelas menyatakan bahwa penilaian relatif dan bukan berdasarkan moral obyek yang obyektif sebenarnya merupakan kesalahan fatal. Dengan menyingkirkan obyek moral, maka seseorang dapat jatuh dalam relativisme.
Intrinsically evil dapat dikatakan sebagai norma negatif yang universal (universal negative norm), sebagai contoh adalah “membunuh orang yang tidak bersalah (innocent).” Karena hal ini dipandang sebagai norma negatif yang universal, maka tidak mengenal pengecualian. Hal ini juga berlaku untuk kontrasepsi (lih. Humanae Vitae 12). Veritatis Spendor 67 menjelaskan sebagai berikut ” “But the negative moral precepts, those prohibiting certain concrete actions or kinds of behaviour as intrinsically evil, do not allow for any legitimate exception.” Intrinsically evil dapat dikatakan menjadi satu perbuatan yang tidak mungkin dengan baik dapat dipersembahkan kepada Tuhan, karena perbuatan tersebut adalah jahat secara obyektif, yang bertentangan dengan akal budi. Kita juga dapat menghubungkan intrinsically evil dengan 10 perintah Allah dan turunannya. Sebagai contoh: jangan berzinah yang menjadi perintah ke-6 dapat dijabarkan sebagai semua dosa seksual.
Namun, demikian, tidak ada daftar yang secara khusus memuat apa yang termasuk dalam intrincially evil dan intrinsically good. Namun, dengan prinsip di atas, kita dapat menentukan apa yang termasuk di dalamnya. Semoga dapat membantu.
stef – katolisitas.org
Terima kasih atas tanggapan yg diberikan dan acuan ke Veritatis Splendor. Tapi maaf, saya baru punya VS yg terdiri dari 3 chapter/bagian ….
Perkenankan saya menyampaikan pengertian saya seputar intrically evil, sehingga diskusi ini lebih terarah. Kami mohon saran dan koreksi.
Memang benar bahwa “dasar” dari intrisically evil adalah “universal negative norm”. Kesadaran umum ini adalah wujud Hukum Allah yg ditulis dalam hati setiap orang – yang disebut juga Natural Law.
Walaupun setiap orang mempunyai conscience yang berbeda mengenai Hukum Tuhan di dalam hatinya, hal ini tidak berarti bahwa Natural Law adalah sesuatu yg relative-subjective. Karena, kesadaran kolektif semua orang yg dgn tulus mencari kebenaran, dan khususnya peziarahan Umat Pilihan Allah sepanjang zaman – dimana Allah adalah Gembala yg baik dalam peziarahan itu – adalah SAKSI HIDUP AKAN OBJECTIVITAS Natural Law tsb. Maka, Umat Pilihan Allah – berkat bimbingan Sang Gembala – mempunyai kesadaran & pengakuan kolektif yg definitif akan “kebenaran objective” dari Sepuluh Perintah Allah, sebagai kompendium Natural Law yang mengikat semua orang, mengatasi (beyond) consciousness masing-masing pribadi.
Umat Allah menyadari bahwa Natural law menunjukkan maksud/intensi Allah
mengenai bagaimana ciptaan beroperasi. Daftar di dalam Sepuluh Perintah Allah adalah Natural Law yg mengatur moral. Tetapi Natural Law seperti: benda selalu jatuh ke bawah, ada gaya tarik-menarik dua partikel bermuatan berbeda, dll adalah hukum untuk mengatur mekanisme ciptaan beroperasi.
Keduanya – “moral” natural law dan “mechanism” natural law – menunjukkan intensi Allah mengenai bagaimana ciptaan beroperasi. Melawan Natural Law sepertinya melawan intensi/kehendak Allah. Tetapi Allah nyatanya juga menciptakan manusia – dgn akal budi & kebebasan – sebagai wakil Allan untuk menguasai dan mengelola ciptaan. Disini termasuk kodrat manusia untuk mengelola & menyiasati “mechanism” natural law. Sedangkan terhadap “moral” Natural Law manusia dituntut untuk TUNDUK baik dalam conscience maupun akalbudinya. Manusia dapat menyiasati dan mengelola hukum grativatasi, hukum energi nuklir, dll. Tetapi baik dalam proses eksplorasi, eksploitasi, maupun dalam memanfaatkannnya, manusia terikat dalam “moral” Natural Law, misalnya: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak merusak lingkungan, tidak membuat bom nuklir, dll.
Pemisahan antara “moral” natural law dan “mechanism” natural law ini, perlu kehati-hatian dan kebijaksanaan. Khususnya bila objeknya adalah “pribadi manusia”, karena dalam pribadi manusia “tubuh” dan “jiwa” adalah satu kesatuan yg tidak terpisahkan. Pandangan yg melihat “tubuh” semata-mata adalah mechanism (sekedar raw datum of moral) dan “hanya jiwa” (intensi, pengetahuan, dll) yang menentukan moral, tidak dapat diterima. Sebaliknya, menganggap “semua” mechanism tubuh manusia adalah objek moral, jugalah berlebihan.
Dalam konteks perlunya kehati-hatian dan kebijaksanaan dalam melihat mana yg melawan “moral” Natual Law (disebut tindakan intrisically evil) dan mana yang menjadi kodrat manusia untuk menyiasati “mechanism” Natural Law, rasanya perlu diperhitungkan PENTINGNYA peziarahan/pengalaman Umat Pilihan Allah (Gereja) yang notabene adalah SAKSI HIDUP – sepanjang sejarah (dahulu, sekarang, dan masa mendatang) – dimana Allah telah meletakkan Natural Law dan Allah sebagai Gembala yg Baik telah membimbing mereka dalam kesadaran “kolektif” untuk mengakui dan mengikutinya.
Dgn latar belakang pengertian saya yg terbatas ini, maka pertanyaan saya dalam post sebelumnya rasanya masih valid:
1. Bagaimana peran Gereja dalam menentukan mana tindakan yg melawan “moral” Natural Law, apakah patokan-patokan yang digunakan oleh Gereja?
Demikian, pertanyaan ini dulu. Pertanyaan lain ditunda dulu.
Semoga Tuhan memberi rahmat kesabaran pada Katolisitas dalam pelayanan ini, untuk menerangkan dan menjawab pertanyaan yg macam-macam jenisnya.
Terima kasih.
Shalom FXE,
Anda dapat melihat Veritatis Splendor di sini – silakan klik. Saya minta maaf karena kurang lengkap menyebutkan referensinya. Pada waktu saya mengatakan di bagian IV, sebenarnya maksud saya bagian IV dari bab II, yang dimulai dari par. 71. Dalam diskusi ini, kita hanya membicarakan moral natural law.
Universal negative norm ini sebenarnya menjadi satu bukti bahwa Tuhan menciptakan manusia baik adanya, sehingga manusia masih dapat mengenali bahwa ada perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan Allah, karena hukum Allah memang ditulis dalam hati manusia. Namun, karena kelemahan manusia dan juga pengaruh dosa, hati nurani manusia juga dapat berbelok, sehingga dapat saja terlihat bahwa universal negative norm ini terlihat bertentangan dengan hati nurani sebagian manusia. Namun, menjadi penting untuk mengetahui bahwa hati nurani bukanlah Tuhan yang tidak dapat salah. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa hati nurani yang melawan natural law, tidak dapat dikatakan benar, karena natural law ini sendiri senantiasa mempunyai rujukan kepada Tuhan.
Dalam konteks inilah, Gereja dapat menjadi tiang kebenaran moral, sehingga manusia tidak mengkhianati hati nurani yang murni yang telah diberikan oleh Tuhan. Gereja melakukan hal ini, dengan bertindak sebagai pengajar, yang termasuk melalui ensiklik dan surat-surat lainnya, serta hasil konsili. Tentu saja patokan yang dipegang Gereja adalah senantiasa bersumber pada Kitab Suci dan Tradisi Suci. Hal ini terlihat dari penjabaran Veritatis Splendor, par. 71-83, yang terlihat memberikan referensi Kitab Suci dan juga tulisan dari para Bapa Gereja. Lebih lanjut kaum beriman juga diwajibkan untuk mengakui dan menghormati perintah-perintah moral khusus, yang dinyatakan dan diajarkan oleh Gereja atas nama Allah, Pencipta dan Tuhan (lih. VS, 76; Konsili Trente Dekrit tentang justifikasi, kan.19; DS,156) Dengan demikian, kita melihat adanya tiga pilar – Kitab Suci, Tradisi Suci, Magisterium Gereja – sebagai penentu hukum moral.
Dalam Veritatis Splendor ditegaskan bahwa Gereja memberikan bantuan kepada umat beriman agar dapat melihat bahwa perbuatan-perbuatan tertentu yang disebut intrinsically evil adalah merupakan perbuatan yang tidak dapat atau tidak diarahkan kepada Allah, yang merupakan satu-satunya yang baik. (lih. VS, 78). Semoga dapat berguna. Dan mohon doanya untuk karya kerasulan katolisitas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
selamat malam katolisitas, saya mau bertanya apakah di perbolehkan pencarian dana untuk kegiatan gereja dengan penjualan kupon berhadiah? karena di gereja saya pernah mengadakan cara itu, kalau menurut saya penjualan kupon berhadiah itu lebih mirip judi karena seperti untung2an,kalo beruntung ya dpt hadiah, kalo nggak ya nggak dapt demikian pertanyaan dari saya, apabila ada kesalahan saya mohon maaf, trima kasih, tuhan yesus memberkati
Shalom Leo,
Pencarian dana untuk kegiatan gereja dengan penjualan kupon berhadiah bukanlah merupakan perbuatan dosa. Menjadi berdosa kalau hal tersebut dilakukan secara berlebihan dan tidak wajar. Jadi dalam hal ini, yang diperlukan adalah pengendalian diri (temperance) dan kebijaksanaan (prudence). Saya yakin, kalau Anda tanya apakah motif dari memberi kupon bagi anggota gereja yang membelinya, maka mereka tidak terlalu mengharapkan akan hadiahnya, namun karena ingin membantu gereja. Di samping itu, kita juga menyadari bahwa pembelian kupon tidak akan membuat seseorang menjadi miskin, tidak seperti yang dilakukan dalam judi yang berlebihan. Tentang judi, Katekismus Gereja Katolik menuliskannya sebagai berikut:
Semoga jawaban ini dapat membantu dan silakan untuk membantu pembangunan Gereja dalam bentuk pembelian kupon. Bagi yang lebih mampu, tentu saja dituntut agar dapat membantu dengan lebih lagi dan tidak terbatas pada pembelian kupon.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam..
Apakah berbohong utk mendapatkan kebaikan yg lebih besar dpt dibenarkan. Mis dlm contoh kasus klasik ini:
seseorang yg lari bersembunyi ke dlm rumah kita krn dikejar segerombolan penjahat yg mau membunuhnya. Apakah tetap berkata jujur kpd gerombolon tsb bila ditanya apakah melihat kemana org yg mereka kejar dgn kosekwensi org tersebut pasti mati dibunuh bila mereka mendapatkanya. Menelepon polisi juga pasti tdk akan sempat utk menolog org tsb apalagi minta tlg ma tetangga. atw hrs bersaksi dusta dgn mengatakan tidak melihatnya?
Bila dihadapkan pada posisi tsb apa yg harus kita pilih dan perbuat?
Terima kasih bu..
[Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel Bolehkah berbohong demi kebaikan?, silakan klik]
Saya mengikut organisasi mahasiswa….
Saya ikut organisasi bagian minat dan olahraga, dan kebetulan saya menjabat sebagai bendahara… Setiap mahasiswa yang ingin ikut dalam unit kegiatan mahasiswa ini membayar Rp 50.000 setiap tahun, ketua kami mengatakan kepada anggota bahwa uang Rp 50.000 ini digunakan untuk konsumsi… Tetapi 2 bulan setelah di mulai unit kegiatan mahasiswa, ketua kami mengusulkan membuat baju agar dapat dibedakan dengan baju organisasi mahasiswa yang lainnya. harga baju tersebut seharga Rp. 91.000 sayangnya dana subsidi dari baju itu berasal dari Rp 50.000 yang kami janjikan hanya untuk konsumsi anggota yang mengikuti unit kegiatan mahasiswa, sehigga dengan adanya subsidi maka kami pengurus mendapatkan harga baju sebesar Rp 71.000
Bukankah ini sebuah korupsi terselubung? saya sudah meminta pendapat dari orang tua bahwa itu hal biasa dalam organisasi karena sebagai pengurus akan mendapatkan keistimewaan dan keringinan… menurut saudara saya tidak mungkin ketua saya mengatakan uang tersebut juga di gunakan untuk subsidi baju pengurus karena tidak etis jika dikatakan…
Bagaimana menurut pengurus katolisitas?
Jika anda mengatakan korupsi, maka saya akan mengembalikan uang subsidi tersebut kepada organisasi….
thanks…
Shalom Krisna,
Sebenarnya dalam menyikapi keadaan yang seperti ini, mungkin baik jika kita melihat dari dua sisi; yaitu:
Dari sisi anggota:
1) Fakta bahwa telah diinformasikan kepada anggota bahwa uang iuran Rp 50.000,- adalah untuk konsumsi.
2) Ternyata uang itu sebagian ingin digunakan untuk memberi subsidi kepada baju pengurus, sehingga nampaknya ada informasi yang tidak sesuai di sini.
Dari sisi pengurus
1) Pengurus adalah mereka yang meluangkan waktu dan tenaga untuk mengatur dan mengkoordinasikan mahasiswa untuk organisasi itu.
2) Mungkin saja pada awalnya memang tidak ada rencana untuk membeli baju (silakan di-check, apakah memang demikian); sehingga tidak ada rencana untuk mengelabui anggota. Hanya beberapa waktu kemudian, ada kebutuhan tersebut (silakan Anda nilai sendiri apakah memang sebenarnya perlu atau tidak).
Nah setelah melihat adanya fakta dari dua sisi ini, silakan dirembuk/ dibicarakan bagaimanakah sebaiknya. Sebab siapa tahu memang kegiatan tersebut membutuhkan adanya tanda yang membedakan antara pengurus dan anggota? Apakah ada tanda lain yang bisa dibuat selain membeli baju baru? Apakah dapat diberitahukan kembali kepada anggota bahwa uang Rp 50,000 itu adalah uang untuk mendukung kegiatan (bukan hanya sekedar untuk membeli konsumsi/ makanan)? Sebab jika memang pembedaan baju antara pengurus dan anggota merupakan hal yang krusial (supaya para pengurus langsung dapat dikenali, sehingga mengurangi pertanyaan dan kerepotan anggota), maka subsidi baju bagi pengurus mungkin bisa masuk akal; terutama jika juga memperhitungkan bahwa pengurus adalah para mahasiswa sendiri yang sudah meluangkan waktu dan tenaga ekstra untuk mengatur/ mengkoordinasikan kegiataan tersebut secara suka rela. Jika ini yang terjadi, silakan memberitahukan kepada para anggota bahwa uang mereka itu adalah untuk mendukung kegiatan, dan hal ini termasuk subsidi baju pengurus itu tadi. Hal yang kemudian perlu didiskusikan adalah jumlah subsidi apakah memang Rp 20,000 itu termasuk jumlah yang ‘layak’.
Tetapi jika secara obyektif pembedaan baju itu tidak harus, misal dapat diketahui dari tanda yang lain, misal dari name-tag, dari topi atau tanda lain yang lebih sederhana dan murah, maka silakan didiskusikan lebih lanjut.
Dalam menyelesaikan hal-hal demikian, pikirkanlah kepentingan bersama, kerukunan dan kesatuan antara sesama mahasiswa. Tanamkanlah pertama-tama, bahwa semua orang bermaksud baik, sehingga tidak ada niatan untuk saling menuduh atau menjatuhkan. Prinsip kedua adalah, kita harus mengusahakan agar kita tidak terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, dalam perbuatan yang jahat maupun ketidakjujuran. Selanjutnya, silakan membicarakan hal ini secara terbuka dan dewasa, dan jadikanlah ini sebagai kesempatan untuk menunjukkan iman Anda selalu bekerja oleh kasih (lih. Gal 5:6).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
http://www.youtube.com/watch?v=_migLQ802Go
Saya mau bertanya karena perkembangan teknologi robot sudah sangat maju, seperti yang di tunjukkan di youtube tersebut…..
Saya memperkirakan bahwa di tahun 2080 an menurut perkiraan saya karena melihat perkembangan teknologi robot tersebut di tahun 2080 robot dan manusia tidak dapat di bedakan lagi dari luar karena gerakan sudah sangat lancar ( tidak kaku lagi ), raut muka robot bisa menangis, marah, sedih, gembira…
Yang menjadi pertanyaan saya adalah menyangkut moral….
1. Jika seorang menyakiti robot apakah itu merupakan sebuah dosa ( dengan pertimbangan bahwa robot tersebut sudah menyerupai manusia karena bisa sedih dan menangis jika di sakiti) ?
2. Apakah ketika kita menyelamatkan nyawa robot, dapatkah kita mendapatkan pahala dari Allah sendiri? ataukah malahan berdosa karena membahayakan nyawa kita sendiri?
Saya sangat yakin di tahun 2080, pasti akan adanya perasaan kasihan dan iba melihat robot tersebut di sakiti karena dari luar kita tidak dapat membedakan apakah itu robot atau manusia….
Mohon di jawab karena saya penasaran dengan jawaban anda….
thanks….
Shalom Krisna,
Secara prinsip perbuatan yang diperhitungkan oleh Allah adalah perbuatan yang berdasarkan kasih yang bersifat adi kodrati, yaitu kasih kepada Allah dan manusia atas dasar kasih kepada Allah. Dengan demikian, semua perbuatan kasih yang kita lakukan harus mempunyai rujukan kepada Allah. Pertanyaannya adalah apakah perbuatan kasih ini diperhitungkan jika dilakukan kepada benda (termasuk robot yang seperti manusia) atau binatang? Kalau kita merusak benda dan secara tidak langsung menyakiti pembuatnya (manusia), maka tentu saja hal ini diperhitungkan sebagai satu kesalahan. Hal ini sama seperti ketika kita merusak satu karya seni, yang tentu akan menyedihkan pembuatnya. Sebaliknya penghargaan terhadap karya seni, juga merupakan hal yang baik karena menghargai pembuatnya serta menghargai keindahan. Namun, kesukaan kita terhadap karya seni, binatang dan benda-benda lain tidak boleh melebihi kasih kita kepada sesama manusia. Semoga prinsip ini dapat menjawab pertanyaan Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Ayah kami, Pak Budi Utama (79 th) dilarang keras mkn/minum krn lidahnya tdk berfungsi normal (kena Parkinson). Krn itulah Beliau memakai Zonde di perutnya spy makanan tdk usah lewat mulutnya. Makan enak dahulu menjadi salah satu dari sedikit hobi Ayah. Skrg dia terlihat hopeless, tanpa semangat hidup lg. Ayah yg hidup di atas kursi roda, bbrp kali minta makan tp sy menolak memberikannya. Pertanyaan kami adlh : Apakah secara moral dibenarkan jk kami memberi mkn/minum kpd Beliau? Adik2 berharap Ayah bs bersemangat lg jk bs mkn/minum. Tp jk kami memberinya mkn/mnm, apakah kami tdk sama dg membunuhnya secara pelan (krn makanan sdh pernah masuk ke Paru2nya shg membuat Ayah diopname krn Infeksi Paru2) atau membunuhnya secara cepat (krn makanan bs membuat dia tersedak dan menyumbat saluran nafasnya) ?? Seandainya kami menanyai Beliau lagi apakah masih ingin mkn, kami yakin Beliau akan menjawab “Ya”. Kalaupun kami jelaskan alasan knp Beliau tdk blh mkn/mnm, kami khawatir dia tdk bs memahaminya krn dia menderita short memory loss akibat Stroke yg menyerangnya 13 th yl. Dia berkata bersedia menanggung segala resikonya asal bs mkn. “Sy hdp tdk lama lg. Biarlah sy menikmati hobi (makan) sy. Toh ini adalah hidup sy sendiri. Kalian tdk berhak melarang kesukaan sy !”. Itu jg alasan adik2 utk mengijinkan Ayah mkn via mulut. Thx.
Shalom Indra Gunawan,
Pertama, kami turut prihatin atas kondisi yang menimpa ayah anda. Memang tidak mudah untuk melakukan satu tindakan dalam situasi yang menimpa keluarga anda. Namun, prinsip yang harus kita pegang adalah: hidup kita bukanlah hak kita, karena Tuhan yang menciptakan kita. Dengan kata lain, kita tidak dapat melakukan segala sesuatu yang membahayakan tubuh kita, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kematian. Akan berbeda situasinya kalau seseorang yang mengalami kondisi koma dan harus dibantu dengan segala macam peralatan di ICU. Dalam situasi ini, maka keluarga – yang tidak mampu secara keuangan atau atas permintaan pasien – dapat membuat keputusan untuk mengeluarkan pasien dari ICU dengan kondisi yang minimal, yaitu tersedianya udara dan makanan. Namun dalam situasi yang dialami ayah anda, kondisi yang minimal telah dicapai – dapat bernafas dan mendapatkan makanan – namun menginginkan untuk makan yang dapat membahayakan kesehatannya.
Jadi, hal pertama yang dapat dilakukan adalah, berkonsultasi dengan dokter, apakah benar-benar makanan padat sama sekali tidak mungkin ditelan oleh ayah anda. Apakah kalau dilembekkan dapat ditolerir oleh tubuh. Kalau masih tidak bisa, kita juga harus mengerti resikonya, apakah benar-benar dapat membunuh si pasien. Kalau dengan kondisi bahwa dengan makanan padat (lembek) dapat membuat tersedak dan akhirnya membunuh pasien, maka sudah seharusnya hal ini tidak boleh dilakukan. Hal ini sama seperti kalau kita tahu racun dapat membunuh seseorang namun kita tetap memberikan kepada orang tersebut.
Jadi, cobalah untuk menerangkan hal ini kepada ayah anda dengan kasih. Bahwa memang dalam kondisi ayah anda, tidak mungkin untuk menyantap makanan padat – kalau hal ini dikonfirmasi oleh dokter. Kalau diperlukan, mohon dokter juga dapat menerangkan kepada pasien. Bagaimana agar dalam kondisi ini ayah anda dapat tetap bersemangat? Cobalah untuk memberikan hal lain yang menjadi kegemaran ayah anda selain makanan, misal: berikan perhatian yang lebih, libatkan dia dalam permainan kartu yang sederhana, bawalah temannya untuk bertemu dengan dia, kalau dia Katolik mintalah pastor atau pelayan pembagi komuni tak lazim untuk memberikan Tubuh Kristus setiap minggu, atau minta kunjungan dari kelompok Legio Mariae, atau didoakan oleh kelompok karismatik, dan yang penting keluarga juga dapat bersatu dalam doa setiap hari bersama dengan ayah. Dengan kata lain, kita mencoba melakukan segala sesuatu – selain makan yang dapat menyebabkan kematian – sehingga semangat ayah anda dapat kembali, yaitu agar dia dapat merasakan kasih dari seluruh anggota keluarga dan komunitas. Saya tahu bahwa hal ini tidak mudah, namun itulah masukan yang dapat saya berikan. Doa kami turut menyertai.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Saya sangat terharu atas pengorbanan Ibu Linda untuk memperjuangkan anaknya. Dan kiranya anak itu sehat-sehat selalu dan Tuhan Yesus dan Bunda Maria akan menjaganya dan Ibu Linda berbahagia di sisi Allah Bapa. Kejadian ini pun terjadi pada kakak kandung saya yang bernama DELIANA SIAGIAN yang terkena penyakit KANKER PAYUDARA dan akhirnya kembali ke Rumah Bapa di Surga pada bulan Juli 2006, dimana anaknya yang bernama CECILIA ARITONANG masih berumur 11 bulan. Semoga kakak saya juga berbahagia disisi Allah Bapa dan Bunda Maria. Amin
[Dari Katolisitas: Ya, mari kita mendoakan jiwa Linda dan Deliana, agar Tuhan berkenan menerima mereka ke dalam kebahagiaan kekal di surga. Mari kita juga mendoakan keluarga yang ditinggalkannya, semoga mereka dapat selalu mengenang dan mencontoh teladan kasih istri dan ibu mereka yang rela menyerahkan nyawanya demi anak yang dikasihinya.]
Salam katolisitas,
Saya ada pertanyaan. Apabila seorang istri didiagnosa menderita kista oleh dokter dan untuk pengobatannya memakai pil kontrasepsi untuk menormalkan siklusnya, apakah boleh ? Lalu dalam masa itu apa boleh dilakukan hub sex ?
terima kasih,
-andre-
Shalom Andre,
Perlu diketahui bahwa situs ini adalah situs rohani Katolik, sehingga jawaban di sini ditinjau dari sisi ajaran iman Katolik, dan bukan ditinjau dari sisi kedokteran.
Dengan prinsip ini maka kami mencoba menjawab kasus yang anda tanyakan: Apakah boleh minum pil kontrasepsi untuk mengobati penyakit kista:
1. Jika memungkinkan, silakan anda menanyakan kepada dokter itu, atau mencari second opinion dari dokter lainnya, untuk mengetahui adakah alternatif obat/ terapi lain untuk mengobati kista tersebut tanpa harus meminum pil kontrasepsi.
2. Jika memang tidak ada cara lain, maka menurut prinsip akibat ganda seperti yang diuraikan di atas, maka kemungkinan meminum pil tersebut masih dapat dibenarkan secara moral, sebab tujuan utamanya bukan alat kontrasepsi, melainkan untuk mengobati penyakit, yang sayangnya mempunyai efek samping menjadi alat kontrasepsi. Jika pil ini digunakan sebagai obat, tentunya pil ini tidak diminum seumur hidup, hanya sampai kista tersebut sembuh; dan sesudah sembuh, silakan untuk tidak mengkonsumsi pil kontrasepsi tersebut. Sebab jika kista sudah sembuh, namun wanita itu tetap mengkonsumsi pil itu, artinya ia tidak lagi menggunakan pil itu sebagai obat, namun sebagai alat kontrasepsi, dan dalam kondisi ini, perbuatan itu tidak dapat dibenarkan secara moral.
Konsekuensi yang terkait dengan hal ini adalah, jika pada saat digunakan sebagai obat, maka hubungan seksual yang dilakukan dalam keadaan ini masih dapat dibenarkan secara moral; namun tidak dapat dibenarkan secara moral, jika hubungan tersebut dilakukan di luar masa pengobatan yaitu saat pil tersebut sudah tidak lagi berfungsi sebagai obat kista, tetapi sebagai alat kontrasepsi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam ibu, seorang dokter atau bidan Katolik, karena pekerjaannya harus melakukan KB non alami kepada pasiennya, apakah dokter / bidan itu berdosa?
Shalom Feliz,
Cara kerja beberapa metode KB non alamiah dalam prosesnya melibatkan pemusnahan janin dalam usia sangat dini (zygote) di mana iman Katolik percaya bahwa sejak tahap pertemuan sel telur dengan sperma, ia sudah mempunyai kehidupan dari Penciptanya. Lalu semua metode KB non alamiah juga mengingkari prinsip prokreasi dalam relasi suami isteri yang dikuduskan melalui Sakramen, di mana union dan prokreasi kedua-duanya harus menjadi aspek yang tidak terpisahkan dalam pernikahan. Jika dokter / bidan Katolik itu memahami sepenuhnya kedua alasan GK melarang pemakaian KB non alami di atas, dan dengan kesadaran penuh tetap melakukannya, maka ia berdosa. Karena syarat dosa adalah tahu dan dengan kesadaran penuh melakukannya. Seorang dokter atau bidan yang pekerjaan sehari-harinya berhubungan erat dengan penyelamatan kehidupan, sebenarnya justru mempunyai tanggung jawab (dan kesempatan) yang lebih besar untuk mengamankan kehidupan, dan bukan melenyapkannya. Kesempatan yang justru sebetulnya juga ia miliki untuk memberi penjelasan mengenai pilihan yang masih dimiliki oleh pasangan yang ingin ber-KB, yaitu dengan penggunaan KB Metode Creighton atau Metode Ovulasi Billing yang diperkenankan sepenuhnya oleh Gereja Katolik. Karena kedua metode itu tidak menghalangi atau merusak terjadinya kehidupan, bahkan justru mengandung pembelajaran bagi suami dan istri untuk bertanggung jawab sepenuhnya terhadap karunia hubungan suami isteri yang diberikan Tuhan, di mana persatuan jiwa dan raga juga dibarengi dengan keterbukaan akan adanya campur tangan Tuhan untuk menumbuhkan kehidupan baru melalui hubungan itu. Bentuk tanggung jawab itu adalah dengan pantang berkala yang tidak memisahkan aspek union dan prokreasi. Untuk memperjelas seluruh jawaban saya di atas, silahkan membaca juga artikel yang ditulis oleh Ingrid Listiati berikut ini, silahkan klik. Semoga penjelasan kami menjawab pertanyaan Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Triastuti – katolisitas.org
dear katolisitas,
di manakah letak “tidak bermoralnya” penggunaan pil kontrasepsi?
bukankah pil itu hanya bertujuan agar konsepsi tidak terjadi (karena ketiadaan sel telur). namun bukan menghancurkan sigot (seperti pada metode IUD)?
pada penggunaan IUD saya setuju bahwa itu tidak “bermoral” krn hasil konsepsi sengaja tidak beleh menempel pada dinding rahim. tetapi pada penggunaan pil kontrasepsi kan tidak terjadi hal seperti itu.
mohon tanggapan
[Dari Katolisitas: Silakan terlebih dahulu membaca artikel-artikel berikut:
Humanae Vitae itu Benar!
Kemurnian dalam Perkawinan
Perkawinan Katolik vs Perkawinan Dunia, terutama butir ke-5
Efek-efek negatif alat Kontrasepsi]
Dear Romo dan Ibu Inggrid
Tahun lalu saya hamil 8 mg dan kemudian terjadi pendarahan, ketika diperiksa dokter, diberi obat penguat namun setelah 1 minggu pendarahan tidak juga berhenti dan kemudian diperiksa kembali, dikatakan janin tidak berkembang dan tidak dapat dipertahankan. Selanjutkan dianjurkan dikuret untuk dibersihkan agar pendarahan berhenti. Apakah ini termasuk tindakan aborsi? Terus terang saya masih merasa berdosa telah melakukan tindakan kuret, tapi sepertinya tidak ada pilihan lain….apalagi saat itu pendarahan membuat kami (suami istri) panik sehingga memutuskan tindakan kuretase
Bagaimana pandangan gereja katolik terhadap kasus saya ini? terima kasih.
Shalom Elsa,
Kami di katolisitas tidak dapat menilai kasus khusus kehamilan dari segi kedokteran, sebab hal itu bukan bidang yang dibahas di sini. Namun berkaitan dengan aborsi, prinsipnya sesungguhnya sederhana, yaitu aborsi adalah tindakan mengakhiri kehidupan bayi yang dikandung ibunya. Maka, kuretase bayi yang masih hidup di dalam kandungan ibu adalah tindakan aborsi, sebab tindakan tersebut adalah tindakan membunuh/ mengakhiri kehidupan bayi tersebut. Namun, jika bayi di dalam kandungan itu sudah meninggal, artinya sudah tidak ada lagi tanda- tanda kehidupan, dan baru kemudian diadakan tindakan kuretase, maka tindakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tindakan aborsi, sebab janin itu sudah meninggal terlebih dahulu sebelum diadakan kuretase.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Ibu Ingrid dan semua pembaca katolisitas,
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada bulan September 2010 saya pernah menuliskan kegelisahan hati saya yaitu tentang kehamilan resiko tinggi yang kami (istri saya) hadapi untuk anak kami yang ke-3.
Sekedar mengingatkan apa yang pernah saya sampaikan pada artikel ini tentang kegelisahan hati saya yaitu bahwa istri saya mengandung anak kami yang ke-3 berdekatan jaraknya (sekitar 3 bln) dengan kelahiran anak kami yang ke-2, dimana anak kami yang ke-2 lahir secara C-Sectio (anak yang pertama juga C-Sectio, tetapi jarak kehamilan anak ke-1 dengan yang ke-2 sekitar 1.5 tahun).
Berkenaan dengan jarak kehamilan yang sangat dekat tersebut, maka kami berkonsultasi dengan dokter kandungan –dokter kandungannya adalah dokter yang melakukan C-Sectio anak kami yg ke-2– dan dokter menyarankan untuk tidak melanjutkan kehamilan tersebut dikarenakan jarak kehamilan yang sangat dekat dengan pasca C-Sectio anak ke-2 sehingga resiko untuk terjadinya Ruptur Uteri (Robeknya rahim) cukup tinggi (70% versi saya, dan/atau 53% versi dari Ibu Ingrid), nah…disinilah letak kebimbangan saya, disatu sisi saya tidak cukup berani untuk mengambil resiko dan disisi lain saya diingatkan oleh istri saya bahwa dengan tidak melanjutkan kehamilannya maka hal itu adalah Dosa, karena ternyata istri saya secara “diam-diam” sudah meniatkan diri untuk meneruskan kehamilannya karena dia takut akan Dosa.
Pada akhirnya (atas informasi teman —thanks to yosep— dan searching di internet) untuk mendaptkan jawaban atas kegelisahan tersebut, saya memberanikan diri untuk menuliskan kegelisahan saya itu di sini (katolisitas.org) dan saya mendapatkan pencerahan dari Ibu Ingrid, pada kesempatan ini saya juga ingin berterima kasih kepada Katolisitas (Ibu Ingrid) yang telah membawa kami terutama istri saya didalam doa selama masa kehamilan.
Saat ini kami berdua ingin menyampaikan dengan penuh sukacita yang amat mendalam atas berkat rahmat dan anugerah serta lindunganNya dan juga dukungan serta doa dari Ibu Ingrid dan Tim Katolisitas, tepat pada hari Raya Paskah, Minggu, 24 April 2011, Jam 13.30 anak kami yang ke-3 lahir dengan selamat dan sangat sehat lewat proses C-Sectio, begitu juga dengan Ibunya, kami memberikan nama : Paskalis Avrilo Anantaleon Sihotang.
Segala ucap syukur dan puji-pujian kami panjatkan kepada Tuhan kita Yesus Kristus atas anugerahNya yang tak terhingga ini kepada kami sekeluarga, juga tak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibu Ingrid dan Tim Katolisitas atas doa dan dukungannya selama ini, semoga Ibu Ingrid dan Tim Katolisitas diberikan anugerah kesehatan, umur panjang, rezeki dan kuasa pencerahan kepada orang-orang seperti saya yang mengalami kegelisahan didalam pengambilan keputusan, hanya itu yang bisa saya sampaikan dan biarlah Tuhan yang membalas atas semua dukungan Ibu Ingrid dan Tim Katolisitas yang telah diberikan ke kami sekeluarga.
Sekali lagi, terima kasih dan sukses terus untuk Katolisitas.
Salam dan damai sejahtera bagi kita dan berkatNya melimpah bagi kita semua. Amin
Kami yang berbahagia,
Rudi & Irene.
Shalom Rudianto dan Irene,
Selamat Paskah dan selamat berbahagia! Betapa hati kami bersyukur memuji Tuhan setelah mendengar kabar baik anda ini. Saya baru saja ingin mengirim e-mail untuk menanyakan keadaan istri anda, karena saya masih ingat sekitar bulan April inilah seharusnya anak anda lahir. Ya, saya membawa permohonan untuk lancarnya proses melahirkan bagi istri anda Irene, di dalam doa- doa saya, sejak anda menuliskan komentar anda di situs ini September tahun lalu, dan betapa saya sungguh lega dan terharu mendengar kabar gembira ini. Tuhan sungguh amat sangat baik. Besar sungguh kasih setia-Nya! Sungguh, anda sekeluarga dapat menyerukan “Alleluia” dengan suka cita yang berlipat ganda di masa Paskah ini. Kami di Katolisitas turut bergembira dan memuliakan Tuhan bersama anda sekeluarga.
Sebagai tambahan, jika anda terpanggil untuk menuliskan kisah kesaksian iman untuk dimuat di Katolisitas, silakan anda mengirimkannya kepada kami, sehingga pengalaman iman anda ini dapat menguatkan dan menjangkau lebih banyak orang, tentu semua demi kemuliaan Tuhan yang demikian mengasihi kita semua.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Sejahtera….
Saya dan keluarga saat ini mengalami peristiwa yang membutuhkan bantuan untuk mengambil keputusan yang tidak mudah (menurut saya pribadi).
Saat ini saya masih bekerja sbg karyawan swasta dan istri sebagai ibu rumah tangga. Peristiwa ini berawal dari kelahiran anak kami yang ke-2,yang oleh pihak medis saat umur 6 bulan divonis mengalami Gangguan Pendengaran dengan level sangat parah (90dB telinga kiri dan 100dB telinga kanan) dan sudah di crosscheck di Rumah Sakit lain di kota S dengan hasil yang kurang lebih sama. Saat ini,anak kami sudah memakai ABD (Alat Bantu Dengar),yang kami dapat dari bantuan pihak perusahaan tempat saya bekerja). Sebelumnya kami tinggal bersama di kota B. Namun atas pertimbangan bahwa kebutuhan anak kami berupa Terapi AVT,Terapi Okupasi,check medis rutin Tumbuh Kembang anak dan pendukung yg lain,akhirnya kami memutuskan untuk berpisah sementara (bukan bercerai lho) dengan istri dan kedua anak ke kota S (beda pulau dan provinsi) guna menjalani perawatan dan tinggal dengan orangtua saya (mertua istri saya). Sampai saat ini,kami sudah menjalani lebih dari 1 tahun lamanya. Pihak medis di kota S mengatakan bahwa jika alat bantu dengar yg sekarang sudah tidak banyak membantu perkembangan mendengar si anak maka Operasa Cochlear Implant menjadi solusi terakhir. Operasi ini sendiri membutuhkan biaya yang tidak sedikit,yaitu berkisar 285jt rupiah. Suatu angka yang fantastis untuk seorang karyawan seperti saya. Saya sudah berusaha melobi pihak perusahaan,namun belum ada tanggapan sampai saat ini,sehingga membuat kami masih harus terus menunggu sebagai satu-satunya harapan.
Setelah memasuki bulan ke-13 kami menunggu bantuan pihak perusahaan dan usia anak ke-2 kami yang sudah 27 bulan,kami merasa sangat dilematis dan kesulitan untuk mengambil keputusan, apakah saya harus tetap menunggu bantuan tsb namun dgn konsekuensi berpisah dgn keluarga dan mempertahankan satu-satunya sumber penghasilan keluarga ataukah saya harus keluar dari tempat saya bekerja guna berkumpul kembali dgn keluarga dan bersama istri merawat anak2x terutama anak kami yang ke-2 namun dgn konsekuensi anak kami tidak jadi operasi dan sumber penghidupan keluarga harus diusahakan sendiri/tdk tergantung lagi pd penghasilan bulanan saat masih bekerja dulu ?.
Kesulitan yg saya alami ini jg dilanda istri saya yg tinggal bersama orangtua saya. Tekanan mental/psikologis krn tinggal bersama dgn mertua dan banyaknya aktivitas utk merawat anak2x,dialami hampir setiap hari.
Kami sekeluarga mohon pertimbangan moral,keputusan seperti apa yang harus kami ambil demi yang terbaik untuk semua. Terima kasih.
Salam Damai dalam Kristus.
Rwin.
Sdr Rwin,
Tentu melepaskan pekerjaan yang menjadi satu-satunya pendapatan keluarga tidaklah bijaksana karena hal itu akan berdampak berat bagi kehidupan anda sekeluarga. Sebagai orangtua memang anda mempunyai hak dan kewajiban untuk mengupayakan kesembuhan anak. Sangat dimengerti kalau anda berdua sebagai orangtua mengalami tekanan yang berat karena biaya pengobatan yang sangat besar di luar jangkauan anda. Selain itu kewajiban anda sebagai suami adalah wajib mengusahakan persatuan dengan istri dalam satu rumah.
Perawatan (care) terhadap anak harus dilakukan sampai kapanpun juga karena itu merupakan tugas orangtua yang tidak bisa dihilangkan. Namun dalam usaha menyembuhkan (cure), anda perlu melakukannya dengan kebijaksanaan, melihat situasi dan kondisi serta kemampuan finansial anda (hal ini dijelaskan dalam Pedoman Pastoral Keluarga yang diterbitkan oleh KWI tahun 2011 ini). Seandainya anda sungguh-sungguh tidak mampu secara finansial untuk mengobati penderitaan anak anda, dan satu-satunya jalan adalah menunggu bantuan dari tempat kerja anda, silahkan mengusahakan itu jika anda merasa itulah jalan yang terbaik. Namun, sebaiknya anda bersatu dengan istri dan anak anda, supaya situasi sulit ini bisa anda tanggung dalam kebersamaan sebagai keluarga. Akan sangat lain dampaknya, bila suami-istri berpisah dalam menanggung persoalan sulit seperti ini. Padahal hal- hal semacam inilah yang merupakan hal yang konkrit anda ucapkan ketika menikah: yaitu untuk setia dalam suka maupun duka, untung maupun malang. Kalau saya boleh mengusulkan bersatulah kembali dengan anak dan istri anda dalam keadaan yang sulit seperti ini, supaya anda bisa menanggungnya dalam kebersamaan sambil mengusahakan bantuan yang sedang anda upayakan dari tempat kerja anda. Satu tahun berpisah, bukanlah waktu yang sebentar. Segala usaha dan upaya anda itu harus dilandasi dan didukung dengan doa penyerahan kepada Allah dan mohon belas kasih-Nya.
In amore Sacrae Familiae
Agung P. MSF
Shalom Katolisitas,
Pada perayaan misa minggu kemarin, sebagai seorang katekumen di singapura, saya menjalani dismissal setelah pembacaan Injil, dan beberapa katekumen dan guru pembimbing berkumpul untuk mengulas kembali bacaan pada hari itu.
Bacaan pada hari itu adalah dari Matthew 5: 17 – 37, kami membahas mengenai bagaimana Yesus menjadi pemenuhan dalam hukum Taurat perjanjian lama, sampai tiba-tiba seorang katekumen yang lain membahas mengenai kasus Sr. Margaret McBride yang diekskomunikasi oleh gereja karena mengijinkan aborsi untuk menyelamatkan nyawa sang ibu yang menurut dokter tidak akan terselamatkan apabila si bayi tidak diaborsi karena ibunya mengalami masalah pulmo dan lemah jantung. Saat itu, karena kurang mengetahui ceritanya, saya tidak menaruh perhatian yang berlebih mengenai kasus itu.
Sesampainya dirumah, saya kemudian mensearch di google mengenai Sr. Margaret McBride dan setelah membacanya, saya benar-benar terkejut dengan keputusan yang diambil oleh keuskupan Phoenix terhadap Sr. Margaret, sebagai seorang manusia yang bermoral dan beretika , saya yakin bahwa saya pun akan memilih jalan yang sama dengan Sr. Margaret bila dihadapkan dengan kondisi yang genting seperti itu.
Hal ini menimbulkan keraguan di dalam diri saya, saya menjadi takut dan ragu, lalu saya teringat bahwa katolisitas pernah membahas mengenai mengenai prinsip akibat ganda dalam pengambilna keputusan.
Pertanyaan saya adalah: Mengapa Gereja Katolik mengekskomunikasi Sr. Margaret tetapi seolah nampak membiarkan terjadinya perang salib dan sejumlah pastur yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak, padahal apa yang dilakukan Sr. Margaret adalah demi menyelamatkan sebuah nyawa?
Saya sadar bahwa Gereja terdiri dari orang kudus dan manusia berdosa, sisi duniawi dan sisi ilahi. Tetapi saya benar-benar bingung.
Terima kasih.
Salam dalam Kristus Tuhan,
Nic
Shalom Nic,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang kasus Sr. Margaret McBride yang memberikan kesepakatan terjadinya aborsi di St. Joseph’s hospital, sehingga pada akhirnya dia secara otomatis mengekskomunikasi (latae sententiae excommunication). Secara prinsip, tujuan baik tidak boleh menghalalkan segala cara. Dengan kata lain, dalam kasus ini, ibu dan anak harus dianggap sejajar dan tidak boleh anak dalam kandungan dianggap lebih rendah daripada ibunya, yang dipandang sang bayi kalau perlu dapat dibunuh demi keselamatan sang ibu. Jadi, kalau ada yang sakit, maka bagian yang sakitlah yang harus diobati. Akan dibenarkan kalau dengan memberi pengobatan pada yang sakit kemudian membuat sang bayi meninggal. Jadi, meninggalnya sang bayi bukan dikarenakan tindakan aborsi secara langsung, namun merupakan akibat dari pengobatan yang harus dijalankan. Dengan demikian, dalam proses tersebut tidak ada niatan maupun tindakan untuk membunuh bayi secara langsung. Salah satu prinsip dari akibat ganda adalah efek yang baik terjadi dari perbuatan yang diambil dan bukan efek negatif yang terjadi. Dalam kasus ini, sang ibu selamat karena akibat efek negatif yang terjadi, yaitu dibunuhnya sang bayi dengan sengaja. Dan oleh karena itu, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan.
Tentang pertanyaan-pertanyaan anda yang lain: Tentang perang salib dapat ditelusuri dengan melihat tentang “just war“. Dan tentang penanganan pelecehan seksual, kalaupun kita tidak menyetujui cara menyelesaikannya, namun hal ini tidak dapat memberikan justifikasi terhadap kasus aborsi tersebut. Sama seperti kalau kita mengendarai sepeda motor dan kita ditangkap polisi karena tidak memakai helm, maka kita tidak dapat mengatakan “Mengapa saya ditangkap padahal ada orang yang tidak ditangkap walaupun tidak menggunakan helm?” Kenyataannya adalah kita bersalah.
Rumah sakit tempat Sr. Margaret McBride berkerja akhirnya kehilangan status rumah sakit “katolik”, karena telah melanggar apa yang digariskan sebagai rumah sakit katolik. Pernyataan keuskupan Phoenix berikut ini memperjelas alasan mereka dan sebetulnya uskup mereka telah mengadakan pendekatan selama tujuh tahun untuk memperbaiki situasi di rumah sakit tersebut, sehingga benar-benar menjadi rumah sakit katolik yang berpihak pada kehidupan.
Akhirnya, kita harus melihat bahwa ekskomunikasi adalah merupakan suatu obat, bahwa Gereja ingin mengatakan bahwa apa yang dilakukan adalah salah dan tidak sesuai dengan pengajaran Gereja. Oleh karena itu, bertobatlah dan kembalilah kepada Gereja. Semoga penjelasan ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Saya ingat penjelasan seorang romo. Kesalahan aborsi ialah bahwa : 1. Membunuh orang yang tidak bersalah. Orang yang tak bersalah harusnya dibela, bukan malah disalahkan lalu dibunuh. 2. Membunuh manusia yang lemah tak bisa membela diri. Orang lemah harusnya dilindungi, bukan malah dibunuh. Dalam perang ada moralnya, misalnya dilarang membunuh musuh yang sudah menyerah dan tak berdaya. Dalam kasus pedofilia, si korban pun secara moral masih bisa membela diri mengatakan yang benar di pengadilan. Namun aborsi sangat keji karena tak ada hewan yang mengaborsi janin dan korbannya tak lemah dan tak bersalah. Ajaran moral memerintahkan membela yang tak bersalah dan melindungi yang lemah. Begitulah yang saya dengar ketika ada ceramah di Semarang. Saya dengar Pak Stef dan Bu Ingrid mau ke Semarang bersama Rm Dwi Harsanto pada Pekan Suci. Selamat datang, saya akan ikut jumpa darat. Salam dari Keuskupan Agung Semarang: Isa Inigo.
Shalom Isa Inigo,
Terima kasih atas tanggapannya. Untuk kasus aborsi, katolisitas mempunyai dua artikel, yaitu mengapa aborsi itu dosa – silakan klik dan kekejaman aborsi – klik ini. Memang kami menerima undangan untuk datang ke Semarang dan saat ini masih dalam pembicaraan. Semoga saja semua rencana dan acara dapat berjalan dengan baik. Mohon doanya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Ijinkan saya untuk bertanya, apakah pacifist itu? yg saya tahu pacifist itu orang yg tidak suka berkelahi/ berperang, benarkah pengertian saya ini? apakah Yesus mengajarkan mjd pacifist?
terima kasih atas jawabannya.
Shalom Andre,
Terima kasih atas pertanyaannya. Definisi dari kata "pacific" adalah "1. Peace-making; conciliatory; suited to make or restore peace; adapted to reconcile differences; mild; appeasing; as, to offer pacific propositions to a belligerent power. The measures proposed are in their nature pacific." Kata ini dari bahasa Latin "pācificus" yang berarti "peacemaking". Kalau kita mau menghubungkan dengan ajaran Yesus, kita mengingat apa yang dikatakan oleh Yesus dalam delapan sabda bahagia, yaitu "Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah." (Mt. 5:9). Berikut ini adalah kutipan dari beberapa Bapa Gereja seperti yang dituliskan oleh StSt. Thomas Aquinas dalam bukunya Catena Aurea.
Ambrose: When you have made your inward parts clean from every spot of sin, that dissentions and contentions may not proceed from your temper, begin peace within yourself, that so you may extend it to others.
Aug., City of God, book 19, ch. 13: Peace is the fixedness of order; by order, I mean an arrangement of things like and unlike giving to each its own place. And as there is no man who would not willingly have joy, so is there no man who would not have peace; since even those who go to war desire nothing more than by war to come to a glorious peace.
Jerome: The peacemakers [margin note: pacifici] are pronounced blessed, they namely who make peace first within their own hearts, then between brethren at variance. For what avails it to make peace between others, while in your own heart are wars of rebellious vices.
Aug., Serm. in Mont., i, 2: The peacemakers within themselves are they who having stilled all disturbances of their spirits, having subjected them to reason, have overcome their carnal desires, and become the kingdom of God. There all things are so disposed, that that which is most chief and excellent in man, governs those parts which we have in common with the brutes, though they struggle against it; nay even that in man which is excellent is subjected to a yet greater, namely, the very Truth, the Son of God. For it would not be able to govern what is inferior to it, if it were not subject to what is above it. And this is the peace which is given on earth to men of good will.
Aug., Retract., i, 19: No man can attain in this life that there be not in his members a law resisting the law of his mind. But the peacemakers attain thus far by overcoming the lusts of the flesh, that in time they come to a most perfect peace.
Pseudo-Chrys.: The peacemakers with others are not only those who reconcile enemies, but those who unmindful of wrongs cultivate peace. That peace only is blessed which is lodged in the heart, and does not consist only in words. And they who love peace, they are the sons of peace.
Hilary: The blessedness of the peacemakers is the reward of adoption, "they shall be called the sons of God." For God is our common parent, and no other way can we pass into His family than by living in brotherly love together.
Chrys.: Or, if the peacemakers are they who do not contend one with another, but reconcile those that are at strife, they are rightly called the sons of God, seeing this was the chief employment of the Only-begotten Son, to reconcile things separated, to give peace to things at war.
Aug.: Or, because peace is then perfect when there is no where any opposition, the peacemakers are called the sons of God, because nothing resists God, and the children ought to bear the likeness of their Father.
Gloss. ap. Anselm: The peacemakers have thus the place of highest honour, inasmuch as he who is called the king’s son, is the highest in the king’s house. This beatitude is placed the seventh in order, because in the sabbath shall be given the repose of true peace, the six ages being passed away.
Semoga jawaban ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Syalom katolisitas.
Saya mau tanya, apakah Gereja memperbolehkan operasi cesar? Misal untuk tanggal lahir cantik atau dgn alasan keselamatan ibu atau bayi.
Trims.
Shalom Ndro,
Terima kasih atas pertanyaannya apakah boleh untuk operasi caesar dengan alasan mendapatkan tanggal lahir cantik atau keselamatan ibu/bayi. Secara prinsip, perbuatan moral yang baik harus memenuhi tiga kriteria, yaitu: 1) obyek moral (moral object), 2) maksud (intention), 3) keadaan (circumstances). Obyek moral dari operasi caesar adalah baik, karena untuk menolong. Keadaan dari ibu/bayi yang membutuhkan operasi caesar adalah tidak salah dan maksud untuk menyelamatkan bayi dan ibu adalah sesuatu yang baik. Jadi, dengan alasan untuk keselamatan bayi/ibu, sehingga mengambil jalan operasi caesar adalah tindakan moral yang baik. Dalam kasus operasi caesar untuk mendapatkan tanggal cantik, maka keadaan dan terutama intensi adalah sesuatu yang perlu dipertanyakan. Kalau maksud dari operasi ini adalah hanya untuk mendapatkan tanggal cantik padahal keadaan ibu dan bayi memungkinkan melahirkan secara normal, maka orang ini harus berhati-hati terhadap sikap yang mempunyai kecenderungan tahyul – kalau tanggal cantik tersebut dihubungkan dengan keberuntungan, dll. Menurut saya, kalau memang dapat melahirkan normal dan memungkinkan bagi ibu dan bayi, maka alangkah baiknya jika semua proses melahirkan juga dapat berjalan dengan normal. Semoga keterangan ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Saya ingin bertanya :
Saat ini saya dan istri sedang berada didalam situasi dan posisi yang sedang bingung, karena diketahui pada saat ini istri saya sedang hamil dengan masa kehamilan 6 minggu (istilahnya : kebobolan – karena tidak diprogram), adapun hal yang membuat kami bingung adalah bahwa kehamilan istri saya ini merupakan kehamilan dengan resiko tinggi (menurut konsultasi dari dokter) dikarenakan jarak kehamilan anak ke – 3 kurang lebih 4 bulan dari kelahiran anak kami yang ke – 2, sebelumnya perlu diketahui bahwa proses kelahiran kedua anak kami yaitu dengan operasi (caesar).
Dari hasil konsultasi kami dengan dokter, kami mengambil kesimpulan bahwa dokter menyarankan untuk menunda kehamilan yang ke – 3 ini dikarenakan secara medik ini merupakan kondisi dimana kehamilan tersebut memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap keselamatan Ibu dan bayi nantinya, walaupun pada akhirnya dokter mengembalikan semua keputusan kepada kami berdua, dasar dari dokter untuk menunda kehamilan ini yaitu ada beberapa hal yaitu :
1. Anak kami sudah 2 dan sudah lengkap Laki-laki dan perempuan.
2. Kehamilan anak ke – 3 sangat dekat jaraknya dengan kelahiran anak ke – 2 yaitu kurang lebih 4 bulan, yang menurut teori medik minimal 1 tahun.
3. Masa kehamilan dengan umur 6 minggu masih merupakan masa pembentukan kantung didalam rahim dan belum ada embrio yang bakal jadi calon bayi (masih dalam proses), atas hal tersebut dokter memberikan statementnya bahwa Dia masih mau untuk melakukan tindakan menunda kehamilan tersebut, tetapi apabila umur kehamilan sudah 8 minggu yaitu dimana sudah ada embrio didalam kantung tersebut maka dokter tidak mau untuk melakukan tindakan penundaan kehamilan.
Selanjutnya, setelah kami berkonsultasi dengan dokter, hal ini juga kami bicarakan dengan keluarga (orang tua dan kakak/adik) untuk dapat memberikan saran/pertimbangan kepada kami berdua, dari hasil pembicaraan dengan keluarga terdapat pro – kontra untuk melanjutkan kehamilan tersebut atau tidak, walaupun terlihat lebih banyak yang memilih untuk menunda kehamilan tersebut dikarena resiko yang akan dihadapi dan juga perhatian tumbuh kembang terhadap kedua anak kami ditakutkan nantinya akan terganggu.
Dan, di internal pembicaraan kami berdua selaku suami istri, terus terang saya selaku suami walaupun terasa berat, lebih condong untuk menunda kehamilan tersebut dengan dasar hasil dari konsultasi dokter dan juga saran dan nasihat dari keluarga untuk menunda kehamilan tersebut untuk dapat mempersiapkan kehamilan anak yang ke – 3 dengan kondisi yang lebih baik dan lebih aman, sedangkan istri lebih condong untuk mempertahankannya dengan alasan bahwa apabila tindakan yang dilakukan adalah menunda kehamilan tersebut itu sama saja dengan melakukan perbuatan yang dilarang agama (berdosa).
Oleh karena itu, kepada pengasuh situs katolisitas ini, dari apa yang sudah saya jabarkan mulai dari awal hingga akhir, kami mohon sarannya agar kami dapat menetapkan hati didalam mengambil keputusan tanpa ada perasaan mengganjal.
Demikian kami sampaikan, atas tanggapannya kami ucapkan terima kasih. Tuhan memberkati kita semua.
Shalom Rudianto,
Pada dasarnya harus dipahami terlebih dahulu, bahwa janin yang sekarang ada dalam kandungan istri anda adalah seorang manusia, dan jika anda mengakhiri kehamilan istri anda (istilah anda ‘menunda kehamilan’ istri), maka anda sebenarnya membunuh anak anda sendiri. Mohon maaf atas kalimat ini yang terdengar sangat keras, namun memang inilah kenyataannya. Gereja Katolik mengajarkan, sama seperti yang diajarkan oleh ilmu pengetahuan, bahwa manusia terbentuk pada saat bersatunya sel sperma ayah dan sel telur ibu, dan bersamaan dengan persatuan sel (terbentuknya zigote) inilah Tuhan menciptakan jiwa mahluk yang baru itu. Apa yang bakal menjadi manusia itu sudah berupa manusia, dan janganlah kita menganggapnya sebagai bukan manusia.
Silakan anda membaca artikel tentang aborsi: Mengapa aborsi itu dosa, klik di sini dan Kekejaman aborsi, klik di sini, dan temukan di sana ajaran Gereja Katolik tentang topik ini.
Jadi dalam hal ini istri anda benar, bahwa jika anda memutuskan untuk mengakhiri kehamilan itu, maka sungguh perbuatan tersebut tidak berkenan di hadapan Tuhan. Dokter anda dapat mengatakan sesuatu yang lain, namun kita berpegang kepada ajaran ilahi, yang diajarkan oleh Gereja Katolik.
Memang, pendapat umum di bidang kedokteran, menyatakan bahwa umumnya jarak minimal yang dianjurkan antara satu kelahiran dengan operasi caesar dengan kelahiran berikutnya adalah 18 bulan. Namun pada kenyataannya, ada juga ibu- ibu yang melahirkan anak yang kedua dengan jarak lebih pendek dari 18 bulan dari kelahiran anak pertama; dan tidak apa-apa. Berikut ini saya cut and paste dari sebuah artikel di internet, yang berjudul “How long should I wait before conceiving again after a c-section?“, yang ditulis oleh seorang ahli kandungan Bruce Flamm. Ada sebuah paragraf di sana yang mengatakan:
“… if you do get pregnant less than 18 months after a c-section, don’t panic. Taking at least an 18-month break between births is a guideline designed to reduce your risk of complications, but many women get pregnant sooner and do just fine. In fact, if you’re in your late 30s, it might make more sense to begin trying to conceive nine to 12 months after having a c-section.”
Jadi memang harus diakui ada resikonya, dengan jarak kelahiran sekitar 13 bulan (pada kasus istri anda), namun harap dipahami bahwa jarak ini bukan ‘kartu mati’ seolah pasti resiko itu terjadi pada istri anda. Di Amerika, bahkan jarak 9-12 bulan tersebut masih dapat diterima. Memang kemudian ada hal- hal yang harus diperhatikan, misalnya, mengusahakan agar kehamilan tidak sampai terlalu besar (misal harus menghindari minum es ataupun makanan lain yang terlalu banyak mengandung gula dan fat); dan kemudian menjadwalkan operasi caesar lebih dini (sekitar 2 minggu lebih awal) dari waktu kelahiran normal, atau hal- hal lain yang dapat anda diskusikan dengan dokter spesialis kandungan anda.
Selebihnya, silakan anda dan istri membawa hal ini dalam doa. Sungguh- sungguh berdoa memohon perlindungan Tuhan. Memang soal kehidupan dan kematian ada di tangan Tuhan, namun berbahagialah kita jika menaati segala sesuatunya sesuai dengan perintah-Nya, agar kita dapat menjalani kehidupan ini dengan hati nurani yang bersih, tanpa mendahulukan kehendak dan pemikiran kita sendiri.
Doa saya yang setulusnya, agar anda dan istri dapat memutuskan yang terbaik, seturut dengan kehendak Tuhan. Mazmur 37:5, mengatakan: Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya dan Ia akan bertindak.” Semoga ayat ini berbicara kepada anda dan istri anda, sehingga anda sekeluarga dapat dengan lapang menyerahkan kehidupan istri dan anak anda yang dikandungnya ke dalam tangan Allah. Percayalah bahwa Allah akan bertindak, untuk memberikan yang terbaik bagi anda sekeluarga.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Ingrid,
Terima kasih atas jawabannya dan saya terima pernyataan anda tentang bahwa saya membunuh anak saya sendiri….hanya saja mohon dimengerti bahwa alasan saya untuk menunda kehamilan tersebut dan sepertinya ada sedikit kesalahpahaman tentang informasi yang saya berikan hal ini terlihat dari jawaban Ibu Ingrid karena Ibu memberikan contoh kasus yang tidak sama dengan apa yang saya (kami) alami, jadi perlu saya perjelas sekali lagi disini dan saya tetap masih mengharapkan masukkannya.
1. Kehamilan istri saya yang sekarang ini adalah kehamilan anak ke – 3, perlu diketahui sebelumnya bahwa anak kami sekarang ini sudah 2 (Laki-laki dan perempuan), dan kedua-duanya lahir melalui proses operasi (caesar), jarak antara kelahiran anak ke – 1 dengan ke – 2 itu kurang lebih 2 tahun dan itu tidak masalah bagi saya karena memang begitu idealnya, namun untuk kehamilan yang ke – 3 ini, jaraknya adalah kurang dari 4 bulan (kalau menurut hitungan dari masa haid istri saya) dari waktu kelahiran anak saya yang ke – 2, dan hal ini merupakan kehamilan resiko tinggi menurut konsultasi dengan dokter.
2. Apakah saya tetap harus mengambil resikonya terlebih dahulu yang saya tidak tahu nanti resiko yang terjadi terhadap istri dan anak saya nantinya seburuk apa, baru kemudian nanti kalau memang terjadi hal-hal yang tidak diinginkan baru diambil langkah untuk mengeluarkan bayinya..?? atau diambil langkah sedari dini (sesuai saran dokter) untuk menghindari resiko paling tidak terhadap istri saya.
Terima kasih, mohon pencerahannya. Tuhan Memberkati kita semua.
Salam.
Shalom Rudianto,
Saya bukan dokter kandungan, sehingga memang saran yang saya sampaikan tidak dari sisi kedokteran, tetapi dari segi moral, yaitu berdasarkan ajaran Gereja Katolik.
Menanggapi kasus anda, saya mengakui bahwa dapat saja kehamilan berikutnya setelah c- section memang mempunyai resiko. Inipun diakui oleh artikel yang saya kutip tersebut. Jadi perihal jarak yang lebih kecil dari 18 bulan antara anak ke-1 dan ke-2 atau ke-2 dengan ke-3 atau anak ke-3 dan ke-4 tentu sama- sama mempunyai resiko. Apakah resikonya lebih besar antara anak ke-2 dan ke-3 jika dibanding dengan anak ke-1 dan ke-2, apabila jarak 18 bulan tersebut dilanggar? Itu memerlukan studi tersendiri secara medis, dan ini bukan bidang keahlian saya, saya mohon maaf.
Tetapi, saya hanya ingin menyatakan saja secara prinsip bahwa secara moral, pengguguran kandungan dengan alasan ‘ada resiko bagi ibu untuk melahirkannya’, itu tidak dapat dibenarkan secara moral.
1. Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya Humanae Vitae mengajarkan dengan jelas demikian:
” Therefore We base Our words on the first principles of a human and Christian doctrine of marriage when We are obliged once more to declare that the direct interruption of the generative process already begun and, above all, all direct abortion, even for therapeutic reasons, are to be absolutely excluded as lawful means of regulating the number of children. (14) Equally to be condemned, as the magisterium of the Church has affirmed on many occasions, is direct sterilization, whether of the man or of the woman, whether permanent or temporary. (15)
Berikut ini terjemahan yang dicetak tebal:
” … Kami wajib menegaskan sekali lagi untuk menyatakan bahwa pemutusan secara langsung proses kehidupan yang telah dimulai dan di atas semua itu, semua tindakan penguguran langsung, bahkan untuk alasan- alasan terapis (mengobati), adalah secara mutlak tidak termasuk dalam cara- cara yang dapat diterima secara hukum untuk mengatur jumlah anak- anak.”
2. Selanjutnya, Katekismus Gereja Katolik dengan jelas menyebutkan demikian:
KGK 2272 Keterlibatan aktif dalam suatu abortus adalah suatu pelanggaran berat. Gereja menghukum pelanggaran melawan kehidupan manusia ini dengan hukuman Gereja ialah ekskomunikasi. “Barang siapa yang melakukan pengguguran kandungan dan berhasil terkena ekskomunikasi” (CIC, can. 1398), “(ekskomunikasi itu) terjadi dengan sendirinya, kalau pelanggaran dilaksanakan” (CIC, can. 1314) menurut syarat-syarat yang ditentukan di dalam hukum (Bdk CIC, cann 1323-1324). Dengan itu, Gereja tidak bermaksud membatasi belas kasihan; tetapi ia menunjukkan dengan tegas bobot kejahatan yang dilakukan, dan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi, yang terjadi bagi anak yang dibunuh tanpa kesalahan, bagi orang-tuanya dan seluruh masyarakat.
Dengan demikian, dalam kasus anda, apapun alasannya, penguguran yang dilakukan secara langsung terhadap janin yang dikandung istri anda sekarang, tidak dapat dibenarkan secara moral.
Nah, jika suatu saat nanti dalam perjalanan kehamilan ternyata ada kejadian/ resiko yang tidak baik terjadi pada diri istri anda, sehingga diambil tindakan untuk menyelamatkan dia, lalu efeknya secara tidak langsung berpengaruh pada kelangsungan hidup anak yang dikandungnya itu, maka itu tidak merupakan tindakan yang melanggar moral. Karena tindakan yang dilakukan adalah demi menyelamatkan nyawa sang ibu, dan bukan secara langsung ingin mengakhiri nyawa sang anak. Mohon dipahami, hal ini lain sekali dengan upaya menggugurkan anak anda itu secara langsung sekarang ini, karena alasan resiko bagi ibunya, yang sejujurnya belum tentu terjadi pada istri anda. Pada tindakan yang pertama (membiarkan janin tumbuh semestinya), sang janin diberi kesempatan tumbuh sebagai manusia, dan kemudian diusahakan agar dapat lahir tanpa membahayakan keselamatan ibunya. Jika kemudian ada resiko yang tak terhindari, dan pada saat ingin menyelamatkan sang ibu dan anak, ternyata anak itu (maaf) meninggal dunia, maka dalam hal ini tindakan itu bukan tindakan pengguguran.
Demikian mohon dipahami esensinya dari segi moral. Mohon maaf jika dalam penyampaiannya, saya menggunakan kata- kata yang kurang pas bagi anda. Saya hanya berusaha memaparkan apa yang menjadi pengajaran Gereja Katolik, yang menjunjung tinggi kehidupan manusia dari saat terbentuknya (yaitu sejak konsepsi: persatuan sel telur dan sperma) sampai kematian yang wajar. Semoga ajaran ini membuka mata hati anda dan istri untuk menentukan langkah selanjutnya, walaupun nyawa menjadi taruhannya. Sebab jika anda dan istri melakukannya, maka kesaksian hidup anda berdua sungguh berbicara lebih lantang daripada khotbah apapun tentang ketaatan iman, sebab iman itu telah dinyatakan dalam perbuatan (Yak 2:24, 26) dan inilah yang disebut sebagai iman yang hidup dan menyelamatkan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Ibu Ingrid,
Sekali lagi terima kasih atas kesediaannya memberikan penjelasan kepada saya.
Sedikit saya mengutip kalimat dari Ibu Ingrid :
Menanggapi kasus anda, saya mengakui bahwa dapat saja kehamilan berikutnya setelah c- section memang mempunyai resiko. Inipun diakui oleh artikel yang saya kutip tersebut. Jadi perihal jarak yang lebih kecil dari 18 bulan antara anak ke-1 dan ke-2 atau ke-2 dengan ke-3 atau anak ke-3 dan ke-4 tentu sama- sama mempunyai resiko. Apakah resikonya lebih besar antara anak ke-2 dan ke-3 jika dibanding dengan anak ke-1 dan ke-2, apabila jarak 18 bulan tersebut dilanggar? Itu memerlukan studi tersendiri secara medis, dan ini bukan bidang keahlian saya, saya mohon maaf.
atas pernyataan dan pertanyaan Ibu Ingrid diatas, yaitu : Apakah resikonya lebih besar antara anak ke-2 dan ke-3 jika dibanding dengan anak ke-1 dan ke-2, apabila jarak 18 bulan tersebut dilanggar ? kalau boleh saya menjawab…jawabannya yaitu : Iya..resikonya lebih besar dan resiko yang dihadapi adalah akan terjadinya Ruptur Uteri (Robeknya Rahim) dokter menyatakan 70% resiko tsb dapat terjadi, dan apabila hal ini terjadi maka taruhannya adalah 2 nyawa yaitu Ibu dan Anak karena apabila terlambat membawa ke Rumah Sakit untuk dioperasi maka nyawa Ibu taruhannya dan untuk si Anak sudah pasti tidak dapat tertolong karena begitu rahim robek maka terjadi interaksi si Anak dengan dunia luar (oksigen) – jawaban ini saya dapatkan dari konsultasi dengan dokter kandungan yang saya datangi dan berikut coba saya kutipkan sebuah tulisan dari internet : Ibu yang melahirkan bayi dengan seksio juga dianjurkan untuk tidak mengandung kembali kurang dari 18 bulan dari tindakan seksio, karena mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya robekan rahim, seperti menurut analisa Dr. Thomas D. Shipp dari Sekolah Kedokteran Harvard di Boston – Massachusetts, AS bersama rekan-rekannya. Menurut mereka, perempuan yang melahirkan kembali dalam kurun waktu 18 bulan setelah operasi caesar, kemungkinan rahimnya robek (ruptur uteri) adalah sebesar tiga kali lipat dibandingkan mereka yang menunggu lebih lama sebelum melahirkan kembali. Hal ini karena belum selesainya penyembuhan luka rahim karena operasi seksio pertama. (http://mediasehat.com/tanyajawab490).
Atas dasar penjelasan dari dokter kandungan yang saya temui dan juga informasi-informasi dari internet itulah maka saya menganjurkan kepada istri saya untuk menunda kehamilannya.
Setelah mengetahui informasi tersebutlah makanya saya merasa sangat bingung, karena ada 2 pilihan :
1. Kehamilan ditunda berdasarkan konsultasi dan informasi dari Dokter, atau..
2. Tetap melanjutkan kehamilan tersebut sesuai dengan aturan agama dengan prinsip apapun resikonya.
Demikian saya sampaikan Ibu Ingrid, saya masih sangat mengharapkan masukkannya kalau Ibu Ingrid tidak berkeberatan, karena dari jawaban diatas (maaf..saya kurang begitu puas) Ibu Ingrid hanya menjawab dari satu sisi saja yaitu dari Segi Moral menurut agama dengan alasan bahwa Ibu Ingrid tidak mengetahui resiko kehamilan setelah operasi caesar dengan jarak dibawah 18 bulan (apalagi ini istri saya hanya berjarak kurang lebih 4 bulan), padahal saya harus menentukan sikap berdasarkan 2 pilihan.
Tuhan Memberkati kita semua.
Salam.
Note : Hal ini terjadi (kehamilan yang berjarak sangat dekat setelah operasi caesar) dikarenakan karena kami tidak KB, mengapa kami tidak KB karena berdasarkan ilmu yang kami dapatkan sewaktu Kursus Pernikahan (KP), kami mencoba menggunakan KB kalender sesuai anjuran pembimbing di KP dan itu berhasil untuk anak ke – 1 ke anak yang ke – 2, dan sampai saat ini kami mencoba untuk mengikuti dan menerapkan nilai-nilai agama didalam keluarga kami, oleh karenanya saya dan juga istri saya saat ini berada dalam situasi yang sangat bingung dan kami tidak ingin untuk salah dalam mengambil keputusan.
Shalom Rudianto,
Memang situasi yang anda hadapi tidak mudah, dan karena itu, anda perlu memohon pimpinan Tuhan. Hal keputusan memang sepenuhnya adalah milik anda dan istri, dan saya di sini tidak dapat memutuskannya untuk anda. Sekali lagi, saya hanya dapat memberi masukan dari sisi moral, berdasarkan ajaran Gereja Katolik. Sedangkan harus saya akui saya tidak mendalami alasan kedokteran, sebab apa yang saya ketahui tentang sisi kedokteran tentang hal ini kurang lebih sama dengan yang anda ketahui.
Dari informasi yang saya baca, memang ada resikonya bagi kasus kehamilan beberapa kali c-section (seksio). Namun ada juga fakta dari artikel lainnya yang menunjukkan bahwa kelahiran anak sampai 9 orang dengan c-section berturut- turut dengan jarak sekitar 2 tahun juga memungkinkan. Silakan klik di sini untuk membaca salah satu kisah tersebut; salah satunya jarak kelahiran anaknya juga 13 bulan. Itulah sebabnya saya mengatakan bahwa hal prosentase resiko melahirkan dengan c-section yang berturut- turut juga mungkin perlu diteliti lebih lanjut, apakah memang benar demikian. Sayangnya ini bukan bidang keahlian saya.
Dari internet, kita ketahui tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat seksio yang dilakukan lebih dari satu kali, yang umum adalah 1) ruptur uterus, dan 2) placentia accreta.
1. Tentang Ruptur uterus, menurut Wikipedia, resikonya adalah sekitar 52%, akibat operasi seksio yang diadakan sebelumnya:
“A uterine scar from a previous cesarean section is the most common risk factor. (In one review, 52% had previous cesarean scars.) Other forms of uterine surgery that result in full-thickness incisions (such as a myomectomy), dysfunctional labor, labor augmentation by oxytocin or prostaglandin, and high parity may also set the stage for uterine rupture. In 2006, an extremely rare case of uterine rupture in a first pregnancy with no risk factors was reported.”
2. Placenta Accreta; resiko dari keadaan placentia accreta ini hanya sekitar 2% pada wanita yang melahirkan dengan 4 kali seksio, demikian kutipannya, silakan klik di sini selengkapnya:
The most commonly seen complication with repeat C-sections in the newly reported study was attachment of the placenta too deeply into the uterine wall, a potentially life-threatening condition called placenta accreta.
Scar tissue that forms following a first surgical delivery increases the risk for placenta accreta with subsequent pregnancies. Just 0.31% of the women in the study delivering by C-section for the second time developed the condition, compared with 2.13% of women who had a fourth surgical birth and 6.74% of women who had six or more cesarean deliveries.
Emergency hysterectomies at delivery were required in just 0.42% of women having their second cesarean delivery, compared with 2.41% of women having their fourth and 8.99% of women having their sixth or more.
Dari sini, kita ketahui bahwa 1) angka prosentase ruptur uterus itu masih bervariasi, tergantung dari sang peneliti (ada yang mengatakan 50 % seperti di wikipedia, ada yang 70 % seperti kata dokter anda). Saya tidak dalam kapasitas untuk melakukan penyelidikan secara menyeluruh tentang angka mana yang lebih akurat; 2) resiko lain yaitu placenta accreta, prosentase-nya sekitar 2%, itupun pada operasi seksio ke-4.
Ini sekedar informasi saja, yang tidak mengubah posisi Gereja Katolik dalam menanggapi masalah yang sedang anda hadapi:
1. Gereja Katolik tetap tidak dapat menganggap pengguguran yang disengaja sebagai alternatif yang dapat dibenarkan secara moral.
2. Jika hal itu dilakukan istilahnya bukan menunda kehamilan istri tetapi (maaf) membunuh anak dalam kandungan istri anda. Istilah ‘menunda kehamilan’ hanya dapat digunakan jika kehamilan belum terjadi; tetapi jika sudah terjadi kehamilan seperti yang terjadi pada kasus istri anda, istilah itu tidak dapat digunakan.
Jadi Gereja Katolik tetap melihat, walaupun ada resiko, tetap ada kemungkinan baik ibu maupun anak dapat diselamatkan (entah 50% entah 30%), sehingga dalam kondisi ini resiko tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan penguguran anak dalam kandungan istri anda. Sebab yang namanya resiko, artinya, tetap ada kemungkinan bahwa hal itu tidak terjadi. Dalam hal ini iman anda diuji, apakah anda bersedia memutuskan segala sesuatunya sesuai dengan perintah Tuhan, ataukah anda menggantungkan kepada perkiraan dan kekuatiran manusia.
Selanjutnya, untuk kedepan-nya, silakan menggunakan sistem KB Alamiah dengan metoda Creighton, sehingga lebih akurat. Silakan mempelajari metoda ini, seperti yang dapat anda baca di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Ibu Ingrid,
Terima kasih atas penjelasan dan pencerahannya.
Saya mengharapkan bantuan doanya agar saya dan istri saya dapat mengambil keputusan yang terbaik dalam hal ini.
Tuhan memberkati kita semua. Amin
Salam.
Beste Bpk Rudianto,
Saya punya pengalaman iman yang sama, walaupun berbeda kasus. Anak pertama dan satu-satunya kami, Emmanuel lahir pada waktu saya berusia 37 tahun. Kami beda 6hari, Emmanuel lahir lebih dahulu dari tanggal lahir saya. Sejak sebelum konsepsi kami sudah memutuskan, bila toch diberi anak maka ia akan bernama Emmanuel (laki-laki) atau Emmanuelle (perempuan). Demikianlah sedari kami tahu bahwa janin ini laki-laki, maka ia selalu dipanggil Emmanuel.
Pada waktu saya hamil Emmanuel, saya dihadapkan pada situasi dimana saya harus memilih. Kami tinggal di Belanda dan di sini ada saran yang sangat dianjurkan walaupun tidak wajib, untuk menjalankan penelitian janin sebelum kelahiran dengan tujuan mengurangi risiko lahir cacad. Dari dokter kandungan saya diberi brosur untuk di rumah dibaca dan dipelajari secara seksama, penelitian apa yang sebaiknya kita jalani: Combinatie test, Flokken test (pengambilan keping tali pusar, lewat jalan lahir) dan Vruchtwaterpunctie (pengambilan cairan ketuban lewat pusar ibu). Tentu yang mengandung risiko keguguran serendah mungkin. Saya terus berdoa sambil bertanya-tanya kiri dan kanan tentang pengambilan keputusan itu. Saya bergumul dengan pertanyaan iman:
1. sejauh mana segala macam penelitian itu berpengaruh terhadap nasib janin Emmanuel.
2. Apakah saya harus mengorbankan anak demi pengetahuan ilmu kandungan?
Akhirnya saya memilih kombinasi test, suatu test yang terdiri dari test darah di minggu ke-9 dan USG di minggu ke-12. Dari hasil test itu ternyata diperhitungkan Emmanuel mempunyai risiko tinggi terhadap Down Syndrom.
Lalu timbul pertanyaan lanjutan: akan diapakan janin yang berisiko tinggi terhadap Down Syndrom? Digugurkan? bukan pilihan kita sebagai umat Katholiek.
Dilanjutkan? apakah kami sanggup membesarkan seorang anak yang membutuhkan perhatian extra?
Saya tak bisa terima kenyataan ini. Saya merasa sehat sekali. Keluarga dan keturunan ga ada yang punya cacat mental bawaan, juga dari pihak suami. Saya menghubungi pastoor untuk berkonsultasi dan minta keteguhan iman. saat itu saya merasa goyah, tapi saya harus tegar. saya merasa bahwa sayalah sandaran hidup Emmanuel. Dia bertumbuh-kembang di dalam saya. Suami saya walaupun diam dan seakan meragukan keteguhan saya, tapi tetap menunjukkan support terhadap saya. Kami sama-sama menghadap pastoor dan berdiskusi mengenai pengambilan keputusan membesarkan Emmanuel seberapapun risikonya terhadap Down Syndrom. Setelah lama berbincang-bincang, akhirnya pastoor kami mengakui bahwa iman saya lebih kuat daripada iman suami yang diam tapi ragu terhadap masa depan anak kami.
Keluarga besar saya pada mulanya ragu akan keteguhan saya mempertahankan Emmanuel. Demikian pula keluarga dari pihak suami yang kebanyakan dari kalangan medis, mereka sangat meragukan kesehatan jiwa dan mental Emmanuel setelah melihat hasil combinatie test tersebut. Namun saya berprinsip: bila Tuhan yang mencipta dan memberi awal yang baik, maka akan berakhir dengan baik pula. jadi saya katakan pada ayah saya dan familie suami, bila ada yang mendukung saya dengan doa dan hal positif, akan saya dengarkan. Tapi kalau menelpon hanya untuk meminta saya mempertimbangkan lagi, sebaiknya tak usah repot menelpon saya. Akhirnya keluarga suami pasrah dengan keputusan dan ketegaran saya tersebut.
Selain menghubungi pastoor, saya juga ikut pendalaman iman yang kebetulan diadakan di paroki kami. Hal ini tidak pernah terjadi. Pendalaman iman itu dibagi dalam 7 sessie, antara lain “Tuhan baik”. Kita diajak melihat film tentang kesaksian dari thema hari itu, diajak membaca suatu bacaan injil dan membagikan pengalaman iman kita berdasarkan bacaan injil barusan. Dari pendalaman iman ini membuat saya semakin teguh, bahwa Tuhan selalu beserta saya, walaupun saya bimbang apakah Emmanuel sehat seperti feeling saya sebagai ibu.
Pada tgl 24 oktober 2008 Emmanuel lahir lewat operasi cesar karena pembukaan saya tak lebih dari 4 cm selama 13 jam, pun setelah diinduksi dan diberi obat penahan sakit. sewaktu dokter mengangkatnya dari balik kain penutup operasi, dia menangis (reaksi wajar seorang bayi baru lahir). Lalu kami memanggil namanya: Emmanuel … Emmanuel … Tiba-tiba tangisnya terhenti. Ia mendengar namanya dipanggil. Dokter dan semua perawat tertawa melihatnya. Ya, Emmanuel tahu dia adalah harapan dan kesayangan kami. Ia lahir normal, sehat jiwa – raga – roh, sesuai dengan doa permintaan saya sepanjang waktu sedari Tuhan menciptakannya di dalam rahimku.
Akhir kata, keyakinan dan keteguhan istri anda patut dipuji dan sebaiknya disupport dengan cara berdoa bersama dan banyak komunikasi dengan sang janin. Yakinkan diri bahwa Tuhan tidak secara sengaja menciptakan anak ke-3 lalu berdiam diri melihat kegusaran kalian. Justru kesulitan kecil akan terasa besar karena iman yang goyah. Apapun pertimbangan medis, itu hanya perhitungan manusia. Pengetahuan rohani dari ibu Inggrid bukan semata dikarang manusia, melainkan diilhami oleh Roh Kudus, roh yang menguatkan dan meneguhkan kita. Jadi, sebaiknya dilihat dan ditimbang dengan mata iman, bukan cuma dari mata iman.
Tuhan mendengarkan doa orang yang berkenan kepada-Nya.
God Bless you both.
F Trisbiantara
Yth. Romo Wanta,
Saya ingin bertanya : Berdosakah kita, jika berpura-pura untuk menjaga agar perasaan orang lain tidak terluka? Sekalipun hal itu sebenarnya bertentangan dengan prinsip, perasaan dan akal budi kita?
Persoalannya adalah sebagai berikut :
Kemaren (3/9) saya menemui seorang sahabat yang mengundang saya untuk doa bersama, hanya dia dan saya. Dulu, kami memang cukup sering melakukan hal itu di sela-sela kesibukan kerja kami. Tetapi tidak lagi sejak pertengahan tahun 2008, karena saya tidak bekerja lagi ditempat yang sama dengannya. Walaupun demikian, kami masih sering berbicara lewat telpon, saling menguatkan, jika salah satu kami “curhat” . Terakhir kami kontak, bulan April 2010. Ia anggota GKI dan saya Katolik. Sebelumnya ia beragama Hindu dan dibaptis di GKI tahun 2000. (saat itu kami diam berlainan kota, dan saya sudah bersahabat dengannya sejak pertama bertemu tahun 1996). Proses ia beralih agama, tidak ada hubungannya dengan saya. Saya bekerja sekantor dengannya mulai tahun 2001.
Begitulah, saya menemuinya kemaren atas undangannya. Tetapi doa bersama kali ini berbeda dari sebelumnya. Ketika saya tiba ia menyambut saya, dan telah menyediakan minyak urapan. roti hosti serta minuman merah dalam kemasan kecil. Ia langsung memberikan tanda salib didahi saya, memegang tangan saya dan mengoleskan minyak urapan tersebut, sembari “berdoa” atau “berbicara” saya tak dapat membedakannya .Saya dipenuhi pikiran : “Astaga, ia tampaknya telah beralih ke denominasi lain, bukan GKI lagi!!. Spontan timbul keinginan kuat untuk menolak, tetapi tidak sampai hati melakukannya, disaat ia begitu serius berdoa atau berbicara atau mungkin keduanya sekalugus. Kemudian ia mengambil hosti dan cairan merah muda yg disebutnya TUBUH DAN DARAH KRISTUS. Ia meminta saya untuk memakan dan dan meminumnya. Saya melakukannya, dan berusaha utk berdoa, tetapi tidak berhasil. Akhirnya ia benar-benar berbicara dengan saya, dan menawarkan untuk membawa pulang tubuh dan darah Kristus. Cukup banyak yang dimilkinya, dan bermaksud memberikan saya cukup untuk disantap sehari satu kali selama beberapa lama. Saya berterima kasih, dan menerangkan padanya bahwa saya dapat memperolehnya setiap hari, (jika saya siap) pada waktu misa. Ia tidak tahu ttg ekaristi di GK. Ia mengingatkan saya bahwa perjamuan adalah benar-benar tubuh dan darah Kristus yang kita santap, dan kita akan memperoleh segala sesuatu yang kita minta dan butuhkan, jika kita menyantapnya setiap hari. Saya setuju dengannya, tetapi dalam hati saya tidak setuju atas apa yang dimaksudkannya dengan hal-hal tersebut :
-Kau hanya perlu memerintahkan apa yang kau inginkan untuk terwujud kelak dan pasti terpenuhi, karena engkau telah bersatu dengan Kristus setelah menyantap Tubuh dan dan minum darahNya. Dan apa yang kau perintahkan adalah juga Kristus yang memerintahkannya karena darahmu sudah tercampur dengan darahNya.
-Tentang saling memberi ia mengatakan, kita tidak memberi bantuan dari kekurangan kita, tetapi dari kelebihan kita. karenanya kita harus berlebihan dulu baru membantu yang lain. Dan kita dapat berlebihan karena berkat Tuhan dan karena kita memerintahkan rejeki datang. (Alasan telah minum darahNya, dan mmakan tubuhNya)
Sungguh apa yang dikatakannya seturut perasaan dan pikiran saya adalah kekeliruan, tetapi saya tak dapat menjelaskannya. karena ia begitu tulus ingin agar saya mengalami menemukan pemahanman bahwa betapa luar biasanya menyambut Tubuh dan darahNya. Saya berharap suatu waktu kami berdua dapat melakukan PA bersama. sya akan mengatakan apa yang saya pikirkan pada kesempatan tersebut.
Saya pernah menghadiri ibadah denomiasi yang diikutinya, dulu (tahun 2002) Mereka beribadat sabda, kemudian berdoa, dan diantara Doanya Sang Pendeta mengangkat dan menunjukkan roti berkata bahwa itu adalah Tubuh dan darah Kristus, (waktu itu bukan hosti tapi roti yang dipotong keci-kecil, dibagikan sebagai tubuh dan darah Kristus. masing-masing oleh mengambil seberapaun yang diinginkan untuk dibawa pulang kerumah).
Pertenyaan saya Romo : Berdosakah saya berpura-pura setuju seperti itu?
Terima kasih atas tanggapan Romo,
Hormat saya. Della
Della Mari Yth
Dosa bukan hanya perbuatan yang sadar dan bertanggungjawab melawan kehendak Tuhan tetapi juga melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hati nurani. Hati nurani adalah tempat Allah berbicara dan berkomunikasi sekaligus sumber refleksi penilaian moral tingkah laku kita. Maka jika tindakan kita bertentangan dengan hati nurani saya kira tergolong berdosa apalagi bertentangan dengan iman Katolik.
salam
Rm Wanta
Shalom Katolisitas
Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih atas adanya situs ini, sehingga dapat membantu dalam mengembangkan iman katolik.
Bagaimana hukum katolik tentang judi dalam pandangan yang luas?
Terimakasih Ibu Inggrid dan Pak Stef, beserta rekan katolisitas lainnya…
Tuhan Berkati….
Shalom Anton,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang judi. Secara moral, judi tidak dapat dibenarkan, karena dapat merugikan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maupun keperluan hidup orang lain. Lebih jauh, seseorang dapat terjebak pada nafsu berjudi, sehingga sulit lepas dari kebiasaan yang membahayakan ini, yang pada akhirnya dapat merugikan diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, jauhilah judi dan berusaha untuk mendapatkan uang secara halal. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,stef – katolisitas.org
Shalom dalam kasih Tuhan kita Yesus Kristus…
Perkenalkan nama saya Yanuanri . Ada hal yang ingin saya tanyakan, mohon bantuan dari saudara2ku yang dikasihi Tuhan,
Pertanyaannya sederhana, jikalau saya mendownload/menggunduh sebuah lagu/mp3 atau program dari internet melalui alamat website yang menawarkan produk secara gratis, apakah tindakan saya masih dapat dibenarkan?
Terima kasih sebelumnya. Tuhan Yesus memberkati.
Shalom Yanuanri Pratama,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang apakah mengunduh lagu-lagu MP3 berdosa atau tidak. Secara prinsip, kalau hal tersebut bertentangan dengan hak cipta dan merugikan orang yang menciptakan lagu dan orang-orang yang terlibat di dalamnya (produsen, negara, dll), maka itu adalah dosa. Hal ini berdosa, sama seperti berdosa mencuri. Kalau orang mencuri barang, dengan mengunduh lagu-lagu MP3 secara illegal, maka hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan. Semoga dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,stef – katolisitas.org
Apakah melakukan kesepakatan dibalik layar untuk mendapakan pekerjaan itu dapat dikatakan bersalah…artinya saya harus mengluarkan dana setoran sesuai dengan kesepakatan untuk mendapatkan pekerjaan tersebut..atau Kolusi..di satu sisi perusahaan memang sangat memerlukan pekerjaan tersebut untuk dapat melanjutkan kehidupan baik perusahaan maupun untuk kami sendiri…karena memang sangat sulit untuk bisa mendapatkan pekerjaan tanpa adanya hal tersebut..bahkan hal itu memang sudah menjadi hal yang biasa..dilakukan..karena perusahaan memang kekurangan dana artinya gaji memang cuma cukup tidak ada tunjangan dll..
tks
Shalom Joan Heru,
Terima kasih atas pertanyaannya. Memang dalam kondisi masyarakat yang begitu parah – di mana budaya korupsi telah masuk ke dalam seluruh sendi-sendi kehidupan, maka tantangan untuk semakin dapat mengikuti perintah Kristus (yaitu kekudusan) menjadi semakin sulit. Inilah sebabnya, martir pada jaman sekarang ini adalah bukan yang mati dibunuh untuk mempertahankan imannya, namun adalah orang-orang yang berani mengambil seluruh resiko untuk memperhankan imannya.
Kita tahu bahwa menyogok adalah suatu perbuatan dosa, karena bertentangan dengan kejujuran dan keadilan. Melanggar kejujuran, karena tidak menggunakan aturan yang berlaku dan melanggar keadilan karena menyingkirkan saingan dengan cara yang curang. Dan pada akhirnya akan merugikan konsumen, yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, yang mempengaruhi bangsa kita. Dengan demikian, kita sebenarnya tidak dapat membenarkan hal ini. Secara prinsip, kita tidak dapat menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Untuk pembahasan secara mendalam tentang hal ini, yaitu etika bisnis dalam situasi di Indonesia, memang perlu pemikiran dan kajian yang lebih mendalam.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam Damai Kristus,
Dalam ajaran Katolik bahwa kehidupan itu begitu luhur, maka hak hidup ada di tangan Tuhan sebagai pencipta,
Pertanyaan saya : bagaimana kalau regu penembak Teroris adalah seorang katolik ? Dalam satu sisi dia harus melaksanakan Tugas Pimpinan/Negara untuk melakukan eksekusi mati kepada Teroris dan dalam satu sisi dihadapkan dengan ajaran Katolik harus mempertahankan hak hidup seseorang. Bagaimana seharusnya langkah yang harus di ambil oleh orang Katolik tersebut ? Tetap taat pada Pimpinan atau menolak tugas tersebut .
Terima kasih atas jawaban
Shalom Lestariono,
Kadang memang terjadi kondisi- kondisi yang khusus, seperti yang terjadi dalam kasus yang anda sebutkan. Dalam keadaan tersebut, jika memang pemerintah/ negara mempunyai alasan yang legitim untuk melakukan eksekusi sesuai dengan hukum yang berlaku, dan karena telah ditemukannya bukti- bukti pelanggaran hukum yang dilakukan oleh sang terorist tersebut, maka tindakan seorang Katolik yang melakukan tugasnya dalam melaksanakan eksekusi tersebut dapat dibenarkan secara moral. Kasus ini menyerupai kasus perang; di mana tindakan prajurit menembak demi membela/ mempertahankan kedaulatan negara dapat dibenarkan secara moral.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam kasih,
Sungguh menarik membicarakan moralitas yang adalah masalah utama di negara kita tercinta ini. Jika, setiap pribadi, mau berpegang pada moral yang benar, niscaya negara kita menjadi jauh lebih baik.
Saya mempunyai pertanyaan sehubungan dengan moral terhadap ‘menentukan’ nyawa manusia.
Kasus I.
Seorang pasien di ICU karena kecelakaan parah, berakibat batang otaknya terkena, sehingga dinyatakan meninggal secara medis. Bolehkah keluarga, atas saran dari rumah sakit, mencabut alat bantu pernafasan (ventilator)? Kondisi terakhir, pasien meninggal.
Kasus II.
Seorang pasien di ICU karena stroke, dan mengalami koma. Biaya di ICU yang mencapai sekitar 6 juta perhari sangat membebani keluarga sederhana itu. Sedangkan kondisi koma sudah berlangsung 2 minggu tanpa batas waktu. Akhirnya karena biaya yang sudah sangat tinggi dan tidak tertanggungkan lagi, keluarga mencabut seluruh alat bantu di tubuh pasien dan dibawa pulang. Akibatnya sudah bisa dipastikan, pasien meninggal tak lama ketika alat bantu pernafasan dicabut.
Kasus III.
Seorang manula berusia diatas 75 tahun, dengan kondisi baru terkena serangan jantung, gejala sroke, kondisi ginjal sangat buruk. Dirawat di ICU selama 1 bulan, dengan biaya yang luar biasa besar. Alat bantu pernafasan (ventilator) dan suntikan vascon (meningkatkan tekanan darah) tak pernah lepas. Kondisi pasien up and down, kadang setengah sadar kadang tidak sadar. Ketika kondisi memburuk, terjadi beda pendapat antar dokter, satu pihak akan melakukan HD (Hemodialisys), pendapat lain menyarankan untuk tidak melakukn tindakan agresif. Akhirnya keluarga tidak melakukan HD, dan hanya berselang 4 hari sejak keputusan menolak HD, kondisi pasien memburuk dengan cepat dan akhirnya meninggal.
Mohon bantuan Ibu Inggrid dan pak Stefanus, yang manakah yang salah dari kasus kasus di atas? Ataukah ketiga tiganya salah, atau ketiga tiganya benar secara moral Katolik?
Terima kasih atas jawabannya.
Salam kasih selalu.
Shalom Yohanes SG,
1. Gereja Katolik menjunjung tinggi kehidupan.
Untuk menjawab pertanyaan anda mari kita melihat dasar ajaran Gereja Katolik yang menjunjung tinggi kehidupan. Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae, menyatakan secara definitif bahwa pembunuhan seorang manusia yang tak bersalah selalu merupakan perbuatan imoral/ tidak bermoral.
Pernyataan ini merupakan pernyataan definitif dari Paus selaku penerus rasul Petrus, mengenai iman dan moral, sehingga bersifat infallible.
2. Pengertian Euthanasia
Menurut pengertiannya, “euthanasia in the strict sense is understood to be an action or omission which of itself and by intention causes death, with the purpose of eliminating all suffering.” (…sebuah tindakan atau pengabaian yang dilakukan dengan tujuan untuk menyebabkan kematian, dengan makud untuk meniadakan penderitaan)…..
… Sesuai dengan pengajaran Magisterium dari para pendahulu saya, dan dalam persekutuan dengan para uskup Gereja katolik, saya menegaskan bahwa euthanaisa adalah pelanggaran yang berat terhadap hukum Tuhan, sebab hal tersebut merupakan pembunuhan seorang manusia secara disengaja dan secara moral tidak dapat dibenarkan. Ajaran ini berdasarkan hukum kodrat dan sabda Allah yang tertulis, yang diteruskan oleh Tradisi Suci Gereja, dan diajarkan oleh Magisterium Gereja.” (Evangelium Vitae 65).
3. Euthanasia berbeda artinya dengan keputusan untuk tidak melakukan “aggressive medical treatment“.
Namun surat ensiklik Evangelium Vitae tersebut juga menjelaskan bahwa euthanasia berbeda artinya dengan keputusan untuk tidak melakukan “aggressive medical treatment“.
“[Treatment ini adalah] prosedur- prosedur medis yang sebenarnya sudah tidak lagi cocok dengan keadaan riil pasien, karena prosedur tersebut sudah tidak proporsional dengan hasil yang diharapkan, atau prosedur tersebut memaksakan beban yang terlalu berlebihan kepada pasien dan keluarganya. Dalam keadaan- keadaan seperti ini, ketika kematian sudah jelas tidak terhindari, seseorang dengan hati nuraninya dapat “menolak bentuk- bentuk treatment yang hanya menjamin perpanjangan hidup yang penuh ketergantungan dan sangat membebani (precarious and burdensome prolongation of life), sepanjang perawatan normal yang kayak bagi pasien pada kasus- kasus serupa tidak dihentikan.” (Congregation for the Doctrine of the Faith, Ibid., IV: loc. cit, 551). Sudah pasti ada keharusan moral untuk merawat diri sendiri dan membiarkan diri dirawat orang lain, tetapi tugas ini harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi- kondisi konkret. Harus ditentukan apakah cara treatment yang ada secara obyektif proprosional dengan kemungkinan penyembuhan. Menolak cara yang berlebihan dan tidak proporsional tidak sama dengan bunuh diri atau euthanasia; melainkan itu mencerminkan penerimaan kondisi manusia menghadapi maut.” (Ibid., seperti dikutip dalam Evangelium Vitae 65)
Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa walaupun dalam kondisi ‘vegetatif’ sekalipun, manusia tetap mempunyai martabat yang utuh, dan karenanya harus diperlakukan sebagai manusia, minimal dengan memberikan makanan dan air.
4. Maka tanggapan terhadap pertanyaan anda:
Saya bukan seorang dokter, maka tanggapan ini hanya berdasarkan pengetahuan saya sejauh yang anda tuliskan, dan saya hubungkan dengan pengajaran iman Katolik seperti yang tertulis di atas.
Kasus I:
Jika seorang telah dinyatakan meninggal secara medis, maka dapat dikatakan meskipun orang itu diberi alat bantuan pernafasan, maka sebenarnya bukan orang itu sendiri yang bernafas, melainkan semua hanya karena semata karena alat bantu saja. Kondisi ini sebenarnya sudah tidak riil lagi bagi kesembuhan pasien. Dengan demikian, maka jika alat bantu pernafasan dicabut, itu bukan tindakan euthanasia, sebab sebenarnya pasien tersebut sudah meninggal secara medis.
Kasus II:
Perihal pasien yang dirawat di ICU dan koma dengan biaya sangat besar, tanpa batas waktu dengan segala alat bantu: Jika para dokter yang menanganinyapun tidak dapat menjamin bahwa alat bantu tersebut dapat berguna bagi pemulihan pasien, maka dapat dikatakan bahwa segala treatment tersebut sudah tidak lagi proporsional dengan hasil yang diharapkan. Dalam hal ini, keluarga berhak dengan hati nurani mereka untuk menolak melanjutkan penanganan di ICU; namun selayaknya tetap memberikan makanan dan air sebagai syarat minimum bagi kehidupan manusia (infus makanan dan air tidak boleh dicabut). Sehingga jikapun sampai pasien itu meninggal, ia meninggal dalam keadaan wajar.
Kasus III:
Serupa dengan kasus II, walaupun memang mungkin masih dapat didiskusikan, terutama, jika menurut dokter terdapat kemungkinan pemulihan melalui HD. Namun sepanjang pengetahuan saya, begitu dilakukan HD, kemungkinan besar hidup pasien tersebut selamanya akan tergantung dari HD, dan dengan demikian menjadi cara prolongation of life, yang melibatkan ketergantungan dan beban yang besar, tidak saja bagi keluarga, tetapi bagi pasien tersebut, mengingat usianya yang sudah lanjut. Maka dalam kondisi ini jika sampai pasien tersebut ataupun keluarganya memutuskan untuk tidak melakukan HD, juga keputusan tersebut dapat dibenarkan secara moral. Lain halnya jika secara medis, dokter masih melihat kemungkinan pemulihan lewat HD, dan keluarganya mampu membiayai. Jika demikian kasusnya, maka kemungkinan tersebut sesungguhnya dapat dicoba.
Kesimpulan:
Akhirnya harap diingat bahwa dalam keadaan apapun yang terpenting adalah mengusahakan yang perawatan/ pertolongan terhadap pasien sebaik mungkin. Jika semua treatment sudah dilakukan namun kondisi pasien terus memburuk, maka memang akhirnya harus diterima bahwa sakit penyakitnya itu kemungkinan tidak dapat tertolong; dan ia sedang menjelang ajal. Yang terpenting proses tersebut jangan sampai terjadi dengan tidak normal, misalnya disengaja (dengan maksud agar lebih ‘lekas’ mati), seperti yang banyak terjadi di negara maju, entah dengan suntikan atau dengan mencabut infus makanan dan cairan. Euthanasia semacam ini sungguh bertentangan dengan ajaran iman Katolik, karena bertentangan dengan hukum Tuhan. Namun, penolakan akan treatment yang berlebihan, seperti yang disebutkan di atas, tidak termasuk katagori euthanasia. Dalam hal ini, segala kemungkinan perlu didiskusikan dengan para tim medis dan keluarga pasien tersebut.
Demikian tanggapan saya. Semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Pro Ibu Inggrid,
Terima kasih atas tanggapan anda, karena dalam kasus yang saya kisahkan di atas, itu memang riil terjadi dan saya saksikan sendiri, dan terus terang selalu ada pertanyaan dalam diri saya sebelum ini, terima kasih atas jawaban anda.
Salam kasih
Saya hanya sharing saja,
Saya seorang Bapak yang mempunyai 1 orang anak dan menderita Rubella Syndrom.
Awal ceritanya sebagai berikut:
Istri saya bekerja di sebuah pabrik udang. Secara tidak sengaja ia tertular oleh teman sekerjanya yang sedang sakit Campak Jerman yang nekat bekerja demi mengejar “setoran” (bekerja di Pabrik udang seluruh tubuhnya harus tertutup dan hanya kelihatan matanya saja). Lalu istri saya jatuh sakit dan menderita Campak Jerman. Pesan dokter umum yang merawatnya, istri saya tidak boleh hamil dahulu sampai paling tidak 3 bulan. Setelah 2 minggu berlalu, istri saya sembuh dari penyakit campak jerman itu. Tetapi, dia mual-mual. Saya khawatir dan teringat nasehat dokter untuk tidak hamil dahulu. Segera saya belikan istri saya test pack. Hasilnya istri saya positif hamil. Saya bingung dan segera bertanya ke seorang teman yang memiliki saudara seorang dokter tentang penyakit yang menjangkiti seorang ibu yang terserang campak jerman dan sedang mengandung? Kenapa ia tidak boleh hamil? Baru saya tahu bahwa virus yang menyerangnya adalah Rubella, dan bisa megakibatkan cacat pada bayi. Segera saya berkonsultasi ke dokter spesialis di sebuah rumah sakit anak. Jawabannya sungguh tidak memuaskan. Tergantung ibunya kalau kondisinya sehat anaknya juga sehat. Lalu saya pindah ke dokter SPOG RKZ dan diberi rekomendasi untuk test darah. Hasilnya positiv, ada virus Rubella di darah istri saya. Usia kandungan waktu itu baru 2 minggu, ketika di USG-pun masih terlihat bulat. Istri saya ketakutan, dokter RKZ memberikan pilihan kepada kami apakah mau menggugurkan kandungan tetapi akan diberikan kepada dokter yang mau ataukah kehamilannya akan diteruskan. Resiko-resikonyapun disebutkan, Katarak sejak lahir, tuli, jantung bocor, microchepali,dll. Kami memilih berpikir-pikir dahulu. Dokter tersebut juga berpesan jangan terlalu lama berpikirnya. Istri saya meminta digugurkan saja dan segera kami kontak dokter aborsi dan sudah bikin perjanjian untuk aborsi, harganyapun murah cuma 1,5 juta rupiah, ditanggung bersih. Saat istri saya berangkat kerja, saya termenung sendirian di dalam kamar (saya bekerja 3 shift sehingga kadang saya harus menunggu istri sendirian). Ketika saya termenung hati saya gelisah, saya tahu bahwa menggugurkan kandungan itu salah. Segera saya telpon Romo Pernikahan saya dan meminta konsultasi. Jawabannya sudah dipastikan bahwa bayi saya tidak boleh digugurkan, Lalu saya merenung akan hal ini: “Jika saya sedang lapar dan saya berdoa kepada Tuhan, ‘Tuhan Berilah saya Makan, sebab saya sedang lapar’, lalu Tuhan mengabulkan doa saya. Tuhan memberikan saya makan, Tetapi, makanan itu busuk, apakah yang akan saya lakukan? bersyukur karena diberi makan? ataukah mengumpat sembari membuang makanan itu?”. Akhirnya saya memilih untuk bersyukur kepada Tuhan. Nasehat orang tua-tua bahwa anak membawa rejekinya masing-masing. Hal itupun saya sampaikan kepada istri saya, bahwa saya memilih untuk tidak menggugurkan anak saya. Saya sudah cukup berbuat dosa semasa saya muda, saya tidak mau jatuh dalam dosa kekal yaitu membunuh darah daging saya sendiri. Istri saya dengan menangis menerima keputusan saya sebagai kepala keluarga. Kamipun akhirnya melanjutkan kehamilan dengan pindah ke dokter pemerintah yang cukup senior. Akhirnya setelah menunggu 9 bulan lebih, anak saya pun lahir. Dengan cacat ganda yang sudah diduga, Lahir dengan Katarak, Pendengaran tidak berfungsi, Jantung Bocor dan microcepali. saat usia 10 bulan kataraknya sudah dioperasi, dan menunggu usia 7 tahun untuk operasi penanaman lensa buatan. Untuk membantu pendengaran saya dibantu oleh sebuah yayasan membeli alat bantu dengar seharga 12 juta. Sayangnya tidak bisa saya gunakan karena anak saya aktif sekali melepas-lepas alat bantu itu. Bocor jantungnya ketika usia 2 hari (pada bagian yang berbahaya) sudah menutup sendiri, tetapi ketika akan operasi katarak ada bocor jantung lain yaitu PDA yang tidak berbahaya. Karena tidak punya dana tidak saya operasikan. Saat ini anak saya berusia 3 tahun 3 bulan. Walaupun dengan cacat ganda yang dideritanya, saya akan jaga “Titipan Tuhan” itu dengan penuh rasa syukur. Sebab ini keputusan saya secara ‘Sadar diri’. Saya merasa diri “menang” melawan pertentangan iman. Dan dengan memilih Iman untuk tidak menggugurkan anak saya, saya merasa lega.
Demikian Sharing saya, semoga dapat membantu teman-teman yang lain untuk tetap menjaga Iman Katolik.
Shalom Yusak,
Sungguh, kami di Katolisitas sangat berterima kasih atas sharing kesaksian iman anda. Anda telah membuktikan betapa anda telah menempatkan perintah Tuhan di tempat utama mengatasi segalanya. betapa kami semua bersama semua pembaca dapat banyak belajar dari pengalaman anda.
Semoga Tuhan membukakan jalan bagi anda sekeluarga untuk mengusahakan yang terbaik bagi anak anda.
Teriring doa untuk anda sekeluarga terutama untuk buah hati anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid & Stef- katolisitas.org
BRAVO !!
Well Done !!
Shalom katolisitas
Saya mau menanyakan hal : Komisi tidak diterima dalam bentuk uang namun dijadikan modal investasi.
Seseorang (katakanlah bernama A) bekerja sebagai Staft tingkat manager pada sebuah perusahaan industri raksasa. Perusahaan ini malaksanakan peraturan larangan keras dan ketat didalam hal penerimaan komisi dari segala bentuk.jasa bagi para karyawan dengan sangsi PHK penuh (tanpa pesangon).
Setelah 30 tahun bekerja si A pensiun secara resmi dan dari hasil modal investasi yang di tanamkan pada beberapa perusahaan pemasok tadi, si A bisa membeli rumah, apartement dan termasuk biaya menyekolahkan anaknya ke luar negeri.
Saya mengangkat kasus ini berkaitan dengan pertimbangan::
1. Selama si A bekerja segala kebutuhannya sudah terjamin, dari gajih pokok sampai tunjangan pendidikan anak (bagi karyawan tingkat manager) sampai termasuk pemberian kendaraan pribadi dengan bersyarat.
2. Kecerdikan si A dalam hal menerima komisi yang bukan dalam bentuk uang (sehingga perbuatannya tanpa bekas), malahan di lipat gandakan. dengan demikian terjadilah sebuah keadaan yang saling mengikat.sepanjang 30 tahun.
Pertanyaan saya : keputusan si A dalam mengambil keputusan Prinsip Akibat Ganda apakah juga merupakan perbuatan berdosa sepanjang masa 30 tahun?.
Terima kasih atas ulasannya.
Salam dalam Kristus
Felix Sugiharto
Shalom Felix,
Terima kasih atas contoh kasusnya. Menurut saya, si A telah berdosa, karena telah melanggar peraturan kantor tempat dia bekerja dan perbuatannya adalah perbuatan yang berdosa. Perbuatannya tetap berdosa, walaupun caranya lebih cerdik dari kebanyakan orang. Namun, keadaan dan intensi tetap tidak dapat membenarkan tindakan tersebut kalau obyek moralnya salah – dalam hal ini korupsi dan ketidakjujuran. Apalagi, kalau keadaannya, si A telah menerima gaji dan tunjangan yang cukup. Keadaan ini semakin memberatkan dosanya. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Halo, selamat siang,aku ada pertanyaan :
Bagaimana pandangan/ajaran Gereja mengenai “penerimaan komisi”? Apakah tindakan menerima komisi dalam sebuah usaha/bisnis adalah tindakan yang salah secara moral atau sebuah dosa berat?
Contoh kasus :
Joni adalah karyawan sebuah perusahaan. Dia memperoleh tugas untuk mencari supplier perlengkapan kantor yang murah dan bagus bagi perusahaan tempat dia bekerja. Lalu , sesuai instruksi, Joni berhasil menemukan supplier yang jauh lebih murah dari budget kantor. Akhirnya, supplier ini diterima oleh kantor tempat Joni bekerja karena biayanya sangat murah. Dan karena merasa senang berhasil memperoleh klien, pihak supplier ini kemudian memberi komisi kepada Joni, dan Joni menerimanya secara sukarela, karena dianggap sebagai pemberian/kemurahan si suplier
Apakah yang dilakukan Joni ini merupakan pelanggaran moral berat yang berakibat dosa berat?
Bagaimana seharusnya seorang Katolik bersikap di posisi Joni?
Apakah tindakan seperti ini termasuk tindakan Korupsi yang adalah dosa?
Terimakasih sebelumnya atas perhatian yth moderator website.
*Jika diperlukan, mungkin artikel ini bisa di-publish di ruang tanya jawab sesuai kebijakan moderator web. Siapa tahu berguna bagi kawan2 yang lain. Thx ^_^
Shalom Johanes Joy Rumintan,
Terima kasih atas pertanyaannya apakah boleh seseorang untuk menerima komisi. Kalau seseorang (A) kenal akan seseorang yang akan menjual rumahnya (B). Dan kemudian si A ternyata punya banyak kenalan, sehingga dia dapat membantu B untuk menjual rumahnya. Kalau B kemudian memberi uang kepada A sebagai tanda terima kasih, maka tidaklah berdosa kalau A menerima atau tidak menerima pemberian tersebut. Ini berarti menerima komisi tidaklah berdosa, selama dia tidak menggunakan kekuasaan atau posisinya untuk mendapatkan komisi, dan juga disertai kerelaan hati dari orang yang memberi.
Mari kita melihat kasus Joni. Mungkin beberapa prinsip ini dapat membantu. Kalau perusahaan tempat Joni bekerja telah mengeluarkan peraturan bahwa semua pegawainya tidak boleh menerima komisi, maupun peraturan jumlah maksimal tanda terima kasih dari supplier, Joni harus mematuhi peraturan ini. Kalau Joni berada dalam posisi untuk menentukan pemilihan supplier (misal: di bagian pembelian), maka Joni jangan menerima pemberian tersebut, karena pemberian tersebut dapat mempengaruhi keputusan dalam menentukan supplier di kemudian hari – yang dapat didorong oleh hutang budi atau keinginan untuk mendapatkan komisi. Dan tentu saja hal ini dapat merugikan perusahaan tempat Joni bekerja. Kalau dia tidak berada dalam posisi untuk mengambil keputusan untuk menentukan supplier, maka diperlukan kebijaksanaan dalam menyikapi hal ini. Alternatifnya, dia dapat berbicara kepada atasannya, apakah boleh untuk menerima pemberian ini. Kalau dia tidak berbicara kepada atasannya dan kemudian atasannya tahu dari pihak lain, maka Joni akan mendapat masalah di kemudian hari. Bagaimanapun Joni harus mengakui bahwa tanpa perusahaan tempat dia bekerja yang meminta dia untuk mencari supplier, maka Joni juga tidak akan dapat mendapatkan komisi tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya Joni menceritakan hal ini kepada atasannya, sehingga atasannya dapat mengambil keputusan dengan baik. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Saya mau bertanya dgn beberapa contoh kasus:
1. Jika seorang karyawan yang telah bekerja cukup lama tapi tidak berkembang dalam perusahaan itu, lalu berusaha untuk mendirikan perusahaan sendiri dgn bidang yang sejenis dgn tempat ia bekerja sehingga menjadi kompetitor dari perusahaan ex. Apakah ini bertentangan dgn moral? Misalkan saja alasan Ia pindah karena harus menghidupi keluarganya karena beban hidup bertambah.
2. Bgmn Kalau kita membeli CD lagu rohani bajakan dgn alasan kalau beli yang asli terlalu mahal.
Terima kasih
GBU
Shalom Teddy,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang moralitas. Berikut ini adalah jawaban yang dapat saya berikan:
1) Tidak menjadi masalah kalau seseorang yang bekerja di perusahaan X yang bergerak di bidang Y kemudian mendirikan perusahaan sendiri yang bergerak di bidang yang sama (Y). Yang tidak dapat dibenarkan adalah anda masih bekerja di perusahaan X dan kemudian mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang yang sama, sehingga merugikan perusahaan X. Dalam kasus kedua ini terjadi ketidakadilan, karena perusahaan tempat anda bekerja telah memberikan imbalan gaji, sehingga berhak untuk mendapatkan komitmen anda, namun anda tidak dapat memberikan secara maksimal – bahkan dapat merugikan perusahaan tersebut. Jadi, sesuai dengan prinsip utama “Jangan lakukan pada orang lain apa yang tidak engkau inginkan orang lain perbuat padamu“, maka tempatkan posisi anda sebagai yang mempunyai perusahaan. Bayangkan kalau salah satu bawahan anda melakukan hal yang sama.
2) Membeli CD lagu rohani bajakan adalah tindakan mencuri dan tidak dapat dibenarkann dengan alasan apapun juga. Hal ini sama saja dengan mencuri barang seperti TV, computer, dll. Yang berbeda adalah satu dalam bentuk barang yang besar, satu dalam bentuk CD (yang berisi musik atau program). Kalau terlalu mahal, kita tidak usah membelinya dan cukuplah dengan apa yang kita punya. Kita tidak bisa mengatakan bahwa karena laptop terlalu mahal, maka saya ambil saja laptop yang di toko.
Bayangkan kalau anda sebagai penyanyi dari lagu tersebut. Anda pasti mengharapkan bahwa jerih payah yang dilakukan dapat menuai hasil. Namun karena pembajakan, maka para penyanyi tersebut dan semua orang yang terlibat di dalamnya tidak mendapatkan apa yang menjadi hak mereka. Dulu saya sering mengcopy CD rohani ke MP3, namun kemudian saya hapus semua karena menyadari bahwa ini adalah perbuatan dosa.
Semoga jawaban di atas dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom dalam kasih Tuhan kita Yesus Kristus….
Kalau boleh saya ingin mengajukan suatu pertanyaan,
Jika seandainya saya mengunduh/men-download file mp3 atau program dari internet melalui suatu alamat website yang memberikan keleluasaan bagi kita untuk men-download file lagu (mp3) atau program (software) secara GRATIS, bagaimana? apakah hal ini boleh/benar?
Atas bimbingannya, saya ucapkan terima kasih.
Anri,
[dari katolisitas: silakan melihat jawaban di atas point 2 – silakan klik]
Bagaimana pandangan moral katolik tentang posisi seorang pegawai bagian pembukuan/accounting/keuangan yang mendapat perintah untuk merekayasa laporan keuangan yang berbeda masing-masing untuk kepentingan bank pemberi kredit, kepentingan pajak dan untuk tender.
Jika tidak diikuti perintah tsb. maka ada resiko PHK, jika diikuti ada konflik batin, karena menyadari ikut melakukan penipuan/pemalsuan, merekayasa hal yang tidak benar, menciptakan data fiktif.
Apakah pinsip akibat ganda dapat diterapkan ? Atau prinsip “Minus Malum ?
Terima kasih atas pencerahannya.
Shalom,
Fidel
Shalom Fidel,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang moralitas. Kasus yang anda kemukakan adalah sangat rumit, terutama jika semua perusahaan melakukan hal yang sama. Kita tidak dapat menerapkan prinsip akibat ganda, karena perbuatan tersebut (obyek moral) tidaklah benar, yaitu berbohong. Saya tidak tahu apakah mungkin dicari suatu pemecahan dengan atasan anda, dimana anda yang menyiapkan data yang sebenarnya, dan setelah itu tergantung keputusan atasan anda untuk mempresentasikan data yang sebenarnya atau mau memanipulasi data tersebut. Atasan anda kemudian dapat menyerahkan tugas selanjutnya kepada orang lain. Dengan demikian, anda sendiri tidak terlibat dalam kebohongan tersebut. Kalau anda bicarakan dengan atasan anda, maka di satu sisi atasan anda akan dapat menghargai anda, karena berarti kalau anda tidak mau berbohong dalam kasus ini, maka anda juga tidak akan berbohong dalam kasus lain, yang dengan kata lain anda bekerja secara jujur demi kemajuan perusahaan. Namun, tentu saja ada resiko kalau atasan anda menjadi marah dan memecat anda. Kalau kemungkinan untuk bekerja secara jujur tidak mungkin dilakukan sama sekali, maka secara perlahan-lahan, carilah pekerjaan lain, sehingga anda tidak tertekan terus karena melawan hati nurani anda, yang juga melawan Tuhan. Saya tahu bahwa sangat mudah untuk memberikan nasehat, namun sangat sulit untuk dijalankan. Mintalah kekuatan dan kebijaksanaan dari Tuhan, sehingga Fidel dapat melakukan yang terbaik. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Terima kasih atas jawaban Bapak Stefanus tentang aplikasi teori akibat ganda.
Hidup di Indonesia sekarang ini memang sering menghadapi pilihan yang rumit.
Apakah bapak bisa membahas tentang prinsip “Primus Inter Minus Malum” dan kaitannya dengan moral katolik untuk menjadi bijak dalam pilihan hidup yang rumit.
Shalom,
Fidel
Shalom Fidel,
Terima kasih atas tanggapannya. Untuk membahas tentang bagaimana hidup jujur dalam bekerja maupun berbisnis, suatu saat akan ditulis dalam artikel tersendiri, karena perlu cukup banyak prinsip-prinsip yang harus dibahas. Mohon kesabarannya ya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Kasih ibu sepanjang masa wlpn nyawa taruhannya… dan sdh dibuktikan oleh Ibu Linda.
Aq percaya, Tuhan telah memberikan tempat yg terbaik utk Ibu Linda dan utk suaminya beserta ketiga anak2 mrk sll dlm lindunganNya…
Saya ingin bertanya mengenai profesi dokter. Saya pernah membaca sebuah artikel (saya lupa membacanya dimana, oleh karena itu kebenarannya pun sulit saya pastikan disini) mengenai Prinsip Akibat Ganda ini yang membahas tentang pemakaian morfin oleh profesi dokter dalam pengobatan pasien.
Seringkali pada suatu keadaan bencana yang sangat parah dan tidak ada fasilitas yang memadai untuk melakukan pengobatan, banyak dokter yang menggunakan morfin untuk “sekedar mengurangi rasa sakit pasien” hingga “menghilangkan kesadaran pasien sampai akhir hayatnya”.
Disinilah perdebatan itu muncul :
“menurut para dokter, inilah kesadaran yang mereka miliki (berdasarkan teori akibat ganda) :
1. Perbuatan itu sendiri merupakan perbuatan moral yang baik atau minimal netral.
2) Pelaku dari perbuatan tersebut tidak menginginkan atau secara sengaja menyebabkan efek negatif yang timbul. Jika sesuatu yang baik dapat dicapai tanpa menimbulkan efek negatif, maka cara tersebut yang harus diambil.
di satu sisi, perbuatan itu bertujuan baik, yakni meringankan rasa sakit yang diderita oleh pasien. Di sisi lain, hanya seorang dokter yang naif sajalah yang beranggapan bahwa penggunaan morfin dalam pengobatan itu tidak bermaksud untuk membunuh pasien (Ia hanya dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa bermaksud menyembuhkan, alih – alih malah membunuh pasien).
3) Efek yang baik harus terjadi dari perbuatan yang diambil dan bukan dari efek negatif yang terjadi.
Satu – satunya efek baik yang terjadi adalah pasien tidak merasakan sakit, tetapi bagaimana dengan penggunaan morfin untuk pasien bencana alam supaya ia kehilangan kesadaran hingga ajal menjemputnya karena kecilnya kemungkinan penyelamatan akibat kurangnya fasilitas (transportasi, peralatan medis, dll)?
4) Harus ada alasan yang begitu kuat secara proposional untuk mengijinkan efek negatif terjadi. Di sini diperlukan kebijaksanaan untuk memutuskan suatu tindakan, sehingga efek yang baik adalah lebih besar dari efek negatif.
Bagaimanakah tanggapan Gereja mengenai hal ini, yakni penggunaan morfin di keprofesian dokter? Apakah efek yang baik lebih besar daripada efek negatif? Mengapa?”
Shalom Rain Drop,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang kasus memberikan morfin dengan tujuan untuk mengurangi rasa sakit karena tidak ada fasilitas pengobatan yang lain. Mari kita melihat prinsip-prinsipnya:
1) Perbuatan tersebut dikatakan baik kalau memenuhi 3 hal, yaitu moral obyek, intensi, keadaaan. Memberikan morfin adalah perbuatan yang baik, kalau diberikan dengan kadar yang tepat. Intensi untuk mengurangi rasa sakit dari sang pasien adalah tujuan yang baik. Keadaan yang tidak memungkinkan untuk memberikan pengobatan yang lebih baik adalah keadaan yang darurat. Dua kemungkinan: (1a) Kalau morfin tersebut diberikan dengan kadar tertentu, serta dengan intensi untuk mengurangi penderitaan pasien, maka itu adalah tindakan moral yang baik. (1b) Namun, kalau pemberian morfin tersebut diberikan secara sadar secara berlebihan, dengan tujuan untuk mengurangi penderitaan pasien tersebut dengan cara membunuhnya, maka ini adalah tindakan pembunuhan, yang secara moral tidak dapat dibenarkan.
2) Kalau tindakan tersebut baik, yaitu dalam situasi (1a) di atas – pemberian morfin dalam kadar yang baik untuk mengurangi rasa sakit – namun tetap berakibat pada kematian sang pasien, maka tidak menjadi masalah. Saya tidak terlalu jelas dengan pernyataan “Di sisi lain, hanya seorang dokter yang naif sajalah yang beranggapan bahwa penggunaan morfin dalam pengobatan itu tidak bermaksud untuk membunuh pasien (Ia hanya dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa bermaksud menyembuhkan, alih – alih malah membunuh pasien).” Apakah tidak mungkin menggunakan morfin dalam kadar tertentu, sehingga tidak sampai membunuh sang pasien? Bukankah ada banyak “pain management” yang digunakan bagi para penderita kanker, dimana digunakan untuk mengurangi penderitaan sang pasien tanpa membunuh mereka?
Oleh karena itu, kalau dalam kasus (1b), dimana sang dokter secara sadar memberikan morfin yang berlebihan untuk mengurangi rasa sakit sampai membunuh mereka, maka tidak dapat dibenarkan.
3) Dalam kasus (1b), maka efek yang terjadi (pasien meninggal) adalah akibat secara langsung dari pemberian morfin yang berlebihan. Oleh karena itu kasus 1b tidak dapat dibenarkan. Namun dalam kasus (1a), efek yang terjadi (pasien meninggal) bukanlah karena pemberian morfin dalam kadar yang baik, namun mungkin karena komplikasi, kekurangan makanan, kurang transportasi, dll.
Oleh karena itu, penggunaan morfin tidaklah menjadi masalah, selama digunakan dalam takaran yang tepat, sehingga dapat mengurangi penderitaan sang pasien. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Terima kasih untuk penjelasannya,
“Di sisi lain, hanya seorang dokter yang naif sajalah yang beranggapan bahwa penggunaan morfin dalam pengobatan itu tidak bermaksud untuk membunuh pasien (Ia hanya dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa bermaksud menyembuhkan, alih – alih malah membunuh pasien)”. Ini hanya sebuah kutipan yang saya ingat dari artikel tersebut. Menurut para dokter yang dimintai pendapatnya mengenai hal itu, penggunaan morfin hanya untuk “mengurangi rasa sakit” dan tidak dapat “menyembuhkan pasien”. Oleh karena itu, ada beberapa rumah sakit bahkan tidak menyediakan perawatan “palliative” atau “hospice” karena dianggap perawatan itu tidak berguna, mereka lebih memilih tetap memberikan pengobatan bagi pasien dengan berbagai cara/metoda baru (terutama bagi rumah sakit universitas yang memiliki banyak research/uji coba).
Jika ditinjau dari berbagai sudut pandang, ada kemungkinan bahwa perawatan hospice/palliative terkadang dianggap “membunuh pasien secara perlahan”. Tetapi jika ditinjau dari pasien itu sendiri, perawatan (contoh penderita kanker) kemoterapi sangat menyiksa dan menyakitkan. Apalagi jika pasien telah sangat parah dan kemungkinan sembuh “sangat kecil” (mungkin bahkan tidak mungkin sembuh, tetapi mengakui hal ini terkadang sangat sulit bagi seorang manusia). Beberapa pasien (terutama yang telah sangat tua) mungkin berkali – kali berharap supaya ajal menjemputnya ditengah pengobatan (kemoterapi) tersebut akibat rasa sakit yang diderita.
Saya sendiri bukan berprofesi sebagai dokter, hanya seorang yang ingin tahu. Jadi ada kemungkinan apa yang saya tuliskan disini adalah salah. Mohon dikoreksi apabila ada kesalahan. Saya sendiri juga tidak berani menghakimi orang – orang yang berprofesi sebagai dokter. Saya disini juga tidak bermaksud untuk menyatakan siapa yang salah atau benar, dan tidak juga mencari pembenaran diri dalam diskusi ini (semoga tidak ada dokter yang tersinggung dengan pertanyaan/pernyataan saya, jika ada saya mohon maaf).
Hal yang dapat saya simpulkan dari jawaban Anda sebelumnya, Mungkin hal yang paling baik adalah mengembalikan semuanya ke hati nurani sang dokter? Selama ia bermaksud baik barangkali memang itulah yang terbaik bagi pasien…. (CMIIW)
Terima kasih,
Shalom Rain,
Terima kasih atas pertanyaannya. Dalam kasus penanganan dengan menggunakan morfin dalam kadar yang tepat atau seharusnya, walaupun tahu dari awal bahwa cara tersebut tidak menyembuhkan pasien, secara moral dapat dibenarkan. Kalaupun pasien tersebut meninggal, maka hal tersebut bukan disebabkan karena pemberian morfin. Oleh karena itu, morfin bukanlah cara atau tujuan yang menjadikan pasien meninggal. Dan pada waktu seseorang mendapatkan penyakit kanker, maka tidaklah berdosa kalau seorang pasien memilih untuk tidak melakukan chemo theraphy namun melakukan “pain management“, apalagi kalau ternyata kankernya telah mengganas, pasiennya telah tua, atau tidak mempunyai biaya, atau keadaan yang lain.
Di satu sisi, perbuatan baik tidak boleh hanya dilihat dari tujuan (maksud baik) dari sang dokter. Misalkan, kalau sang dokter bertujuan baik, yaitu mengurangi penderitaan sang pasien, namun dengan cara euthanasia, maka tidak dapat dibenarkan secara moral. Hal ini disebabkan karena moral obyeknya adalah salah, yaitu pembunuhan (euthanasia). Oleh karena itu, paramenter yang digunakan senantiasa melihat apakah perbuatan tersebut secara moral baik atau tidak, dengan mempertimbangkan 3 hal: obyek moral, keadaan, maksud/ intensi. Dan pada keadaan yang sulit, dapat menggunakan teori akibat ganda (the theory of double effect). Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Terima kasih untuk penjelasannya :)
@Rain Drop dan Team Katholisitas
Saya adalah dokter paliatif yang sehari-hari menangani penderita Cancer Stadium akhir dan HIV/AIDS.
Saya tertarik berbagi ilmu yang saya geluti ini.
Inilah prinsip-prinsip perawatan paliatif
1. Menghargai setiap kehidupan.
2. Menganggap kematian sebagai proses yang normal.
3. Tidak mempercepat atau menunda kematian.
4.Menghargai keinginan pasien dalam mengambil keputusan.
5. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu.
6. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual dalam perawatan pasien dan keluarga.
7. Menghindari tindakan medis yang sia-sia.
8. Memberikan dukungan yang diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai dengan kondisinya sampai akhir hayat.
9.Memberikan dukungan kepada keluarga dalam masa duka cita.
Pedoman Umum
1. Komunikasikan dengan penderita dan keluarga
2. Tujuan perawatan adalah mengatasi simtom (gejala), bukan menyembuhkan.
3. Gejala menetap memerlukan perlu tindakan terus menerus, bukan hanya kalau perlu
4. Obat yang sudah tidak diperlukan harus dihentikan
5. Jangan pernah berpikir dan berkata :” Tidak ada yang dilakukan lagi” atau “Tim medis sudah angkat tangan”, karena banyak hal yang bisa kita berikan pada penderita, termasuk layanan doa dan kasih sayang.
6. Memberikan layani penderita dengan kasih sayang, penuh perhatian, sikap positif dan percaya diri.
Jadi:
Tujuan Paliatif pada dasarnya adalah meningkatkan “Kualitas Hidup Penderita dan Keluarga”.
Tahukan anda….
1. Nyeri hebat akan menyebabkan Shock Neurogenic yang akan menyebabkan kematian cepat.
Jadi pemberian morfin disini adalah juga mencegah kematian yang tidak wajar (Kematian karena nyeri).
Dan lagi, tidak ada bukti bahwa dosis yang kami gunakan adalah untuk membunuh pasien walaupun perlahan.
Saya pernah memberikan selama 5 tahun, tetapi pasien tersebut meninggal secara wajar.
2. Penderita kanker sering dijadikan “Ladang Ekonomi ” dengan penawaran obat-obatan dan terapi yang sia-sia tetapi harganya selangit.
Saya sering menemui, seorang pasien saya, setelah mati masih meninggalkan hutang yang bertumpuk-tumpuk karena perawatan yang sia-sia sebelum meninggal, dan disinilah kami mencoba menjadi garda terdepan untuk menghadang proses sia-sia ini.
Salam Hangat dari Kami team Paliatif, …
Mohon doa agar kami selalu setia pada tugas dan pelayanan kami pada pasien pasien kami.
Semoga Tuhan selalu memberkati kita semua.
Shalom dr. Yoseph Agung P,
Terima kasih atas informasi kedokteran yang dapat memberikan tambahan informasi, sehingga diskusi dapat berjalan dengan lebih baik. Memang setiap orang dalam profesinya masing-masing mempunyai tantangan untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip kekristenan dengan baik. Dan profesi dokter menempati tempat yang khusus, karena senantiasa berhubungan dengan pasien dan bekerjasama dengan Tuhan dalam memberikan kesembuhan kepada sang pasien. Kesempatan untuk bersentuhan dengan orang-orang yang menderita dapat menjadi suatu kesempatan yang baik untuk dapat memperkenalkan Kristus. Mari, dalam kapasitas kita masing-masing, kita senantiasa mengasihi Tuhan dan sesama.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Saya ingin bertanya:
apakah aborsi yang dilakukan demi keselamatan ibu itu juga berdosa?
Misalnya keadaan ibu itu tidak memungkinkannya untuk slamat saat melahirkan, maka lebih baik diaborsi saja demi keselamatannya. Mungkin karena ada penyakit atau ibu yang terlalu lemah
bagaimana juga kalau ternyata janin itu cacat dan kalau dilahirkan pun akan tetap meninggal?
terima kasih
Shalom Karin,
Terima kasih atas pertanyaannya. Jawaban untuk pertanyaan ini saya jadikan artikel di atas (silakan klik), mengingat mungkin ada banyak pembaca katolisitas.org yang juga mempunyai pertanyaan yang sama. Kemudian untuk pertanyaan menggugurkan kandungan karena bayi tersebut diprediksi cacat, secara moral tidak dapat dibenarkan, karena tindakan tersebut adalah sama saja dengan pembunuhan. Hal ini sama saja dengan memilih membunuh orang dewasa yang mengalami kecelakaan dan cacat seumur hidup. Secara prinsip, martabat bayi yang masih berada di dalam kandungan adalah sama dengan martabat manusia yang dewasa. Kalau suatu tindakan tidak dapat dilakukan kepada manusia yang telah dewasa, maka hal tersebut tidak dapat juga dilakukan kepada bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom
Mengaborsi bayi yg diprediksi akan lahir cacat itu sangatlah tidak adil! Ketika mengunjungi sebuah panti cacat ganda, sy melihat ada puluhan anak cacat yg dibuang oleh ortu nya. Ada yg hydrocephalus, ada yg cacat syaraf, ada yg buta, ada yg kelainan dalam organ tubuh, dsb. OMG! ada yg dibuang di pinggir jalan dari bayi berusia 3 hari, dan ditemukan dalam kardus sebab bayi itu buta dan cacat kaki nya.
Sy hanya bisa mengelus dada…memang jujur saja sy merasa ketakutan ketika pertama kali melihat seorang anak yg kepalanya lebih besar dari 2 buah balon, sy tidak bisa tidur berhari-hari ketika menengok seorang anak yg tidak punya hidung, memang secara fisik mereka itu sangat tidak menarik untuk dilihat dan banyak orang akan berpikir, untuk apa mereka hidup??? yg menggenaskan mereka itu bukannya berasal dari keluarga tidak mampu lho, banyak dari mereka yg katanya berasal dari kalangan keluarga pejabat karena malu lalu dibuang ke panti tersebut dan dengan hanya diantar oleh ajudan pejabat itu.
Sy setuju sekali jika aborsi dilakukan demi keselamatan dan bukan karena memang malu punya anak cacat atau tidak ingin punya anak. Begitu banyak pasutri tidak punya anak dan alangkah hina nya kita sebagai wanita yg tega membunuh darah daging kita sendiri. Tidak ada anak berdosa, yg berdosa bapaknya, yg berdosa ibu nya!!!
Anak-anak yg sekedar yatim piatu masih jauh lebih beruntung daripada mereka yg sudah yatim piatu/ dibuang ortu dan ditambah lagi berkondisi cacat ganda, kadang sy kesal sama beberapa anak penghuni panti asuhan (normal) yg selalu mengeluh dan mengeluh, baru ketika melihat langsung kondisi anak cacat ganda, mereka tersadar, betapa beruntungnya mereka terlahir normal dan cantik dan begitu banyak keluarga yg mau meng-adopsi mereka. Untuk anak cacat ganda, jika ada yg mau meng-adopsi pun, sangat lah susah sebab dibutuhkan perawatan khusus untuk menjaga seorang anak cacat, dari segi memberi makan pun berbeda, jika anak normal bisa makan dengan duduk di kursi, anak cacat malah harus disuapi dalam posisi tidur dan kepala diletakkan dalam posisi tertentu agar tidak muntah.
Bagaimana dengan aib yg ditimbulkan dari kehamilan yg tidak diinginkan? kita berkaca lagi, yang salah siapa? yang berdosa siapa? Begitu banyak wanita malu dan memutuskan aborsi…betapa hina dan kejinya perbuatan itu….tidak semua anak punya ayah tapi semua anak pasti punya ibu….so? siapkah anda menjadi ibu yang hina atau menjadi ibu yang mulia?
Di luar negeri contohnya, seekor kelinci liar yg kaki nya patah terlindas truck saja masih dibuatkan kaki palsu pakai roda, itu hanya seekor kelinci liar…bagaimana dengan manusia? Kita sering menghakimi anak/ orang cacat padahal Tuhan begitu mudah bisa membuat kita yg cantik dan tampan ini menjadi cacat dalam 1 detik, cukup dengan mengirim sebuah truck untuk menabrak kita di jalan!
Open our eyes….say no to abortion! Tidak hanya Ibu Linda, sy pun pasti akan melakukan apapun untuk keselamatan anak sy…that’s the joy of motherhood……
saya senang dengan semangat ibu… seperti ibu Linda, saya senang berdoa bagi para wanita yang telah dan akan memperjuangkan sebanyak mungkin jiwa-jiwa mungil yang tidak berdosa dang sangat dikasihi Allah… dan dapat hidup dalam kekudusan…
saya sangat kagum atas kasih ibu Linda pada bayinya…
kasih seoang ibu yang memberikan kesempatan bagi Angelina menikmati indahnya sebuah kehidupan..
Saya juga percaya bahwa hidup dan mati ada di tangan Tuhan…
apakah kemo dilakukan di awal ataupun di akhir kelahiran,, saya yakin Tuhan yang menyertai selalu ibu Linda dan keluarga..
kita juga tidak pernah tau apakah dengan kemo di masa kehamilan akan memperpanjang hidup..
kita juga tidak pernah tau apakah dengan pengobatan tumbuh-tumbuhan tersebut memperpendek masa hidup ibu Linda…
Mari saling mendoakan…
Ibu saya juga sedang mengalami kanker payudara stadium 3,, dokter sudah lepas tangan (tidak bisa mengoperasi dan melakukan kemo) karena jenis kanker yang bersifat sangat ganas,..
namun saya percaya, Tuhan selalu menyertai umatNya dalam setiap keadaan..
terimakasih…
Comments are closed.