I. Apa pentingnya kemurnian (chastity)?
Mungkin ada banyak dari kita merasa bahwa ‘kemurnian’ itu suatu hal yang aneh untuk dibicarakan, sepertinya ‘muluk- muluk’ dan terlalu idealis. Apa sih perlunya? Mengapa Gereja repot- repot mengajarkannya? Mungkin jawabannya singkat saja: karena kemurnian berhubungan erat dengan kebahagiaan kita. Tuhan menciptakan kita sesuai dengan gambaran-Nya untuk maksud yang mulia: yaitu agar kita berbahagia bersama-Nya, tanpa cacat dan cela (lih. Ef 1:3-6). Caranya adalah dengan mengasihi, dan memberikan diri. “Manusia dapat sepenuhnya menemukan jati dirinya, hanya di dalam pemberian dirinya yang tulus.” ((Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 24)). Seseorang yang selalu berpusat pada diri sendiri dan tak pernah memberikan dirinya kepada orang lain, tidak akan hidup bahagia. Sedangkan seseorang yang mau memberikan dirinya bagi orang lain akan menemukan arti hidupnya. Nah, pemberian diri yang tulus yang dikehendaki Tuhan ini, adalah pemberian kasih yang murni. Itulah sebabnya kita perlu mengetahui dan melaksanakan kebajikan kemurnian, karena hanya dengan menerapkannya, maka kita dapat sungguh berbahagia dan kelak dapat memandang Allah di surga. “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8).
II. Apa itu kemurnian?
Kalau kita mendengar kata emas murni atau air murni, yang terbayang di pikiran kita adalah suatu zat dalam kondisi awal yang semestinya, yang tidak terkontaminasi oleh zat-zat lain yang buruk. Demikian juga, Tuhan menghendaki kemurnian kita, artinya Tuhan menginginkan agar kita menjadi sempurna, tubuh dan jiwa, seperti pada awalnya saat Ia menciptakan manusia yang sungguh sangat baik adanya (lih. Kej 1:31). Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah saat kita memandang tubuh kita sendiri di depan kaca cermin, kita dapat berkata, “Terima kasih Tuhan, Engkau telah menciptakan tubuhku dengan sangat baik?” Atau selanjutnya, sudah cukupkah kita memperhatikan dan menjaga kecantikan rohani kita di samping menjaga kecantikan jasmani?
Manusia diciptakan sebagai mahluk rohani yang mempunyai tubuh; yang berakal budi dan berkehendak bebas. Inilah yang menjadikan manusia dapat mengenal dan mengasihi Allah, dan menemukan arti hidupnya dengan melakukan kasih. Pertanyaannya adalah, kasih seperti apa? Jawaban yang sederhana, namun tak terkira dalam maknanya adalah: kasih yang seperti kasih Yesus; yaitu kasih yang melibatkan tubuh dan jiwa, seperti yang dinyatakan-Nya di kayu salib. Inilah kemurnian kasih yang Tuhan ajarkan kepada kita.
Maka tak mengherankan jika Gereja Katolik mendefinisikan kemurnian, demikian:
1. Kemurnian = keutuhan seksualitas secara jasmani dan rohani
KGK 2337 Kemurnian berarti keutuhan seksualitas yang membahagiakan di dalam pribadi dan selanjutnya kesatuan batin manusia dalam keberadaannya secara jasmani dan rohani. Seksualitas, yang di dalamnya nyata, bahwa manusia termasuk dalam dunia badani dan biologis, menjadi pribadi dan benar-benar manusiawi ketika pribadi ini digabungkan ke dalam hubungan antara satu orang dengan yang lainnya, di dalam penyerahan timbal balik secara sempurna dan tidak terbatas oleh waktu, antara seorang laki- laki dan seorang perempuan.
Dengan demikian kebajikan kemurnian melibatkan keutuhan pribadi dan kesempurnaan penyerahan diri.
Jika kita menghayati makna keutuhan tubuh dan jiwa ini, maka kita dapat melihat bahwa tubuh kita diciptakan Tuhan untuk maksud yang ilahi, dan dengan tubuh ini kita dapat memuliakan Tuhan. Dengan penghayatan ini, kita tidak mudah dibingungkan oleh kedua pandangan ekstrim yang ada di dunia ini: 1) mengagungkan hal- hal rohani sampai menolak segala sesuatu yang bersifat jasmani/ seksual dan menganggapnya dosa; 2) mengagungkan hal- hal jasmani dan seksual sampai ke tingkat yang tidak semestinya, dan menolak segala yang bersifat rohani. Kedua pandangan ekstrim ini keliru karena memisahkan tubuh dan jiwa.
2. Kemurnian = pengendalian diri yang mengacu kepada kelemahlembutan dan kesetiaan Allah
Kemurnian menjadi penting, karena kasih yang sempurna mensyaratkan kemurnian dalam cara menyampaikannya. Nah, seorang yang murni adalah seorang yang dapat mengendalikan dirinya, pada saat menyerahkan dirinya pada orang lain; sehingga dapat menjadi saksi bagi orang lain tentang kesetiaan dan kelemahlembutan kasih Allah.
KGK 2346 Kasih adalah bentuk semua kebajikan. Di bawah pengaruhnya, kemurnian tampak sebagai latihan penyerahan diri. Pengendalian diri diarahkan kepada penyerahan diri. Kemurnian menjadikan orang yang hidup sesuai dengannya, seorang saksi bagi sesamanya tentang kesetiaan dan kasih Allah yang lemah lembut.
3. Kemurnian = peneguhan dan pemberian diri yang tidak diwarnai cinta diri/ mementingkan diri sendiri.
“Kemurnian adalah peneguhan penuh sukacita dari seseorang yang mengetahui bagaimana ia hidup dengan memberikan dirinya, yang tidak dibatasi oleh segala bentuk perbudakan cinta diri.” ((The Pontifical Council of the Family, The Truth and Meaning of Human Sexuality, 17))
Hal pemberian diri yang murni ini memang tidak mudah dilakukan, terutama karena manusia cenderung memiliki rasa cinta diri. Kasih kita kepada sesama secara umum dapat diuji dengan pertanyaan ini: Apakah dalam berelasi dengan sesama, fokus saya adalah menyenangkan diri sendiri atau menyenangkan orang lain? Apakah dalam berelasi dengan orang lain saya membantunya untuk hidup kudus/ murni atau malah menjerumuskannya? Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, “Para pria dan wanita yang ber-relasi satu sama lain dengan kemurnian sungguh memuliakan Allah dengan tubuh mereka.” ((lih. Pope John Paul II, Theology of the Body 57:3))
II. Dasar kemurnian
Paus Yohanes Paulus II mengajarkan agar kita dapat memahami makna kemurnian, kita harus melihat keadaan pada saat awal mula manusia diciptakan oleh Tuhan. Dalam khotbahnya, Theology of the Body, Paus mengajarkan adanya tiga pengalaman dasar yang dapat membantu kita membayangkan keadaan tersebut:
1. Kesendirian Asali (Original Solitude)
Pada saat awal mula penciptaan, Adam mengalami kesendirian di tengah dunia ciptaan Tuhan; sebab ia menyadari bahwa ia tidak sama dengan ciptaan lainnya (lih. Kej 2:20). Kesadaran ini timbul dari pengalaman tentang tubuhnya. Kesendirian ini memanggilnya untuk bersekutu dengan Tuhan Sang Pencipta dan dengan mahluk lain yang ‘sejenis’ dengannya (lih. Kej 2:23).
2. Kesatuan Asali (Original Unity)
Ayat Kej 2:24 “…. dan keduanya menjadi satu tubuh”… merupakan dasar akan adanya kesatuan asali. Kesatuan ini mengatasi kesendirian manusia; dan kesatuan antar seorang laki- laki dan perempuan yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah ini, sungguh berbeda dengan persetubuhan binatang. Kesadaran akan kesatuan asali ini memberikan dasar bagi kemampuan seseorang untuk memberikan dirinya kepada orang lain dan menghargai orang lain, sebagai “saudara laki- laki dan saudara perempuan di dalam kesatuan umat manusia” (lih. Pope John Paul II, Theology of the Body 18:5))
3. Ketelanjangan Asali (Original Nakedness)
Ketelanjangan asali merupakan pengalaman telanjang namun tanpa rasa malu (Kej 2:25), namun bukan maksudnya bahwa kemudian orang boleh telanjang dan tidak perlu malu. Maksudnya di sini adalah, kita harus mempunyai kesadaran penuh akan makna tubuh kita seperti pada saat awal diciptakan Tuhan, sebagai pernyataan keseluruhan pribadi kita sebagai manusia. Sebab, “Sesungguhnya tubuh, hanya tubuh saja, yang mampu memperlihatkan misteri Allah yang tidak kelihatan…” (TOB 96:6, 19:4). Itulah sebabnya Kristus Sang Firman menjadi daging (Yoh 1:14) mengambil tubuh manusia (Ibr 10:5), dan akhirnya mengorbankan Tubuh-Nya itu sebagai tebusan bagi dosa manusia, agar kita semua dapat memahami besarnya kasih Tuhan kepada kita manusia (lih. Yoh 3:16). Itulah sebabnya, Tuhan Yesus memerintahkan kepada para rasul untuk mengenangkan-Nya dengan melakukan perjamuan kudus, di mana Ia akan hadir dalam rupa roti dan anggur. “Inilah Tubuh-Ku….. inilah Darah-Ku” (lih. Mat 26:20-29; Mrk 14:17-25; Luk 22:14-23).
Maka jika kita memahami makna ketelanjangan asali ini, maka kita akan melihat bagaimana rahmat Allah yang tidak kelihatan itu disampaikan kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Kekudusan yang melibatkan cara memandang seseorang sebagai ciptaan Tuhan yang baik adanya, inilah yang memampukan manusia menyatakan diri mereka melalui pemberian diri yang tulus (the sincere gift of self). Dengan perkataan lain, dengan menyadari kasih yang Tuhan sampaikan kepada kita melalui tubuh kita ini, maka kita dapat mempergunakan tubuh ini untuk mengasihi dan melayani sesama.
Dalam konteks perkawinan, maka penghayatan pengalaman kesatuan asali dan ketelanjangan asali ini diwujudkan dalam hubungan seksual suami istri yang maknanya adalah:
“Aku memberikan diriku sepenuhnya kepadamu, segalanya, tanpa ada yang kusimpan sendiri. Setulusnya. Tanpa paksaan. Selamanya. Dan aku menerima pemberian dirimu yang engkau berikan kepadaku. Aku memberkati engkau. Aku mendukung/ meneguhkan engkau. Segala yang ada padamu, tanpa syarat. Selamanya.” ((Christopher West, Theology of the Body Explained (Boston: Pauline Books anda Media, 2007), p.137)).
Bukankah pernyataan serupa ini dinyatakan oleh Kristus kepada Mempelai-Nya yaitu Gereja, di kayu salib? Kristus memberikan Diri-Nya sehabis- habisnya kepada Gereja, dan pemberian diri serupa ini yang menjadi teladan bagi suami untuk memberikan dirinya kepada istrinya.
Sedangkan hubungan seksual di luar perkawinan yang hanya berfokus untuk memuaskan keinginan tubuh, cenderung tidak total, tidak didasari oleh komitmen kesetiaan selamanya, dan tidak didasari oleh persekutuan rohani di dalam Kristus. Dan karena hubungan ini tidak dilakukan sesuai dengan kehendak Allah, maka hal ini adalah dosa, dan tak heran jika kemudian mengakibatkan hal- hal buruk yang dapat merusak hubungan pasangan itu sendiri.
III. Tujuan kemurnian
Telah disampaikan bahwa kemurnian membawa manusia kepada keselamatan kekal. Mengapa? Karena kemurnian menunjukkan arti penciptaan manusia sebagai pria dan wanita: yaitu bahwa kita dipanggil untuk mengambil bagian dalam kasih persekutuan Allah dalam Trinitas di dalam Kristus. Hubungan kasih suami istri yang dapat melahirkan kehidupan baru, merupakan gambaran samar- samar akan kesatuan kasih Allah Trinitas, yaitu kasih persekutuan Allah Bapa dan Allah Putera yang menghembuskan Roh Kudus. Tentu saja persekutuan ketiga Pribadi Allah ini bukan karena ada perkawinan di dalam Pribadi Allah, namun demikian kesatuan mereka merupakan sesuatu yang seharusnya digambarkan dalam setiap perkawinan Kristiani. Ini adalah salah satu makna, bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah (Kej 1:27).
Inilah sebabnya mengapa hubungan jasmani suami istri memiliki makna yang luhur. Karena kasih suami istri tidak saja melibatkan tubuh, tetapi juga jiwa. Dalam hal ini, persekutuan tubuh tidak terlepas dari persatuan jiwa. Persatuan ini terjadi ketika pasangan tersebut telah dipersatukan oleh Kristus, karena hanya di dalam Kristuslah manusia menemukan makna luhur perkawinan. Demikian juga, dengan penghayatan akan makna perkawinan, kita dapat semakin menghargai kehidupan para religius yang memilih untuk mempersembahkan keseluruhan kasih mereka yang total kepada Allah, sehingga kehidupan mereka di dunia ini menjadi tanda yang lebih jelas tentang persekutuan kekal antara Allah dan manusia dalam “perjamuan Anak Domba” yang tidak melibatkan perkawinan secara jasmani.
IV. Bentuk- bentuk kemurnian
Sebagai umat beriman, kita semua dipanggil untuk hidup murni, entah seseorang hidup sebagai seorang religius, atau mereka yang menikah maupun yang tidak menikah. Kita semua dipanggil untuk hidup kudus (lih. Konsili Vatikan II, Lumen Gentium Bab V), sebab tubuh kita ini adalah bait Allah Roh Kudus (lih. 1 Kor 6:19). Maka mereka yang sudah menikah dipanggil untuk hidup dalam kemurnian pernikahan, sedangkan yang tidak menikah, kemurnian dengan tidak melakukan aktivitas seksual. Maka ada tiga bentuk kemurnian, yaitu yang menyangkut kemurnian pasangan suami istri, kemurnian para janda/ duda, dan kemurnian para perawan/ selibat. ((lihat. St. Ambrose, De viduis 4, 23: PL 16, 255A)). Mereka yang selibat untuk Kerajaan Allah merupakan tanda yang jelas di dunia ini tentang makna persekutuan dengan Allah pada akhir jaman nanti, sebab mereka tidak kawin dan dikawinkan namun menjaga kemurnian kasih dalam kesatuan dengan Allah.
Lalu, bagaimana untuk orang-orang yang sedang bertunangan? Katekismus mengajarkan:
KGK 2350, Mereka yang terikat/bertunangan dan akan menikah dihimbau agar hidup murni dalam suasana berpantang. Mereka harus melihat waktu percobaan ini sebagai waktu, di mana mereka belajar, saling menghormati dan saling menyatakan kesetiaan dengan harapan, bahwa mereka dianugerahkan oleh Allah satu untuk yang lain. Mereka harus menghindari pernyataan cinta kasih yang merupakan cinta kasih suami isteri, sampai pada waktu mereka menikah. Mereka harus saling membantu agar dapat tumbuh dalam kemurnian.
Dengan demikian waktu berpacaran/ bertunangan merupakan waktu yang harus digunakan untuk mengenal pribadi pasangan, terutama secara rohani. Ini penting, karena hal persekutuan rohani sesungguhnya yang mendasari persekutuan jasmani, dan tidak terpisahkan darinya. Jika pasangan mendahulukan keintiman jasmani, misalnya dengan hubungan seksual sebelum menikah, maka sebenarnya keduanya mengambil sesuatu sebelum waktunya, kesatuan yang ingin dilambangkan sebenarnya belum ada, dan kemurnian jiwa dan tubuh mereka menjadi korbannya.
Namun percabulan tidak hanya disebabkan oleh hubungan seksual sebelum perkawinan. Yesus mengajar, “Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya…. ” (Mat 5:28). Hal perzinahan di pikiran sudah termasuk dalam dosa melawan kemurnian. Nampaknya, kemurnian menjadi sesuatu yang sulit dijalankan, terlebih dengan adanya banyak propaganda yang seolah mengumbar hal- hal seksual. Mengapa ada kecenderungan manusia jatuh ke dalam dosa seksual ini?
V. Dosa menjadikan manusia berjuang dalam kekudusan dan kemurnian
1. Dosa mengubah persepsi manusia akan kondisi asali
St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa manusia pertama (Adam dan Hawa) diciptakan dengan rahmat pengudusan Allah (sanctifying grace) dan karunia preternatural gifts yaitu 1) keabadian atau tidak dapat mati, 2) tidak dapat menderita, 3) mempunyai pengetahuan akan Tuhan atau ‘infused knowledge’ dan 4) berkat keutuhan atau ‘integrity’ maksudnya, adalah harmoni atau tunduknya nafsu kedagingan pada akal budi. Namun sejak manusia pertama jatuh dalam dosa, mereka kehilangan karunia-karunia tersebut. Adam dan Hawa menurunkan dosa asal dan akibatnya kepada keturunan mereka, termasuk kita, sehingga kita sebagai manusia memang selalu mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa.
Salah satu dokumen Vatikan II, Gaudium Et Spes menuliskan tentang dosa asal dan bagaimana manusia senantiasa berjuang dalam kekudusan di tengah-tengah kecenderungan untuk berbuat dosa.
Akan tetapi manusia, yang diciptakan oleh Allah dalam kebenaran, sejak awal mula sejarah, atas bujukan si Jahat, telah menyalahgunakan kebebasannya. Ia memberontak melawan Allah, dan ingin mencapai tujuannya di luar Allah. Meskipun orang-orang mengenal Allah, mereka tidak memuliakan-Nya sebagai Allah; melainkan hati mereka yang bodoh diliputi kegelapan, dan mereka memilih mengabdi makhluk dari pada Sang Pencipta[10]. Apa yang kita ketahui berkat Perwahyuan itu memang cocok dengan pengalaman sendiri. Sebab bila memeriksa batinnya sendiri manusia memang menemukan juga, bahwa ia cenderung untuk berbuat jahat, dan tenggelam dalam banyak hal-hal buruk, yang tidak mungkin berasal dari Penciptanya yang baik. Sering ia menolak mengakui Allah sebagai dasar hidupnya. Dengan demikian ia merusak keterarahannya yang sejati kepada tujuan yang terakhir, begitu pula seluruh hubungannya yang sesungguhnya dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dan dengan segenap ciptaan.
Oleh karena itu dalam batinnya manusia mengalami perpecahan. Itulah sebabnya, mengapa seluruh hidup manusia, ditinjau secara perorangan maupun secara kolektif, nampak sebagai perjuangan, itu pun perjuangan yang dramatis, antara kebaikan dan kejahatan, antara terang dan kegelapan. Bahkan manusia mendapatkan dirinya tidak mampu untuk atas kuasanya sendiri memerangi serangan-serangan kejahatan secara efektif, sehingga setiap orang merasa diri ibarat terbelenggu dengan rantai. Akan tetapi datanglah Tuhan sendiri untuk membebaskan dan meneguhkan manusia, dengan membaharuinya dari dalam, dan dengan melemparkan keluar penguasa dunia ini (lih. Yoh 12:31), yang menahan manusia dalam perbudakan dosa[11]. Adapun dosa yang merongrong manusia sendiri dengan menghalang-halanginya untuk mencapai kepenuhannya.
Dalam terang Perwahyuan itulah baik panggilan luhur maupun kemalangan mendalam, yang dialami oleh manusia, menemukan penjelasannya yang terdalam.” ((Gaudium et Spes, 13))
Rahmat pengudusan dipulihkan oleh rahmat yang mengalir dari misteri Paskah Kristus, sehingga manusia dapat tetap mengambil bagian di dalam kehidupan Tuhan. Sebaliknya, berkat keutuhan (gift of integrity) tidak terpulihkan, namun dipakai oleh Tuhan sebagai cara sehingga manusia dapat membuktikan kasihnya kepada Tuhan. Oleh karena itu, walaupun telah dibaptis – yang berarti telah menerima rahmat pengudusan, tiga kebajikan ilahi (iman, pengharapan dan kasih), karunia Roh Kudus, dan karunia menjadi anak-anak Allah – manusia senantiasa mempunyai kecenderungan berbuat dosa (concupiscence). Katekismus Gereja Katolik mendefinisikan concupiscence / tinder of sin / kecenderungan berbuat dosa sebagai berikut:
KGK, 1264. Tetapi di dalam orang-orang yang dibaptis tetap ada beberapa akibat sementara dari dosa: penderitaan, penyakit, kematian, kelemahan yang berhubungan dengan kehidupan (seperti misalnya kelemahan tabiat), serta kecondongan kepada dosa, yang tradisi namakan concupiscentia [keinginan tak teratur] atau, secara kiasan, “dapur dosa” [fomes peccati]. Karena keinginan tak teratur “tertinggal untuk perjuangan, maka ia tidak akan merugikan mereka, yang tidak menyerah kepadanya dan yang dengan bantuan rahmat Yesus Kristus menantangnya dengan perkasa. Malahan lebih dari itu, siapa yang berjuang dengan benar, akan menerima mahkota (2 Tim 2:5)” (Konsili Trente: DS 1515).
Dari pemaparan di atas, maka kita dapat melihat bahwa sampai akhir hayatnya, manusia akan senantiasa berjuang dalam kekudusan, termasuk dalam menjaga kemurnian.
2. Kebajikan penguasaan diri dan hubungannya dengan kemurnian
Sehubungan dengan kemurnian (chastity), kita akan membahas secara khusus tentang kebajikan penguasaan diri. Katekismus Gereja Katolik mendefinisikan sebagai berikut:
KGK 1809 Penguasaan diri adalah kebajikan moral yang mengekang kecenderungan kepada berbagai macam kenikmatan dan yang membuat kita mempergunakan benda-benda duniawi dengan ukuran yang tepat. Ia menjamin penguasaan kehendak atas kecenderungan dan tidak membiarkan kecenderungan melampaui batas-batas yang patut dihormati. Manusia yang menguasai diri mengarahkan kehendak inderawi-nya kepada yang baik, mempertahankan kemampuan sehat untuk menilai, dan berpegang pada kata-kata: “Jangan mengikuti setiap kecenderungan walaupun engkau mampu, dan jangan engkau mengikuti hawa nafsumu” (Sir 5:2, Bdk. Sir 37:27-31) Kebajikan penguasaan diri sering dipuji dalam Perjanjian Lama: “Jangan dikuasai oleh keinginan-keinginanmu, tetapi kuasailah segala nafsumu” (Sir 18:30). Dalam Perjanjian Baru ia dinamakan “kebijaksanaan” atau “ketenangan”. Kita harus hidup “bijaksana, adil, dan beribadah di dalam dunia sekarang ini” (Tit 2:12).
“Hidup yang baik itu tidak lain dari mencintai Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap pikiran. (Oleh penguasaan diri) orang mencintai-Nya dengan cinta sempurna, yang tidak dapat digoyahkan oleh kemalangan apa pun (karena keberanian yang hanya mematuhi Dia (karena keadilan) dan yang siaga supaya menilai semua hal, supaya jangan dikalahkan oleh kelicikan atau penipuan (inilah kebijaksanaan)” (Agustinus, mor. Eccl. 1,25,46).
Penguasaan diri dapat diterapkan dalam makanan, minuman dan juga dalam seksualitas. Penguasaan diri bukan berarti meniadakan sama sekali keinginan yang menjadi bagian darinya, namun memakainya dengan ukuran yang tepat dan sesuai dengan akal budi yang benar. ((ST, II-II, q. 154, a. 1.)) Contohnya, bagi pasangan yang belum menikah, adalah wajar untuk ingin saling berdekatan, namun jangan sampai melakukan melakukan hubungan intim yang hanya diperbolehkan untuk suami dan istri. Sedangkan suami istri walaupun diperbolehkan untuk melakukan hubungam intim, namun jangan sampai hubungan tersebut hanya didasari oleh nafsu belaka, sehingga menjadikan pasangan hanya sebagai obyek pelampiasan semata.
3. Berlatih kemurnian adalah seperti berlatih mendidik anak-anak
Pertanyaannya adalah, bagaimana kita dapat mengendalikan kecenderungan-kecenderungan ini, sehingga kita dapat hidup murni? Kata kemurnian (chastity) menurut St. Thomas adalah memurnikan kecenderungan berbuat dosa (concupiscence) dengan akal budi. Aristoteles membandingkan hal ini seperti proses pendidikan anak-anak. ((ST, II-II, q. 151, a. 1. See Aristotle, Nich. Ethics 3.12. 1119a33.)) Seperti anak-anak yang dibiarkan untuk berbuat apa saja, maka akan semakin sulit untuk dikontrol. Namun, semakin anak-anak dilatih dan dididik, maka dia akan semakin menurut, sampai akhirnya pendidikan tersebut menjadi bagian dari dirinya, sehingga pendidikan tersebut bukan menjadi sesuatu yang mengekang namun menjadi sesuatu yang membebaskan.
VI. Pelanggaran terhadap kemurnian
Setelah kita mengetahui kemurnian dan hubungannya dengan kebajikan, serta menyadari perlunya untuk mengarahkan dorongan kodrati (sensitive appetite), maka kita akan melihat beberapa hal yang dipandang sebagai pelanggaran terhadap kemurnian:
1. Nafsu/ ketidakmurnian
KGK 2351 Nafsu adalah hasrat yang menyimpang akan, ataupun kenikmatan yang tidak teratur akan kesenangan seksual. Keinginan seksual itu tidak teratur secara moral, apabila ia dikejar karena dirinya sendiri dan dengan demikian dilepaskan dari tujuan batinnya untuk melanjutkan kehidupan (procreative) dan untuk hubungan cinta kasih (unitive).
2. Masturbasi
KGK 2352 Masturbasi adalah rangsangan alat-alat kelamin yang disengaja dengan tujuan membangkitkan kenikmatan seksual. “Baik Wewenang Mengajar Gereja dalam tradisinya yang tidak berubah maupun perasaan susila umat beriman telah tidak pernah meragukan, untuk mencap masturbasi sebagai satu tindakan yang sangat menyimpang”. “Penggunaan kemampuan seksual dengan sengaja, dengan alasan apa pun, yang dilakukan di luar hubungan suami isteri yang normal, bertentangan dengan hakikat tujuannya”. Sebab di sini, kenikmatan seksual dicari di luar “hubungan seksual yang diatur oleh hukum moral/ kesusilaan dan yang di dalamnya dicapai arti sepenuhnya dari penyerahan diri secara timbal balik dan juga suatu pembuahan manusiawi di dalam cinta yang sejati” ((CDF, Perny. Persona humana 9)).
Walaupun ada pandangan psikologis yang menyetujui masturbasi sebagai suatu cara ‘penyaluran’ dorongan seksual, namun Gereja tidak pernah membenarkan tindakan tersebut. Masturbasi adalah tindakan didasari motif mengagungkan kenikmatan seksual di atas segalanya, dan ini dapat beresiko menjadikan seseorang kecanduan seksual, di mana seseorang menempatkan kenikmatan badani sebagai tuhannya.
Maka harus dicari jalan yang positif untuk menyalurkan dorongan- dorongan seksual, agar fokusnya bukan menyalurkan dorongan tersebut dengan melakukan aktivitas seksual, tetapi mengarahkannya kepada aktivitas lain yang membangun tubuh dan jiwa.
3. Percabulan
KGK 2353 Percabulan adalah hubungan badan antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak menikah satu dengan yang lain. Ini adalah satu pelanggaran besar terhadap martabat orang-orang ini dan terhadap seksualitas manusia itu sendiri, yang dari kodratnya diarahkan kepada kebahagiaan suami isteri serta kepada melahirkan keturunan dan pendidikan anak-anak. Selain itu ia juga merupakan skandal berat, karena dengan demikian moral anak-anak muda dirusakkan.
Termasuk di sini adalah hidup bersama sebelum menikah, karena umumnya mereka yang melakukannya mempunyai kecenderungan untuk melakukan dosa percabulan. Percabulan ini juga tidak terbatas dengan tindakan nyata, sebab seseorang dapat jatuh dalam dosa percabulan dengan pikirannya (lih. Mat 5:28; KGK 2528).
Bagaimana agar tidak jatuh dalam dosa percabulan sebelum menikah? Demikian adalah anjuran dari Johann Christoph Arnold, dalam bukunya A Plea for Purity:
“Pelukan yang lama, saling bercumbu, ciuman bibir dan segala yang lain yang dapat mendorong hasrat seksual harus dihindari. Hasrat untuk berdekatan secara fisik antara sepasang kekasih adalah sesuatu yang wajar, namun daripada membangkitkan hasrat seputar keintiman ini, pasangan tersebut harus memfokuskan diri untuk lebih mengenal pasangan secara lebih akrab secara rohani, dan saling membangun kasih kepada Yesus dan Gereja-Nya.” ((Johann Christoph Arnold, A Plea for Purity, (Farmimgton: The Plough Publishing House of the Bruderhof Foundation, 1998, reprint), 102))
Ketika Tuhan Yesus berbicara tentang percabulan di hati, maksudnya adalah seorang pria tidak boleh memandang seorang wanita dengan nafsu. Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Percabulan di hati dilakukan bukan hanya karena laki-laki melihat dengan cara sedemikian kepada seorang perempuan yang bukan istrinya, tetapi karena ia melihat dengan cara sedemikian kepada seorang perempuan…. Meskipun laki- laki itu melihat dengan cara sedemikian kepada perempuan yang adalah istrinya, ia tetap melakukan percabulan di hatinya.” (TOB 43:2). Maka di sini Paus mengajarkan bahwa hubungan suami istri tidak boleh direduksi artinya hanya sebagai pemuasan kebutuhan seksual, namun sebagai ungkapan kasih yang total antara suami istri sesuai dengan kehendak Tuhan.
4. Pornografi
KGK 2354 Pornografi mengambil persetubuhan yang sebenarnya atau yang dibuat-buat dengan sengaja dan keintiman para pelaku dan menunjukkannya kepada pihak ketiga. Ia menodai kemurnian, karena ia meyimpangkan makna hubungan suami isteri, penyerahan diri yang intim antara suami dan isteri. Ia sangat merusak martabat semua mereka yang ikut berperan (para aktor, pedagang, dan penonton), karena mereka ini menjadi obyek kenikmatan primitif dan sumber keuntungan yang tidak diperbolehkan. Pornografi menenggelamkan semua yang berperan di dalamnya dalam sebuah dunia semu. Ia adalah suatu pelangaran berat. Pemerintah berkewajiban mencegah pengadaan dan penyebarluasan bahan-bahan pornografi.
Sayangnya, dewasa ini pornografi ini marak di mana- mana dan mudah diakses oleh kalangan luas termasuk anak- anak. Diperlukan kehendak yang kuat dan konsistensi untuk menolak pornografi.
5. Prostitusi
KGK 2355 Prostitusi menodai martabat orang yang melakukannya dan orang dengan demikian merendahkan diri sendiri dengan menjadikan diri obyek kenikmatan semata-mata bagi orang lain. Siapa yang melakukannya, berdosa berat terhadap diri sendiri; ia memutuskan hubungan dengan kemurnian yang telah ia janjikan pada waktu Pembaptisan, dan menodai tubuhnya, kenisah Roh Kudus (Bdk. 1 Kor 6:15-20). Prostitusi adalah satu bencana untuk masyarakat. Sebagaimana, biasa ia menyangkut para wanita, tetapi juga para pria, anak-anak, atau orang muda (kedua kelompok terakhir melibatkan dosa tambahan karena penyesatan)…..
6. Perkosaan
KGK 2356 Perkosaan adalah satu pelanggaran dengan kekerasan dalam keintiman seksual seorang manusia. Ia adalah pelanggaran terhadap keadilan dan cinta kasih. Perkosaan adalah pelanggaran hak yang dimiliki setiap manusia atas penghormatan, kebebasan, keutuhan fisik, dan jiwa. Ia menyebabkan kerusakan besar, yang dapat membebani korban seumur hidup. Ia selalu merupakan suatu perbuatan yang pada dasarnya/ dengan sendirinya jahat. Lebih buruk lagi, apabila orang-tua atau para pendidik memperkosa anak-anak yang dipercayakan kepada mereka.
7. Homoseksualitas
KGK 2357 Homoseksualitas adalah hubungan antara para pria atau wanita, yang merasa diri tertarik dalam hubungan seksual, semata-mata atau terutama, kepada orang sejenis kelamin….. Berdasarkan Kitab Suci yang melukiskannya sebagai penyelewengan besar (Bdk.Kej 19:1-29; Rm 1:24-27; 1 Kor 6:10; 1 Tim 1:10) tradisi Gereja selalu menjelaskan, bahwa “perbuatan homoseksual itu sangat menyimpang” ((CDF, Perny. “Persona humana” 8)). Perbuatan itu melawan hukum kodrat, karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu persetubuhan. Perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan benar untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual. Bagaimanapun perbuatan itu tidak dapat dibenarkan.
VII. Bagaimana jika sudah terlanjur tidak murni?
Jika karena satu dan lain hal, (entah karena ketidaktahuan, ataukah karena kesalahan) seseorang tidak sepenuhnya menjalankan ajaran kemurnian di masa yang lalu, janganlah berputus asa. Tuhan Yesus datang untuk mengampuni dosa- dosa manusia. Asalkan ia dengan tulus menyesali segala dosa dan kesalahannya, maka Tuhan akan mengampuninya. Seperti Yesus mengampuni perempuan yang berdosa (Maria Magdalena), dan pengampunan ini mengubah kehidupan perempuan ini; Yesuspun dapat mengampuni kita dan mengubah kehidupan kita. Alkitab mencatat, bahwa kepada perempuan ini Tuhan Yesus menampakkan diri pada hari kebangkitan-Nya. Semoga kitapun dapat menjadi saksi- saksi kebangkitan-Nya dan karya penyelamatan-Nya dalam hidup kita.
Maka, kisah pertobatan Maria Magdalena ini harus mendorong kita untuk bertobat; dan selalu tidak ada kata terlambat untuk bertobat. Selanjutnya usahakanlah untuk menjaga kemurnian ini, dan mengajarkannya kepada anak- anak kita; agar mereka dapat mengetahui kabar gembira tentang kemurnian ini, dan melaksanakannya dalam kehidupan mereka.
VIII. Mengusahakan kemurnian tubuh dan jiwa secara praktis.
Berikut ini adalah langkah- langkah praktis untuk mengusahakan kemurnian tubuh dan jiwa:
1. Mengenal diri sendiri
Kita harus mengenal diri sendiri, sehingga kita tahu di area mana kita harus memperbaiki diri. Untuk itu, kita minta agar Roh Kudus menyingkapkan apa yang tersebunyi, yang ada di dalam diri kita.
2. Mohon rahmat Tuhan
Kita memohon kepada Tuhan agar membersihkan hati kita dari pikiran- pikiran dan kecenderungan yang tidak semestinya.
3. Melatih pengendalian diri
Selanjutnya, kita harus melatih pengendalian diri, dan mempraktekkan ajaran kemurnian ini, dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
KGK 2530 Perjuangan melawan keinginan daging terjadi melalui pembersihan hati dan latihan menjaga batas dalam segala hal.
KGK 2532 Untuk pembersihan hati dibutuhkan doa, mempraktekkan kemurnian, mempunyai maksud dan pandangan yang murni.
Pedoman praktis: jauhi segala kesempatan yang mendorong kita untuk berpikir atau melakukan hal- hal yang tidak sopan. Jauhilah pembicaraan yang ‘nyerempet’ ke arah hal yang porno. Carilah kesibukan yang lebih bermanfaat dan membangun.
4. Kemurnian hati mensyaratkan sikap bersahaja (modesty):
KGK 2533 Kemurnian hati menuntut sikap yang bersahaja, yang terdiri dari kesabaran, kerendahan hati, dan kehati-hatian (discretion). Sikap yang bersahaja melindungi jati diri seseorang.
KGK 2522 Sikap bersahaja (modesty) melindungi rahasia pribadi dan cinta kasihnya. Ia mengundang untuk bersabar dan mengekang diri dalam hubungan cinta kasih. Sikap bersahaja mensyaratkan bahwa prasyarat-prasyarat untuk ikatan definitif dan penyerahan timbal balik dari suami dan isteri dipenuhi. Dalam sikap tersebut termasuk pula sikap kepantasan/ kelayakan. Ia mempengaruhi pemilihan busana. Ia diam atau menahan diri jika ada resiko ingin tahu yang tidak sehat. Ia bijaksana dalam menghormati privacy orang lain.
“Sikap yang pantas dan bersahaja (modesty) dalam perkataan, perbuatan dan cara berpakaian adalah sangat penting untuk menciptakan atmosfir yang cocok untuk pertumbuhan kemurnian…. Orang tua perlu waspada sehingga mode- mode pakaian yang tidak sopan dan sikap- sikap yang tidak pantas tidak melanggar keutuhan sebuah rumah tangga, terutama karena salah penggunaan mass media.” ((Pontifical Council for the Family, The truth and meaning of human sexuality, 56))
IX. Kesimpulan: Kemurnian = mengasihi dengan jiwa dan tubuh
Sebagai mahluk yang diciptakan Tuhan sesuai dengan gambaran Allah, yang adalah Kasih, manusia diciptakan untuk mengasihi. Maka setiap manusia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk mengasihi dengan memberikan dirinya dengan tulus, yang melibatkan tubuh dan jiwa, dan inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan lainnya. Oleh karena itu, seksualitas manusia adalah sesuatu yang baik, sebab manusia ber- relasi satu sama lain dengan tubuhnya. Maka tujuan akhir seksualitas adalah kasih, yaitu kasih yang melibatkan kegiatan memberi dan menerima.
Jadi, bagi pasangan yang menuju jenjang perkawinan harus mempraktekkan kemurnian, sehingga dapat menghormati pasangan dan mengasihi pasangan lebih dari sekedar tubuh pasangan, namun terutama mengasihi pasangan sebagai seseorang / pribadi. Dengan demikian, pasangan ini dapat saling mengenal satu sama lain, dapat saling memberi dan menerima secara lebih mendalam dan spiritual.
Dalam perkawinan, pemberian dan penerimaan kasih terjadi sedemikian rupa, sehingga menggambarkan kasih yang total sebagaimana kasih Kristus kepada Gereja-Nya. Hubungan kasih ini mengatasi hubungan kontrak ataupun perjanjian, sebab yang mengikat adalah Kristus sendiri, yaitu ketika pasangan suami istri dipersatukan oleh Allah untuk mengambil bagian di dalam kehidupan Allah sendiri, dan dalam karya penciptaan-Nya. Oleh sebab itu hubungan suami istri memiliki makna luhur dan suci, dan karena itu tidak dapat diartikan dan dilakukan sekehendak hati manusia. Kebajikan kemurnian adalah segala upaya untuk menggunakan berkat seksualitas sesuai dengan rencana Tuhan. Hanya dengan mempraktekkan kebajikan kemurnian inilah maka kita dapat sungguh berbahagia.
Catatan: Bahan ini diberikan untuk session 4 (tanggal 2 November 2010) dari 9 session, seminar tentang “kabar baik tentang seks dan perkawinan” yang diselenggarakan oleh Seksi Kerasulan Keluarga Paroki Stella Maris.
satu artikel yang sgt berguna….ada pertanyaan….adakah pertunangan itu dianggap satu hubungan diluar pernikahan? ini disebabkan semasa pertinangan itu, majlis diberkati dengan doa pertunangan, cincin pertungan juga sudah diberkati dengan doa…dan adakah hubungan seks semasa pertunangan adalah dosa?…. terima kasih
[dari katolisitas: Secara prinsip, semua aktivitas seksual di luar pernikahan yang sah adalah berdosa.]
Terima kasih atas tulisannya yang sangat bagus dan bermuatan nilai ajaran Katolik yang sangat membimbing dalam bagaimana kita harus menyikapi diri kita akan pentingnya kemurnian jiwa dan raga sekaligus kemurnian dalam hidup perkawinan. Jesus memberkati Anda dengan karya-karya yang semakin menyelamatkan jiwa-jiwa. Amin. Melalui tulisan anda, saya jadi semakin mengenali keindahan ajaran Jesus dan dibimbing untuk melaksanakannya.
saya mau bertanya soal hubungan intim di luar pernikahan yang mengakibatkan hamil,
Menurut Alkitab apakah mereka harus menikah apa ada solusi lain???
karena mereka sama-sama belum ingin menikah dan mereka melakukan hubungan intim tanpa perasaan apa-apa (tidak ada hubungan pacaran/perasaan apapun, hanya terbawa suasana nafsu) mereka baru kenal.
si laki-laki siap membiayai anak sampai lahir bahkan sampai besar.
mohon bimbingannya.
terimakasih.
Shalom Wahyu,
Langkah pertama, menurut ajaran iman Katolik, tentunya perlu dipulihkan dahulu relasi dengan Allah karena perbuatan dosa melanggar kemurnian sehingga terjadi kehamilan di luar pernikahan. Hadir kepada imam untuk mengakukan dosa dan menerima rahmat pengampunan Tuhan lewat Sakramen Tobat.
Langkah kedua, perbuatan tersebut ada konsekuensinya, yang harus dijalani dengan tanggungjawab penuh, sekalipun dosa telah diakukan dan diampuni oleh Allah lewat Sakramen Tobat. Patut disyukuri dan diapresiasi dengan sungguh, bahwa kehamilan yang terjadi karena hubungan kasih sekilas di luar perkawinan itu tidak dihilangkan, tetapi mau untuk dilanjutkan dan dipelihara hingga lahir kelak, disertai komitmen untuk membiayai hidupnya sampai dewasa. Namun tentu seorang anak tidak hanya memerlukan biaya materiil dan pemenuhan kebutuhan fisik, ia juga mempunyai kebutuhan mental dan spiritual yang juga harus dipenuhi. Sebagai seorang anak ia memerlukan kasih yang utuh dari sepasang ayah dan ibu, khususnya yang melahirkannya. Maka memikul tanggung jawab sepenuhnya adalah memikirkan, mengupayakan, serta mewujudkan dengan sungguh-sungguh persiapan masa depan dari anak yang nantinya akan lahir itu. Ajaran Katekismus Gereja Katolik memberikan panduan mengenai keluarga sebagaimana tercantum dalam KGK no 2205 dan 2223.
§ 2205 Keluarga Kristen adalah persekutuan pribadi-pribadi, satu tanda dan citra persekutuan Bapa dan Putera dalam Roh Kudus. Di dalam kelahiran dan pendidikan anak-anak tercerminlah kembali karya penciptaan Bapa. Keluarga dipanggil, supaya mengambil bagian dalam doa dan kurban Kristus. Doa harian dan bacaan. Kitab Suci meneguhkan mereka dalam cinta kasih. Keluarga Kristen mempunyai suatu tugas mewartakan dan menyebarluaskan Injil.
§ 2223 Orang-tua adalah orang-orang pertama yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya. Pada tempat pertama mereka memenuhi tanggung jawab ini, kalau mereka menciptakan satu rumah keluarga, di mana terdapat kemesraan, pengampunan, penghormatan timbal balik, kesetiaan, dan pengabdian tanpa pamrih. Pendidikan kebajikan mulai di rumah. Di sini anak-anak harus belajar kesiagaan untuk berkurban, mengambil keputusan yang sehat, dan mengendalikan diri, yang merupakan prasyarat bagi kebebasan sejati. Orang-tua harus mengajar anak-anak, “membawahkan aspek-aspek jasmani dan alamiah kepada segi-segi batiniah dan rohani” (CA 36). Orang-tua mempunyai tanggung jawab yang besar, supaya memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya. Kalau mereka dapat mengakui kesalahannya kepada mereka, mereka lalu lebih mudah dapat membimbingnya dan menegurnya. “Barang siapa cinta kepada anaknya menyediakan cambuk baginya, supaya akhirnya ia mendapatkan sukacita karenanya. Barang siapa mendidik anaknya dengan tertib, akan beruntung karenanya” (Sir 30:1-2). “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Ef 6:4).
Pemeliharaan dan jaminan sepenuhnya akan perkembangan fisik, mental dan spiritual anak yang terbaik sebenarnya jika ia diasuh dan dibesarkan orangtua kandungnya sendiri, dalam keutuhan sebuah keluarga yang sehat dan bersandar kepada Tuhan dan Gereja-Nya di setiap aspeknya. Namun jika hal itu tidak memungkinkan, maka usaha untuk menuju ke arah terpeliharanya seluruh aspek kemanusiaan anak itu harus diupayakan hingga paripurna. Misalnya dengan mencari orangtua angkat yang bersedia merawat dan membesarkannya seperti anak sendiri dan merupakan sebuah keluarga Katolik yang sungguh konsekuen menerapkan ajaran iman Katolik. Semua itu disertai proses hukum yang jelas dan mengikat untuk menghindari terjadinya persoalan yang tidak menguntungkan bagi si anak di kemudian hari. Pencarian dan penelitian terhadap calon orangtua itu harus dilakukan dengan cermat dan tidak tergesa-gesa selama waktu yang ada, dengan kasih, kesabaran serta doa-doa, sehingga didapatkan sebuah keluarga yang akan sungguh menyayangi anak itu dan membesarkannya dalam Tuhan dalam terang iman Katolik sampai kelak hingga ia dewasa dan mandiri sebagai manusia seutuhnya.
Semoga sharing ini dapat membantu. Salam kasih dalam Kristus Tuhan
Triastuti – katolisitas.org
Apakah wanita masih murni jika kehilangan perawan saat melakukan aktifitas atau terjatuh dan tidak pada melakukan hubungan.
[dari katolisitas: Tentu saja masih murni, karena kemurnian diukur dari keutuhan seksualitas: badan, biologis, pribadi]
saya mau tanya,,,,
kenapa harus ada sex bebas?
siapa yang mengharuskan??
trimakasiu gbu,
[dari katolisitas: Silakan membaca artikel di atas tentang kemurnian di luar perkawinan – silakan klik. Seks yang dilakukan di luar perkawinan yang sah adalah merupakan dosa. Manusia yang menuruti hawa nafsu dapat masuk dalam seks bebas. Dan sudah seharusnya, kita harus menghindari dosa seperti ini. Jadi, tidak ada yang mengharuskan, bahkan kita harus menjauhi perbuatan dosa ini.]
kalau misalnya ciuman,tapi masih bisa dihandle, dan masih tau batasannya dosa gak? artinya gak mikir sampe mau “buka-bukaan” bgtu? makasih. Tuhan mmbkrti
[Dari Katolisitas: Silakan Anda menilai diri Anda sendiri dengan jujur dan bertanggungjawab, apakah Anda dapat mengendalikan diri Anda sendiri dan tidak akan terbawa oleh dorongan yang tidak sehat? Semoga dengan kehendak yang kuat untuk mempertahankan kemurnian tubuh dan jiwa, (baik bagi Anda sendiri maupun kekasih Anda), Anda dimampukan untuk bertindak bijaksana sehubungan dengan cara mengungkapkan kasih Anda kepada kekasih Anda.]
tulisan ne sangat amat membantu saya
aku ga bisa berkata apa2 selain syukurku kepada Tuhan karna talh mengenal web ne, saya akui saya memang ga murni lagi tp saya yakin saya ga terlambat tuk berubh menjadi lbh baik
salam damai buat kita semua
Salam Tim Katolisitas
saya seorang pria, 19 tahun
saya ingin bertanya mengenai sebuah ayat dalam Alkitab (lupa ayat pastinya) yang intinya mengatakan bahwa, Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Apakah dengan mengingini seorang wanita (misalnya membayangkan dia akan menjadi pacar atau menjadi pasangan hidup kita dan Ibu dari anak2 kita) sudah merupakan berzinah? Atau Ayat ini harus dipahami jauh lebih dalam dari interprestasi yang saya sebutkan di atas?
Mohon pencerahannya, Tuhan memberkati
Shalom Asmin,
Mungkin ayat yang dimaksud adalah ayat Mat 5:28, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” Istilah “menginginkannya” di sini artinya melihat kepada perempuan itu dengan hawa nafsu (to look at a woman with lust).
Paus Yohanes Paulus II dalam khotbahnya Theology of the Body menjelaskannya tentang perzinahan di hati’ demikian: “Percabulan di hati dilakukan bukan hanya karena laki-laki melihat dengan cara sedemikian kepada seorang perempuan yang bukan istrinya, tetapi karena ia melihat dengan cara sedemikian kepada seorang perempuan…. Meskipun laki- laki itu melihat dengan cara sedemikian kepada perempuan yang adalah istrinya, ia tetap melakukan percabulan di hatinya.” (TOB 43:2). Maka di sini Paus mengajarkan bahwa hubungan suami istri tidak boleh direduksi artinya hanya sebagai pemuasan kebutuhan seksual, namun sebagai ungkapan kasih yang total antara suami istri sesuai dengan kehendak Tuhan. Sedangkan bagi yang tidak menikah, tentu maksudnya agar janganlah seorang pria melihat seorang wanita dengan hawa nafsu, seolah wanita itu adalah obyek pemuas keinginan seksual baginya.
Sedangkan kalau seorang pria melihat seorang wanita, lalu tertarik akan pribadinya dan ingin lebih mengenalnya lebih jauh dengan harapan agar dapat menjadi kekasih, tentu saja tidak apa-apa.
Silakan membaca lebih lanjut tentang topik Kemurnian, di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam team Katolisitas,
Saya sempat membaca sekilas mengenai Teologi Tubuh dari buku karangan Rm Deshi (Lihatlah Tubuhku). Apa yang saya tangkap adalah manusia awal diciptakan dengan seksualitas yang ‘baik’ (maaf mungkin saya kurang paham bahasa yang tepat untuk ini) tapi karena jatuh dalam dosa sehingga manusia mempunyai nafsu birahi.
Nafsu ini yang membuat manusia dapat memandang lawan jenisnya yang (maaf) telanjang dan ‘meninginkannya’, sebagaimana (mungkin) umumnya dalam diri kita manusia modern / beradab.
Yang ingin saya tanyakan, bagaimana dengan suku2 pedalaman/primitif? Saya memperhatikan bahwa mereka tidak berpakaian semestinya (telanjang) sebagaimana kita manusia modern. Tapi kok sepertinya mereka tidak memiliki nafsu birahi ya? Mereka hidup dalam lingkungan seperti itu, baik dengan lawan jenisnya juga.
Seolah2 mereka tidak memiliki efek dari dosa asal, sehingga dapat hidup di lingkungan demikian. Beda dengan kita manusia modern/beradab.
Mohon dapat dijelaskan mengenai fenomena ini. Karena saya masih sedang proses pemahaman seksualitas secara benar.
Terima kasih..
Tuhan berkati
Shalom Ignatius,
Sejujurnya untuk menanggapi pertanyaan Anda ini diperlukan studi khusus yang menyeluruh, untuk memperoleh hasil penelitian yang obyektif. Sebab jika membaca sekilas di internet, nampaknya para ahli statistik kependudukan -yang mengamati hal seksualitas di kelompok masyarakat primitif- mempunyai kesimpulan yang berbeda- beda tentang hal ini. Katolisitas tidak mempunyai keahlian untuk menilai pendapat mana yang benar dalam hal ini, namun kami hanya melihat faktanya saja bahwa banyak kelompok masyarakat primitif cenderung berpoligami (seperti contohnya banyak suku primitif di Afrika) dan dengan demikian juga menunjukkan kecenderungan adanya kesulitan untuk menahan hawa nafsu. Maka, sama seperti orang-orang di peradaban yang sudah maju, mereka-pun menghadapi masalah yang sama dalam hal ini.
Dengan demikian, hal menjaga kemurnian tubuh, secara umum merupakan ‘tantangan’ bagi semua orang di setiap zaman, walaupun mungkin manifestasi tantangannya muncul dalam hal yang berbeda. Bahwa orang-orang di zaman primitif terkesan tidak memiliki efek cinta roman seperti yang ada pada masyarakat modern/ beradab, itu mungkin benar, tetapi bukan berarti mereka tidak mempunyai hawa nafsu. Dalam bentuk yang berbeda, kelemahan ini juga nampak misalnya pada kasus- kasus di mana ada suku-suku yang para pria-nya mempunyai banyak pasangan wanita yang bahkan di luar ikatan perkawinan. Maka nampaknya sejak awal terdapat kesulitan umum, untuk memenuhi kehendak Allah sejak awal Penciptaan manusia, bahwa perkawinan [dan dengan demikian hubungan seksual], hanya diperuntukkan bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan (lih. Kej 2:24). Hal ini kembali diajarkan oleh Kristus (Mat 19:5-6), dan bahkan diperkuat dengan pengajaran Yesus bahwa jika seseorang laki-laki dengan melihat dan menginginkan perempuan maka ia sudah berdosa di hadapan Tuhan (lih. Mat 19:5-6; 5:28). Dengan ayat-ayat ini, maka Tuhan Yesus mengajarkan bahwa hubungan seksual seharusnya tidak didasari oleh dorongan keinginan tubuh, tetapi pertama-tama sebagai ungkapan kasih yang seutuhnya, dan ini hanya diperuntukkan bagi seorang suami dan seorang istri.
Selanjutnya tentang seksualitas, silakan membaca artikel-artikel di bawah ini:
Kemurnian di luar Perkawinan
Kemurnian di dalam Perkawinan
Indah dan Dalamnya Makna Perkawinan Katolik
Humanae Vitae itu Benar!
30 tahun seruan Familiaris Consortio
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Bu Ingrid..
Terima kasih atas tanggapannya. Saya sudah membaca ulasan link yang ibu berikan. Memang di jaman sekarang bukan hal yang mudah untuk mengerti dan memahami sepenuhnya akan hal ini.
Ada satu lagi yang mengganjal di pikiran saya sehubungan dengan ulasan Bu Ingrid mengenai “3. Ketelanjangan Asali (Original Nakedness)”
Ketelanjangan asali merupakan pengalaman telanjang namun tanpa rasa malu (Kej 2:25), …
Sehubungan dengan pertanyaan saya sebelumnya mengenai fenomena suku2 primitif/pedalaman, sepertinya kok mereka mempunyainya ya ? Kalau kita lihat di televisi misalnya, kaum wanita dari suku2 tsb -maaf- bertelanjang dada tanpa rasa malu.
Apakah ini semata2 pengaruh budaya atau karena perasaan tidak tahu malu / tidak peduli pada -maaf- “nude artist” ?
Terima kasih.
Shalom Ignatius,
Sejujurnya, kesulitan kita untuk memahami makna ketelanjangan asali ini disebabkan karena kita semua, sebagai keturunan Adam dan Hawa telah kehilangan rahmat yang asali (dalam bahasa teologisnya: ‘preternatural gifts‘) akibat dosa asal yang kita terima dari mereka; sehingga selama hidup kita di dunia kita berada dalam pengaruh kecondongan terhadap dosa (istilah teologisnya: ‘concupiscentia‘)
Tertulis dalam Kitab Suci, bahwa setelah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, “terbukalah mata mereka berdua, dan mereka tahu bahwa mereka telanjang” (Kej 1:7) lalu mereka membuat cawat. Maka sudah sejak awal mula, manusia mengenal penutup tubuh, walaupun tentu tidak sebaik penutup tubuh/ pakaian seperti yang ada di zaman sekarang.
Pada masyarakat primitif, masalahnya adalah soal peradaban manusia. Jika mereka tidak mengenal pakaian yang lengkap seperti pada masyarakat di zaman sekarang, disebabkan karena tingkat peradaban mereka yang masih rendah dibandingkan dengan peradaban manusia yang maju. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa mereka justru yang lebih ‘orisinil’ karena mereka mendekati telanjang. Sebab biar bagaimanapun, sesungguhnya mereka tetap mengenal rasa malu akan ketelanjangan mereka; maka mereka tetap membuat penutup tubuh/ pakaian, hanya saja tidak selengkap di zaman sekarang, yang melibatkan bahan pakaian, potongan yang disesuaikan dengan ukuran tubuh dan cara pembuatan pakaian sedemikian, yang mungkin tidak terbayangkan oleh masyarakat yang belum maju peradabannya, sehingga mereka mengabaikannya. Namun begitu peradaban tersebut berkembang, mereka akan meninggalkan cara berpakaian yang sedemikian, dan berpakaian dengan lebih memadai dan sopan.
Nah, memang menurut Paus Yohanes Paulus II, dewasa ini terdapat dua sikap ekstrim sehubungan pandangan akan tubuh. Yang pertama adalah sikap yang menganggap segala sesuatu yang berhubungan dengan tubuh adalah dosa, sehingga tubuh ditutupi sedemikian sehingga sepertinya merupakan benda yang ‘jahat’ dari dirinya sendiri. Ekstrim yang lain adalah sikap yang mengagung-agungkan/ mendewakan tubuh, sehingga tubuh dianggap segala-galanya, diekspose sedemikian rupa untuk mengumbar keinginan daging. (Inilah yang mungkin seperti Anda maksud, yaitu sikap orang-orang menjadi tidak tahu malu atau tidak peduli lagi dengan nilai-nilai kesopanan/ kesusilaan). Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa iman Kristiani menolak kedua sikap ekstrim ini. Sebab tubuh manusia sesungguhnya baik dan kudus (sebab diciptakan Allah sangat baik adanya, Kej 1:31) sehingga Allah berkenan menjadikannya sebagai tempat kediaman Roh Kudus (1Kor 3:16; 9:16). Oleh karena itu, tubuh harus diperlakukan dengan hormat, sesuai dengan keagungan martabat manusia. Maka tubuh bukan untuk dianggap sebagai sesuatu yang menjijikkan, namun juga tidak untuk didewakan dan dituruti segala keinginannya.
Sekarang tentang nude artist. Diperlukan sikap yang lebih obyektif tentang hal ini, dalam artian bahwa dalam kesenian (terutama seni lukis) terdapat perbedaan yang besar antara lukisan-lukisan yang menggambarkan tubuh dengan keanggunan martabatnya, dengan lukisan yang menggambarkan tubuh secara erotis yang mengarah kepada pornografi. Misalnya dalam mempelajari arsitektur, untuk memahami prinsip proporsi, kita mengenal bagaimana bentuk bujursangkar dan lingkaran diambil dari proporsi tubuh manusia, sebagaimana disketsakan oleh Leonardo da Vinci, gambar seorang laki-laki yang merentangkan tangannya, tanpa pakaian, dalam posisi berdiri, dan dengan kaki rapat maupun dengan kaki terbuka. Gambar macam ini, walaupun terlihat nude, namun tidak bernuansa erotis. Lain halnya dengan berbagai gambar atau foto nude di zaman sekarang, yang entah dari posenya ataupun dari ekspresi modelnya yang memang menghasilkan efek yang erotis. Memang gambar-gambar semacam ini bisa memberikan efek yang berbeda pada tiap-tiap orang, dan karena itu, diperlukan prudence/ kebijaksanaan untuk dapat memilih apa yang ingin kita lihat; dan yang harus kita hindari, jika memang itu memberi pengaruh yang buruk bagi pikiran kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Bu Ingrid,
Terima kasih atas kesabarannya menanggapi..cukup mencerahkan saya.
Tuhan berkati pelayanan Anda & team..
Shalom.
Situs katolisitas.org sangat bisa membantu saya. Maka saya ingin tanya. Saya pernah mendengar wacana tentang beberapa pemuda di dunia kemiliteran yang (maaf kalau kurang sopan) “menuntaskan” dorongan biologisnya sebagai lelaki dengan menjepit “milik vital” mereka ke paha mereka, sehingga ada istilah “jepit paha”. Saya ada ingin tahu bagaimana sikap iman Katolik/Tradisi Katolik/Gereja Katolik/Alkitab Katolik atas perbuatan mereka. Dosakah perbuatan itu?
Terima kasih.
Shalom Vincentius,
Seseorang yang melakukan masturbasi dengan cara apapun bertentangan dengan kemurnian. Katekismus Gereja Katolik menjelaskannya sebagai berikut:
Kalau anda ingin mengetahui pandangan Gereja Katolik tentang seksualitas di luar perkawinan, silakan membaca artikel di atas – klik ini. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Permisi,
saya ingin bertanya, bagaimana jika orang tua tidak setuju dengan hubungan anaknya dengan pacarnya, dengan alasan berbeda agama. Akan tetapi pacarnya sudah niat mau katakumen, sehingga pindah agama ke Katholik. Tetapi tetap saja dilarang oleh orang tuanya dengan alasan yang tidak jelas.
Apakah perbuatan orang tuanya benar dan tidak dosa??
Apakah di Alkitab ada pembahasan tentang ini???
Shalom Indra,
Nampaknya yang diperlukan adalah dialog dengan orang tuanya, mengapa mereka menentang hubungan sang anak dan pacarnya itu. Sebab mungkin ada alasan lain yang telah diamati oleh orang tua yang dianggapnya sebagai penghalang kecocokan hubungan sang anak dan pacarnya itu (yang bukan perihal agama). Hal itulah yang mungkin perlu dibicarakan dengan orang tua, sebab umumnya orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Namun seringkali hal ini tidak dikomunikasikan dengan baik, sehingga menimbulkan salah paham.
Adalah baik jika di dalam dialog, kedua belah pihak, baik orang tua maupun anak mempunyai keyakinan bahwa kedua belah pihak bermaksud baik, sehingga dialog dapat berjalan dengan baik. Silakan juga membawa permasalahan ini di dalam doa, agar dapat diperoleh saling pengertian dan jalan keluarnya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Mengapa seks bebas di Katolik dilarang? Bukankah itu wujud dari cinta kepada seseorang?
Shalom Monica,
Saya mengusulkan agar anda dapat membaca terlebih dahulu artikel kemurnian di luar pernikahan di atas – silakan klik. Sebelum saya menjawab pertanyaan anda, maka cobalah anda merenungkan juga, agama mana – yang mempercayai Tuhan yang satu dan mempercayai Sorga dan neraka – yang memperbolehkan seks bebas? Dari sini, mungkin anda dapat melihat bahwa larangan akan seks bebas bukan hanya dari agama Katolik, namun juga hampir semua agama. Seks bebas tidak berhubungan dengan cinta yang sejati, namun erat berhubungan dengan cinta yang hanya memuaskan nafsu dan keinginan diri sendiri.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom bu Inggrid dan pak Stef
Saya baru gabung di sini. Saya baca sepintas tentang isi artikel ini dan semua pertanyaan di artikel ini. Yang jadi ganjalan pada diri saya adalah: apabila sudah terlanjur tidak murni, apakah sudah cukup hanya dengan melakukan pengakuan dosa? Tidak adakah tanggung jawab bagi pria dan wanita itu setelah mereka terlanjur tidak murni.
Sedikit gambaran, ada sepasang muda mudi melakukan hubungan badan di luar pernikahan, kemudian mereka putus. Wanita ini merasa kotor dan jijik pada dirinya sendiri, yang kemudian harus terpaksa mengemis pada si pria supaya tidak putus. Tapi si pria tidak peduli, karena sejatinya hubungan mereka ditentang oleh keluarganya. Saya tidak tau apakah masih ada kasih dan cinta dalam diri si pria maupun si wanita ini.
Gimana menurut ibu dan bapak? maaf kalo kurang berkenan. Terima kasih
Salam Katarina,
Setiap manusia wajib bertanggung jawab atas perbuatan yang dia lakukan. Tanggung jawab itu bentuknya berbagai macam untuk tiap kasus, namun bertujuan untuk menyembuhkan yang luka, memperbaiki hubungan, membuat kondisi yang rusak dipulihkan seoptimal yang bisa dilakukan, dan sebagainya. Dalam kasus yang Anda ajukan, sebenarnya jika tidak ada komitmen untuk mau menikah, maka perkawinan bukanlah bentuk tanggungjawab yang pas karena menikah hanya boleh dilakukan oleh pria dan wanita dewasa yang mau berkomitmen dengan bebas tanpa rasa terpaksa. Jika karena terpaksa (karena hubungan badan, bahkan karena terlanjur hamil) maka tidak bijaksanalah jika perkawinan menjadi satu-satunya bentuk tanggung jawab. Hanya jika si lelaki rela dan mau menikahi, maka tanggungjawab berupa pernikahan bisa dilakukan.
Tanggung jawab mempunyai arti yang jauh lebih luas daripada pernikahan. Dalam kasus yang Anda contohkan itu, si lelaki harus bertanggungjawab memulihkan hubungan baik, memahami dan memulihkan keadaan psikis si perempuan dengan berbagai cara yang baik dan benar, adil dan bermartabat, ia pun wajib belajar dari pengalaman itu agar lebih menghargai perempuan dan dirinya sendiri, serta tidak melakukannya lagi dengan mantan pacarnya maupun wanita lain. Jika ia Katolik, pertama-tama ia harus mengakukan dosanya dan mohon absolusi sebagai awal pertanggungjawabannya di hadapan Allah dan mendapatkan kekuatan. Si perempuan pun harus bertanggungjawab untuk memulihkan keadaan dirinya dengan berbagai cara yang baik dan benar, adil dan bermartabat, berupaya menjadi mandiri kembali dan belajar dari pengalaman buruk tersebut. Jika ia Katolik, ia pun wajib mengaku dosa dan memperoleh absolusi, sebagai langkah awal tanggungjawabnya di hadapan Allah dan agar mendapat kekuatan.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto, Pr
terima kasih bu Ingrid atas penjelasannya…sangat membantu. GBU
Shalom Bu Ingrid dan Pak Stef, mau bertanya : apakah seorang wanita yang sudah Katholik dan sedang hamil di luar nikah boleh menerima pemberkatan di dalam gereja Katholik, baik pasangannya Katholik maupun non-Katholik? Terima kasih sebelumnya. GBU
Shalom Armand,
Pertanyaan serupa sudah pernah dijawab oleh Romo Agung di sini, silakan klik.
Ketiga hal yang membuat perkawinan tidak sah menurut hukum perkawinan Katolik, adalah sebagai berikut: 1) halangan menikah, klik di sini; 2) cacat konsensus 3) cacat forma kanonika; kedua hal ini, klik di sini. Maka jika pasangannya non- Katolik, harus diadakan kesepakatan terlebih dahulu, agar pasangan setuju diberkati di Gereja Katolik. Jika hal ini tidak memungkinkan karena satu dan lain hal (misalnya pasangan dari gereja non Katolik) maka harus dimintakan terlebih dahulu dispensasi dari pihak ordinaris. Kemungkinan ini akan memakan waktu, padahal mungkin diinginkan agar cepat diadakan pemberkatan, mengingat sang wanita sudah mengandung. Maka jika hal ini situasinya, maka lebih baik diadakan pemberkatan di Gereja Katolik, sebab keadaan ini tidak mengharuskan pasangannya menjadi Katolik; walaupun jika pasangan sama- sama Katolik, tentu akan lebih memudahkan kehidupan keluarga nantinya, yang berhubungan juga kesatuan rohani suami istri dan kesatuan arah pendidikan anak.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syalom Katolisitas
Mohon tanya :
Apakah gereja Katolik bisa memberikan pemberkatan nikah kepada pasangan yang “kecelakaan” sehingga hamil lebih dahulu ?
Jika tidak bisa ke mana mereka harus pergi supaya mereka bisa disahkan menjadi suami istri ?
Terima kasih
mac
Shalom Machmud,
Gereja Katolik dapat memberikan pemberkatan atau sakramen perkawinan kalau salah satu atau keduanya Katolik. Tentu saja dalam kasus ‘kecelakaan’ sehingga hamil terlebih dahulu, maka perlu ada penyelidikan kanonik dan pengakuan dosa dalam Sakramen Tobat.
Namun, kalau yang anda maksud pasangan tersebut bukan umat Katolik dan tidak berniat untuk menjadi Katolik, maka pastor tidak dapat memberkati mereka. Kalau mereka umat dari gereja tertentu maka pasangan ini dapat minta pemberkatan kepada pendeta yang bersangkutan. Menurut saya, walaupun kondisinya tidak ideal, seharusnya kehamilan tidak boleh menghalangi pemberkatan pasangan yang ingin mengikat janji perkawinan di hadapan Tuhan, yang tentu saja mensyaratkan pertobatan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Angela.
Pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas tanggapannya bagi tulisan saya.
Setelah saya renungkan kembali tulisan awal saya sekaligus saya memposisikan diri dalam posisi bu Ingrid, saya rasa jawaban yang diberikan bu Ingrid cukup tepat. Namun tanggapan anda juga benar bila dilihat dari sisi lain. Pandangan dari perspektif yang berbeda inilah yang membuat saran yang diberikan berbeda juga. Namun dengan sedikit tambahan informasi yang tidak terduga sebelumnya oleh bu Ingrid memberikan keluasan perspektif pula bagi beliau sehingga dengan cepat memberikan ulasan-ulasan tambahan (sejak pkl 6 pagi beliau sudah menghubungi saya karena informasi “kejutan” saya itu).
Bagaimanapun, terima kasih banyak atas saran-saran dan pandangan dari anda.
Kemudian ijinkan saya sedikit sharing mengenai pendapat anda perihal “…..jangan meminta komentar dari banyak orang…..dst”.
Dalam hal ini saya pribadi kurang setuju dengan pendapat anda.
Alangkah indahnya dunia ini bila keadaan ideal yang anda sarankan dapat dilaksanakan dan dicapai setiap orang hingga setiap individu cukup berdoa saja pada Tuhan dan tunggu jawaban-Nya.
Sedangkan kita tahu banyak orang mengatakan telah berdoa dengan sungguh-sungguh dan merasa mendapatkan jawaban dari Tuhan, tapi kenyataan yang terjadi begitu banyak perselisihan dan “kekacauan” di dunia ini, di mana secara iman dapat kita pastikan jawaban Tuhan tidak akan salah dan tidak akan menyebabkan “kekacauan”.
Kemudian kembali kita memberikan nasihat ke sesama kita untuk berdoa kembali dengan sungguh-sungguh. Dalam hal ini tentunya kita merasa perlu untuk memberikan nasihat tersebut hingga kita melakukannya. Dengan kata lain bahwa nasihat juga diperlukan dari dan bagi orang lain. Sehingga bagi saya, doa adalah penting, bahkan SANGAT PENTING, namun nasihat yang bijaksana dari sesama kita juga dapat menjadi penerang akal budi kita.
Bagaimanapun kita tercipta dan hadir di dunia sebagai makhluk sosial, yang dalam kehidupan keseharian kita selalu berhubungan dan berkomunikasi dengan sesama, termasuk mendengarkan apa saran-saran orang lain dan juga kita dapat memberikan saran-saran baik kita pada sesama. Saya rasa kita sepakat bahwa kepedulian terhadap sesama itulah yang memberikan keindahan pada kehidupan ini, dan salah satu kepedulian kita termasuk keikhlasan kita memberikan saran-saran yang baik.
Kodrat sebagai makhluk sosial inilah yang mengajar kita perlunya membuka diri terhadap kehadiran yang lain, yang akhirnya akan memberikan kesadaran bahwa kita tidak dapat hidup tanpa bantuan, uluran tangan, sekaligus campur tangan orang lain, yang dimulai bahkan sejak kita dilahirkan. Hal ini bukan dimaksudkan untuk meniadakan kebesaran dan kekuatan Tuhan, namun justru dengan kesadaran campur tangan pribadi lain itulah kita semakin “melihat dan merasakan” kebesaran Tuhan.
Saya rasa Tuhan juga tidak “alergi” untuk menggunakan orang-orang pilihan-Nya sebagai pengantara berkat bagi kita. Sehingga Dia berkenan menyembuhkan anak seorang bawahan serdadu Romawi dengan perantaraan si serdadu tersebut, disebabkan imannya yang besar.
Demikian sekedar sharing saya. Tuhan memberkati.
Salam dalam kasih Yesus dan Bunda-Nya.
Shalom Pak Stef & Bu Ingrid.
Setelah membaca artikel bapak & ibu perihal kemurnian, saya ingin mendapatkan saran untuk hal sebagai berikut:
Akibat pergaulan bebas yang semakin marak terjadi saat ini, seorang gadis Katolik (anak seorang teman saya) usia 21 tahun hamil di luar nikah dengan kekasihnya yang seorang Protestant. Bila dilihat dari sisi kesiapan mental maupun perekonomian, mereka berdua belum siap untuk menikah (si gadis mahasiswi dan si pemuda pengangguran lulusan sma usia 21 tahun juga).
Orang tua si gadis dari keluarga Katolik sangat marah dan tidak menyetujui hubungan keduanya sehingga tidak setuju untuk menikahkannya, terlebih lagi si pemuda tidak mau berpindah ke agama Katolik, sehingga saat ini orang tua si gadis memisahkan mereka dan berencana untuk mengirimkan anaknya ke luar negeri. Untunglah mereka cepat sadar untuk akhirnya tidak menyuruh anaknya melakukan aborsi.
Rencana mereka apabila bayi tersebut sudah lahir, orang tua si gadis akan mengadopsinya, dengan pertimbangan agar anaknya tidak sulit untuk bisa mendapatkan suami yang lebih baik.
Bagaimana saran Pak Stef/ Bu Ingrid, langkah apa yang sebaiknya dilakukan untuk mendapatkan penyelesaian yang terbaik yang tentunya jangan sampai melanggar ajaran Gereja Katolik.
Terima kasih.
Salam dalam kasih Yesus & Maria.
Shalom Vinsensius Budi,
Hal kehamilan yang tidak direncanakan dan ketidaksiapan mental dan ekonomi untuk menikah memang bukan alasan yang baik untuk melangsungkan perkawinan. Sebab jika dipaksakan kepada yang bersangkutan, sebenarnya malah menjadikan perkawinan tersebut cacat konsensus. Silakan membaca di situs ini, bahwa cacat konsensus adalah satu dari ketiga hal yang membuat perkawinan itu sesungguhnya tidak memenuhi syarat sebagai perkawinan yang sah.
Maka keputusan untuk tidak melangsungkan perkawinan kedua remaja itu adalah keputusan yang nampaknya baik, mengingat kenyataan yang ada. Demikian juga keputusan untuk tidak melakukan aborsi, itu adalah keputusan yang baik. Namun hal yang tak kalah penting adalah mengarahkan anak gadis itu agar jangan sampai terjerumus lagi ke dalam pergaulan yang tidak baik. Ia perlu juga belajar untuk menerima konsekuensi dari perbuatannya. Jika sementara ini diputuskan bahwa anak tersebut diadopsi/ dirawat oleh orang tua anak gadis itu, agar ia itu dapat melanjutkan sekolah, janganlah sampai ditutup kemungkinan bahwa suatu saat anak itu akan kembali diasuh oleh ibunya sendiri, yaitu anak perempuan itu. Semoga anak gadis itu dapat menyadari bahwa biar bagaimanapun, anak itu adalah anak kandungnya, sehingga yang terbaik adalah anak itu kembali ke dalam asuhannya. Janganlah biarkan satu dosa membawa dosa dan kepahitan yang lain. Anak yang dikandungnya itu tidak bersalah, dan ia sesungguhnya berhak untuk dirawat dan dikasihi oleh ibunya sendiri. Jangan sampai anak itu akhirnya merasa ‘dibuang’ oleh ibunya sendiri, karena hal itu akan membawa kepahitan di dalam jiwa anak tersebut. Biarlah suatu rantai dosa dihentikan, agar tidak mengakibatkan kepahitan, kebencian, atau pengalaman negatif lainnya di dalam diri anak yang dikandungnya itu.
Nampaknya baik, jika keluarga ini mengikuti retret Luka Batin (baik sang anak gadis maupun orang tua), karena mungkin sudah begitu banyak air mata, penyesalan dan luka- luka batin yang dialami oleh keluarga itu, dan hanya Tuhan Yesus yang mampu menyembuhkannya. Selanjutnya, serahkan kepada rencana Tuhan tentang masa depan anak gadis itu; semoga kelak mendapatkan suami yang tulus mengasihi dan dapat menerima keadaannya apa adanya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Oh My God!
Ibu Ingrid…are u serious???
Membiarkan bayi itu tidak punya ayah???
Bukankah ada pepatah: rejeki bisa dicari…sementara anda menganjurkan sang pemuda tidak menikahi gadis itu…dan bahkan mendoakan agar dia mendapatkan pria lain….
My God! that’s why I really disagree with whatever called CACAT KONSENSUS…we are talking about human…a baby….don’t tell me you are not a pro-lifer….I knew very well…u did not mind to pray in front of abortion homes in US…then why now u changed so much?
the guy was willing to marry and be responsible to the girl and the baby…21 yrs is not too young…oh God! how could u??
can u imagine if the baby asks the mother: where is my dad?
What do u want her to say: u r dad is not rich enough to marry me…so I will get u a better dad….a Catholic one and a wealthy one so he can afford to buy us food and home!
I thought I was adviced to accept a man for whoever he is, never worried about wealth….did not u say so to me? oh pleaseee
Angela
Shalom Angela,
Silakan membaca komentar lanjutan saya kepada Vinsensius, klik di sini.
Harap dipahami, bahwa kami menjawab berdasarkan atas informasi yang diberikan kepada kami, yang memang sangat terbatas sehingga sulit bagi kami untuk mengetahui keadaan sebenarnya yang terjadi. Di pertanyaan Vinsensius itu tidak dikatakan bahwa sang pemuda itu mau menikahi si gadis, malah Vinsensius mengatakan, “mereka berdua belum siap untuk menikah“. Oleh karena itu, saya memberikan masukan sesuai dengan keterangan itu, yaitu bahwa kedua pasangan itu memang secara mental maupun ekonomi tidak siap untuk mengambil tanggung jawab untuk menikah dan menjadi orang tua bagi anak yang dikandung oleh pemudi itu. Jadi yang menjadi masalah di sini adalah tidak adanya kesiapan mental, bukan saja ketidaksiapan secara ekonomi. Sebab anda benar bahwa keadaan ekonomi mungkin dapat diselesaikan, misalnya dengan bantuan keluarga/ kerabat mencarikan pekerjaan, tetapi hal kesiapan mental itu tidak dapat dipaksakan. Pihak orang tua dapat memberikan pengarahan, tetapi pada akhirnya pasangan muda itu sendiri yang memutuskan, karena mereka bukan lagi anak- anak kecil yang bisa dipaksa oleh orang tua/ pihak lain. Jika dipaksakan juga akhirnya perkawinan tidak bertahan lama, seperti terbukti di banyak kasus problema perkawinan.
Maka konsensus merupakan prasyarat yang penting dalam perkawinan, walaupun anda dapat saja tidak menyetujuinya. Jika Gereja Katolik mengajarkannya, itu karena memang ada dasarnya, karena kasih yang tulus -yang menjadi salah satu dasar perkawinan- itu tidak boleh dipaksakan. Sebab jika dipaksakan, namanya bukan kasih lagi, dan dengan demikian sesungguhnya perkawinan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat.
Jadi anda salah paham jika menyangka bahwa pandangan yang saya berikan di sini hanya berlandaskan atas pandangan bahwa sang pemuda itu tidak siap secara ekonomi, atau karena pemuda itu tidak Katolik. Saya tidak mengatakan demikian dalam jawaban- jawaban saya. Saya pro- life dan akan tetap pro- life, seperti yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Dalam jawaban- jawaban yang sudah saya berikan, tidak ada perubahan dalam prinsip saya ini, sebab saya tidak akan pernah menganjurkan aborsi. Mohon jangan memberikan tuduhan tanpa ada dasar yang jelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Angela.
Bagaimana jika lain kali kalau mau komentar, baca dulu dan pahami apa persoalannya. Komentar Angela di atas sangat tidak relevan dengan persoalan. Point yang paling penting dalam kasus ini adalah pernyataan bahwa sepasang anak muda ini :”belum siap secara mental dan ekonomi” untuk menikah. Jika menikah hanya karena alasan bertanggung jawab menghamili, itu belum cukup. “Kesiapan Mental untuk mendirikan sebuah keluarga” harus menjadi pertimbangan. Anda menulis : “Don’t tell me you are not pro lifer” sangat …. [dari Katolisitas:diedit, mungkin maksudnya: tidak relevan] Sudah dinyatakan di atas bahwa bayinya nanti akan diadopsi, oleh kakek dan neneknya. Dalam bahasa Indonesia, itu cukup menjelaskan bahwa bayi mereka akan tetap ditunggu kelahirannya.
Saran Angela untuk menerima seorang-laki-laki sebagai suami, siapapun dia, jangan terapkan pada diri Angela sendiri. Pilihlah pasangan yang secara “mental” siap untuk berkeluarga, dengan demikian siap untuk melindungi keluarganya nanti, termasuk juga : siap untuk bersedia mencari nafkah bagi keluarganya, Dan pilihlah yang seiman agar arah perahu keluarga menuju tempat yang sama. PERCAYALAH orang tua Angela sendiri pasti akan setuju dengan saran saya ini.
[diedit]
Shalom.
Della Mari, Bagaimana jika lain kali kalau mau komentar, baca dulu dan pahami apa persoalannya. Komentar Della di atas sangat tidak relevan dengan persoalan.
Kalo Della setuju dengan kasus diatas ya silakan, saya tetap tidak setuju and biarpun sedunia bilang setuju, I will say no! thanks.
angela
[dari katolisitas: Tidak ada yang memaksa anda untuk setuju dengan pendapat orang lain maupun pendapat katolisitas. Kami telah menyampaikan pendapat dengan argumentasi-argumentasi. Kalau anda tidak dapat menerimanya, maka itu adalah hak anda dan tidak ada yang dapat memaksakannya kepada anda.]
Salam, Angela.
Faktanya, banyak orang tidak mau menikah, atau mulai sadar bahwa dalam banyak kasus “kecelakaan” , tidak bijaksana demi anak bisa “tahu ayah biologisnya” lalu dipaksakan adanya perkawinan yang sebenarnya mereka tidak menghendakinya. Biasanya perkawinan yang demikian hanya seumur jagung pula bahkan menorehkan luka baru. Silahkan klik http://www.orangmudakatolik.net/2012/01/pandangan-gereja-terhadap-data-hasil-survei-single-mother-di-keuskupan-agung-jakarta/ Di situ dipaparkan betapa rumitnya persoalan “single mother” sekaligus pendampingan yang bertanggungjawab atas anak-anak dan ayah ibunya yang lahir karena “kecelakaan”. Itulah akibat dosa “ketidakmurnian” di mana dosanya sudah diampuni, namun akibatnya harus ditanggung sebagai konsekuensi logis. Namun, dari banyak sharing para “single mother” yang didampingi oleh Gereja, banyak keajaiban dan campur tangan Tuhan terhadap mereka yang mau memperbaiki diri dan bertanggungjawab, serta menjaga kemurnian setelah dipulihkan secara sakramental. Gereja dengan pengalaman selama ini menghormati kebebasan orang, namun juga menuntut tanggungjawab. Berita mengenai komunitas “Single Mother Community silahkan klik http://www.cathnewsindonesia.com/2010/07/13/keluh-kesah-%E2%80%98single-mother%E2%80%99-katolik/
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Romo Santo Yth, apapun dalih yang diberikan mengenai kasus single mother, saya tetap menolaknya. Bagi saya, kasus di atas sangat beda dengan apa yang Romo paparkan sebab udah jelas ayahnya mau tanggung jawab kenapa sih dipermasalahkan terus? Kalo ayahnya tidak mau tanggung jawab ya itu lain cerita.
Salam Angela,
Jika memang ayah si anak mau bertanggung jawab, mengapa tidak? Namun tanggung jawab itu harus diperjelas: untuk sepakat menikah dengan ibunya anak itu, atau hanya bertanggungjawab atas membesarkan anak itu. Itu dua hal yang berbeda. Perkawinan (marriage bukan hanya wedding) menuntut kesepakatan dari dalam hakikatnya sendiri. Selama belum ada kesepakatan dari kedua belah pihak untuk menikah, belum bisa dilaksanakan. Jika demikian, maka tanggungjawab itu sementara masih berupa tanggung jawab moral untuk merawat dan membesarkan anak itu. Sedangkan tanggungjawab untuk menikahi ibu anak itu menjadi tantangan bagi semua pihak untuk menyadarkan lelaki itu, agar ia berani mengambil keputusan untuk menikah. Hal ini melibatkan banyak faktor.
Maka, harus dilihat dengan jujur, apakah yang dimaksud dengan tanggungjawab oleh lelaki itu. Apakah tanggungjawab itu maksudnya ialah menikahi ibu anaknya itu, atau tanggung jawab itu dia artikan sebagai tanggungjawab moral membesarkan anak itu dalam asuhan dia atau asuhan ibunya. Jika jawabannya ialah nomer dua, maka Gereja tidak punya kuasa untuk menikahkan. Negara pun tidak berkuasa memaksa orang menikah. Paling-paling hanya memberi pengarahan. Karena untuk menuju ke pilihan nomer satu yaitu menikahi ibu anak itu, perlu proses, mungkin karena belum siap. Maka, tanggungjawab itu harus jelas apa artinya. Dan lagi, motivasi menikah jika hanya didasarkan pada “keterpaksaan” pasti tidak kuat.
Pemecahannya ialah menyadari situasi tersebut dan menyadari bahwa keduanya terutama pihak perempuan telah disakiti. Bagaimana agar sembuh? Itulah tantangannya.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Shalom bu Ingrid
Banyak terima kasih atas saran ibu. Saya akan sampaikan segera saran-saran dan pendapat ibu kepada keluarga mereka, karena mereka takut akan melakukan dosa berat dengan memisahkan anaknya dan tidak menikahkannya.
Terbukti memang demikian kaya, luas dan bijaksana nya ajaran Gereja Katolik ya bu.
Sekali lagi thank’s a lot bu.
Tuhan memberkati Ibu, Pak Stef & seluruh Team Katolisitas selalu.
Shalom Vinsensius,
Pertama- tama saya mohon maaf atas jawaban saya yang kurang lengkap, karena saya menjawab hanya berdasarkan atas informasi yang saya terima dari anda. Anda mengatakan kepada saya bahwa pasangan muda tersebut “belum siap secara mental dan ekonomi untuk menikah“, sehingga saya mengasumsikan memang demikian adanya, dan bahwa pihak keluarga (orang tua masing- masing) sudah membicarakan tentang hal ini dan telah mencapai kesepakatan bahwa kedua anak muda tersebut memang belum siap untuk menikah baik secara lahir maupun batin, karena kedua anak muda itu sendiri menyatakan demikian.
Namun di komentar anda kemudian, anda mengatakan bahwa keluarga pihak si gadis merasa takut berdosa berat karena telah memisahkan kedua anak muda tersebut. Dari pernyataan ini, saya jadi bertanya- tanya, apakah pihak keluarga sudah pernah membicarakan hal ini secara terbuka (pihak keluarga perempuan dan laki-laki) dengan kedua anak muda tersebut. Sebab jika ternyata pihak anak muda itu sendiri saling mengasihi dan sesungguhnya sang pemuda tersebut siap bertanggung jawab untuk menikahi kekasihnya itu dan menjadi ayah bagi anaknya, maka tentu pihak keluarga seharusnya mendukung; sebab dalam hal ini tidak dapat dikatakan bahwa pasangan muda tersebut tidak siap secara mental untuk menjalani kehidupan keluarga. Terkejut mungkin saja, tetapi jika keduanya siap menanggung resikonya karena mereka saling mengasihi, maka dalam hal ini pihak keluarga sebaiknya tidak menghalangi. Jika ini yang terjadi, yang dapat dilakukan oleh pihak keluarga adalah mencarikan pekerjaan bagi sang pemuda tersebut, sehingga ia dapat melakukan tanggungjawab sebagai suami dan ayah untuk menghidupi keluarganya. Atau jika pemuda itu berasal dari keluarga yang relatif mampu, dapat dicarikan solusi dengan mendukungnya secara finansial untuk sementara waktu, sampai sang pemuda itu menyelesaikan pendidikannya hingga ia dapat berdiri sendiri. Jika kedua anak muda itu siap untuk menikah, namun pihak keluarga malah memisahkan keduanya, maka tak mengherankan jika hati nurani orang tua tersebut ‘menuduh’ mereka sendiri sehingga mereka merasa bersalah.
Keadaannya tentu berbeda sama sekali, jika kondisi yang terjadi adalah sebaliknya; seperti yang saya tangkap mula- mula dari surat anda yang pertama, yaitu baik si anak gadis maupun kekasihnya itu keduanya menyatakan bahwa keduanya (atau salah satu pihak) tidak siap menikah, terutama secara mental. Jika ini yang terjadi, maka pihak keluarga tidak dapat memaksa, karena perkawinan yang sah mensyaratkan persetujuan kedua belah pihak, yang dibuat dengan kehendak bebas (tidak atas paksaan). Ada banyak contoh kasus, bahwa pasangan yang menikah karena terpaksa, juga tidak bertahan lama.
Jadi sesungguhnya diperlukan keterbukaan semua pihak untuk menyelesaikan masalah ini. Semoga semua pihak dapat mengusahakan yang terbaik dalam situasi yang tidak ideal ini, demi kebaikan kedua anak muda itu dan bayi yang dikandungnya. Sebab biar bagaimanapun adalah lebih baik jika bayi itu dapat dilahirkan dan dibesarkan dalam asuhan ayah dan ibu kandungnya sendiri. Hanya jika keadaan itu sama sekali tidak mungkin (karena misalnya sang ayah ataupun sang ibu sama sekali tidak siap menjadi orang tua), baru dicari pemecahan yang lain, sementara menunggu kesiapan mental yang bersangkutan, minimal salah satu pihak.
Demikian semoga dapat dipahami prinsipnya, bahwa agar perkawinan dapat dianggap sah, diperlukan konsensus dari pihak yang mau menikah (dan ini tidak bisa dipaksakan), namun jika konsensus ini sudah ada, selayaknya pihak keluarga mendukungnya, dan mencarikan jalan untuk menyelesaikan hambatan- hambatan yang mungkin ada.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Bu Ingrid and Vinsensius
Sejauh yg saya tangkap di sini, pihak keluarga gadis hanya merasa malu…krn calon suaminya pengangguran, cuma lulusan SMA, dan bukan Katolik, which is very classic….alasan dan peristiwa yg umum terjadi seperti kasus Lili dan Joko yg sy ceritakan ke Bu Ingrid.
Namun satu hal di sini, jika anda amati dengan jeli, mereka 21 th, ini bukan kasus di bawah umur..Lili dan Joko waktu itu berusia 17 tahun (baru lulus SMA)…dan kasusnya sama…Lili anak orang kaya, Joko anak orang miskin dan bukan se-agama-Kristen.
Maaf jika sy terkesan mengecam sekali pendapat anda, namun sy sangat tidak setuju dengan ucapan: semoga dia mendapat suami yg mau terima dia apa adanya….
Suami ya suami…ada istilah mantan suami….namun tidak ada istilah mantan anak….seorang anak yg ditinggalkan ayah kandungnya…seumur hidup bertanya-tanya: kenapa ayah meninggalkan aku?
Does not matter jika ayah baru nya itu seorang presiden, seorang pejabat kelas atas sekalipun, dan walaupun baiknya melebihi malaikat…tetap si anak akan bertanya: where r u dad? i miss u,,,,
Murid saya, seorang anak berusia 7 th, menulis kalimat karangan: Aku punya ayah baru tapi aku kangen papa…
Sy mohon berhati-hati sekali dalam memberikan jawaban, lebih baik sarankan mereka untuk berdoa, mencari apa jawaban Tuhan….terkadang secara theoritis, seorang pastor paham jelas hukum-hukum gereja namun (maaf), beliau tidak pernah punya anak….Hukum Kanon sounds really great….tapi hidup itu tidak semudah tulisan….
Tuhan mendengar doa kita…Tuhan memberi jawaban TEPAT pada WAKTUNYA…tidak akan terlambat dan tidak akan lebih cepat….Pray…and ask God….jangan meminta komentar dari banyak orang, walau itu pemuka agama sekalipun….tanya Tuhan….lakukan apa yg Tuhan mau…bukan apa yg disarankan oleh manusia…
Angela
Shalom Angela,
Apa yang anda dan saya sampaikan di sini hanya merupakan masukan bagi pihak keluarga (dalam hal ini yang disampaikan oleh Vinsensius). Namun pada akhirnya keputusan ada di tangan mereka sendiri.
Ketika saya mengatakan, “Semoga ia [gadis] itu mendapatkan suami yang mau menerima dia apa adanya,” itu adalah atas dasar anggapan saya -berdasarkan keterangan yang saya terima dari surat Vinsensius yang pertama- bahwa kondisinya adalah seolah- olah sudah diputuskan bahwa sang pemuda tidak bersedia menikahi gadis itu (karena Vinsensius mengatakan bahwa baik sang pemuda dan pemudi itu tidak siap menikah secara mental maupun ekonomi). Jika ternyata keadaannya tidak demikian, dan bahwa sang pemuda sesungguhnya mau menikahinya, tentu saya tidak mengatakan demikian. Namun masalahnya, keterangan yang disampaikan di surat itu sungguh terbatas, sehingga saya tidak dapat mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, dan saya menyangka keputusan sudah diambil bahwa mereka tidak jadi menikah, dan kemudian pihak keluarga gadis itu merencanakan untuk mengirimkan anaknya ke luar negeri untuk sekolah. Dalam keadaan sedemikian, saya menganjurkan agar keluarga mendekatkan diri pada Tuhan, saya usulkan ikut retret luka batin, karena di sana bukan saja hanya ada doa- doa, tetapi juga pertobatan dan penyembuhan batin. Namun, jika semua anggapan saya ini salah, ya saya mohon maaf.
Sebaliknya jika ternyata keadaan belum diputuskan, maksudnya bahwa masih ada kemungkinan pihak laki- laki bertanggungjawab karena pasangan itu saling mengasihi, keduanya memahami makna perkawinan Kristiani dan siap untuk memikul tanggung jawab sebagai orang tua, maka nampaknya ini lebih baik, dan pihak keluarga dapat mendukungnya. Hal ini sudah saya sampaikan dalam tambahan jawaban saya berikutnya. Sebenarnya itu saja prinsipnya, dan mari kita serahkan ke pihak keluarga dan pasangan itu sendiri untuk memutuskan apa yang mereka pandang baik.
Terima kasih atas anjuran anda agar saya berhati- hati dalam memberikan jawaban, dan atas anjuran anda agar keluarga tersebut berdoa. Saya setuju dengan anda, bahwa doa sangatlah penting, namun demikian dalam situasi seperti ini doa juga harus diikuti dengan peran serta dari keluarga maupun pasangan itu untuk menyelesaikannya, sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Untuk itulah sebagai umat Katolik, saya menganjurkan apa yang saya ketahui sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, karena saya percaya ajaran tersebut diberikan atas dasar bimbingan Roh Kudus. Jika anda ingin mengetahui, demikian saya kutipkan beberapa prinsip ajarannya, mengapa Gereja Katolik menganggap konsensus/ kesepakatan dalam perkawinan itu sesuatu yang penting:
“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:5-6, Ef 5:31)
“Persekutuan perkawinan berakar dari hal saling melengkapi secara kodrati yang ada di antara laki- laki dan perempuan, dan dipelihara melalui keinginan masing-masing pribadi pasangan untuk saling berbagi seluruh kehidupan, apapun yang mereka miliki dan apapun mereka: untuk alasan ini persekutuan ini adalah buah dan tanda dari kebutuhan manusia yang mendalam. Namun Kristus mengangkat kebutuhan manusia ini, meneguhkan, memurnikan dan mengangkatnya, memimpinnya untuk mencapai kesempurnaannya melalui sakramen perkawinan ….” (Paus Yohanes Paulus II, Ajaran Apostolik, Familiaris Consortio, 19)
“Perkawinan, dasar dari keluarga, bukan sebuah “cara untuk mempraktekkan seksualitas sebagai pasangan”. Juga bukan sebuah ekspresi kasih sentimental antara dua pribadi: ciri ini biasanya ada pada setiap persahabatan kasih. Perkawinan adalah lebih dari itu: perkawinan adalah persatuan antara seorang pria dan wanita, dan justru karena itu, dan di dalam totalitas dari hakekat kepria-an dan kewanitaan mereka. Persatuan ini hanya dapat dicapai melalui tindakan kehendak bebas dari pasangan itu…” (Pontifical Council for the Family: Family, Marriage and “De Facto” Unions, 22)
KGK 1625 Perjanjian Perkawinan diikat oleh seorang pria dan seorang wanita yang telah dibaptis dan bebas untuk mengadakan Perkawinan dan yang menyampaikan kesepakatannya dengan sukarela. “Bebas” berarti:
– tidak berada di bawah paksaan;
– tidak terhalang oleh hukum kodrat atau Gereja.
KGK 1626 Gereja memandang kesepakatan para mempelai sebagai unsur yang mutlak perlu untuk perjanjian Perkawinan. “Perkawinan itu terjadi” melalui penyampaian kesepakatan (KHK, can. 1057, 1). Kalau kesepakatan tidak ada, Perkawinan tidak jadi.
KGK 1627 Kesepakatan itu merupakan “tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan isteri” (GS 48,1; Bdk. KHK, can. 1057,2). “Saya menerima engkau sebagai isteri saya”; “saya menerima engkau sebagai suami saya” (OcM 45). Kesepakatan yang mengikat para mempelai satu sama lain diwujudkan demikian, bahwa “keduanya menjadi satu daging”. (Bdk. Kej 2:24; Mrk 10:8; Ef 5:31).
KGK 1628 Kesepakatan harus merupakan kegiatan kehendak dari setiap pihak yang mengadakan perjanjian dan bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat, yang datang dari luar (Bdk.KHK, can. 1103). Tidak ada satu kekuasaan manusiawi dapat menggantikan kesepakatan (Bdk. KHK, can. 1057 ,1). Kalau kebebasan ini tidak ada, maka Perkawinan pun tidak sah.
Jadi karena hubungan suami dan istri dalam perkawinan adalah untuk menjadi gambaran kasih yang total antara Kristus dan jemaat (Ef 5:31-32) maka kasih dan penyerahan diri yang total itu, tidak dapat dilakukan atas dasar paksaan. Sebab seperti Kristus yang dengan rela (dengan kehendak bebas-Nya) menyerahkan diri bagi Gereja (dan Gereja bagi Kristus), demikianlah pasangan suami istri saling menyerahkan diri dengan rela (tanpa dipaksa).
Anda dapat saja tidak setuju mengenai hal konsensus/ kesepakatan ini, namun inilah yang diajarkan oleh Gereja Katolik, dan saya berpegang pada ajaran ini.
Saya tidak memaksa anda untuk setuju dengan apa yang saya tuliskan di sini, namun saya mohon anda juga tidak memaksa saya untuk setuju dengan pandangan anda yang menolak pentingnya konsensus dalam perkawinan. Sang pria memang selayaknya bertanggungjawab atas perbuatannya dan menikahi sang pemudi, namun jika sudah diarahkan dan dijelaskan tapi sang pria tetap menolak, maka hal itu tidak dapat dipaksakan. Agaknya ini menjadi pelajaran bagi kita semua, terutama bagi pasangan muda agar tidak melakukan hubungan suami istri sebelum menikah, sebab terlalu banyak ‘harga’ yang harus dibayar. Demikian juga pihak keluarga agar menanamkan rasa tanggungjawab dan pentingnya menjaga kemurnian pada anak- anaknya, agar tidak terjadi masalah yang pelik ini. Di atas semua itu, kita percaya Tuhan Maha Adil, maka Ia akan memberikan keadilan bagi umat-Nya, terutama bagi pihak yang dirugikan dalam masalah ini.
Demikian saya mengakhiri diskusi tentang topik ini. Semoga apa yang didiskusikan ini dapat berguna dan menjadi bahan permenungan bagi kita semua.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Kepada Angela
Sudahlah jangan dipersoalkan. Biarlah mereka menjalankan apa yang mereka anggap benar sementara kita mempercayai bahwa Yesus adalah sumber segala kebenaran. Semakin kamu turut campur dalam permasalahan mereka, semakin dipandang tidak baik walau saya memahami mengapa angela bisa berkata begitu namun mereka tidak bisa memahami malah nanti angela bisa dianggap pengikut ajaran sesat. Sudahlah.
Markus 12: 28-32
Kepada pengasuh Katolisitas mohon maaf atas komentar Angela
Love in Christ
Verry A
Shalom Verry A,
Terima kasih atas komentar anda. Memang menjadi hak setiap orang untuk menyatakan pendapat, memberikan argumentasi yang baik untuk menyatakan ketidaksetujuan. Namun, menjadi hak kami untuk menjawab pertanyaan dan komentar yang masuk. Yang mungkin perlu direnungkan adalah sikap bahwa seolah-olah hanya umat Kristen non-Katolik yang berpegang pada Yesus dan seolah-olah umat Katolik tidak berpegang pada Yesus. Hal ini tercermin dalam komentar seperti yang anda berikan “Biarlah mereka menjalankan apa yang mereka anggap benar sementara kita mempercayai bahwa Yesus adalah sumber segala kebenaran.” Akan lebih baik kalau masing-masing dari kita mencoba melihat dari sisi yang lain, bahwa sebagai umat Kristen, kita bersama-sama mengasihi Yesus. Namun, karena memang agama kita berbeda, maka tentu saja ada perbedaan dogma dan ajaran di antara kita. Dalam semangat menggali kebenaran inilah, maka kita dapat berdialog dengan hormat dan lemah lembut (lih. 1Pet 3:15). Kalau anda ingin bergabung dalam diskusi bersama dengan Angela, maka saya juga membuka diri saya untuk berdiskusi dengan anda. Anda dapat bergabung dan menuliskannya di sini – silakan klik. Mari, bersama-sama, kita yang telah menjadi murid Kristus menunjukkan bagaimana bersikap sebagai murid Kristus yang baik dengan dasar ayat yang anda kutip, Mrk 12:28-32. Saya tidak tahu apakah anda mewakili Angela untuk minta maaf atau atas nama anda pribadi. Namun, saya pikir kita tidak perlu memperpanjang masalah ini, karena kami mencoba melihat bahwa orang yang mencoba berdialog dengan kami mempunyai maksud yang baik. Dan mari kita berfokus pada diskusi tentang dogma dan doktrin, dan bukan pada kasus-kasus yang sulit dibuktikan kebenarannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom bu Ingrid
Terima kasih atas tambahan saran-sarannya.
Semua saran ibu secara lengkap akan saya sampaikan kepada keluarga mereka.
Salam dalam kasih Yesus dan Maria.
Salam tim Katolisitas
Kalo tidak salah bu Inggrid dan pak Stef kuliah di Amerika, tolong sharing tentang umat Katolik di sana. Apa yang jadi kendala umat Katolik di sana terutama para pemudanya. Apakah para pemuda Katolik di sana juga melakukan hub sex tanpa ikatan? Karena yg saya tau dan mohon dikoreksi kalo salah. Di Amerika (ato di negara-negara bule lainnya) hub sex dg yg dicintai ato tinggal serumah tanpa ikatan adalah umum di sana, apakah itu jg berlaku utk umat Katolik di sana. Kalo di sini sex utk after marriage. Saya penggemar sepakbola, banyak pemain sepakbola (kebanyakan dr Amerika Latin) yg sebelum ato sesudah bermain membuat tanda salib, saya penasaran mereka benar-benar a devout Catholic apa enggak mengingat kebudayaan mereka yg menganggap wajar hub sex without marriage.
Terima kasih.
Shalom Maria,
Dari informasi di internet, diketahui bahwa sebagian besar orang muda di Amerika telah melakukan hubungan sex sebelum menikah. Ini adalah hal yang memprihatinkan, mengingat bahwa sebagian besar dari mereka adalah umat Kristiani, entah Katolik ataupun Kristen non- Katolik. Fakta ini membuktikan adanya hal yang tidak ‘nyambung’ antara iman dan kehidupan sehari- hari. Oleh karena itu, Gereja Katolik dan bahkan gereja- gereja non- Katolik mempunyai tugas yang sangat besar untuk mengubah fenomena itu (namun terutama para orang tua dari keluarga- keluarga Kristiani itu sendiri), karena memang ajaran Kristiani tidak pernah berubah, yaitu untuk menjaga kemurnian tubuh (chastity), entah dalam keadaan menikah, tidak menikah atau sebelum menikah, sebab tubuh kita ini adalah tempat kediaman Allah Roh Kudus (lih. 1 Kor 3:16; 6:19). Khusus untuk orang muda yang akan menikah tetapi belum menikah, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:
Jadi sesungguhnya, apa yang nampaknya ‘umum dilakukan’ itu belum tentu benar. Selanjutnya tentang hal kemurnian di luar perkawinan, pernah dibahas di artikel di atas, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan, Ingrid Listiati- katolisitas.org
Malam redaksi Katolisitas. Nama saya Stevanus dan saya memliki beberapa pertanyaan yang amat sangat saya harapakan untuk bisa di reply oleh katolisitas. Pertanyaan-pertanyaan saya adalah:
1. Bagaimana pandangan Gereja Katolik seluruh dunia mengenai hubungan sex sebelum menikah dengan pasangan-pasangannya (pacar) masing-masing? bukan hubungan dengan PSK, ttm (tidak ada status sama sekali). karena saya pernah mendengar sebuah opini dari pemuda australia yang beragama Katolik dan mereka mengganggap itu bukanlah hal yang tdk wajar atau bertentangan dgn alkitab karena di lakukan bersama pasangan (pacar) masing-masing. Apakah larangan sex sebelum menikah itu hanya sebuah tradisi masyarakat asia yang di campur-adukan oleh aturan-aturan agama atau memang gereja Katolik sendiri memiliki paham tersendiri mengenai hal tersebut
2. Pada saat Petrus mengatakan kepada Yesus bahwa ia akan mengikuti Yesus kemanapun Ia pergi bahkan sampai kematian, Yesus kemudian menjawab bahwa sebelum ayam jantan berkokok Petrus akan telah menyangkal Yesus sebanyak 3 kali dan hal tersebut terjadi. Yang ingin saya tanyakan, mengapa Yesus bisa mengetahui masa depan dan bisa melihat masa depan Petrus? jikalau Tuhan Yesus bisa melihat masa depan kita sebagai manusia dan mengetahui keputusan-keputusan yang akan kita ambil sementara kita sendiri belum mengetahui pilihan dan tidak ada ide sama sekali mengenai pilihan serta keputusan apa yang akan kita ambil, bukankah hal ini berarti manusia tidak memiliki kehendak bebas dalam menentukan keputusan yang akan di ambilnya dari pilihan yang ada dan akan ada? bisakah disimpulkan bahwa hidup setiap manusia memiliki takdir dan jikalau ada yang namanya takdir, berarti hidup setiap manusia dan segala yang terjadi di dunia ini merupakan sebuah skenario yang telah di susun oleh “sapapun dia”
Mohon maaf jikalau ada kata-kata yang kurang berkenan, saya hanya ingin mendapatkan jawaban dari kedua pertanyaan saya di atas
Terima Kasih
Shalom Stevanus,
Terima kasih atas pertanyaannya. Penjelasan tentang kemurnian di luar pernikahan telah dijelaskan secara panjang lebar di artikel ini – silakan klik dan pernah dibahas juga di tanya jawab ini – silakan klik. Dari dua artikel tersebut, maka sebenarnya telah jelas bahwa hubungan seks sebelum pernikahan adalah berdosa karena melanggar kemurnian. Hubungan seks walaupun dilakukan dengan pacar adalah berdosa, karena seks harus dilakukan oleh suami istri yang telah diikat dalam perkawinan yang sah. Pacar bukanlah satu jaminan bahwa dia akan menjadi suami atau istri.
Tentang pertanyaan kedua: Yesus memang dapat mengetahui akan apa yang terjadi, karena selain Dia sungguh manusia, Dia juga sungguh Tuhan. Karena di dalam Tuhan tidak ada masa lalu dan masa depan, maka Yesus juga mengetahui segalanya. Walaupun Tuhan mengetahui masa depan kita, namun hal tersebut bukanlah suatu kekangan terhadap kehendak bebas manusia. Rahmat Allah dan kehendak bebas manusia bekerja sedemikian rupa sehingga yang satu tidak merendahkan yang lain. Silakan melihat dua diskusi berikut ini – silakan klik, dan klik ini. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Syalom ibu Ingrid
Mohon pencerahan tentang :
KGK 2351 Nafsu adalah hasrat yang menyimpang akan, ataupun kenikmatan yang tidak teratur akan kesenangan seksual. Keinginan seksual itu tidak teratur secara moral, apabila ia dikejar karena dirinya sendiri dan dengan demikian dilepaskan dari tujuan batinnya untuk melanjutkan kehidupan (procreative) dan untuk hubungan cinta kasih (unitive).
Apakah memang benar nafsu sex adalah hasrat yang menimpang atau kenikmatan yang tidak teratur akan kesenangan seksual ?
Bukankah Tuhan memberikan pada umat manusia nafsu sex supaya manusia bisa berkembang biak ?
Tanpa nafsu sex beban kehidupan manusia menjadi lebih ringan. Nafsu sex tidak diberikan pada malaikat, sehingga mereka tidak jatuh dalam dosa perzinahan, dan tidak perlu penyangkalan diri terhadap kedagingan.
Laras
Shalom Larasati,
Agaknya yang perlu diperhatikan adalah perkataan “hasrat yang menyimpang” akan kesenangan seksual. Sebab jika suami dan istri mempunyai keinginan untuk memberikan dirinya satu sama lain dalam hubungan seksual, yang tidak memisahkan antara hubungan cinta kasih (unitive) dan untuk melanjutkan kehidupan (procreative), maka keinginan itu tidak termasuk dalam katagori nafsu. Suami istri yang melakukan hal ini, tetap tinggal di dalam kemurnian perkawinan dan tidak melakukan kesalahan/ dosa karena nafsu yang disebutkan dalam KGK 2351. Akan menjadi hasrat yang menyimpang, jika kemudian suami dan istri melakukan hubungan seksual, namun memisahkan kedua unsur unitive dan procreative.
Silakan membaca selanjutnya dalam artikel Kemurnian di dalam perkawinan, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Enam bulan yang lalu saya mulai mengenal situs ini, dan membuat janji dalam hati untuk menghindari diri dari percabulan, termasuk melihat tayangan porno dsb. Saya pun sebelum menikah juga sudah melanggar kemurnian yang diberikan Tuhan pada diri saya dan pasangan saya. Saat ini saya mencoba untuk kembali pada Tuhan. Namun terasa sungguh berat, karena istri saya pun bekerja dengan jadwal berganti-ganti, pagi-siang-malam, sehingga sulit sekali untuk mencapai hubungan suami-istri yang baik dan diharapkan karena keterbatasan waktu. Mohon doa dari Pak Stef & Bu Inggrid beserta pembaca budiman untuk menguatkan saya dalam iman, dan mendoakan supaya kehidupan rumah tangga saya dan istri tetap dilindungi Tuhan dan dijauhkan dari dosa percabulan. Kalau ada saran yang dapat membantu, saya sungguh berterima kasih, dan mungkin dapat saya sharing-kan dengan istri saya. Tuhan memberkati….
Shalom Antonius,
Terima kasih atas keterbukaannya. Memang dosa percabulan adalah dosa yang terlihat tidak merugikan orang lain. Namun, sebenarnya dosa ini melawan kemurnian, yang berarti merugikan diri sendiri – yang seharusnya menjaga tubuh kita sebagai bait Allah, serta merugikan pasangan kita – yang seharusnya kita kasihi dengan segenap hati. Berikut ini adalah beberapa hal praktis yang dapat dilakukan:
1) Diskusikan dengan istri anda, bahwa anda dan istri anda sudah seharusnya mempunyai kehidupan suami istri yang baik, termasuk dalam kehidupan seks. Diskusikan secara terbuka, sehingga kalau masih memungkinkan dengan berbagai macam kegiatan suami istri, maka anda berdua masih mempunyai waktu dengan kualitas yang baik, sehingga dapat mengungkapkan kasih satu sama lain dengan baik.
2) Mempunyai hubungan yang baik dengan Tuhan, melalui doa pribadi, sakramen-sakramen, devosi terhadap Bunda Maria. Dosa dan doa senantiasa berbanding terbalik. Kalau kita terus bertekun dan setia dalam doa, maka biasanya kita tidak akan melakukan dosa berat. St. Teresa dari Avila mengatakan bahwa salah satu – dosa berat atau doa – harus menyerah dan tidak mungkin kedua-duanya berjalan bersamaan. Jadi, berdoalah bersama-sama dengan istri anda, sehingga anda berdua diberi kekuatan serta diberikan hati yang saling mengasihi.
3) Pada saat fantasi dan keinginan percabulan itu datang, berdoalah dan mohon kekuatan dari Tuhan dan berdoalah juga agar Bunda Maria membantu. Bunda Maria, wanita tersuci akan membantu kita untuk mengatasi dosa ketidaksucian. Ucapkan doa yang pendek, namun berulang-ulang, seperti “Jesus, have mercy on me” atau “Yesus, kasihanilah aku“. Dan setelah itu, lanjutkan dengan aktifitas yang lain. Kita juga harus mencoba untuk menghindari situasi yang dapat membangkitkan fantasi seksual, misalkan, website yang tidak benar, buku bacaaan yang tidak benar, dll. Olahraga dan aktifitas fisik yang lain juga dapat membantu.
4) Pada saat kita gagal dan kembali pada dosa yang sama, maka secepatnya kita harus datang kepada romo untuk menerima Sakramen Tobat. Dan mulai lagi dari awal, dan jangan berputus asa. Dosa yang telah menjadi kebiasaan (habitual sin) akan membutuhkan waktu untuk dipatahkan. Hanya berkat Tuhan dan kerjasama dari kita, yang dapat mengalahkannya. Alangkah baiknya kalau anda dapat mempunyai pembimbing rohani dan bapa pengakuan yang sama, sehingga dia dapat membantu anda untuk mengatasi masalah ini. Habitual sin ini hanya dapat dikalahkan dengan “virtue” (kebajikan). Karena virtue adalah “the habit of the soul to perform good action with easiness and competent“, maka diperlukan suatu latihan untuk mengerjakan virtue tersebut secara berulang-ulang, sehingga dapat menjadi suatu habit. Pada saat yang bersamaan, kita dapat minta kepada Tuhan untuk memberikan virtue tertentu – dalam hal ini virtue kemurnian – , karena hanya Tuhan yang dapat masuk ke dalam jiwa kita dan memberikan rahmat yang diperlukan untuk mendapatkan virtue yang kita minta.
5) Mungkin peran spiritual director (pembimbing rohani) menjadi vital untuk dapat membantu John keluar dari masalah ini. Berdoalah kepada Tuhan dan cobalah untuk mencari spiritual director yang kudus. Kemudian, bertemulah dengan spiritual director ini secara teratur (awalnya mungkin 2x sebulan, dan kemudian 1x sebulan). Ceritakan secara jujur semua kecenderungan, perbuatan, dll, yang anda telah lakukan, sama seperti kalau anda menceritakan kepada dokter tentang semua gejala penyakit fisik pada waktu anda sakit. Spiritual director tadi akan membantu anda tahap demi tahap.
Jangan berputus asa akan keadaan ini. Selama anda mempunyai niatan untuk berubah, Tuhan akan terus menambahkan rahmat-Nya kepada anda. Bahkan sebenarnya niatan untuk berubah ini adalah merupakan rahmat yang membantu anda untuk memperoleh pertobatan. Namun perlu diingat, tanpa kehidupan doa yang baik, bertumbuh dalam sakramen – terutama Ekaristi dan Tobat – , serta kemauan yang kuat untuk berubah, maka akan sulit untuk berubah. Hal lain yang dapat dicoba adalah untuk mengikuti retret, seperti retret di Cikanyere – Lembah Karmel.
Mari, kita bersama-sama berjuang dalam kekudusan. Jangan putus asa kalau kita gagal. Namun yang penting adalah Tuhan melihat kesungguhan hati kita untuk terus berjuang dalam kekudusan. Dan rahmat-Nya adalah cukup untuk kita, sehingga kita dapat bertumbuh dalam kekudusan. Yakinlah kepada Tuhan, yang senantiasa akan memberikan rahmat kekudusan bagi orang yang benar-benar mengusahakannya. Bahkan keinginan untuk bertumbuh dalam kekudusan itu sendiri adalah merupakan rahmat Tuhan. Doa kami dan seluruh pembaca katolisitas menyertai anda dan keluarga.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Pak Stef !
Membaca tanggapan dan saran Bapak yang begitu cepat saya terima, rasanya hati ini semakin kuat dan merasa ada yang membantu mendoakan dari jauh :) Mengenai spiritual director ini saya masih ingin mencari seseorang yang kami anggap tepat sebagai tempat mencurahkan isi hati akan kegalauan hidup beriman kristiani yang sering menerpa keluarga beriman katolik. Kadang kala, karena kemajuan jaman, menurut saya pribadi telah banyak pendamping iman, -maaf- dari awam, yang sudah tidak lagi berpijak pada ajaran murni yang diajarkan oleh Kristus sendiri. Tentunya berbeda dengan Pak Stef dan Bu Inggrid yang memang benar-benar saya rasa adalah contoh kerasulan awam yang secara konsisten membina iman katolik secara utuh, berdasarkan kajian alkitab dan referensi hukum gereja katolik.
Kadang kala timbul pertanyaan; apakah gereja katolik memberikan batasan-batasan kepada seorang wanita yang telah memiliki anak untuk bekerja? Katakanlah dalam hal waktu kerja, jenis pekerjaan, ataupun hal-hal lainnya? Karena terus terang, saya merasa hal ini menjadi penting untuk diketahui bagi keluarga-keluarga katolik dimana emansipasi wanita telah membawa kesetaraan gender dengan pria, dalam berbagai hal, termasuk dalam kesempatan bekerja. Jika tidak memiliki dasar yang kuat, maka bisa jadi justru pihak wanita dirugikan oleh lingkungan kerjanya dan berdampak pada penurunan kualitas hubungan dengan anggota keluarga, terutama anak.
Dalam kaitannya dengan topik kemurnian perkawinan, tidakkah gereja melihat bahwa kecenderungan paham sekulerisme mulai merasuki pandangan-pandangan para kaum intelektual, seperti halnya, -maaf- 1)pelampiasan hasrat seksual melalui masturbasi dinilai wajar daripada terjadi gangguan karena ketidakstabilan hormonal, 2)berhubungan intim dengan istri menggunakan alat kontrasepsi dibenarkan daripada memiliki banyak anak karena kehamilan yang tidak disengaja dan berdampak pada masalah sosial ??? Coba saja berapa banyak ahli obsgyn dari kalangan katolik yang tetap melakukan praktek pemasangan IUD, tubektomi, dsb. pada pasangan yang menghendaki pembatasan jumlah anak. Apakah mereka ini juga berbuat dosa?
Mudah-mudahan pertanyaan saya tidak menyimpang dari topik ini dan sekali lagi mohon pencerahan dari Pak Stef. Semoga kita semua mendapatkan rahmat dari Tuhan untuk tetap teguh bersandar pada ajaran cinta kasih-Nya. Amin.
Shalom Antonius,
Terima kasih atas dukungan anda untuk karya kerasulan katolisitas. Secara prinsip, menjadi tugas seluruh umat Katolik untuk benar-benar mengerti tentang pengajaran Gereja. Kalau kita bersusah payah untuk belajar begitu banyak hal untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, mengapa kita tidak meluangkan waktu untuk belajar tentang iman Katolik? Dan sudah seharusnya, seluruh umat Katolik – baik dari klerus maupun awam – taat kepada pengajaran Gereja. Untuk dapat taat, maka seseorang harus tahu dan mempunyai kerendahan hati untuk dapat menerima pengajaran Gereja Katolik – karena Kristus sendiri telah mempercayakan tugas pengajaran kepada Magisterium Gereja (lih. Mt 16:16-19). Kalau Kristus sendiri telah memberikan kuasa untuk melepaskan dan mengikat, maka siapakah kita yang menolak kuasa yang diberikan oleh Kristus?
Tentang emansipasi wanita: Sebenarnya, dalam kehidupan berkeluarga, suami dan istri harus menempatkan diri sebagaimana mustinya. Ini berarti bahwa suami harus menempatkan diri sebagai pria, yang bertanggungjawab terhadap kebutuhan rumah tangga, mengasihi istri dan anak-anak. Sebaliknya istri harus mengasihi suami dan anak-anak, serta bertanggung-jawab terhadap pendidikan anak-anak. Bukan berarti bahwa pendidikan anak-anak hanya urusan istri, karena seorang suami juga harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak. Namun, yang harus diperhatikan adalah jangan sampai masing-masing pihak tidak menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga keutuhan keluarga dapat terancam. Kalau memungkinkan seorang suami bekerja dan istri mencurahkan waktunya untuk mendidik anak-anak dengan baik. Namun, dalam kondisi bahwa kalau hanya suami yang bekerja maka kebutuhan keluarga tidak terpenuhi, maka tentu saja seorang istri dapat membantu untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Namun, kalau sampai istri bekerja demi untuk memenuhi aktualisasi diri belaka, sehingga sampai mengorbankan keluarga – suami dan anak-anak – maka istri tersebut harus kembali merenungkan panggilan hidupnya yang utama – yaitu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya.
Tentang kemurnian dalam perkawinan: Tidak dapat dipungkiri bahwa modernisme dan sekularisme merasuki seluruh sendi kehidupan. Namun, kalau kita cermati, Gereja tidak pernah merubah pandangannya tentang kemurnian, seksualitas maupun dogma-dogma yang lain. Gereja Katolik tidak pernah membenarkan masturbasi, karena bertentangan dengan kemurnian dan tidak menggunakan seksualitas sebagaimana mestinya. Juga dalam kaitannya dengan kontrasepsi, Gereja Katolik tidak pernah merubah pengajarannya yang telah ditegaskan dalam Casti Connubii dan Humanae Vitae. Bagi pasangan yang menggunakan kontrasepsi tentu saja berdosa dan bagi dokter-dokter – terutama yang beragama Katolik – juga turut berbuat dosa. Memang, salah satu ajaran Gereja yang paling sulit adalah tentang kontrasepsi. Namun, tidak berarti kalau sulit dijalankan, maka ajarannya salah. Sebagai umat beriman, kita harus menerima pengajaran yang mudah maupun yang sulit, sehingga iman kita bersifat adi-kodrati dan bukan hanya iman “menurut saya“. Mari, dalam keterbatasan kita, kita bersama-sama berjuang dalam kekudusan – termasuk dalam kehidupan perkawinan, sehingga kita dapat hidup menurut kehendak Bapa. Semoga jawaban singkat ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear Katolisitas,
Bolehkah pasangan kekasih yg belum menikah berciuman bibir atau berpeluk-pelukan mesra? Adakah ajaran resmi Gereja yg mengatur/melarang itu?
Mohon dijawab. Terima kasih.
Shalom Andreas,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang kemurnian antara sepasang kekasih sebelum pernikahan. Anda dapat membaca artikel tentang kemurnian di luar pernikahan di atas – silakan klik. Dan beberapa dokumen yang berhubungan dengan hal ini adalah:
Jadi secara prinsip, sepasang kekasih harus menjaga kemurnian dan menerapkan kebijakan penguasaan diri. Bagaimana dengan pelukan maupun ciuman, Johann Christoph Arnold, dalam bukunya A Plea for Purity, memberikan nasihat:
Jadi, kalau sepasang kekasih yang berciuman bibir dapat menjurus kepada perbuatan yang mengakibatkan kehilangan penguasaan diri, maka hal-hal tersebut sedapat mungkin dihindari. Semoga jawaban singkat ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Siang Pak Stefan dan Bu Inggrid
saya mau tanya saja, bagaimana pandangan gereja Katolik terhadap gaya pacaran seperti berikut:
gandengan tangan, pelukan, cium pipi dan jidat dan ciuman (mulut antar mulut)
apakah dosa jika dilakukan saat pacaran?
terima kasih
Shalom Benedict,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang pacaran. Secara prinsip, Katekismus Gereja Katolik menjelaskan:
Walaupun dalam masa pacaran, mungkin tidak sampai pada hubungan badan, namun seseorang dapat jatuh dalam dosa percabulan dengan pikirannya (lih. Mat 5:28; KGK 2528). Dengan kata lain, apapun tindakan yang selama masa pacaran yang dapat menjurus kepada percabulan haruslah dihindari. Jadi, kalau ciuman mulut antar mulut dapat menyulut nafsu, dan sulit untuk dikendalikan sehingga dapat terjatuh dalam dosa percabulan, maka perbuatan tersebut haruslah dihindari. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
full of spiritual meaning. doa kan saya semoga saya dapat mempertahankan kemurnian itu. dan semoga hanya kasih dan perkhawinan menghalalkan semua itu. Amen
sangat membantu, terutama orang muda seperti saya..
makasih kak Stef dan kak Ingrid
GBU :)
Tulisan yang sangat berarti… Semoga saya bisa mencapainya dengan penuh.
Terima kasih banyak Pak Stef dan Bu Ingrid.
Comments are closed.