Home Blog Page 67

Paus Fransiskus: Seorang uskup yang tidak berdoa akan berakhir dalam keduniawian!

0

Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus pada Misa Kudus dan pentahbisan sebagai Uskup Mgr. Jean-Marie Speich dan Mgr. Giampiero Gloder:

Saudara-saudara dan para putera terkasih,

Mari kita perhatikan dengan seksama tanggung jawab besar yang kepadanya saudara-saudara kita ini telah dipanggil dalam Gereja. Tuhan kita Yesus Kristus, yang telah diutus oleh Bapa untuk menebus umat manusia, pada gilirannya telah mengirim Kedua Belas Rasul-Nya ke dunia agar dipenuhi dengan kuasa Roh Kudus supaya mereka dapat memberitakan Injil kepada semua orang dan menyatukan mereka di bawah satu Gembala, dan supaya mereka [para Rasul itu] dapat menguduskan mereka dan membimbing mereka kepada keselamatan.
Dalam upaya untuk menghidupkan terus menerus pelayanan kerasulan dari satu generasi ke generasi berikutnya ini, Kedua Belas [Rasul] itu memilih orang-orang lainnya untuk berbagi dalam karya mereka. Melalui penumpangan tangan, mereka [para rasul] telah meneruskan kepada mereka [orang lain yang dipilihnya] karunia Roh yang mereka [para Rasul] sendiri telah terima dari Kristus, sehingga memberikan kepenuhan Sakramen Tahbisan. Dengan demikian, melalui suksesi para uskup yang tidak terputus pelayanan awal ini telah diabadikan dalam Tradisi Gereja yang hidup, dan Karya Penyelamatan terus berlanjut dan berkembang hingga sekarang. Dalam uskup yang dikelilingi oleh para imamnya, Tuhan kita Yesus Kristus, Imam Besar Kekal, hadir di tengah-tengah kalian.

Karena Kristuslah yang, melalui pelayanan uskup, terus memberitakan Injil keselamatan dan menguduskan orang-orang percaya dengan sarana sakramen-sakramen iman. Adalah Kristus yang, melalui peran ke-bapa-an uskup, menarik anggota baru ke tubuh-Nya yang adalah Gereja. Adalah Kristus yang, dalam hikmat dan kebijaksanaan uskup, membimbing umat Allah sepanjang ziarah mereka di bumi ini sampai akhirnya mereka mencapai kebahagiaan kekal.

Oleh karena itu, sambutlah dengan rasa syukur dan sukacita, saudara-saudara kita ini yang mana kita para uskup akan menerima mereka menjadi rekan episkopal dengan penumpangan tangan. Memberikan mereka kehormatan yang menjadi hak pelayan-pelayan Kristus dan pencurah misteri-misteri Allah, yang kepadanya kesaksian Injil dan pelayanan Roh bagi pengudusan telah dipercayakan. Ingat kata-kata Yesus kepada para Rasul: “Ia yang mendengar kamu mendengar Aku, dan ia yang menolak kamu menolak Aku, dan ia yang menolak Aku menolak Dia yang mengutus Aku”.

Dan kalian, Jean-Marie dan Giampiero, pilihan Tuhan, perhatikanlah bahwa kalian telah dipilih dari antara manusia dan untuk manusia, kalian telah ditunjuk untuk hal-hal yang berkaitan dengan Allah. Sesungguhnya, “jabatan uskup” adalah nama dari sebuah pelayanan itu dan bukan [nama] dari sebuah kehormatan. Uskup harus berusaha untuk melayani dan bukan untuk berkuasa, sesuai dengan perintah Sang Guru: “barangsiapa ingin menjadi besar di antara kalian hendaklah [ia] menjadi pelayan kalian, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kalian, hendaklah [ia] menjadi hamba dari semua”. Yang selalu melayani, selalu.

Wartakan Firman di setiap kesempatan: dalam musim dan di luar musim. Memperingatkan, menegur, dan menasihati tak putus-putusnya dalam kesabaran dan dalam pengajaran. Dan melalui doa dan persembahan kurban bagi umat kalian, menggunakan berbagai ragam kekayaan rahmat ilahi atas kepenuhan kekudusan Kristus. Melalui doa. Ingat konflik pertama di Gereja Yerusalem, ketika para uskup memiliki begitu banyak pekerjaan untuk dilakukan dalam merawat para janda dan anak yatim. Mereka memutuskan untuk menunjuk para diakon. Kenapa? Supaya mereka dapat berdoa dan memberitakan Firman. Seorang uskup yang tidak berdoa berarti ia hanyalah separuh uskup saja. Dan jika ia tidak berdoa kepada Tuhan, ia berakhir dalam keduniawian.

Jadilah penjaga-penjaga setia dan pencurah misteri-misteri Kristus dalam Gereja yang dipercayakan kepada kalian. Kalian ditempatkan oleh Bapa sebagai kepala keluarganya; karena itu, senantiasa mengikuti contoh dari Gembala Baik yang tahu akan domba-domba-Nya dan dikenal oleh mereka dan tidak ragu untuk menyerahkan nyawa-Nya bagi mereka.

Kasih uskup: kasihi, kasihi semua dari mereka yang dipercayakan kepada kalian dengan kasih dari seorang bapa dan seorang saudara. Pertama, kasihilah para imam dan para diakon. Mereka adalah para kolaborator kalian, mereka adalah yang terdekat dari yang dekat, untuk kalian. Jangan pernah membuat seorang imam menunggu. Jika ia meminta untuk bertemu, tanggapi dengan segera! Akrabkan diri dengan mereka. Namun juga kasihi kaum miskin, kalangan tak berdaya, dan semua orang yang perlu disambut dan dibantu. Nasehati umat beriman untuk bekerja sama dengan kalian dalam tugas kerasulan dan dengarkan mereka dengan rela hati.

Beri perhatian besar terhadap mereka yang belum termasuk dalam satu kawanan Kristus; mereka juga dipercayakan kepada kalian di dalam Tuhan. Banyak berdoa untuk mereka. Ingat bahwa dalam Gereja Katolik, yang disatukan oleh ikatan cinta kasih, kalian dimasukkan ke dalam kolegiat para uskup dan kalian harus memiliki perhatian konstan untuk semua Gereja-Gerejanya dan dengan senang hati datang memberi bantuan dan dukungan kepada orang-orang yang paling membutuhkan.

Dan awasi dengan penuh kasih seluruh kawanannya, yang di antaranya Roh Kudus menunjuk kalian untuk memerintah Gereja Allah. Berjaga-jaga dalam nama Bapa, yang gambaran-Nya kalian hadirkan, dalam nama Yesus Kristus, Putera-Nya, yang oleh-Nya kalian telah diangkat menjadi guru, imam dan gembala; dalam nama Roh Kudus, yang memberi hidup kepada Gereja dan mendukung kita dalam kelemahan-kelemahan kita. Maka jadilah itu!
(AR)

Paus Fransiskus,
Basilika Vatikan, 24 Oktober 2013

Diterjemahkan dari: www.vatican.va

Paus : Ketamakan menghancurkan manusia dan keluarga

0

Ketamakan, kelekatan pada uang, menghancurkan manusia, menghancurkan keluarga dan relasi dengan orang lain: itu adalah pesan Paus Fransiskus pagi ini [21-10-2013] saat Misa di Santa Marta. Ajakan ini bukanlah untuk memilih kemiskinan semata, tetapi untuk menggunakan kekayaan yang Allah berikan kepada kita untuk membantu mereka yang membutuhkan.

Membahas Injil pada hari ini, di mana seorang pria meminta Yesus untuk campur tangan guna menyelesaikan masalah warisan dengan saudaranya, Paus berbicara tentang masalah relasi kita dengan uang: “Ini adalah masalah sehari-hari. Berapa banyak keluarga telah kita lihat yang dihancurkan oleh masalah uang? Saudara melawan saudara, ayah terhadap puteranya. Ini merupakan akibat pertama karena sikap terlekat pada uang: itu menghancurkan! Ketika seseorang terlekat pada uang, ia menghancurkan dirinya sendiri, ia menghancurkan keluarganya. Uang menghancurkan! Bukankah demikian? Uang ini mengikat kalian. Uang berfungsi untuk membawa banyak hal yang baik, begitu banyak karya bagi perkembangan manusia, tetapi ketika hati kalian terlekatkan dengan cara ini, ia menghancurkan kalian.”

Yesus menceritakan perumpamaan tentang seorang kaya yang hidup untuk mengumpulkan “harta kekayaan bagi dirinya sendiri tetapi tidak kaya dalam apa yang penting bagi Allah.” Peringatan Yesus adalah untuk menjauh dari segala bentuk ketamakan:
“Itulah yang merugikan: ketamakan dalam relasiku dengan uang. Ingin memiliki lebih, memiliki lebih, memiliki lebih … Ini menghantar kalian kepada penyembahan berhala, menghancurkan hubungan kalian dengan orang lain. Ini bukan [masalah] uangnya, melainkan sikapnya, apa yang kita sebut ketamakan. Kemudian juga ketamakan ini membuat kalian gila, karena itu membuat kalian berpikir segala sesuatunya berkaitan dengan uang. Uang bisa menghancurkan kalian, membuat kalian gila. Dan pada akhirnya – ini adalah hal yang paling penting – ketamakan adalah alat penyembahan berhala karena hal tersebut bertentangan dengan apa yang telah Tuhan lakukan bagi kita. Santo Paulus memberitahu kita bahwa Yesus Kristus, yang kaya, membuat diri-Nya miskin untuk memperkaya kita. Itulah jalan Allah: kerendahan hati, merendahkan diri-Nya dalam upaya melayani. Ketamakan, di sisi lain, membawa kita pada jalur sebaliknya: Kalian, manusia miskin, menjadikan diri kalian [sebagai] Allah demi kesombongan itu. Ini adalah penyembahan berhala!”

Ini adalah alasannya, Paus lanjutkan, mengapa Yesus mengatakan hal-hal tersebut “demikian keras, demikian tajam terhadap kelekatan pada uang ini. Dia memberitahukan kita bahwa kalian tidak dapat mengabdi kepada dua tuan: Allah dan uang. Dia memberitahukan kita untuk tidak khawatir, bahwa Allah mengetahui apa yang kita butuhkan” dan Dia mengundang kita “untuk memasrahkan diri dengan penuh rasa percaya kepada Bapa, yang membuat bunga-bunga bakung di ladang, dan memberi makan burung-burung.” Orang kaya dari perumpamaan itu hanya memikirkan kekayaannya, tetapi Allah berkata kepadanya: “Kamu bodoh, malam ini hidupmu akan diambil dari padamu!” “Jalan ini bertentangan dengan jalan Allah,” Paus menyimpulkan. “Ini adalah kebodohan, yang membawa kalian jauh dari kehidupan, ia menghancurkan semua persaudaraan manusia”

“Tuhan mengajarkan kita jalan-Nya: bukan jalan kemiskinan demi kemiskinan itu. Tidak! Ini adalah cara kemiskinan sebagai sebuah instrumen, supaya Allah menjadi Allah, sehingga Ia akan menjadi satu-satunya Tuhan! Bukannya berhala emas! Dan semua barang yang kita miliki, Tuhan berikan itu kepada kita untuk memajukan dunia, untuk memajukan kemanusiaan, untuk menolong, untuk membantu orang lain. Semoga hari ini Firman Tuhan tetap tinggal dalam hati kita: “Berhati-hatilah untuk berjaga-jaga terhadap semua ketamakan, karena meskipun seorang mungkin menjadi kaya, hidup tidak melulu soal harta.”
(AR)

Paus Fransiskus,
Domus Sanctae Marthae, 21 Oktober 2013

Diterjemahkan dari: www.news.va

Paus Fransiskus: Adakah sukacita dalam keluarga kalian?

0

Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus dalam Misa Kudus pada Hari Keluarga:

Bacaan Minggu ini mengundang kita untuk merenungkan beberapa ciri-ciri khas keluarga Kristiani:

1. Pertama: keluarga berdoa bersama.

Perikop Injil berbicara tentang dua cara berdoa, yang satu adalah palsu – cara berdoa orang Farisi – dan yang lain adalah otentik – cara berdoa pemungut cukai. Orang Farisi itu mewujudkan suatu sikap yang tidak mengungkapkan rasa syukur kepada Allah atas berkat-berkat dan belas kasihan-Nya, melainkan kepuasan diri. Orang Farisi itu merasa dirinya dibenarkan, ia merasa hidupnya di jalan yang benar, ia membanggakan hal ini, dan ia menghakimi orang lain dari singgasananya. Pemungut cukai, di sisi lain, tidak banyak berkata-kata. Doanya rendah hati, seadanya, diliputi oleh sebuah kesadaran diri dari ketidakmampuannya sendiri, dari kekurangannya sendiri. Inilah manusia yang benar-benar menyadari bahwa ia membutuhkan pengampunan Allah dan belas kasihan-Nya.

Doa pemungut cukai itu adalah doa orang miskin, sebuah doa yang berkenan kepada Allah. Ini adalah doa yang, seperti bacaan pertama itu katakan, “akan menembus awan” (Sir 35:20), tidak seperti doa orang Farisi, yang dibebani oleh kesombongan.

Dalam terang firman Allah, saya ingin bertanya kepada kalian, para keluarga terkasih: Apakah kalian berdoa bersama-sama dari waktu ke waktu sebagai sebuah keluarga? Beberapa dari kalian melakukannya, saya tahu. Tapi demikian banyak orang berkata kepada saya: Tapi bagaimana kami bisa? Seperti pemungut cukai itu lakukan, yang jelas: rendah hati, di hadapan Allah. Masing-masing orang, dengan kerendahan hati, memberikan diri mereka ditatap oleh Tuhan dan memohon kebaikan-Nya, supaya Dia dapat mengunjungi kita. Tapi di dalam keluarga bagaimana hal ini dilakukan? Bagaimanapun, doa tampaknya menjadi sesuatu yang pribadi, dan selain itu tidak pernah ada sebuah waktu yang baik, sebuah momen damai … Ya, semua itu adalah cukup benar, tetapi juga soal kerendahan hati, [soal] menyadari bahwa kita membutuhkan Allah, seperti pemungut cukai itu! Dan semua keluarga, kita membutuhkan Allah: semua dari kita! Kita membutuhkan pertolongan-Nya, kekuatan-Nya, berkat-Nya, belas kasihan-Nya, pengampunan-Nya. Dan kita perlu kesederhanaan untuk berdoa sebagai sebuah keluarga: kesederhanaan diperlukan! Berdoa Bapa Kami bersama-sama, di sekeliling meja, adalah bukan sesuatu yang luar biasa: itu mudah. Dan berdoa Rosario bersama-sama, sebagai sebuah keluarga, adalah sangat indah dan sebuah sumber kekuatan besar! Dan juga berdoa untuk satu sama lain! Suami untuk istrinya, istri untuk suaminya, keduanya bersama-sama untuk anak-anak mereka, anak-anak untuk kakek-nenek mereka …. berdoa bagi satu sama lain. Ini adalah apa artinya berdoa dalam keluarga dan itu adalah apa yang membuat keluarga itu kuat: [yaitu] doa.

2. Bacaan kedua menunjukkan pemikiran lainnya: keluarga memelihara iman.

Rasul Paulus, di akhir hidupnya, membuat sebuah perhitungan akhir dan berkata: “Aku telah memelihara iman” (2 Tim 4:7). Tetapi bagaimana ia memelihara iman? Bukan di dalam sebuah kotak yang kuat! Dia juga tidak menyembunyikannya di bawah tanah, seperti hamba yang malas itu. Santo Paulus membandingkan hidupnya dengan sebuah pertandingan dan kepada sebuah perlombaan. Ia memelihara iman karena dia tidak hanya mempertahankannya, tapi [juga] mewartakannya, menyebarkannya, membawanya ke negeri-negeri jauh. Dia bangkit berdiri untuk semua orang yang ingin mengabadikan, “membungkus” pesan Kristus dalam Palestina saja. Itulah karenanya mengapa ia telah membuat keputusan-keputusan berani, ia pergi ke dalam wilayah musuh, ia membiarkan dirinya ditantang oleh orang-orang yang menjaga jarak dan budaya-budaya yang berbeda, ia berbicara terus terang dan tanpa rasa takut. Santo Paulus memelihara iman karena, dengan cara yang sama [sebagaimana] telah ia terima hal itu, [demikian pula] ia bagi-bagikan itu, ia pergi keluar ke pinggiran-pinggiran, dan tidak mengubur dirinya ke dalam posisi defensif [bertahan].

Di sini juga, kita bisa bertanya: Bagaimana kita memelihara iman kita sebagai sebuah keluarga? Apakah kita menyimpannya untuk diri kita sendiri, dalam keluarga kita, sebagai harta pribadi seperti sebuah rekening bank, atau dapatkah kita berbagi dengan kesaksian kita, dengan penerimaan kita akan orang lain, dengan keterbukaan kita? Kita semua tahu bahwa keluarga-keluarga, terutama keluarga muda, sering “berlomba” dari satu tempat ke tempat lainnya, dengan banyaknya yang harus dilakukan. Tapi apakah kalian pernah berpikir bahwa “lomba” ini juga bisa menjadi perlombaan iman? Keluarga Kristiani adalah keluarga misionaris. Kemarin di lapangan ini kita telah mendengar kesaksian-kesaksian dari keluarga-keluarga misionaris. Mereka misionaris juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam melakukan hal-hal sehari-hari mereka, karena mereka membawa kepada segala sesuatunya garam dan ragi iman! Memelihara iman dalam keluarga-keluarga dan membawa kepada hal-hal sehari-hari garam dan ragi iman.

3. Dan satu pemikiran lagi kita dapat ambil dari firman Allah: keluarga itu mengalami sukacita.

Dalam Mazmur tanggapan kita menemukan kata-kata ini: “biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita” (Mazmur 34: 3). Seluruh Mazmur adalah sebuah nyanyian bagi Tuhan yang adalah sumber sukacita dan damai. Apa alasan untuk kesukacitaan ini? Ini adalah bahwa Tuhan sudah dekat, Ia mendengar tangisan orang-orang rendahan dan Ia membebaskan mereka dari yang jahat. Sebagaimana Santo Paulus sendiri menulis: “Bersukacitalah selalu … Tuhan sudah dekat” (Filipi 4:4-5). Saya ingin bertanya kepada kalian semua sebuah pertanyaan pada hari ini. Tetapi masing-masing dari kalian menyimpannya dalam hati kalian dan membawanya pulang. Kalian dapat menganggapnya sebagai semacam “pekerjaan rumah”. Hanya [saja] kalian harus menjawabnya. Bagaimana situasi sukacita di rumah? Adakah sukacita dalam keluarga kalian? Kalian dapat menjawab pertanyaan ini.

Para keluarga terkasih, kalian tahu betul bahwa sukacita sejati yang kita alami dalam keluarga tidaklah dangkal; hal tersebut tidak datang dari benda-benda material, [melainkan] dari fakta yang segala sesuatunya tampak akan berjalan dengan baik … Sukacita sejati berasal dari sebuah keharmonisan yang mendalam antara pribadi-pribadi, sesuatu yang kita semua rasakan dalam hati kita dan yang membuat kita mengalami keindahan dari kebersamaan, dari saling mendukung sepanjang perjalanan hidup. Tapi dasar dari perasaan sukacita yang mendalam ini adalah kehadiran Allah, kehadiran Allah dalam keluarga dan kasih-Nya, yang menyambut, penuh belas kasihan, dan menghargai terhadap semua. Dan di atas itu semua, sebuah kasih yang sabar: kesabaran adalah sebuah kebajikan Allah dan Ia mengajarkan kita bagaimana mengolahnya dalam kehidupan keluarga, bagaimana untuk menjadi sabar, dan sedemikian penuh kasih sayang, dengan satu sama lain. Untuk menjadi sabar di antara kita sendiri. Sebuah kasih yang sabar. Hanya Allah yang tahu bagaimana untuk menciptakan keharmonisan dari perbedaan-perbedaan. Tetapi jika kasih Allah kurang, [maka] keluarga itu kehilangan keharmonisannya, keegoisan menguasai dan sukacita memudar. Namun keluarga yang mengalami sukacita iman mengkomunikasikannya secara alami. Bahwa keluarga adalah garam bumi dan terang dunia, itu adalah ragi masyarakat secara keseluruhan.

Para keluarga terkasih, selalulah hidup dalam iman dan kesederhanaan, seperti Keluarga Kudus Nazareth! Sukacita dan damai Tuhan selalu bersama kalian!
(AR)

Paus Fransiskus,
Lapangan Santo Petrus, 27 Oktober 2013

Diterjemahkan dari: www.vatican.va

Pernyataan Sikap KWI terhadap PP No. 61/2014 Tentang Kesehatan Reproduksi

4

KWI Tolak PP No. 61/2014 Ps 31 dan 34 tentang Aborsi karena Urgensi Medik dan Akibat Perkosaan.

Oleh: Mgr. Ignatius Suharyo Pr.

 

Pengantar Redaksi

Berikut ini kami sampaikan rilis resmi KWI perihal penolakan sikap para Bapak Uskup se-Indonesia terhadap Praktik Aborsi karena alasan Urgensi Medik dan Akibat Perkosaan.

———————

Pernyataan Sikap KWI terhadap PP No. 61/2014 Tentang Kesehatan Reproduksi

“Orang yang mempunyai hidup, berhak untuk hidup karena dia sudah hidup dan mempunyai hidup”

HIDUP berharga dan bernilai, maka harus dijaga, dipelihara dan dibela. Sejak awal kehidupan, Allah sendirilah yang menciptakan manusia, ”Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku” (Mazmur 139:13).

Karena Allah sendiri yang menghendaki karya penciptaan ini, manusia tidak berhak untuk menghentikan Karya Agung Allah ini dengan menyingkirkannya. Apalagi, perintah Allah begitu tegas: Jangan membunuh! (Keluaran 2,30) yang tidak hanya berlaku bagi manusia yang sudah lahir namun juga mereka yang masih berada dalam kandungan.

Gereja mengakui bahwa hidup manusia dimulai sejak pembuahan dan hidup itu harus dibela dan dihormati. Segala bentuk tindakan yang mengancam sejak awal kehidupan ini secara langsung, tidak dibenarkan.

Nilai hidup manusia adalah nilai intrinsik yang ada dalam dirinya, dia bernilai oleh karena dirinya sendiri tanpa ada relasinya dengan pihak lain. Kecacatan atau penyakit yang dialami seseorang tidak mengurangi nilai dan martabat manusia. Oleh karena itu, aborsi dengan alasan kecacatan atau penyakit, tidak bisa dibenarkan.
Tindak pemerkosaan dapat menyebabkan trauma psikologis, spiritual dan sosial bagi korbannya. Yang diperlukan adalah sikap belarasa terhadap korban dan memberi bantuan dalam pelbagai hal agar yang bersangkutan bisa bangkit dari penderitaannya dan menghilangkan traumanya sehingga bisa kembali hidup bahagia. Namun keinginan untuk bahagia tidak memberikan hak kepadanya untuk membunuh orang lain. Melakukan aborsi demi mencapai kebahagiaan ibu yang mengandung akibat perkosaan sama artinya dengan menggunakan orang lain (janin) sebagai alat dan tidak menghormatinya sebagai subyek. Hal ini merupakan pelanggaran berat terhadap martabat manusia yang adalah Gambar dan Citra Allah.

Ketua Presidium KWI: Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo dalam kapasitasnya sebagai Ketua Presidium KWI bersama Sekjen KWI Mgr. Johannes Pujasumarta mengeluarkan pernyataak sikap penolakan terhadap praktik aborsi karena urgensi medik dan akibat perkosaan. (Dok. Majalah Hidup)
Janin adalah makluk yang “lemah, tidak dapat membela diri, bahkan sampai tidak memiliki bentuk minimal pembelaan, yakni dengan kekuatan tangis dan air mata bayi yang dimiliki oleh bayi yang baru lahir, yang menyentuh hati..” (Evangelium Vitae no. 58). Padahal Allah adalah pembela kehidupan, terutama mereka yang lemah, miskin dan tidak mempunyai pembela. Di sinilah muncul prinsip vulnerability, dimana orang yang kuat harus membela dan melindungi yang lemah. Selaras dengan hati Allah yang membela yang kecil, lemah dan tidak bisa membela dirinya, maka Gereja memilih untuk berpihak pada mereka dan menegaskan untuk membela kehidupan yang sudah diyakini ada sejak pembuahan.
Dalam Kitab Hukum Kanonik / KHK (Codex Iuris Canonici – CIC) ditegaskan: “Bagi mereka yang menganjurkan, mendorong dan melakukan tindakan aborsi, sesuai dengan Hukum Gereja, mereka terkena ekskomunikasi latae sententiae” (KHK 1398). Ekskomunikasi langsung atau otomatis.

Demikianlah pernyataan sikap kami terhadap PP No. 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

Kami menolak pemberlakuan pasal 31 dan 34 yang menguraikan tentang pengecualian aborsi yang diakibatkan oleh indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.

Jakarta, 5 September 2014
P R E S I D I U M
Konferensi WALIGEREJA INDONESIA,

Mgr. Ignatius Suharyo
K e t u a

Mgr. Johannes Pujasumarta
Sekretaris Jenderal.

Dikutip dari:

http://www.sesawi.net/2014/09/12/kwi-tolak-pp-no-612014-ps-31-dan-34-tentang-pengecualian-aborsi-karena-urgensi-medik-dan-perkosaan/

Iri Hatikah Engkau Karena Aku Murah Hati?

1
Sumber foto: http://www.miceslovakia.com/sites/default/files/wineyard_slovakia_shutterstock.jpg

[Hari Minggu Biasa XXV: Yes 55:6-9; Mzm 145:2-18; Flp 1:20-27; Mat 20:1-16]

Injil Minggu ini menceritakan perumpamaan tentang Kerajaan Surga seperti seorang tuan yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja untuk kebun anggurnya. Setelah dicapai kesepakatan upah sedinar sehari, didapatinya orang-orang yang mau bekerja di awal hari itu. Kemudian sang tuan kembali keluar mencari para pekerja, pada pukul 9 pagi, 12 siang, 3 sore dan juga pada pukul 5 sore. Ketika hari sudah malam, mereka menerima upahnya, mulai dari mereka yang bekerja paling akhir sampai kepada yang bekerja terdahulu. Mereka yang bekerja mulai jam 5 sore itu masing-masing  menerima satu dinar. Maka ketika para pekerja yang bekerja lebih dahulu itupun masuk, mereka menyangka akan menerima upah lebih banyak daripada yang bekerja jam 5 sore itu. Namun betapa kecewanya mereka, ketika mereka menerima upah juga sebesar satu dinar! Mereka bersungut-sungut seolah menuduh sang tuan tidak adil, walaupun sebenarnya tuan itu membayar upah sesuai dengan kesepakatan yang telah  mereka setujui sebelum bekerja. Menanggapi tudingan itu, sang tuan hanya berkata, “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau karena aku murah hati?” (Mat 20:15)

Para Bapa Gereja mengartikan bahwa upah yang diberikan oleh sang tuan pemilik kebun anggur itu adalah keselamatan yang diberikan Allah kepada mereka yang mengimani, mengasihi dan melayani Dia. Selanjutnya, para Bapa Gereja mengajarkan sedikitnya ada dua pengertian akan perumpamaan ini. Origen, St. Hilarius, St. Gregorius dan Theophylactus mengartikan bahwa para pekerja itu adalah para orang beriman yang menerima penghargaan setelah melayani Tuhan, di sepanjang sejarah manusia; dimulai dari zaman Adam dan Hawa, zaman para patriarkh, zaman para nabi bangsa Israel, zaman Kristus dan setelah zaman Kristus, saat Injil diwartakan kepada seluruh bangsa. Sedangkan St. Basilius, St. Hieronimus, St. Fulgentius mengartikan bahwa perumpamaan itu mengisahkan pertobatan orang beriman. Ada yang bertobat dan menerima Kristus dan dibaptis di awal masa hidup mereka, ada yang di masa remaja, masa dewasa, masa tua, dan bahkan ketika menjelang ajal. Umumnya terdapat semangat kasih yang lebih besar untuk bekerjasama dengan rahmat Allah, ketika orang menerima rahmat itu di masa dewasa ataupun di akhir masa hidup mereka, seolah ingin menutupi kelalaian di masa muda mereka. Orang-orang ini menjadi lebih bersungguh- sungguh untuk berjuang hidup kudus dan melayani Tuhan, daripada mereka yang telah mengenal Kristus dan dibaptis sejak masih bayi.  Marilah kita memeriksa batin kita, termasuk di kelompok manakah kita: Apakah kita termasuk dalam kelompok orang-orang yang bertobat dan mengikuti Tuhan di masa tua, dewasa atau sejak masa kecil? Bagaimanakah sikap kita dalam mengikuti perintah-perintah Tuhan: dengan senang hati atau dengan bersungut- sungut? Adakah kita turut bersyukur jika melihat ada sesama kita yang bertobat dari dosa-dosa yang telah sekian lama membelenggu?  Adakah kita turut bersuka cita jika melihat merekapun menerima rahmat keselamatan yang juga telah kita terima? Sebab dapat terjadi, kitapun bersikap seperti para pekerja yang telah bekerja sejak awal hari, dan menganggap bahwa Allah tidak adil, dengan memberikan rahmat keselamatan yang sama, kepada mereka yang baru bekerja di akhir hari. Apa tanggapan kita jika mendengar kesaksian orang-orang yang diampuni Tuhan setelah bertahun-tahun hidup dalam dosa? Apakah kita turut bersyukur atas kemurahan Tuhan itu, ataukah malah kita cenderung mengajukan protes, ‘kalau begitu biarlah saya juga berdosa dulu, dan baru kembali kepada Tuhan di akhir hidup saya, sebab toh Tuhan akan mengampuni pada akhirnya’? Sebab jika kita berkeras untuk terus hidup dalam dosa, belum tentu kita dapat bertobat sebelum ajal yang akan datang tanpa permisi. Maka kemurahan Tuhan ini selayaknya tidak dijadikan alasan untuk menunda pertobatan kita, ataupun mengulur waktu untuk melakukan perintah- perintah-Nya. Sebaliknya, kemurahan hati Tuhan mendorong kita untuk membalas kebaikan-Nya dengan melayani Dia. Kemurahan hati- Nya selayaknya mendorong kita untuk juga menjadi murah hati kepada sesama, di samping mengingatkan diri kita sendiri untuk senantiasa bertobat. Sebab dengan meninggalkan segala dosa dan melakukan kebaikan, kita akan tetap berada di dalam rancangan Tuhan yang jauh melampaui rancangan manusia (lih. Yes 55:9). Rancangan keselamatan kekal, itulah yang dikehendaki Tuhan, dan jika kita mengejar dan merindukan keselamatan ini, maka kita akan dapat memahami pengajaran Rasul Paulus yang kita baca hari ini. Yaitu, menjalani hidup dengan semangat yang besar, dan tidak takut menghadapi kematian. Sebab hidup kita adalah perwujudan kasih yang adalah Kristus, dan kematian kita adalah suatu keuntungan (lih. Flp 1:21), karena membawa kita kepada penggenapan rahmat keselamatan.

Ya Tuhan, aku bersyukur atas kemurahan-Mu untuk menyelamatkan umat-Mu. Bantulah aku untuk terus mengerjakan keselamatanku, sambil turut bersuka cita atas rahmat keselamatan yang dapat juga Kau berikan kepada sesamaku tanpa memandang bulu.”

Mendoakan Firman Tuhan : Doa Dalam Ketakutan Hidup Yang Mencekam

0

Sharing Spiritualitas dan Studi Kitab Suci
oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

1. Ayat Kitab Suci

Ketika kita merasa sangat lemah dan tak berdaya sehingga kita benar-benar kecut dan takut dalam kehidupan kita, kita bisa mendoakan firman Tuhan, firman penghiburan, dalam Yesaya 41:10: “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu. Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan”.

2. Maksud Ayat itu

Ayat itu menyatakan bahwa Allah tidak pernah ingkar janji terhadap umat pilihan-Nya. Jika Allah telah berjanji, Ia pasti akan menepatinya: “Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?” (Bilangan 23:19). Berdusta dalam ayat ini berarti tidak menepati janji: “The word is really about not fulfilling promises than telling Lies” (H.L. Ellison. The Daily Study Bible : Numbers p. 178).Janji Tuhan layak untuk dipercaya, karena janji Tuhan selalu tergenapi sejak dunia diciptakan.

Yesaya 41:10 merupakan Firman penghiburan dari Allah, yang setia kepada janji-Nya, kepada bangsa Israel, bangsa pilihan-Nya, selama mereka tertawan di Babel. Tuhan telah memilih bangsa Israel dari segala bangsa lainnya di bumi ini: “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi;” (Yesaya 41:8). Sekali Tuhan memilih orang-orang pilihan-Nya, Ia tidak akan pernah menolaknya: “engkau yang telah Kuambil dari ujung-ujung bumi dan yang telah Kupanggil dari penjuru-penjurunya, Aku berkata kepadamu: “Engkau hamba-Ku, Aku telah memilih engkau dan tidak menolak engkau”; (Yesaya 41:9). Bangsa Israel memang pernah menolak Tuhan Allah ‘Yahwe’ sehingga dibuang ke Babel. Akan tetapi, Tuhan senantiasa mengingat bangsa Israel sehingga bangsa Israel itu tetap menjadi bangsa pilihan Tuhan hingga kini. Karena itu, bangsa Israel, bangsa pilihan Tuhan ini, tidak perlu takut karena Ia pasti menolong dan melindunginya dari bangsa-bangsa lainnya.

Kita juga merupakan orang-orang pilihan Allah karena penebusan Tuhan Yesus Kristus: “Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukanNya dari semula, mereka itu juga dipanggilNya. Dan mereka yang dipanggilNya, mereka itu juga dibenarkanNya. Dan mereka yang dibenarkanNya, mereka itu juga dimuliakanNya” (Roma 8:29-30). Karena itu, Yesaya 41: 10 “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu. Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan” (Yesaya 41:10”) ini merupakan penyingkapan bahwa penyertaan Tuhan Allah bagi kita, umat-Nya, menjadi nyata dalam diri Tuhan Yesus Kristus, Sang Juruselamat kita.

Penyertaan dan pertolongan Tuhan Yesus Kristus di tengah ketakutan kita dalam menjalani hidup ini sangat nampak dalam peristiwa Ia meredakan angin rebut. Ketika angin ribut menghantam perahu kehidupan kita, Tuhan Yesus Kristus meminta kita tidak boleh takut dan panik menghadapinya: “Tenanglah ! Aku ini, jangan takut ! (Matius 14:27). Ia senantiasa hadir untuk menolong kita. Ketika Tuhan Yesus berada di dalam perahu kehidupan kita, angin ribut kehidupan kita akan reda. Angin rebut kehidupan itu bisa berupa kehilangan orang-orang yang kita cintai, runtuhnya usaha yang telah kita bangun selama bertahun-tahun, dan hidup kita terancam. Tuhan Yesus Kristus sanggup membuat kehidupan kita tenang: “Ia berkata kepada mereka, ‘Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?’ Lalu bangunlah Yesus menghardik angin dan danau itu, maka danau itu menjadi teduh sekali” (Matius 8:26). Syaratnya danau kehidupan kita menjadi tenang setelah dihantam angin ribut adalah memiliki iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Ketika kita memiliki iman kepada Tuhan Yesus Kristus, kita tidak perlu takut dan bimbang pada saat krisis kehidupan datang. Tuhan telah berjanji untuk terus menyertai, meneguhkan, menolong dan memegang kita untuk mencapai kemenangan.

Sikap kita sebagai bangsa terpilih terhadap janji penghiburan Allah adalah kita harus mempercayainya agar hidup kita penuh kedamaian, sukacita, dan pengharapan: “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu. Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan” (Yesaya 41:10). “Jangan takut” berarti bahwa Allah menjamin apa yang Ia janjikan kepada kita. “Aku menyertai engkau” berarti Allah menjamin keamanan, kesejahteraan, dan kenyamanan kita. “Jangan bimbang” berarti Allah memberikan kepastian akan janji yang Ia berikan. Jaminan tersebut berupa jaminan pertolongan-Nya dalam menjawab permasalahan. “Aku akan meneguhkan bahkan akan menolong Engkau” berarti Allah menjamin bahwa Ia akan menjaga dan meneguhkan hati kita. “Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan” berarti Allah menjamin bahwa Ia membawa kita pada kemenangan atas persoalan yang ada.

3. Doa:

Doa dalam Ketakutan Hidup Yang Mencekam

“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu. Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan” (Yesaya 41:10).

Allah Bapa yang baik, Engkau adalah Allah yang setia.

Aku percaya bahwa Engkau senantiasa menepati janji-Mu untuk melindungiku dari segala bahaya.

Sekarang ini hatiku sangat kecut dan lemah karena aku sedang menghadapi masalah, tantangan, dan ancaman (sebutkan….).

Hadirlah, ya Allah, dalam hidupku, agar aku tidak putus asa karena kehadiran-Mu adalah kehadiran untuk menolongku.

Genggaman tangan-Mu meneguhkan aku sehingga aku dapat bangkit dan berjalan kembali untuk menjalani kehidupan dengan penuh pengharapan. Amin.

Sumber Bacaan

1. Alfred Mcbride. Opraem. Images of Jesus : Mengalami 10 Rahasia Pribadi Yesus. Obor. Jakarta.2003.

2. Joyce Meyer. The Power of Simple Prayer. FaithWord. New York. 2013.

3. H.L. Ellison. The Daily Study Bible : Numbers. The Saint Andrew Press. Edinburgh. 1983.

4. Stormie Omaritan. Doa yang Mengubah Segala Sesuatu : Kuasa Tersembunyi Dalam Pujian. Emmanuel. Jakarta. 2006

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab