Home Blog Page 68

Apa Makna Perayaan Salib Suci Bagimu?

0

[Hari Minggu Biasa XXIV: Bil 21:4-9; Mzm 78:1-2, 34-38; Flp 2:6-11; Yoh 3:13-17]

Hari Minggu ini kita merayakan pesta Salib Suci, untuk mengenang Tuhan Yesus Kristus yang disalibkan untuk kita. Gereja merayakannya sambil juga mengenang St. Helena yang menurut tradisi Gereja, telah turut berjasa menemukan kembali salib suci Kristus di Yerusalem. Sehubungan dengan ini, ada juga fakta sejarah yang perlu kita ketahui, agar semakin memantapkan iman kita.
Pemberontakan bangsa Yahudi di abad awal mendorong Hadrian, Kaisar Romawi yang berkuasa saat itu (117-138), untuk menghapus nama Yudea, dan menamakan daerah itu menjadi Syria Palestina. Hadrian juga mengubah nama ibukota Yerusalem menjadi Aelia Capitolina dan melarang orang Yahudi untuk masuk ke sana. Saat itu Yerusalem, termasuk bait Allah, memang sudah menjadi reruntuhan akibat revolusi di tahun 70. Kaisar Hadrian meluluh-lantakkan apa yang masih tersisa di sana, dengan maksud menghabisi agama Yahudi. Hal serupa dilakukannya untuk menumpas pengaruh agama Kristiani. Ia meratakan bukit Kalvari dan membangun sebuah kuil dewa Yupiter di atasnya. Ia juga meratakan bukit di mana kubur Yesus terletak, dan membangun kuil bagi dewi Venus di atasnya. Ironisnya, bangunan- bangunan tersebut malah kemudian menjadi tanda dan bukti sejarah akan keberadaan tempat- tempat suci, di mana Tuhan Yesus sungguh telah disalibkan, dikuburkan dan bangkit dari mati.
Setahun setelah Kaisar Konstantin naik tahta di tahun 312, ia me-legalkan agama Kristiani di wilayah kekuasaan Romawi. Pada waktu itu, ibunya, St. Helena, juga menjadi Kristen. Dengan kuasa dari puteranya, di tahun 324 St. Helena pergi ke Palestina untuk menemukan tempat-tempat kudus sehubungan dengan Kristus dan mengabadikannya dengan membangun gereja di tempat- tempat itu. Demikianlah, ia membangun gereja Nativity di Betlehem, dan gereja Ascencion di bukit tempat Yesus naik ke Surga. Dua tahun berikutnya, kuil Yupiter dan kuil Venus dirobohkan. Para pekerja menggali lokasi tersebut dan menemukan kubur Yesus. Mereka lalu membangun gereja atasnya yang terus dilestarikan di sepanjang sejarah, dan yang sekarang kita kenal dengan nama the Church of the Holy Sepulchre di Yerusalem. Demikian pula, dengan dibongkarnya kuil tersebut, tersingkaplah lokasi penyaliban Tuhan Yesus di Kalvari/ Golgota. Di sebelah timur lokasi itu, di dalam sebuah sumur batu, ditemukan tiga buah salib dan plakat kayu yang bertuliskan INRI (Iesus Nazaranus Rex Iudaeorum). Menurut tulisan para Bapa Gereja, ketiga salib dan plakat itu kemudian dikeluarkan dari sumur. Seorang wanita yang sakit parah dan dalam sakrat maut dibawa ke sana. Wanita itu menyentuh ketiga salib itu satu persatu. Setelah menyentuh salib yang ketiga, ia sembuh seketika, dan dengan demikian orang-orang mengetahui salib yang mana di antara ketiga salib itu, yang adalah salib Kristus.
Apa gunanya kita mengetahui kisah ini? Pertama, kita dapat mengetahui lokasi otentik bukit Golgota dan kubur Yesus, sebab dewasa ini di Yerusalem ada lokasi lain yang diprediksikan oleh sejumlah orang di abad ke-19, sebagai lokasi Golgota dan kubur Yesus. Namun biar bagaimanapun, prediksi baru tersebut tetaplah tidak cukup didukung oleh fakta historis. Kedua, ditemukannya lokasi penyaliban Kristus dan kayu salib-Nya membuat kita semakin menyadari bahwa Tuhan Yesus sungguh-sungguh pernah mengambil rupa manusia dan telah disalibkan untuk kita. Ketiga, perayaan Salib Suci mengingatkan kita akan begitu besarnya makna Salib itu bagi kita umat-Nya. Salib itu disebut suci, karena Kristus Tuhan kita, pernah tergantung di sana saat menyerahkan nyawa-Nya demi menebus dosa-dosa kita. Sebab jika tidak demikian, maka salib tidak memiliki arti apapun bagi kita selain daripada dua palang kayu yang disatukan yang menjadi tempat penghukuman bagi para narapidana di zaman penjajahan Romawi di abad-abad pertama. Namun justru karena Kristus pernah disalibkan untuk kita, maka salib tidak lagi menjadi tanda keaiban, tapi sebaliknya menjadi tanda keajaiban kasih Allah yang menyelamatkan. Karena itu, salib bukanlah tanda kelemahan Allah, namun sebaliknya, kekuatan-Nya. Sebab hanya kekuatan Allah-lah yang menjadikan Kristus tetap mengasihi dan mengampuni orang- orang yang menyalibkan-Nya. Dan hanya dengan kekuatan Allah-lah, Kristus dapat merendahkan diri dan mengosongkan diri-Nya sedemikian rupa demi menyelamatkan kita. Kini dengan memandang kepada salib Kristus itulah kita pun dikuatkan untuk terus mengasihi dan mengampuni sesama; dan juga untuk bertumbuh dalam kerendahan hati, sebab itulah jalan yang dipilih Allah untuk menghantar kita kepada keselamatan kekal. Betapa dalamnya makna Salib itu, sehingga layaklah Tanda Salib itu melekat di batin kita, dan tidak semata kita buat di awal dan akhir doa secara tergesa-gesa.
Di pesta perayaan Salib suci ini, mari kita mendaraskan doa sederhana yang disusun oleh St. Fransiskus dari Asisi, “Kami menyembah Engkau, ya Kristus dan memuji-Mu, sebab dengan Salib Suci-Mu Engkau telah menebus dunia…..” Ya, Tuhan bantulah aku untuk semakin menghayati dalamnya makna Tanda Salib itu!

Apakah Gereja Katolik memotong Septuaginta?

4

Ada sejumlah orang yang bertanya, mengapakah dipermasalahkan hal gereja Protestan membuang kitab-kitab Deuterokanonika, padahal Gereja Katolik sendiri memotong/ membuang juga beberapa kitab yang termasuk dalam Septuaginta? Kitab-kitab yang menurut mereka ‘dibuang’ oleh Gereja Katolik dari Septuaginta adalah kitab 3 dan 4 Makabe, 3 dan 4 Esdras, dan Mazmur 151. Berikut ini kami sampaikan beberapa hal yang perlu kita ketahui bersama, agar kita semakin memahami duduk persoalannya.

Secara umum, perlu diketahui bahwa orang-orang yang mengatakan demikian kemungkinan mengasumsikan bahwa kitab Septuaginta adalah semacam kitab yang sudah standard dan diterima oleh semua kalangan Yahudi di manapun sejak abad-abad awal. Namun sayangnya, bukti sejarah menunjukkan hal yang sebaliknya.

1. Di abad-abad awal, di kalangan Yahudi tidak ada persetujuan yang seragam tentang kitab-kitab mana saja yang termasuk dalam Kitab Suci Yahudi.

Di zaman Yesus, bangsa Yahudi telah memiliki kelima kitab pertama dalam Perjanjian Lama, yang disebut kitab Torah. Namun di luar kitab Torah, keberadaan kitab-kitab lainnya masih dapat diperdebatkan. Itulah sebabnya sejumlah rabi Yahudi kemudian mengadakan konsili di Jamnia (Javneh), tahun 90/100 untuk menentukan kanon Kitab Suci, walaupun kanon itu juga tidak diterima secara universal di kalangan Yahudi.

Di abad-abad awal itu terdapat banyak kitab yang terpisah, dalam bentuk gulungan/ scroll, jadi tidak berupa buku yang lengkap seperti sekarang. Tak semua kitab itu dapat dianggap otentik dan dapat dimasukkan sebagai Kitab Suci. Saat itu belum ada pengesahan kitab-kitab tertentu sebagai kitab-kitab yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Maka di saat itu terdapat berbagai kitab yang tidak termasuk dalam Kitab Suci kita sekarang, seperti Kitab Henokh, atau berbagai kitab apokrif lainnya, seperti injil Tomas, injil Filipus, injil Matias, dst. Manuskrip Ibrani yang ditemukan di Qumran juga menunjukkan bahwa kanon Kitab Suci Ibrani belum ditentukan di kalangan Yahudi di sekitar abad ke-1 Masehi. Beberapa sekte Yahudi hanya berpegang kepada kelima kitab Torah, namun sekte yang lain berpegang kepada lebih banyak kitab.

Menurut para ahli Kitab Suci Yunani, terdapat sedikit variasi manuskrip Septuaginta yang digunakan di suatu daerah dengan yang digunakan di daerah lainnya; walaupun secara garis besar sama. Maka, Gereja Katolik menentukan kanon Kitab Suci tidak tergantung dari Septuaginta yang memang tidak sepenuhnya seragam ini, dan Gereja tak pernah mengeluarkan dekrit apapun yang menyatakan berapa banyak kitab yang sah termasuk dalam terjemahan Septuaginta. Dengan demikian, Gereja Katolik tidak pernah menambahkan ataupun menguragi/ membuang kitab apapun dari kitab Septuaginta. Gereja Katolik memang telah menggunakan teks yang umum dikenal sebagai teks Septuaginta di kalangan Yahudi di daerah Mediterranea saat itu, namun tidak dapat dikatakan bahwa teks itulah teks Septuaginta yang baku, karena nyatanya terdapat sejumlah variasi teks Septuaginta. Baru setelah didefinisikan oleh Gereja Katolik di abad ke-4, pertama oleh Paus Damasus I di tahun 382, dan kemudian oleh Konsili Hippo (393) dan Karthago (397), susunan Kitab Suci menjadi lebih jelas.

2. Sejumlah kitab yang dipersoalkan itu baru ditulis setelah terjemahan Septuaginta selesai dilakukan.

Menurut Sejarah, terjemahan Septuaginta dilakukan antara abad 3-2 sebelum Masehi atas perintah Raja Mesir, Ptolemy II Philadelphus (285-246 BC).

a. 3 dan 4 Makabe

Kitab 3 Makabe diperkirakan ditulis di sekitar akhir abad ke-1 sebelum Masehi, atau bahkan sesudahnya. Demikian juga kitab 4 Makabe, diperkirakan ditulis di akhir abad ke-1 sebelum masehi sampai abad 1 masehi sebelum kejatuhan Yerusalem di tahun 70. Kitab 3 Makabe mencatat peristiwa-peristiwa setelah terjemahan Septuaginta diselesaikan di abad 2 sebelum Masehi, sehingga menunjukkan bahwa kitab tersebut tidak termasuk dalam terjemahan Septuaginta. Walaupun demikian, kemudian kitab 3 Makabe (dan 4 Makabe) ada dalam Codex Alexandrinus (abad ke-5), sehingga sejumlah gereja Orthodoks memasukkan kitab-kitab ini dalam kanon Kitab Suci mereka.

b. 1 dan 2 Esdras

Perlu diketahui bahwa ada 4 kitab yang dihubungkan dengan Nabi Ezra (atau juga disebut Esdras), yang oleh sejumlah kalangan jemaat awal dikenal sebagai 1,2,3, dan 4 Esdras. Namun di kalangan lain, 1 dan 2 Esdras dikenal sebagai Ezra dan Nehemia; sedangkan kitab yang kedua (3 dan 4 Esdras) lalu dikenal juga sebagai 1 dan 2 Esdras.

Nah, Kitab Ezra dan Nehemia keduanya diterima dalam kanon Kitab Suci oleh Gereja Katolik (dan juga Protestan). Maka jika dikatakan bahwa Konsili tidak menerima kitab 1 dan 2 Esdras, sebenarnya yang dimaksud adalah kitab 3 dan 4 Esdras. Para ahli Kitab Suci memperkirakan bahwa Kitab 3 Esdras ditulis antara abad 1 sebelum Masehi sampai abad 1 Masehi, sedangkan 4 Esdras ditulis di sekitar tahun 70 AD. Maka kedua kitab tersebut tidak termasuk dalam kanon Kitab Suci yang ditetapkan Gereja Katolik, karena diperkirakan teks tersebut ditulis bahkan setelah zaman Kristus. Padahal di zaman Kristuslah, sudah tercapai puncak nubuatan Perjanjian Lama.

c. Mzm 151

Teks Mzm 151 memang tercantum dalam sejumlah manuskrip Septuaginta, walaupun tidak pada semua manuskripnya. Namun demikian, teks tersebut tidak terdapat dalam teks Ibrani Perjanjian Lama (teks Masoretik). Namun meskipun sejumlah manuskrip kuno Septuaginta (Codd. Sinaiticus, Vaticanus, and Alexandrinus) memasukkan Mazmur 151, manuskrip tersebut juga menuliskan secara eksplisit bahwa perikop terakhir itu tidak kanonikal. Di awal perikop Mzm 151 tersebut dikatakan demikian: “Mazmur ini ditulis oleh Daud dengan tangannya sendiri dan tidak termasuk dalam bilangannya”, atau dalam bahasa aslinya, exothen tou arithmou. Oleh sebab itu, di Kitab Suci Vulgata perikop ini tidak dimasukkan.

Dengan demikian, bisa dimengerti, jika kemudian Mzm 151 tidak dimasukkan dalam kanon Kitab Suci oleh Gereja Katolik.

3. Kesaksian St. Hieronimus dan St. Agustinus tentang kitab-kitab Deuterokanonika

Walaupun St. Hieronimus pernah seolah tidak menganggap kitab-kitab Deuterokanonika sebagai bagian dari Kitab Suci, namun demikian pada akhirnya ia memasukkan kitab-kitab tersebut dalam terjemahan kitab Vulgate yang dibuatnya. Ia juga mengutip kitab-kitab Barukh, Esther, Sirakh dan Kebijaksanaan Salomo dalam buku tafsir Kitab Suci yang ditulisnya. Argumen St. Hieronimus, mengapa ia awalnya tidak memasukkan kitab-kitab Deuterokanonika dalam terjemahannya, adalah karena kitab-kitab tersebut tidak ditemukannya dalam teks Ibrani (Masoretik)- sehingga kemungkinan ia mengasumsikan kitab-kitab tersebut tidak persis setara dengan kitab-kitab PL lainnya yang ditulis dalam bahasa aslinya, entah Aram ataupun Ibrani. Namun demikian, St. Hieronimus juga kerap mengutip teks kitab-kitab Deuterokanonika dan menyebut teks tersebut sebagai teks “Kitab Suci” (silakan klik). Penemuan di Dead Sea Scroll di sekitar tahun 1954 membuktikan bahwa argumen St. Hieronimus ini keliru, sebab kenyataannya ditemukan bahwa mayoritas kitab-kitab Deuterokanonika juga sebenarnya aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani, sebelum kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani.

Dengan adanya perbedaan pandangan tentang kitab-kitab mana yang termasuk Kitab Suci dan mana yang tidak, di kalangan jemaat, maka Paus Damasus I dan Konsili- konsili tentang Kitab Suci di abad ke-4 (yaitu Konsili Hippo dan Khartago), memberikan batasan yang lebih jelas tentang kanon Kitab Suci, sebagaimana telah diterima oleh para Bapa Gereja sebelum zaman St. Hieronimus.

Pada akhirnya, St. Hieronimus menyerahkan keputusan tentang kanon Kitab Suci kepada Gereja, secara khusus kepada Paus Damasus, karena ia mengakui supremasi Paus sebagai penerus Rasul Petrus. Ini nampak dalam tulisannya:

“What sin have I committed if I followed the judgment of the churches? But he who brings charges against me for relating the objections that the Hebrews are wont to raise against the story of Susanna, the Son of the Three Children, and the story of Bel and the Dragon, which are not found in the Hebrew volume, proves that he is just a foolish sycophant. For I wasn’t relating my own personal views, but rather the remarks that they are wont to make against us” (Against Rufinus 11:33 [A.D. 402]).

“I speak with the successor of the fisherman and disciple of the cross. I, who follow none but Christ as first, am joined in communion with your holiness , that is with the see of Peter. On this rock I know the Church was built. Whoever eats the lamb outside this house is profane. Whoever is not in the ark of Noah will perish when the deluge comes…Whoever does not gather with you scatters for whoever does not belong to Christ is of Antichrist.” (Letter 15 to Pope Damasus, 1-2, [376 AD])

Sejujurnya, mereka yang menolak kitab-kitab Deuterokanonika dengan mengutip pandangan St. Hieronimus, perlu juga mengacu kepada tulisan di atas, untuk melihat sikap St. Hieronimus pada akhirnya, tentang kanon Kitab Suci. Berbeda dengan para pendiri gereja Protestan, St. Hieronimus akhirnya tunduk dan menerima keputusan Paus, karena ia mengakui Paus sebagai penerus Rasul Petrus yang diberi kuasa oleh Kristus untuk mengajar dan memimpin Gereja.

Demikian juga, St. Augustinus mengajarkan:

“… Sekarang tentang kanon Kitab Suci, ia [penafsir Kitab Suci] harus mengikuti penilaian dari sejumlah besar Gereja- gereja Katolik; dan di antara ini, tentu tempat  tinggi harus diberikan kepada Gereja-gereja di mana terletak tahta seorang Rasul …” [On Christian Doctrine, Bk II, Ch. 8, ca. AD 397]

Sejumlah besar Gereja- gereja Katolik telah berpegang kepada ke 73 kitab dalam Kitab Suci, sebagaimana yang kita pegang hari ini, sebagai kanon Kitab Suci. Kanon tersebut ditetapkan oleh Gereja Roma, tahta St. Petrus, yang melalui penerusnya Paus Damasus I mendekritkan ke-73 kitab ini, tanpa memasukkan kitab 3 dan 4 Makabe, Mzm 151, 3 dan 4 Esdras. Kitab-kitab tersebut tidak pernah dimasukkan dalam kanon Kitab Suci, dan karena itu, Gereja Katolik tidak pernah mengeluarkannya/ membuangnya.

4. Kanon Kitab Suci Perjanjian Lama bahkan masih tidak seragam di antara sejumlah gereja Orthodoks saat ini

Gereja-gereja Orthodoks sampai saat ini juga tidak memiliki konsensus yang berlaku universal untuk seluruh gereja Orthodoks, tentang kanon Kitab Suci Perjanjian Lama. Gereja Ortodoks Ethiopia (GOE) memiliki jumlah kitab yang lebih banyak daripada gereja-gereja Orthodoks yang lain. GOE, misalnya, mengakui adanya kitab 4 Barukh, kitab Henokh dan kitab Jubilee, dalam kanon Kitab Suci mereka. Gereja Koptik tidak mengakui kitab 3 dan 4 Makabe dalam kanon Kitab Suci mereka.

Kesimpulan

Dari fakta-fakta di atas kita mengetahui bahwa Gereja Katolik tidak pernah ‘membuang’ satu kitab-pun dari kanon Kitab Suci. Terjemahan Septuaginta (yang diterjemahkan oleh 70 orang) disusun antara abad ke-3 sampai dengan abad ke-2 sebelum Masehi. Dalam selang perjalanan waktu sampai penetapan kanon Kitab Suci, terdapat sedikit varian di sana sini dalam manuskrip Septuaginta, walaupun secara umum sama. Jika kemudian pada saat menentukan kanon Kitab Suci Gereja Katolik mengambil salah satu versi terjemahan Septuaginta, tidak berarti bahwa Gereja Katolik membuang bagian-bagian tertentu dalam teks Septuginta. Karena sampai sebelum ditentukannya kanon Kitab Suci oleh Gereja Katolik, tidak ada kanon Septuaginta.

Kitab-kitab yang termasuk dalam Kanon Kitab Suci baru ditetapkan pertama kali oleh Paus Damasus I di tahun 382, yang kemudian diteguhkan kembali oleh Konsili Hippo (393), Konsili Karthago (397) dan Konsili Florence (419) sampai dengan Konsili Trente (1546).

Dengan melihat kepada sejarah terbentuknya kanon Kitab Suci, maka kita mengetahui bahwa keadaannya berbeda antara keadaan di abad ke-4 dan ke-16/19. Gereja Katolik tidak mengeluarkan kitab apapun dari kanon Kitab Suci, sedangkan gereja-gereja Protestan memang mengeluarkan kitab-kitab tertentu dari kanon Kitab Suci yang sudah ditetapkan oleh Gereja Katolik di abad ke-4.

 

Menjadi Peka, Bukan Kepo

0
Gambar diambil dari: http://kurtkoontz.com/2013/10/15/helping-hearts-and-hands/

[Hari Minggu Biasa XXIII: Yeh 33:7-9; Mzm 95:1-9; Rm 13:8-10; Mat 18:15-20]

Sekali waktu aku menonton sebuah siaran ulang talkshow dari Mother Angelica di channel TV Katolik EWTN. Aku tak ingat persis topiknya apa, tetapi aku ingat seloroh dari sang pembicara.  Katanya, untunglah bahwa para imam itu laki-laki, sebab jika perempuan, maka begitu ada seorang mengaku dosa di pagi hari, lalu di sore hari seluruh penduduk kampung akan mengetahui semua dosa orang itu! Ha… walau sepertinya ini bercanda, dan sedikit menyindir, namun sejujurnya ada elemen kebenaran di sini. Bukan bahwa wanita dapat menjadi imam, dan bukan bahwa seorang imam dapat membocorkan isi Pengakuan Dosa, sebab nyatanya imam malah terkena sangsi ekskomunikasi jika membeberkannya. Namun yang mungkin benar adalah bahwa para wanita cenderung lebih suka berbicara, jika dibandingkan dengan laki-laki, dan sayangnya sering kali topik pembicaraannya adalah membicarakan orang lain. Atau, istilah umumnya, nggosip, atau kepo, membicarakan banyak hal termasuk kelemahan orang lain, dan menjadi lebih buruk, jika pembicaraan itu dilakukan di belakang orang yang bersangkutan.

Bacaan Kitab Suci hari ini mengajarkan kepada kita untuk peka terhadap hal keselamatan sesama kita. Kita diajak untuk tidak menjadi kepo dan membicarakan kesalahan sesama tanpa sepengetahuannya, namun untuk menegur sesama kita yang berbuat salah, dengan motivasi kasih. Sungguh, ini tidak mudah, dan bahkan membawa resiko. Kita dapat menjadi tidak disukai, karena umumnya memang tidak ada orang yang senang ditegur orang lain.  Namun memang perhatian Allah bukanlah pertama-tama untuk membuat nabinya disukai semua orang, tetapi agar nabinya peka terhadap keselamatan sesamanya. Allah menyuruh Yehezkiel menegur sesamanya yang berbuat dosa agar bertobat. Jika ia tidak mau melakukannya, ia juga harus bertanggung jawab atas nyawa orang itu (lih. Yeh 33:8-9). Demikian juga, Injil hari ini mengingatkan tugas kita untuk menegur sesama yang berbuat dosa. Pertama-tama di bawah empat mata, lalu kalau tidak membawa hasil, libatkan satu atau dua orang saksi, dan jika masih tidak didengarkan, perkara dibawa ke jemaat (lih. Mat 18:15-20). Sejujurnya, firman Tuhan hari ini terdengar ‘keras’ dan cukup sulit, dan aku bertanya-tanya dalam hati dan ingin menawar kepada Tuhan, apakah bisa jika firman ini dipermudah sedikit. Bolehkah jika hanya didoakan saja, tapi tidak usah ditegur, Tuhan? Sebab nanti kalau kutegur lalu sesamaku marah, aku akan merasa sedih dan kecewa. Lagipula belum tentu akupun hidup lebih baik daripada orang itu

Namun usaha menawar dengan Tuhan ini kuhentikan, setelah kurenungkan sabda-Nya di bacaan yang kedua, yang ditulis oleh Rasul Paulus, dan yang juga sudah ditulis di banyak ayat lainnya dalam Kitab Suci, “Hendaklah kamu saling mengasihi…. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! (Rm 13:8,9). Bukankah kasih selalu menginginkan yang terbaik bagi orang yang dikasihi? Bukankah kasih yang paling tinggi kepada orang lain adalah kasih yang menginginkan keselamatan kekal baginya? Maka perintah Allah agar kita mengasihi sesama menjadi benang merah yang membuat aku melihat maksud Allah, mengapa Ia menghendaki agar kita menegur sesama kita yang berbuat salah; dan pada saat yang sama, juga agar kita tidak lekas marah, jika orang lainpun menegur kita, kalau kita yang berbuat salah.  Sebab Allah menghendaki kita semua diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1Tim 2:4). Jika kita melihat bahwa ada motivasi kasih yang tulus, yang menghendaki keselamatan kekal di balik tindakan ‘menegur dan ditegur’ ini, maka kita akan dapat melihat teguran tersebut dengan kacamata yang positif. O, betapa kita semua perlu untuk melihat hal ini! Sebab dalam kehidupan sehari-hari, kita semua tak luput dari kesalahan, dan sering kali orang lain lebih mudah melihat kesalahan kita daripada diri kita sendiri. Maka kita membutuhkan sesama untuk membangun diri kita, dan demikian pula, kitapun dapat turut membangun sesama kita. St. Agustinus memberikan tips dalam hal menegur sesama ini, yaitu, “cintailah pendosa, namun bencilah dosa- love the sinner, but hate the sin”. Saat kita melihat saudara kita jatuh ke dalam dosa, mari pertama-tama kita melihatnya dengan mata kasih, dan semoga dengan kasih itulah kita dapat mengulurkan tangan untuk membantunya bangkit dan meninggalkan kesalahannya.

Pengalaman membantu saudara kita yang jatuh selayaknya tidak membuat kita menjadi tinggi hati, tetapi justru membuat kita semakin merunduk, dan semakin menyadari akan kelemahan diri kita sendiri, sebab mungkin saja, ada saatnya kita-lah yang jatuh dan membutuhkan uluran tangan dari saudara dan saudari kita. Pada saat yang sama, sabda Tuhan Minggu ini mendorong kita untuk semakin mengenali dan melaksanakan kehendak-Nya dalam hidup kita, supaya kita tidak hanya bicara ataupun menegur orang lain, namun gagal melaksanakan sendiri apa yang kita katakan itu. Semoga di Minggu Kitab Suci Nasional ini, kita semakin didorong dan diingatkan untuk semakin mencintai Sabda Tuhan dalam Kitab Suci yang menuntun hidup kita. Semoga dengan demikian, kita tidak menjadi orang yang kepo, melainkan orang yang peka, untuk mengerjakan keselamatan kita dan sesama (lih. Flp 2:12).

Apakah Kebenaran Kitab Suci Hanya Terbatas pada Hal Iman dan Moral?

3

Dewasa ini ada sejumlah orang yang mempertanyakan kebenaran Kitab Suci, atau sampai batas manakah Kitab Suci menyampaikan kebenaran. Sejumlah dari mereka berpandangan bahwa hanya dalam hal iman dan moral saja, Kitab Suci tidak mungkin salah, sedang dalam hal lainnya, misalnya dalam hal keterangan perihal sejarah dan lainnya, bisa salah. Benarkah demikian?

Secara prinsip, Gereja telah sejak awal percaya bahwa Pengarang utama Kitab Suci adalah Allah sendiri yang memberi dorongan kepada para penulis suci untuk menuliskan wahyu ilahi. Karena Allah yang memberikan inspirasi kepada para penulis itu adalah Allah yang tidak mungkin salah, maka apa yang diwahyukan-Nya juga tidak mungkin salah, baik itu dalam hal iman dan moral, maupun juga dalam hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan hal tersebut. Berikut ini adalah ulasan yang kami sarikan dan terjemahkan dari apa yang ditulis oleh Mark J. Zia, di link Catholic Culture, klik di sini:

Gereja Katolik telah sejak awal mengajarkan bahwa Kitab Suci tidak mungkin keliru/ salah, sebagaimana telah dituliskan juga dengan jelas oleh St. Agustinus dalam salah satu suratnya kepada St. Hieronimus:

“Sebab aku menyatakan persetujuanku kepada belas kasihmu, bahwa aku telah belajar untuk mengandalkan penghormatan ini hanya kepada kitab-kitab kanonik Kitab Suci: hanya kepada kitab-kitab ini saja aku harus mengimani dengan sangat teguh bahwa para pengarangnya benar-benar seluruhnya bebas dari kesalahan. Dan jika dalam tulisan-tulisan ini aku dibingungkan oleh apapun yang nampak olehku seperti bertentangan dengan kebenaran, aku tidak enggan untuk beranggapan bahwa entah teks MS-nya ((MS= Salinan dari teks asli manuskrip Kitab Suci)) tidak sempurna, atau para penerjemahnya tidak menangkap maksud yang telah dikatakan, atau aku sendiri yang telah gagal memahaminya … Aku percaya, saudaraku, bahwa ini pula-lah yang menjadi pandanganmu, seperti pandanganku.” ((Letter 82, i, 3 in Philip Schaff (ed)., Letters of St. Augustine: The Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church, First Series, vol 1 (Grand Rapids, MI: WM. B. Eerdmans, 1994) 348.))

St. Agustinus yang begitu ahli dalam pemahaman Kitab Suci, tidak ragu untuk menunjukkan kerendahan hatinya ketika dihadapkan dengan kenyataan adanya masalah-masalah dalam bacaan ayat-ayat Kitab Suci; dengan tidak menujukan masalah itu kepada kekeliruan Kitab Suci, namun dengan mengakui keterbatasannya sendiri sebagai manusia di hadapan wahyu yang adikodrati.

Paus Leo XIII mengutip perkataan St. Agustinus ini, yang juga menjadi konsensus dari Tradisi Suci dalam surat ensiklik Providentissimus Deus (1893), ” … Semua Bapa Gereja dan para Pujangga Gereja setuju bahwa tulisan-tulisan ilahi, sebagaimana ditinggalkan oleh para hagiografer (penulis kitab), adalah bebas dari semua kesalahan …” ((Lih. Providentissimus Deus, 21.))

Maka Paus mengajarkan bahwa kebenaran (tidak mungkin salah) Kitab Suci tidak terbatas hanya dalam hal iman dan moral, namun juga secara keseluruhan, demikian:

“Tetapi adalah secara mutlak keliru dan dilarang, entah untuk membatasi inspirasi [Roh Kudus] hanya kepada bagian-bagian tertentu dalam Kitab Suci, atau untuk menerima bahwa para penulis suci telah keliru. Sebab pola pikir dari mereka yang, agar menarik diri dari kesulitan-kesulitan ini, tidak enggan untuk berpegang bahwa inspirasi ilahi hanya berkenaan dalam hal iman dan moral, dan tidak lebih dari itu, sebab (seperti contohnya mereka salah paham) dalam masalah tentang kebenaran ataupun ketidaksesuaian dari sebuah perikop, kita harus mempertimbangkan tidak hanya melulu apa yang telah Tuhan katakan sebagai alasan dan maksud yang ada dalam pikiran-Nya ketika mengatakannya — pola pikir ini tidak dapat diterima. ((Ibid., 20.))

Sebagai tambahan, untuk menekankan pentingnya ajaran tentang Kitab Suci yang tidak mungkin salah, Paus Leo XIII mengatakan:

“Dan sejauh itu tidak mungkin bahwa kesalahan dapat ada bersama-sama dengan inspirasi [Roh Kudus], bahwa inspirasi tidak hanya secara mendasar tidak dapat sejalan dengan kesalahan, namun mengeluarkannya dan menolaknya secara mutlak dan harus, sebab adalah tidak mungkin bahwa Allah sendiri, Sang Kebenaran tertinggi, dapat mengatakan apa yang tidak benar. Ini adalah iman yang sudah ada sejak lama dan tidak berubah dari Gereja, yang secara agung didefinisikan dalam Konsili Florence (Firenze) dan Konsili Trente dan akhirnya diteguhkan, serta lebih jelas dirumuskan dalam Konsili Vatikan.” ((Ibid.))

“Konsekuensinya adalah, orang-orang yang berpandangan bahwa sebuah kesalahan mungkin saja terjadi di perikop asli manapun dari tulisan-tulisan suci itu, [mereka] membelokkan pandangan Katolik tentang inspirasi [ilahi] atau menganggap Allah sebagai pengarang dari kesalahan tersebut.” ((Ibid. EB, 126-127))

Selanjutnya surat ensiklik Paus Benediktus XV, Spiritus Paraclitus, yang memperingati 1500 tahun wafatnya St. Hieronimus, yang diberi gelar “Pujangga besar” Kitab Suci, juga meneguhkan apa yang diajarkan oleh St. Hieronimus dan Paus Leo XIII dalam Providentissimus Deus, tentang inspirasi ilahi Kitab Suci. Paus Benediktus XV menyesalkan sikap sejumlah orang yang, walaupun sudah dengan jelas dijelaskan tentang ajaran ini, memilih untuk meragukan kebenaran Kitab Suci:

“Tapi meskipun perkataan Paus pendahulu Kami tidak menyisakan ruang untuk meragukan atau mempersoalkan [tentang tidak mungkin salahnya Kitab Suci secara keseluruhan], adalah hal yang menyedihkan bagi Kami untuk menemukan bahwa tidak hanya orang-orang dari luar kalangan, tetapi bahkan anak-anak dari Gereja Katolik – betapa ini adalah dukacita khusus bagi Kami, bahkan para klerus dan para pengajar dari ajaran suci – yang mengikuti pikirannya sendiri, entah secara terang-terangan menolak atau sedikitnya menyerang secara diam-diam, ajaran Gereja tentang hal ini.” ((Spiritus Paraclitus, 18.))

Paus Benediktus XV selanjutnya mengatakan tentang hal sejarah/ histori dalam Kitab Suci:

“Mereka, juga, yang berpegang bahwa hal-hal historis dalam Kitab Suci tidak berdasarkan kebenaran absolut dari fakta-fakta tetapi semata-mata dari apa yang dengan senang hati mereka sebut sebagai kebenaran relatif, yaitu, apa yang kemudian dipahami orang, berada…. di luar kesesuaian dengan ajaran Gereja, yang ditekankan oleh kesaksian St. Hieronimus dan para Bapa Gereja lainnya.” ((Ibid., 22))

Divino Afflante Spiritu, surat ensiklik terakhir sehubungan dengan studi Kitab Suci yang ditulis sebelum Konsili Vatikan II oleh Paus Pius XII tahun 1943, menyebutkan di bagian suratnya:

“Karena itu layaklah Kami memperingati perayaan ke-50 dari publikasi surat ensiklik [Providentissimus Deus], yang dianggap sebagai pegangan tertinggi dalam studi Kitab Suci, Kami, didorong oleh perhatian kepada pembelajaran yang suci yang Kami nyatakan sejak awal Pontifikat Kami, telah menganggap bahwa hal ini dapat dilakukan secara pantas dengan meneguhkan dan menanamkan kembali semua yang telah dijabarkan dengan bijaksana oleh Pendahulu Kami, dan ditentukan oleh para Penerus-Nya untuk menguatkan dan menyempurnakan karya itu, dengan menunjukkan apa yang nampaknya perlu di masa kini, agar mendorong dengan lebih kuat lagi, semua anak-anak Gereja yang membaktikan diri mereka untuk studi ini, kepada tugas yang begitu penting dan mulia ini.” ((Divino Afflante Spiritu, 2))

Tentang inspirasi ilahi dalam Kitab Suci dan Kitab Suci tidak mungkin salah, Paus Pius XII kembali menegaskan, “Ajaran ini, yang dijabarkan oleh Paus Leo XIII dengan penuh keagungan, Kami juga nyatakan dengan otoritas Kami dan Kami mendorong semua umat untuk berpegang kepadanya dengan setia.” ((Divino Afflante Spiritu, 3-4))

Prinsip tentang kebenaran Kitab Suci secara keseluruhan ini juga dinyatakan kembali oleh Konsili Vatikan II dalam Konstitusi tentang Wahyu Ilahi:

“Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang ilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita.” (Dei Verbum 11)

Dengan demikian, frasa ‘demi keselamatan kita’, itu mengacu kepada kehendak Allah [yang Allah kehendaki], yaitu untuk menyelamatkan kita, dan bukan untuk mengacu kepada ‘kebenaran’, sehingga disalahartikan untuk membatasi ruang lingkup kebenaran hanya kepada hal-hal yang berkenaan dengan keselamatan kita.

Kesimpulan

Bagaimanapun Wahyu Allah disingkapkan kepada kita di dalam sejarah umat manusia, sehingga dalam hal ini tidak ada garis pemisahan yang jelas yang memisahkan antara sejarah dan teologi, seolah keduanya terpisah satu sama lain. Konsili Vatikan II dengan jelas menyatakan hal ini:

“Tata perwahyuan itu terlaksana melalui perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga karya-karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan ajaran serta kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan kata-kata menyiarkan karya-karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya.” ((Dei Verbum, 2.))

Sebab peristiwa-peristiwa inti dalam iman Kristiani, yaitu Inkarnasi Yesus Kristus dan Wafat dan Kebangkitan-Nya dari kematian adalah peristiwa historis. Seperti halnya semua kejadian sejarah dalam Kitab Suci, itu semua tak akan dapat kita ketahui, jika kita katakan bahwa lingkup historis/ sejarah tidaklah penting untuk dipahami di sepanjang jalan keselamatan. Segala pernyataan kebenaran, baik itu hal iman, moral, ataupun historis sungguh ditulis dalam inspirasi Roh Kudus demi keselamatan kita, dan dengan demikian memiliki klaim yang unik tentang inerrancy (ke-tidak mungkin salah-an) yang tidak dikenal dalam literatur lainnya, baik literatur religius maupun sekular, dalam sejarah manusia.

 

Qur’an dibacakan di Vatikan?

3

Belakangan ini ada sejumlah orang mempertanyakan mengapa Paus mengizinkan pendarasan doa yang mengutip ayat-ayat Al Qur’an di Vatikan. Apakah maksud Bapa Paus melakukan hal ini?

Berikut ini kami kutip berita yang ditulis oleh sumber non-Katolik tentang peristiwa tersebut, yaitu dari situs Voice of America yang juga ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia, klik di sini:

Paus Pimpin Doa Perdamaian Israel-Palestina di Vatikan

“Presiden Israel Shimon Peres dan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas hari Minggu (8/6) ikut bersama Paus Fransiskus di Vatikan dalam acara doa yang belum pernah terjadi sebelumnya, demi perdamaian di Timur Tengah.

Ketiga pemimpin bersama kepala gereja Orthodox Konstantinople – Bartholomew menyampaikan doa bersama kardinal, rabbi dan imam dari ketiga agama: Kristen, Yahudi dan Islam. Pertemuan selama dua jam di sebuah taman di Vatikan itu mencakup doa-doa dari Kitab Perjanjian Baru dan Lama, serta Al Qur’an yang dibaca dalam bahasa Yahudi, Arab, Inggris dan Italia.

Paus Fransiskus yang berasal dari Argentina itu kemudian menyampaikan kepada Mahmoud Abbas dan Shimon Peres bahwa “perdamaian memerlukan keberanian yang jauh lebih penting daripada perang”. Paus Fransiskus merumuskan keberanian sebagai “kesediaan untuk mengatakan ‘iya’ untuk berunding dan ‘tidak’ untuk perang”.

Paus Fransiskus menyampaikan undangan kejutan kepada kedua pemimpin itu bulan lalu, hanya beberapa pekan setelah perundingan perdamaian Timur Tengah putaran terakhir gagal.”

Maka pertama-tama perlu kita lihat di sini, fakta yang terjadi adalah:

1. Paus berinisiatif untuk mengundang Presiden Israel dan Palestina untuk berdialog dan mengusahakan perdamaian di wilayah Palestina. Karena Paus yang mengundang berdomisili di Vatikan, maka pihak yang diundang tersebut diundang ke Vatikan.

2. Paus mengatakan bahwa untuk mencapai perdamaian dibutuhkan keberanian, dan bukan perang. Keberanian yang dimaksud di sini adalah keberanian untuk mengatakan “Ya” untuk pertemuan dan dialog; dan “Tidak” untuk konflik dan kekerasan. “Ya” untuk negosiasi dan menghormati perjanjian, dan “Tidak” untuk tindakan provokasi dan permusuhan.

3. Paus menjalankan sendiri apa yang dikatakannya ini, dengan mengundang kedua pemimpin negara yang sedang bertikai  (Israel yang mayoritas penganut Yahudi dan Palestina yang mayoritas muslim), untuk mengusahakan dialog perdamaian antara mereka.

4. Dialog ini didahului dengan doa, yang mengingatkan semua pihak yang terlibat, akan adanya elemen pemersatu, yaitu Allah yang esa, yang sama-sama diimani oleh pihak Israel (Yahudi), Palestina (mayoritas muslim), dan juga oleh Paus sebagai pengundang, yang juga adalah pemimpin umat Katolik sedunia.

5. Doa bersama dan pertemuan dialog tersebut diadakan di Taman Vatikan, jadi bukan di dalam gedung basilika St. Petrus maupun pelataran Vatikan, tempat yang biasa diadakan perayaan Ekaristi.

6. Dalam 2 jam pertemuan itu, termasuk pembacaan doa-doa dari Kitab Suci, yaitu dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan juga dari kitab Qur’an, yang dibacakan dan didaraskan dengan nyanyian dalam bahasa Ibrani, Arab, Inggris dan Italia.

Dengan demikian, pembacaan doa yang diambil dari ayat-ayat Qur’an di Vatikan seyogyanya dipahami dengan maksud dialog ini. Kita yang hidup di Indonesia, bukankah sudah terbiasa dengan hal dialog antar umat beragama ini. Doa bersama, dengan saling membacakan doa atas keyakinan masing-masing, bukan sesuatu yang tabu untuk dilakukan. Ini kan seperti seseorang yang mengundang dua sahabatnya yang sedang bertikai, untuk datang ke rumahnya. Lalu sebelum mereka berdialog mereka membukanya dengan doa. Di kesempatan itu yang dilakukan Paus adalah mengizinkan setiap pihak yang terlibat untuk mendaraskan doa, jadi bukan suatu khotbah ataupun pengajaran tertentu. Dan sesudah doa, diikuti oleh perundingan kenegaraan, yang tidak ada kaitannya dengan masalah ajaran agama tertentu.

Maka jika Paus memperbolehkan pendarasan doa menurut agama Yahudi maupun Islam, di samping doa menurut iman Kristiani di sebuah taman di Vatikan, itu tentu didasari prinsip yang dianut oleh Gereja tentang doa, yaitu kita manusia itu seperti pengemis di hadapan Tuhan, yang mengangkat hati dan pikiran kepada Tuhan untuk memohon hal-hal yang baik dari Tuhan (lih. KGK 2559); dan dalam semangat kerendahan hati ini, Gereja turut berdoa bersama dengan pihak-pihak yang bertikai, untuk memohon pertolongan Tuhan agar memberikan jalan keluar bagi pihak-pihak yang sedang bertikai. Karena pihak-pihak yang bertikai itu mempunyai cara-cara sendiri untuk berdoa, maka Paus mengizinkan mereka berdoa dengan cara-cara mereka, dan tidak memaksakan mereka agar berdoa dengan cara Gereja berdoa. Tentu ini justru menunjukkan ketulusan hati Bapa Paus untuk menjembatani kedua pihak itu, tanpa mempunyai motivasi pribadi apapun, tanpa maksud meng-Kristenkan pihak manapun. Ini adalah bentuk kasih agape dari seorang saudara, yang menghendaki perdamaian di antara kedua saudaranya, yang mempunyai pengaruh bagi kesejahteraan hidup banyak orang.

Apakah dengan demikian artinya Paus sudah terpengaruh oleh ajaran agama lain, atau akan mengubah ajaran iman Katolik? Ya, jelas tidak. Sebab acara doa itu juga tidak dilakukan dalam perayaan Ekaristi, ataupun ibadah umum umat Katolik, dan juga tidak diadakan di tempat ibadah umat Katolik, tapi di sebuah taman. Jika kita mencurigai tindakan tulus Paus, dan mulai menuduhnya dengan berbagai tuduhan negatif, mungkin adalah saatnya bagi kita sendiri untuk bertanya kepada diri kita sendiri, apakah yang akan kita lakukan, jika kita melihat sahabat-sahabat dekat kita bertikai? Sebab jika kita tidak berusaha mendamaikan mereka, dan kalaupun mengundang mereka untuk mengusahakan perdamaian dan berdoa bersama, tapi tidak mengizinkan mereka berdoa dengan cara mereka, mungkin itulah tandanya, bahwa kita belum memiliki kasih setulus yang dimiliki Bapa Paus Fransiskus.

Semoga Tuhan memberikan kepada kita semua kerendahan hati untuk tidak mudah menghakimi orang lain, namun bersikap reflektif terhadap diri sendiri dan berusaha untuk selalu melihat kebaikan dalam diri setiap orang.

Tentang kaum Farisi

4

Di dalam Kitab Suci kaum Farisi sering digambarkan sebagai orang-orang yang sering memusuhi Yesus. Siapakah mereka sebenarnya? Menurut sejarah, keberadaan sekte Farisi lahir sekitar abad ke-3 sebelum masehi. Farisi sendiri artinya “yang terpisah” sehingga tujuan sekte ini adalah memisahkan diri dari pengajaran bangsa non- Yahudi yang mereka anggap ‘mencemari’ idealisme tradisi Yahudi (lih. 1 Mak 1:11; 2 Mak 4:14). Di masa penganiayaan Raja Antiokhus, kaum Farisi tampil sebagai kaum Yahudi yang mempertahankan agama dan tradisi Yahudi. Banyak di antara mereka menjadi martir (1 Mak 1:41). Maka, sekte Farisi sering dikenal dengan nama sekte Puritan Yahudi, sehingga menjadi kelas terpandang pada masa Yesus. Rasul Paulus mengakui bahwa Dia adalah dari kaum Farisi yang percaya akan kebangkitan badan (lih. Kis 23:6).

Kaum Farisi ini bersama dengan kaum Saduki berperan dalam menyerahkan Yesus untuk dihukum mati. Kaum Farisi menyerahkan Yesus ke pengadilan dengan tuduhan menghujat Allah, sedangkan kaum Saduki menentang Yesus karena ajaran Yesus tentang kebangkitan orang mati, yang tidak mereka percayai. Setelah kebangkitan Yesus dan pertentangan dengan Roma (66-135), maka kaum Farisi kemudian praktis menjadi identik dengan kaum Yahudi. Dari merekalah kemudian dunia barat mengenal Yudaism (agama Yahudi) yang ditandai dengan ketahanan  idealisme religius dan patriotik terhadap ajaran dan tradisi Yahudi. Sekitar tahun 200 kaum Yahudi meng- edit kumpulan pendapat dan ketentuan para rabi, yang dikenal dengan Mishnah, yang merupakan dasar bagi kompendium ajaran Yahudi yang dikenal sebagai Talmud.

Kelompok Farisi adalah orang Yahudi yang mempertahankan Taurat Musa, dan mereka memegang kuat pengajaran tradisi Musa.  Sesungguhnya dari kacamata positif, mereka mempersiapkan jalan bagi pengajaran Kristiani, karena pengajaran mereka yang berdasarkan Tuhan yang satu (monotheism), pengajaran para nabi dan kepercayaan mereka akan kebangkitan orang mati. Namun di samping tendensi kerohanian yang kuat, kaum Farisi juga kemudian berkembang menjadi arogan dan menekankan formalitas yang berlebihan yang mensyaratkan detail-detail seremonial sampai mengabaikan ketentuan hukum moral yang lebih penting, yaitu yang berlandaskan kasih dan keadilan. Inilah yang dikecam oleh Yesus (lih. Mat 23: 23-28), dan karena kecaman ini, mereka ingin menangkap Yesus. Di mata mereka, Yesus melanggar hukum Taurat, dengan “melakukan pekerjaan” yaitu menyembuhkan pada hari Sabat, dengan berteman dengan pemungut cukai dan wanita berdosa, namun terlebih-lebih lagi, dengan mengaku sebagai Putera Allah. Mereka tidak bisa mengerti bahwa Yesus mengatakan bahwa Ia berasal dari Allah Bapa (Yoh 8:42), dan bahwa sebelum Abraham ada, Dia telah ada (Yoh 8:58). Walaupun mereka menantikan Mesias, namun gambaran dan harapan mereka tentang mesias adalah yang mesias yang menjadi pemimpin/ raja, sehingga mereka tidak bisa menerima Yesus yang tampil tidak sebagai raja, namun sebagai seorang yang miskin, tukang kayu dari Nazareth. Pandangan ini tetap ada dalam diri orang Farisi/ Yahudi setelah kebangkitan Yesus: banyak dari mereka sulit percaya bahwa Mesias yang dijanjikan Allah datang ke dunia sebagai hamba yang wafat di salib. Ini merupakan batu sandungan bagi mereka. Rasul Paulus mengatakan:

“Di manakah orang yang berhikmat? Di manakah ahli Taurat? Di manakah pembantah dari dunia ini? Bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan? Oleh karena dunia, dalam hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmatnya, maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil.Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.” (1 Kor 1:20-25)

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab