Pengantar dari Editor:
Tuhan mengerti akan kerinduan terdalam manusia, yang seringkali manusia sendiri tidak menyadarinya. Yaitu menemukan Dia dan mengalami kasih-Nya, Sumber segala kasih. Sekalipun kerasnya kehidupan kadang membuat kita mengingkariNya dengan sekuat tenaga, Dia tidak pernah kekurangan cara untuk menuntun kita dan membiarkan Diri-Nya ditemukan kembali oleh anak-anak-Nya, pada waktu-Nya yang paling indah. Namun keterbukaan diri kita, peran aktif dan perjuangan dari keluarga/kerabat juga sangat diperlukan, agar kerinduan asali itu tidak sampai padam. Kisah yang dibagikan untuk kita semua oleh Rachel Stefanie, (yang di situs Katolisitas ini juga pernah berbagi kisah penyelenggaraan Tuhan yang luar biasa bagi dirinya di tengah keterbatasan penglihatannya yang mengalami kelainan sejak kecil), sekali lagi meneguhkan iman kita bahwa Tuhan Mahasabar dan Ia mengasihi kita jauh lebih dalam daripada kita mengasihi diri kita sendiri.

Saya Rachel Stefanie. Perkenankan saya berbagi kisah kesaksian iman mengenai papa mertua saya, yang telah dipanggil Tuhan pada tahun 2015 yang lalu. Bagaimana kami sekeluarga sungguh menyaksikan betapa Tuhan sedemikian mengasihi Papa, sekalipun pada awalnya Papa bersikeras tidak mau mempercayaiNya.

Suami saya adalah anak ke-2 dari tiga bersaudara, dan dalam keluarganya hanya dia sendiri yang Katolik, sementara yang lainnya adalah Protestan. Tetapi agama Papa tidak jelas. Setiap kali ditanya tentang agamanya, Papa selalu menjawab, “Gua anak Sun Go Kong.”

Papa selalu menolak untuk diajak ke Gereja mana pun, baik Protestan, maupun Katolik. Menurutnya, semua agama itu sama saja, semuanya munafik! Ujung-ujungnya duit!

Jika menengok ke masa kecilnya, pada awalnya keluarga besar Papa penganut Kong Hu Cu, tapi tidak terlalu aktif, apalagi Papa. Dari muda, Papa jarang ke Kelenteng. Saat menikah, Papa pernah mengalami kegagalan dalam bisnis. Kemudian, bersama Mama, dia mencoba bangkit dengan usaha rumahan, yaitu sirup limun. Puji Tuhan, melalui usaha kecil-kecilan ini, mereka mampu membiayai sekolah ketiga anaknya, walaupun pengorbanan yang harus mereka keluarkan sangatlah besar. Menurut penuturan suamiku, setiap hari Mama harus bangun jam empat pagi untuk mulai mengerjakan pembuatan sirup limun ini, dan baru berhenti pada jam dua pagi. Jadi waktu istirahatnya hanya dua jam.

Di masa itu, Papa mendengar bahwa salah satu partai politik sedang mengadakan program pendampingan untuk UKM, yaitu dalam bentuk bantuan finansial. Papa segera mendaftar, dan sangat berharap bisa terpilih. Tapi ternyata yang terpilih adalah saingan bisnisnya yang notabene sudah memiliki usaha yang jauh lebih besar dan sukses daripada Papa. Ia pun semakin depresi, tidak bisa menerimanya. Kondisi Papa yang terpuruk itu semakin diperparah oleh ulah anak pertamanya yang nakal, sampai terjerumus ke dalam narkoba, suka mencuri uang hasil limun. Perlahan-lahan, kejiwaan Papa mulai terpengaruh. Ia sering berpikir semua orang ingin mencelakakan keluarganya. Bisa dibilang, Papa sudah termasuk dalam kategori penderita Schizophrenia. Sebenarnya Papa pada dasarnya adalah orang yang paling berpikiran positif. Dia sering menasihati anak-anaknya untuk tidak cepat mencurigai orang lain. Tetapi kalau penyakitnya kambuh, Papa akan menjadi orang yang paling curigaan sedunia. Semua orang dibilangnya penjahat, antek-antek saingan bisnisnya yang terpilih program UKM itu, dan tak terkecuali para pemuka agama.

Pada tahun 2009, Papa mulai terkena stroke, dan beberapa kali pelayan doa dari Gereja (Katolik maupun Protestan) datang berkunjung ke rumah sakit untuk mendoakan Papa. Di depan mereka, Papa hanya diam saja. Tapi setelah mereka pulang, tinggal Mama yang kena getahnya, karena Papa akan mulai menumpahkan kekesalannya terhadap para pelayan doa itu, kepada Mama. Hal itu membuat Mama ketakutan untuk menerima orang-orang yang hendak mendoakan Papa, walaupun Mama tahu bahwa mereka itu semua bermaksud baik.

Pernah juga suamiku mencoba berbicara kepada Papa dengan sangat hati-hati untuk memanggil romo ke rumah, supaya Papa bisa didoakan, tetapi seperti biasa, Papa langsung menolaknya dengan keras. Dan seperti biasa juga, setelah suamiku pulang, tinggal Mama yang kena semprot Papa.

Papa pernah mengatakan kepada Mama, “Kalau elu semua mau ke Gereja, pergi aja sana. Gua nggak bakal ngelarang. Tapi jangan sekali-kali elu semua maksa-maksa gua, karena buat gua semua agama itu penipu!”

Sesungguhnya usaha dari keluarga Papa untuk membawa Papa mengenal Kristus sudah sangat banyak. Bukan dari keluarga inti saja, tapi juga dari adik-adik Papa yang sudah dibaptis menjadi Katolik. Mama sendiri menjadi seorang Kristen Protestan karena saat mudanya dulu, ia sering diajak keponakannya ke GPDI, dan Mama mengatakan bahwa ia merasa damai bergereja di sana. Mama dibaptis menjadi Kristen pada tahun 1991, enam belas tahun setelah menikah pada tahun 1975.

Akhirnya enam tahun pun berlalu sejak Papa menderita stroke. Keadaan Papa semakin parah. Kami semua sungguh mengkuatirkan jiwa Papa, seandainya sewaktu-waktu Tuhan memanggilnya pulang. Melihat ke-keraskepala-an Papa, saya sebagai menantu hanya bisa membawanya dalam doa. Saya percaya Tuhan mengasihi Papa, dan saya selalu ingat akan ayat dalam Kisah Para Rasul 16:31 yang menyatakan: “Jawab mereka: “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu.”

Hingga pada suatu hari, adik kandung Papa dari Lampung datang berkunjung ke rumah, dia seorang Katolik. Dengan sangat hati-hati, dia berkata kepada Papa bahwa Papa harus memilih mau ikut siapa, melihat kondisinya yang semakin parah. Mau ikut isterinya, Protestan, atau mau ikut anak ke-duanya (suami saya), Katolik? Dan saat itu Papa hanya menjawab, “Gua pikirin dulu.” Suamiku mengingat, ia pernah bertanya, apakah Papa percaya Yesus? Papa menjawab bahwa ia percaya. Yesus memang baik, tapi pendeta dan romonya saja yang nggak bisa dipercaya, ujarnya. Sekali-kalinya Papa mau masuk gereja, yaitu saat pernikahan kami di Gereja St. Kristoforus, Jakarta.

Beberapa hari kemudian, Papa berkata kepada Mama bahwa dia mau ikut anak ke-duanya menjadi Katolik. Setelah berkata demikian, kondisi Papa menurun drastis, dia sudah tidak dapat berbicara lagi, tetapi masih mampu membuka mata dan mendengar. Hal itu membuat suami saya pontang-panting mencari romo untuk secepatnya membaptis Papa. Kebetulan saat itu bertepatan dengan hari-hari perayaan Tri Hari Suci menjelang Paskah, sehingga kami kesulitan mendapatkan romo.

Tepat di hari Minggu Paskah, seorang teman kami, Ibu Ruth Soelaiman, berhasil mendapatkan romo. Itu pun ia sampai harus menunggu di depan pintu gereja, agar saat Misa Paskah selesai, dia bisa langsung mencegat romo dan membawanya pergi.

Sementara di rumah sudah berkumpul banyak orang, dari ketua lingkungan, suster, asisten imam, sampai anggota dewan paroki. Mereka sudah bersiap-siap, seandainya romo tidak ada, maka asisten imam yang akan membaptis Papa. Tepat di detik-detik terakhir, Ibu Ruth pun tiba dengan menggiring romo, RD. Sridanto Aribowo N. Puji Tuhan, akhirnya tepat di hari Minggu Paskah, Papa pun dibaptis oleh Romo dengan nama baptis “Stefanus”, serta menerima Sakramen Perminyakan. (Karena Papa sudah tidak dapat berbicara lagi, maka yang memilihkan nama baptisnya adalah anak ke-duanya yang juga memilih Stefanus sebagai nama baptisnya)

Satu minggu setelah dibaptis, yaitu di hari Sabtu pagi, menjelang hari Minggu Kerahiman Ilahi, seorang asisten imam datang ke rumah untuk memberikan Komuni Kudus kepada Papa. Bisa dibilang, itu adalah komuni pertama Papa setelah dibaptis. Dan sore harinya, sekitar pukul empat, dalam usia 65 tahun, Papa pun meninggalkan kami semua sambil diiringi doa Koronka.

Saya mendengar Mama berbaring di samping jenazah Papa sambil berbisik, “An, jangan lupa ya nanti di sana elu doain gua…”

Papa kami, Stefanus Iskandar Mursalim (Lim Hok An), memang sudah pergi meninggalkan kami, tapi bagi kami itu merupakan sebuah kemenangan bagi Papa, karena Tuhan sendiri yang sudah berkenan memilih Papa untuk menyelamatkannya menjelang saat-saat terakhir hidupnya di dunia.

“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikanNya kepadamu.” (Yohanes 15:16)

Oh ya, ada kejadian yang dialami Wiria, suami saya, setelah pemakaman Papa. Saat Wiria sedang berbaring di tempat tidur, tiba-tiba saja dia melihat Papa berdiri di depannya sambil memegang Salib di dadanya. Salibnya bersinar terang, dan wajah Papa kelihatan bahagia. Penglihatan sepintas itu terasa seperti mimpi, tapi juga kelihatan sangat nyata. Ada juga saudara kami yang berkata, saat dia berdoa di depan peti jenazah, dia melihat sinar yang terang terpancar dari dalam peti. Mungkin kedua pengalaman itu bisa dipercaya atau mungkin juga tidak. Tapi bagi kami, khususnya saya dan Wiria, semakin menguatkan keyakinan kami bahwa Salib yang merupakan tanda kemenangan Kristus yang Papa pegang menjadi bukti bahwa sekarang Papa sudah menang bersama Kristus.

Demikianlah kisah kesaksian saya, semoga menjadi berkat demi kemuliaan nama Tuhan yang lebih besar lagi. Amin.

Rachel Stefanie
‘Biarlah melalui kegelapanku, orang lain melihat Terang’
Penulis buku: TS. Aku Buta Tapi Melihat
Http://www.Remang-remang.blogspot.com