Home Blog Page 66

Tentang Perpecahan Gereja, John Wyclif dan Jan Hus

10

[Dari Admin Katolisitas: Berikut ini adalah bagian kedua (no 7 dan 8) dari pertanyaan Sary. Bagian pertama pertanyaan Sary, yaitu tentang Kitab-kitab Deuterokanonika, dapat dibaca di sini, silakan klik]

Pertanyaan:

7. Dosen filsafat Kristen itu mengatakan tentang kejatuhan Gereja Katolik karena adanya penjualan indulgensi, dsb. Yang ingin saya tanyakan, apabila Tuhan memang beserta gerejaNya, mengapa Tuhan mengijinkan gereja Katolik yang adalah gerejaNya mengalami kejatuhan dan pada akhirnya perpecahan?

8. Dosen tersebut juga berkata bahwa gereja Katolik banyak membunuh orang-orang yang ingin menafsirkan Alkitab. Dosen itu juga menyebutkan sebuah nama yaitu Wingkliv (maaf saya tidak tahu pengejaan yang benar) yang dibunuh oleh Gereja Katolik karena menerjemahkan Alkitab dari bahasa Latin ke bahasa Inggris. Apakah hal tersebut benar?

Sekian dulu pertanyaan-pertanyaan saya. Saya sangat berharap dapat mendapatkan jawaban secepatnya dari Bapak/Ibu.
Terimakasih pula untuk kesediaannya menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
Semoga Tuhan selalu memberkati Bapak dan Ibu.

Salam, Sary.

[Dari Katolisitas: Berikut ini juga kami sertakan pertanyaan dari pembaca yang lain, tentang Jan Hus, yang juga sering dianggap oleh gereja-gereja non-Katolik sebagai perintis reformasi Protestan]

9. Tentang Jan Hus. Benarkah ia dibunuh dengan dibakar oleh Gereja Katolik?

Jawaban:

Shalom Sary,

Berikut ini adalah jawaban lanjutan akan pertanyaan anda:

7. Harus diakui bahwa menurut sejarah, Gereja pernah mengalami masa-masa sulit, yang berakhir dengan perpecahan Gereja. Ini adalah suatu realita yang memprihatinkan. Memang masalah yang terjadi pada abad pertengahan itu antara lain adalah kesalahan pelaksanaan ajaran Indulgensi. Mengenai hal ini sudah pernah dijawab di sini, silakan klik. Dan tentang Indulgensi, silakan klik di sini. Pada intinya, bukan ajaran tentang Indulgensinya yang salah, sebab bahkan Luther dalam 95 thesesnya tidak menolak prinsip ajaran Indulgensi. Yang ditentang oleh Luther adalah pelaksanaannya, silakan membaca lebih lanjut di jawaban ini, silakan klik.

Maka pertanyaan anda mengapa Allah membiarkan perpecahan Gereja terjadi, itu serupa dengan pertanyaan mengapa Tuhan membiarkan manusia pertama jatuh di dalam dosa. Ini adalah suatu misteri. Kita mengetahui bahwa Allah begitu mengasihi manusia, dengan menciptakannya seturut gambaran-Nya yaitu sebagai mahluk yang berakal budi dan berkehendak bebas. Maka, konsekuensi dari kehendak bebas inilah yang mengakibatkan manusia dapat membuat keputusan yang bahkan dapat menolak Allah, seperti yang terjadi pada Adam dan Hawa. Mereka jatuh di dalam dosa pertama, yaitu kesombongan, ingin menjadi sama dengan Allah, tidak mau tunduk pada yang telah ditetapkan oleh Allah. Hal yang serupa juga terjadi pada perpecahan Gereja. Beberapa orang melepaskan diri dari kesatuan Gereja Katolik yang telah didirikan oleh Tuhan Yesus, dan mendirikan gereja sendiri. Hal perpecahan ini tentu tidak sesuai dengan kehendak Kristus yang selalu menghendaki agar para murid-Nya bersatu (lih. Yoh 17) dan tentu kesatuan yang dimaksud adalah termasuk kesatuan ajaran dan kesatuan di dalam Tubuh-Nya sendiri, yaitu Gereja yang didirikan-Nya.

Namun kenyataannya bahwa perpecahan sudah terjadi, kita percaya Tuhan juga tetap dapat mendatangkan kebaikan bagi Gereja-Nya; dan bahwa pada suatu saat nanti, semoga gereja-gereja dapat kembali bersatu di bawah pimpinan Bapa Paus. Seperti yang sudah kita lihat sekarang, sejumlah Gereja- gereja Timur kembali ke pangkuan Roma, dan juga baru- baru ini gereja Anglikan juga sedang menjajaki kemungkinan bergabungnya kembali dengan Gereja Katolik.

8. Mengenai John Wyclif/ Wycliffe (1330- 1384), saya membaca dari beberapa sumber, yaitu Encyclopedia Britannica, New Catholic Encyclopedia, atau New Advent, dan beberapa situs lainnya di internet. Dari semua sumber itu, disebutkan bahwa John Wyclif meninggal karena serangan stroke. Dia memang pernah terkena stroke pertama tahun 1382, namun ia masih dapat menulis banyak buku setelah itu, sampai ia terkena lagi serangan stroke (apoplexy) yang kedua pada saat mengikuti misa  tanggal 28 Desember 1384, dan akhirnya wafat pada tanggal 31 Desember 1384. Jadi Wyclif ini wafat karena sakit dan bukan karena dibunuh oleh Gereja Katolik.

Untuk memahami kondisi negara Eropa dan pengaruh Gereja Katolik yang cukup besar pada waktu itu, kita memang harus melihat kepada sejarah sebelumnya yang menyebabkan mengapa demikian. Sejarah mencatat bahwa setelah kejatuhan kerajaan Roma di abad ke-5, maka biara-biara (monasteries) menjadi tempat-tempat yang menyediakan tempat tinggal/ penginapan dan pengobatan orang sakit yang tidak dapat didapatkan di tempat-tempat lain di Eropa. Secara khusus di sini adalah biara-biara yang dipelopori oleh St. Benediktus yang kemudian mempunyai 30.000 biara yang tersebar di seluruh Eropa. Tempat-tempat ini menjadi oasis bagi tempat perawatan orang sakit, karena selain memberikan obat-obatan, juga keteraturan dan lingkungan kekudusan, dengan semboyan utama ordo ini yaitu Ora et labora (berdoa dan bekerja). Di biara-biara inilah para Benediktin menyambut para tamu dan pasien yang sakit seperti menyambut Kristus sendiri, penerapan dari ayat Mat 25:35, di mana Yesus mengatakan, “ketika Aku orang asing kamu memberi Aku tumpangan…. ” Selanjutnya, biara-biara ini menjadi tempat-tempat diadakannya pusat studi tentang ilmu kedokteran, antara abad 5 sampai 10, dengan men- transmisi-kan teks-teks ilmu kedokteran dari abad-abad sebelumnya. ((Lihat Guenter Risse, Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals, NY: Oxford Univ. Press, 1999, p.95)).

Pada saat yang sama, yaitu abad ke-6 sampai ke 10 itu memang terdapat kemunduran dalam hal pembelajaran dan budaya di Eropa, yang disebabkan karena Eropa pada waktu itu ditaklukkan oleh kaum barbar seperti Goths, Vandals, Huns, Vikings, dll. Dalam kondisi demikian, biara menjadi tempat perlindungan bagi masyarakat. Para biarawan/ biarawati menyalin teks- teks dari para pengarang kuno, dan ini berlangsung hingga abad ke 13, sebelum kemudian melibatkan kaum awam, hingga sampai kepada 60.000 orang penyalin. Maka para Benediktin tersebut berperan sangat besar dalam mempertahankan budaya klasik di Eropa. Tidak hanya itu saja, dalam bidang pertanian, para biarawan Benediktin ini juga sangat berjasa. Mereka siap mengubah daerah tandus gersang menjadi subur. Demikian pula, para biarawan Cistercian berperan besar di bidang teknologi, dalam penggunaan tenaga air bagi teknologi pertanian. Hal yang serupa terjadi di berbagai bidang yang lain, di dalam hal pengolahan garam, berjenis besi, aluminium, gypsum, dst… peran para biarawan begitu nyata di kawasan Eropa terutama juga dalam hal memperkenalkan teknologi per-mesin-an. ((lihat Jean Gimpel, The Medieval Machine: the Industrial Revolution of the Middle Ages, NY: Holt, Rinehart and Wiston, 1976, p.1))

Maka tak mengherankan, bahwa kehidupan masyarakat Eropa pada saat itu berkembang di sekitar biara- biara dan gereja. Kehidupan menggereja menjadi tak terpisahkan dengan kehidupan sosial. Mulailah ada semacam sumbangan yang diberikan kepada para biarawan tersebut, karena merekalah yang terjun langsung memperbaiki ataupun membina kehidupan bermasyarakat. Tentu ini ada sisi positifnya, namun lama- kelamaan ada juga dampak negatifnya. Para biarawan tersebut ada yang menyalahgunakan dukungan tersebut dan hidup dalam kelimpahan. Hal ini menjadi salah satu motivasi dari beberapa orang yang kemudian membenci para biarawan/ kaum klerik, dan tidak lagi mempercayai mereka.

John Wyclif, merupakan salah satu dari mereka yang menolak kaum klerik. Wyclif ini memang sering disebut-sebut sebagai perintis Reformasi (sebelum Martin Luther) oleh gereja Protestan. Ia adalah seorang teolog, filsuf naturalis, yang menerima pendidikan di Oxford dan terkenal sebagai salah satu penerjemah Alkitab Vulgate dari bahasa Latin ke bahasa Inggris. Setelah menerima gelar Doktor Theologi, tahun 1374 ia bekerja di bawah kepemimpinan Edward III. Pada saat inilah ia menunjukkan pengaruh ajarannya dalam hal politik. Wycliff mewakili pemerintah Inggris menolak memberikan pajak kepada Roma. Ia menentang peran para klerik yang mempunyai otoritas kepemimpinan, dan mempunyai hak milik (seperti yang dimiliki biara-biara, yang awalnya memang digunakan kembali untuk memajukan masyarakat). Ia mengajarkan bahwa hak otoritas dan hak milik diperoleh dari Tuhan untuk semua orang, namun terbatas pada mereka yang dalam kondisi rahmat/ tidak berdosa. Maka para klerik yang berdosa sudah tidak bisa mempunyai otoritas, dan hak itu dapat dialihkan kepada tuan-tuan tanah. Karena itu, ia mengatakan bahwa sebaiknya kepemilikan biara-biara itu disita/ dialihkan saja kepada para pemimpin negara. Wyclif kemudian mendapat dukungan dari John Gaunt (1340-99), bangsawan Lancaster yang paling kaya di Inggris, yang juga menentang peran para klerik tersebut.

Sejujurnya, pandangan Wyclif ini yang mengatakan bahwa hak memegang otoritas tergantung dari kondisi rahmat [jadi jika seseorang berdosa, tidak boleh memegang otoritas apapun], juga cukup ‘absurd‘. Sebab walaupun tidak dapat dibenarkan bahwa kaum klerik dapat hidup berkelimpahan, namun sebaliknya penggantian peran kaum religius oleh para tuan tanah, juga belum tentu dapat memperbaiki keadaan, walaupun mereka menurut Wyclif, dapat melaksanakan tugasnya jika dibimbing para Teolog. Sebab biar bagaimanapun juga terdapat otoritas memimpin Gereja, yang tidak dapat dialihkan kepada para pemimpin negara/ tuan- tuan tanah. Pada saat Yesus menunjuk Petrus sebagai batu karang di mana Gereja-Nya didirikan (Mat 16:18), Ia juga sudah tahu bahwa Petrus adalah orang berdosa, namun itu tidak menghalangi Yesus untuk memberikan otoritas kepada Petrus untuk memimpin Gereja-Nya. Dan tentu, hal yang sama berlaku kepada para penerus Rasul Petrus; dan justru melalui kelemahan para rasul ini, Yesus menunjukkan kuasa-Nya untuk menjaga Gereja-Nya sampai akhir jaman. Tak heran Paus Gregorius XI mengeluarkan Bulls yang menentang ajaran Wyclif ini soal otoritas yang dikaitkan dengan dosa, yang berujung pada maksud pengambil alihan otoritas kaum klerik kepada tuan-tuan tanah dan pemimpin negara.

Selanjutnya, selain menentang otoritas Paus, Wyclif juga menentang bentuk Gereja yang kelihatan di bawah pimpinan Paus. Baginya Gereja tidak harus kelihatan. Juga, menurut Wyclif, seharusnya Gereja itu miskin, seperti pada jaman para rasul. Sebenarnya klaim bahwa Gereja harus hidup miskin ini tidaklah salah, dan karenanya Wyclif dapat memperoleh dukungan, bahkan dari para biarawan yang memegang kaul kemiskinan. Namun Wyclif tidak berhenti sampai di sini. Ia kemudian menyerang ajaran Gereja Katolik yang lain, yang merupakan salah satu doktrin yang terpenting, yaitu doktrin Transubstansiasi. Wyclif menentang kehadiran Yesus Kristus sendiri di dalam rupa roti dan anggur setelah doa konsekrasi, yaitu di mana roti dan anggur tidak lagi merupakan roti dan anggur melainkan diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Selain menentang otoritas Paus, Transubstansiasi, Wyclif kemudian juga menentang kaul para religius, indulgensi, liturgi dan sakramen, dan hanya menekankan bahwa Alkitab saja sudah cukup untuk mengatur kehidupan masyarakat. Nah, dengan ajaran- ajarannya ini, maka Wyclif tidak lagi mendapat dukungan dari para biarawan manapun yang setia dengan Gereja Katolik, karena sudah ajarannya sudah bertentangan dengan ajaran Kristus, para rasul dan Bapa Gereja.

Pada tahun 1380-1381, Wyclif ini mulai menerjemahkan Alkitab dari bahasa Latin ke bahasa Inggris. Terjemahan ini kemungkinan juga dimungkinkan dengan adanya bantuan dari para muridnya di Oxford. Tahun 1381, pada saat ia pensiun di Lutterworth, terjadi Revolusi Petani. Walaupun tidak dapat diperoleh bukti yang jelas akan kaitan Wyclif dengan revolusi ini, namun dapat diketahui keberpihakannya, karena revolusi ini timbul sebagai reaksi atas khotbahnya yang menentang kepemilikan Gereja. Pada revolusi ini uskup Canterbury Simon Sudbury dibunuh dan kemudian digantikan oleh William Courtenay (1347- 96). Pada tahun 1382 saat Courtenay menuntut agar Universitas Oxford menarik kembali ajaran Wyclif, ia sudah pensiun dari situ. Pada tahun itu kesehatan Wyclif memburuk, sampai akhirnya wafat di tahun 1384 karena stroke. Sumber yang netral, seperti ensiklopedia Britannica, juga mencatat kematian Wyclif yang disebabkan oleh stroke ini. Maka tidak benar jika dikatakan Wyclif dibunuh oleh Gereja Katolik.

Dengan adanya prinsip pengajaran Wyclif yang memang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, maka Wyclif Bible (1383) ditolak oleh Sinode Oxford 1408. Hal ini serupa dengan penolakan Gereja Katolik terhadap terjemahan Alkitab yang dilakukan oleh kaum Cathar dan Albigenses yang memang memasukkan interpretasi mereka (yang bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik) dalam terjemahan Alkitab mereka. Silakan klik di sini untuk membaca tentang ajaran sesat Albigenses. Maka larangan terhadap terjemahan- terjemahan Alkitab tersebut terutama bertujuan untuk menjaga kemurnian Kitab Suci seperti yang diajarkan oleh para rasul dan Bapa Gereja; sebab terjemahan -terjemahan tersebut memuat juga interpretasi dari para penerjemahnya yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.

Demikianlah Sary, yang dapat saya tuliskan menanggapi pertanyaan anda. Saya berharap penjelasan di atas dapat berguna bagi anda, dan anda dapat juga memperoleh penjelasan yang berimbang dari sudut pandang Gereja Katolik, yang menurut saya cukup obyektif.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

[Dari Katolisitas: berikut ini adalah tambahan keterangan tentang Jan Hus]

 

9. Tentang Jan Hus

Jan Hus (1369-1415) adalah seorang Czech (Cekoslovakia), seorang imam yang ditahbiskan tahun 1400, dan kemudian menjadi rektor universitas Praha (1402-1403). Ia dikenal sebagai pendukung ajaran John Wyclif (1324-1384). Meskipun 45 butir ajaran Wyclif sudah dinyatakan salah oleh pihak otoritas Gereja, namun Hus tetap menerjemahkan tulisan Wyclif, Trialogus, ke dalam bahasa Czech dan menyebarluaskannya. Hus berkhotbah menentang moralitas kaum imam pada umumnya saat itu, dan juga menentang keuskupan dan kepausan. Selanjutnya Hus, seperti halnya Wyclif, mengajarkan doktrin yang keliru, terutama tentang Ekaristi dan Gereja.

Oleh karena itu, di tahun 1408, Paus Gregorius XII menulis surat kepada Uskup Agung setempat, Zbynek (Sbinco) tentang adanya penyebaran heresi Wyclif di wilayahnya, akibat pengajaran Hus. Sebelumnya bapa Uskup Zbynek mempercayakan Hus untuk tugas berkhotbah di wilayahnya. Sinoda yang diadakan di bulan Juni 1408 kemudian memerintahkan agar semua tulisan Wyclif diserahkan kepada keuskupan agung, untuk dikoreksi.

Sementara itu perlu diketahui bahwa sejak tahun 1378, terjadi Western Schism dalam Gereja Katolik. Di masa itu Gereja memiliki lebih dari satu orang Paus (adanya semacam Paus tandingan/ antipope(s). Keadaan tidak ideal ini melatarbelakangi protes Hus yang memang tidak setuju terhadap kepausan. Keadaan tersebut baru diputuskan di Konsili Constance (1414), yang menerima Paus Gregorius XXII sebagai Paus yang sah, dan memberhentikan para antipopes, yaitu Yohanes XXIII (penerus Alexander V) dan Benediktus XIII. Di tahun 1417, para kardinal kemudian memilih Paus berikutnya, yaitu Martin V, dan demikian berakhirlah Western Schism.

Di tahun-tahun tersebut, Hus bertentangan dengan Uskup Agungnya, Zybnek, ketika uskup itu menentang Konsili Pisa (1409) yang menurunkan Paus Benediktus XIII (Avignon) dan Gregorius XII (Roma) dengan mengangkat Paus ketiga, Alexander V, yang kemudian dilanjutkan oleh Paus Yohanes XXIII. Konsili Pisa tersebut didukung oleh para ahli/ terpelajar Czech dari Universitas Praha, sementara para ahli Jerman menentangnya, karena mereka berpihak kepada Uskup Agung mereka, yang setia kepada Paus Gregorius XII.

Pada saat yang sama, ada konflik nasional yang terjadi di Cekoslovakia. Raja Wenceslaus berpihak kepada para kardinal yang memisahkan diri dari Paus Gregorius XII. Nah, di universitas Praha, mayoritas kaum terpelajar yang menentukan suara universitas adalah para ahli dari Jerman. Menghadapi situasi tersebut, raja memberikan ketentuan bahwa setiap ahli Czech mempunyai vote 3 suara, sedangkan setiap ahli Jerman hanya satu suara.  Akibatnya ribuan kaum terpelajar Jerman meninggalkan universitas Praha, menuju Leipzig. Raja kemudian melarang komunikasi dengan Paus Gregorius XII dan menentang semua imam yang tidak menaati larangan ini. Karena kondisi ini, Uskup agung menempatkan Praha dan sekitarnya dalam keadaan interdik -dengan sangsi tertentu. Hus yang saat itu ditunjuk menjadi rektor universitas Praha yang kini didominasi kaum Czech, diperingatkan oleh bapa Uskup akan kecenderungannya terhadap heresi Wyclif. Paus Alexander V dalam Bulla 20 Des 1409 mengarahkan bapa Uskup Zbynek untuk melarang Hus berkhotbah, kecuali di katedral, kolese, paroki dan gereja-gereja di biara, dan memerintahkan agar tulisan Wyclif ditarik dari peredaran. Namun Hus menolak larangan ini dan melayangkan protes kepada Paus penerus Alexander V, Yohanes XXIII. Meskipun dilarang, Hus tetap berkhotbah di kapelnya (Kapel Betlehem) dan di Universitas Praha.

Melihat kekerasan hati Hus yang tidak mengindahkan peringatan Paus, Uskup Agung Zbynek di tahun 1410 mengeluarkan sangsi ekskomunikasi kepada Hus dan para pengikutnya. Namun Hus tetap mendukung tulisan Wyclif. Karena itu, Hus dipanggil untuk menghadap Paus, tetapi ia tidak bersedia datang. Bulan Feb 1411, keputusan Paus untuk mengekskomunikasi Hus dikeluarkan, dan diumumkan di tanggal 15 Maret 1411 kepada seluruh Gereja di Praha. Karena tekanan Raja Wenceslaus, Uskup Agung Zbynek kemudian mengungsi ke Hungaria, namun wafat di tengah jalan, tanggal 23 Sept 1411.

Sementara itu Hus terus mendukung ajaran Wyclif, meskipun ditentang oleh rekan akademisnya, John Stokes, yang mengatakan bahwa di Inggris Wyclif sudah dinyatakan sebagai heretik. Protes Hus kembali menguat ketika Paus Yohanes XXIII memberikan indulgensi kepada mereka yang mau mendukung crusade menentang Raja Ladislaus dari Naples. Raja Ladislaus adalah seorang Raja yang telah sejak tahun 1403 menentang Roma, dan ingin menguasainya. Karena ketidaktegasan Paus Gregorius XII, Ladislaus mengambil alih beberapa negara di bawah kuasa Roma (Papal States). Ladislaus menentang Paus Alexander V (antipope) yang memberinya sangsi ekskomunikasi karena perbuatannya menentang kewenangan Paus. Sekitar tahun 1410, Paus Alexander V wafat dan penerusnya Yohanes XXIII mengumumkan crusade melawan Ladislaus.

Hus dan rekannya Hieronimus menentang pemberian indulgensi ini dan merendahkan komisi kepausan yang waktu itu mengunjungi Praha. Hal ini dilaporkan kepada Paus di Roma. Paus kemudian menegaskan kembali ekskomunikasi terhadap Hus. Di tahun 1412, Hus meninggalkan Praha dan mengungsi di Austi, Czech selatan. Di sanalah ia menuliskan karyanya De ecclesia yang menyerupai ajaran Wyclif. Tulisan ini sampai kepada Uskup Agung Konrad von Vechta, yang menangkap adanya karakter heresi.

Di bulan November 1414, diadakan Konsili Constance, dan Hus, atas dorongan Raja Jerman Sigismund, memutuskan untuk hadir di hadapan para Uskup, untuk menjelaskan kasusnya. Raja Sigismund menjanjikan perlindungan kepada Hus, baik menuju Konsili maupun sesudahnya. Namun dalam Konsili itu, setelah diadili, perkara Hus diputuskan sebagai heresi, karena memang bertentangan dengan apa yang selama berabad-abad diajarkan oleh Gereja. Di kesempatan itu Hus diberi kesempatan untuk menarik ajarannya, namun ia menolaknya. Saat itu hukuman untuk seorang heretik adalah hukuman mati. Karena Jan Hus tidak bersedia menarik kembali heresi yang diajarkannya, maka ia kemudian diserahkan ke pengadilan sekular, yang kemudian melaksanakan hukuman mati terhadapnya, dengan dibakar, pada tanggal 6 Juli 1415.

Terlepas bahwa hukuman mati dengan dibakar itu terdengar sangat tidak manusiawi dan kejam di masa sekarang, namun tidak dapat dipungkiri, bahwa di zaman itu, hal itu adalah penghukuman yang umum diberlakukan terhadap penjahat tingkat tinggi. Heretik termasuk di dalamnya, mengingat akibatnya yang menyesatkan, dan dapat pula menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, seperti terjadinya Revolusi Petani (1381) di Inggris akibat ajaran Wyclif yang menentang hirarki dan kepemilikan Gereja.

Nampaknya kekejaman hukuman mati di sekitar abad pertengahan sampai abad ke 18 tersebut, turut mewarnai sejarah dunia, termasuk Gereja. Setelah pecahnya reformasi Protestan, hukuman mati juga diberlakukan oleh kaum Protestan kepada umat Katolik, terutama para imam dan religius yang setia kepada Paus, karena merekapun dianggap heretik oleh para pemimpin Protestan, sebagaimana pernah diulas di sini, silakan klik.

Melihat fakta ini, maka tak ada gunanyalah untuk menyalahkan, dan mencari siapa yang paling bersalah dalam hal ini. Yang lebih kondusif untuk mengusahakan persatuan sesama murid Kristus adalah melihat sejarah sebagai acuan untuk memperbaiki diri di masa kini dan masa mendatang. Dalam bahasa rohani, langkah ini disebut pertobatan, yang diawali juga dengan kesediaan untuk meminta maaf dan memberi maaf. Hal ini telah dilakukan oleh pihak Gereja Katolik, melalui St. Paus Yohanes Paulus II.

Dalam kunjungannya ke negara asal Hus, Cekoslovakia, di tahun 1990, St. Paus Yohanes Paulus II menyampaikan pidatonya dengan mengacu kepada pernyataan Kardinal Praha, Josef Beran, dalam Konsili Vatikan II, dalam pembahasan tentang kebebasan beragama dan toleransi. Kardinal Beran, dalam debat penyusunan dokumen Konsili, Deklarasi tentang Kebebasan Beragama (20 Sept 1965), kurang lebih mengatakan, bahwa kini Gereja Katolik di negaranya seperti ingin menyembuhkan luka lama akibat penghukuman yang dilakukan atas nama Gereja, terhadap Jan Hus yang dilakukan di abad ke-15. Saat itu, pemerintah sekular yang mendukung Gereja Katolik, melaksanakan hukuman yang kemudian melukai hati banyak orang. Trauma ini menyisakan halangan yang sangat besar dalam kehidupan rohani mereka, yang kemudian digunakan oleh para musuh Gereja, bahkan sampai saat ini, untuk menyerang Gereja Katolik. Kejadian sejarah itu mendorong Konsili, untuk menyatakan prinsip kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani. Jika ini dilakukan, dan dengan semangat pertobatan terhadap kesalahan yang telah terjadi di masa lalu, maka otoritas moral Gereja akan dihormati dan ini akan mendatangkan kebaikan bagi dunia.

Pernyataan Kardinal Josef Beran ini menjadi acuan St. Paus Yohanes Paulus II, untuk menyatakan kesediaannya untuk memeriksa kembali fakta sejarah yang terjadi di masa lalu tentang penghukuman Jan Hus. Paus mengakui integritas Jan Hus, terlepas dari pandangan teologis yang dianutnya. Paus antara lain mengatakan,

“Saya masih mengingat perkataan yang disampaikan oleh Kardinal Uskup Agung Praha [Josef Beran] yang memainkan perayn penting dalam sejarah religius dan budaya bangsa Bohemian (Czech). Adalah tugas para ahli -terutama para teolog Czech- untuk mendefinisikan secara persis posisi Jan Hus di antara para reformer Gereja, di samping figur reformer Bohemian di Abad Pertengahan, seperti Thomas dari Stitne, dan John Milic dari Kromeriz. Namun demikian, di atas pandangan teologis yang dianutnya, tak dapat diingkari integritas pribadi dalam hidup Jan Hus dan komitmennya terhadap pengajaran dan pendidikan moral bangsanya.” (St. Paus Yohanes Paulus II dalam kunjungannya ke Praha, 21 April 1990)

Kunjungan Paus ini memberikan buahnya, sebab sejak saat itu baik Gereja Katolik maupun komunitas Evangelical bekerja sama untuk menyelidiki pribadi dan kehidupan Jan Hus. Pada tanggal 6 Juni 1995, Kardinal Miloslav Vlk, Uskup Agung Praha, berpartisipasi dalam peringatan Jan Hus, di gereja tempat di mana Hus memulai khotbahnya untuk mereform Gereja. Ini adalah pertama kalinya, Gereja Katolik mengambil bagian dalam peristiwa peringatan tersebut.

Setelah mengadakan penyelidikan, satu tahun kemudian, Kardinal Vlk menyampaikan penyesalannya, atas nama semua umat Katolik di Czech, tentang kematian Jan Hus. Ini memuncak dalam simposium yang didedikasikan untuk Hus di tahun 1999 di Roma, yang berakhir dengan permintaan maaf St. Paus Yohanes Paulus II tentang penghukuman kejam yang diberlakukan kepada Hus, dan Paus memuji Hus untuk keberanian moral-nya.

Sepuluh tahun kemudian, saat Paus Benediktus XVI mengunjungi Praha (2009), Paus kembali menegaskan perlunya memulihkan luka di masa silam, dan ia mengacu kepada simposium di Roma tentang Jan Hus tahun 1999. Paus Benediktus XVI berharap langkah tersebut dapat membuka jalan untuk kesatuan umat Kristen dan membuahkan hasil yang baik bagi masyarakat Eropa. Sejarah yang terjadi di masa lalu hendaknya menghidupi cita-cita untuk masa mendatang, demikian yang dikatakan oleh Paus.

Berbicara sih Gampang, Melakukannya itu lho….

0
Sumber gambar: http://www.rembrandtpainting.net/rembrandt's_prodigal_son.html

[Hari Minggu Biasa XXVI: Yeh 18:25-28; Mzm 25:4-9; Flp 2:1-11; Mat 21:28-32]

Suatu hari kami menerima kabar yang kurang baik dari seorang sahabat. Ia memutuskan untuk bercerai dengan suaminya. Surat gugatan sudah dilayangkan ke pengadilan, dan hari demi hari berikutnya adalah hari-hari sidang dan percekcokan yang sangat memilukan, terutama bagi anak laki-laki mereka yang saat itu berumur 7 tahun. Bocah itu diperlakukan seperti piala bergilir, yang berpindah asuhan setiap sekian hari: dari tangan ayahnya, atau ibunya atau opa dan omanya. Suatu hari, anak itu menangis dengan kerasnya saat dijemput oleh ibunya. Lalu teman saya itu berkata, “Jangan menangis, sayang. Mama sayang sama kamu….” Namun bocah kecil itu menjawab dengan terbata-bata, “Kalau Mama sayang sama aku, mestinya Mama tidak berpisah dengan Papa….”

Demikianlah, anak kecil saja sudah dapat menangkap, bahwa perkataan itu mestinya diwujudkan dengan perbuatan. Namun seringkali kita yang sudah dewasa, malah gagal memahaminya. Kita hanya perlu secara rutin memeriksa batin kita di akhir hari, untuk melihat bahwa adakalanya perbuatan kita tidak sejalan dengan perkataan kita. Hal inilah yang diingatkan kembali kepada kita, oleh sabda Tuhan hari ini. Jangan sampai, kita menjadi takabur, dan merasa sudah menjadi orang yang dibenarkan Tuhan, namun malah kemudian jatuh ke dalam dosa: gagal melakukan apa yang telah kita akui sebagai kebenaran. Betapa besarlah taruhannya, jika kita tetap berada dalam keadaan semacam ini! Sebaliknya, kalau kita bertobat, dan senantiasa bertobat, maka kita pasti akan hidup (lih. Yeh 18:27-28), sebab dengan meninggalkan dosa, kita telah beralih dari maut menuju hidup yang kekal.

Bersyukurlah kita, sebab kita memiliki Allah yang penuh dengan kasih setia. Ia baik dan mau membimbing orang-orang yang rendah hati. Jika kita sungguh bertobat, maka Allah akan mengampuni segala kesalahan kita dan tidak akan mengingat-ingat lagi dosa dan pelanggaran kita (lih. Mzm 25:7,9). Nah, maka bentuk yang paling awal dari kasih kita kepada Tuhan adalah pertobatan kita, sebagaimana ditegaskan dalam bacaan Injil hari ini (lih. Mat 21:28-32). Bekerja di kebun anggur melambangkan kesediaan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah, sebagai tanda bukti dari pertobatan. Si anak sulung digambarkan sebagai yang seorang yang mengatakan bersedia untuk menaati perintah bapanya, tetapi lalu ia ingkar. Sedangkan si bungsu menolak pada awalnya, namun kemudian menyesal, dan akhirnya mengikuti kehendak bapanya. Demikianlah Kristus mengartikan sebagai si bungsu, mereka yang dipandang orang sebagai pendosa, namun yang kemudian bertobat dan melaksanakan perintah Allah. Sedangkan si sulung adalah para tua-tua Yahudi, yaitu mereka yang merasa dirinya sudah benar, sehingga tidak bertobat. Betapa kitapun perlu merenungkan, bagaimanakah sikap kita kepada Tuhan selama ini? Apakah kita mau untuk terus menerus bertobat? Sudahkah kita melaksanakan apa yang kita katakan? Sebab jangan sampai kita omdoomong doang– namun tidak melaksanakannya, atau kurang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakannya. Aku bertanya kepada diriku sendiri:  “Jika aku berkata bahwa aku mengasihi Tuhan, sudahkah aku setia untuk berdoa dan mengucap syukur kepada-Nya? Dan dengan bersegera bangun dari tidur saat pagi hari, dan tidak bermalas-malas untuk berdoa? Sudahkah aku rajin memeriksa batin untuk melihat kekuranganku setiap hari? Apakah aku cukup rendah hati untuk mengakui kesalahanku dan berjuang untuk memperbaikinya? Apakah aku bersegera menolong mereka yang membutuhkan bantuan? Apakah aku akan tetap mengasihi, walaupun untuk itu aku harus rela berkorban? Sudahkah aku melaksanakan semua perintah Tuhan? O Tuhan, ampunilah aku, jika seringkali gagal dalam mewujudkan apa yang kukatakan dan kuketahui sebagai apa yang benar yang menjadi kehendak-Mu!”

Nampaknya Allah mengetahui, betapa kita sangat memerlukan teladan agar dapat belajar untuk lebih konsisten melaksanakan apa yang kita katakan.  Allah sendiri memberikan contoh yang sempurna, bagaimana mewujudkan perkataan Sabda-Nya itu, yaitu bahwa pada-Nya ada kasih mesra dan belas kasihan (Flp 2:1). Untuk kepentingan manusia yang dikasihi-Nya, Kristus Tuhan kita rela “mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib….” (Flp 2:7-9). Demikianlah yang dilakukan Kristus, sebagai bukti kasih-Nya kepada Allah Bapa dan kita manusia. Karena ketaatan-Nya itu, Kristus ditinggikan Bapa dan kepada-Nya dianugerahkan “nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada … dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2: 9-11) Semoga dengan melihat kepada teladan Kristus, kita dimampukan untuk menyelaraskan perkataan dan perbuatan kita. “Tuhanku, kumohon bantulah aku, untuk mengasihi Engkau tidak hanya dengan perkataan, tetapi  dengan perbuatan dan dalam kebenaran...”

Warnailah Dunia Dengan Keceriaan

0

Seorang bayi yang baru lahir terbaring di ruang ICU dengan tubuh penuh dengan selang. Matanya terpejam, yang menandakannya sedang tidur nyenyak. Orang tidak akan menyangka bahwa hidup bayi itu secara medis sudah dinyatakan tiada harapan. Bayi itu hidup karena mesin bantu yang dikenakannya pada tubuhnya. Orangtuanya tidak menyerah dengan keadaan bayinya. Mereka mengusahakan bayinya selamat di kala orang sudah angkat tangan. Orangtuanya mengatakan: “Kuasa Tuhan melebihi para dokter di dunia. Tuhan sanggup memulihkan anak kami ketika para ahli sudah tidak sanggup melakukannya. Kami percaya akan kuasa doa”.

Aku membaptisnya, pada tanggal 14 Maret 2014. Semua yang menyaksikan pembaptisannya itu tersentak. Ketika aku menuangkan sedikit air di dahinya, bayi itu membuka matanya dan mulutnya bergerak. Tanda-tanda kehidupan dari sang bayi ini mengingatkan aku akan perkataan Ayub kepada Tuhan: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2).

Bayi yang baru lahir itu kemudian harus berkali-kali menghadapi meja operasi. Ia lebih dari tiga bulan berada di rumah sakit. Biaya untuk perawatannya sudah tak terhitung banyaknya. Akan tetapi, bagi orang tuanya, biaya dan kelelahan tidak sebanding dengan pertumbuhan iman yang mereka dapatkan dari bayinya itu: “Tuhan mengirimkan kepada kami seorang dokter Katolik yang baik hati. Ia senantiasa mendampingi kami dan memotivasi kami bahwa senantiasa ada harapan bagi bayinya yang mungil. Ketika kami hampir kehabisan biaya bagi bayi kami, pihak rumah sakit senantiasa memberikan berbagai potongan sehingga meringankan kami. Kami mensyukuri setiap perkembangan yang baik dalam diri bayi kami sekecil apapun sebagai kebaikan Tuhan yang sungguh nyata”. Sabda Tuhan bahwa ia akan menolong umat-Nya diyakini dan telah dialami dari ibu itu: “Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati” (Ulangan 31:8). Ungkapan iman yang mendalam itu akan mengagetkan banyak orang karena ibu dari bayi itu ternyata belum dibaptis.

Ibu dari bayi itu, pada tanggal 09 Mei 2014, memintaku untuk datang ke rumah sakit. Ia menginginkan aku mendoakan bayinya yang akan pulang ke rumah dalam keadaan sehat. Sesampainya di rumah sakit, aku menggendong bayi itu. Mata bayi itu memandangku dan mulutnya komat-kamit seakan-akan ingin berbicara kepadaku. Aku tatap bayi itu sambil berkata: “Nak, teruslah tersenyum untuk ayah dan ibumu. Doa mereka yang paling menyayangimu itu telah menyembuhkanmu”. Ibu dari bayi itu juga berkata dengan bangganya: “Nak warnailah dunia dengan keceriaanmu. Ceriamu adalah ceria ayah dan ibumu. Ceria kita adalah ceria Tuhan. Sejarah dunia telah engkau ubah dengan perjuangan dan kesembuhanmu”.

Bayi itu kini memang benar-benar telah sehat dan sangat lucu. Pancaran matanya memancing orang untuk mendekapnya karena semua kebaikan Tuhan terangkum di dalamnya. Imannya pada Tuhan akan bertumbuh dengan melihat bayi ini.

Pesan yang dapat kita renungkan dari peristiwa ini: Selimutilah saudara-saudari yang sakit dengan cinta dan iman sejati. Selimut cinta dan iman pasti akan mengalirkan kehangatan kasih Allah ke dalam hatinya. Kehangatan dari Sang Ilahi akan menegakkan semangat juang untuk hidup sampai Ia menghendakinya kembali ke dalam tangan-Nya yang suci. Karena itu, andalkanlah Tuhan dan taruhlan harapan kepadaNya ketika menghadapi penyakit, maka kita akan diberkati: “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan” (Yeremia 17:7).

Tuhan Memberkati

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Mendoakan Firman Tuhan : Doa Pada Saat Kesulitan Dalam Hal Keuangan

0

Spiritualitas dan Studi Kitab Suci

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

1. Ayat Kitab Suci

Ketika kita berada dalam kesulitan keuangan, kita bisa mendoakan Firman Tuhan dari Mazmur 34:9-11: “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya! Takutlah akan TUHAN, hai orang-orang-Nya yang kudus, sebab tidak berkekurangan orang yang takut akan Dia! Singa-singa muda merana kelaparan, tetapi orang-orang yang mencari TUHAN, tidak kekurangan sesuatupun yang baik”.

2. Maksud Ayat-Ayat Itu

Mazmur 34:9-11 hanya dapat dipahami dengan mengerti maksud Daud menciptakan Mazmur 34 ini. Daud memulai Mazmur ini dengan suatu ikrar untuk memuji Tuhan dalam setiap kesempatan dan berbagai keadaan: “Aku hendak memuji Tuhan pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku” (Mazmur 34:2). Daud berjanji untuk memujiNya tanpa henti. Paulus juga menekankan bahwa kita harus berdoa dengan konsekuen dalam berbagai situasi kehidupan kita: “Tetaplah berdoa” (1 Tesalonika 5:17). Tuhan adalah subjek dari pujiannya. Daud memuji Tuhan karena pengalaman pribadinya bahwa Tuhan sebagai Penyedia dan Pelindungnya. Dari pengalaman pribadinya itu, Daud pun mengajak orang-orang lain untuk juga mengalami kebaikan Tuhan sebagai Penyedia dan Pelindung mereka. Mereka diajak untuk juga menikmati kebaikan Tuhan: “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya!”(Mazmur 34:9). Kebaikan Tuhan adalah perlindungan-Nya dan persediaan-Nya. Karena itu, orang-orang yang diajak untuk menikmati berkat-berkat Tuhan itu adalah orang-orang yang mau berlindung kepada-Nya.

Mereka yang berlindung kepada Tuhan berarti orang yang kuat atau orang yang berkuasa. Orang yang kuat atau berkuasa dalam istilah bahasa Ibraninya adalah geber. Orang-orang yang benar-benar kuat mendapatkan kekuatannya dari Tuhan dan bukan berasal dari kekuatannya sendiri. Orang-orang yang mendapatkan kekuatan dari Tuhan itu adalah orang-orang yang takut kepadaNya. Orang yang takut kepada Tuhan tidak akan kekurangan apapun karena Tuhan adalah Penyedia yang kita perlukan: “Takutlah akan TUHAN, hai orang-orang-Nya yang kudus, sebab tidak berkekurangan orang yang takut akan Dia! (Mazmur 34:10). Singa-singa muda merana kelaparan menggambarkan orang-orang yang kuat yang mengandalkan kekuatannya sendiri dan tidak mempercayai Allah. Orang-orang kuat yang mengandalkan kekuatannya sendiri akan menderita, tetapi orang yang mencari Tuhan akan senantiasa tegak dan tidak lemah karena tidak akan kekurangan sesuatupun yang baik: “Singa-singa muda merana kelaparan, tetapi orang-orang yang mencari TUHAN, tidak kekurangan sesuatupun yang baik” (Matius 34:10).

Bagaimana kita bisa mengalami pelepasan dari persoalan keuangan yang merupakan sarana untuk menopang kehidupan kita? Kita harus tetap takut akan Tuhan di tengah kesesakan karena diterpa persoalan keuangan. Takut akan Tuhan berarti tetap hidup secara konsisten sesuai dengan karakter Tuhan dan perintah-perintah-Nya. Orang yang takut akan Tuhan adalah orang yang benar. Takut akan Tuhan menyangkut dua hal, yaitu tindakan dan sikap. Tindakan takut akan Tuhan adalah suatu perilaku yang nyata, yaitu dalam keadaan terpuruk dalam keuangan, kita harus tetap tidak berdusta dan tetap mengejar damai sejahtera: “Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan menipu; jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan berusahalah mendapatkannya!” (Mazmur 34:14-15). Intinya adalah bahwa kita menjauhi yang jahat dan tetap melakukan hal-hal yang baik. Sikap takut akan Tuhan adalah percaya secara total kepada Dia dalam relasi kita denganNya. Percaya kepada Tuhan berarti bersandar pada Tuhan dan mencari Dia untuk minta tolong daripada bersandar pada kekuatannya sendiri. Kita bersandar pada Tuhan dan meminta pertolongan-Nya karena kita percaya akan sifat-sifat Tuhan. Sifat Tuhan yang pertama adalah belaskasihan terhadap orang yang rendah hati yang berseru-seru memohon pertolongan-Nya: “Mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong” (Mazmur 34:16). Sifat Tuhan yang kedua adalah dekat dengan orang yang patah hati dan remuk jiwanya: “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya” (Mazmur 34:19).

 

3. Doa

Doa Mohon Pemulihan Keuangan

“Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya! Takutlah akan TUHAN, hai orang-orang-Nya yang kudus, sebab tidak berkekurangan orang yang takut akan Dia! Singa-singa muda merana kelaparan, tetapi orang-orang yang mencari TUHAN, tidak kekurangan sesuatupun yang baik” (Mazmur 34:9-11).

Tuhan, lihatlah kondisi keuanganku.

Persoalan keuanganku membuat diriku gelisah bagaimana menopang hidup keluargaku.

Banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, tetapi keuangan seret dan macet.

Apalagi, hutangku semakin hari semakin menumpuk karena tak terbayarkan.

Semuanya itu menambah beban jiwaku.

Tuhan, pulihkanlah keuangan dan kehidupanku.

Berkati pekerjaan dan rencana usaha yang aku akan lakukan, yaitu ……..

Aku mengandalkan kekuatan dariMu, pasti tidak akan kekurangan apapun sebab Engkau adalah Tuhan yang penuh belaskasihan dan dekat dengan orang yang patah hati.

Berikanlah aku hati yang sabar menantikan datangnya kebaikan-Mu karena aku yakin Engkau akan melepaskan aku dari kesesakan ini tepat pada waktunya.

Terimakasih Tuhan atas kasih-Mu dan semoga damai sejahtera Allah melimpah dalam keluargaku saat ini. Amin.

Sang Pejuang

0

Seorang ibu datang kepadaku setelah acara Persekutuan Doa Pembaharuan Karismatik Katolik Filadelfia di Kuningan – Jakarta, tanggal 03 April 2014. Wajahnya memancarkan sukacita sehingga tidak ada yang tahu bahwa ia mengidap penyakit kanker stadium final kalau ia tidak menceriterakannya. Sukacita dalam jiwanya membuatnya jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Satu pertanyaan yang muncul dari benak adalah mengapa hidupnya tetap bergembira dengan kanker yang ada dalam tubuhnya. Ia rupanya tahu pertanyaan dalam hatiku sehingga ia menerangkan mengapa ia harus senantiasa ceria dalam keadaan sakit: “Aku harus tetap terlihat cantik dan tetap tersenyum demi menjadi motivasi temanku sejak berseragam baju putih abu. Temanku ini menderita penyakit yang sama dengan diriku. Ia belum menerima kenyataan bahwa kanker menderanya. Setiap saat ia bertanya sebagai ungkapan keluhannya ‘mengapa kanker ini datang kepadaku’. Kanker itu telah membuatnya merasa hidupnya tak berarti lagi. Kanker itu telah membunuh semangatnya. Semoga, semangat hidupku dan doaku bisa menjadi penghiburan baginya sehingga semangat hidupnya dapat bangkit kembali. Aku yakin bahwa ia akhirnya akan menjadi pemenang dalam pertempuran melawan kanker ini”.

Tuhan memberikan anugerah kepadanya, yaitu ‘hilangnya rasa sakit’ ketika ia tidak memikirkan penyakit dirinya, tetapi bagaimana meneguhkan sesamanya yang menderita. Sukacita yang dibangunnya demi sesamanya telah menghilangkan rasa takut terhadap penyakit kanker yang dideranya. Hilangnya rasa takut dengan sendirinya melenyapkan rasa sakitnya. Ia sambil mencium salib berdoa: “Terimakasih Tuhan, engkau telah mengambil penderitaanku”.

Beberapa hari yang lalu, ibu itu mengirimkan SMS kepadaku: “Romo, semangat hidup kawankan telah dipulihkan. Sekarang giliranku untuk mengurus penyakitku. Aku siap untuk menjalani kemoterapi. Doakan aku ya Mo…”. Dalam percakapan selanjutnya, imannya nampak sangat kuat dalam menghadapi berbagai tindakan medis. Aku merumuskan ungkapan imannya dalam sebuah puisi:

Aku harus terus melaju

Di saat badai ujian menerpa tubuhku yang rapuh.

Hatiku tak akan mudah hancur karena Tuhan senantiasa di sisiku.

Aku memang kadang merasa lelah.

Akan tetapi, semangat Tuhan dalam jiwaku meruntuhkannya.

Dengan berserah kepada Tuhan, kakiku terus melangkah.

Melangkah dengan penuh semangat.

Tanpa mudah lemas, apalagi memelas.

Aku yakin bahwa aku akan menjadi pemenang

karena aku tak bosan mengarahkan hati kepadaNya, Sang Sumber Kekuatan.

Pengalaman indah ini menjadi pembelajaran bagi kita. Jangan pernah menyerah ketika penderitaan datang, tetapi berserahlah kepada Tuhan. Lakukanlah apa yang berguna, maka kita akan menaklukkan penderitaan. Semangat juang dalam penderitaan menjadi pewartaan yang handal bagi orang yang terpuruk karena persoalan. Akhirnya akan lahir keyakinan: “Tuhan akan menambah kesabaran ketika doa kita belum dikabulkan. Dia akan menambah iman jika permohonan kita telah menjadi kenyataan”. Sabda Tuhan menjadi penghiburan bagi kita: “Walau seribu orang rebah di sisimu, dan sepuluh ribu di sebelah kananmu, tetapi itu tidak akan menimpamu. Sebab TUHAN ialah tempat perlindunganmu, Yang Mahatinggi telah kaubuat tempat perteduhanmu” (Mazmur 91:7, 9)

Tuhan Memberkati

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Paus Fransiskus: Di mana hatiku berlabuh?

0

Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus dalam Misa Kudus pada Hari Para Kudus:

Pada jam sebelum matahari terbenam ini, kita berkumpul di pemakaman ini dan berpikir tentang masa depan kita, kita berpikir tentang semua orang yang telah berangkat, mendahului kita dalam hidup dan berada dalam Tuhan.

Penglihatan akan Surga baru saja kita dengar dan dijelaskan dalam Bacaan Pertama dengan sangat indah: Tuhan Allah, keindahan, kebaikan, kebenaran, kelembutan, kasih dalam kepenuhannya. Semua dari ini menanti kita. Mereka yang telah mendahului kita dan yang telah meninggal dalam Tuhan berada di sana. Mereka mewartakan bahwa mereka telah diselamatkan tidak melalui karya upaya mereka sendiri, meski karya-karya baik pasti telah mereka lakukan, tetapi bahwa mereka telah diselamatkan oleh Tuhan: “Keselamatan milik Allah kita yang duduk di atas takhta dan milik Anak Domba!” (Wahyu 7:10). Dialah yang menyelamatkan kita, Dialah yang pada akhir hidup kita membawa kita dengan tangan-Nya seperti seorang bapa, tepatnya ke Surga itu di mana nenek moyang kita berada. Salah satu sesepuh bertanya: “Siapa mereka ini, berpakaian jubah putih, dan dari mana mereka datang?” (Ayat 13). Siapa orang-orang benar ini, para Orang Kudus ini yang berada di Surga? Jawabannya adalah: “Inilah mereka yang telah keluar dari kesusahan besar; mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba” (ayat 14).

Kita bisa masuk Surga hanya berkat darah Anak Domba, berkat darah Kristus. Darah Kristus sendiri telah membenarkan kita, yang telah membukakan bagi kita gerbang Surga. Dan jika hari ini kita ingat saudara dan saudari kita yang telah pergi mendahului kita dalam hidup dan berada di Surga, itu karena mereka telah dicuci dalam darah Kristus. Ini merupakan pengharapan kita: pengharapan darah Kristus! Ini adalah pengharapan yang tidak mengecewakan. Jika kita berjalan dengan Tuhan dalam hidup, Ia tidak akan pernah mengecewakan kita!

Dalam Bacaan ke-dua, kita telah dengar apa yang Rasul Yohanes katakan kepada murid-muridnya: “Lihatlah betapa besarnya kasih yang Bapa telah karuniakan kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah; dan demikian kita adalah [anak-anak Allah]. Karena itu dunia tidak mengenal kita …. Kita adalah anak-anak Allah sekarang; tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; tetapi kita tahu bahwa ketika Dia menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia sebagaimana Dia [dalam keadaan-Nya yang sebenarnya]” (1 Yoh 3:1-2). Melihat Allah, menjadi seperti Allah: ini adalah pengharapan kita. Dan hari ini, pada Hari Semua Orang Kudus dan di hari pertama kita memperingati umat beriman yang telah meninggal dunia, kita perlu berpikir sedikit tentang pengharapan ini: pengharapan yang menyertai kita dalam hidup. Umat Kristiani awali menggambarkan pengharapan dengan sebuah jangkar, seakan hidup adalah sebuah jangkar yang ditambatkan di pantai Surga dan semua dari kita melakukan perjalanan ke pantai itu, berpegangan erat pada tali jangkar itu. Hal ini adalah gambaran yang indah dari pengharapan: untuk memiliki hati kita berlabuh di sana, di mana para pendahulu kita yang terkasih berada, di mana para Orang Kudus berada, di mana Yesus berada, di mana Allah berada. Ini adalah pengharapan yang tidak mengecewakan; hari ini dan besok adalah hari-hari pengharapan.

Pengharapan sedikit seperti ragi yang memperluas jiwa kita. Ada saat-saat sulit dalam hidup, tetapi dengan pengharapan jiwa itu melangkah maju dan menatap ke depan kepada apa yang menanti kita. Hari ini adalah sebuah hari pengharapan. Saudara dan saudari kita berada di hadapan Allah dan kita juga akan berada di sana, melalui rahmat yang murni dari Tuhan, jika kita berjalan di sepanjang jalan Yesus. Rasul Yohanes menyimpulkan: “Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepadaNya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah [suci] murni” (ayat 3 ). Pengharapan juga menyucikan kita, mencerahkan kita; pemurnian dengan pengharapan dalam Yesus Kristus ini membuat kita pergi dengan bergegas, dengan tanpa ragu-ragu. Hari ini sebelum malam tiba masing-masing dari kita dapat berpikir tentang kehidupan senja: “Akan seperti apa saat meninggalnya aku?” Semua dari kita akan mengalami matahari terbenam, semua dari kita! Apakah kita melihat pada hal itu dengan pengharapan? Apakah kita melihat dengan sukacita itu saat disambut oleh Tuhan? Hal ini adalah pemikiran Kristiani yang memberi kita pengharapan. Hari ini adalah sebuah hari sukacita, akan tetapi itu merupakan sukacita yang cerah dan tenang, sebuah sukacita yang penuh damai. Mari kita berpikir tentang wafatnya dari begitu banyak saudara -saudara kita yang telah mendahului kita, mari kita berpikir tentang waktu senja kehidupan kita, ketika itu akan datang. Dan mari kita berpikir tentang hati kita dan bertanya kepada diri sendiri: “Di mana hatiku berlabuh ?” Jika tidak tertambat dengan kuat, mari kita jangkarkan itu lebih jauh, di pantai itu, yang kita ketahui bahwa pengharapan ini tidak mengecewakan karena Tuhan Yesus tidak mengecewakan.

Pada akhir perayaan, yang diikuti dengan doa-doa bagi umat beriman yang telah meninggal, Bapa Suci menambahkan kata-kata berikut:

Saya juga ingin berdoa dengan sebuah cara yang khusus bagi para saudara-saudari kita yang telah meninggal baru-baru ini saat sedang mencari kebebasan dan sebuah kehidupan yang lebih bermartabat. Kita telah melihat gambaran-gambaran itu, kekejaman padang pasir, kita telah melihat laut itu di mana begitu banyak [orang] tenggelam. Mari kita berdoa bagi mereka. Dan marilah kita juga berdoa bagi mereka yang selamat, dan pada saat ini penuh sesak di tempat penerimaan, yang sedang berharap agar prosedur hukum akan dilakukan dengan cepat sehingga mereka mungkin bisa pergi ke tempat lain, tempat yang lebih nyaman, ke pusat-pusat penampungan lain di mana mereka akan disambut.
(AR)

Paus Fransiskus,
Pemakaman di Verano, 1 November 2013

Diterjemahkan dari: www.vatican.va

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab