Home Blog Page 291

Tanggapan tentang kesalahpahaman Protestan (bagian ke-3)

16

Tanggapan tentang kesalahpahaman Protestan (bagian ke-3)

[Dari Admin Katolisitas: berikut ini adalah lanjutan bagian ke-3 pertanyaan dari Simon, yang menyampaikan point-point kesalahpahaman saudara/i kita yang dari gereja Protestan. Berikut ini kami membagi beberapa point, agar pembahasan dapat menjadi lebih terarah dan sistematis.]

Pertanyaan [lanjutan]:

[G.Tradisi mempunyai otoritas yang sama dengan Kitab Suci? Padahal Alkitab menentang tradisi?]
2. Sikap Roma Katolik terhadap tradisi-tradisi mereka:
a. Pada tahun 1545, sidang gereja di Trent menyatakan bahwa tradisi mempunyai otoritas yang sama dengan Kitab Suci, tapi harus ditafsirkan oleh gereja.
Ini menyebabkan ajaran mereka tidak bisa berubah. Jadi, kalaupun suatu waktu mereka menyadari bahwa ada keputusan sidang gereja atau keputusan Paus yang ternyata salah, mereka tidak bisa mengubahnya. Bagaimana mungkin menyatakan sesuatu, yang setingkat otoritasnya dengan Kitab Suci, sebagai sesuatu yang salah dan harus diralat?
b. Pada tahun 1546, sidang gereja di Trent memasukkan 12 kitab-kitab Apocrypha itu ke dalam Kitab Suci (karena itu maka disebut Deutrokanonika (= kanon yang kedua).
c. Tradisi ini digunakan untuk mempertahankan ajaran-ajaran mereka yang tidak punya dasar Kitab Suci (misalnya: api pencucian, keperawanan yang abadi dari Maria, kesucian Maria, kenaikan Maria ke sorga dengan tubuh jasmaninya, dsb).
Dan ‘tradisi’ ini justru jauh lebih berperan sebagai dasar dari ajaran-ajaran Roma Katolik, bahkan sebagian besar ajaran / dogma Roma Katolik tidak didasarkan pada Kitab Suci, tetapi pada tradisi!
Ini menyebabkan sekalipun Roma Katolik dan Kristen Pro-testan sama-sama menggunakan Kitab Suci, tetapi ajaran-nya bisa sangat berbeda / bertentangan.
3. Apa kata Tuhan Yesus / Kitab Suci tentang tradisi?
a. Dalam Mat 15:3,6,9 Tuhan Yesus menyerang tradisi yang diutamakan lebih dari Firman Allah.
Catatan:
Kata-kata ‘adat istiadat nenek moyangmu’ (ay 3,6) oleh NASB/NIV diterjemahkan: your tradition (= tradisimu).
b. Dalam Mat 5:21-48 Tuhan Yesus menyerang dan membetul-kan penafsiran ahli-ahli Taurat (yang sudah menjadi tradisi) tentang perjanjian Lama.
c. Dalam Kol 2:8 Paulus memperingatkan untuk tidak menuruti ‘ajaran turun-temurun’ [NASB: the tradition of men (= tradisi manusia); NIV: human tradition (= tradisi manusia)] yang tidak sesuai dengan Kristus.
4. Orang Kristen Protestan dan tradisi:
Orang Kristen Protestan juga mempunyai dan menggunakan tradisi, seperti:
a. Cerita tentang kematian Petrus.
Cerita ini tidak ada dalam Kitab Suci maupun sejarah, dan hanya diceritakan turun temurun dari mulut ke mulut.
Dikatakan bahwa suatu kali ada penganiayaan dan pembunuhan besar-besaran terhadap orang kristen di Yerusa-lem. Petrus lalu lari meninggalkan Yerusalem, tetapi di-tengah perjalanan Yesus menampakkan diri kepadanya dan bertanya: ‘Mau kemana Petrus?’. Petrus menjawab: ‘Tuhan, semua orang kristen dibunuhi. Kalau aku tidak lari, aku juga akan dibunuh dan gereja akan kehilangan pemimpin’. Yesus lalu berkata: ‘Baiklah Petrus, larilah terus. Biarlah Aku yang pergi ke Yerusalem untuk disalibkan untuk keduakalinya’. Mendengar kata-kata Yesus ini Petrus menangis dan ber-kata: ‘Tidak Tuhan, sudah cukup Engkau disalibkan satu kali untuk aku, biarlah sekarang aku yang disalibkan untuk engkau!’. Dan ia lari kembali ke Yerusalem, sehingga akhirnya ia ditangkap. Pada waktu ia mau disalibkan, ia berkata: ‘Aku tidak layak mati seperti Tuhanku. Salibkan aku dengan kepala di bawah’. Dan akhirnya Petruspun mati syahid dengan disalibkan secara terbalik.
b. 12 Pengakuan Rasuli, Pengakuan Iman Nicea.
Tetapi dalam Kristen Protestan, tradisi-tradisi itu diletakkan di bawah Kitab Suci dan tradisi-tradisi itu tidak dianggap mutlak benar.

[H. Perbuatan baik sedikitpun tidak berperan dalam keselamatan kita?]
B) Pandangan tentang keselamatan:
Kristen Protestan:
Kita selamat hanya karena iman (SOLA FIDE / Only Faith (= hanya iman). Perbuatan baik sedikitpun tidak berperan dalam keselamatan kita!
Roma Katolik:
Seseorang selamat karena iman + perbuatan baik + gereja Roma Katolik.
Mereka memang menekankan perlunya iman. Tetapi bukan hanya iman, karena ‘perbuatan baik’ dan ‘gereja Roma Katolik’ punya andil dalam keselamatan seseorang.

[I. Ajaran tentang dosa berat dan dosa ringan mengakibatkan dosa ringan tidak perlu diakui? ]
Ini terlihat dari:
1) Ajaran Roma Katolik tentang dosa.
Roma Katolik mempercayai adanya venial sin (= dosa ringan) dan mortal sin (= dosa besar / mematikan).
Yang pertama mereka anggap sebagai dosa kecil / remeh, yang tidak diakuipun tidak apa-apa. Yang kedua mereka anggap sebagai dosa yang hebat, yang bisa menjatuhkan seseorang dari kasih karunia Allah / keselamatan.
Dengan demikian, kalau seseorang mau selamat ia harus menghin- dari mortal sin ini, dan ini menunjukkan bahwa usaha / ketaatan / per-buatan baik manusia berperan dalam keselamatan seseorang.
Catatan:
Berdasarkan ayat-ayat seperti Yoh 19:11 Luk 12:47-48 Ibr 10:28-29 maka terlihat dengan jelas akan adanya tingkat dosa. Tetapi Kitab Suci tidak pernah mengajarkan adanya:
1. Dosa yang begitu remeh sehingga tidak perlu diakui. Semua dosa upahnya adalah maut (Ro 6:23)!
2. Dosa yang begitu besar / hebat sehingga menghancurkan kese-lamatan kita! Bdk. Yes 1:18 1Yoh 1:9 1Yoh 2:1-2.
Ingat bahwa dalam Kristen Protestan, kita diselamatkan karena iman kepada Yesus, bukan karena perbuatan baik kita (Ef 2:8-9). Kalau kita jatuh ke dalam dosa, maka kita perlu ingat bahwa darah Kristus yang dicurahkan di atas kayu salib itu mempunyai kuasa lebih dari cukup untuk mengampuni dosa yang bagaimanapun besarnya!

[J. Apakah Gereja Katolik tidak mengakui Pembaptisan dari gereja lain?]
2) Ajaran Roma Katolik tentang baptisan.
Roma Katolik beranggapan bahwa baptisan betul-betul melahir baru-kan dan menyelamatkan seseorang, tetapi baptisan itu harus dilakukan di gereja Roma Katolik (ajaran Roma Katolik yang asli tidak mengakui gereja lain sebagai gereja yang benar!).
Ini menunjukkan bahwa usaha manusia (untuk dibaptis) dan juga gereja Katoliknya sendiri (dimana baptisan itu harus dilakukan), mem-punyai andil yang sangat vital / besar dalam keselamatan seseorang.
Untuk mengetahui yang mana yang benar, mari kita melihat pada Kitab Suci yang menunjukkan bahwa:
• Penjahat yang bertobat / beriman pada saat terakhir hidupnya, tetap masuk surga sekalipun tidak pernah pergi ke gereja ataupun di baptis, dan bahkan hampir bisa dikatakan tidak pernah berbuat baik dalam sepanjang hidupnya (Luk 23:43).
• Ef 2:8,9 Gal 2:16 Ro 3:24,27-28 menunjukkan bahwa kita selamat / dibenarkan hanya karena iman.
• Gal 3:2,14 menunjukkan bahwa kita menerima Roh Kudus karena iman.
• Kis 15:1-21 menunjukkan bahwa kita bisa selamat karena iman saja, bukan karena sunat atau ketaatan pada hukum-hukum Musa.
• Dalam Yoh 19:30 Yesus berkata ’sudah selesai’. Ini menunjukkan bahwa keselamatan kita sudah Ia selesaikan, sehingga kita tak perlu berusaha apa-apa lagi! Kita hanya menerima keselamatan itu dengan iman!

[K. Kita diselamatkan karena iman atau diselamatkan karena perbuatan baik?]

KESIMPULAN:
Kita selamat hanya karena iman kepada Yesus Kristus. Perbuatan baik hanya merupakan bukti iman, dan kalau perbuatan baik itu tidak ada maka iman itu sebetulnya mati / tidak ada (Yak 2:17,26), tetapi bagaima-napun juga, perbuatan baik itu sama sekali tidak punya andil dalam keselamatan kita.
Illustrasi:
Orang sakit obat sembuh bisa berolah raga.
Orang berdosa iman selamat berbuat baik.
Keterangan:
Orang sakit bisa sembuh karena obat, bukan karena olah raga. Tetapi bukti bahwa ia sudah sembuh adalah bahwa ia bisa berolah raga kem-bali. Kalau seseorang mengaku sudah minum obat dan sudah sembuh tetapi tetap tidak bisa berolahraga, maka itu menunjukkan bahwa pe-ngakuannya dusta. Jadi sebetulnya ia belum sembuh, dan juga belum minum obat.
Analoginya: orang berdosa bisa selamat karena iman kepada Yesus Kristus, bukan karena berbuat baik. Tetapi bukti bahwa ia sudah selamat adalah bahwa ia lalu berbuat baik. Kalau seseorang mengaku sudah beriman kepada Yesus dan sudah selamat tetapi ia sama sekali tidak mempunyai perbuatan baik / ketaatan kepada Tuhan, maka itu menunjukkan bahwa pengakuannya itu dusta. Jadi sebetulnya ia belum selamat dan belum percaya dengan sungguh-sungguh.

email us at : [dari admin: e-mail saya hapus]

Maaf sekali lagi, kutipannya cukup panjang. Mohon pencerahannya. Terima kasih banyak, Tuhan memberkati, Amin.

Salam, Simon

Jawaban [lanjutan]:

Shalom Simon,

Berikut ini saya sertakan tanggapan saya tentang kesalahpahaman saudara/i Protestan yaitu dari point G s/d K. Beberapa point ini terkait dengan jawaban saya yang terdahulu, sehingga memang ada baiknya jawaban ini dibaca dalam kesatuan dengan jawaban saya yang lain (lihat Tanggapan terhadap kesalahpahaman Protestan bagian ke-1, silakan klik dan bagian ke- 2, silakan klik). Maksud penulisan ini adalah untuk menjelaskan dari apa yang saya ketahui tentang ajaran Gereja Katolik dalam rangka menjawab pertanyaan Simon, sehingga tidak ada maksud negatif dari pihak kami di web Katolisitas terhadap saudara/i dari gereja Protestan.

[G.Tradisi mempunyai otoritas yang sama dengan Kitab Suci? Padahal Alkitab menentang tradisi?]

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahkan Alkitab sendiri mengatakan bahwa tak semua dari yang dilakukan oleh Yesus dituliskan dalam Alkitab (lih. Yoh 21:25).  Para rasul mengajarkan bahwa pengajaran Kristiani disampaikan dengan perkataan lisan dan surat yang tertulis (cf. 2 Tes 2:15, 1 Kor 11:2), maka ajaran yang tidak tertulis dari Kristus dan para rasul tersebut inilah yang disebut Tradisi Suci. Maka Alkitab sendirilah yang mengatakan bahwa ada Tradisi Suci yang posisinya sejajar dengan Alkitab yang tertulis. Jadi Tradisi suci itu bukan ajaran yang diciptakan di kemudian hari tanpa berakar dari pengajaran Yesus dan para rasul.

Jadi kalaupun pada Konsili Trent (1545-1564) ditekankan pentingnya Tradisi Suci, itu bukannya suatu ajaran baru. Itu sudah diajarkan oleh para rasul sejak Gereja awal. Jangan lupa bahwa keempat Injil dituliskan berdasarkan pendengaran akan pengajaran lisan. Matius dan Yohanes adalah rasul Yesus yang menuliskan pengajaran lisan Yesus. Dan dua Injil yang lain yaitu Markus dan Lukas juga adalah hasil penulisan khotbah (pengajaran lisan) para rasul. Markus yang adalah anak angkat rasul Petrus (1Pet 5:13) menuliskan khotbah Petrus, dan Lukas yang menyertai Paulus (2 Tim 4: 11) menuliskan khotbah Paulus. Jadi benar pengajaran Kristiani awalnya adalah dari pendengaran akan pengajaran Yesus dan para rasul yang disampaikan secara lisan (lih 2 Tim 2:2). Dan karena kita percaya bahwa Yesus memberikan kuasa ilahi kepada Gereja untuk mengajar dalam nama-Nya (lih. Mat 16-13-20; 18:18; Luk 10:16) maka kita juga percaya bahwa atas kuasa itulah maka Gereja Katolik dapat menyampaikan kepada kita pengajaran Kristiani, baik yang tertulis dalam Alkitab, maupun yang lisan dalam Tradisi Suci. Perlu kita ketahui pula bahwa walaupun berasal dari pengajaran para rasul yang tidak tertulis, namun selanjutnya pengajaran tersebut diturunkan secara tertulis oleh para penerus Rasul, sehingga Tradisi suci bukan sesuatu yang berubah-ubah, namun bersifat tetap dan semakin dinyatakan dengan jelas; sehingga bersamaan dengan pengajaran Alkitab, menuntun umat kepada kepenuhan kebenaran.

Seperti yang telah disebutkan dalam jawaban terdahulu dan juga dalam artikel ini, silakan klik, kita mengetahui bahwa kitab Deuterokanonika bukan baru saja ditambahkan pada Konsili Trent. Konsili Trent hanya meneguhkan kembali hasil Konsili-konsili terdahulu tentang kanon Kitab Suci. Kitab Deuterokanonika telah dimasukkan dalam kanon Perjanjian Lama sejak Konsili Hippo 393 dan Konsili Carthage 397. Kata “Deuterokanonika” yang terjemahan bebasnya adalah ‘kanon yang kedua’ bukan berarti bahwa kitab-kitab yang ada di dalamnya baru ditetapkan kemudian. Disebut ‘kedua’ hanya untuk membedakannya dengan protokanon, yaitu kitab-kitab Perjanjian Lama yang termasuk dalam kanon Ibrani dan yang diterima tanpa masalah oleh gereja-gereja Protestan.

Maka Tradisi Suci bukannya merupakan pengajaran yang tidak berdasarkan dari Alkitab, seperti yang sering disangka oleg saudara/i kita yang dari gereja Protestan. Pengajaran tentang Api Penyucian dan tentang Bunda Maria merupakan pengajaran yang berdasarkan Alkitab. Silakan membaca artikel- artikel di website ini tentang hal-hal tersebut, atau dapat juga membaca langsung dalam Katekismus Gereja Katolik, untuk melihat bagaimana pengajaran tersebut berakar dari prinsip pengajaran yang ada dalam Alkitab.

Secara umum, saudara/i dari gereja Protestan mempunyai pandangan negatif tentang Tradisi ini karena membaca bahwa tradisi seringkali disebutkan sebagai sesuatu yang negatif di Alkitab (lih. Mat 5:21-48 dan Kol 2:8). Namun jangan lupa bahwa tradisi pada ayat-ayat tersebut mengacu kepada tradisi yang dibuat oleh manusia sehubungan dengan hukum Taurat Musa (lih. Mat 23: 1-31; Luk 11: 37-48) ataupun pengajaran filosofi yang tidak sesuai dengan ajaran Kristus. Gereja Katolik juga menolak tradisi manusia yang sedemikian! Yang diajarkan oleh Gereja Katolik adalah Tradisi yang berasal dari Kristus, seperti bagaimana Kristus meng-institusikan Ekaristi, memberikan rahmat-Nya melalui sakramen-sakramen yang diberikan oleh Gereja. Atau bagaimana Kristus mengajarkan kesatuan umat beriman (Gereja) yang melampaui alam maut, sehingga ada pengajaran tentang persekutuan orang kudus. Atau pengajaran tentang kasih dan keadilan-Nya yang sempurna, sehingga ada doktrin Api Penyucian.

[H. Perbuatan baik sedikitpun tidak berperan dalam keselamatan kita?]

Saudara/i kita yang Protestan mengajarkan bahwa seseorang diselamatkan hanya karena iman (SOLA FIDE / Only Faith (= hanya iman), dan bahwa perbuatan baik sedikitpun tidak berperan dalam keselamatan kita. Dalam hal ini mereka seolah memisahkan iman dengan perbuatan baik. Pemisahan antara iman dan kasih inilah yang tidak diajarkan oleh Gereja Katolik. Memang dapat dikatakan bahwa perbuatan kasih adalah akibat dari iman, namun keduanya tetap tidak terpisahkan. Sebab kalau keduanya dipisahkan, dan seolah hanya karena iman saja seorang diselamatkan, maka seseorang dapat berpendapat sama seperti Martin Luther, yang memang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Luther berpendapat bahwa sekali beriman, maka seseorang diselamatkan, dan meskipun sesudahnya ia jatuh dalam dosa berat, maka ia tetap diselamatkan. Ini dikenal dengan doktrinnya, “sekali dibenarkan tetap dibenarkan/ diselamatkan”, atau “once saved, always saved”, seperti juga yang diyakini oleh Calvin. Dalam suratnya kepada Melancthon tanggal August 1, 1521, (translated by Erika Bullmann Flores for Project Wittenberg); online at http://www.iclnet.org/pub/resources/text/wittenberg/luther/letsinsbe.txt , lihat nomor 13, Luther mengatakan, “…Be a sinner, and let your sins be strong, but let your trust in Christ be stronger…. No sin can separate us from Him, even if we were to kill or commit adultery thousands of times each day…

Pernyataan ini tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, yang mensyaratkan iman dan pertobatan, hidup dalam Kristus, dan melaksanakan kasih, baru manusia dapat diselamatkan. Sebab, iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:26). Mengenai hal ini, mungkin akan kami bahas lebih lanjut dalam artikel terpisah. Namun cukup ditekankan di sini, bahwa iman tidak pernah terlepas dari kasih, sebab tanpa kasih dan kekudusan kita tidak dapat melihat Allah dan bersatu dengan Allah (lih. Ibr. 12:14). Keselamatan seseorang bukan berarti hanya diselimuti oleh jubah kebenaran Kristus, sementara orang itu tetap boleh tinggal dalam dosa. Sebaliknya, kita harus sendiri diubah oleh rahmat Kristus dan terus berubah menjadi kudus, meninggalkan dosa-dosa, dan hidup menjalankan kasih oleh karena iman kita kepada Kristus, baru kemudian kita dapat diselamatkan. Semoga Roh Kudus yang adalah Roh Kebenaran membuka mata hati kita semua untuk dapat melihat kebenaran ini.

Maka, Gereja Katolik sebenarnya juga percaya bahwa hanya karena iman kita diselamatkan, namun iman di sini tidak untuk dipisahkan dengan perbuatan kasih. Keduanya adalah ‘satu paket’, dan tak terceraikan. Paus Benediktus XVI dalam salah satu khotbahnya menjelaskan dengan sangat jelas mengenai hal ini, silakan klik. Kita percaya, bahwa jika kita memiliki ketaatan iman, maka hal ini akan membawa kita kepada ketaatan untuk menerima segala yang diwahyukan Tuhan dan melakukan segala perintah Tuhan terutama perintah kasih. Kasih yang total kepada Tuhan inilah yang menghantar seseorang untuk menjadi anggota Gereja yang didirikan oleh Kristus sendiri, yaitu Gereja Katolik, dan dengan taat menerima apa yang diajarkan oleh Gereja, karena percaya kepada Yesus yang mendirikannya dan menyertainya sampai akhir jaman.

[I. Ajaran tentang dosa berat dan dosa ringan mengakibatkan dosa ringan tidak perlu diakui? ]

a. Pertama-tama kita ketahui bahwa pembedaan adanya dua jenis dosa, yaitu dosa ringan dan dosa berat itu berasal dari pengajaran Alkitab, jadi bukan inovasi dari Gereja Katolik. Memang semua dosa menyedihkan hati Tuhan, namun Alkitab mengatakan bahwa ada dosa yang berat yang mendatangkan maut dan ada dosa ringan yang tidak mendatangkan maut (lih. 1 Yoh 5:16-17). Dikatakan dengan jelas pada ayat 17, “Semua kejahatan adalah dosa, tetapi ada dosa yang tidak mendatangkan maut.” Adanya tingkatan dosa juga terlihat dalam ayat-ayat lain seperti Yoh 19:11; Luk 12:47-48; Ibr 10:28-29.

Kita bisa melihat contoh tingkatan dosa dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, dosa membunuh dan dosa ketiduran sewaktu berdoa. Tentu, kita mengetahui bahwa membunuh adalah dosa yang lebih berat daripada ketiduran saat berdoa yang disebabkan oleh tidak-disiplinan dalam meluangkan waktu untuk berdoa.

Maka, Gereja Katolik mengenal dua macam dosa, yaitu: (1) Dosa berat atau “mortal sin[6] dan (2) Dosa ringan atau “venial sin[7]. Kalau dosa berat adalah melawan kasih secara langsung, maka dosa ringan memperlemah kasih. Jadi dosa berat secara langsung menghancurkan kasih di dalam hati manusia, sehingga tidak mungkin Tuhan dapat bertahta di dalam hatinya. Karena keselamatan dan  persatuan dengan Tuhan hanya dimungkinkan melalui iman yang bekerja oleh kasih (Gal 6:5) maka tanpa kasih [karena kasih tersebut telah hilang karena ia melakukan dosa berat] maka seseorang dapat kehilangan keselamatannya. Selanjutnya silakan membaca artikel ini tentang penjelasan mengenai dosa berat dan ringan, silakan klik.

Maka ayat Rom 6:23 yang mengatakan “upah dosa adalah maut”, adalah tidak untuk dipertentangkan di sini, karena konteks perikop tersebut adalah untuk mengkontraskan dua jenis perhambaan, yaitu hamba dosa dan hamba kebenaran di dalam Kristus Yesus. Jadi ayat Rom 6:23 tidak bermaksud untuk menyamaratakan semua jenis dosa. Tidak dikatakan di ayat itu bahwa upah semua dosa adalah maut, namun yang disampaikan adalah: kontrasnya upah dosa yang adalah maut, dan upah kebenaran/ kasih karunia Allah yang adalah hidup yang kekal.

Demikian pula, jika kita jatuh dalam dosa berat, maka yang harus dilakukan adalah kita bertobat, kembali kepada Allah dan menuruti segala perintah-Nya. Jika kita tidak bertobat artinya kita sendiri memilih untuk terpisah dari Allah, dan artinya kita menolak keselamatan ditawarkan oleh Dia. Maka ayat Yes 1:18 yang mengatakan bahwa “dosa yang merah seperti kirmizi akan menjadi putih seperti salju” harus dibaca dengan kesatuan dengan ayat berikutnya, yaitu, ayat ke 19, yang mengatakan, “Jika kamu menurut dan mau mendengar…” Demikian juga 1 Yoh 1:9 yang mengatakan, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” Juga ayat dalam 1 Yoh 2:2 yang mengatakan, “…namun jika seseorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara kepada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil ” harus dibaca dalam kesatuan dengan ayat ke-4 dan ke-5 pada perikop yang sama, yaitu kita yang mengenal Dia harus “menuruti perintah-Nya dan menuruti firman-Nya”. Maka ayat- ayat di atas  Yes 1: 18; 1 Yoh 1: 9 dan 1 Yoh 2:2, selayaknya diletakkan dalam konteksnya, yaitu bahwa keselamatan dan pengampunan dosa kita dicapai melalui pertobatan kita, iman akan Kristus Pengantara kita, dan perbuatan kita untuk menuruti firman dan perintah-Nya, terutama di sini adalah perintah kasih. Maka menurut Gereja Katolik, jika seorang mengaku beriman kepada Yesus, namun memilih untuk tetap hidup dalam dosa berat, maka ia tidak dapat diselamatkan. Bukan karena kasih Yesus yang kurang berkuasa untuk mengampuni dosanya yang besar, tetapi karena orang itu sendiri yang menolak untuk menerima pengampunan Yesus, karena ia tidak bertobat dan menuruti firman Allah. Maka menurut pengajaran Gereja Katolik, pengampunan Yesus tidak kita terima secara otomatis tanpa melibatkan kehendak bebas kita untuk bertobat dan selanjutnya hidup sesuai dengan perintah kasih-Nya. Dalam arti inilah maka perbuatan kasih berperan dalam keselamatan seseorang, sebab iman yang hidup tidak mungkin berdiri sendiri tanpa perbuatan kasih.

Dengan mengajarkan kesatuan antara iman dan perbuatan kasih, Gereja Katolik juga mengamini Ef 2:8-9. Sebab Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa hanya dengan usaha perbuatan kasih saja, tanpa Kristus, manusia dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Manusia diselamatkan pertama-tama oleh kasih karunia Allah yang telah mengutus Kristus Putera-Nya, dan iman kepada-Nya itulah yang menyelamatkan manusia, di mana iman itu tidak terlepas dari kasih dan pertobatan yang terus menerus agar manusia dapat bertumbuh menuju kekudusan dan semakin siap untuk bersatu dengan Allah sendiri yang adalah Kudus dan Sempurna (lih. Im 19:2; Ul 18:13; Mat 5:48).

b. Dengan pengertian bahwa dosa berat adalah yang dapat meniadakan rahmat keselamatan dan kasih dalam hati kita, maka memang dosa berat ini mutlak harus diakui di hadapan Tuhan dalam sakramen Pengakuan dosa. Sedangkan untuk dosa ringan yang intinya dosa yang ‘hanya’ memperlemah kasih namun tidak mengambil rahmat keselamatan kita, tidak mutlak harus diakui dalam sakramen Pengakuan dosa. Konsili Trente mengajarkan demikian:

It is not necessary to confess venial sins as these can be expiated by many salutary means, such as sorrow, prayer (“Forgive us our trespasses”), works of charity and abstinence, reception of Holy Communion… (D 899) However it is permissible, good and profitable to confess them (D 899, 917, cf. 748). The permission is based on the universal character of the Church’s power to forgive sins.

Maka Gereja Katolik mengajarkan bahwa dosa ringan tidak mutlak harus diakui dalam sakramen Pengakuan dosa, walaupun tetap dianjurkan untuk diakui, sebab hal itu baik bagi pertumbuhan rohani umat.

Saudara/i kita yang Protestan memang mengaku dosa tidak melalui Sakramen Pengakuan dosa, sehingga mereka mungkin sulit memahami pernyataan “It is not necessary to confess venial sins…”  Terdapat perbedaan pengertian di sini: bagi kita yang Katolik, “confess/ mengaku dosa” adalah melalui sakramen Pengakuan dosa di hadapan imam yang adalah wakil Tuhan, sedangkan bagi saudara/i kita yang Protestan adalah langsung dalam doa kepada Tuhan.

Pengajaran Konsili Trent tentang tidak mutlaknya mengaku dosa ringan dalam Sakramen Pengakuan, tidak membebaskan seseorang untuk tidak mengakuinya sama sekali di hadapan Tuhan. Karena sebenarnya, pengakuan segala dosa ringan itu kita lakukan minimal setiap kali kita mendoakan doa Bapa Kami, “Ampunilah kesalahan kami”, maupun setiap kali kita mengawali Misa Kudus, di mana ada doa, “Tuhan, kasihanilah kami…” atau, “Saya mengaku kepada Allah yang Mahakuasa, dan kepada saudara sekalian, bahwa saya telah berdosa, dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian ……”

Namun jika kita melakukan dosa berat, kita harus mengakuinya tidak saja dalam doa, tetapi juga dalam sakramen Pengakuan dosa di hadapan imam yang adalah wakil Kristus Tuhan. Secara objektif, mengaku dosa di hadapan imam membutuhkan kerendahan hati, keterbukaan dan ketaatan untuk melakukan apa yang dipesankan oleh Yesus sendiri.  Ia sudah memberikan kuasa untuk mengampuni dosa kepada para rasul dan para penerus-Nya, sehingga jika kita mengaku dosa di dalam sakramen Pengakuan dosa sebenarnya kita hanya melakukan apa yang telah ditentukan oleh Tuhan Yesus dan dengan demikian membuktikan kasih dan ketaatan kita kepada apa yang menjadi kehendak-Nya.

[J. Apakah Gereja Katolik tidak mengakui Pembaptisan dari gereja lain?]

Gereja Katolik mengakui Pembaptisan yang dilakukan oleh gereja-gereja lain sepanjang dilakukan dengan maksud, materia dan forma yang sesuai dengan ketentuan Gereja Katolik, yaitu Pembaptisan yang dilakukan dengan air, dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Pembaptisan gereja-gereja non- Katolik yang diakui oleh Gereja Katolik adalah gereja- gereja yang tergabung dalam PGI.
Ini adalah konsekuensi dari ajaran Gereja Katolik yang mengajarkan adanya Satu Baptisan, karena menghormati otoritas Yesus yang menginstitusikan Pembaptisan.  Meterai yang sudah diberikan oleh Yesus dalam jiwa seseorang melalui Pembaptisan, tidak mungkin dibatalkan. Maka jika seseorang yang sudah pernah dibaptis di gereja lain (yang anggota PGI) kemudian mau menjadi Katolik, maka ia tidak perlu dibaptis ulang, melainkan hanya dikukuhkan. Dari kenyataan ini, maka tidak benar pernyataan bahwa Gereja Katolik sama sekali tidak mengakui baptisan dari gereja-gereja lain.

Gereja Katolik memang mengajarkan pentingnya Pembaptisan sebagai pintu gerbang menuju keselamatan, sebab Pembaptisan yang artinya adalah kelahiran baru di dalam air dan Roh inilah yang disyaratkan oleh Yesus bagi seseorang untuk masuk dalam Kerajaan Allah (lih. Yoh 3:5).

Maka berikut ini adalah interpretasi ayat, menurut ajaran Gereja Katolik, yang memang berbeda dengan interpretasi dari gereja Protestan. [Interpretasi Gereja Katolik/ IGK disebutkan sesudah interpretasi gereja Protestan/ IGP].

• IGP:Penjahat yang bertobat / beriman pada saat terakhir hidupnya, tetap masuk surga sekalipun tidak pernah pergi ke gereja ataupun dibaptis, dan bahkan hampir bisa dikatakan tidak pernah berbuat baik dalam sepanjang hidupnya (Luk 23:43).

IGK: Gereja Katolik mengajarkan bahwa makna Satu Pembaptisan dapat dicapai dengan tiga cara, yaitu dengan cara dibaptis dengan air dalam Sakramen Pembaptisan, atau Baptis Rindu (Baptisan of desire), atau Baptis Darah (Baptism of blood)- lihat KGK 1258. Lebih lanjut tentang baptis rindu, dapat dibaca di sini, silakan klik, dan di sini, silakan klik. Sedangkan Baptis darah adalah seperti yang terjadi pada para martir yang menyerahkan nyawa mereka demi iman mereka akan Kristus, di mana kematian mereka sudah menjadi bukti yang nyata bahwa mereka sungguh-sungguh telah mati terhadap dosa untuk bangkit dan hidup baru bersama Kristus.

Penjahat yang bertobat, yang disalibkan bersama Yesus seperti yang diceritakan di Luk 23:43, dimana Yesus mengatakan “Kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus,” adalah suatu contoh Baptism of desire atau Baptis Rindu, yang diiringi oleh penyesalan atas dosa-dosanya dan juga perbuatan kasih (KGK, 1259). Penyesalan dan perbuatan kasihnya kepada Tuhan dan sesama diungkapkan oleh penjahat itu dengan perkataanya, “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah…Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.“(Luk 23:40-42). Di tengah keterbatasannya menjelang kematiannya, si penjahat itu menyatakan kasihnya kepada Tuhan dengan menyatakan imannya kepada Kristus; dan kepada sesama penjahat yang disalibkan dengannya, dengan mengajak orang itu bertobat.

• IGP: Ef 2:8,9 Gal 2:16 Ro 3:24,27-28 menunjukkan bahwa kita selamat / dibenarkan hanya karena iman.

IGK: Gereja Katolik juga menyatakan bahwa kita dibenarkan karena iman, namun iman ini tidak terpisahkan dari kasih. Kasih ini adalah buah dari hidup kita yang baru bersama Kristus. Jadi ayat Ef 2:8-9 tidak terpisah dari beberapa ayat sebelumnya, yaitu ay. 4,  yaitu bahwa kasih dan karunia Allah telah “menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus.” Sedangkan ayat Gal 2:16, Rom 3:24-27 harus dibaca dalam konteksnya, yaitu ‘perbuatan’ yang dimaksudkan oleh Rasul Paulus dalam ayat itu adalah perbuatan mengikuti hukum Taurat yaitu sunat. Maka, Gereja Katolik juga mengajarkan demikian, bahwa kita umat Kristiani dibenarkan bukan karena melakukan hukum Taurat (yaitu sunat), namun karena iman kepada Kristus.

• IGP: Gal 3:2,14 dan Kis 15:1-21 menunjukkan bahwa kita bisa menerima Roh Kudus dan diselamatkan karena iman saja, bukan karena sunat atau ketaatan pada hukum-hukum Musa.

IGK: Seperti yang telah disebutkan di atas, Gereja Katolik juga mengajarkan bahwa kita umat Kristiani menerima Roh Kudus dan dibenarkan bukan karena melakukan hukum Taurat, namun karena iman kepada Kristus. Namun iman ini tidak untuk dipisahkan dengan kasih.

• IGP: Dalam Yoh 19:30 Yesus berkata ’sudah selesai’. Ini menunjukkan bahwa keselamatan kita sudah Ia selesaikan, sehingga kita tak perlu berusaha apa-apa lagi! Kita hanya menerima keselamatan itu dengan iman!

IGK: Perkataan Yesus ‘sudah selesai‘ di sini adalah untuk mengatakan bahwa misi penjelmaan-Nya menjadi manusia di dunia demi menyelamatkan umat manusia telah selesai. Sedangkan selanjutnya Kristus masih terus berkarya sampai akhir jaman di dalam Gereja-Nyaoleh kuasa Roh Kudus , untuk menyampaikan rahmat Allah demi menghantar manusia kepada keselamatan, yaitu melalui sakramen- sakramen (lih. KGK 1118). Pada akhirnya, manusia akan sampai pada keselamatan, hanya jika ia turut bekerjasama dengan rahmat itu. Dan bentuk kerjasama ini adalah kesetiaan dalam iman dan pertobatan yang terus menerus, dan juga dalam melakukan perbuatan- perbuatan kasih. Kerja sama dengan rahmat Allah ini harus tetap berlangsung, walaupun Yesus sudah mengorbankan Diri-Nya, sebab menurut Rasul Paulus, kita perlu turut menggenapkan dalam daging kita, apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk Tubuh-Nya yaitu jemaat (lih. Kol 1:24). Maksudnya, agar kita terus berjuang di dalam hidup ini, termasuk menanggung salib kehidupan kita bersama Tuhan Yesus, dengan iman, pengharapan dan kasih; dan dengan niatan untuk terus bertobat dan mendoakan keselamatan sesama. Dengan demikian, kita turut mengambil bagian dalam karya keselamatan Kristus.

[K. Kita diselamatkan karena iman atau diselamatkan karena perbuatan baik?]

Mari bersama kita melihat kembali kesimpulan yang disampaikan oleh saudara/i kita yang dari gereja Protestan:

“Kita selamat hanya karena iman kepada Yesus Kristus. Perbuatan baik hanya merupakan bukti iman, dan kalau perbuatan baik itu tidak ada maka iman itu sebetulnya mati / tidak ada (Yak 2:17,26), tetapi bagaimanapun juga, perbuatan baik itu sama sekali tidak punya andil dalam keselamatan kita.”

Sedangkan kalau menurut Gereja Katolik adalah demikian:

Kita selamat hanya karena kasih karunia Allah oleh iman kepada Yesus Kristus (Ef 2:8). Perbuatan baik merupakan bukti iman, dan kalau perbuatan baik itu tidak ada, maka iman itu sebetulnya mati (lih. Yak 2:17, 26). Maka konsekuensi dari pernyataan ini adalah kita tidak dapat terlalu yakin bahwa “sekali selamat tetap selamat,” sebab kenyataannya, seseorang yang telah beriman sekalipun tetap dapat jatuh dalam dosa dan gagal berbuat baik. Padahal orang yang gagal berbuat baik adalah orang yang tidak beriman (imannya ‘mati’), sedangkan orang yang tidak beriman tidak dapat diselamatkan. Maka perbuatan baik yang merupakan bukti iman yang hidup itu, harus diukur sampai akhir -tidak bisa hanya perbuatan sesaat saja- agar kita dapat membuktikan kepada Tuhan bahwa kita adalah orang yang setia beriman sampai akhir. Dengan demikian, perbuatan baik tidak bisa dipisahkan dari iman, dan keduanya diperhitungkan Tuhan pada saat Penghakiman Terakhir untuk menentukan apakah kita dapat diselamatkan. Sebab pada akhirnya, Tuhan membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya (Why 2:23).

Berikut ini, mari kita melihat ilustrasi yang disampaikan oleh saudara/i kita yang Protestan:
Orang sakit        – obat  – sembuh – bisa berolah raga.
Orang berdosa   – iman – selamat  – berbuat baik.
Keterangan:
Orang sakit bisa sembuh karena obat, bukan karena olah raga. Tetapi bukti bahwa ia sudah sembuh adalah bahwa ia bisa berolah raga kembali. Kalau seseorang mengaku sudah minum obat dan sudah sembuh tetapi tetap tidak bisa berolahraga, maka itu menunjukkan bahwa pengakuannya dusta. Jadi sebetulnya ia belum sembuh, dan juga belum minum obat.
Analoginya: orang berdosa bisa selamat karena iman kepada Yesus Kristus, bukan karena berbuat baik. Tetapi bukti bahwa ia sudah selamat adalah bahwa ia lalu berbuat baik. Kalau seseorang mengaku sudah beriman kepada Yesus dan sudah selamat tetapi ia sama sekali tidak mempunyai perbuatan baik / ketaatan kepada Tuhan, maka itu menunjukkan bahwa pengakuannya itu dusta. Jadi sebetulnya ia belum selamat dan belum percaya dengan sungguh-sungguh.

Tanggapan saya:
Illustrasi di atas sebenarnya cukup bagus, tetapi sebenarnya kurang sempurna. Karena, orang yang sakit yang minum obat dan sembuh, dapat memilih untuk tidak berolah raga [walaupun sudah sembuh]. Kemampuan berolah raga di sini tidak langsung menjadi tolok ukur kesembuhan. Jadi mungkin analogi yang lebih tepat adalah demikian:

Orang sakit, contohnya sesak nafas, minum obat, lalu sembuh, dan dapat bernafas kembali. Bernafas kembalinya orang itu menjadi tanda kesembuhannya, sama seperti perbuatan baik yang mengalir dari seseorang yang diselamatkan karena iman. Maka, obat sesak nafas tersebut tak terpisahkan dan dibuktikan dengan khasiatnya yaitu kemampuan untuk bernafas kembali. Jika orang belum bisa bernafas dengan baik artinya, obatnya belum tepat, namun jika sudah bisa bernafas kembali artinya obat itu tepat dan manjur. Iman tidak terpisahkan dan dibuktikan dengan perbuatan kasih yang mengalir dari iman. Jika orang tidak berbuat kasih, maka dipertanyakan apakah imannya sudah benar. Perlu pula kita ketahui bahwa dalam keadaan sesak nafas, orang yang sakit masih bisa bernafas, namun kualitasnya kurang/tidak baik . Demikian pula, orang yang berdosa bahkan orang atheis sekalipun, mereka masih tetap dapat berbuat kasih, hanya saja kualitas perbuatan kasihnya tidak dapat disamakan dengan perbuatan kasih orang yang beriman. Setidaknya, dari segi motivasi sudah pasti berbeda. Orang yang atheis misalnya, tetap dapat berbuat kasih kepada sesama, namun motivasinya tidak demi kasihnya kepada Tuhan, sebab mereka tidak mengenal Tuhan. Maka dalam hal ini kasih mereka tidak mempunyai nilai supernatural, dan terbatas hanya pada kasih kemanusiaan, sehingga nilainya tidak sama dengan kasih Kristiani.

Kita dapat mengambil contoh lain terhadap sakit yang berbeda-beda, namun dalam hal rohani, sakit yang ada hanya akibat dosa. Maka, analoginya menjadi: orang berdosa/ ‘sakit rohani’, dengan iman kepada Kristus, ia diubah dan dijadikan sembuh dan diselamatkan, sehingga ia dimampukan untuk tidak berbuat dosa dan berbuat kebaikan/ perbuatan kasih.

Namun kemudian, orang yang sudah sehat sekalipun, dapat sakit lagi, dan demikian juga orang yang sudah sembuh secara rohani, dapat jatuh lagi di dalam dosa. Hal inilah yang membedakan pemahaman doktrin “sekali selamat tetap selamat”, dengan ajaran Gereja Katolik. Sebab dengan menggunakan analogi orang sakit tersebut, maka mereka yang percaya “sekali selamat tetap selamat”: 1) tidak mengakui bahwa seseorang yang sudah beriman dapat jatuh dalam dosa lagi; Atau, 2) mereka percaya sekali minum obat, maka seseorang sudah tidak perlu minum obat lagi jika ia jatuh sakit lagi di kemudian hari.

Sedangkan menurut Gereja Katolik, seperti juga diajarkan dalam Alkitab, seseorang yang beriman teguh sekalipun masih tetap jatuh dalam dosa. Sebab,dikatakan dalam surat Rasul Yohanes, “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada dalam kita….Jika kita berkata bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita.” (1 Yoh 1:8, 10). Ayat ini dituliskan persis setelah menyatakan bahwa Allah adalah terang, dan jika kita bersekutu dengan Dia, maka kita harus hidup di dalam terang. Maka, kesimpulannya, kita harus terus mengusahakan untuk hidup di dalam terang, dan jika sampai jatuh dalam dosa/ kegelapan, kita harus mengaku dosa, agar Tuhan menyucikan kita dari segala kejahatan (lih. 1 Yoh 1:7,9). Maka “obat” itu, yaitu iman kepada Kristus harus terus kita perbaharui dengan terus menerus, agar kita dapat terus dikatakan “sembuh”/ diselamatkan.

Jadi perjuangan untuk terus beriman dan melakukan kasih adalah perjuangan seumur hidup. Ini melibatkan pertobatan yang terus menerus dan kerendahan hati untuk menerima kelemahan kita sebagai manusia dan ketergantungan kita kepada rahmat Allah untuk mengampuni kita, menguduskan dan membimbing kita agar dapat hidup lebih baik dari hari ke hari.Jika kembali ke analogi orang sakit tadi, artinya, kita harus mau minum obat itu lagi jika kita jatuh sakit. Kita harus selalu memperbaharui iman dan kasih kita kepada Tuhan, sampai kita dapat sungguh-sungguh bersatu dengan-Nya di surga kelak.

Demikian telah saya sampaikan tanggapan tentang hal-hal yang kami pandang sebagai kesalahpahaman saudara/i kita yang dari gereja Protestan. Sekali lagi, maksud kami menuliskan tanggapan ini adalah untuk menjelaskan dari sisi pengajaran Gereja Katolik, dan kami tidak bermaksud menyinggung ataupun mengatakan yang negatif tentang gereja lain. Semoga kita semua dapat terus menghayati iman kita, dan hidup sesuai dengan panggilan kita sebagai murid-murid Kristus.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati – www.katolisitas.org

Apakah hidup bersama sebelum pernikahan berdosa?

12

Pertanyaan:

nih websitenya bagus banget…..aku sekarang jadi bingung….saya sampai sekarang belom menikah tapi sudah hidup bersama dengan wanita dalam satu rumah tanpa ada pernikahan(belom menikah).dan setaip kali aku ke gereja aku selalu di inagtin temn2 untuk jangan menerima hostia,alasannya karna saya belom menikah……Tapi menurut pandangan saya sebenarnya tidak masalah….bukankah Yesus pernah makan bersama Yudas si pengkhianat satu meja????????dan kenapa saya tidak boleh….

dan satu lagi…apakah saya berdosa kalu saya hidup serumah dengan wanita tanpa ada pernikahan???
padahal saya bertanggungjawab da saya sangat menyayangi dia….hanya karna ada satu dan lain hal..maka pernikahan kami di tunda…

mohon bagi teman2….untuk memeberikan jawaban….Tuhan Beserta Kalian semua – Chelis

Jawaban:

Shalom Chelis,

Terima kasih atas dukungannya terhadap katolisitas.org. Berikut ini adalah jawaban saya tentang apakah hidup satu rumah dengan wanita sebelum pernikahan adalah berdosa.

1) Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan secara moral baik atau tidak, dapat dilihat dari tiga komponen, yaitu: (a) Objek moral (moral object), yang merupakan objek fisik yang berupa tujuan yang terdekat (proximate end) dari sesuatu perbuatan tertentu (sifat dasar perbuatan) di dalam terang akal sehat. (b) Keadaan (circumstances) yaitu keadaan di luar perbuatan tersebut, tetapi yang berhubungan erat dengan perbuatan tersebut, seperti kapan dilakukan, di mana, oleh siapa, berapa banyak, bagaimana dilakukannya, dan dengan bantuan apa. (c) Maksud/tujuan (intention) yaitu tujuan yang lebih tinggi yang menjadi akhir dari perbuatan tersebut.

Dari prinsip-prinsip di atas, maka kita dapat menganalisa apakah perbuatan untuk hidup bersama dengan wanita lain sebelum pernikahan adalah berdosa atau tidak.

a) Objek moral: adalah hidup bersama dengan seorang wanita. Dari object moral ini, mungkin terlihat tidak apa-apa, karena tidak ada yang salah dengan hidup bersama dengan seorang wanita. Tapi kalau kita melihat lebih jauh, maka hidup bersama dengan seorang wanita tanpa pernikahan, dapat dikonotasikan untuk berhubungan sebagai suami istri tanpa adanya ikatan perkawinan. Ini berarti bahwa moral object-nya berkembang menjadi perjinahan (fornication), yang memang merupakan suatu perbuatan dosa, karena melanggar perintah ke-enam dari Sepuluh Perintah Allah. Dalam hal ini, kita harus melihat bahwa hubungan suami istri adalah hubungan yang suci, yang harus dilakukan dalam konteks perkawinan yang resmi. Dan dalam hubungan yang suci ini, suami istri dapat memberikan diri (mengasihi) kepada pasangannya dan pada saat yang bersamaan dituntut untuk terbuka akan adanya suatu kehidupan (anak dari hasil hubungan suami istri). Dalam konteks pernikahan, maka suami istri juga dapat memberikan tanggung jawab yang baik, serta membentuk tatanan masyarakat yang baik. Mungkin Chelis masih belum setuju bahwa hidup sebagai suami istri di luar pernikahan adalah salah.
Saya ingin mengusulkan, coba bayangkan – apakah Chelis akan memperbolehkan anak perempuan Chelis (bayangkan kalau Chelis suatu saat mempunyai anak perempuan) untuk hidup bersama dengan pria lain (mungkin terlihat pria ini baik) dan hidup satu rumah tanpa ikatan perkawinan? Chelis dapat membawa hal ini di dalam doa, dan cobalah menjawab pertanyaan ini dengan jujur.

b) Keadaaan: Dalam kasus Chelis, maka keadaannya adalah satu rumah dengan teman wanita yang bukan istri. Tidak ada yang salah dalam melakukan hubungan suami istri kalau dilakukan dalam konteks perkawinan yang sah. Namun dalam hal ini keadaannya adalah melakukan dengan wanita yang bukan istri. Walaupun tanpa melakukan hubungan suami istri sekalipun, maka hal ini dapat menyebabkan skandal.

c) Tujuan: Hanya Chelis sendiri yang dapat menilai tujuan atau intensi dari perbuatan ini. Mungkin intensinya baik, saya tidak tahu persis. Namun, kita harus berhati-hati dalam menilai intensi kita, karena dapat saja kita mempuyai intensi yang tersembunyi. Inilah sebabnya pemazmur mengatakan “Tuhan, Engkau mengetahui segala keinginanku, dan keluhkupun tidak tersembunyi bagi-Mu“(Ps 38:9). Namun, intensi sebaik apapun, kalau object moral dan keadaan tidak baik, maka tidak dapat disebut perbuatan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan. St. Thomas Aquinas  mengajarkan bahwa “Evil results from any single defect, but good from the complete cause,” Artinya, jika satu saja dari ketiga hal itu tidak dipenuhi dengan baik/ sesuai dengan akal sehat, maka perbuatan dikatakan sebagai kejahatan; dan karenanya merupakan ‘dosa’, sedangkan perbuatan yang baik harus memenuhi syarat ketiga hal di atas.

2) Dari jawaban di atas, maka adalah berdosa untuk hidup bersama dengan wanita yang belum menjadi istri, karena dapat menjadi godaan untuk mengadakan hubungan suami istri di luar nikah, dan pada saat yang bersamaan membuat skandal. Kalau mau dikategorikan, sebenarnya dosa ini adalah tergolong dosa berat. Kalau begitu mengapa dalam kondisi dosa berat ini, teman Chelis mengingatkan untuk tidak menerima komuni? Sebenarnya larangan ini dikatakan oleh rasul Paulus sendiri, yang berkata “27 Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. 28 Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. 29 Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya. 30 Sebab itu banyak di antara kamu yang lemah dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal.” (1 Cor 11:27-30).

Kemudian Chelis membandingkan kejadian yang Chelis alami dengan Yudas yang juga turut serta dalam perjamuan Tuhan. Namun kalau kita melihat secara lengkap tentang Malam Perjamuan Kudus, Yudas pada akhirnya meninggalkan tempat perjamuan. Dan memang dia sendiri akhirnya mengalami nasib yang mengenaskan. Itulah sebabnya, kalau kita melihat dalam konteks Ekaristi, kita tidak dapat menerima Tubuh Kristus, kalau kita dalam kondisi dosa berat. Untuk itu, orang yang berdosa berat harus mengaku dosa terlebih dahulu kepada Tuhan di hadapan imam. Namun pengakuan dosa mensyaratkan pertobatan yang berarti berjanji dengan pertolongan Tuhan untuk tidak berbuat dosa lagi. Oleh karena itu, bawalah hal ini dalam doa, dan mintalah Roh Kudus untuk menyingkapkan dosa-dosa yang diperbuat dan memberikan kekuatan diberi kekuatan untuk dapat melakukan pertobatan dengan benar. Dan ini hanya dapat dicapai dengan meninggalkan cara hidup yang lama dan memulai dengan cara hidup yang baru.

Kalau Chelis mau mengetes apakah benar-benar Chelis dan wanita tersebut tidak berkeberatan dengan cara hidup yang sekarang, mungkin Chelis dapat berdoa bersama dengan wanita tersebut setiap pagi dan malam. Dalam doa itu, bawalah intensi ini setiap hari. Tanyakanlah kepada Tuhan apakah cara hidup yang sekarang berkenan kepada Tuhan. Semoga, Roh Kudus sendiri yang akan menyingkapkan apa yang terselubung dan memberikan penerangan kepada Chelis dan wanita yang Chelis sayangi untuk melakukan cara hidup yang sesuai dengan perintah Tuhan.

Semoga uraian ini dapat menjawab pertanyaan Chelis.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org

Apakah berfantasi seks itu dosa?

111

Pertanyaan:

Helo, Saya hendak bertanya satu soalan…saya rasa ini sesuatu yang memalukan bagi saya sendiri..harap beri pedoman dan penjelasan saudari. Saya selalu melakukan fantasi seks yang saya anggap kurang ajar bagi diri saya sendiri…saya kira ini adalah satu dosa tetapi saya tidak melakukan seks dengan orang hanya anggapan ini berada dalam fikiran kotor saya….saya ingin berhenti melakukan hal ini kerana saya tahu saya berdosa bagi diri saya sendiri….saya selalu berdoa supaya perkara ini tidak diulangi lagi…

Pertanyaan saya adalah adakah dosa saya adalah dosa yang berat atau ringan? Saya selalu minta ampun dengan Tuhan atas segala dosa saya dan adakah ianya berbaloi untuk mendapatkan pengampunan terus dari Tuhan atau melalui paderi supaya saya dapat melakukan indulgensi.

Hamba Berdosa – Esther

Jawaban:

Shalom Esther,

Terima kasih atas kunjungannya ke situs katolisitas.org dan juga atas keterbukaannya untuk membagikan pengalaman Esther. Pertama-tama, perlu disadari bahwa semua orang berjuang untuk dapat hidup dalam kekudusan. Setiap orang juga mempunyai kelemahan masing-masing dan kelemahan-kelemahan ini dipakai oleh iblis untuk membuat kita berputus asa dan tak berdaya. Namun, kelemahan-kelemahan ini juga dipakai oleh Kristus untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Dan hal ini hanya dapat terjadi, kalau kita mempunyai hubungan yang baik dengan Yesus serta terus bekerjasama dengan rahmat Tuhan untuk bertumbuh dalam kekudusan.

Keinginan untuk bertobat dapat menjadi “efficacious” (memberikan efek) dan bisa juga “inefficacious” (tidak memberikan efek). Hal ini dikarenakan kita sebagai manusia sering untuk berusaha memerangi dosa dengan kekuatan kita sendiri. Dan hal inilah yang dialami oleh St. Agustinus dari Hippo. Semakin kita ingin memerangi dosa dengan kekuatan sendiri, maka semakin kita terjatuh dalam lumpur keputusasaan, karena kita akan gagal. Kalau dosa adalah ketidakadaan kasih, maka dosa hanya dapat ditangani dengan cara mengisinya dengan kasih. Dan kasih ini hanya didapatkan dari Kristus, yang terlebih dahulu mengasihi kita. Jadi, cara untuk mengatasi keterikatan kita akan dosa adalah dengan mempunyai hubungan yang baik dengan Kristus, melalui doa pribadi, sakramen (terutama Ekaristi dan sakramen pengakuan) dan devosi kepada Bunda Maria.

Pada saat fantasi sex datang, maka hal ini belum termasuk dosa. Namun pada saat kita secara sadar melayani fantasi sex ini, maka kita mulai berdosa, dalam kategori dosa ringan. Kalau hal ini terus dipupuk, maka kita harus berhati-hati, karena tinggal tunggu waktu, maka dosa yang ada di dalam pikiran akan membuahkan maut, seperti melakukan masturbasi, dll. Dan pada saat kita melakukan dosa ini, maka kita melakukan dosa berat (mortal sin). Pembahasan lebih terperinci tentang perkembangan dosa, silakan untuk melihat artikel “Pengakuan Dosa – bagian 1”, terutama bagian “bagaimana proses dosa berkembang” (silakan klik).

Katekismus Gereja Katolik (KGK, 2352): “Masturbasi adalah rangsangan alat-alat kelamin yang disengaja dengan tujuan membangkitkan kenikmatan seksual. “Kenyataan ialah bahwa, baik Wewenang Mengajar Gereja dalam tradisinya yang panjang dan tetap sama maupun perasaan susila umat beriman tidak pernah meragukan, untuk mencap masturbasi sebagai satu tindakan yang sangat bertentangan dengan ketertiban”, karena penggunaan kekuatan seksual dengan sengaja, dengan motif apa pun itu dilakukan, di luar hubungan suami isteri yang normal, bertentangan dengan hakikat tujuannya”. Kenikmatan seksual yang dicari karena dirinya sendiri tidak mempunyai “tujuan susila yang dituntut oleh hubungan seksual, yaitu yang melaksanakan arti sepenuhnya dari penyerahan diri secara timbal balik dan juga satu pembuahan manusiawi yang sebenarnya di dalam cinta yang sebenarnya” (CDF, Perny. “Persona humana” 9).
Supaya membentuk satu penilaian yang matang mengenai tanggung jawab moral dari mereka yang bersalah dalam hal ini, dan untuk menyusun bimbingan rohani supaya menanggapinya, orang harus memperhatikan ketidakmatangan afektif, kekuatan kebiasaan yang sudah mendarah daging, suasana takut, dan faktor-faktor psikis atau kemasyarakatan yang lain, yang dapat mengurangkan kesalahan moral atau malahan menghilangkannya sama sekali.”

KGK 2396   Masturbasi, percabulan, pornografi, dan praktek homoseksual termasuk dosa-dosa yang sangat melanggar kemurnian.”

Bagaimana untuk memperbaikinya? Berikut ini adalah beberapa usulan yang mungkin dapat dijalankan.

1) Mempunyai hubungan yang baik dengan Tuhan, melalui doa pribadi, sakramen-sakramen, devosi terhadap Bunda Maria. Dosa dan doa senantiasa berbanding terbalik. Kalau kita terus bertekun dan setia dalam doa, maka biasanya kita tidak akan melakukan dosa berat. St. Teresa dari Avila mengatakan bahwa salah satu – dosa berat atau doa – harus menyerah dan tidak mungkin kedua-duanya berjalan bersamaan.

2) Pada saat fantasi itu datang, berdoalah dan mohon kekuatan dari Tuhan dan berdoalah juga agar Bunda Maria membantu. Bunda Maria, wanita tersuci akan membantu kita untuk mengatasi dosa ketidaksucian. Ucapkan doa yang pendek, namun berulang-ulang, seperti “Jesus, have mercy on me” atau “Yesus, kasihanilah aku“. Dan setelah itu, lanjutkan dengan aktifitas yang lain. Kita juga harus mencoba untuk menghindari situasi yang dapat membangkitkan fantasi seksual, misalkan, membaca  buku bacaaan, website, ataupun melihat gambar-gambar, film-film ataupun foto-foto yang dapat mengarahkan pikiran kepada fantasi-fantasi seksual, dll.

3) Pada saat kita gagal dan kembali pada dosa yang sama, maka secepatnya kita harus datang kepada romo untuk menerima Sakramen Tobat. Dan mulai lagi dari awal, dan jangan berputus asa. Dosa yang telah menjadi kebiasaan (habitual sin) akan membutuhkan waktu untuk dipatahkan. Hanya berkat Tuhan dan kerjasama dari kita, yang dapat mengalahkannya. Alangkah baiknya kalau anda dapat mempunyai pembimbing rohani dan bapa pengakuan yang sama, sehingga dia dapat membantu anda untuk mengatasi masalah ini. Habitual sin ini hanya dapat dikalahkan dengan “virtue” (kebajikan). Karena kebajikan adalah “the habit of the soul to perform good action with easiness and competent“, maka diperlukan suatu latihan untuk mengerjakan kebajikan tersebut secara berulang-ulang, sehingga dapat menjadi suatu kebiasaan/habit Pada saat yang bersamaan, kita dapat minta kepada Tuhan untuk memberikan kebajikan tertentu – dalam hal ini kebajikan kemurnian – , karena hanya Tuhan yang dapat masuk ke dalam jiwa kita dan memberikan rahmat yang diperlukan untuk mendapatkan kebajikan yang kita minta.

Semoga jawaban singkat di atas dapat membantu anda. Jangan berputus asa, karena sesungguhnya kesadaran akan kesalahan itu berasal dari  karya Roh Kudus yang dapat membawa seseorang kepada pertobatan dan kerendahan hati. Mari kita bersama-sama berjuang untuk hidup kudus, dengan mengandalkan rahmat Allah yang berlimpah. Dan percayalah senantiasa pada belas kasihan Allah.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org

Tanggapan tentang kesalahpahaman Protestan (bagian ke-2)

4

[Dari Admin Katolisitas: berikut ini adalah lanjutan bagian ke-2 pertanyaan dari Simon, yang menyampaikan point-point kesalahpahaman saudara/i kita yang dari gereja Protestan. Berikut ini kami membagi beberapa point, agar pembahasan dapat menjadi lebih terarah dan sistematis.]

Pertanyaan (lanjutan):

[A. Apakah uskup Roma/ Paus timbul karena perintah Kaisar Valentinian?]

5) Karena kota Roma adalah ibukota kekaisaran Romawi, maka bishop (=uskup) Roma makin lama makin kuat kedudukannya, dan pada tahun 445 M, Kaisar Valentinian memutuskan bahwa semua bishop harus tunduk pada bishop Roma. Ini mengarah pada timbulnya Paus dan muncul-nya Roma sebagai pusat Roma Katolik.

[B. Kristen Protestan bukanlah agama/ ajaran baru yang memberontak dari Roma Katolik, tetapi ajaran yang kembali kepada kekristenan yang lama/ mula-mula?]

6) Penyelewengan yang menjadi-jadi pada abad 16, akhirnya menimbulkan Reformasi oleh Martin Luther (1517) dan lalu disusul oleh Zwingli, John Calvin, dan John Knox.
Reformasi ini bertujuan untuk memanggil orang-orang untuk ‘kembali pada Alkitab’ (back to the bible).
Dari istilah / semboyan ‘kembali pada Alkitab’ ini sebetulnya sudah jelas bahwa orang kristen yang mempunyai jiwa reformasi, harus menganggap Roma Katolik sebagai kristen yang sudah menyimpang. Kalau tidak menyimpang, mengapa harus kembali pada Alkitab?
Kesimpulan:
Kristen Protestan bukanlah agama / ajaran baru yang memberontak dari Roma Katolik, tetapi ajaran yang kembali kepada kekristenan yang lama / mula-mula, yang sudah ada sejak abad pertama!
Seperti yang dikatakan oleh Loraine Boettner:
“Roman Catholics often attempts to represent Protestantism as something comparatively new, as having originated with Martin Luther and John Calvin in the sixteenth century. … Protestantism as it emerged in the 16th century was not the beginning of something new, but a return to Bible Christianity and to the simplicity of the Apostolic church from which the Roman Church had long since departed” (= Orang Roma Katolik sering mencoba untuk menunjukkan / meng-gambarkan Protestanisme sebagai sesuatu yang baru, yang berasalmula dengan Martin Luther dan John Calvin di abad ke 16. … Protestanisme yang muncul di abad ke 16 bukanlah permulaan dari sesuatu yang baru, tetapi pengembalian pada kekristenan Alkitab dan pada kesederhanaan gereja rasuli dari mana gereja Roma sudah sejak lama menyimpang) – ‘Roman Catholicism’, hal 1.
Ia melanjutkan lagi:
“Protestantism, therefore, was not a new religion, but a return to the faith of the early church. It was Christianity cleaned up, with all the rubbish that had collected during the Middle Age thrown out” (= Karena itu, protestanisme bukanlah suatu agama baru, tetapi suatu pengembalian pada iman dari gereja mula-mula. Itu adalah kekristenan yang dibersihkan, dengan semua sampah / kotoran yang terkumpul selama abad pertengahan dibuang) – ‘Roman Catholicism’, hal 12.
Untuk lebih jelasnya, lihatlah gambar di bawah ini (hal 5).

[C. Umat Katolik dilarang membaca Alkitab?]

Kristen Protestan
Reformasi 1517
penyimpangan2 sehingga
menimbulkan Roma Katolik
Kristen mula2
III) Perbedaan dasar Katolik – Kristen Protestan:
Sebelum kita membahas perbedaan Roma Katolik dan Kristen Protestan, ada satu hal yang perlu diketahui. Loraine Boettener berkata bahwa ajaran dan praktek Roma Katolik di negara-negara dimana Katolik adalah golongan minoritas berbeda dengan Roma Katolik aslinya, atau dengan Roma Katolik di negara-negara dimana Roma Katolik merupakan golongan mayoritas, karena di negara-negara dimana mereka merupakan golongan minoritas mereka mengadakan kompromi-kompromi untuk menyesuaikan diri. Kalau kita mau melihat Roma Katolik yang sesungguhnya, kita harus melihatnya pada abad pertengahan, atau melihatnya sekarang di negara-negara seperti Spanyol, Portugal, Italia, Perancis, Irlandia Selatan dan Amerika Latin, dima-na mereka berkuasa dalam politik maupun gereja – ‘Roman Catholicism’, p 3.
Dengan mengingat satu hal itu, sekarang mari kita melihat perbedaan dasar antara Roma Katolik dengan Kristen Protestan.
A) Pandangan tentang Kitab Suci:
Secara teoritis, baik Roma Katolik maupun Kristen Protestan, mempercayai bahwa Alkitab adalah Firman Allah, tetapi:
1) Dalam Kristen Protestan:
a) Alkitab adalah untuk semua orang. Orang kristen harus memiliki dan membaca Alkitab dengan rajin dan tekun!
b) Hanya Alkitab yang merupakan dasar hidup, iman dan gereja.
2) Dalam Roma Katolik:
a) Alkitab bukan untuk orang awam (ini bertentangan dengan Maz 1:1-2 Kis 17:11).
Bahwa dalam Roma Katolik orang awam memang dilarang untuk membaca, bahkan untuk memiliki Alkitab terlihat dari:
• Keputusan Council of Valencia pada tahun 1229, yang berbunyi sebagai berikut:
“We prohibit also the permitting of the laity to have the books of the Old and New Testament, unless any one should wish, from a feeling of devotion, to have a psalter or breviary for divine service, or the hours of the blessed Mary. But we strictly forbid them to have the above-mentioned books in the vulgar tongue” (= Kami melarang juga pemberian ijin kepada orang awam untuk memiliki buku-buku Perjanjian Lama dan Baru, kecuali seseorang ingin, dari suatu perasaan untuk berbakti, untuk mempu-nyai kitab Mazmur atau buku doa Roma Katolik untuk kebaktian / pelayanan ilahi, atau saat-saat Maria yang terpuji. Tetapi kami dengan keras melarang mereka untuk memiliki buku-buku tersebut di atas dalam bahasa kasar) – Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 97.
Dari kata-kata ini jelas bahwa orang awam dilarang memiliki Alkitab. Yang boleh dimiliki hanyalah kitab Mazmur dan buku doa Roma Katolik, dan itupun tidak boleh dalam ‘vulgar tongue / bahasa kasar’, maksudnya buku-buku itu harus ada dalam bahasa Latin, yang jelas ada di luar jangkauan orang awam.
• Penegasan larangan itu oleh Council of Trent dengan memberi-kan keputusan sebagai berikut:
“In as much as it is manifest, from experience, that if the Holy Bible, translated into the vulgar tongue, be indis-criminately allowed to everyone, the temerity of men will cause more evil than good to arise from it; it is, on this point, reffered to the judgment of the bishops, or inquisitors, who may, by the advice of the priest or confessor, permit the reading of the Bible translated into the vulgar tongue by Catholic authors, to those persons whose faith and piety, they apprehend, will be augmented, and not injured by it; and this permission they must have in writing” [= Karena jelas / nyata, dari pengalaman, bahwa kalau Alkitab Kudus, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa kasar (bahasa biasa yang non Latin) diijinkan secara sembarangan kepada semua orang, kesembronoan manusia akan menyebab-kan lebih banyak kejahatan dari pada kebaikan yang muncul dari padanya; maka pada titik ini diserahkan pada penghakiman dari uskup, atau pejabat Roma Katolik yang meneliti penyesatan, yang oleh nasehat dari imam / pastor atau confessor (= pastor yang diberi otoritas untuk menerima pengakuan dosa), boleh mengijinkan pembacaan Alkitab yang diterjemahkan ke dalam bahasa kasar / biasa oleh pengarang Katolik, ke-pada orang-orang yang iman dan kesalehannya, menu-rut mereka, akan bertambah, dan bukannya dirusak oleh pembacaan itu; dan ijin itu harus mereka miliki secara tertulis] – Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 97.
• Kata-kata Liguori sebagai berikut:
“The Scriptures and books of Controversy may not be permitted in the vulgar tongue, as also they cannot be read without permission” (= Kitab Suci dan buku-buku Pertentangan / Perdebatan tidak boleh diijinkan dalam bahasa kasar / biasa, sebagaimana mereka juga tidak boleh dibaca tanpa ijin) – Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 98.
• Kata-kata Paus Clement XI (tahun 1713) dalam Bull Unigenitus, yang berbunyi:
“We strictly forbid them (the laity) to have the books of the Old and New Testament in the vulgar tongue” [= Kami dengan keras melarang mereka (orang awam) untuk mempunyai buku-buku Perjanjian Lama dan Baru dalam bahasa kasar / biasa] – Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 98.
Karena itu, kalau sekarang ada gereja Katolik / pastor yang menganjurkan jemaat biasa membaca Alkitab, sebetulnya itu adalah suatu penyimpangan dari ajaran Roma Katolik yang sesungguhnya!
Kalau ada orang yang berpendapat bahwa itu bukanlah suatu penyimpangan dari Roma Katolik, tetapi memang Roma Kato-liknya sudah diperbaiki / berubah, maka perlu diingat bahwa dalam Roma Katolik, tradisi (termasuk keputusan Council dan Paus) disetingkatkan dengan Firman Tuhan, sehingga tidak bisa berubah / diperbaiki!

[D. Apakah Tradisi bertentangan dengan Alkitab? Apa yang termasuk sebagai Tradisi?]
Sebetulnya mengapa Roma Katolik melarang jemaatnya memiliki / membaca Alkitab? Loraine Boettner menjawab sebagai berikut:
“Rome simply does not like Bible study either for her priests or for her people, for they find too many things there that are not in accord with their church” [= Roma tidak menyenangi pemahaman Alkitab baik untuk imam / pastor maupun untuk jemaat, karena mereka men-dapatkan terlalu banyak hal di sana (dalam Alkitab) yang tidak cocok / sesuai dengan gereja mereka] – ‘Roman Catholicism’, hal 67-68.
b) Alkitab ditambahi dengan ‘tradisi’ (ini bertentangan dengan Ul 4:2 Wah 22:18-19).
1. Yang disebut ‘tradisi’ dalam ajaran Roma Katolik:
a. 12 kitab-kitab Apocrypha.
Ada 15 kitab Apocrypha yang ditambahkan kepada Alkitab oleh orang Roma Katolik, yaitu:
1. Kitab Esdras yang pertama.
2. Kitab Esdras yang kedua.
3. Tobit.
4. Yudit.
5. Tambahan-tambahan pada kitab Ester.
6. Kebijaksanaan Salomo.
7. Yesus bin Sirakh.
8. Barukh.
9. Surat dari nabi Yeremia.
10. Doa Azarya dan Lagu pujian ketiga pemuda.
11. Susana.
12. Bel dan naga.
13. Doa Manasye.
14. Kitab Makabe yang pertama.
15. Kitab Makabe yang kedua.
Catatan: Dalam Kitab Suci Roma Katolik bahasa Indonesia, no 10,11,12 dijadikan satu kitab, yaitu ‘Tambahan-tambahan pada kitab Daniel’.
Tetapi 3 dari kitab-kitab Apocrypha ini akhirnya ditolak oleh Council of Trent, yaitu no 1, no 2 dan no 13, dan karena itu akhirnya hanya 12 kitab Apocrypha yang dimasukkan ke dalam Alkitab mereka.
Loraine Boettner mengatakan bahwa:
• Kitab Esdras yang kedua ditolak karena di dalamnya ada penolakan terhadap doa untuk orang mati (2 Esdras 7:105) – Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 80.
• Sebetulnya ada lebih banyak lagi kitab-kitab Apocrypha yang lain, tetapi semua ini tidak pernah dimasukkan ke dalam Kitab Suci Roma Katolik. Mengapa? Loraine Boettner menjawab:
“The Council of Trent evidently selected only books that would help them in their controversy with the Reformers, and none of these gave promise of doing that” (= Council of Trent dengan jelas menyeleksi hanya buku-buku yang akan membantu mereka dalam pertentangan dengan para Reformator, dan tidak ada satupun dari buku-buku itu menjanjikan mereka untuk melakukan hal itu) – ‘Roman Catholicism’, hal 87.

[E. Kitab-kitab Deuterokanonika tidak diilhami Roh Kudus dan karenanya ‘sesat’?]
Ke 12 kitab-kitab Apocrypha ini tebalnya lebih kurang dua per tiga Perjanjian Baru. Ini juga disebut dengan istilah Deutrokanonika (= kanon yang kedua).
Kristen Protestan menolak kitab-kitab Apocrypha ini dengan alasan:
• Dalam Perjanjian Baru, ada kira-kira 260 kutipan langsung dari Perjanjian Lama, dan juga ada kira-kira 370 penggunaan bagian-bagian Perjanjian Lama yang tidak merupakan kutipan langsung. Ini menunjukkan bahwa baik Yesus maupun rasul-rasul mengakui otoritas Per-janjian Lama sebagai Firman Allah, dan mengguna-kannya sebagai dasar hidup, iman dan ajaran mereka. Tetapi baik Yesus maupun rasul-rasul tidak pernah me-ngutip dari kitab-kitab Apocrypha sebagai dasar ajaran mereka, padahal kitab-kitab Apocrypha itu sudah ada / beredar pada jaman Tuhan Yesus hidup di dunia ini. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui kitab-kitab Apocrypha itu sebagai Firman Allah!
• Penulis kitab-kitab Apocrypha itu sendiri tidak menunjukkan dirinya sebagai penulis Firman Tuhan yang diberi-kan Allah kepada manusia.
Untuk itu bandingkan Wah 22:18-19 yang terletak pada akhir Kitab Suci / Perjanjian Baru dengan 2Makabe 15:37b-38 yang terletak pada akhir dari kitab-kitab Deutrokanonika:
Wah 22:18-19 berbunyi:
“Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perka-taan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus seperti yang tertulis di dalam kitab ini”.
Dari Wah 22:18-19 ini terlihat dengan jelas otoritas dari tulisan rasul Yohanes ini sebagai Firman Tuhan yang tidak boleh ditambahi ataupun dikurangi.
Sekarang bandingkan dengan 2 Makabe 15:37b-38 yang berbunyi:
“Maka aku sendiripun mau mengakhiri kisah ini. Jika susunannya baik lagi tepat, maka itulah yang ku-kehendaki. Tetapi jika susunannya hanya sedang-sedang dan setengah-setengah saja, maka hanya itulah yang mungkin bagiku”.
Ini sama sekali tidak menunjukkan orang yang menuliskan Firman Tuhan di bawah pengilhaman Roh Kudus! Perhatikan kata-kata ‘kukehendaki’ dan ‘bagiku’. Bagai-mana kita bisa mempercayai otoritas tulisan seperti ini, sedangkan penulisnya sendiripun tidak yakin akan ke-benaran tulisannya!
Hal yang mirip dengan itu terdapat dalam Kata Pengantar dari ‘Yesus bin Sirakh’ yang mengandung kalimat sebagai berikut:
“Maka para pembaca dipersilakan mengadakan pembacaan karangan ini dengan rela hati dan penuh minat, lagi pula menaruh kemurahan hati, andaikata kami sendiri, meskipun sedapat-dapat-nya mengusahakan terjemahannya, kurang teliti menyalin beberapa kalimat”.
• Dalam kitab-kitab Apocrypha itu ada kesalahan-kesalahan, seperti:
o Yudit 1:1,7 menyebut Nebukadnezar sebagai raja Asyur di Niniwe, sedangkan kita tahu bahwa sebetul-nya Nebukadnezar adalah raja Babilonia (Daniel 4:4-6,30).
o Tobit 5:13 menceritakan tentang seorang malaikat yang bernama Rafael, yang berdusta dengan mem-perkenalkan dirinya sebagai ‘Azarya bin Ananias’, atau ‘Azarya anak laki-laki dari Ananias’.
Bagaimana mungkin kitab-kitab yang mengandung kesalahan seperti itu bisa disetingkatkan dengan Kitab Suci / Firman Tuhan?
• Dalam kitab-kitab Apocrypha ada doktrin sesat ’salvation by works’ (= keselamatan karena perbuatan baik), se-perti:
o Tobit 12:9 berbunyi: “Memang sedekah melepaskan dari maut dan menghapus setiap dosa”.
o Tobit 4:10 berbunyi: “Memang sedekah melepas-kan dari maut dan tidak membiarkan orang masuk ke dalam kegelapan”.
o Tobit 14:10-11a berbunyi: “Nak, ingatlah kepada apa yang telah diperbuat Nadab kepada bapa pengasuhnya, yaitu Ahikar. Bukankah Ahikar hidup-hidup diturunkan ke bagian bawah bumi? Tetapi Allah telah membalas kelaliman Nadab ke atas kepalanya sendiri. Ahikar keluar menuju cahaya, sedangkan Nadab turun ke kegelapan kekal, oleh karena ia telah berusaha membunuh Ahikar. Karena melakukan kebajikan maka Ahikar luput dari jerat maut yang dipasang ba-ginya oleh Nadab. Sedangkan Nadab jatuh ke dalam jerat maut yang juga membinasakan-nya. Makanya anak-anakku, camkanlah apa yang dihasilkan oleh sedekah dan apa yang dihasilkan oleh kelaliman”.
o Sirakh 3:3a berbunyi: “Barangsiapa menghormati bapanya memulihkan dosa”.
Doktrin sesat ini jelas bertentangan dengan Gal 2:16,21 dan Ef 2:8-9.

[F. Tulisan Bapa Gereja bertentangan? Paus Gregorius Agung mengatakan 1 Makabe tidak kanonikal?]
b. Tulisan bapa-bapa gereja.
Padahal tulisan-tulisan bapa-bapa gereja ini sering bertentangan satu sama lain, dan bahkan sering terjadi bahwa seorang bapa gereja berubah pandangan sehingga ia lalu menuliskan sesuatu yang bertentangan dengan tulisannya yang sebelumnya.
c. Keputusan sidang-sidang gereja (council).
d. Keputusan-keputusan Paus.
Lucunya, ada Paus-paus yang menentang kitab-kitab Apocrypha, dan dengan demikian mereka bertentangan dengan Council of Trent yang memasukkan kitab-kitab itu ke dalam Alkitab. Loraine Boettner mengutip kata-kata Dr. Harris yang dalam bukunya yang berjudul ‘Fundamental Protestant Doctrines’, I, hal 4, berkata:
“Pope Gregory the Great declared that First Maccabees, an Apocryphal book, is not canonical. Cardinal Zomenes, in his polygot Bible just before the Council of Trent, excluded the Apocrypha and his work was approved by pope Leo X. Could these popes have been mistaken or not? If they were correct, the decision of the Council of Trent was wrong. If they were wrong where is a pope’s infallibility as a teacher of doctrine?” (= Paus Gregory yang Agung menyatakan bahwa kitab Makabe yang pertama, suatu kitab Apocrypha, tidak termasuk kanon. Kardinal Zomenes, dalam Alkitab polygotnya persis sebelum Council of Trent, mengeluarkan / membuang Apocrypha dan pekerjaannya disetujui oleh Paus Leo X. Apakah Paus-paus ini bisa salah atau tidak? Jika mereka benar, keputusan Council of Trent salah. Jika mereka salah, dimana ketidakbersalahan Paus sebagai seorang pengajar doktrin?) – Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 83.

[Dari Admin Katolisitas: surat ini diedit/ dipenggal sampai di sini untuk bagian ke-2. Bagian selanjutnya dari surat ini akan dimasukkan dalam bagian ke-3, dan akan dijawab dalam tulisan bagian ke-3 tersebut]

Salam, Simon

Jawaban (lanjutan):

Shalom Simon,

Pertama-tama, sebelum saya melanjutkan, saya ingin menekankan di sini agar dalam diskusi /menanggapi pertanyaan dari sdr/i kita yang Protestan, kita harus menomorsatukan kasih. Maksud kami di sini adalah semata-mata menjelaskan apa yang kami ketahui menjadi ajaran Gereja Katolik dan berdasarkan fakta objektif yang terjadi, dan bukannya untuk ‘menjatuhkan’ apalagi menjelek-jelekkan. Setelah kita menyampaikan apa yang kita ketahui, sesungguhnya, terpulang kepada mereka yang bertanya, bagaimana mereka menyikapi keterangan kita.

[A. Apakah uskup Roma/ Paus timbul karena perintah Kaisar Valentinian?]

Dari fakta sejarah, kira ketahui bahwa keutamaan keuskupan Roma untuk memimpin Gereja telah dimulai sejak Gereja awal yaitu di abad pertama. Kita mengetahuinya dari tulisan St. Klemens, Paus penerus ketiga setelah Rasul Petrus, (tahun 96) kepada jemaat di Korintus. St. Klemens yang menyelesaikan konflik di antara jemaat di Korintus membuktikan kepemimpinan Gereja di bawah penerus Rasul Petrus sebagai uskup di Roma.[4] Kepemimpinan di bawah Paus di Roma ini diakui oleh Gereja Katolik sampai saat ini (Lumen Gentium 22).

Fakta bahwa daerah yurisdiksi keuskupan Roma meluas di abad ke 4, itu adalah sejalan dengan perkembangan dan penyebaran Gereja Katolik. Kaisar Valentinian (321-375) memang seorang Kristen, dan semasa pemerintahannya ia mengizinkan kebebasan beragama. Maka demi menjaga kedamaian dan keteraturan kehidupan beragama, ia menganjurkan agar orang Kristen mengikuti ajaran Bapa Paus di Roma, namun itu bukan berarti bahwa sebelumnya umat Kristen tidak mengakui kepemimpinan Paus di Roma.

[B. Kristen Protestan bukanlah agama/ ajaran baru yang memberontak dari Roma Katolik, tetapi ajaran yang kembali kepada kekristenan yang lama/ mula-mula?]

Untuk melihat hal ini sebaiknya kita melihat kepada fakta yang membandingkan Gereja jemaat awal dengan Gereja Kristen Protestan sekarang. Gereja awal memiliki sifat yang jelas, yaitu Gereja yang tidak terpecah-pecah (satu), walaupun tersebar secara universal di banyak kawasan, dan yang berdasarkan atas pengajaran dan iman para rasul. Pengajaran para rasul ini termasuk hal iman dan moral maupun tata cara ibadah.

Sesungguhnya, walaupun dikatakan bahwa prinsip pengajaran Protestan “Sola Fide (Iman saja) dan Sola Scriptura (Kitab Suci saja)” yang menyelamatkan berdasarkan Alkitab, kita dapat melihat bahwa sesungguhnya Alkitab secara keseluruhan tidak mengajarkan demikian. Walaupun benar dikatakan bahwa kita diselamatkan karena iman, namun iman di sini tidak pernah terlepas dari kasih, atau iman bekerja oleh kasih (lih. Gal 6:5). Maka memisahkan iman dari kasih sebenarnya tidak sesuai dengan pesan keseluruhan Alkitab. Paus Benediktus XVI dalam salah satu khotbahnya tentang Sola Fide, telah menjelaskan hal ini, silakan klik di sini untuk membacanya.

Sedangkan Sola Scriptura (Alkitab saja) tidak pernah diajarkan dalam Alkitab. Yang ada adalah ayat dari 2 Tim 3:16 yang menyebutkan “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” , namun tidak dikatakan bahwa hanya dengan berpegang kepada Alkitab saja, maka seseorang diselamatkan. Yang dikatakan malah “tiang penopang dan dasar kebenaran” adalah Gereja/ jemaat Allah yang hidup (lihat 1 Tim 3:15). Selanjutnya, fakta menunjukkan bahwa doktrin Sola Scriptura ini malah mengakibatkan perpecahan gereja, karena semua orang dapat mengklaim, memperoleh inspirasi Roh Kudus untuk menginterpretasikan Alkitab. Namun kenyataannya, mereka mengartikannya sesuai dengan pendapatnya sendiri-sendiri. Silakan klik untuk membaca lebih lanjut mengenai hal ini.

Selanjutnya, jika kita perhatikan dari hal ibadahnya, juga kita melihat dari bukti tulisan para Bapa Gereja di abad-abad awal, bahwa bentuk ibadah Gereja awal lebih menyerupai perayaan Ekaristi dalam Gereja Katolik; karena ibadah jemaat awal tidak hanya menitikberatkan pada pembacaan Alkitab dan khotbah, tetapi juga pada perayaan perjamuan kudus yang merupakan kenangan kurban Kristus. Silakan membaca mengenai hal ini dalam artikel ini, silakan klik

[C. Umat Katolik dilarang membaca Alkitab?]

Pernyataan ini sungguh keliru. Kutipan yang diambil di atas diambil, tanpa melihat konteks yang ada pada saat itu. Loraine Boettner, (1928), pernah mengutip, “Alkitab dilarang untuk orang awam, yang dimasukkan dalam buku Indeks Buku-buku Terlarang oleh Konsili Valencia thn 1229? (”Bible forbidden to laymen, placed on the Index of Forbidden Books by the Council of Valencia . . . [A.D.] 1229.“) Namun sebenarnya Boettner mengutip sumber yang keliru. Sebab, indeks Buku-buku Terlarang itu baru dikeluarkan tahun 1559, sehingga Konsili yang diadakan jauh sebelumnya, tidak mungkin memasukkan daftar buku-buku tersebut.

Hal kedua yang cukup penting adalah, kelihatannya sangat tidak mungkin diadakan Konsili Gereja Katolik di Valencia, Spanyol pada tahun itu. Seandainya ada, semestinya terjadi sebelum tahun 1229, sebab pada tahun itu, orang-orang Islam menguasai kota itu. Sangat sukar dibayangkan, jika orang-orang Muslim pada saat itu, yang menentang orang-orang Kristen di Spanyol, dapat memberikan izin bagi para Uskup Katolik untuk mengadakan Konsili di salah satu kota mereka. Pasukan Kristen baru dapat membebaskan Valencia setelah 9 tahun kemudian. Maka, besar kemungkinan, Konsili Valencia sebenarnya tidak pernah ada.

Tetapi ada juga kemungkinan lain, yaitu yang dimaksud adalah Konsili di Toulouse, Perancis yang diadakan pada tahun 1229, sebab Konsili tersebut membahas tentang Kitab Suci. Konsili tersebut diadakan sebagai reaksi terhadap heresi Albigensian/ Catharist, yang percaya pada dua Tuhan (Tuhan yang Baik dan yang Jahat) dan bahwa perkawinan adalah jahat/ buruk, sebab melibatkan tubuh/ matter, karena tubuh dianggap buruk. Heresi ini menyimpulkan bahwa perzinahan bukan dosa, dan bahkan menganjurkan bunuh diri di antara anggota-anggotanya. Untuk menyebarluaskan paham ini, maka para Albigensian menyebarluaskan terjemahan Alkitab yang tidak akurat dalam bahasa setempat (menyerupai terjemahan Alkitab dari Saksi Yehova sekarang ini). Seandainya terjemahan itu akurat, tentu Gereja Katolik tidak berkeberatan. Sebab terjemahan dalam bahasa lokal memang sudah ada sejak lama. Tetapi apa yang dikeluarkan dari Albigensian ini adalah Alkitab yang sudah ’salah terjemahan’. Maka para Uskup di Toulouse melarang para awam untuk membacanya, sebab isinya keliru. Ini adalah langkah untuk melindungi umat, sama seperti para pendeta Protestan sekarang ini juga yang melarang jemaatnya membaca Injil Saksi Yehova.

Selanjutnya, mari kita lihat sikap resmi yang dikatakan oleh Gereja Katolik, yaitu pernyataan Paus Klemens XI melalui Bull Unigenitus 1713, yang memuat 101 proposisi menanggapi ajaran sesat Quesnel yang mengajarkan faham Jensen. Silakan membaca di link ini tentang keseluruhan Bull tersebut –silakan klik Pada dasarnya, 101 proposisi itu ditolak oleh Paus Klemens XI karena mengandung unsur ajaran yang keliru/ salah, yaitu:1) Ajaran bahwa dalam keadaan berdosa, manusia sudah tidak punya kehendak bebas lagi; padahal menurut Gereja Katolik, walaupun manusia telah jatuh dalam dosa asal, selanjutnya manusia masih mempunyai kehendak bebas. 2) Ide bahwa rahmat Allah itu sifatnya mutlak dan tak bisa ditolak, padahal menurut Gereja Katolik, manusia dengan kehendak bebasnya dapat menolak atau tidak bekerjasama dengan rahmat Allah; 3) Ide bahwa Tuhan tidak memberi rahmat yang cukup pada semua orang, seolah sekelompok orang ditentukan ke surga, sebagian yang lain ke neraka; padahal menurut Gereja Katolik, Tuhan memberikan rahmat yang cukup kepada semua orang, namun tergantung juga pada kerjasama orang itu mau menanggapi atau tidak, 4) Penolakan bahwa manusia dapat berbuat sesuatu yang baik tanpa rahmat Tuhan, padahal menurut Gereja Katolik seseorang dapat tetap berbuat baik, tanpa rahmat Tuhan, namun perbuatan baik itu tidak mempunyai nilai supernatural 5) kurang adanya pembedaan antara kodrat (natural) dan ke-ilahian (supernatural); padahal Gereja Katolik membedakan keduanya dan 6) praktek religius yang ketat/ keras di luar batas yang diajarkan oleh Gereja.

Jadi dari jawaban di atas, menurut saya jelaslah sudah duduk masalahnya. Gereja Katolik tidak melarang umatnya membaca Alkitab, hanya memang pada suatu periode tertentu sekitar abad ke 13, yang terasa akibatnya sampai pada abad 15/16, memang terjadi kondisi khusus sehubungan dengan adanya penyelewengan teks Kitab Suci yang dilakukan oleh sekte- sekte sesat (seperti Albigensian dan Jensenism) pada saat itu. Maka larangan untuk membaca Alkitab pada saat itu merupakan tindakan gembala untuk menyelamatkan kawanan dombanya. Dan jika kita melihat, ungkapan yang dikeluarkan oleh Konsili Trente adalah merupakan anjuran dengan maksud agar penerjemahan Alkitab dilakukan dengan hati-hati, dan jangan sampai malah melemahkan iman umat, karena salah terjemahan. Maka kata yang digunakan adalah ‘if’/ ‘kalau’.

In as much as it is manifest, from experience, that if the Holy Bible, translated into the vulgar tongue, be indiscriminately allowed to everyone, the temerity of men will cause more evil than good to arise from it; it is, on this point, refered to the judgment of the bishops, or inquisitors, who may, by the advice of the priest or confessor, permit the reading of the Bible translated into the vulgar tongue by Catholic authors, to those persons whose faith and piety, they apprehend, will be augmented, and not injured by it; and this permission they must have in writing

Para uskup dihimbau untuk menggunakan kebijaksanaan mereka dalam hal menerjemahkan Alkitab ke bahasa lokal/ setempat, agar jangan sampai di-salah terjemahkan, dan karenanya untuk menerjemahkan harus ada ijin tertulis dari pihak otoritas Gereja. Namun dalam kondisi sudah dijamin bahwa terjemahannya sesuai maka Gereja Katolik mengharuskan umat membaca Kitab Suci, seperti yang diajarkan dalam Konsili Vatikan ke II Dei Verbum 25, yang mengatakan,

“Begitu pula Konsili suci mendesak dengan sangat dan istimewa semua orang beriman, terutama para religius, supaya dengan sering kali membaca kitab-kitab ilahi memperoleh “pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (Flp3:8). “Sebab tidak mengenal Alkitab berarti tidak mengenal Kristus”[39]. Maka hendaklah mereka dengan suka hati menghadapi nas yang suci sendiri, entah melalui liturgi suci yang sarat dengan sabda-sabda ilahi, entah melalui bacaan yang saleh, entah melalui lembaga-lembaga yang cocok untuk itu serta bantuan-bantuan lain, yang berkat persetujuan dan usaha para Gembala Gereja dewasa ini tersebar dimana-mana dengan amat baik….”

Mari kita melihat segala sesuatunya dengan kacamata yang objektif, melihat fakta sejarah, namun juga dengan kepercayaan penuh kepada apa yang diputuskan oleh para pemimpin Gereja. Jangan lupa, bahwa Roh Kudus yang telah diutus oleh Yesus untuk melindungi Gereja-Nya adalah Roh Kudus yang sama yang menuntun para pemimpin Gereja yang adalah penerus para Rasul.

[D. Apakah Tradisi bertentangan dengan Alkitab? Apa yang termasuk sebagai Tradisi?]

Karena bersumber dari Allah yang sama, maka Tradisi tidak akan mungkin bertentangan dengan Alkitab.Tradisi itu ada, karena kita ketahui bahwa tidak semua yang Kristus lakukan ter-rekam dalam Kitab Suci, seperti yang dikatakan oleh Rasul Yohanes (lih. Yoh 21:25). Kita ketahui dari Alkitab bahwa para rasul mengajarkan agar para penerus mereka mengajarkan apa yang telah mereka dengar (2 Tim 2:2) dan bahwa pengajaran Kristiani diteruskan baik melalui tulisan maupun perkataan (lih. 2 Tes 2:15; 1 Kor 11:2). Maka di sinilah kita melihat bahwa Tradisi Suci, yang bersumber dari pengajaran yang tidak tertulis dari para rasul mempunyai bobot yang sama dengan pengajaran yang tertulis dalam surat, yang nantinya menjadi bagian dari Alkitab.

Berikut ini adalah Tradisi Suci:

Dei Verbum 8, “Maka para Rasul, seraya meneruskan apa yang telah mereka terima sendiri, mengingatkan kaum beriman, supaya mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran warisan, yang telah mereka terima entah secara lisan entah secara tertulis (lih. 2Tes2:15), dan supaya mereka berjuang untuk membela iman yang sekali untuk selamanya diteruskan kepada mereka (lih. Yud 3) Adapun apa yang telah diteruskan oleh para Rasul mencakup segala sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya…..”

Dei Verbum 9, “Jadi Tradisi suci dan Kitab suci berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama.  Sebab Kitab suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi. Sedangkan oleh Tradisi suci sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia…”

Dei Verbum 10, “Tradisi suci dan Kitab suci merupakan satu perbendaharaan keramat sabda Allah yang dipercayakan kepada gereja.”

Jadi walaupun Tradisi Suci diperoleh dari pembicaraan lisan antara Yesus dan para murid-Nya, namun ketika diteruskan kepada generasi berikutnya, pengajaran tersebut dituliskan. Jadi bukan berarti selama-lamanya Tradisi Suci hanya pengajaran dari mulut ke mulut, sehingga tidak bisa dijamin kebenarannya. Selanjutnya dalam sejarah Gereja dikenal Tradisi Suci dan tradisi disipliner/ konkret, yaitu:

KGK 83        Tradisi yang kita bicarakan di sini, berasal dari para Rasul, yang meneruskan apa yang mereka ambil dari ajaran dan contoh Yesus dan yang mereka dengar dari Roh Kudus. Generasi Kristen yang pertama ini belum mempunyai Perjanjian Baru yang tertulis, dan Perjanjian Baru itu sendiri memberi kesaksian tentang proses tradisi yang hidup itu. Tradisi-tradisi teologis, disipliner, liturgis atau religius, yang dalam gelindingan waktu terjadi di Gereja-gereja setempat, bersifat lain. Mereka merupakan ungkapan-ungkapan Tradisi besar yang disesuaikan dengan tempat dan zaman yang berbeda-beda. Dalam terang Tradisi utama dan di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, tradisi-tradisi konkret itu dapat dipertahankan, diubah, atau juga dihapus.

Maka dari KGK 83 kita memiliki 2 pengertian Tradisi, yaitu

1) Tradisi Suci (dengan huruf besar), yang berasal dari Para Rasul yang berasal dari Yesus sendiri. Tradisi Suci ini, karena berasal dari Yesus, maka tidak dapat diubah.
2) Tradisi konkret, berupa tradisi (huruf kecil) teologis, dislipliner, liturgis yang berlaku dalam Gereja sehubungan dengan keadaan setempat. Tradisi konkret ini, dapat dipertahankan, diubah, atau dihapus, sesuai dengan bimbingan Wewenang Mengajar (Magisterium)

Maka menurut pengertian di atas, maka Tradisi Suci tidak sama dengan Kitab Deuterokanonika (yang disebut oleh gereja Protestan sebagai Apocrypha). Kitab Deuterokanonika adalah bagian dari Alkitab Perjanjian Lama, yang telah ditetapkan di dalam kanon Alkitab sejak Konsili Hippo 393 dan Carthage 397. Melalui Konsili tersebut, yang kemudian dikukuhkan dalam kosili-konsili berikutnya, kitab Deuterokanonika yang termasuk dalam PL ditetapkan sebagai kitab-kitab yang di-ilhami oleh Roh Kudus. Maka yang ditetapkan oleh Konsili ini sendiri adalah Tradisi Suci, yaitu kanon Kitab Suci, sedangkan kitab Deuterokanonika-nya itu sendiri, setelah ditetapkan dalam kanon, menjadi bagian dari Kitab Suci.

Kitab Deuterokanonika yang dibicarakan di sini adalah 7 kitab  yaitu Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Yudit, Barukh, Tobit, 1 dan 2 Makabe, beserta tambahan Kitab Daniel dan Esther yang tidak diakui oleh gereja Protestan.
Silakan membaca lebih lanjut mengenai hal kanon Kitab Suci ini di artikel ini, silakan klik

Penting juga diketahui di sini bahwa pada saat Konsili Hippo dan Carthage menetapkan kanon Kitab Suci di abad ke-4 tersebut, kitab Deuterokanonika sudah termasuk di dalamnya. Jadi bukannya kitab tersebut baru ‘ditambahkan’ oleh Gereja Katolik pada Konsili Trente (1564). Gereja Protestan yang mencoret kitab-kitab tersebut dari Alkitab, karena berpandangan bahwa kitab-kitab tersebut tidak asli (karena tidak ditemukan teks Ibrani-nya), dan dengan keinginan mengikuti kanon umat Yahudi tentang Perjanjian Lama. Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa umat Yahudi tidak memiliki otoritas yang menentukan kanon kitab suci mereka, dan terdapat pandangan yang berbeda-beda (Saduki dan Farisi tidak sepaham, dll), dari abad awal sampai sekarang. Sebenarnya, adalah suatu ironi, untuk lebih mempercayai kanon Yahudi hasil dari suatu pertemuan di Jamnia, yang tidak memiliki otoritas bahkan di kalangan Yahudi sendiri- daripada mempercayai otoritas Gereja, dalam hal ini Gereja Katolik. Terlebih lagi, konsili para rabi di Jamnia yang dijadikan patokan itu adalah konsili yang menolak Perjanjian Baru, sebab mereka tidak percaya kepada Kristus.

[E. Kitab-kitab Deuterokanonika tidak diilhami Roh Kudus dan karenanya ‘sesat’?]

Pertama- tama, tidak benar bahwa ajaran dalam kitab Deuterokanonika tidak dikutip dalam Perjanjian Baru. Silakan klik di link ini untuk melihat bahwa ada banyak ayat dalam Perjanjian Baru yang mengambil dasar dari pengajaran yang dituliskan dalam Kitab Deuterokanonika. Ada sedikitnya 87 ayat dari Kitab Deuterokanonika yang mempunyai kemiripan dengan ayat-ayat dari Perjanjian Baru.

Berikut ini adalah tanggapan akan pandangan yang mengatakan bahwa terdapat ketidakcocokan/ kesesatan dalam kitab Deuterokanonika:

1) Ketidakcocokan tentang nama raja Nebukadnezzar dalam Kitab Yudit. Hal ini sudah pernah saya jawab panjang lebar di sini, silakan klik, yang dapat menjelaskan bagaimana menjelaskan kitab Yudit secara historis.

2) Penyamaran malaikat Rafael dalam diri Azarya bin Ananias, dikatakan sebagai kesalahan/ kebohongan sehingga tidak dapat dikatakan sebagai firman Tuhan. Namun dalam kitab lain dalam Perjanjian Lama, kita mengenal kisah ‘penyamaran’ malaikat dalam rupa manusia, misalnya, dalam kedua malaikat yang diutus untuk menyelamatkan Lot dari kehancuran kota Sodom (Kej 19:1-29), pergumulan Yakub (Kej 32:22–32), dan penyamaran malaikat dalam bentuk manusia juga kita lihat dalam kisah kebangkitan Yesus (lih. Mrk 16:5-7; Luk 24:5-7). Hanya memang mereka tidak memperkenalkan diri dan meyebutkan nama mereka. Namun mengenai hal nama, sebenarnya malaikat Rafael tidak berbohong, sebab ia menyebutkan namanya sesuai dengan tugas yang diembannya saat diutus Tuhan pada saat itu, yaitu menjadi “Azarya”, yang dalam bahasa Ibrani artinya: pertolongan Tuhan, dan “Ananias”, yang artinya rahmat Tuhan. Kita ketahui bahwa malaikat Rafael diutus oleh Tuhan untuk menolong keluarga Tobit, yaitu membantu mengusir Iblis pada Sara yang akhirnya menikah dengan Tobia, dan kemudian menyembuhkan Tobit dari kebutaan. Nama Azarya ini digunakan juga oleh malaikat yang diutus Tuhan untuk menyelamatkan Sadrakh, Mesakh dan Abednego dari hukuman di perapian yang dipasang atas perintah Raja Nebukadnezar (lih Dan 3, Tamb Dan 3:24-50)

3) Dikatakan bahwa di kitab Deuterokanonika terdapat doktrin sesat ’salvation by works’ (= keselamatan karena perbuatan baik), karena dalam kitab Tobit diajarkan pentingnya arti sedekah dan perbuatan baik, yang dikatakan sebagai “melepaskan dari maut dan menghapus setiap dosa” (Tobit 12:9) dan “tidak membiarkan orang masuk dalam kegelapan.” (Tobit 4:10). Lalu Tobit 14:10-11a membandingkan akibat sedekah dan akibat perbuatan kelaliman. Selanjutnya dalam Sirakh 3:3a,  “Barangsiapa menghormati bapanya memulihkan dosa”.
Dikatakan bahwa ayat-ayat ini bertentangan dengan Gal 2:16,21 yang mengatakan bahwa seseorang “dibenarkan bukan oleh hukum Taurat tetapi hanya oleh iman dalam Kristus Yesus”, dan Ef 2:8-9, yang mengatakan, “karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman.”

Perlu kita ketahui bersama, bahwa Gereja Katolik juga tidak mengatakan bahwa seseorang diselamatkan karena hukum Taurat. Maka Gereja Katolik juga meng-aminkan Gal 2:16,21 dan Ef 2:8-9. Namun, ‘iman di dalam Yesus Kristus’ di  sini tidak untuk dipertentangkan dengan kasih, atau “iman saja, kasih tidak perlu” bagi seseorang untuk diselamatkan. Kenapa? Karena di seluruh Alkitab, iman tidak dipisahkan dengan kasih. Maka kita memang diselamatkan hanya karena iman di dalam Kristus, namun iman ini tidak terlepas dari kasih. Apa yang tertulis dalam kitab Tobit, adalah pengajaran yang baik (dan tidak sesat), karena merupakan persiapan akan ajaran Injil yang digenapi di dalam Kristus.

Berikut ini beberapa kutipan yang mungkin dapat kita renungkan, bahwa perbuatan kasih tidak terlepas dari iman:

1) Kasih menutupi/ menghapus dosa, tidak hanya dikatakan dalam kitab Tobit, tetapi juga pada ayat Alkitab yang lain, contohnya:
Ams 10:12, “Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran.” Pelanggaran di sini juga adalah kata lain dari dosa.
1Pet 4:8, “Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.”

2) Kasih kepada orang tua memulihkan dosa (Sirakh 3:3a), juga tidak bertentangan dengan pesan keseluruhan Alkitab. Sebab kita ketahui bahwa perintah Tuhan Yesus yang utama adalah kasihilah Tuhan dan sesama (Mat 22:34-40, Mrk 12:28-34, Luk 20:25-28) dan ini merangkum hukum sepuluh perintah Allah. Hukum ke 1-3 pada sepuluh perintah Allah ditujukan untuk mengasihi Tuhan, dan hukum ke 4-10, adalah untuk mengasihi sesama. Dan di antara kasih kepada sesama itu, kasih kepada orang tua mengambil tempat utama (perintah ke- 4, Kel  20:12). Kalau kasih kepada sesama menutupi/ menghapus/ memulihkan dosa, maka kasih kepada orang tua pastilah yang paling utama memulihkan dosa, sebab dalam tingkatan mengasihi sesama, kasih/hormat kepada orang tua mengambil urutan pertama.

[F. Tulisan Bapa Gereja bertentangan? Paus Gregorius Agung mengatakan 1 Makabe tidak kanonikal?]

Kita memang dapat menemukan bahwa adakalanya Bapa Gereja mengajarkan hal yang tidak sesuai dengan pengajaran Magisterium Gereja Katolik. Untuk hal ini kita dapat menyimpulkan setidaknya  3 hal:

1) Bahwa para Bapa Gereja juga adalah manusia yang terbatas dalam menginterpretasikan Alkitab maupun Tradisi Suci. Adakalanya, seorang Bapa Gereja dapat mengajarkan ajaran yang belum tentu diterima oleh para Bapa Gereja yang lain atau oleh Magisterium. Contohnya di sini adalah misalnya Origen yang mengajarkan bahwa sebelum manusia diciptakan, jiwanya sudah ada terlebih dahulu (pre-existent soul)- ini keliru, dan St. Jerome yang mengatakan bahwa kitab Deuterokanonika tidak kanonikal- ini juga tidak sesuai dengan ajaran Magisterium. Keduanya adalah Bapa Gereja yang sangat baik dalam pengajaran banyak hal tetapi mereka keliru dalam pengajaran yang disebutkan di atas.

Namun demikian, jangan lupa, bahwa pada akhirnya, para Bapa Gereja menyerahkan keputusan kepada Magisterium Gereja, dan mereka dengan rendah hati tunduk dan taat kepada keputusan Magisterium Gereja. Contohnya, meskipun St. Jerome berpendapat bahwa kitab Yudit, Tobit, Makabe, Sirakh dan Kebijaksanaan tidak kanonikal, namun pada akhirnya, ia tunduk dan taat pada keputusan Magisterium Gereja, dan memasukkan kitab-kitab tersebut ke dalam Alkitab Latin Vulgate yang diterjemahkan olehnya.

2)  Maka, tidak berarti bahwa ajaran-ajaran dari Para Bapa Gereja tidak dapat diperhitungkan. Kita mengetahui bahwa ajaran Bapa Gereja sangat besar manfaatnya dalam mengajar kita, karena mereka menghubungkan kita dengan pengajaran para Rasul.

3) Pada akhirnya, otoritas yang menentukan ajaran yang benar ada dalam tangan Magisterium Gereja, yaitu pada saat Paus atau Paus dan para uskup dalam persekutuan dengannya menyatakan secara definitif ajaran perihal iman dan moral, baik seperti yang dinyatakan melalui 1) pengajaran ex- cathedra, 2) konsili-konsili baik yang lokal maupun universal yang menyangkut kepentingan Gereja universal, [point 1 dan 2 ini disebut Credenda] 3) pengajaran definitif lainnya dalam hal iman dan moral, [walaupun tidak ex-cathedra, namun jelas menunjukkan sifat ‘definitif’- dalam hal ini disebut sebagai Tenenda]. Gereja Katolik mengajarkan bahwa jika ketiga syarat ini dipenuhi, maka pengajaran itu bersifat infallible/ tidak dapat sesat, sehingga tidak dapat diubah. Sedangkan di luar kriteria di atas, suatu ajaran dapat diubah karena tidak infallible.

Maka jika seorang Paus tidak mengajarkan sesuatu secara definitif, maka tidak dapat dikatakan bahwa pengajarannya itu infallible. Dengan pengertian ini, maka kita mengetahui bahwa Paus St. Gregorius Agung tidak mengajarkan pengajaran magisterial pada saat ia menuliskan komentarnya tentang kitab Ayub, yang juga dikenal dengan sebutan Magna Moralia, yang dikutip oleh  Boettner sebagai ajaran yang mempertanyakan Kanonitas Kitab 1 Makabe. Ada dua fakta dalam hal ini:

1) Penulisan Magna Moralia dimulai tahun 578 ketika St. Gregorius tinggal di Konstantinopel (buku XIX), dan ia menyelesaikan bagian terakhir dari buku itu (buku XXXV) tahun 595. St. Gregorius baru menjadi Paus tahun 590-604,  dan buku Magna Moralia itu sudah mulai ditulis 12 tahun sebelum ia menjadi Paus. Maka hal ini tidak dapat dikatakan sebagai dokumen pengajaran magisterial. Karyanya hanya merupakan karya yang bersifat pribadi (private speculation), dan tidak memiliki otoritas selain sebagai karya tulis seorang peneliti Alkitab.

2) Mari kita melihat sekarang kepada tulisan St. Gregorius Agung dalam hal ini:

With reference to which particular we are not acting irregularly, if from the books, though not Canonical, yet brought out for the edification of the Church, we bring forth testimony. Thus Eleazar in the battle smote and brought down an Elephant, but fell under the very beast that he killed.” (1 Macc 6:46)

[Library of the Fathers of the Holy Catholic Church, (Oxford: Parker, 1845), Gregory the Great, Morals on the Book of Job, Volume II, Parts III and IV, Book XIX.34, p. 424]

Jadi St. Gregorius sesungguhnya juga menganggap bahwa ajaran dalam kitab 1 Makabe tetaplah berguna bagi ‘edification of the Church‘, yaitu bagi kepentingan pengajaran Gereja, meskipun ia mengakui adanya semacam keraguan tentang kanonitas kitab tersebut [dengan menggunakan kata ‘if’/ jika]. Maka sikap ini sangat berlainan dengan sikap Boettner yang mencoret kitab Deuterokanonika dan mengatakan bahwa kitab tersebut tidak diinspirasikan oleh Roh Kudus dan bahkan ‘sesat’ dan tidak berguna bagi Gereja.

3) Kenyataan lainnya adalah setelah St. Gregorius menjadi Paus, ia mendukung kanonitas kitab-kitab Deuterokanonika. Maka ketika ia menuliskan buku, Book of Pastoral Rule yang disusun setelah Magna Moralia, ia menuliskan 12 kali kutipan dari kitab Sirakh, 2 kali dari kitab Kebijaksanaan Salomo, 1 kali dari kitab Tobit. Ia menuliskan dengan kata “Seperti tertulis/ …it is written…” seperti istilah yang dipakainya pada saat ia mengutip kitab kanonikal lainnya dalam Alkitab.

Sekarang tentang persetujuan Paus Leo X terhadap tulisan Kardinal Zomenes. Saya rasa yang benar adalah bukan Kardinal Zomenes tetapi Kardinal Francisco Ximenez de Cisneros (1436-1517), seorang Kardinal yang hidup pada jaman kepemimpinan Paus Leo X (1513- 1521), yang terkenal karena mencetak polyglot Bible yaitu Alkitab dengan beberapa bahasa. Polyglot Bible yang dicetak oleh Kardinal Ximenez terkenal dengan sebutan “the Complutensis“. Menurut New Catholic Encyclopedia, Vol XI yang dikeluarkan oleh The Catholic University of America, p. 542, dikatakan:

The Complutensis was important for the fact that it was the first Catholic printing of the Hebrew, the Septuagint, and the NT Greek text.” (The Complutensis adalah penting karena merupakan cetakan [Alkitab] Katolik pertama dalam bahasa Ibrani, Septuagint dan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani).

Dan kita ketahui bersama bahwa Septuagint adalah Alkitab Perjanjian Lama termasuk kitab Deuterokanonika. [Bahkan sumber yang netral seperti Wikipedia juga mengatakan hal itu]. Memang dikatakan juga bahwa cetakan Perjanjian Baru tersebut sesungguhnya telah selesai sejak atahun 1514, namun cetakan seluruhnya baru selesai tahun 1522, setelah menunggu persetujuan Paus Leo X dan tambahan keseluruhan Perjanjian Lama (termasuk Deuterokanonika). Maka jika yang diambil adalah cetakan Perjanjian Baru saja, tentu tidak ada kitab Deuterokanonika-nya, sebab kitab Deuterokanonika termasuk dalam Perjanjian Lama yang ditambahkan kemudian. Namun keseluruhan polyglot itu memuat kitab Deuterokanonika, bersama dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Demikian yang dapat saya tuliskan untuk menanggapi point A s/d F tentang keberatan dari saudara/i kita yang dari gereja Protestan. Point-point berikutnya, akan saya sampaikan dalam tulisan yang terpisah.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Beda Baptis Protestan dengan Katolik, dan hal Perjamuan Kudus

26

Pertanyaan:

Dear Bp. Stefanus,

Terima kasih atas jawabannya.
Saya ingin bertanya beberapa hal :
1. Apa bedanya babtisan secara protestan dan secara katholik?
2. Salah apa tidak seorang protestan yang telah dibabtis secara protestan, akan tetapi menerima komuni pada saat penerimaan komuni.
3.Saya pernah membaca surat babtis istri saya, bahwa ia telah dibabtis dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Samakah Bapa, Putera dan Roh Kudus dengan Tuhan Yesus Kristus

Terima kasih, Daniel

Jawaban:

Shalom Daniel,

Berikut ini adalah yang dapat saya sampaikan untuk pertanyaan anda:
1. Gereja Katolik mengakui adalanya satu Pembaptisan, dan karenanya Gereja Katolik mengakui Pembaptisan dari gereja lain, asalkan dilakukan dengan forma/ rumusan yang benar, dan dengan intensi/ maksud yang sesuai dengan yang dilakukan oleh Gereja Katolik. Forma/rumusan yang benar adalah Pembaptisan dilakukan dalam nama Allah Bapa, dan Putera dan Roh Kudus.

Pastor Paroki mempunyai daftar nama-nama gereja Protestan yang Pembaptisannya diakui oleh Gereja Katolik, yaitu yang tergabung dalam PGI. Silakan klik di sini untuk mengetahui daftar nama gereja-gereja tersebut.  Jika gereja tempat istri anda termasuk di dalamnya, maka seandainya ia ingin menjadi Katolik, maka ia tidak perlu dibaptis ulang, hanya perlu dikukuhkan saja, setelah memperoleh pengajaran beberapa topik sesuai dengan ajaran Gereja Katolik seperti tentang sakramen-sakramen, Maria, Gereja, dst. Jika tidak, maka jika istri anda mau menjadi Katolik, maka ia harus mengikuti masa katekumen, dan kemudian dibaptis menurut ketentuan yang berlaku dalam Gereja Katolik.

Sesungguhnya makna umum Pembaptisan Katolik ada dua: yaitu penghapusan dosa (dosa asal dan dosa aktual/ pribadi) dan kebangkitan dan kehidupan baru bersama Yesus oleh kuasa Roh Kudus. Maka Pembaptisan bagi orang Katolik merupakan semacam ‘pintu gerbang’ untuk memperoleh rahmat Allah yang diberikan melalui sakramen- sakramen yang lain, yang memungkinkan umat beriman untuk mengambil bagian dalam kehidupan ilahi yang menghantar kita kepada hidup yang kekal. Silakan membaca lebih lanjut dalam artikel Sudahkan kita diselamatkan, silakan klik, memperoleh penjelasan akan makna Pembaptisan dalam Gereja Katolik.

2. Apakah seorang Protestan dapat menerima Komuni?

Saya pernah menjawabnya di sini, silakan klik.

Meskipun istri anda percaya akan kehadiran Yesus dalam Komuni kudus, namun komuni kudus juga dimaksudkan sebagai persatuan yang total antara kita dengan Tubuh Kristus, termasuk persatuan dengan Gereja Katolik sebagai Tubuh Mistik Kristus yang didirikan atas dasar iman Para Rasul. Di sinilah letak perbedaan pandangan, karena meskipun seseorang Protestan dapat mengakui bahwa Hosti itu adalah benar-benar Tubuh Kristus, namun ia tidak [belum] mengakui Gereja Katolik sebagai Tubuh Mistik Kristus di mana ia mau menggabungkan dirinya.

3. Bapa, Putera dan Roh Kudus adalah Allah Tritunggal MahaKudus (Trinitas). Tuhan Yesus Kristus adalah Pribadi kedua dalam Allah Tritunggal. Rumusan baptisan “dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus, yaitu Tuhan Yesus Kristus,” sesungguhnya bukan rumusan yang sah menurut Gereja Katolik.

Romo Wanta menulis,

Rumusan baptis yang sah katolik: …. (nama baptis, misalnya Theresia) aku membaptis engkau dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. (dengan materi air dan forma seperti itu) dilakukan dengan menuangkan air di dahi-kepala calon baptis atau ditenggelamkan sebanyak 3 kali.

Maka di luar rumusan di atas, dianggap tidak sah.

Demikian yang dapat saya tuliskan tentang pertanyaan anda. Semoga berguna.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati – www.katolisitas.org

Tanggapan terhadap 26 point kesalahpahaman Protestan (bagian ke-1)

14

[Dari Admin Katolisitas: Berikut ini adalah pertanyaan dari Simon, yang mengutip keberatan-keberatan dari saudara/i kita yang dari gereja Protestan, tentang Gereja Katolik. Karena panjangnya surat, kami membaginya menjadi beberapa bagian, dan akan kami jawab bertahap. Tulisan berikut adalah bagian pertama].

Pertanyaan:

Shalom Pak Stef dan Bu Ingrid,

Maaf, saya mau minta pendapat/penjelasan mengenai artikel yang saya baca di salah satu web site (terlampir).

ROMA KATOLIK I
SEJARAH SINGKAT dan PERBEDAAN DASAR
Pendahuluan:
Sebetulnya ini bukanlah pelajaran tentang perbandingan agama, tetapi lebih tepat disebut sebagai perbandingan aliran, karena Roma Katolik sebetulnya termasuk dalam ruang lingkup Kristen.
Ada 2 sikap extrim / salah menghadapi agama / aliran lain:
1) Sikap menyerang:
a) Penyerangan itu bisa ditujukan kepada orang yang beragama lain itu, dimana kita membenci atau memusuhi orang itu.
Ini salah karena sekalipun kita harus menentang ajaran yang salah / sesat, tetapi kita harus mengasihi orangnya, dan berusaha mengarahkan dia pada jalan yang benar.
b) Penyerangan itu bisa ditujukan kepada agama orang itu.
Pada umumnya ini juga salah, karena pada umumnya orang yang dise-rang agamanya akan menjadi marah, sehingga ia akan membuat ‘ben-teng’ pada waktu kita memberitakan Injil kepadanya.
Karena itu harap diperhatikan bahwa buku ini tujuannya bukan untuk dibagikan kepada orang Roma Katolik, tetapi hanya untuk kalangan Kristen sendiri.
2) Menganggap semua agama sama dan semua agama itu baik.
Ini juga merupakan sikap yang salah karena:
a) Setiap agama bukan saja berbeda dengan agama yang lain, tetapi bah-kan juga bertentangan.
Misalnya:
• Kristen (dan Katolik) mengakui Yesus sebagai Tuhan / Allah sendiri, tetapi agama-agama yang lain tidak.
• Kristen mengakui Yesus sebagai satu-satunya Juruselamat dan satu-satunya jalan keselamatan, tetapi agama-agama lain tidak.
• Kristen menekankan keselamatan hanya melalui iman kepada Yesus, bukan karena perbuatan baik, tetapi agama-agama lain (termasuk Katolik) menekankan perbuatan baik.
Jelas bahwa orang yang menganggap semua agama sama, jelas tidak mengerti apa-apa soal agama-agama yang ia anggap sama itu!
b) Sekalipun mungkin semua agama mengajarkan umatnya untuk berbuat baik, tetapi:
• konsep tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik berbeda antara agama yang satu dan agama yang lain.
• bagaimana kalau umat beragama itu gagal melakukan apa yang baik? Dengan kata lain, bagaimana kalau mereka berbuat dosa? Hanya dalam Kristen ada penebusan dosa melalui pengorbanan Yesus Kristus, Allah yang telah menjadi manusia, dan mati di salib untuk menebus dosa umat manusia! Tidak ada agama lain yang mem-punyai penebus dosa / pembayar hutang dosa!
Tujuan belajar perbandingan agama / aliran:
1. Bukan supaya kita menjadi sombong, atau supaya kita bisa mengejek atau menghina orang yang beragama / beraliran lain, atau supaya kita menang kalau berdebat dengan mereka!
2. Untuk menguatkan iman kita sendiri.
Dalam belajar tentang agama / aliran lain, kita harus mempelajari kesalahan mereka dan mempelajari bagaimana ajaran yang benar. Kalau kita hanya mengerti kesalahan mereka tetapi tidak mengerti bagaimana ajaran yang seharusnya / yang benar, maka ini tidak akan terlalu membawa manfaat bagi iman kita. Tetapi kalau kita juga mempelajari bagaimana ajaran yang benar / seharusnya, maka ini akan menguatkan iman kita.
3. Untuk membawa mereka kepada Kristus.
Selama kita masih beranggapan bahwa semua agama adalah sama / semua agama itu baik, atau selama kita tidak mengetahui kesalahan dari orang yang beragama lain itu, maka kita tidak akan memberitakan Injil kepada mereka. Tetapi kalau kita sudah tahu perbedaan dan kesalahannya, maka kita akan mempunyai motivasi untuk memberitakan Injil kepada mereka.
Khususnya dalam persoalan Roma Katolik, ada banyak orang kristen beranggapan bahwa Roma Katolik itu sama dengan Kristen, dan karena itu tidak perlu diinjili.
Jadi, kalau saudara sudah mempelajari buku ini dan mengerti kesalahan ajaran Roma Katolik, dan saudara tidak berusaha menginjili orang Ro-ma Katolik, maka ada sesuatu yang tidak beres dalam kerohanian sau-dara! Mungkin saudarapun adalah orang yang belum diselamatkan!
I) Istilah Roma Katolik:
1) Istilah ‘Katolik’ sebetulnya bukan monopoli golongan Roma Katolik, kare-na istilah ‘Katolik’ sebetulnya berarti ‘universal’ atau ‘umum / am’ [ban-dingkan dengan kalimat dalam 12 Pengakuan Iman Rasuli yang berbunyi ‘Gereja yang kudus dan am’, yang dalam terjemahan bahasa Inggrisnya berbunyi ‘The Holy Catholic Church’ (= Gereja Katolik yang kudus)].
2) Sebetulnya istilah ‘Roma Katolik’ merupakan suatu kontradiksi, karena kata ‘Roma’ menunjukkan tempat tertentu / lokal, sedangkan kata ‘Kato- lik’ berarti universal / umum / sedunia.
II) Sejarah singkat:
Ini perlu diketahui, karena banyak orang kristen yang mengira bahwa Roma Katolik ada lebih dulu dan kristen merupakan agama baru yang memberon-tak terhadap Roma Katolik. Karena itu, kalau orang kristen diserang oleh orang Katolik dengan cara ini, mereka tidak bisa menjawab.
1) Sejak jaman Perjanjian Baru orang-orang yang percaya kepada Kristus dan menggunakan Kitab Suci sebagai dasar hidup / kepercayaan, disebut Kristen (Kis 11:26).
Perhatikan bahwa Kristen sudah ada pada abad pertama, jauh sebelum Roma Katolik ada!
2) Mulai abad I orang-orang kristen dianiaya oleh orang-orang Yahudi yang menganggap Kristen sebagai suatu sekte yang sesat. Orang-orang kris-ten juga dianiaya oleh pihak pemerintah Romawi karena orang-orang kristen itu tidak mau menyembah kaisar.
Tetapi banyaknya penganiayaan ini justru menyebabkan kekristenan itu menjadi murni (tidak ada atau jarang ada orang kristen KTP), dan orang-orang kristen mempunyai iman yang kuat.
3) Pada awal abad ke 4, Constantine mulai tertarik pada kekristenan dan pada tahun 324 M, setelah ia menjadi kaisar atas seluruh wilayah ke-kaisaran Romawi, ia menjadikan kristen sebagai agama yang sah di seluruh wilayah kekaisaran Romawi.
4) Karena kristen dijadikan agama yang sah di seluruh kekaisaran Romawi, maka akibatnya banyak orang terpaksa masuk kristen, padahal hati mereka tidak kristen / tidak percaya kepada Yesus maupun Kitab Suci. Mereka ini lalu mulai membawa kekafiran mereka ke dalam gereja dan gereja yang kurang ketat dalam menjaga ajarannya, makin lama makin menyeleweng.
Contoh-contoh penyelewengan:
1. Doa untuk orang mati dan membuat tanda salib 300 M
2. Pemujaan terhadap malaikat dan orang suci 375 M
3. Penggunaan patung-patung 375 M
4. Permulaan pemuliaan Maria (istilah ‘bunda Allah’) 431 M
5. Doktrin tentang api pencucian 593 M
6. Penggunaan bahasa Latin dalam doa / kebaktian 600 M
7. Doa ditujukan kepada Maria, malaikat dan orang-orang suci 600 M
8. Gelar ‘Paus’ 607 M
9. Mencium kaki Paus 709 M
10. Penyembahan terhadap salib, patung dan relics 786 M
11. Penyembahan terhadap Santo Yusuf 890 M
12. Kanonisasi orang-orang suci yang mati 995 M
13. Hamba Tuhan tidak boleh menikah 1079 M
14. Doa Rosario 1090 M
15. Transubstantiation (doktrin tentang perjamuan kudus) 1215 M
16. Alkitab dilarang untuk orang awam 1229 M
17. Cawan Perjamuan Kudus dilarang untuk orang awam 1414 M
18. Api Pencucian ditetapkan sebagai dogma 1439 M
19. Doktrin tentang 7 sakramen diteguhkan 1439 M
20. Salam Maria 1508 M
21. Tradisi disetingkatkan dengan Alkitab 1545 M
22. Apocrypha dimasukkan ke dalam Kitab Suci 1546 M
23. Doktrin bahwa Maria lahir / dikandung dan hidup tanpa dosa 1854 M
24. Paus tidak bisa salah kata-katanya 1870 M
25. Kenaikan Maria ke surga 1950 M
26. Maria dinyatakan sebagai ibu gereja 1965 M
Catatan:
Ini hanya sekitar 60 % dari penyelewengan-penyelewengan yang ditulis-kan oleh Loraine Boettner dalam bukunya ‘Roman Catholicism’, pp 7-9.

[dari Katolisitas: ini merupakan akhir dari surat ini bagian yang pertama. Bagian selanjutnya akan dimasukkan dalam tulisan terpisah/ berikutnya]

Salam, Simon

Jawaban:

Shalom Simon,

Sebenarnya, saya prihatin sekali dengan apa yang dituliskan dalam tulisan yang anda kirimkan. Karena di sana tertulis dengan jelas apa yang pernah dikatakan oleh almarhum Archbishop Fulton Sheen, “… there are millions [people]…who hate what they wrongly believe to be the Catholic Church.” Jadi memang benar, ada banyak kesalahpahaman dari umat Kristen non-Katolik tentang pengajaran iman Katolik. Berikut ini memang hanya beberapa contohnya, dan semoga kita sebagai orang Katolik dapat menjawabnya, jika pertanyaan tersebut ditujukan kepada kita.

A. Tentang istilah “Katolik”

Memang benar sesungguhnya istilah “Katolik” bukan monopoli Gereja Katolik. Karena sesungguhnya “katolik” memiliki sedikirnya 2 arti.

1. Kata ‘Katolik’ berasal dari bahasa Yunani, katholikos, yang artinya “keseluruhan/ universal” atau “lengkap“. Jadi dalam hal ini kata katolik mempunyai dua arti: bahwa Gereja yang didirikan Yesus ini bukan hanya milik suku tertentu atau kelompok eksklusif yang terbatas; melainkan mencakup ‘keseluruhan‘ keluarga Tuhan yang ada di ‘seluruh dunia‘, yang merangkul semua, dari setiap suku, bangsa, kaum dan bahasa (Why 7:9).

2. Kata ‘katolik’ juga berarti bahwa Gereja tidak dapat memilih-milih doktrin yang tertentu asal cocok sesuai dengan selera/ pendapat kita, tetapi harus doktrin yang setia kepada ‘seluruh‘ kebenaran. Rasul Paulus mengatakan bahwa hakekatnya seorang rasul adalah untuk menjadi pengajar yang ‘katolik’ artinya yang “meneruskan firman-Nya (Allah) dengan sepenuhnya…. tiap-tiap orang kami nasihati  dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus.” (Kol 1:25, 28)

3. Maka, Gereja Kristus disebut sebagai katolik (= universal) sebab ia dikurniakan kepada segala bangsa, oleh karena Allah Bapa adalah pencipta segala bangsa. Sebelum naik ke surga, Yesus memberikan amanat agung agar para rasulNya pergi ke seluruh dunia untuk menjadikan semua bangsa murid-muridNya (Mat 28: 19-20). Sepanjang sejarah, Gereja Katolik menjalankan misi tersebut, yaitu menyebarkan Kabar Gembira pada semua bangsa, sebab Kristus menginginkan semua orang menjadi anggota keluarga-Nya yang universal (Gal 3:28). Kini Gereja Katolik ditemukan di semua negara di dunia dan masih terus mengirimkan para missionaris untuk mengabarkan Injil. Gereja Katolik yang beranggotakan bermacam bangsa dari berbagai budaya menggambarkan keluarga Kerajaan Allah yang tidak terbatas hanya pada negara atau suku bangsa yang tertentu.

4. Nama ‘Gereja Katolik’ pertama diresmikan pada awal abad ke-2 (tahun 107), ketika Santo Ignatius dari Antiokhia menjelaskan dalam suratnya kepada jemaat di Syrma 8, untuk menyatakan Gereja Katolik sebagai Gereja satu-satunya yang didirikan Yesus, untuk membedakan umat Kristen dari para heretik pada saat itu yang menolak bahwa Yesus adalah Allah yang sungguh-sungguh menjelma menjadi manusia, yaitu heresi/ bidaah Docetism dan Gnosticism. Dengan surat ini St. Ignatius mengajarkan tentang hirarki Gereja, imam, dan Ekaristi yang bertujuan untuk menunjukkan kesatuan Gereja dan kesetiaan Gereja kepada ajaran yang diajarkan oleh Kristus. Demikian penggalan kalimatnya,
“…Di mana uskup berada, maka di sana pula umat berada, sama seperti di mana ada Yesus Kristus, maka di sana juga ada Gereja Katolik.
Di sinilah baru Gereja Katolik memiliki arti yang kurang lebih sama dengan yang kita ketahui sekarang, bahwa Gereja Katolik adalah Gereja universal di bawah pimpinan para uskup yang mengajarkan doktrin yang lengkap, sesuai dengan yang diajarkan Kristus.

Maka, istilah ‘katolik’ bukan istilah baru, karena sudah dipakai sebelumnya pada zaman Santo Polycarpus (murid Rasul Yohanes) untuk menggambarkan iman Kristiani,[3] bahkan pada jaman para rasul. Kis 9:31 menuliskan asal mula kata Gereja Katolik (katholikos) yang berasal dari kata “Ekklesia Katha Holos“. Ayatnya berbunyi, “Selama beberapa waktu jemaat di seluruh Yudea, Galilea dan Samaria berada dalam keadaan damai. Jemaat itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kudus.” Di sini kata “Katha holos atau katholikos” dalam bahasa Indonesia adalah jemaat/ umat Seluruh/ Universal atau Gereja Katolik, sehingga kalau ingin diterjemahkan secara konsisten, maka Kis 9:31, bunyinya adalah, “Selama beberapa waktu Gereja Katolik di Yudea, Galilea, dan Samaria berada dalam keadaan damai. Gereja itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kudus.”

5. Jadi benar, bahwa pada Kis 11:26 memang murid-murid Yesus pertama disebut sebagai Kristen. Namun ada sebagian orang yang mengaku Kristen tersebut mengajarkan doktrin yang sesat, seperti Docetim dan Gnosticism. Maka istilah Gereja Katolik digunakan untuk menandai Gereja yang didirikan oleh Kristus, yang mengajarkan doktrin yang lengkap, bukan seperti pemahaman para heretik tersebut yang juga mendirikan gereja mereka sendiri.

6. Penambahan “Roma” pada Gereja Katolik, maksudnya hanya untuk menunjukkan di mana kepemimpinan Gereja berada. Sejak dari abad awal yaitu pada jaman St. Klemens (96 AD), diketahui bahwa St. Petrus sebagai Uskup di Roma memang telah terbukti memegang kepemimpinan untuk menyelesaikan konflik antar jemaat di Korintus. Pada kenyataannya, tanpa menyebut Roma sekalipun, istilah Gereja Katolik yang kita kenal sekarang mengacu pada Gereja yang didirikan oleh Kristus, yang kini dipimpin oleh seorang Paus di Roma.

7. Sekitar tahun 325 memang agama Kristen dinyatakan sebagai agama negara oleh Kaisar Konstantin, tetapi, tidak berarti bahwa sejak itu pengajaran diselewengkan dengan mudahnya. Kita harus kembali melihat dengan objektif bahwa walaupun ada peran besar yang dilakukan oleh Kaisar Konstantin, namun ia dan juga semua umat Kristen pada saat itu tidak dapat mengubah doktrin sesuai dengan kehendak mereka. Sebab yang berperan dalam pengajaran adalah para Uskup, pengganti para rasul. Kepada merekalah Yesus berjanji bahwa Ia akan menyertai sampai akhir jaman (Mat 28:20), dan penyertaan Yesus ini terutama terlihat dari campur tangan-Nya dalam menjaga kemurnian ajaran Gereja.

Prinsip yang sangat keliru yang dituliskan dalam buku Roman Catholicism itu adalah tuduhan secara umum bahwa ajaran yang diumumkan oleh Magisterium Gereja pada suatu tahun tertentu, diartikan sebagai ajaran yang ‘baru saja ditemukan’. Akibatnya, Loraine Boettner berfikir bahwa pengajaran Gereja Katolik itu seolah-olah hanya ajaran manusia, yang berupa ‘penyelewengan’ dari ajaran Alkitab. Betapa kelirunya pola pandang seperti ini! Padahal jika kita mempelajari sejarah dengan membaca tulisan para Bapa Gereja, kita akan mengetahui bahwa ajaran-ajaran yang ditetapkan dalam Konsili para Uskup atau doktrin yang diumumkan oleh Paus, semuanya berakar dari ayat-ayat Alkitab dan pengajaran para Rasul dan Bapa Gereja. Magisterium (dalam hal ini Paus dan para uskup dalam persekutuan dengannya) hanya menegaskan kembali secara definitif. Biasanya untuk maksud memperjelas, atau untuk menanggapi adanya heresi/ ajaran sesat yang ada pada saat itu, sehingga ajaran yang benar harus ditegaskan.

Maka misalnya doktrin Trinitas dan keilahian Yesus yang ditetapkan tahun 325 pada Konsili Nicea, bukan berarti bahwa sebelum itu tidak ada Trinitas, atau Yesus bukan Tuhan dan baru ‘dituhankan’ pada tahun 325. Yang benar adalah, sejak awal umat Kristen sudah percaya kepada Allah Trinitas dan ke- Tuhanan Yesus, namun karena pada masa itu ada bidaah Arianisme yang mempertanyakan ke-Tuhanan Yesus, maka, pada konsili Nicea, ajaran tentang Trinitas dan ke-Tuhanan Yesus ditegaskan, dan dengan demikian mengumumkan bahwa ajaran lain yang tidak sesuai dengan definisi tersebut sebagai ajaran yang salah.

B. Mengenai 26 point yang dikatakan sebagai ‘penyelewengan’

Mari kita membahasnya satu persatu, walaupun memang bisa menjadi panjang. Di bawah ini akan saya sertakan faktanya, dan biarlah kita dengan akal budi kita menilai, apakah ini layak disebut ‘penyelewengan’ seperti yang dituduhkan tersebut.

1. Doa untuk orang mati dan membuat tanda salib 300 M?

Jika yang dimaksud di sini adalah ajaran untuk mendoakan jiwa orang-orang yang sudah meninggal, maka ajaran itu yang berakar dari tradisi Yahudi, sesungguhnya telah diajarkan dalam kitab 2 Makabe yang ditulis sekitar tahun 100 BC/ sebelum Masehi.

Sedangkan Tanda Salib memang merupakan tradisi jemaat awal, yang dimulai sekitar abad ke-2 berdasarkan kesaksian para Bapa Gereja, terutama Tertullian. Tanda salib ini mengandung arti yang sangat mendalam yaitu 1) kemanunggalan dari Allah Trinitas, 2) salib yang merupakan tanda keselamatan dan kemenangan orang-orang Kristen, yang disebabkan oleh kemenangan Kristus atas dosa dan maut. Jadi tanda salib ini merupakan lambang yang berdasarkan Alkitab (lih. Yeh 9:4, Kel 17:9-14, Why 7:3, 9:4 dan 14:1), dan bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Yesus. Bahkan Rasul Paulus sendiri bermegah dengan pewartaan salib Kristus (Gal 6:14), sehingga wajarlah jika kita sebagai pengikut Kristus membawa makna tanda salib ini kemanapun kita berada.

2. Pemujaan terhadap malaikat dan orang suci 375 M?

Saya rasa ini perlu diluruskan, karena kita sebagai orang Katolik tidak pernah memuja malaikat dan orang suci. Kita hanya hanya menghormati mereka, dan memohon agar mereka mendoakan kita. Selanjutnya, silakan membaca tulisan ini silakan klik.

3. Penggunaan patung-patung 375 M?

Patung-patung hanya digunakan untuk alat bantu baik dalam pendidikan iman, maupun dalam ibadah di gereja, namun tidak untuk disembah sebagai Allah. Silakan membaca artikel ini silakan klik untuk melihat dasar-dasar Alkitab yang memperbolehkan dan bahkan menyuruh kita menggunakan patung, sebab Allah sendiri menghendakinya. Maka tidak benar bahwa patung/ gambar baru digunakan sejak tahun 375. Penggunaannya sudah sejak lama, namun tidak pernah disembah sebagai Allah.

4. Permulaan pemuliaan Maria (istilah ‘bunda Allah’) 431 M?

Dari Alkitab, kita mengetahui bahwa yang pertama kali memuliakan Maria adalah Allah sendiri dengan mengirimkan malaikat Gabriel untuk memberitakan kabar gembira, bahwa Maria akan mengandung Yesus sang Putera Allah. Silakan membaca tulisan ini (silakan klik) dan ini (silakan klik), dan kita akan mengetahui bahwa istilah “Bunda Allah” sesungguhnya bukan istilah yang baru diciptakan tahun 431. Istilah itu berdasarkan ayat-ayat Alkitab dan tulisan para Bapa Gereja. Maria adalah Bunda Allah karena ia melahirkan Yesus Sang Putera Allah. Karena Yesus Allah, maka ibunya disebut Bunda Allah.

5. Doktrin tentang api penyucian 593 M?

Doktrin Api Penyucian mengambil dasar dari Alkitab. Meskipun dalam Alkitab tidak tercantum secara eksplisit kata Api Penyucian, namun prinsip dasarnya diajarkan. (Ini seperti di dalam Alkitab tidak tertulis kata Trinitas, namun prinsipnya jelas disebutkan). Silakan membacanya dalam artikel ini (silakan klik). Maka tidak benar bahwa sebelum tahun 593 tidak ada doktrin Api Penyucian.

6. Penggunaan bahasa Latin dalam doa / kebaktian 600 M?

Menurut hemat saya penggunaan bahasa Latin dalam doa tidak dapat dikatakan sebagai penyelewengan. Karena pada waktu itu (abad ke 7) memang Latin merupakan bahasa yang umum dikenal, maka wajar saja jika bahasa Latin digunakan dalam doa/ ibadah.

7. Doa ditujukan kepada Maria, malaikat dan orang-orang suci 600 M?

Doa-doa orang Katolik ditujukan kepada Allah Bapa melalui Kristus. Maka, orang Katolik tidak berdoa kepada Maria seperti kepada Allah. Kalaupun ada doa yang diucapkan melibatkan nama Maria, seperti “Salam Maria”, itu adalah doa yang berdasarkan Alkitab, dan selanjutnya kita memohon agar Maria mendoakan kita, dan bukannya kita berdoa supaya Maria mengabulkan doa-doa kita. Yang mengabulkan doa-doa kita adalah Allah saja. Kita hanya memohon kepada para orang kudus itu untuk mendoakan kita. Silakan klik di sini untuk membaca lebih lanjut tentang prinsip pengajaran dalam hal doa para orang kudus itu.

8. Gelar ‘Paus’ 607 M?

Sebenarnya ‘Paus’ berasal dari kata ‘Papa’ (Latin) atau ‘Papas’ (Yunani) yang berarti bapa. Di Gereja Timur, istilah ini sudah biasa digunakan pada para imam. Namun di Gereja Barat istilah Paus ini digunakan untuk para uskup. Baru pada abad ke -4 istilah ini ditujukan secara khusus untuk Uskup di Roma/ The Roman Pontiff. Paus Siricius (398) menggunakan istilah ini (Ep vi, in PL, XIII, 1164). Istilah ini kemudian digunakan untuk Paus Symmachus (PL, LXIII, 69) dan akhirnya ditentukan oleh Paus Gregorius VII untuk dijadikan sebutan untuk para penerus Rasul Petrus. Silakan membaca lebih lanjut tentang “Paus” ini di link ini, silakan klik

9. Mencium kaki Paus 709 M?

Pertama-tama, perlu diketahui di sini bahwa ‘tradisi mencium’ kaki Paus atau mencium tangan Uskup bukan diartikan untuk menyembah mereka sebagai Tuhan, melainkan untuk menunjukkan ketaatan kepada mereka sebagai penerus Rasul Petrus, pemimpin Gereja. Rasul Petrus memang menolak untuk dicium kakinya oleh Kornelius, namun harus dilihat dalam konteksnya: Kornelius adalah seorang pagan, sehingga ciuman tersebut dapat diartikan seolah Rasul Petrus lebih dari sekedar manusia. Inilah yang ditolak oleh Petrus. Namun demikian, asalkan kita mencium Paus/ Uskup/ atau orang tua karena hormat, dan tidak menyembah mereka sebagai Allah, maka dapat saja itu dilakukan.

Di dalam Alkitab, kita membaca bahwa Yusuf sujud dengan mukanya sampai ke tanah untuk menghormati Yakub ayahnya (Kej 48:12), dan kita mengetahui hormat yang Yusuf berikan kepada ayahnya itu merupakan penghormatan kepada orang tua, dan tidak sama dengan penghormatankepada Tuhan. Demikianlah jika kita menghormati Paus, kita hanya menghormatinya sebagai bapa (Paus artinya bapa), yang merupakan wakil Kristus di dunia.

10. Penyembahan terhadap salib, patung dan relics 786 M?

Dengan prinsip yang sama, bahwa penciuman/ penghormatan tidak sama dengan penyembahan maka Gereja Katolik memang membedakan adanya Latria (penyembahan hanya untuk Allah), dan Dulia (penghormatan kepada para orang kudus dan icon/ patung/ gambar religius yang telah diberkati). Dulia di dalam Alkitab, misalnya adalah pada saat Yakub menghormati Esau sampai tujuh kali, atau Yusuf yang sampai rebah ke tanah menghormati ayahnya Yakub (lih. Kej 48:12)

Mengenai penciuman salib, sudah pernah dibahas di sini –silakan klik, dan mengenai relikwi, juga sudah pernah dibahas di sini- silakan klik.

11. Penyembahan terhadap Santo Yusuf 890 M?

Gereja Katolik tidak pernah menyembah Santo Yusuf. Namun Gereja Katolik menghormati St. Yusuf, sebab di Alkitab ditulis, bahwa ia adalah seorang yang tulus hati, ‘a just man‘ (Mat 1:19), yang dipilih oleh Allah untuk menjadi bapa angkat Yesus di dunia. Menurut tradisi, kita ketahui bahwa penghormatan kepada St. Yusuf sudah dimulai dalam Gereja Timur yaitu di gereja Coptic pada abad ke 4. Pada abad 9 dan 10 memang nama St. Yusuf termasuk dalam daftar nama-nama martir yang mendapatkan penghormatan oleh Gereja. Selanjutnya penghormatan kepada St. Yusuf ini memang diajarkan oleh beberapa orang kudus lainnya, seperti St. Bernardus, St. Thomas Aquinas, St. Gerturde, St. Brigitta, St. Vincent Ferrer dan St. Bernardinus dari Siena.

12. Kanonisasi orang-orang suci yang mati 995 M?

Pertama-tama harus dimengerti terlebih dahulu bahwa kanonisasi tidak menjadikan seseorang yang mati sebagai orang kudus. Yang benar adalah, melalui proses kanonisasi, orang yang sudah hidup kudus sebelum meninggalnya itu dinyatakan oleh Gereja sebagai orang kudus, setelah melalui proses penyelidikan yang panjang. Gunanya adalah supaya melalui teladan hidup mereka dalam hal “heroic charity“/ kasih yang tanpa batas, kita semua yang masih hidup dapat belajar untuk hidup kudus dan mengasihi Tuhan dan sesama.

Silakan klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang ajaran Gereja Katolik tenteng persekutuan orang kudus, dan tahap-tahanpan seseorang untuk dinyatakan oleh Gereja sebagai orang kudus. Tahapan yang harus dilewati begitu panjang, dan mensyaratkan mukjizat-mukjizat yang disertai dengan bukti yang nyata. Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa Paus berkuasa menjadikan seseorang menjadi orang kudus atau tidak.

13. Hamba Tuhan tidak boleh menikah 1079 M?

Alangkah baiknya jika saudara/i kita mau membaca artikel tentang Imamat Kudus dalam Gereja Katolik- silakan klik Sebab dalam artikel tersebut ditulis, bahwa Sakramen Imamat sebenarnya berakar dari Alkitab, bahkan dari jaman Perjanjian Lama, yang disempurnakan oleh Kristus Sang Imam Agung, yang selanjutnya mempercayakan karya imamatnya kepada para rasul, yang diteruskan oleh para pengganti mereka. Berikut ini sebagian dasar kehidupan selibat para imam:

  1. Para rasul telah menjalankan kaul kemurnian sebelum penderitaan Yesus, seperti yang dikemukakan oleh St. Petrus “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?” (Mat 19:27). Dan Yesus menjawab “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, atau istri (istri termasuk dalam terjemahan Douay Rheims, Vulgate and King James Bible) anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal (Mat 19:29). Meninggalkan segalanya dan istri disini, ditafsirkan sebagai tindakan untuk tidak melakukan lagi hubungan badan. Kalau kita mempelajari riwayat Mahatma Gandhi, beliau juga pada umur tertentu tidak menggunakan haknya sebagai suami demi untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Jadi, hal ini bukanlah sesuatu yang aneh.
  2. Di dalam Gereja perdana, karena terbatasnya kandidat yang belum menikah untuk diakon, imam, dan uskup yang, maka mereka dapat menikah sebelum ditahbiskan (lih. 1 Tim 3:1-4), namun mereka dituntut untuk mempraktekkan kaul kemurnian setelah ordinasi.
  3. Dokumen pertama yang menyatakan secara explisit tentang hal ini adalah Konsili Elvira di Spanyol tahun 306 dan Carthage tahun 390, serta dekrit dari Paus Siricius dan Innocent, sekitar akhir abad ke-4 dan awal abad ke-5. Semuanya itu menunjukkan bahwa hidup selibat setelah ordinasi bukanlah inovasi semata, namun merupakan hal yang telah dijalankan oleh para murid, bapa gereja, dan menjadi bagian dari tradisi. Paus Siricius mengatakan bahwa peraturan untuk hidup selibat dimaksudkan untuk memberikan segenap jiwa dan raga untuk Tuhan dalam kaul kesucian mulai dari hari ordinasi. Dan Konsili Carthage menekankan hidup selibat untuk meneruskan ajaran dan praktek hidup selibat seperti yang telah dijalankan oleh para rasul.
  4. Gereja Timur tidak lagi mempraktekan tradisi apostolik ini karena perubahan yang dilakukan di Konsili Trullo (sekitar abad ke-7), namun disebutkan bahwa hanya imam yang tidak menikah yang dapat ditahbiskan menjadi uskup, dan seorang iman tidak dapat menikah setelah dia ditahbiskan.
  5. Yang menjadi motif dari Konsili Trullo adalah begitu banyak penyimpangan, seperti simoni, penyimpangan kehidupan seksual para imam, atau masih menggunakan hubungan suami-istri walaupun sudah ditahbiskan. Menanggapi hal itu, Gereja Latin dibawah kepemimpinan St. Gregory VII mengambil jalan untuk menjalankan peraturan secara ketat, sebaliknya Gereja Timur mengambil cara untuk memperlunak peraturan tersebut. Cara yang sungguh patut dipuji dari St. Gregorius VII membuahkan hasil dengan meletakkan pondasi yang kokoh, sehingga membuat Gereja berkembang pesat di abad 12-13.
  6. Alasan yang utama dari kaul ketaatan adalah seorang imam secara sakramental mewakili Kristus sebagai mempelai pria dari Gereja, sehingga tidaklah pantas bahwa dia sendiri mempunyai istri bagi dirinya sendiri.
  7. Jalan yang ‘sulit’ yang ditempuh oleh Gereja Katolik menambahkan kepadanya “motive of credibility” sebagai Gereja yang sejati. Sebuah doktrin yang bertentangan dengan kecenderungan alami tidak dapat diharapkan untuk bertahan selama 2000 tahun tanpa bantuan dari Allah sendiri.

14. Doa Rosario 1090 M?

Doa Rosario merupakan doa yang berkembang dari jemaat awal. Dimulai dengan doa pendarasan ke 150 Mazmur, sampai 150 kali doa Bapa Kami, sampai akhirnya 150 pendarasan Salam Maria sambil merenungkan peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus (Peristiwa Gembira, Sedih, Mulia, Peristiwa Terang menyusul kemudian pada jaman Paus Yohanes Paulus). Doa- doa yang diucapkan dalam doa Rosario ini adalah Credo (syahadat), Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan. Semua dari doa-doa berdasarkan Alkitab, dan renungan kisah hidup Yesus juga berdasarkan Alkitab. Maka meskipun baru ditetapkan tahun sekianpun, doa rosario bukan merupakan inovasi tiba-tiba, namun sudah berakar dari tradisi Gereja.

Silakan klik di sini untuk membaca secara singkat asal usul doa rosario.

15. Transubstantiation (doktrin tentang perjamuan kudus) 1215 M?

Doktrin Transubstansiasi berakar dari apa yang diajarkan di Alkitab dan para Bapa Gereja. Silakan membaca artikel ini (silakan klik) untuk mengetahui bahwa perumusannya secara definitif yang baru ditetapkan pada abad pertengahan, tetapi prinsip pengajarannya sudah diajarkan oleh Yesus sendiri dalam Alkitab.

16. Alkitab dilarang untuk orang awam 1229 M?

Pernyataan ini keliru. Silakan membaca fakta yang sesungguhnya pada tulisan ini. Silakan klik.

17. Cawan Perjamuan Kudus dilarang untuk orang awam 1414 M?

Pernyataan ini juga keliru. Umat/ orang awam dapat mengambil bagian/ meminum dari cawan yang telah diberkati. Isi cawan itu yang telah diubah menjadi Darah Kristus, merupakan Ekaristi, sehingga setiap umat yang telah dibaptis dan telah menerima Komuni Pertama dapat mengambil bagian di dalamnya. Yang diatur di sini adalah siapa yang boleh membagikannya, yang memang terbatas pada para tertahbis. Namun pada masa sekarang, mengingat jumlah umat yang sangat banyak dalam Misa Kudus, maka Gereja mengizinkan para petugas prodiakon yang berfungsi sebagai ‘extra-ordinary ministers’ untuk membagikan Komuni, baik yang dalam rupa Hosti maupun anggur.

Kenyataan di tanah air bahwa dalam Ekaristi umumnya hanya diadakan dengan satu rupa, yaitu dalam rupa Hosti saja [tanpa anggur] bukan berarti cawan Perjamuan Kudus dilarang untuk awam. Dalam Ekaristi, Kristus hadir sepenuhnya baik dalam Hosti saja atau anggur saja, atau dalam rupa keduanya, sehingga jika diadakan Komuni dalam satu rupa, tidak mengubah maknanya. Silakan membaca lebih lanjut di sini, alasannya, mengapa demikian, silakan klik.

18. Api Penyucian ditetapkan sebagai dogma 1439 M?

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa praktek mendoakan jiwa orang-orang yang telah meninggal telah ada sejak Gereja awal. Silakan membaca artikel mengenai Api Penyucian (silakan klik) untuk mengetahui lebih lanjut. Praktek mendoakan orang meninggal tersebut mengambil dasar terutama dari 2 Mak 12:38-45, namun karena saudara/i kita yang Protestan tidak mengakui kitab tersebut, maka mereka menganggap prakek ini tidak berdasarkan Alkitab. Namun demikian, keberadaan Api Penyucian sendiri dijelaskan secara implisit dalam Alkitab, seperti yang telah dituliskan dalam artikel Api Penyucian tersebut. Selanjutnya, praktek mendoakan jiwa orang yang sudah meninggal terebut dapat kita ketahui dari tulisan-tulisan jemaat Gereja awal di Katakombe, pesan dari St. Monika kepada St. Agustinus untuk mendoakan jiwanya dalam Misa setelah ia meninggal, dan juga dalam karya tulis Bapa Gereja dan jemaat Kristen lainnya pada abad-abad pertama.

Jadi walaupun dikatakan bahwa pada Konsili Florence 1439 M, doktrin tersebut dituliskan secara definitif dan jelas, namun telah lama sebelum itu, yaitu dari abad-abad awal praktek tersebut telah menjadi Tradisi Gereja. Konsili Trente pada tahun 1564 menuliskan kembali doktrin ini, dengan maksud menegaskan kembali dan untuk menanggapi ajaran yang menentang Api Penyucian seperti yang diajarkan oleh Martin Luther pada abad itu.

19. Doktrin tentang 7 sakramen diteguhkan 1439 M?

Doktrin tentang 7 sakramen memang pertama dicetuskan pada Konsili Florence tahun 1439 M, namun doktrin tentang ketujuh sakramen sebetulnya diberikan secara definitif pada Konsili Trente tahun 1564. Walaupun terminologi yang digunakan seolah-olah baru, namun doktrinnya sendiri sudah lama berakar di Gereja. Konsili Trente mengajarkan bahwa Tuhan menggunakan simbol/ tanda lahiriah untuk menyampaikan rahmat-Nya untuk menguduskan umat-Nya, sehingga dikenal istilah “matter and form” (materia dan forma) dari sakramen. Karena sumber dari pengudusan manusia ini adalah Tuhan maka manusia tidak dapat memilih sendiri dengan apa ia ingin dikuduskan, melainkan Tuhan sendiri melalui Kristus yang menentukannya, yang semuanya mengambil dasar dari ayat-ayat Alkitab dan pengajaran para Rasul. Dasar dan pengajaran inilah yang ditetapkan secara definitif dalam Konsili Trente 1564, tentang adanya ketujuh sakramen sebagai sarana yang dipakai Tuhan untuk memberikan rahmat-Nya kepada umat-Nya, yaitu melalui Pembaptisan, Penguatan, Ekaristi, Pengakuan Dosa, Urapan orang sakit, Perkawinan dan Tahbisan Suci. Selanjutnya mengenai sakramen ini, silakan klik di sini.

20. Salam Maria 1508 M?

Sebenarnya, bagian pertama dari doa Salam Maria diambil dari ayat Alkitab, yaitu dari Luk 1: 28, yaitu ucapan salam dari Malaikat Gabriel kepada Maria, dan selanjutnya Luk 1: 42 ucapan salam dari St. Elizabeth kepada Maria:

1. Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu (“Hail Mary, full of grace, the Lord is with you“, Luk 1:28)
Terpujilah Engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus (“Blessed art thou amongst women and blessed is the fruit of thou womb, Jesus,” Luk 1:42)

Selanjutnya, bagian berikutnya adalah permohonan agar Bunda Maria mendoakan kita, yang dituliskan oleh Girolamo Savonarola pada tahun 1495, yang kemudian dituliskan dalam Katekismus oleh Petrus Kanisius pada tahun 1555 dan lalu resmi dituliskan dalam Katekismus Konsili Trente 1564 yaitu:

2. Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati. Amin (Holy Mary, Mother of God, pray for us sinners now and at the hour of our death. Amen)

Bagian pertama doa Salam Maria ini berasal dari Alkitab, maka tidak dapat dikatakan sebagai ‘penyelewengan’. Demikian juga bagian kedua dari doa ini, sebab yang tertulis semuanya tidak bertentangan dengan pengajaran Yesus. Bahwa Maria adalah seorang yang kudus (santa) yang dipilih oleh Allah untuk menjadi Bunda Putera-Nya Yesus. Dan kita umat beriman hanya memohon Maria untuk mendoakan kita sepanjang kita hidup di dunia. Jika kita percaya bahwa sebagai manusia kita dapat saling mendoakan dan saling membantu (lih. 1Tim 2:1; Gal 6:2), dan bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Yesus (termasuk kematian) yang mempersatukan sesama umat beriman (lih. 8:38-39), maka bagian kedua dari doa ini juga bukan merupakan ‘penyelewengan’ dari ajaran Alkitab.

21. Tradisi disetingkatkan dengan Alkitab 1545 M?

Ini adalah ungkapan yang sangat keliru. Sebab kenyataannya sejak awal memang Tradisi Suci adalah setara dengan Kitab Suci. Karena baik Tradisi suci maupun Kitab Suci berasal dari satu Sumber yaitu Allah sendiri yang memberikan wahyu ilahi-Nya . Yang tertulis adalah Kitab Suci, sedangkan yang bersumber dari pengajaran lisan dari Yesus dan Para Rasul disebut sebagi Tradisi suci. Dari sejarah kita mengetahui bahwa Alkitab sesungguhnya lahir dari Tradisi Suci.

Jadi, secara obyektif kita mengetahui bahwa Gereja Katolik ada/ eksis terlebih dahulu daripada Alkitab. Magisterium Gereja Katolik-lah yang menetapkan kanon Kitab Suci yang dipakai oleh segenap umat Kristen di dunia.
Lebih lanjut tentang Tradisi Suci ini, silakan membaca artikel ini (silakan klik).

Dengan demikian, Sola Scriptura/ “Alkitab saja”, sebenarnya tidak cukup, dan sesungguhnya juga prinsip ini tidak diajarkan oleh Alkitab. Silakan membaca di jawaban ini, bahwa doktrin Sola Scriptura ini malah mengakibatkan terjadinya perpecahan gereja, silakan klik.

22. Apocrypha dimasukkan ke dalam Kitab Suci 1546?

Pernyataan ini sungguh keliru sekali. Silakan melihat fakta yang sesungguhnya dalam artikel ini (silakan klik). Pada saat Gereja Katolik menetapkan Kanon Kitab suci pada tahun 393 dan 397, Alkitab Deuterokanonika (yang disebut sebagai Apocypha oleh sdr/i Protestan) sudah termasuk di dalamnya, yaitu termasuk dalam Perjanjian Lama. Sejarah membuktikan baru pada abad ke 16 tersebut Gereja Protestan mencoret kitab-kitab tersebut dari Alkitab mereka.

23. Doktrin bahwa Maria lahir / dikandung dan hidup tanpa dosa 1854 M?

Doktrin Maria dikandung tanpa noda adalah pengajaran yang berdasarkan ayat Alkitab dan pengajaran dari para Bapa Gereja. Silakan klik di sini untuk membaca dasar-dasarnya. Jadi tahun 1854 hanya merupakan peneguhan secara definitif, pengajaran yang telah diimani oleh Gereja sejak masa jemaat awal.

24. Paus tidak bisa salah kata-katanya 1870 M?

Pernyataan ini  keliru. Kuasa tidak bisa sesat/ infalibilitas dari Paus hanya terbatas pada pengajaran definitif tentang iman dan moral. Doktrin Infallibilitas juga berdasarkan ayat Alkitab di mana Yesus berjanji kepada Petrus, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mat 16:18-19) Karena Yesus berjanji juga akan menyertai Gereja-Nya ini sampai akhir jaman (Mat 28:20), maka janji kepada Petrus ini berlaku juga kepada para penerus Rasul Petrus, yaitu para Paus.  Silakan klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut mengenai bagaimana Paus dapat mengajarkan hal yang tidak dapat sesat ini.

25. Kenaikan Maria ke surga 1950 M?

Pernyataan ini keliru. Maria tidak ‘naik’ ke surga, dengan kekuatannya sendiri, namun ia ‘diangkat’ ke surga oleh Yesus Puteranya. Sama seperti doktrin Maria yang lain, doktrin Maria diangkat ke surga juga mengambil dasar dari Alkitab dan pengajaran para Bapa Gereja. Silakan klik di sini untuk membaca lebih lanjut.

26. Maria dinyatakan sebagai ibu gereja 1965 M?

Seperti telah disebutkan di atas, pengajaran Bunda Maria sebagai Bunda Allah dan Bunda Gereja adalah ajaran yang berdasarkan Alkitab, silakan klik Jadi pengajaran ini juga bukan baru ditetapkan pada tahun 1965.

Demikianlah yang dapat saya tuliskan menanggapi 26 point kesalah-pahaman saudara/i kita dari gereja Protestan. Tanggapan bagian surat selanjutnya akan saya sertakan dalam tulisan terpisah. Semoga jawaban di atas -beserta link-nya- dapat setidak-tidaknya menjelaskan dasar ajaran Gereja Katolik tentang topik-topik tersebut. Selanjutnya, mari kita berdoa agar Roh Kudus yang adalah Roh Kebenaran dan Kasih memimpin kita semua kepada seluruh kebenaran dengan dijiwai oleh semangat kasih. Tuduhan- tuduhan negatif semacam ini jangan sampai memudarkan kasih kita kepada mereka yang melontarkannya, sebab besar kemungkinan mereka mengatakannya karena mereka belum mendapatkan informasi yang benar tentang ajaran Gereja Katolik.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab