Home Blog
0

Gimana kita memperjuangkan kekudusan seperti santo santa?

0

Kalian pengen masuk Surga ga? Kalo aku sihh pengen banget, karena Surga itu the perfection of happiness yang bisa kita capai setelah kita meninggal nanti, sesuai dengan rencana Tuhan waktu nyiptain kita, yaitu supaya kita bisa bersatu lagi sama Tuhan, bisa bahagia selama-lamanya sama Tuhan. Tapi kalian pernah wondering ga sih, gimana ya caranya masuk Surga? Nah Kitab Suci ngasih spill nya nih, yaitu untuk bisa masuk Surga atau memandang Allah, kita harus kudus. Sebab dikatakan: “Tanpa kekudusan, tak seorang pun dapat melihat Allah” (Ibr 12:14).

Temen-temen, kita sebenernya punya panutan atau punya senior-senior yang kita percaya udah ada di Surga sekarang ini, yaitu para santo-santa. Dan mereka bisa sampe ke Surga, karena mereka punya suatu hal yang namanya kekudusan itu. Tapi sebenernyaa, kekudusan itu apa sih? Kok kayanya itu sesuatu yang jauh dan susah dicapai ya, apalagi kalo standarnya santo-santa. Jangan berkecil hati temen-temen, karena sebenernya, kekudusan bisa kok dicapai, tentunya terutama dengan bantuan rahmat Tuhan.

Jadi pertama-tama, kekudusan adalah sifat utama Tuhan yang menjadi ciri khasNya, yaitu adalah kasih yang sempurna. Kekudusan dan kasih itu ga terpisahkan, apalagi dalam Tuhan, karen Tuhan adalah Kudus, dituliskan dalam Im 19:2, Lk 1:49, 1Ptr 1:15, dan Tuhan adalah Kasih, dituliskan dalam 1Yoh 4:10,16.

Selain itu, kekudusan, dari asal katanya, juga berarti “dipisahkan”, dan dalam hal ini berarti dipisahkan untuk menjadi milik Tuhan. Jadi orang yang kudus, berarti adalah orang yang dikhususkan hanya untuk Tuhan.

Dan kalo kita liat dari salah satu dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, kekudusan itu dikehendaki oleh Allah buat kita semua, jadi Allah mau supaya kita hidup kudus, walaupun melalui jalan dan status kehidupan yang beda-beda, ada yang menjadi imam atau biarawan biarawati, tapi orang-orang awam juga dipanggil untuk hidup kudus dengan cara mengasihi Tuhan dan sesama. Ini sesuai sama perintah Tuhan yang utama, dicatat dalam Mat 22:37-39,

“Kasilihah Tuhan, Allahmu, dengan seganap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Nah kalo temen-temen mau hidup yang bahagia, perlu nih kasih yang sempurna ini, yang nyata dengan adanya persekutuan atau persatuan, unity, dengan Tuhan dan sesama. Persatuan dengan Tuhan dan sesama dalam kasih ini tentunya bisa mulai dicapai di dunia, bukan cuma bisa di Surga aja. Gimana caranya mencapai persatuan kasih ini di dunia? St. Theresia Lisieux mengatakan, kekudusan dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana yang dilakukan dengan motif atau alasan kasih yang besar kepada Tuhan, misalnya sebagai seorang anak, temen-temen bikinin teh atau kopi buat orangtua ketika bangun pagi atau mungkin mijetin orangtua ketika mereka pulang kerja, sebagai seorang pelajar, temen-temen belajar dengan sungguh-sungguh dan ngerjain test dengan jujur, atau mungkin sebagai seorang pekerja, temen-temen juga melakukan yang terbaik dalam pekerjaan dan menghibur sesama pekerja yang lagi sedih atau lesu karena dimarahin atasan. Simple-nya, kita sadar akan kehadiran Tuhan dalam diri kita dan dalam diri sesama kita, jadi kita berusaha buat ngelakuin apa yang menyenangkan Tuhan dari perkataan dan perbuatan kita. Dan dari hal-hal kecil ini, kita kaya latihan buat melakukan kehendak Tuhan, yaitu supaya kita menjadi sempurna, sama seperti Bapa di Surga adalah sempurna (Mat 5:48).

Tapi tentunya, jangan lupa temen-temen, kalo kekudusan itu bukan dicapai hanya karena perbuatan kita sendiri, tapi terutama karena rahmat Tuhan. Tuhan udah kasih kita contoh yang luar biasa sempurna dalam kasih dan kekudusan, yaitu dari Pribadi Yesus Kristus yang karena Ia begitu mengasihi Allah Bapa dan kita, Ia mau melakukan perintah BapaNya dan memberikan nyawaNya sendiri buat nebus dosa manusia. Dan juga teladan yang lain adalah dari para orang kudus atau santo-santa, yang terus mengandalkan Tuhan, mengakui dengan rendah hati kalo mereka butuh belas kasihan Tuhan, dan terus mencari pertolongan Tuhan dalam hidup mereka. Salah satu cara yang terutama dan bisa kita lakuin tiap hari dan bahkan sampe hari ini adalah dengan mengikuti perayaan Ekaristi, karena dalam Ekaristi, kita mengalami persatuan dengan Tuhan dan sesama, dan ngasih kita kekuatan untuk berbuat kasih pada Tuhan dan sesama. Nah, kalo kita gagal dalam mengasihi Tuhan dan sesama ini, kita cepet-cepet mengaku dosa dalam sakramen Tobat dan sesudah itu, berjuang untuk nggak ngulangin dosanya lagi.

Nah temen-temen, dalam video ini, kita sama-sama belajar mengenai kekudusan dan gimana untuk hidup kudus atau sempurna dalam kasih pada Tuhan dan sesama, seperti yang dilakukan oleh para orang kudus. Emang sih, memperjuangkan kekudusan, apalagi di dunia sekarang ini, tuh ga gampang, tapi mari kita sama-sama berdoa mohon rahmat Tuhan dan mari berjuang bareng supaya kita bisa mencapai kesempurnaan kasih dan akhirnya bisa bersatu lagi sama Tuhan dan sesama kita di Surga kelak. Sampai ketemu lagi di video lainnya ya teman-teman, terima kasih dan Tuhan memberkati, babaii

Pemilihan Paus: Penyelenggaraan Ilahi dan Pilihan Manusia

0

Ada yang bertanya: Paus yang terpilih ini adalah pilihan manusia atau pilihan Tuhan? Ingin tahu jawabannya, saksikan terus video ini.

Sebelum seorang Kardinal terpilih menjadi Paus, dunia menanti dengan penuh harap. Para kardinal berkumpul dalam keheningan dan doa, memberikan suara mereka, dan akhirnya—ketika asap putih mengepul dari cerobong Kapel Sistina—Gereja bersukacita: Habemus Papam! “Kita memiliki seorang paus!”

Namun apa yang sebenarnya terjadi dalam momen suci ini? Apakah pemilihan itu semata-mata kegiatan manusiawi ataukah Allah turut campur tangan? Dapatkah kita sungguh percaya bahwa Roh Kudus membimbing pilihan para kardinal? Menurut Santo Thomas Aquinas, jawabannya terletak pada pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara penyelenggaraan ilahi dan kebebasan manusia. Allah sungguh mengatur segala sesuatu—termasuk konklaf—namun Ia melakukannya melalui manusia yang bebas memilih.

1. Penyelenggaraan Allah Bekerja Melalui Kebebasan Manusia

Santo Thomas mengajarkan bahwa Allah membimbing dunia melalui penyelenggaraan ilahi—rencana-Nya yang bijaksana dan penuh kasih bagi segala sesuatu. Meski demikian, Allah tidak memaksa segalanya untuk terjadi. Sebaliknya, Ia bekerja melalui ciptaan-Nya, terutama melalui manusia yang menggunakan akal dan kehendaknya secara bebas. Dengan kata lain, kehendak Allah dan kebebasan manusia berjalan bersama. Ini seumpama pintu dengan dua engsel, yang bekerja bersama-sama.

Konklaf adalah contoh yang sangat baik. Para kardinal bebas memilih siapapun yang memenuhi syarat. Mereka berdoa, berdiskusi, dan mempertimbangkan apa yang dibutuhkan Gereja. Namun dalam semua itu, Allah tetap bekerja, dengan lembut membimbing pikiran dan hati mereka. Ia tidak mengambil alih kebebasan mereka—justru memperkuatnya. Seperti yang dikatakan Aquinas,

Allah menggerakkan segala sesuatu sesuai dengan cara keberadaannya.

1Dan karena manusia bersifat rasional dan bebas, Allah bekerja dalam diri mereka dengan menghormati kebebasan itu.

2. Kebijaksanaan dan Bantuan dari Roh Kudus

Para kardinal harus membuat keputusan yang serius dan penuh pertimbangan. Santo Thomas menyebut ini sebagai kebajikan kebijaksanaan praktis (prudensia)—kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan bagaimana melakukannya. Sebuah keputusan yang bijaksana mempertimbangkan kebutuhan Gereja saat ini, kualitas para calon, dan tantangan masa depan.

Namun mereka tidak mengandalkan kebijaksanaan manusia saja. Aquinas juga mengajarkan tentang karunia kebijaksanaan dan karunia nasihat, yang termasuk dalam tujuh karunia Roh Kudus. Karunia kebijaksanaan membuat para kardinal melihat segala sesuatu dengan kacamata Allah. Dan karunia nasihat membuat para kardinal melihat dengan lebih jernih apa yang dikehendaki Allah, terutama dalam situasi yang sulit dan dapat mengambil langkah yang tepat untuk menghadapinya. Dalam konklaf, para kardinal mengandalkan baik pengalaman manusiawi mereka maupun bimbingan ilahi. Ketika mereka mendengarkan dengan sungguh dalam doa dan mencari kebaikan Gereja, pilihan mereka menjadi tindakan yang berasal dari akal sehat dan sekaligus digerakkan oleh rahmat.

3. Allah Bekerja Melalui Pilihan Manusia

Sebagian orang bertanya: jika para kardinal bisa saja membuat kesalahan, bagaimana mungkin Roh Kudus tetap terlibat dalam konklaf? St. Thomas Aquinas membantu kita memahami bahwa kehendak Allah tidak selalu berarti memilih orang yang

sempurna.

Kadang-kadang, bahkan pilihan yang kurang ideal pun dapat menjadi bagian dari rencana Allah yang lebih besar.

Dalam sejarah, tidak semua paus adalah orang suci. Beberapa paus adalah pemimpin yang lemah dan hidupnya tidak sesuai dengan ajaran Kristus. Namun bahkan dalam saat-saat seperti itu, Allah tidak meninggalkan Gereja-Nya. Seperti yang diajarkan Aquinas, Allah dapat membawa kebaikan bahkan dari kesalahan manusia.2Yang terpenting adalah bahwa Gereja tetap berjalan—dan paus, siapapun dia, menjadi bagian dari karya Allah dalam sejarah.

4. Paus Sebagai Tanda Kesatuan

Paus bukan hanya seorang pemimpin—paus adalah tanda nyata dari kesatuan Gereja. Kristus adalah Kepala Gereja yang tak kelihatan, tetapi paus adalah wakil-Nya yang kelihatan di dunia. Tugasnya adalah menjaga iman, memelihara kesatuan, dan membimbing umat Allah.

Karena itu, konklaf bukan sekadar soal memilih seorang pemimpin—tetapi juga tentang menjaga kesatuan Gereja. Paus membantu Gereja tetap satu dalam iman dan misi, bahkan di tengah keberagaman budaya dan bahasa. Dan walaupun keputusan itu datang melalui suara manusia, pada akhirnya Allah sendirilah yang memanggil paus yang baru untuk menjadi penerus Rasul Petrus untuk memimpin Gereja-Nya atas nama Kristus.

5. Momen Misteri dan Rahmat

Konklaf mungkin tampak seperti sebuah peristiwa politis yang tertutup dari luar, tetapi sebenarnya itu adalah momen yang penuh dengan misteri dan rahmat. Allah menggunakan tindakan manusia—diskusi, pertimbangan, dan pemungutan suara—untuk melanjutkan karya-Nya dalam Gereja.

Santo Thomas Aquinas mengingatkan kita bahwa rahmat tidak menghancurkan kodrat manusia, melainkan menyempurnakannya. Dalam konklaf, rahmat menyempurnakan proses manusiawi pemilihan. Hasilnya bukanlah keajaiban yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan kerja sama antara rencana Allah dan tanggung jawab manusia. Ketika Gereja akhirnya mendengar seruan “Habemus Papam”, itu adalah tanda bahwa Allah sekali lagi bekerja melalui tangan manusia untuk membimbing umat-Nya.

Percaya kepada Penyelenggaraan Allah

Pemilihan paus menunjukkan betapa dalamnya Gereja percaya akan karya Roh Kudus. Ini adalah momen di mana Allah dan manusia bertemu—di mana penyelenggaraan ilahi dan kebebasan manusia berpadu. Sebagai umat beriman, kita diajak untuk mendoakan mereka yang memikul tanggung jawab ini, dan untuk percaya bahwa bahkan dalam ketidakpastian, Allah tetap setia kepada Gereja-Nya.

Hikmat Allah melampaui pemahaman kita, namun kasih-Nya tak pernah gagal. Dalam setiap konklaf, Roh Kudus tetap membimbing Gereja-Nya, menjaganya tetap satu, teguh dalam iman, dan terus berjalan dalam pengharapan.

HABEMUS PAPAM!

Doa kami menyertaimu, Paus….

  1. St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, II-I, q.10, a.4. * I, q.83, a.1: “itu adalah bagian dari pemeliharaan Tuhan, bukan untuk menghancurkan tetapi untuk melestarikan kodrat segala sesuatu.” Oleh karena itu, ia menggerakkan segala sesuatu sesuai dengan kondisinya;” ↩︎
  2. St. Thomas Aquinas, Summa Theology, I, q.2, a3: “Karena Tuhan adalah kebaikan tertinggi, Dia tidak akan membiarkan kejahatan terjadi dalam karya-Nya, kecuali kemahakuasaan dan kebaikan-Nya mampu mendatangkan kebaikan bahkan dari kejahatan.” ↩︎

Konklaf: Proses Pemilihan Paus dalam Gereja Katolik

0

Umat Katolik di seluruh dunia tertunduk dalam duka, ketika Paus Fransiskus pada tanggal 21 April 2025 menghembuskan nafas terakhirnya. Bagaimana kepemimpinan 1,4 milyar umat Katolik dapat terus berlanjut? Saksikan terus video ini yang akan membahas tentang konklaf.

Pemilihan Paus atau konklaf sering mengundang banyak pertanyaan, bahkan sejumlah teori atau konspirasi dikemukakan. Maka mari kita bahas hal-hal yang berkaitan dengan konklaf, yang punya akar tradisi yang panjang, sebab konklaf bukanlah proses politik atau sejenisnya, tetapi merupakan pemilihan penerus Rasul Petrus yang akan memimpin Gereja; dan karena itu pertama-tama merupakan suatu peristiwa penting yang diwarnai doa dan dipimpin oleh Roh Kudus sendiri sebagai jiwa dari Gereja.

Apa Itu Konklaf?

Konklaf berasal dari gabungan kata Latin con [dengan] dan clave [kunci] yang berarti “dengan kunci.” Ini merujuk pada praktik mengunci para kardinal pemilih di dalam ruangan sampai mereka memilih seorang paus. Proses ini dimulai setelah kematian paus dan melibatkan serangkaian ritual dan pemungutan suara yang rahasia. Tradisi konklaf yang sekarang berjalan dimulai di abad ke-13.

Mengapa para kardinal dikunci dalam satu ruangan? Ini berhubungan dengan sejarah. Setelah kematian Paus Klemens IV, terjadi pemilihan Paus yang berlangsung selama tiga tahun, dari tahun 1268-1271. Setelah itu ada juga pemilihan yang berlangsung selama 2 tahun lebih. Kemudian Paus Gregorius X, menetapkan aturan konklaf pada tahun 1274, untuk mencegah intervensi pihak eksternal dan pemilihan berlangsung secara rahasia serta mempercepat proses pemilihan. Peraturan ini kemudian diperjelas oleh Santo Paus Yohanes Paulus II dalam Universi Dominici Gregis di tahun 1996.

Dokumen ini membahas prosedur konklaf secara detail untuk memastikan bahwa pemilihan paus dilakukan dengan cara yang adil, rahasia, dan penuh dengan bimbingan Roh Kudus. Berikut adalah langkah-langkah utama dalam prosedur konklaf yang dituliskan dalam dokumen tersebut.

Persiapan Konklaf

Setelah kematian Paus, ada periode berkabung selama sembilan hari. Selama periode ini, upacara pemakaman, doa-doa dan perayaan Misa diadakan, tidak hanya di Vatikan, tetapi juga di seluruh dunia, untuk menghormati Paus yang telah berpulang.

Kemudian, semua kardinal dari seluruh dunia diharuskan untuk datang ke Vatikan untuk memulai konklaf yang harus dilakukan paling lambat 21 hari setelah kematian Paus.

Ketika semua kardinal berkumpul, akan ada kongres umum untuk mempersiapkan konklaf. Do kongres ini setiap kardinal melakukan sumpah untuk menjaga kerahasiaan semua proses yang berlangsung dalam konklaf ini. Lalu pada hari yang telah ditentukan sebagai hari pemilihan, diberikanlah permenungan pertama oleh imam yang telah ditunjuk sebelumnya, untuk merefleksikan masalah-masalah yang dihadapi oleh Gereja dan juga seruan kehati-hatian dalam memilih Paus yang baru. Saat itu juga akan dibacakan dokumen dari Paus yang ditulis sebelum wafatnya, untuk para kardinal.

Sebelum konklaf dimulai, semua kardinal menghadiri Misa Pro Eligendo Papa atau Misa untuk memilih Paus, yang diadakan di Basilika Santo Petrus. Dalam misa ini, mereka berdoa untuk bimbingan Roh Kudus dalam pemilihan paus yang baru.

Setelah Misa, maka mereka yang berhak memilih dan terlibat dalam konklaf—yaitu mereka yang berusia di bawah 80 tahun—berjalan ke Kapel Sistina, sambil menyanyikan lagu “Datanglah Roh Kudus”, mohon agar Roh Kudus bekerja dalam proses pemilihan Paus ini.

Memasuki Konklaf

Setelah semua kardinal berkumpul di Kapela Sistina, maka pemimpin liturgi kepausan akan mengucapkan “Extra Omnes”, yang berarti, semua yang tidak berkepentingan dalam proses pemilihan harus keluar.

Kemudian, setiap kardinal mengambil sumpah untuk menjaga kerahasiaan mengenai semua hal yang berkaitan dengan pemilihan paus. Sumpah ini mencakup janji untuk tidak membocorkan hasil pemungutan suara atau diskusi yang terjadi selama konklaf. Silakan melihat teks sumpah tersebut di deskripsi video ini.

Kemudian imam yang telah ditunjuk memberikan permenungan yang kedua sebelum proses pemilihan menekankan tugas berat yang mereka pikul untuk memilih Paus dan harus mempunyai niat yang benar untuk kebaikan Gereja semesta. Dan setelah itu, pemimpin liturgi kepausan dan yang memberikan permenungan keluar dari ruangan.

Kemudian, ruangan konklaf di Kapel Sistina dikunci dari luar untuk mencegah intervensi dari luar. Praktik ini berasal dari tradisi kuno yang bertujuan untuk mempercepat proses pemilihan serta menjaga kerahasiaan proses pemilihan.

Proses Pemungutan Suara

Pemungutan suara dilakukan secara rahasia supaya lepas dari tekanan apapun. Kertas akan dibagikan kepada para kardinal dan kemudian, setiap kardinal menuliskan nama kandidat yang mereka pilih pada kertas suara dan melipat kertas itu.

Setiap kardinal akan maju ke altar dan akan memasukkan kertas tersebut ke tempat yang tersedia. Sebelum memasukkannya, setiap kardinal akan berdoa “Saya memanggil saksiku, Kristus Tuhan yang akan menjadi hakimku, bahwa pilihanku diberikan kepada seseorang yang di hadapan Tuhan, saya pikir harus dipilih.” Doa ini mencerminkan bahwa setiap kardinal harus benar-benar mempertimbangkan pilihannya dengan hati-hati dan harus bertanggungjawab di hadapan Kristus, Sang Hakim Agung.

Setelah semua kardinal memilih, maka dilakukan perhitungan suara. Setiap pilihan akan dibacakan dengan keras dan dihitung oleh beberapa kardinal yang telah ditunjuk sebelumnya.

Ketika tidak diperoleh hasil mayoritas dua pertiga suara, maka akan dilakukan pemungutan suara lagi. Kertas hasil pemungutan akan dibakar dengan campuran kimia, sehingga asapnya menjadi hitam. Ini juga menjadi pertanda, bahwa telah dilakukan pemungutan suara, tapi belum terpilih paus yang baru, sehingga harus dilakukan pemilihan ulang. Maksimal dilakukan 4 kali pemungutan suara dalam satu hari: 2 di pagi hari dan 2 di siang hari.

Ketika pemungutan suara berlangsung selama tiga hari dan tidak mencapai mayoritas dua pertiga, maka ada masa suspensi selama maksimal satu hari untuk berdoa, diskusi informal dan refleksi oleh kardinal diakon. Setelah itu dilakukan pemungutan suara lagi. Jika setelah tujuh kali pemungutan masih belum mencapai kata sepakat, maka dilakukan lagi jeda, yang diisi dengan doa, diskusi dan refleksi yang dilakukan oleh kardinal imam. Setelah itu dilakukan lagi pemungutan suara. Dan kalau masih belum ada kata sepakat lagi, maka ada jeda lagi untuk berdoa, dialog dan refleksi oleh kardinal uskup. Dan setelah itu dilakukan pemungutan suara lagi. Kalau setelah tujuh kali pemungutan masih juga belum mencapai kata sepakat, maka dilakukan masa jeda selama 1 hari untuk doa, refleksi dan dialog.

Pada tahap ini, maka pengambilan suara hanya memilih dua nama tertinggi dari pemilihan sebelumnya. Setelah itu dilakukan pemilihan lagi, sampai tercapai dua pertiga suara.

Penerimaan dan Pengumuman

Jika pemilihan akhirnya mendapatkan kandidat dengan dua pertiga suara, maka secara sah dia terpilih sebagai paus. Kandidat paus kemudian ditanya

Apakah Anda menerima pemilihan kanonik sebagai Paus?

Jika dia menerima, dia akan mengucapkan “Accepto” (Saya menerima) dan secara resmi kandidat menjadi paus. Kemudian dilakukan pertanyaan lanjutan:

Anda ingin dipanggil dengan nama apa?

Kemudian Paus akan memberikan namanya, yang mencerminkan kepemimpinannya.

Setelah itu, hasil pemungutan suara akan dibakar dengan campuran kimia, agar menghasilkan asap putih, yang menjadi tanda bahwa Paus yang baru telah terpilih.

Kemudian Paus yang baru akan masuk ke satu ruangan di sebelah kapel Sistina, yang diberi nama “ruang tangisan”. Karena biasanya Paus terpilih akan merasakan beban yang begitu berat dan kemudian menangis di ruangan tersebut. Di ruangan ini juga tersedia berbagai ukuran pakaian dan sepatu Paus. Jadi, di sinilah Paus mempersiapkan diri secara rohani dan juga penampilan publiknya.

Setelah semua tahap selesai, kardinal diakon senior, dari balkon Basilika Santo Petrus, akan mengumumkan kepada publik dengan kalimat

Habemus Papam

(Kita memiliki paus) dan kemudian mengumumkan nama dari Paus terpilih. Paus yang baru kemudian akan memberikan berkat Urbi et Orbi (berkat untuk kota dan dunia). Ini adalah momen penting yang menandai awal masa kepemimpinan Paus yang baru dalam Gereja Katolik.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa konklaf mencerminkan komitmen Gereja Katolik untuk memilih pemimpin tertingginya sebagai wakil Kristus, dengan penuh integritas, tanpa campur tangan dan tekanan pihak lain. Pemilihan ini dilakukan dengan bijaksana, dalam suasana doa dan terbuka terhadap bimbingan Roh Kudus.

Marilah kita turut serta mendoakan para kardinal untuk konklaf di tahun 2025 ini, agar Paus yang akan terpilih adalah seorang yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sehingga Paus dapat mengemban tugasnya sebagai wakil Kristus di dunia ini, yang menampakkan kebenaran dan belas kasih Allah.

Sumpah Para Kardinal pada saat Kongres Umum persiapan Konklaf

Berikut ini dibacakan oleh Dean of Cardinal atau pemimpin sidang

Kami, para Kardinal elektor yang hadir dalam pemilihan Sri Paus ini, berjanji, berikrar, dan bersumpah, baik secara pribadi maupun bersama-sama, untuk setia dan dengan seksama menaati ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Konstitusi Apostolik Universi Dominici Gregis dari Sri Paus Yohanes Paulus II, yang diterbitkan pada tanggal 22 Februari 1996.

Kami juga berjanji, berikrar, dan bersumpah bahwa siapapun di antara kami yang terpilih menjadi Uskup Roma atas kehendak ilahi, akan dengan setia melaksanakan munus Petrinum sebagai Gembala Gereja Universal dan tidak akan lalai untuk menegaskan serta membela dengan sungguh-sungguh hak-hak rohani dan temporal serta kebebasan Takhta Suci.

Secara khusus, kami berjanji dan bersumpah untuk menjaga kerahasiaan setinggi-tingginya dan terhadap semua orang, baik klerus maupun awam, mengenai segala hal yang dengan cara apapun berkaitan dengan pemilihan Uskup Roma dan apapun yang terjadi di tempat pemilihan, baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan hasil pemungutan suara; kami berjanji dan bersumpah untuk tidak melanggar kerahasiaan ini dengan cara apapun, baik selama maupun setelah pemilihan Paus baru, kecuali dengan izin eksplisit yang diberikan oleh Paus tersebut; dan kami tidak akan pernah memberikan dukungan atau bantuan terhadap campur tangan, penolakan, atau bentuk intervensi apapun dari pihak otoritas sekuler, apapun tingkat atau kedudukannya, ataupun dari kelompok atau individu manapun, yang mencoba untuk turut campur dalam pemilihan Uskup Roma.

Dan kemudian, setiap kardinal akan bersumpah dengan perkataan berikut ini:

Dan saya, N. Kardinal N., dengan ini berjanji, berikrar, dan bersumpah.

Sambil meletakkan tangannya di atas Injil Suci, ia akan menambahkan:

Maka tolonglah saya, ya Allah dan Injil Suci ini yang saya sentuh dengan tangan saya.

Mengapa Salib?

0

Hai, salam Katolisitas!

Mungkin kita pernah bertanya mengapa Tuhan Yesus memilih Jalan Salib untuk menebus dosa-dosa kita? Mengapa Ia mau menderita sehabis-habisnya sampai wafat bagi kita? Bukankah Ia dapat menebus dosa manusia hanya dengan bersabda,  ‘Aku mengampunimu dan  menghapuskan semua dosamu’, maka semua itu akan terjadi?” 

Ya, tentu saja Tuhan Yesus dapat mengampuni kita hanya dengan bersabda, kalau Ia menghendakinya. Tetapi nyatanya, bukan itu yang dilakukanNya. Ia memilih salib untuk menyatakan kasih-Nya yang begitu besar kepada kita dan untuk mengajar kita suatu pelajaran kehidupan yang sangat berharga. Sebab andaikan Ia hanya mengampuni dengan kata-kata saja, maka kita—umat manusia—tidak akan pernah mengetahui bagaimana dosa itu dapat dikalahkan. Kita tidak dapat belajar bagaimana mengalahkan kejahatan dan melepaskan diri dari keterikatan dosa yang telah kita lakukan. 

Tuhan Yesus memilih jalan yang sempurna untuk mengalahkan dosa yang telah memisahkan kita denganNya. Tuhan tahu bahwa kita, dengan kekuatan sendiri, tidak mampu mengalahkan dosa-dosa kita. Maka Kristus Sang Putra Allah yang mengambil rupa manusia, membayar hutang dosa kita kepada Allah Bapa, dan memohon kepada-Nya atas nama kita umat manusia, agar kita beroleh pengampunanNya. Dan rahmat pengampunan ini mendorong kita mengikuti teladan Kristus, yaitu untuk mengalahkan dosa dan kejahatan dengan kebenaran dan kasih.

“Bapa!” Yesus berseru. “Bapa, ampunilah mereka!” Tuhan Yesus tidak memperhatikan rasa sakit yang  dideritaNya melainkan, Ia memperhatikan kita dan agar dosa-dosa kita dapat diampuni. Karena dosa-dosa melukai hubungan kita dengan Allah, melawan Allah; dan juga, merusak diri kita sendiri. Maka Ia memohon kepada Allah Bapa agar mengampuni kita. Sebab kekerasan dan kejahatan hanya dapat dikalahkan oleh pengampunan dan kasih.

 Mari bertanya kepada diri kita sendiri pertanyaan ini:

“Sudahkah aku bertobat dan memohon pengampunan Allah?

Sudahkah aku mengampuni orang-orang yang menyakiti hatiku? 

Apakah aku memohon kepada Allah Bapa untuk keselamatan jiwa mereka?… 

Apakah yang pertama kali kupikirkan dalam penderitaanku:  diri sendiri, atau orang lain?”

Setiap kali memandang salib Kristus dan merenungkan penderitaan-Nya, kita melihat bahwa Yesus telah melakukan apa yang diajarkanNya sendiri tentang kasih sejati. “Kasihilah musuhmu, berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu….” Juga sabda-Nya: “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat….” 

Perkataan ini tidak saja menjadi teladan tetapi juga menjadi harapan bagi kita. Sebab suatu hari nanti setiap kita akan berdiri di hadapan Allah Bapa yang telah kita kecewakan dengan dosa-dosa kita. Apa yang dapat kita lakukan, ketika semua kesalahan dan dosa kita dipaparkan dan semua perbuatan itu menuduh kita? Kita tak dapat berbuat apapun selain mengandalkan Tuhan Yesus, Putra Allah dan Juruselamat kita. Mari kita mengingat Kristus yang telah menderita di salib dan mencurahkan darah-Nya bagi kita, ketika Ia berkata, “Bapa, ampunilah mereka….  !” Kitalah yang telah menyebabkan darah Yesus tertumpah di kayu salib itu… Dan betapa oleh belas kasih-Nya yang begitu besar, Yesus mau berkorban untuk menyelamatkan kita dan semua orang.

“Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan!” Di tengah rasa sakit yang luar biasa itu, Yesus lebih memikirkan keselamatan kita umat manusia.  Perkataan-Nya itu adalah perkataan belas kasih bagi semua orang. Ia menggenapi Sabda-Nya sendiri, “Berbahagialah orang yang murah hati….” Sebab kemurahan hati seseorang dibuktikan bukan hanya dengan kerelaan berderma dan berbagi barang-barang jasmani, tetapi terutama, dengan kesediaan untuk mengampuni. Semoga teladan Yesus ini terpatri di dalam jiwa kita, supaya kita pun rela mengampuni. Biar bagaimanapun, luka-luka di hati kita karena disakiti orang lain sungguh bukan apa-apa jika dibandingkan dengan luka-luka Yesus. Ia telah sedemikian terluka, tidak hanya di jiwa tetapi juga di sekujur tubuh-Nya. Tetapi Ia tidak pernah berhenti mengasihi dan mengampuni. Tuhan Yesus tidak pilih-pilih dalam hal mengampuni, sebab Ia mau agar semua orang dapat sampai kepada keselamatan kekal.

Tuhan Yesus tak hanya mengampuni para algojo yang telah menyalibkanNya, tetapi juga, penjahat yang bertobat itu yang disalibkan di sisi-Nya. Sebab sementara penjahat lainnya menghujat Yesus, tetapi ia yang bertobat itu menegurnya dan akhirnya berkata: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai raja.” Maka Yesus berkata kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di Firdaus.” Yesus tidak hanya mengampuni, tetapi juga menjanjikan keselamatan kekal kepadanya. Maka terbentanglah perbedaan yang mencolok antara kedua orang yang disalibkan bersama Yesus. Yang satu bertobat, sedang yang lainnya menghujat Dia. Ini menunjukkan dua hal yang dapat terjadi sebagai akibat dari penderitaan. Penderitaan dapat membuat orang memberontak terhadap Tuhan, tetapi sebaliknya, dapat menyucikan jiwa dan membawanya untuk lebih dekat kepada Tuhan.

Sejauh ini, apakah yang terjadi dalam hidup kita kala mengalami penderitaan? 

Apakah penderitaan itu menyucikan jiwa kita dan mendekatkan kita pada Tuhan;  atau sebaliknya, malah membuat kepahitan dan menjauhkan kita dari Tuhan? 

Memandang salib Yesus, kita disadarkan bahwa penderitaan  dalam hidup kita mestinya menjadi kesempatan untuk menyatukan diri dengan Kristus. Ia telah lebih dahulu menderita bagi kita, demi kasih-Nya kepada kita. Maka kita pun mesti merangkul penderitaan kita demi kasih kita kepada-Nya. Bersama Yesus, penderitaan maupun pengorbanan menjadi jalan untuk penebusan dosa.   Sebab untuk mengalahkan dosa dalam diri kita, diperlukan kesediaan untuk berkorban, bermati raga dan berbagi kasih, agar kita dilepaskan dari belenggu cinta diri yang berlebihan.  Kalau kita berdosa terhadap orang lain, kita juga harus mau dengan rendah hati meminta maaf dan memperbaiki kesalahan kita. Sedangkan untuk mengalahkan dosa yang ditujukan orang lain kepada kita, itupun dibutuhkan kesediaan  kita untuk berkorban: yaitu mengampuni orang-orang yang telah berbuat salah kepada kita dan mendoakan mereka.  

Yesus, telah memberi teladan dan rahmat-Nya kepada kita. Ia telah lebih dulu mengampuni kita dan kini giliran kita untuk mengampuni sesama kita. Ini tidak mudah, sebab selain membutuhkan rahmat Tuhan, kesediaan mengampuni itu mensyaratkan pengorbanan kita, yang dibarengi dengan niat yang teguh dan kesungguhan untuk mewujudkannya. Kalau niat kita goyah, kita memandang salib Kristus, agar kembali diteguhkan untuk terus berjuang mengampuni, meskipun tidak mudah. Sebab hanya dengan mengampuni sesama, kita dapat memperoleh pengampunan dari Tuhan. 

Marilah berdoa:

+“O Yesus, 

dengan segenap jiwa, kami bersyukur atas pengorbananMu untuk menyelamatkan kami. Sebab begitu besarlah akibat dosa-dosa kami dan betapa mahal harga yang harus Kau bayar untuk menebusnya. Pengorbanan-Mu di kayu salib itu menjadi tanda dan bukti belas kasih-Mu yang tiada terbatas bagi  kami dan semua orang. Salib yang tadinya melambangkan dosa dan kematian, Kau ubah menjadi lambang pengampunan dan kehidupan kekal. Ya, Tuhan Yesus, terimalah pertobatan kami dan niat kami untuk memperbaikinya. Mampukanlah kami untuk berkorban demi kasih kami kepadaMu. Semoga dengan kekuatan yang berasal dari-Mu, kami dapat mengampuni orang-orang yang telah menyakiti hati kami.  Sebab kami berharap, suatu saat nanti kami dapat mendengar perkataan-Mu: “Pada hari ini engkau akan ada bersama-Ku dalam Kerajaan Surga.”

Amin.”
+


Teks Kitab Suci di bagian penutup:

“Sebab memang sesuai dengan keadaan Allah–yang bagi-Nya dan oleh-Nya segala sesuatu dijadikan–yaitu Allah yang membawa banyak orang kepada kemuliaan, juga menyempurnakan Yesus, yang memimpin mereka kepada keselamatan, dengan penderitaan.” (Ibr 2:10)


“For it became Him for whom are all things and by whom are all things, who had brought many children into glory, to perfect the Author of their salvation, by His passion.” (Hebrew 2:10, Douay Rheims Bible)

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab