
Ajaran Bapa Gereja dapat salah tapi ajaran Magisterium tidak dapat salah
Pertanyaan:
[Dari Katolisitas: Pertanyaan berikut adalah kelanjutan dari jawaban Ingrid atas pertanyaan di tanya jawab berikut ini, silakan klik. Namun karena panjangnya pembahasan, maka kami memisahkannya menjadi topik yang baru]
Syalom saudari Ingrid
Dari tanggapan Bu Ingrid, ada yang ingin saya tanyakan :
9. Ajaran Bapa Gereja dapat salah?
Anda mengatakan bahwa ada kemungkinan para Bapa Gereja dapat salah memberikan pengajaran. Saya tidak menyangkal hal ini, namun umat Katolik percaya bahwa ajaran Magisterium Gereja Katolik tidak mungkin salah, atas jaminan dari Kristus sendiri kepada para rasul, teristimewa kepada Rasul Petrus (lih. Mat 16:18-19; Mat 18:18). Magisterium dalam pengajarannya tidak mengutip semua pengajaran Bapa Gereja, melainkan mereka juga memeriksa dan merenungkannya atas bimbingan Roh Kudus, sehingga mereka hanya mengutip dan menyampaikan ajaran yang sudah pasti benar.
Maka, jika anda mengetahui ada ajaran Bapa Gereja yang salah, silakan anda sebutkan, pada topik apa. Tidak menjadi masalah, sebab yang terpenting bagi umat Katolik adalah ajaran Magisterium Gereja, bukan ajaran pribadi dari para Bapa Gereja. Memang bisa terjadi, dari sekian banyak ajaran Bapa Gereja tertentu, terdapat hal- hal yang tidak sepenuhnya benar, sehingga di sini pentingnya Magisterium untuk memeriksa tulisan para Bapa Gereja tersebut, dan mengambil hanya ajaran- ajaran yang sesuai dengan keseluruhan ajaran Kristus, para rasul dan para Bapa Gereja sebelumnya. Ajaran Gereja Katolik tidak semata- mata tergantung pada ajaran para Bapa Gereja [karena tidak semuanya dinyatakan benar oleh Magisterium], namun secara umum ajaran para Bapa Gereja sangat besar manfaatnya bagi pemahaman Kitab Suci dan ajaran para rasul. Adanya kemungkinan bahwa ajaran para Bapa Gereja tidak seluruhnya benar mengingatkan kita bahwa pendapat pribadi kitapun belum tentu benar. Oleh karena itu, begitu pentinglah peran Magisterium dalam menentukan ajaran iman dan moral; karena kuasa Yesus sendiri yang menjamin kebenarannya. Ajaran Magisteriumlah yang dipegang oleh Gereja Katolik, dan inilah yang kami usahakan agar kami sampaikan di situs Katolisitas.
Pertanyaan :
1.Kalau dari 3 pilar kebenaran gereja, salah satunya adalah TRADISI SUCI, yang ingin saya tanyakan apakah Surat Bapa Gereja / Ajaran Para Bapa Gereja itu TERMASUK dalam TRADISI SUCI atau TRADISI SUCI itu sendiri ?
2.Tanggapan Bu Ingrid mengatakan bahwa AJARAN PARA BAPA GEREJA itu SALAH atau TIDAK SEPENUHNYA BENAR ? karena SALAH & TIDAK SEPENUHNYA benar itu 2 pengertian yang berbeda. contoh :
*SALAH = Membunuh itu baik
*TIDAK SEPENUHNYA BENAR = Ajaran – ajaran kebaikan dari agama BUDHA ( memang tidak diilhami roh kudus, tapi tetap baik )
3.Ajaran Para Bapa Gereja mana saja yang TIDAK SEPENUHNYA BENAR ? dan MANA yang benar ?
4.Kalau ada ajaran para bapa gereja yang tidak sepenuhnya benar, berarti’kan merusak salah satu pilar gereja itu sendiri ? bagaimana kita bisa percaya akan pilar itu ?
Mohon tanggapannya, karena saya kok mulai bingung.
TUHAN YESUS MEMBERKATI & BUNDA MARIA menuntun anda pada putraNYA
Jawaban:
Shalom Budi Darmawan,
Tradisi Suci tidak identik dengan semua tulisan Bapa Gereja. Hanya tulisan Bapa Suci yang benar (sesuai dengan keseluruhan Kitab Suci dan ajaran para rasul) saja yang dapat disebut termasuk dalam Tradisi Suci. Nah untuk menentukan benar atau tidaknya, atau termasuk atau tidaknya suatu ajaran Bapa Gereja ke dalam Tradisi Suci, itu adalah tugas Magisterium, tentu oleh pimpinan Roh Kudus. Maka Magisterium memasukkan hanya pengajaran- pengajaran Bapa Gereja yang konsisten dengan keseluruhan Kitab Suci, ajaran para rasul dan para Bapa Gereja pendahulu mereka ataupun ajaran Bapa Paus yang telah menjadi Tradisi Suci. Di sinilah ketiga pilar Gereja bekerjasama, yaitu Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium (Wewenang mengajar Gereja); dan ketiganya membentuk pilar yang kokoh bagi Gereja Katolik, sehingga dapat bertahan selama 2000 tahun, yaitu sejak didirikan Kristus sampai sekarang.
Tradisi Suci tidak dapat dipisahkan dari Kitab Suci, karena melalui Tradisi Sucilah kita memperoleh Kitab Suci yang kita kenal sekarang. Ingatlah bahwa sebelum Gereja mempunyai Kitab Suci, jemaat di abad- abad awal menggantungkan pengajarannya lewat khotbah-khotbah lisan para rasul dan para Bapa Gereja, dan tulisan- tulisan mereka, dan inilah yang menjadi sumber utama bagi Tradisi Suci Gereja. Bahwa kemudian sebagian dari pengajaran para rasul itu dibukukan, dan dikenal sebagai keempat Injil dan surat- surat para rasul dalam Kitab Suci, itu saja sudah membuktikan kesetaraan dan hubungan yang dekat sekali antara Tradisi Suci dan Kitab Suci; sebab dari keduanya kita menerima pengajaran Sabda Allah.
Untuk lebih jelasnya mari kita lihat pengertian Tradisi Suci.
1. Tentang Tradisi Suci.
Berikut ini adalah pengertian Tradisi Suci, dalam hubungannya dengan Kitab Suci dan Magisterium, seperti tertulis dalam Katekismus Gereja Katolik:
KGK 80 “Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan erat sekali dan terpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama” (Dei Verbum 9). Kedua-duanya menghadirkan dan mendaya-gunakan misteri Kristus di dalam Gereja, yang menjanjikan akan tinggal bersama orang-orang-Nya “sampai akhir zaman” (Mat 28:20).
KGK 81 …. “Oleh Tradisi Suci Sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka, memelihara, menjelaskan, dan menyebarkannya dengan setia” (Dei Verbum 9).
KGK 83 Tradisi yang kita bicarakan di sini, berasal dari para Rasul, yang meneruskan apa yang mereka ambil dari ajaran dan contoh Yesus dan yang mereka dengar dari Roh Kudus. Generasi Kristen yang pertama ini belum mempunyai Perjanjian Baru yang tertulis, dan Perjanjian Baru itu sendiri memberi kesaksian tentang proses tradisi yang hidup itu….
KGK 84 “Pusaka Suci” (Bdk. 1 Tim 6:20; 2 Tim 1:12-14) iman [depositum fidei] yang tercantum di dalam Tradisi Suci dan di dalam Kitab Suci dipercayakan oleh para Rasul kepada seluruh Gereja. “Dengan berpegang teguh padanya seluruh Umat Suci bersatu dengan para Gembala mereka dan tetap bertekun dalam ajaran para Rasul dan persekutuan, dalam pemecahan roti dan doa-doa (lih. Kis 2:42 Yn). Dengan demikian dalam mempertahankan, melaksanakan, dan mengakui iman yang diturunkan itu timbullah kerukunan yang khas antara para Uskup dan kaum beriman” (Dei Verbum 10).
KGK 85 “Adapun tugas menafsirkan secara otentik Sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu, dipercayakan hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup, yang kewibawaannya dilaksanakan atas nama Yesus Kristus” (Dei Verbum 10).
KGK 86 “Wewenang Mengajar itu tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan,hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh Sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya dengan khidmat, dipelihara dengan suci, dan diterangkannya dengan-setia; dan itu semua diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang diajukannya untuk diimani sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah” (Dei Verbum 10).
KGK 95 “Maka jelaslah Tradisi Suci, Kitab Suci, dan Wewenang Mengajar Gereja, menurut rencana Allah yang maha bijaksana, saling berhubungan dan berpadu sedemikian rupa, sehingga yang satu tidak ada tanpa kedua lainnya dan semuanya bersama-sama, masing-masing dengan caranya sendiri, di bawah gerakan satu Roh Kudus, membantu secara berdaya guna bagi keselamatan jiwa-jiwa” (Dei Verbum 10,3).
KGK 97 “Tradisi Suci dan Kitab Suci merupakan satu perbendaharaan keramat Sabda Allah yang dipercayakan kepada Gereja” (Dei Verbum 10).
Maka, ajaran para Bapa Gereja memang merupakan salah satu sumber yang penting bagi Tradisi Suci, di samping hasil konsili- konsili para uskup dan pengajaran dari Bapa Paus. Dalam hal ini, Magisterium (yaitu Bapa Paus dan para uskup dalam persekutuan dengan Paus) itulah yang pada akhirnya menentukan tulisan- tulisan mana dari para Bapa Gereja yang dapat dipegang sebagai acuan pada saat menentukan/ menyatakan secara tertulis pengajaran yang menyangkut hal iman dan moral, yang bersifat infallible (tidak mungkin salah). Kuasa “tidak mungkin salah” ini diberikan Yesus kepada Rasul Petrus dan para rasul (Mat 16:18-19; 18:18) yang kini masih berlaku bagi para penerus mereka, sebab kesatuan ajaran merupakan sesuatu yang mutlak bagi kesatuan Gereja.
Jadi tulisan- tulisan para Bapa Gereja itu tidak otomatis infallible, tetapi jika sudah dinyatakan menjadi acuan oleh Magisterium, kita dapat yakin bahwa tulisan para Bapa Gereja tersebut adalah benar, dan pengajaran yang benar inilah yang termasuk dalam Tradisi Suci.
2. Adakah tulisan para Bapa Gereja yang salah/ tidak sepenuhnya benar?
Walau tidak banyak atau tepatnya relatif sangat sedikit, dapat kita temukan beberapa tulisan para Bapa Gereja yang salah ataupun tidak sepenuhnya benar, sehingga Magisterium tidak mengambil tulisan mereka sebagai patokan pengajaran, karena tidak sesuai dengan keseluruhan pengajaran yang ada dalam pusaka iman/ deposit of faith. Perihal istilah “salah” atau “tidak sepenuhnya benar”, itu dapat kita lihat dalam konteksnya masing- masing.
Beberapa contohnya adalah :
1. Sebagian pengajaran dari Tertullian (160-225), terutama setelah ia memisahkan diri dari Gereja Katolik.
Tertullian dikenal sebagai salah seorang Bapa Gereja yang sangat terkenal di jaman Gereja awal, sejak masa pertobatannya pada tahun 197. Tertullian dikenal sebagai seorang apologist yang ulung dalam membela ajaran Kristiani terhadap ajaran- ajaran sesat pada jamannya. Tulisannya yang terkenal adalah “To the Martyrs/ Ad martyres“, karya apologetiknya, yaitu Ad nationes dan Apologeticus, atau Against Marcion yang menentang aliran Gnostism.
Namun menjelang tua, ia menuliskan ajaran yang salah, yaitu pada saat ia bergabung dengan ajaran sesat Montanism. Tahun 206 ia bergabung dengan sekte Montanism dan akhirnya sepenuhnya meninggalkan Gereja Katolik sekitar tahun 212. Bergabungnya Tertullian dalam Montanism dan akhirnya malah mendirikan sektenya sendiri adalah suatu ironi, karena sebelumnya Tertullian adalah salah seorang Bapa Gereja yang sangat membela Gereja Katolik. Dalam tulisannya De Praescriptione (On Prescription against Heretics) malah ia mengajarkan bahwa jika terjadi pertentangan antara Gereja dengan suatu aliran yang memisahkan diri, maka beban kesalahan ada di pihak yang memisahkan diri. Ini adalah sesuatu yang ironis, karena akhirnya ia sendiri memisahkan diri dari Gereja Katolik.
Dengan kenyataan di atas, maka secara garis besar kita mengetahui ada tiga periode tulisan Tertullian: 1) ketika Ia masih Katolik (197-206); 2) ketika ia menjadi semi Montanist (206-212); 3) ketika ia sudah menjadi Montanist (213- dst) ((lihat Stephen Ray, Upon this Rock, (San Francisco, Ignatius, 199), p. 173)). Jadi periode ini cukup penting untuk dipahami, pada saat kita mengamati tulisan Tertullian, terutama dalam topik keutamaan Petrus dan ajarannya tentang hakekat Gereja, karena sedikit banyak terdapat “pergeseran” pengertian dari periode awal ke periode berikutnya. Contoh pergeseran tulisannya yentang keutamaan Petrus, sebagai berikut ((Ibid., p. 168-175)).
Tertullian periode awal, 197-206:
“Apakah ada yang tersisihkan dari pengetahuan Petrus, yang dipanggil, ‘batu karang yang atasnya Gereja akan didirikan’, yang juga memperoleh ‘kunci-kunci kerajaan surga,’ dengan kuasa, ‘melepas dan mengikat di surga dan di bumi?” ((Tertullian, On Prescription against Heretics 22, Ante Nicene Fathers 3:253)).
“Jika Petrus ditegur oleh Paulus karena hidup dengan para pagan, … kesalahan tentunya adalah dalam hal prosedur bukan dalam hal doktrin.” ((Ibid., 23, Jurgens, Faith of the Early Church Fathers 1:121))
“…Jika engkau ingin mengetahui lebih baik dalam hal keselamatanmu, hampirilah Gereja- gereja apostolik di mana tahta para rasul masih pada tempatnya; … jika kamu di dekat Italia, kamu mempunyai Roma, dimana otoritas kita berasal. Berbahagialah Gereja itu (Gereja Roma) di mana para rasul menumpahkan keseluruhan pengajaran bersama dengan darah mereka, di mana Petrus menjalani penderitaan seperti Tuhan Yesus, di mana Paulus dimahkotai dengan kematian yang sama dengan kematian Yohanes Pembaptis, di mana Rasul Yohanes setelah diceburkan kepada minyak mendidih namun tidak menderita cacat sedikitpun, yang kemudian diasingkan di sebuah pulau.” ((On Prescription against Heretics, 36, 1, in Jurgens, Faith of the Church Fathers: 1:22))
Tertullian periode 206-212 (semi Montanist):
“Sebab meskipun kamu berpikir bahwa surga masih tertutup, ingatlah bahwa Tuhan menyerahkan di sini kunci-kuncinya kepada Petrus dan melaluinya kepada Gereja, yang mana setiap orang yang telah ditanyai, dan membuat pengakuan, akan mengikuti Petrus.” ((Scorpiace 10, Ante Nicene Fathers 3: 643))
Tertullian periode 213- seterusnya (Montanist)
“…Kamu berkata, “Gereja mempunyai kuasa untuk mengampuni dosa.” Ini aku akui dan aku putuskan secara hukum lebih daripada kamu, aku yang mempunyai Roh Kudus sendiri di dalam diri nabi- nabi yang baru, berkata, “Gereja mempunyai kuasa mengampuni dosa, tetapi aku tidak akan melakukannya…. Jika, karena Tuhan berkata kepada Petrus, “Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku,” “kepadamu kuberikan kunci Kerajaan Surga,” kamu menyangka bahwa kuasa mengikat dan melepaskan telah diberikan kepadamu, yaitu Gereja yang bersaudara dengan Petrus, orang seperti apakah kamu, yang menumbangkan dan mengubah maksud Tuhan, yang memberikan karunia ini hanya kepada Petrus? …. Hanya di dalam Petrus, Gereja diposisikan di belakang, hanya Petrus saja yang memegang kunci… Karena itu, Petrus sendirilah yang pertama melepaskan, dalam Baptisan, pintu masuk ke kerajaan surga, di mana di Kerajaan dilepaskan dosa- dosa yang tadinya terikat; dan hal- hal yang belum dilepaskan, menjadi terikat.”
Ajaran Tertullian yang terakhir ini sering dikutip oleh saudara- saudari kita yang Protestan untuk mengatakan bahwa kuasa yang diberikan oleh Kristus hanya diberikan kepada Petrus, dan bukan kepada Gereja. Namun mereka lupa (tidak mengindahkan) tulisan Tertullian sebelum dia menjadi Montanist, dan bahwa hampir semua Bapa Gereja yang lain mengajarkan bahwa keutamaan Petrus itu diteruskan oleh para penggantinya. Selanjutnya, kepemimpinan Uskup Roma (yaitu Paus) atas seluruh Gereja sudah diakui dan dilaksanakan sejak Rasul Petrus wafat, seperti yang dijabarkan dalam artikel Keutamaan Petrus bagian 4 dan 5 (artikel bagian 5 baru akan ditayangkan dalam waktu dekat, mohon kesabarannya).
2. Ajaran Origen (185- 254) tentang “pre-existence of souls“
Origen adalah Bapa Gereja yang dikenal sangat menguasai Kitab Suci dan darinyalah Gereja memperoleh pengajaran untuk menginterpretasikan Kitab Suci secara literal dan spiritual, seperti yang pernah diuraikan di sini, silakan klik.
Namun demikian, hipotesa Origen salah, ketika ia mengambil ajaran Plato (seorang filsuf Yunani) yang mengajarkan teori spekulatif “pre-existence of souls“, yang mengatakan bahwa jiwa- jiwa manusia sudah ada, sebelum akhirnya ‘dibuang’ ke dunia, akibat dosa yang mereka lakukan. Tubuh manusia disebutnya sebagai kondisi pengasingan dan belenggu (lih. Comment ad. Rom 1:18). Maka ia mengajarkan bahwa hidup di dunia adalah sebagai hukuman dari dosa yang dilakukan oleh sebuah jiwa sebelum ia dilahirkan.
Tentu ajaran spekulatif ini tidak benar. Magisterium Gereja Katolik tidak mengambil ajaran Origen ini karena tidak sesuai dengan keseluruhan Kitab Suci dan ajaran para Bapa Gereja lainnya. Magisterium menyanggah ajaran ini dengan mengacu kepada ayat- ayat Kitab Suci, sebagai berikut: ((lih. Dr Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma, p.99)):
a. Keb 8:19: “Memang aku seorang pemuda yang budi pekertinya, dan aku mendapat jiwa yang baik; atau sebaliknya: oleh karena aku itu baik, maka aku masuk ke dalam tubuh yang tak tercela.”
b. Kej 1:31, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan Allah, tubuh dan jiwa dengan “sungguh amat baik” adanya. Maka tidak benar bahwa tubuh manusia merupakan suatu hukuman/ belenggu.
c. Rom 3:1, Rom 5:12: Dosa masuk ke dunia melalui dosa manusia pertama.
d. Rom 9:11: “Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat,….”
Dari ayat- ayat di atas, diketahui bahwa Tuhan menciptakan tubuh manusia baik adanya, dan bukan sebagai penjara/ belenggu, yang berkonotasi buruk. Selain itu hampir semua Bapa Gereja, hanya dengan sedikit perkecualian, adalah penentang teori pre-exentianism yang dianut oleh Origen dan beberapa muridnya. Contoh Bapa Gereja yang menentang teori ini adalah: St. Gregory Nazianzen, (lih. Or. 37, 15), St. Gregorius Nissa (lih. De anima et resurrectio, par 15,3), St. Agustinus, (lih. Epistle 217, 5, 16), Leo I, (Epistle. 15, 10).
Di sini jelas terlihat bahwa pada akhirnya Magisteriumlah yang akhirnya menentukan ajaran Bapa Gereja manakah yang sesuai dengan pusaka iman yang berdasarkan Kitab Suci dan ajaran para Bapa Gereja yang lain. Atas pertimbangan yang dalam dan dengan bimbingan Roh Kudus-lah Magisterium mengajarkan bahwa setiap jiwa manusia diciptakan langsung dari sesuatu yang tidak ada, pada saat persatuannya dengan tubuhnya. Ajaran Origen ini kemudian ditolak/ dinyatakan salah, pada Sinode Konstantinopel (543).
3. Ajaran St. Thomas Aquinas (1224-1274), yang tidak mendukung ajaran Bunda Maria dikandung tanpa noda (Immaculate Conception).
Umumnya saudara/i kita yang Protestan mengambil contoh ini dan mengatakan bagaimana seseorang yang dinobatkan sebagai Santo (orang kudus) dapat menentang ajaran Gereja Katolik yang ditetapkan dalam konstitusi dogmatik tahun 1854? (Apalagi St. Thomas Aquinas adalah seorang teolog yang sangat handal dalam menjelaskan pokok-pokok iman Kristiani, melalui bukunya Summa Theology). Mereka bertanya demikian, karena tidak memahami, bahwa sebelum Gereja Katolik mengeluarkan suatu dogma tertentu secara definitif, memang para teolog dapat saja mengutarakan pandangannya tentang hal tersebut. Namun demikian, setelah Magisterium mengumumkan suatu ajaran secara definitif, maka semua umat Katolik harus menerimanya. Maka jika St. Thomas Aquinas masih hidup di dunia sampai tahun 1900, tentu St. Thomas juga akan tunduk kepada pengajaran Magisterium.
Lagipula yang dipermasalahkan dalam bukunya Summa Theologica III, q. 27, a. 2, yang dipermasalahkan oleh St. Thomas adalah: Apakah Bunda Maria dikuduskan sebelum ‘animation’/ conception atau sesudahnya. Maka, nampaknya, diskusi di sini adalah mengenai kapankah tepatnya Bunda Maria dijadikan tidak bernoda sejak di dalam kandungan oleh Allah? Karena St. Thomas Aquinas tidak meragukan bahwa oleh rahmat Allah yang khusus diberikan kepada Bunda Maria, maka sejak dalam kandungan Maria dikuduskan oleh Allah. Selanjutnya, jika anda tertarik untuk membaca lebih lanjut tentang topik ini, silakan membaca jawaban kami di sini, silakan klik, karena sudah dibahas di sana.
Saya ingin pula mengutip akan ketaatan St. Thomas Aquinas kepada Magisterium Gereja Katolik, sebab ia menyerahkan keputusan kepada Gereja untuk menyikapi semua ajaran yang dituliskannya. Kutipan perkataannya sesaat sebelum wafatnya, ketika ia menerima Sakramen Perminyakan suci, dan ketika Viaticum suci diberikan kepadanya, adalah sebagai berikut:
“If in this world there be any knowledge of this sacrament stronger than that of faith, I wish now to use it in affirming that I firmly believe and know as certain that Jesus Christ, True God and True Man, Son of God and Son of the Virgin Mary, is in this Sacrament . . . I receive Thee, the price of my redemption, for Whose love I have watched, studied, and laboured. Thee have I preached; Thee have I taught. Never have I said anything against Thee: if anything was not well said, that is to be attributed to my ignorance. Neither do I wish to be obstinate in my opinions, but if I have written anything erroneous concerning this sacrament or other matters, I submit all to the judgment and correction of the Holy Roman Church, in whose obedience I now pass from this life.” (terjemahan yang dicetak tebal: … tetapi jika saya telah menuliskan apapun yang salah tentang sakramen ini atau hal- hal lainnya, saya menyerahkan semua kepada penilaian dan koreksi dari Gereja Roma yang kudus, yang di dalam kepatuhan kepadanya sekarang saya beralih dari kehidupan ini).
Kerendahan hati St. Thomas layak menjadi teladan bagi umat Katolik, jika kita ingin tunduk pada kehendak Kristus yang menginginkan agar semua murid-Nya bersatu (lih. Yoh 17:20-21), di dalam Gereja yang didirikan-Nya di atas Rasul Petrus, sampai akhir jaman.
Demikianlah, beberapa contoh bahwa para Bapa Gereja dapat saja mengajarkan sesuatu yang salah, sebab pengajaran mereka tidak “infallible” (tidak mungkin salah). Namun demikian, kita tidak perlu kuatir dan bingung, sebab Magisterium (Paus dan para uskup pendukungnya, sebagai penerus Rasul Petrus dan para rasul lainnya) diberi kuasa oleh Tuhan Yesus untuk mengajarkan secara “infallible” (tidak mungkin salah) sesuai dengan janji-Nya, sampai akhir jaman (Mat 16:18-19, 18:18, 28:19-20). Tentu, infalibilitas ini hanya terbatas pada pengajaran Magisterium dalam hal iman dan moral, seperti telah dibahas di sini, silakan klik, dan klik di sini. Wewenang mengajar/ Magisterium inilah yang menjaga kesatuan pengajaran yang konsisten sepanjang sejarah Gereja, sehingga Gereja Katolik tetap bersatu sejak saat didirikan oleh Kristus di atas Rasul Petrus sampai sekarang. Sudah selayaknya kita melihat hal ini dengan kacamata yang jujur dan obyektif, bahwa kesatuan Gereja ditentukan oleh kesatuan doktrin/ ajaran nya, dan bukan hanya melalui sesuatu yang tampaknya bersatu, tetapi memegang ajaran yang berbeda- beda.
Mari kita, sebagai umat Katolik bersyukur kepada Tuhan yang telah memimpin Gereja-Nya, melalui Magisterium Gereja Katolik, yang dengan setia meneruskan keseluruhan ajaran Kristus dan para rasul, sesuai dengan Kitab Suci dan Tradisi Suci.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Musik Liturgi
Pengantar
Berbicara tentang musik-liturgis, kita ingat akan nama-nama lain yang juga sering kita dengar seperti: musik-gereja, musik-rohani, musik-suci. Dalam rangka mengerti kekhasan musik liturgi baiklah lebih dahulu kita memahami arti dari istilah-istilah lain itu dan hubungannya dengan musik-liturgis.
Jenis Musik
“Musik-gereja” atau musica eccelsiastica adalah istilah yang digunakan oleh para pengikut Kristus atau Gereja ketika persekutuan beriman ini menyadari kekhasannya dalam mengekspresikan iman lewat musik terutama dalam ibadat atau liturgi. Istilah ini mengacu pada tatanan bunyi dengan melodi tertentu tanpa teks atau sesuai dengan bentuk teks yang mengungkapkan baik isi hati umat beriman maupun ajaran dan iman Gereja. Musik ini dapat dihasilkan dengan bantuan alat/instrumen atau/dan dengan suara penyanyi. Karena mengungkapkan iman yang diajarkan dan dihayati oleh umat beriman maka musik Gereja memiliki kekhasan dibandingkan dengan musik dari umat yang beragama lain meskipun dipengaruhi juga oleh musik agama lain misalnya dari musik orang Yahudi. Musik gereja pada umumnya adalah salah satu bentuk dari musik-religus atau musik-rohani.
Yang dimaksudkan dengan “musik-religius” (musica religiosa) atau “musik-rohani” adalah musik yang mengungkapkan atau mengandung tema-tema rohani. Musik atau lagu rohani ini dimiliki umat agama manapun. Bahkan ada tema musik-rohani yang umum diterima oleh umat manapun karena bersifat universal. Baik melodi maupun teksnya mengungkapkan pengalaman rohani yang diterima oleh orang beriman dari berbagai agama. Ketika suatu musik/lagu rohani mengungkapkan pengalaman khusus dari umat agama tertentu, maka ia menjadi musik/lagu yang khas misalnya lagu-rohani khas Yahudi atau khas Hindu dan Budha atau khas Kristen dan Islam. Musik-rohani itu jadi khas Kristiani bila mengungkapkan keyakinan iman akan Kristus Tuhan dan Penyelamat atau akan Tritunggal Mahakudus serta pokok iman lain yang diyakini orang Kristiani. Itulah yang kita namakan secara umum musik-gereja. Di dalam lingkup Gereja sendiri, musik-rohani dalam arti sempit berarti segala macam musik/lagu yang mengungkapkan pengalaman rohani khas Gereja tetapi tidak dimaksudkan untuk digunakan dalam perayaan-perayaan liturgis.
Ada juga istilah “musik-suci” (musica sacra) yang pernah dipakai oleh Gereja Katolik dalam arti segala macam musik-rohani atau musik-gereja yang digubah khusus untuk ibadat atau perayaan-perayaan liturgis. Kini istilah yang lebih populer adalah “musik-liturgis”. Karena itu sekedar untuk membedakan musik-suci dari musik-liturgis, menurut Gelineau (Voices and Instruments in Christian Worship: Principles, Laws, Applications, Collegeville: The Liturgical Press, 1964) musik-suci dalam arti tertentu mengacu pada semua macam musik yang inspirasinya atau maksud dan tujuan serta cara membawakannya mempunyai hubungan dengan iman Gereja. Lalu apa itu musik-liturgis dan ciri-cirinya?
Ciri-ciri Musik Liturgis
“Musik-liturgis” (khususnya melodi yg dihasilkan oleh alat-alat musik) dan “nyanyian-liturgis” (khususnya teks atau tindakan liturgis yang diberi melodi), dapat dilagukan dengan suara dan bunyi alat-alat musik sebagai pengiring. Baik teks maupun musik dengan melodinya yang secara khas mengekspresikan iman Gereja yang dirayakan dalam liturgi yaitu tentang apa yang dilakukan Allah (karya agung Allah yang menyelamatkan) dan tanggapan manusia beriman (syukur-pujian, sembah-sujud, dan permohonan).
Kita menggunakan istilah “musik-liturgis” dan bukan “musik dalam liturgi” karena dengan “musik-liturgis” mau digarisbawahi pandangan Gereja tentang musik sebagai bagian utuh dari perayaan liturgi dan bukan sebagai suatu unsur luar yang dicopot dan dimasukkan ke dalam perayaan liturgis seakan-akan suatu barang asing atau hal lain dari liturgi lalu diletakkan di tengah perayaan liturgi.
Sebagai bagian utuh dari liturgi, musik-liturgi itu merupakan doa dan bukan sekedar suatu ekspresi seni yang jadi bahan tontonan. Memang musik-liturgi itu mesti indah dan memenuhi persyaratan-persyaratan seni musik/nyanyian pada umumnya, namun lebih dari itu musik-liturgi mengungkapkan doa manusia beriman. Bahkan musik atau nyanyian-liturgis sebagai doa mempunyai nilai tinggi. Sebab musik-liturgi menggerakkan seluruh diri manusia yang menyanyi atau yang menggunakan alat-alat musik (budi, perasaan-hati, mata, telinga, suara, tangan atau kaki dll). Sekaligus demi harmoni dituntut kurban untuk meninggalkan diri sendiri dan menyesuaikan diri dengan orang lain, dengan tempat, dengan situasi, dengan maksud-tujuan musik/nyanyian liturgis yaitu demi Tuhan dan sesama. Ini memang cocok dengan hakekat dari liturgi sebagai perayaan bersama yang melibatkan banyak orang demi kepentingan umum (kemuliaan Tuhan dan keselamatan manusia, bukan hanya demi diri sendiri). Oleh karena itu Gereja mewarisi pandangan bahwa orang yang menyanyi dengan baik sebenarnya berdoa dua kali (si bene cantat bis orat). Sekali lagi, nilai yang tinggi itu tercapai kalau ada kurban dengan meninggalkan diri sendiri dan bersatu dengan yang lain dalam menyanyi atau bermusik demi kepentingan bersama.
Seni Musik Liturgis
Musik-liturgis sebagai karya seni (bukan tontonan atau pertunjukan) sebenarnya membantu kita semua sebagai peraya untuk mengarahkan seluruh diri kepada inti misteri yang dirayakan dalam liturgi yaitu kepada Tuhan sendiri sebagai sumber segala karya seni. Oleh karena itu cara-cara yang mengalihkan perhatian kita kepada hal lain atau kepada tokoh tertentu perlu diwaspadai. Bisa saja kita memilih seorang artis sebagai pemazmur atau penyanyi solo tetapi ketika ia menjalankan tugasnya tidak boleh ditonjolkan keartisannya, tetapi “fungsi liturgisnya”. Memberikan aplaus kepada si pemazmur atau solist karena suaranya yang bagus lebih merupakan bagian dari suatu acara panggung pertunjukan. Demikian juga pembawa homili yang memilih dan membawakan lagu yang sedang populer di tengah atau di akhir homili (karena ada kaitan dengan tema homili) yang langsung ditanggapi oleh umat dengan tepuk tangan meriah, perlu dipertimbangkan apakah hal seperti itu punya fungsi atau makna liturgis. Padahal ketika imam menyanyikan Prefasi atau Kisah Institusi dalam Doa Syukur Agung dengan suara yang bagus tidak diberi aplaus.
Pertimbangan yang sama dapat kita pakai untuk menilai kebiasaan koor menyanyikan semua lagu selama perayaan liturgis. Sebetulnya koor dengan dirigen yang bagus sungguh berfungsi liturgis kalau dapat membantu semua peraya yang lain untuk menyanyi bersama dengan lebih baik seperti atau mendekati cara koor menyanyi. Kalau dari awal sampai akhir semua nyanyian dibawakan hanya oleh koor, meskipun semuanya sangat mempesona, sebetulnya telah mengurangkan maknanya sebagai musik/nyanyian liturgis. Perlu ada suatu pembagian yang lebih seimbang dalam hal ini.
Proses Menjadi Musik Liturgis
Menerima musik-liturgis sebagai doa liturgis menuntut pula kesediaan setiap peraya atau kelompok peraya untuk menerima musik atau nyanyian yang sudah disepakati oleh Gereja untuk dipakai di dalam perayaan-perayaan liturgi. Musik/nyanyian yang ada di dalam buku-buku nyanyian yang diterbitkan dengan nihil obstat dan imprimatur pimpinan Gereja, dipandang sebagai musik-liturgis. Tentu melewati proses seleksi yang dibuat oleh orang-orang yang punya kemampuan dalam bidangnya hingga mendapat persetujuan dari pimpinan Gereja. Kesempatan terbuka bagi para komponis untuk mencipta lagu-lagu bagu yang lebih sesuai dengan rasa seni musik orang setempat, namun untuk dipakai sebagai musik/nyanyian liturgis perlu menempuh prosedur seleksi hingga mendapat pesetujuan resmi untuk dipakai dalam perayaan liturgi. Patut kita puji inisitip-inisitip untuk mencipta dan menemukan lagu-lagu baru yang lebih seusai dengan budaya setempat dan kebutuhan liturgis, misalanya dalam misa dengan “lagu-lagu alternatif”. Akan tetapi perlu kita waspadai kecenderungan menggunakan nyanyian-nyanyian baru itu tanpa peduli pada proses untuk “menjadi milik besama” dari Gereja, apalagi kalau yang jadi patokan utama adalah rasa suka, tertarik, tersentuh tanpa mengindahkan persyaratan liturgis.
Kadang terjadi bahwa kita memilih musik/nyanyian tertentu untuk perayaan liturgi karena sudah bosan dengan yang lama padahal yang baru itu belum tentu memenuhi persyaratan liturgis. Ini tantangan buat kita: merasa bosan dengan musik/nyanyian liturgis karena terus menerus menyanyikan yang sama (lama) atau merasa tidak tertarik, tidak suka, tidak tersentuh, tidak tergerak. Kita cendrung tersentuh dengan yang baru. Maka serta merta kita mencari dan membawakan musik/nyanyian baru dalam liturgi, tetapi tanpa pertimbangan atau seleksi. Dengan demikian dapat terjadi bahwa kita menggunakan musik/nyanyian yang sebenarnya tidak memenuhi persyaratan untuk perayaan liturgis.
Jadi bukan soal utama suka atau tidak suka, menarik atau tidak menarik, menyentuh atau tidak menyentuh, baru atau lama tetapi apakah telah menjadi “milik bersama” dari Gereja karena disepakati sebagai musik/nyanyian liturgis. Sebuah nyanyian atau musik diterima sebagai “milik bersama” bukan hanya karena telah dimasukkan ke dalam buku nyanyian resmi tetapi juga karena dilatih bersama, dinyanyikan bersama dan dipahami serta dihayati bersama maknanya dalam perayaan.
Musik-liturgis diterima atau diakui oleh Gereja sebagai miliknya, milik persekutuan demi kepentingan bersama (dikenal tradisi untuk tidak menulis si komponisnya dalam buku-buku resmi nyanyian-liturgis, tetapi nama mereka ditulis dalam catatan sejarah penyusunan buku). Perlu ada proses menjadikan musik-liturgis itu sebagai milik bersama. Dalam proses ini Gereja melihat betapa pelunya membuat latihan untuk menguasai dan menghayati musik/nyanyian bersama sebagai nyanyian dari hati, nayanyian yang mempengaruhi seluruh pribadi peraya. Jadi ada proses meninggalkan diri sendiri (rasa dan keinginan pribadi atu kelompok khusus) lalu menerima yang umum dan menjadikannya bagian atau milik pribadi demi kepentingan umum. Ini sebuah proses yang tidak gampang, karena yang menjadi tantangan adalah kecenderungan untuk mengutamakan rasa atau keinginan pribadi/kelompok khusus. Aspek personalnya lebih nampak dari pada aspek liturgis (yang umum). Kepentingan pribadi lebih menonjol dari pada kepentingan umum.
Untuk memenuhi persyaratan sebagai bagian utuh dari liturgi, musik-liturgi juga mesti berfungsi liturgis dalam arti baik teks maupun lagunya sesuai dengan unsur atau tindak liturgis dalam keseluruhan tata perayaan liturgis. Maka kita dapati nyanyian yang cocok untuk liturgi pembaptisan tetapi tidak sesuai untuk liturgi pernikahan. Nyanyian-liturgis untuk Ekaristi juga mesti sesuai dengan teks liturgi Ekaristi dan tindakan liturgis dalam unsur-unsur atau bagian-bagian tertentu dari liturgi Ekaristi. Sebuah lagu pembuka tentu tidak cocok untuk kesempatan seruan “kudus-kudus”, meskipun dari sudut kebenaran teks dan keindahan lagu tak ada cacat. Dalam hal ini tempat liturgis lagu pembuka itu tidak cocok atau nyanyian itu tidak mempunyai fungsi liturgis karena dinyanyikan pada saat “kudus kudus”.
Memilih Musik Liturgis
Perlu diketahui juga teks-teks liturgis mana saja yang dapat dinyanyikan (khususnya dalam liturgi Ekaristi). Ada teks-teks baku-tetap (antara lain Tuhan Kasihanilah Kami, Kemuliaan, Aku Percaya, Kudus-Kudus, Bapa Kami, Anak Domba Allah). Nyanyian ini disebutordinarium. Ada juga teks-teks yang dapat berubah atau bervarisi rumusannya sesuai dengan perayaan pada hari bersangkutan dan disebutproprium (Antifon Pembuka atau Lagu Pembuka untuk mengiringi perarakan masuk, Mazmur Tanggapan untuk menanggapi Sabda Allah yang telah dimaklumkan, Alleluia-Bait Pengantar Injil untuk menyiapkan diri mendengarkan pemakluman Injil, Antifon Komuni atau Lagu Komuni selama atau sesudah komuni, Nyanyian Persiapan Persembahan untuk mengiringi perarakan bahan-bahan persembahan dan Lagu Penutup untuk mengiringi perarakan kembali). Teks-teks ini sangat kaya dan berhubungan erat dengan tindakan liturgis, unsur-unsur liturgis, tema perayaan, masa liturgis serta bacaan-bacaan dalam perayaan liturgi. Suatu hal yang patut dipuji adalah kebiasan menyanyikan Mazmur Tanggapan dan Alleluia-Bait Pengantar Injil dengan teks yang bervariasi sesuai dengan hari atau pestanya. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah lagu yang sesuai dengan teks-teks antifon (Pembuka dan Komuni) yang sebenarnya sangat kaya dan bervariasi serta biblis.
Dalam hubungan dengan teks-teks liturgi, terutama yang harus atau boleh dinyanyikan, diharapkan agar susunannya tepat serta mudah dan indah kalau dinyanyikan. Dalam hal ini lagu melayani teks dan bukan sebaliknya. Baiklah kita waspadai nyanyian-nyanyian yang mengorbankan ketepatan dan kebenaran iman demi mempertahankan suatu melodi. Misalnya lagu Bapa Kami Filipina, demi penyesuaian dengan melodinya diubahlah rumusan “jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga” menjadi “jadilah kehendak-Mu di bumi dan di surga”. Mengganti “seperti” dengan “dan” sebenarnya mengubah iman kita akan surga, bahwa di surga dan di bumi kehendak Tuhan tidak selalu terjadi. Padahal kita percaya bahwa kehendak Tuhan selalu terjadi di surga sedangkan di bumi tidak selalu terjadi karena ulah manusia yang suka melawan kehendak Tuhan, maka kita mohon agar kehendak Tuhan terjadi di bumi seperti di surga. Kalau prinsip “melodi melayani teks” diperhatikan, maka ketepatan dn kebenaran teks-teks liturgis juga dapat lebih dijamin.
Ditulis oleh: Romo Bernardus Boli Ujan SVD (Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI tahun 2002-2008)
Tulisan ini pernah dimuat sebagai artikel dalam Majalah Bulanan Kristiani INSPIRASI, Lentera Yang Membebaskan, No 24, Tahun II Agustus 2006, hlm 27-29.
Penyesuaian dan inkulturasi liturgi
Pelbagai Istilah
Ada banyak istilah yang dipakai untuk penyesuaian liturgi antara lain akomodasi, adaptasi, akulturasi, inkulturasi, interkulturasi, kontekstualisasi, pemribumian atau indigenisasi (Indonesianisasi). ((Lihat tulisan atau buku-buku mengenai hal ini antara lain R.Francis, “Adaptation, Liturgical,” dalam The New Dictionary of Sacramental Worship, (ed. Peter E. Fink, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota, 1990), 14-25; Mario Saturnino Dias (ed), Evangelisation and Inculturation, (Pauline Publications, Mumbai, 2001); Mario Saturnino Dias (ed), Rooting Faith in Asia: Sourcebook for Inculturation (Claretian Press, Bangalore, India and Quezon City, Philippines, 2005); Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis (The Liturgical Press Collegeville, Minessota, 1992); Edmund S. Glenn with Christine Glenn, Man & Mankind, Conflict & Communication Between Cultures (Ablex Publishing Corporation, Norwood, New Jersey, 1981); Huub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi, Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2005).)) Dalam hubungan dengan ini kita mendengar juga istilah liturgi kreatif, ((Bdk Bernard Boli Ujan, “Siapa Yang Kreatif Dalam Misa Kreatif,” dalam Liturgi: Sumber Dan Puncak Kehidupan Vol. 16, No. 01, Januari-Pebruari 2005, 24-25.)) liturgi inovatif, liturgi kontemporer kalau liturgi itu hendak disesuaikan dengan daya kreasi dan inovasi kelompok tertentu terutama orang-orang muda yang hidup pada zaman ini. Kebanyakan istilah ini sebenarnya dipakai oleh para peneliti di bidang antropologi, sosiologi dengan arti khusus. Namun kemudian istilah-istilah ini dipakai juga dalam bidang teologi, missiologi serta liturgi. ((Onscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation, Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 13.)) Dalam bidang liturgi, pelbagai istilah ini dipakai untuk mengungkapkan kenyataan yang kurang lebih sama tetapi dengan aspek penekanan yang khas baik menyangkut isi atau bentuk serta titik tolak dan tujuan dari proses penyesuaian liturgi itu sendiri.
Akomodasi
Yang dimaksudkan dengan akomodasi dalam bidang liturgi ialah penyesuaian dalam tahap yang sederhana dan belum berkaitan langsung dengan budaya peraya setempat. ((Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya (terjemahan Komisi Liturgi KWI, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1987) 100.)) Berdasarkan akomodasi itu dapat dipilih kemungkinan yang telah disiapkan dalam buku-buku liturgi (seperti doa-doa atau bacaan-bacaan) agar sesuai dengan kelompok umat dan tingkat perayaan liturgis. Bila disiapkan berbagai kemungkinan rumusan doa dan bacaan untuk kelompok umat yang berbeda-beda, maka boleh dipilih yang sesuai dengan kelompok orang yang merayakan dan orang yang didoakan. Misalnya memilih salam liturgis untuk kelompok umat yang sedang bersukacita atau yang berduka. Atau memilih bacaan yang cocok untuk orang kudus yang dirayakan, memilih rumus doa untuk anak, orang muda atau untuk orang tua. Juga memilih rumus prefasi dan nyanyian yang cocok dengan tema perayaan, memilih rumus berkat yang sesuai dengan masa tahun liturgi. Pemilihan teks yang telah disiapkan dalam buku-buku liturgi dapat dilakukan oleh imam sebagai pemimpin ((“Akomodasi yang menjadi wewenang penuh pelayan ibadat, dalam pelaksanaan perayaan-perayaan hendaknya jangan diremehkan, karena sesungguhnya sesuai dengan jiwa SC 38-39. Justru itulah satu-satunya bidang penyesuaian di mana pelayan ibadat masing-masing dapat menggunakan wewenang dalam liturgi. Akomodasi bukanlah suatu bentuk hiburan bagi orang-orang tolol yang terpaksa diterima dengan enggan. Pilihan bacaan dan doa-doa yang tepat sangat menentukan untuk membuat seltiap perayaan liturgis menjadi penuh makna, entah itu ibadat Romawi, Bizantium entah India. Di sinilah liturgi dapat menyentuh kelompok umat Kristen. Dan hanya seorang pastorlah yang dapat merasakan perasaan umatnya dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan mereka. Bahkan hal yang begitu kecil seperti rubrik ‘Dia menyapa mereka dengan kata ini atau dengan kata-kata senada’ adalah penting, karena hal-hal kecil semacam itu memberi kemungkinan adanya suasana yang lebih hangat dan lebih pribadi.” Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 66.)) atau petugas lain yang diberi tanggungjawab dan kepercayaan untuk itu dalam kerja sama dengan pemimpin perayaan.
Sering tahap penyesuaian akomodasi ini dipandang kurang berarti bahkan dicap “hanya lahiriah” atau “hanya di permukaan saja”. Padahal sebagai salah satu tahap dari keseluruhan proses penyesuaian, akomodasi liturgi sebenarnya mempunyai arti penting. Tanpa tahap itu akan terjadi lompatan yang tinggi, seperti halnya menaiki sebuah tangga yang tinggi tanpa melewati anak tangga yang kecil. Bisa dibayangkan kesulitan yang dihadapi ketika tidak ada anak tangga yang kecil yang menghantar menuju tangga yang lebih tinggi itu. Kesediaan menerima dan memanfaatkan serta mengapresiasi tahap akomodasi juga mempunyai arti seperti halnya menghargai dan memanfaatkan baju yang dipakai, meskipun nampak hanya di luar tetapi berfungsi melindungi dan memberi arti pada bagian yang lebih dalam yaitu hati, jantung dan paru-paru dalam tubuh manusia sekaligus secara simbolis mengungkapkan apa yang ada di dalam hati dan budi manusia yang menggunakannya. Kalau terus menerus seseorang tidak memakai baju dan berusaha menyesuaikannya dengan kebutuhan menurut situasi atau cuaca di sekitarnya maka bagian dalam dari tubuh akan terancam juga. Memang masalahnya akan muncul bila penyesuaian itu berhenti pada tahap akomodasi saja dan tidak dilanjutkan atau diarahkan ke tahap yang lebih mendalam. Bila demikian akomodasi tidak berfungsi sebagai tahap penting menuju tangga penyesuaian yang lebih tinggi dan mendalam.
Adaptasi-akulturasi
Penyesuaian yang lebih mendalam terjadi bila penyesuaian itu berkaitan dengan budaya orang setempat yang mengambil bagian dalam perayaan. Dalam tahap ini penyesuaian dapat digolongkan dalam adaptasi-akulturasi dan inkulturasi. Adaptasi-akulturasi terjadi kalau ritus romawi dengan unsur-unsur budaya romawi disesuaikan dengan unsur-unsur budaya orang-orang setempat. ((G. Arbuckle, “Inculturation, Not Adaptation: Time to Change Terminolgy,” Worship 60/6 (1986) 512-520. Sebenarnya adaptasi bukanlah suatu istilah antropologis. Tetapi istilah ini dipakai dalam Konstitusi Liturgi SC 37-40 untuk memberi pedoman tentang penyesuaian liturgi dengan budaya setempat. Maka dipakai istilah “adaptasi budaya”. Arbuckle tidak setuju dengan penggunaan istilah adaptasi dalam bidang liturgi karena berpendapat bahwa istilah itu di masa lampau dipakai untuk menyatakan manipulasi budaya sebagai metode para penjajah dalam melangengkan kekuasaan di daerah jajahan. Maka Arbuckle mengusulkan agar istilah itu tidak lagi dipakai dalam bidang teologi dan liturgi, dan sebaiknya adaptasi diganti dengan istilah inkulturasi untuk menggambarkan proses implikasi injili menurut teologi Gereja setempat. Namun buku-buku liturgi resmi masih juga menggunakan istilah adaptasi budaya. Meskipun ada yang mencampuradukan atau menyamakan istilah adaptasi dan inkulturasi namun lebih baik kalau adaptasi dimaknai sebagai penyesuaian pada umumnya termasuk dalam bidang budaya, sedangkan inkulturasi dan akulturasi adalah cara-cara penyesuain khusus dalam bidang budaya. Lihat juga Mark R.Francis, “Adaptation, Liturgical,” dalam The New Dictionary of Sacramental Worship,(ed. Peter E. Fink, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota, 1990), 14-15; Bdk Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 24.)) Titik tolak proses penyesuaian ini (terminus a quo) adalah ritus romawi dan yang mau dicapai atau dihasilkan dalam proses ini adalah ritus romawi dengan unsur budaya setempat (terminus ad quem). Tata perayaan ritus romawi tidak mengalami perubahan besar namun unsur-unsur yang didukung oleh budaya romawi dapat mengalami perubahan karena disesuaikan dengan budaya setempat. Misalnya tata perayaan Ekaristi romawi tidak berubah tetapi bahasanya, gaya pengungkapan atau simbol-simbolnya dapat berubah karena disesuaikan dengan budaya orang setempat seperti budaya Jawa.
Dalam proses adaptasi-akulturasi ((Menurut Shorter (Towards a Theology of Inculturation, London, 1988, 6-8, 12), akulturasi berarti pertemuan antara satu budaya dengan yang lain, atau pertemuan antara dua budaya yang berbeda. Dalam pertemuan itu muncullah rasa saling menghargai dan toleransi. Shorter juga mengatakan bahwa pertemuan itu terjadi pada hal-hal lahiriah.)) ini kekhasan bentuk budaya romawi yang terdapat dalam unsur-unsur perayaan liturgi dapat dilucuti dan diganti, dapat pula dipertahankan dan di diperjelas.
Kemungkinan pertama: unsur dengan ciri khas budaya romawi dilucuti dan diganti. Bentuk ekspresi dari unsur-unsur tata perayaan romawi itu dihilangkan karena kurang menyentuh atau bahkan bertentangan dengan bentuk ekspresi budaya setempat. Dengan kata lain kekhasan ekspresi budaya romawi dalam unsur-unsur itu dihilangkan (tanpa menghilangkan maknanya) lalu diganti dengan kekhasan ekspresi budaya setempat sehingga arti dari unsur itu tidak hilang tetapi dapat dengan lebih mudah dipahami dan dihayati oleh orang-orang setempat. Misalnya perecikan air suci yang dicampur dengan garam diganti dengan perecikan air kelapa muda yang dicampur dengan daun tumbuhan hijau dan sejuk atau perecikan dengan air yang ditaburi bunga menurut adat kebiasaan setempat. Dalam hal ini makna dari perecikan tidak dihilangkan tetapi bentuk ekspresi budaya romawi diganti dengan kekhasan ekspresi budaya setempat.
Kemungkinan lain: unsur dengan ciri khas budaya romawi dipertahankan dan diperjelas. Unsur budaya romawi itu dipertahankan tetapi maknanya diperjelas dengan tambahan unsur budaya khas setempat. Misalnya rumusan doksologi Doa Syukur Agung yang diakhiri Amin tidak dihilangkan tetapi diperjelas dengan tambahan unsur budaya yang khas sebagai tanda setuju dari suku tertentu seperti seruan hooo hooo heee heee.
Adaptasi-akulturasi dapat menimbulkan dinamika hubungan antara dua budaya serentak membuat unsur-unsur budaya yang berbeda-beda itu saling tumpang-tindih tanpa ada asimilasi satu sama lain. ((Shorter, Towards a Theology of Inculturation, 11.)) Chupungco menggambarkan proses akulturasi ini sebagai perpaduan unsur budaya A+B = AB. Keduanya disatukan tetapi masing-masing mempertahankan identitasnya. Tidak terjadi perubahan berarti pada masing-masing unsur budaya. Menghilangkan atau mempertahankan salah satu unsur budaya yang berbeda itu (entah unsur budaya romawi atau budaya setempat) tidak akan menimbulkan kerugian besar. ((Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 27.)) Inilah tantangan yang harus dihadapi dalam proses penyesuaian pada tahap ini. Ada pertemuan dari unsur-unsur dua budaya (romawi dan non romawi) tetapi masing-masing mempertahankan kekhasannya dan tidak melebur untuk membentuk satu budaya baru. Akan tetapi akulturasi merupakan syarat yang penting menuju inkulturasi liturgi. ((Shorter, Towards a Theology of Inculturation, (London, 1988) 6-8, 12))
Inkulturasi
Inkulturasi sebagai istilah baru pada mulanya dipakai pada tahun1973 oleh G.L.Barney dalam bidang missiologi dan bukan pertama-tama dalam bidang liturgi. Barney mengatakan bahwa di tanah misi nilai-nilai Injil yang adi budya (mengatasi kultur) dan mau diwartakan kepada orang-orang setempat, haruslah diinkulturasikan dalam budaya orang setempat itu sehingga dapat terbentuk satu budaya baru yang bersifat kristen. ((G. Barney, “The Supracultural and the Cultural: Implications for Frontier Missions,” The Gospel and Frontier Peoples (Pasadena, 1973); G.D. Napoli, “Inculturation as Communication,” Inculturation 9 (1987) 71-98; Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 25.)) Secara khusus istilah inkulturasi ini dipakai dalam bidang katekese ketika pada tahun 1975 para anggota sidang umum Serikat Yesus berdiskusi mengenai metode pewartaan. ((A. Crollius, “What is So New About Inculturation?” Gregorianum 59 (1978) 721-738.)) P. Arrupe, pemimpin umum Serikat Yesus, menggunakan istilah itu dalam bidang katekese ketika beliau berbicara tentang katekese dan inkulturasi di depan para uskup yang membuat sinode tentang katekese pada tahun 1977 di kota Roma. Maka sinode itu memakai istilah inkulturasi dalam dokumen resminya yang berjudul “Pesan kepada umat Allah”. Ditegaskan bahwa warta kristiani harus berakar dalam kebudayaan setempat. Para pewarta tidak hanya memberi kepada melainkan juga menerima dari kebudayaan setempat yang mendengarkan Injil. Inkulturasi terjadi kalau hidup orang beriman digerakkan oleh Roh Kudus untuk menjadi pelayan Injil dengan mewartakan serta menyaksikan Kristus sebagai penyelamat semua orang bersama kebudayaan mereka. Inkulturasi memampukan orang beriman untuk berdialog dengan kebudayaan setempat, tidak hanya berbicara kepada tetapi juga berbicara dengan orang-orang setempat mengenai hidup dan kebudayaannya. ((J.B. Banawiratma, “Menjernihkan Inkulturasi,” dalam Inkulturasi, Bina Liturgia I (Yogyakarta, 1985) 19. Istilah inkulturasi barangkali dimaksudkan sebagai padanan dari kata enculturation. Sebenarnya dalam bahasa Latin tidak ada kata enculturatio dan inculturatio. Hanya adaincultus (tidak beradab, tidak berbudaya, kasar), cultus (adat kebiasaan, cara hidup, budaya) dan cultura (pembudayaan, pengabdian, penghormatan, upacara liturgis). Lihat P.Th L. Verhoeven & Marcus Carvallo, Kamus Latin Indonesia (Penerbit Nusa Indah-Percetakan Arnoldus, Ende 1969) 513 dan 162; Charlton T. Lewis, Latin DictionaryFounded on Andrews’ Edition of Freund’s Latin Dictionary (The Clarendon Press, Oxford, 1996) 930 dan 488-489. Dalam bahasa Latin biasanya tidak ada awalan en tetapi ada awalan in. Maka jauh lebih memungkinkan menggunakan istilah inculturatio sebagai suatu istilah teknis baru (neologisme) dengan arti yang berbeda dari incultus. Menurut Shorter,enculturation sebagai istilah dalam bidang antropologi sebenarnya sama artinya dengan socialization yaitu proses belajar dengannya seseorang masuk ke dalam kebudayannya karena berusaha mengenal dan menghayati adat istiadat serta nilai-nilai budayanya. A. Shorter, Towards a Theology of Inculturation, 5-6; A. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 26.))
Almarhum Paus Yohanes Paulus II menggunakan istilah inkulturasi secara resmi dalam dokumen-dokumen Gereja, mulanya dalam konteks inkarnasi dan katekse. Ia mengakui istilah inkulturasi dan enkulturasi sebagai istilah baru, namun dapat mengungkapkan dengan tepat keagungan misteri inkarnasi. ((Johanes Paulus II, “Address to the Pontifical Biblical Commission,” Fede e cultura alla luce della Bibbia (Turin, 1981) 5.)) Dalam surat apostolik Catechesi tradendae Paus Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa katekese mempunyai dimensi inkarnasi. Katekis yang baik mengetahui kalau katekese mendapat bentuk nyata (menjadi daging) dalam berbagai budaya dan situasi. Seperti lewat inkarnasi Sabda Allah menjadi manusia (menjadi daging) demikian pula lewat inkulturasi katekese sebagai satu bentuk pewartaan Injil, mendapat ekspresi budaya. ((Johanes Paulus II, Catechesi tradendae, no 53.)) Katekese mesti membudaya karena menggunakan metode, sarana dan nilai-nilai dari adat kebiasaan atau cara hidup setempat untuk menjelaskan, memahami dan menghayati misteri keselamatan yang diwujudkan oleh Yesus Kristus. Jadi menurut Paus Yohanes Paulus II, inkulturasi adalah inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan Gereja. Dengan kata lain Beliau mendefinisikan inkulturasi sebagai transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya yang asli yang diintegrasikan ke dalam kristianitas dan penanaman kristianitas ke dalam aneka budaya manusia yang berbeda-beda. Maka ada gerak ganda dalam inkulturasi yaitu “lewat inkulturasi Gereja membuat Injil menjelma dalam aneka kebudayaan, dan sekaligus memasukkan para bangsa, bersama dengan kebudayaan mereka, ke dalam persekutuan Gereja sendiri.” ((Johanes Paulus II, Slavorum Apostoli (2 Juni 1985) dan Redemptoris Missio, 7 Desember 1990, no 52. Lihat juga instruksi mengenai inkulturasi liturgi yang dikeluarkan pada tahun 1994 oleh Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen, De Liturgia Romana et Inculturazione (Liturgi Romawi dan inkulturasi), no. 4, terjemahan Komisi Liturgi KWI, Jakarta 2004, 13-14. Seterusnya disingkat LRI.)) Nampak jelas bahwa Paus Yohanes Paulus II menggarisbawahi transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya asli dan integrasinya ke dalam kristianitas yang memungkinkan penjelmaan Injil dalam budaya setempat sehingga kekristenan sungguh berakar di dalam budaya asli para penganut iman kristiani.
Para uskup juga menggunakan istilah ini ketika mereka mengadakan sinode di Roma pada tahun 1985. ((Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 29)) Dalam deklarasi akhir dari Sinode (no. D.4) mereka menyatakan bahwa inkulturasi bukanlah sekedar penyesuaian lahiriah melainkan suatu transformasi internal dari nilai-nilai budaya yang khas. Hal ini terjadi melalui proses penyatuan ke dalam kekristenan dan berakarnya kekristenan dalam pelbagai budaya manusia. Betapa pentingnya proses asimilasi satu sama lain dan transformasi internal dari satu budaya serta berakarnya iman kristiani dalam budaya setempat.
Lebih kemudian Shorter mendefinisikan inkulturasi sebagai hubungan yang kreatif dan dinamis antara iman kristen dengan satu atau lebih budaya. Selain itu ia menegaskan tiga hal berkaitan dengan inkulturasi. Pertama, inkulturasi adalah suatu proses yang berlangsung terus menerus dan selalu relevan untuk setiap bangsa atau wilayah di mana iman kristiani mulai bertumbuh. Kedua, iman kristiani hanya akan ada bila telah memperoleh bentuk ekspresi budaya. Ketiga, antara iman kristiani dan kebudayaan haruslah ada interaksi dan asimilasi satu sama lain. ((A. Shorter, Towards a Theology of Inculturation, 11; A. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 28-29.)) Jadi Shorter menekankan hubungan yang kreatif dan dinamis dalam proses inkulturasi antara iman kristiani dan kebudayaan.
Patut dicatat pendapat seorang teolog dari Vietnam, Peter C. Phan, mengenai inkulturasi. Menurut Phan ada lima keyakinan tentang inkulturasi.Pertama, inkulturasi merupakan suatu persoalan paling mendesak dan kontroversial dalam beberapa dasawarsa mendatang. Kedua, paham dan praktik inkulturasi tengah ditantang karena perbedaan paham tentang inkulturasi dan karena kebudayaan sedang alami pembaruan dalam teologi, misiologi dan antropologi. Ketiga, inkulturasi sangat diuntungkan oleh penghargaan terhadap religiositas kerakyatan. Keempat, pemahaman historis tentang misi menyajikan pelajaran berharga mengenai proses inkulturasi dan peran agama populer. Kelima, keberhasilan atau kegagalan inkulturasi amat menentukan masa depan Gereja. ((Peter C. Phan, In Our Own Tongues: Asian Perspectives on Mission and Inculturation (Maryknoll, N.Y., Orbis Books, 2003), xii, seperti dicatat oleh Stephen B. Bevans & Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Seti:, Dasa, Pola, Konteks Misi (terjemahan Yosef Maria Florisan, Penerbit Ledalero, 2006), 663.)) Sebenarnya tidak berlebihan ungkapan Phan yang terakhir itu, karena proses inkulturasi yang tidak jauh berbeda dari proses inkarnasi, merupakan cara Allah hadir dan mewujudkan karya-karyaNya yang menyelamatkan manusia. Maka Gereja yang meneruskan karya agung Allah ini perlu mencontohi Yesus sendiri yang rela berinkarnasi dan berinkulturasi. ((Hubungan yang erat antara evangelisasi dan inkulturasi dapat dibaca dalam Evangelisation and Inculturation, ed. Fr. Mario Saturnino Dias (Pauline Publications, Mumbai, 2001); Rooting Faith in Asia: Sourcebook for Inculturation, ed. Mario Saturnino Dias (Claretian Press, Bangalore, India and Quezon City, Philippines, 2005); Evangelisation in the Light of Ecclesia in Asia, ed. Fr. Mario Saturnino Dias (Clarletian Publications,Bangalore, 2003), khususnya artikel Sr. Ko Ha Fong Maria, “Evangelisation as Inculturation as seen in Ecclesia in Asia,” dan jawaban-jawaban dari Fr. C.Joy Parera dan Sis. Techie Rodriguez, halaman 188-225.)) Inkulturasi sebagai satu pokok penting yang menentukan keberadaan Gereja, patut ditelaah dalam hubungan dengan liturgi yang merupakan puncak dan sumber kegiatan Gereja.
Inkulturasi liturgi
Pemakaian istilah inkulturasi dalam bidang liturgi mulai disebarkan oleh C. Valenziano ketika ia menulis satu artikel pada tahun 1979 untuk menguraikan hubungan antara liturgi dan religiositas populer. Ia mengatakan bahwa inkulturasi merupakan satu cara yang dapat memungkinkan interaksi timbal balik antara liturgi dan pelbagai bentuk religiositas populer. ((C. Valenziano, “La religiosita popolare in prospettiva antropologica,” Ricerche sulla religiosita popolare (Bologna, 1979) 83-110; A. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 26.))
Menurut Anscar J. Chupungco, ((Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 29-30.)) berbeda dengan adaptasi-akulturasi yang digambarkan sebagai proses perpaduan dua budaya: A+B=AB (masing-masing budaya mempertahankan identitasnya) maka inkulturasi sebaliknya merupakan perpaduan dua budaya berbeda sedemikian rupa sehingga menghasilkan satu budaya baru yang kristiani (A+B=C). Dalam proses inkulturasi ini terjalinlah kontak antara budaya A dan B sehingga keduanya saling memperkaya. Maka budaya A tidak tetap seperti A semula tetapi mengalami perubahan menjadi budaya C. Demikian pula budaya B berubah menjadi C. Selain itu budaya A tidak menjadi B, demikian juga budaya B tidak menjadi A. Khususnya dalam konteks liturgi, ditinjau dari ttik tolak proses penyesuaian, Chupungco mendefinisikan inkulturasi sebagai proses di mana upacara keagamaan pra-kristiani diberi arti kristiani. Itu berarti struktur atau susunan asli dari upacara pra-kristiani itu tidak diubah secara radikal tetapi artinya diubah untuk mengungkapkan misteri iman kristiani. Kalau adaptasi-akulturasi bertitik tolak dari ritus romawi dan berupaya mengubah sifat-sifat khas budaya romawi dengan menerima unsur budaya baru yang dihayati oleh para peraya, maka inkulturasi sebaliknya bertitik tolak dari sifat khas budaya setempat berusaha membuat perubahan-pembaruan di dalam kebudayaan itu dengan memasukkan pewartaan kristiani. ((Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 104.)) Dengan kata lain unsur-unsur perayaan pra-kristiani itu tetap dipertahankan sejauh tidak bertentangan dengan iman yang benar dan lebih dari itu unsur-unsur itu ditafsirkan atau diberi makna menurut iman kristiani. Kalau titik tolak (terminus a quo) dalam proses inkulturasi ini adalah upacara pra-kristiani, maka yang mau dicapai sebagai hasil (terminus ad quem) adalah perayaan liturgi jawa-kristiani (sungguh berciri khas budaya Jawa dengan makna baru yaitu kristiani) dan bukan romawi-jawa (sungguh-sungguh berciri khas Romawi tetapi diberi polesan unsur-unsur budaya Jawa).
Inkulturasi dan akulturasi
Setelah melihat pengertian adaptasi-akulturasi dan inkulturasi, baiklah kita membuat perbandingan antara keduanya ditinjau dari titik tolak, apa yang diubah, apa yang dipertahankan serta apa yang menjadi hasil dari proses masing-masingnya.
Pertama, dari segi titik tolak (terminus a quo), adaptasi-akulturasi bertitik tolak dari ritus romawi. Pola dan unsur-unsur liturgi romawi didalami, diteliti dan disadari ciri-ciri khas budaya romawinya. Sedangkan inkulturasi bertitik tolak dari upacara-upacara pra-kristiani. Misalnya upacara asli orang Jawa, Dayak, Marapu atau Papua dipelajari dan dinilai baik pola dan unsur maupun simbol dan isi doa. Tetapi kalau sama sekali tidak bertentangan maka dapat diterima dan diberi makna sesuai dengan iman kristiani.
Kedua, yang diubah dalam proses adaptasi-akulturasi adalah ciri-ciri khas budaya romawi yang memberi bentuk pada unsur-unsur ritus romawi. Kalau unsur-unsur yang didukung ciri khas budaya romawi itu kurang cocok atau bertentangan dengan cita rasa serta cara pikir atau ciri khas budaya orang-orang setempat maka dapat diubah dengan menggantinya. Sedangkan yang diubah dalam proses inkulturasi adalah upacara pra-kristiani itu. Jika ada unsur yang bertentangan dengan iman yang benar karena berkaitan dengan takhyul atau bersifat magis maka hal-hal itu diabaikan.
Ketiga, yang dipertahankan dalam proses adaptasi-akulturasi adalah nilai-nilai kristiani atau nilai-nilai Injili seperti iman yang diungkapkan oleh unsur-unsur budaya romawi. Lalu yang dipertahankan dalam proses inkulturasi adalah nilai-nilai universal yang terkandung dalam unsur-unsur upacara pra-kristiani. Biasanya nilai universal tidak bertentangan dengan nilai kristiani. Nilai-nilai universal yang langeng ini dapat diberi makna kristiani.
Keempat, yang menjadi hasil (terminus ad quem) dari keseluruhan proses adaptasi-akulturasi adalah ritus romawi yang mendapat unsur-unsur pengungkapan dengan ciri khas budaya setempat seperti budaya Jawa. Dengan kata lain hasil akulturasinya adalah ritus romawi-jawa. Sedangkan hasil dari proses inkulturasi liturgi adalah ritus asli pra-kristiani (ritus jawa) menjadi perayaan kristiani dan bisa disebut perayaan jawa-kristiani (misalnya perayaan perkawinan jawa-kristiani).
Perbandingan di atas dapat menjadi lebih jelas bila kita mencermati kemungkinan-kemungkinan inkulturasi dan adaptasi-akulturasi dalam liturgi menurut instruksi tentang inkulturasi liturgi yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen pada tanggal 25 Januari 1994 dengan judul De Liturgia Romana et Inculturatione. Dalam instruksi ini diuraikan pengertian, proses, tuntutan dan syarat awal untuk inkulturasi liturgi, asas dan kaidah praktis inkulturasi ritus romawi, dan bidang-bidang penyesuaian di dalam ritus romawi.
Kemungkinan inkulturasi liturgi
Manakah kemungkinan inkulturasi dalam liturgi Gereja? Apakah semua liturgi sakramen dan perayaan lain dalam Gereja dapat diinkulturasikan? Mungkinkah kita membuat proses inkulturasi untuk liturgi Ekaristi sehingga kita mempunyai liturgi Ekaristi inkulturatif seperti Ekaristi Jawa Katolik? Menurut instruksi tentang inkulturasi liturgi, kemungkinan inkulturasi liturgi dapat dibuat untuk tata cara inisiasi, tata cara perkawinan, tata cara pemakaman dan tata cara pemberkatan (sakramentali). Berarti perlu dipelajari seluruh tatacara pra-kristiani asli dan bila ada unsur yang bertentangan dengan iman kristiani, baiklah dihilangkan. Lalu semua unsur lain termasuk tatacaranya yang mengandung nilai-nilai universal digunakan dan diberi arti kristiani.
Inisiasi Kristiani. Khususnya di daerah misi, Konferensi Waligereja harus memutuskan apakah tata cara inisiasi yang berlaku di kalangan bangsa yang bersangkutan dapat disesuaikan untuk Tatacara Inisiasi Kristiani. Konferensi juga memutuskan apakah tatacara itu sebaiknya dipakai. ((LRI, no 56. “Untuk Tatacara Inisiasi Kristen, Konferensi Waligereja ‘harus menguji dengan saksama dan bijaksana, unsur-unsur mana yang layak diambil dari tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa.’ Di daerah-daerah misi Konferensi Waligereja harus memutuskan apakah tatacara inisiasi yang berlaku di kalangan bangsa yang bersangkutan dapat disesuaikan untuk Tatacara Inisiasi Kristen. Konferensi Waligereja juga harus memutuskan apakah tatacara itu sebaiknya dipakai. Tetapi perlu diingat, bahwa istilah ‘inisisi’ tidak selalu mempunyai arti yang sama atau menyatakan hal yang sama bila istilah itu digunakan dalam upacara inisiasi di kalangan bangsa tertentu, atau bila, sebaliknya, digunakan untuk proses inisiasi Kristen, yang melalui upacara-upacara katekumenat mengantar katekumen ke persatuan dengan Kristus dalam Gereja lewat Sakramen Baptis, Krisma, dan Ekaristi.”)) Dengan memakai kata “tatacara” dari perayaan, menjadi jelas bahwa pola atau tata perayaan inisiasi yang asli menjadi acuan dan titik tolak proses penyesuaian inkulturatif.
Sakramen Perkawinan. Dari semua liturgi sakramen, tatacara perkawinan menuntut penyesuaian paling banyak agar tidak asing untuk masyarakat setempat. Setiap Konferensi mempunyai kesempatan mempersiapkan tatacara perkawinan untuk wilayahnya sendiri, yang harus serasi dengan hukum yang menuntut agar pelayan tertahbis atau awam, seturut keadaan, minta dan mendapat persetujuan timbal balik dari kedua mempelai yang akan mengikat janji nikah dan memberi mereka berkat mempelai. Tatacara khas ini harus secara jelas mengungkapkan arti perkawinan kristiani, menekankan rahmat sakramen dan menggarisbawahi tugas-tugas suami istri. ((LRI, no 57. “Di banyak tempat tatacara perkawinanlah yang menuntut penyesuaian paling banyak agar tidak asing untuk kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat. Untuk menyesuaikannya dengan kebiasaan berbagai daerah dan bangsa, setiap Konferensi Waligereja mempunyai ‘kesempatan mempersiapkan tatacara perkawinan untuk wilayahnya sendiri, yang harus serasi dengan hukum yang menuntut agar pelayan tertahbis atau awam, seturut keadaan, minta dan mendapat persetujuan timbal balik dari kedua mempelai yang akan mengikat janji nikah dan memberi mereka berkat mempelai. Tatacara khas setempat ini, tentu saja, harus secara jelas mengungkapkan arti perkawinan kristen, menekankan rahmat sakramen, dan menggarisbawahi tugas-tugas suami-istri.” Lihat juga KHK, kanon 1108 dan 1112, kanon 77; Upacara Perkawinan, Pedoman Umum, no 42.)) Tentang hal ini Chupungco menulis: “Praenotanda upacara perkawinan tidak hanya berbicara tentang akulturasi melainkan juga inkulturasi. Hal ini memberikan kemungkinan untuk menyusun upacara perkawinan yang cocok dengan adat istiadat masyarakat setempat.” ((Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 105)) Orang Batak mempunyai tatacara perkawinan yang berbeda dari orang Papua. Kekhasan masing-masing diterima dan dihargai oleh Gereja, termasuk urutan perayaan, doa-doa dan simbol-simbol, peralatan dan pakaian, waktu dan lamanya perayaan serta tempat seluruh kegiatan itu dilaksanakan. Semuanya mendapat arti kristiani.
Tatacara Pemakaman. Ritus Romawi menyediakan beberapa bentuk tatacara pemakaman. Konferensi Waligereja memilih yang sesuai dengan kebiasaan setempat. Semua unsur yang baik dipertahankan. Hendaknya tatacara pemakaman itu mengungkapkan iman kristiani akan kebangkitan dan memberi kesaksian tentang nilai-nilai benar dari Injil. ((LRI, no 58. “Pada segala bangsa, pemakaman selalu diliputi upacara-upacara khusus, yang kerapkali mempunyai nilai yang sangat mengesankan. Untuk menjawab kebutuhan yang beraneka-ragam Ritus Romawi menyediakan beberapa bentuk tatacara pemkaman. Konferensi Waligereja harus memilih yang sesuai dengan kebiasaan setempat. Mereka akan mempertahankan semua yang baik dalam tradisi keluarga dan kebiasaan setempat, dan memastikan bahwa tatacara pemakaman mengungkapkan iman kristen akan kebangkitan dan memberikan kesaksian tentang nilai-nilai yang benar dari Injil. Dalam cakrawala inilah tatacara pemakaman dapat menampung kebiasaan-kebiasaan dari berbagai kebudayan dan menaggapi kebutuhan-kebutuhan setiap daerah sebaik mungkin.” Lihat juga Upacara Pemakaman, Pedoman Umum, no. 4 dan no 9 serta 21:1-3, juga no 2; SC, no. 81.)) Suku-suku di Indonesia mempunyai adat kebiasaan khas untuk melepaskan jenasah lalu menghantar dan menyemayamkannya di tempat peritirahatan abadi. Misalnya orang Sumba dan suku Toraja.
Upacara Pemberkatan (Sakramentali). Ada pula kemungkinan untuk membuat inkulturasi upacara pemberkatan. Instruksi Ritus Romawi dan Inkulturasi (LRI) menyatakan bahwa Konferensi Waligereja dapat memanfaatkan kelonggaran yang telah digariskan untuk penyesuaian upcara pemberkatan. ((LRI, no 59.)) Ada banyak perayaan orang asli yang menggunakan sarana perecikan disertai doa-doa untuk memberkati benda, tempat atau orang tertentu. Bertolak dari adat kebiasaan setempat ini Gereja lokal dapat menyusun tataperayaan pemberkatan yang sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhan umat pendukung budaya tersebut.
Semua kemungkinan inkulturasi liturgi yang disebut oleh LRI di atas (inisiasi, perkawinan, pemakaman dan sakramentali, secara khususperkawinan) meliputi keseluruhan pola atau tatacara pelaksanaan perayaan. Dengan kata lain seluruh tata perayaan asli menurut adat kebiasaan para peraya setempat menjadi titik tolak proses penyesuaian. Apakah sakramen-sakramen yang lain termasuk Ekaristi dapat diinkulturasikan? Dalam LRI tidak ditulis tentang penyesuaian seluruh tata perayaan (tatacara) sakramen-sakramen lain. Itu berarti tata perayaan pra-kristiani yang mirip pengakuan dosa, tahbisan imam, pengurapan orang sakit dan perjamuan kudus atau Ekaristi tidak dapat jadi acuan atau titik tolak untuk memulai proses inkulturasi sakramen-sakramen itu. Misalnya seluruh tatacara perjamuan (= tata perayaan) dengan nasi tumpeng dan minuman arak menurut budaya Jawa tidak dapat dijadikan perayaan kristiani yaitu Ekaristi Jawa. Maka kita tidak dapat mengatakan bahwa ada perayaan Ekaristi inkulturatif Jawa. Yang sering terjadi dalam proses penyesuaian perayaan Ekaristi adalah sebenarnya adaptasi akulturasi atau akomodasi. Dalam hal ini unsur-unsur tertentu dalam Ekaristi ritus romawi disesuaikan dengan unsur-unsur budaya setempat dan seluruh tata perayaan Ekaristi ritus romawi tetap dipertahankan. Jadi urutan perayaan Ekaristi ritus romawi tidak berubah secara radikal tetapi bahasanya, peralatannya, pakaiannya, nyanyiannya, alat musiknya dan hiasannya disesuaikan dengan ciri khas budaya setempat. ((LRI no. 54. “Untuk perayaan Ekaristi, Buku Misale Romawi (Missale Romanum), ‘meskipun mengizinkan (…) adanaya perbedaan-perbedaan yang sah dan penyesuaian-penyesuaian menurut ketentuan Konsili Vatikan II’, harus tetap menjadi ‘tanda dan alat persatuan’ Ritus Romawi dalam bahasa-bahasa yang berbeda. Pedoman Umum Misale Romawi menggarisbawahi bahwa ‘sesuai dengan Konstitusi Liturgi, setiap Konferensi Waligereja memiliki kuasa menentukan kaidah-kaidah untuk wilayahnya sendiri, yna g cocok dengan tradisi dan ciri khas bangsa, daerah dan kelompok yang berbeda-beda.’ Hal yang sama berlaku dalam hal tatagerak dan sikap badan umat beriman, cara-cara menghormati altar dan buku Injil, sayair nyanyian pembuka, nyanyian persiapan persembahan, dan nyanyian komuni, cara salam damai, sayarat-syarat mengatur komuni dengan piala, bahan-bahan altar dan perabot liturgi, bahan dan bentuk bejana suci, busana liturgi. Konferensi Waligereja juga dapat menentukan cara menerimakan komuni.” Jadi dalam hubungan dengan penyesuaian Ekaristi, LRI tidak menyebut kemungkinan perubahan radikal dalam tata perayaan (susunan) Ekaristi tetapi hanya menunjukkan penyesuaian unsur-unsur tertentu dalam kerangkan tata perayaan Ekaristi ritus romawi. Dalam TPE 2005 terdapat sejumlah penyesuaian (akomodasi dan adaptasi-akulturasi) yang telah disahkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia dan disetujui oleh Kongregasi Ibadat di Roma. Lihat juga Bernardus Boli Ujan, “TPE 2005 Miskin Penyesuaian?” dalam majalah LITURGI: Puncak dan Sumber Kehidupan, VOL 16, NO 06 – 2006, 24-25.)) Ekaristi seperti ini bukanlah Ekaristi inkulturatif (karena bukan perayaan perjamuan syukur setempat yang jadi titik tolak proses penyesuaian) tetapi lebih baik disebut Ekaristi dengan unsur-unsur inkulturatif (sebab unsur-unsur tertentu itu sungguh mengalami proses inkulturasi namun digunakan dalam kerangka tata perayaan Ekaristi ritus romawi).
Interkulturasi Liturgi
Dapat terjadi bahwa dalam perayaan liturgis yang sama terdapat perpaduan ciri khas budaya dari beberapa kelompok pendukung yang berbeda. Ada komunikasi iman di antara bermacam-macam kelompok peraya dengan cara pengungkapan berbeda berdasarkan kekhasan budayanya. ((Mengenai komunikasi antar budaya lihat Edmund S. Glenn with Christine Glenn, Man & Mankind, Conflict & Communication Between Cultures, 1-4, khususnya bab 1: “The Analysis of Intercultural Communication”.)) Tidak hanya ada perpaduan antara dua budaya (romawi dan satu budaya setempat). Hal ini sering dialami di dalam perayaan liturgi yang diselenggarakan di kota-kota metropolitan yang para perayanya terdiri dari berbagai macam latar belakang budaya. Interakasi ini lebih permanen dibandingkan dengan kemungkinan perayaan liturgi yang diselenggarakan dalam pertemuan-pertemuan nasional atau internasional yang dihadiri oleh umat beriman dari berbagai suku atau bangsa. Masing-masing pendukung budaya mengungkapkan imannya di dalam perayaan itu dengan menggunakan unsur-unsur budayanya yang khas (Batak, Sunda, Jawa, Bali, Sumba, Dayak, Sikka-Flores, Papua). Misalnya di kota Roma dirayakan Ekaristi dengan nyanyian Gregorian dalam bahasa Latin, bacaan dalam bahasa Italia, Perancis, Inggris, cara perarakan bahan persembahan menurut budaya India, tarian gaya Indonesia, lagu khas Jepang dan Korea. Meskipun pengalaman ini berlangsung mungkin sekitar 2 jam saja, namun dapat menjadi sebuah pengalaman Pentakosta yang mengagumkan dan membawa dampak positip yang kuat dan bertahan lama bagi setiap orang yang mengambil bagian dalam perayaan tersebut sebagaimana dialami oleh para rasul sesudah peristiwa Pentakosta.
Dalam hal ini dibutuhkan kesediaan untuk menerima ungkapan budaya lain apa adanya sebagai tanda penghargaan terhadap kebhinekaan cara untuk mengungkapkan satu iman yang sama. Hal ini hendaknya meyakinkan kita untuk mengutamakan penghayatan iman yang sama dengan cara pengungkapan yang berbeda berdasarkan latarbelakang budaya yang khas. Keterbukaan seperti itu kita butuhkan pada masa sekarang dan lebih lagi di masa depan ketika kemungkinan pertemuan berbagai budaya yang berbeda tidak dapat dielakkan. Globalisasi dapat membawa dampak negatip karena bisa menghancurkan kekhasan budaya setempat dengan pendukung dalam jumlah kecil. Namun keyakinan akan manfaat dari interkulturasi dapat membantu kita menghadapi dampak negatip dari globalisasi itu. Liturgi yang interkulturatif dapat sangat menguatkan dan mempersatukan karena di dalam perayaan itu kita menghargai satu sama lain dan dengn budaya yang berbeda-beda kita bersatu dalam iman untuk memuliakan Tuhan yang sama.
Penyesuaian menurut kaidah-kaidah liturgis
Apapun istilah yang dipakai, seluruh proses penyesuaian yang dilaksanakan dalam liturgi perlu memperhatikan kaidah-kaidah liturgis selain dasar teologis-biblis dan kultural serta pastoral. ((Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 58-71.)) Liturgi sebagai perayaan pada dasarnya adalah kegiatan yang selalu mengalami proses penyesuaian dengan para peraya dan situasi atau lingkungan sekitar. Maka para perancang dan pelaksana liturgi hendaknya mengetahui tuntutan-tuntutan liturgis dalam hal penyesuaian. Berdasarkan hakekat dan tradisi liturgi dapatlah disebut beberapa asas liturgis demi penyesuaian.
1. Penyesuaian dalam liturgi pertama-tama adalah karya Tuhan. Liturgi yang sesuai dengan kebutuhan umat, adalah pertama-tama hasil karya Allah. Tuhanlah yang berusaha menyesuaikan diri-Nya dalam liturgi dengan cara sedemikian sehingga manusia bisa melihat, mendengar, mencium, meraba atau menyentuh-Nya dalam liturgi. Allah sekian rela dan rendah hati menyesuaikan diri-Nya dengan manusia. Untuk memperdengarkan sabda-Nya, Allah rela menggunakan mulut dan suara lektor atau diakon dan imam. Untuk menjadi makanan dan minuman surgawi bagi manusia yang kelaparan dan kehausan, Allah rela memberi diri-Nya dalam rupa roti dan anggur. Oleh karena itu kalau para peraya membuat penyesuaian dalam liturgi, itu berarti mereka mengambil bagian dalam karya Allah. Para peraya (termasuk perancang, petugas khusus dan pemimpin) tidak dapat mengandalkan kegiatan penyesuaian liturgi sebagai karyanya sendiri. Penyesuaian liturgi sebagai upaya para peraya akan sungguh berarti kalau dilaksanakan sebagai partisipasi dalam karya Allah untuk menyelamatkan manusia. Jadi penyesuaian liturgi terjadi sebagai karya Allah dan diteruskan oleh para petugas khusus yang berusaha meneruskan tindakn penyesuaian Allah dengan merancang dan melaksanakan liturgi sedemikian rupa sehingga sungguh menggugah dan membarui para peraya..
2. Sering penyesuaian liturgi dipandang sebagai kegiatan satu arah saja yaitu upaya dari pihak Allah dan para petugas khusus untuk membuat liturgi itu menjadi relevan dan sesuai dengan para peraya. Padahal liturgi merupakan pertemuan antara Allah dan manusia dalamnya terjadi dialog bukan monolog. Liturgi sebagai karya Allah ditanggapi oleh para peraya. Maka penyesuaian dari pihak Allah dan para petugas khusus dalam liturgi perlu ditanggapi oleh semua peraya. Dalam liturgi manusia harus berusaha menyesuaikan diri dengan Allah serta rencana-rencana-Nya, dan menyesuaikan diri dengan pedoman-pedoman liturgi terutama pedoman umum mengenai hal-hal pokok dan penting yang dipandang sebagai unsur pembentuk liturgi. ((Penyesuaian tidak hanya dituntut dari pihak liturgi, Gereja, atau Tuhan tetapi juga dituntut dari para peraya terus menerus untuk menyesuaikan seluruh dirinya dengan misteri keselamatan, karya dan kehendak Tuhan serta pandangan Gereja dan tuntutan liturgi. Dengan demikian para peraya dapat mencapai tujuan atau inti dari setiap upaya penyesuaian: semakin peka dan mampu menjadi seperasaan, sepikiran, sehati, serupa dengan Yesus Kristus untuk memuliakan Allah dan mengambil bagian dalam hidup ilahi. Lihat Bernardus Boli Ujan, “TPE 2005 Miskin Penyesuaian?” dalam majalah Liturgi:Sumber dan Puncak Kehidupan, Vol. 16, No. 06 – 2006, 24-25.)) Arah penyesuaian terakhir sering kurang mendapat perhatian dalam pembicaraan mengenai pokok ini, sebab yang lebih diutamakan dalam diskusi dan proses penyesuaian liturgi adalah segala upaya membuat liturgi itu sesuai atau cocok untuk para peraya. Kalau demikian penyesuaian liturgi menjadi pincang.
3. Arah penyesuaian liturgi dari pihak para peraya sekaligus mengingatkan kita akan tujuan dari penyesuaian liturgi yaitu agar para peraya dapat dengan mudah dan jelas serta aktif mengambil bagian dalam perayaan. Dengan demikian kita lebih mampu memahami tindakan Tuhan dan bersyukur kepada-Nya. Sebab liturgi adalah penghormatan dan kemuliaan bagi Allah yang agung dalam karya penyelamatan. ((“Salah satu asas yang sangat penting adalah bahwa ‘liturgi pertama-tama adalah penghormatan atas keagungan ilahi’ (SC 33)….Liturgi adalah doa Kristus yang utuh, kepala dan seluruh anggota. Aspek ibadat ini sedemikian hakiki bagi liturgi; tanpa aspek ini perayaan merosot menjadi upacara yang hampa. Liturgi yang tidak memberi kemungkinan adanya pertemuan pribadi dengan Allah kehilangan sifatnya yang sangat mendasar. … Masalah ini sering timbul dari interpretasi yang terlalu horisontal tentang kata perayaan. Misalnya: perayaan yang terlalu menonjolkan dimensi antarpribadi sehingga merusak unsur doa; sharing gagasan yang bertele-tele; keterlaluan menekankan relevansi menusiawi dan kemasyarakatan dari perayaan, sikap masa bodoh yang sering kali berakhir pada kelalaian dan kebosanan. Semuanya ini membuat liturgi menjadi tidak lebih dari sekedar pertemuan antarindividu yang mungkin menyenangkan atau mungkin juga tidak menyenangkan. Memang harua ada interaksi, dan perayaan harus mempertimbangkan situasi manusiawi; tetapi jangan sampai mengurbankan ibadat kepada Allah, perjumpaan pribadi manusia dengan Allah, atau partisipasi dalam misteri Kristen yang diungkapkan dan dihadirkan oleh perayaan itu..” Lihat Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 81-82.)) Bila penyesuaian itu mengurangkan atau menghilangkan kemungkinan untuk menyampaikan pujian dan syukur kepada Allah dan lebih menomorsatukan keinginan yang kuat untuk meminta atau mendesak Tuhan lewat permohonan-permohonan saja, maka penyesuaian itu tidak mengindahkan sikap dasar liturgis yang utama.
4. Litugi adalah perayaan pertemuan antara Allah dengan manusia dan antara anggota persekutuan satu sama lain yang disatukan dalam Allah.Kehadiran Allah dalam liturgi ini merupakan hal pokok yang tidak dapat digantikan oleh yang lain. Inilah yang membuat keseluruhan suasana perayaan menjadi kudus dan berbeda dengan suasana profan. Maka perayaan liturgi bukanlah suatu upacara sipil biasa meskipun unsur-unsur tertentu dari suatu upacara sipil dapat dialami dalam liturgi. Bila penyesuaian itu mengarahkan para peraya kepada suatu suasana resepsi yang penuh acara entertainment, maka perlu ditinjau kembali karena perayaan seperti itu kehilangan suasana khas liturgis yang sakral.
5. Inti semua perayaan liturgi adalah misteri Paskah yang mencapai puncak dalam hidup dan karya Yesus khususnya penderitan-kematian dan kebangkitan. ((Sebagai pola dasar dalam proses inkulturasi, misteri paskah perlu dihayati oleh Gereja. Maka dalam Pedoman Inkulturasi Liturgi yang dirumuskan oleh Komisi Liturgi KWI dikatakan, “Di satu pihak Gereja harus berani mati terhadap warna kultural yang disandangnya sewaktu datang ke suatu tempat. Ia harus berani menanggalkan busana kultural yang lama itu, lalu mengenakan busana kultural yang baru, yang selarlas dengan adat budaya setempat. Di situlah ia akan bangkit dan tampil dengn wajah baru yang serba tampan dan serasi dalam konteks sosio-budaya setempat. Di lain pihak, kebudayaan setempat pun harus berani mati intuk dibangkitkan. Unsur-unsur yang tidak selaras dengan iman harus ditanggalkan. Maka tinggallah unsur-unsur yang baik, yang bila dipadukan dengan iman kristen akan menampilkan kekayaan baru di tengah tradisi bangsa yang sudah ada.” Komisi Liturgi KWI, Pedoman Inkulturasi Liturgi, 1996, hlm. 3)) Kedua aspek ini perlu dialami: kematian dan kebangkitan, kurban dan keselamatan, derita dan sukacita, keheningan dan keaktipan, gelap dan terang. Pada kesempatan tertentu salah satu aspek dari misteri yang utuh itu lebih digarisbawahi, namun tidak berarti aspek yang lain dihilangkan. Maka penyesuaian yang hanya mau mengenangkan satu aspek dan melupakan yang lain akan menimbulkan kepincangan dalam penghayatan misteri keselamatan dalam liturgi. Jadi menggaribawahi salah satu aspek bukan berarti menghilangkan atau melupakan aspek lain dari misteri keselamatan dalam liturgi.
6. Sabda Allah yang tertulis atau Kitab Suci mendapat tempat penting dalam Liturgi. Allah sendiri hadir dan langsung menyapa para peraya ketika Kitab Suci dimaklumkan. Keunggulan Kitab Suci dalam setiap perayaan liturgi tidak dapat digantikan oleh bacaan lain. Mengganti pemakluman Kitab Suci dengan bacaan lain yang diambil dari sumber-sumber non biblis (seperti konstitusi salah satu Tarekat Religius atau manifestasi salah satu kelompok yang disebarluaskan lewat surat kabar atau majalah) bukanlah cara penyesuaian yang terpuji. Ada petugas khusus yang memakluman secara agung dan para peraya lain mendengarkan dengan penuh rasa hormat. Setiap upaya penyesuaian yang mengaburkan dimensi “pemakluman yang agung” dari pihak Allah dan “mendengarkan dengan penuh hormat” dari pihak manusia peraya, sebenarnya tidak mengindahkan “arah menurun” dan “arah mengatas” dari karya penyelamatan yang sedang terjadi dalam liturgi khususnya pada saat liturgi sabda. Sering dimensi ini diabaikan dengn alasan partisipasi aktif dari umat sebanyak mungkin. Tetapi benarkah demikian?
7. Penyesuaian perlu memperhatikan partisipasi aktif dan penuh sesuai dengan fungsi liturgis masing-masing dalam perayaan. Umat, anggota koor, dirigen, pemazmur, lektor, diakon, imam bisa aktif bersama-sama tetapi pada saatnya yang tepat karena alasan liturgis masing-masing aktif melaksanakan tugasnya yang khas. Kalau ada lektor yang memaklumkan sabda, mengapa semua umat mau membaca seperti lektor. Bila lektor memaklumkan sabda Tuhan, para peraya lain mendengarkan dengan sungguh. Mungkin masalah muncul karena lektor memaklumkan dengan suara dan artikulasi kurang jelas, atau pra peraya lain tidak mendengar dengan penuh perhatian. Maka jalan keluarnya adalah latihan lektor untuk memaklumkan dengan baik dan latihan para peraya untuk mendengar dengan penuh perhatian dn hormat.
8. Hal-hal yang pokok dan tidak pokok perlu diperhatikan. Untuk yang pokok Gereja selalu berusaha untuk mempertahankannya sedapat mungkin. ((LRI no. 36: “Penyesuaian liturgi itu haruslah ‘mempertahankan kesatuan hakiki ritus romawi.’ Kesatuan hakiki ini biasa diungkapkan dalam buku-buku editio typica, yang diterbitkan dengan kewibawaan Bapa Suci, dan dalam buku-buku liturgi yang disahkan oleh Konferensi Waligereja untuk wilayah yang bersangkutan dan dikukuhkan oleh Takhta Suci. Karya inkulturasi tidak berarti menuntut diciptakannya rumpun liturgi baru; inkulturasi menanggapi kebutuhan-kebutuhan budaya setempat dan mengarah ke penyesuaian-penyesuaian yang masih tetap berada dalam kesatuan dengan Ritus Romawi.” Lihat juga amanat yang diberikan oleh Yohanes Paulus II kepada para peserta Sidang Pleno Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen, 26 Januari 1991, no. 3.)) Sedangkan untuk hal-hal yang tidak pokok terdapat kemungkinan-kemungkinan penyesuaian yang lebih besar. Yang disebut pokok adalah hal-hal penting dan sekaligus inti dalam setiap perayaan liturgis. Hal-hal itu tidak dapat dihilangkan karena merupakan “materia dan forma sacramenti” yang menjamin sahnya perayaan liturgis dan juga menjamin keutuhan iman yang diakui oleh Gereja universal. ((Presidium KWI dalam rapatnya tgl 14-16 Januari 2003 merumuskan sikapnya mengenai Ekaristi sebagai berikut: “Dalam hal-hal pokok kita perlu mengikuti ketentuan Gereja universal, tetapi dalam hal-hal yang tidak pokok kita tidak usah bersikap kaku mengingat adanya aneka perbedaan budaya dan bangsa. Bahkan di Indonesia sendiri ada kebhinekaan yang amat besar”. Ketika mendiskusikan pengertian dari “hal pokok” dan “tidak pokok”, para anggota Dewan Inti Komisi Liturgi KWI akhirnya menyepakati beberapa unsur yang menjadi ciri dari hal yang pokok dan tidak pokok.
Arti “Yang Pokok”
a) Unsur yang harus ada dan tidak dapat dihilangkan atau digantikan.
b) Unsur yang mampu menjaga persatuan gereja. Mempertahankan atau memelihara unsur itu akan menjamin atau menjadi suatu tanda persatuan Gereja, sebaliknya mengabaikan unsur itu akan merongrong kesatuan iman.
c) Unsur yang menjamin kontak hidup dengan Kristus Tuhan dan Pengantara, berarti unsur tersebut menjamin relasi dan komunikasi dengan Allah Tritunggal dan para kudus.
d) Sakralitas yaitu keseluruhan suasana perayaan yang memungkinkan para peraya mengalami kehadiran Allah yang kudus dan karya-karya-Nya yang menguduskan.
e) Partisipasi atau keterlibatan dalam perayaan.
f) Forma dan materia sakramen yang menjamin syahnya suatu perayaan liturgi.
f) Unsur yang langsung berkaitan dengan ajaran resmi Gereja (magisterium) universal.)) Hal-hal pokok yang dimaksudkan oleh dokumen-dokumen Gereja adalah:
a. Dalam hal isi perayaan: Misteri Paskah.
b. Dalam hal siapa yang bertindak: Allah Tritunggal (Bapa, Putera, Roh Kudus) dan Gereja: Imam dan umat.
c. Dalam hal tindakan: yang menjadi tindakan Allah paling pokok adalah menguduskan, menyelamatkan (forma sacramenti). Sedangkan tindakan umat paling pokok adalah bersyukur.
d. Dalam hal peralatan atau bahan atau benda (materia sacramenti): yang paling penting untuk dapat melaksanakan tindakan pokok (teks Kitab Suci, teks Doa Syukur Agung, roti dan anggur, atau air untuk pembaptisan).
e. Dalam hal bagian-bagian perayaan (khususnya Ekaristi): Liturgi Sabda dan Liturgi Ekristi. Liturgi Sabda sebagai “bagian” pokok tidak dapat dihilangkan atau diganti (misalnya dengan kegiatan devosional: doa rosario, jalan salib). Demikian pula Liturgi Ekaristi tidak dapat dihilangkan atau diganti dengan kegiatan lain karena merupakan bagian pokok.
f. Dalam hal unsur: misalnya pemakluman Sabda Tuhan dari Kitab Suci tidak dapat diganti dengan bacaan non biblis. Unsur Doa Syukur Agung juga tidak dapat dihilangkan karena merupakan unsur pokok.
Di samping hal-hal pokok terdapat hal-hal yang tidak pokok yaitu:
a. Dalam hubungan dengan isi perayaan: aspek-aspek tambahan dari kehidupan orang kudus/mati maupun orang yang masih hidup (misalnya hari ulang tahun kelahiran).
b. Dalam hubungan dengan siapa yang bertindak dalam perayaan: petugas-petugas khusus yang lain, misalnya penyanyi solo, pembawa bahan persembahan.
c. Dalam hubungan dengan tindakan: ada kegiatan yang bersifat fakultatip misalnya perarakan dengan pedupaan atau pernyataan damai. Tergantung pada tingkat perayaan.
d. Dalam hal peralatan atau bahan: misalnya dalam perayaan Ekaristi ada bahan-bahan tambahan seperti buah-buahan yang dibawa waktu perarakan persembahan.
e. Dalam hal bagian-bagian perayaan Ekaristi: Ritus Pembuka dan Ritus Penutup. Pada kesempatan tertentu Ritus Pembuka dapat diganti dengan kegiatan liturgis lain seperti pada Hari Minggu Palma atau pada Hari Jumad Agung. Demikian pula Ritus Penutup seperti pada Hari Kamis Putih ketika merayakan kenangan akan Perjamuan Tuhan. Dalam perayaan Ekaristi Pemakaman, setelah komuni, Ritus Penutup dihilangkan dan diganti dengan pemberkatan jenasah dan perarakan menuju tempat pemakaman.
f. Dalam hubungan dengan unsur perayaan. Perlu dibedakan “bagian” dan “unsur” perayaan. Sebagai bagian, Liturgi Sabda tidak dapat diganti. Tetapi unsur tertentu dari Liturgi Sabda dapat dihilangkan misalnya “Syahadat” atau “Doa Umat” pada hari biasa.
Wasana Kata
Penyesuaian liturgi (akomodasi, adaptasi-akulturasi, inkulturasi dan interkulturasi) merupakan suatu hal penting. Penyesuain liturgi dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan lain dari Gereja seperti katekese, persekutuan persaudaraan dan semangat pelayanan. Lingkungan masyarakat, budaya, situasi konkrit, pergulatan hidup serta alam sekitar mempunyai dampak terhadap perencanaan dan penyelenggaraan perayaan liturgis yang turut membentuk sikap dari para peraya. Orang beriman yang kreatif akan selalu menemukan cara terbaik untuk menyesuaikan diri dengan kehendak dan rencana Tuhan yang agung yang dirayakan dalam liturgi. Belajar dari Tuhan sendiri yang rela menyesuaikan Diri dengan situasi dan kebiasaan manusia, para peraya dapat berusaha menyesuaikan diri tidak hanya di dalam perayaan tetapi juga di dalam kehidupan sehari-hari. Terbuka terhadap bimbingan Allah Roh Kudus yang telah memungkinkan proses inkarnasi-inkulturasi dan sangat aktif dalam peristiwa Pentakosta, manusia beriman dapat dengan mudah menyesuaikan diri dalam setiap situasi dan kebudayaan untuk menyaksikan dan menghayati dengan teguh anugerah iman dalam Yesus Kristus yang menyelamatkan. Bersama Yesus Kristus kita mengupayakan penyesuaian liturgi bukan untuk mencerai-beraikan kita tetapi untuk semakin mempersatukan kita dengan Allah dan sesama.
100 tahun dokumen “Betapa Istimewanya” (Quam Singulari)
Dokumen ini dikeluarkan oleh Paus Pius X pada tanggal 8 Agustus 1910. Jadi tepat tgl 8 Agustus 2010, kita rayakan 100 tahun berlakunya dokumen ini.
1. Maksud dan tujuan Quam Singulari (QS)
Setelah membuat penelitian selama 20 tahun mengenai sejarah pelayanan komuni pertama dan pengakuan pertama serta manfaatnya bagi kehidupan pribadi dan Gereja pada umumnya, maka Paus Pius X berani mengambil keputusan untuk mengeluarkan dokumen “Betapa Istimewanya” (Quam Singulari) dengan maksud:
MEMBERI KESEMPATAN SEDINI MUNGKIN BAGI ANAK-ANAK YANG TELAH DIBAPTIS UNTUK MENGALAMI ANUGERAH SAKRAMEN PENGAMPUNAN DAN KOMUNI PERTAMA: PADA USIA AKAL BUDI, YAITU KETIKA BERUMUR SEKITAR TUJUH TAHUN.
Apakah isi dokumen ini sudah kedaluarsa ataukah memang sungguh relevan untuk situasi hidup kita dewasa ini? Dengan umur seratus tahun, dokumen QS bisa dipandang sebagai dokumen yang tua dan hanya cocok untuk orang jaman awal abad 20, sehingga bagi umat beriman pada abad 21 ini mungkin dirasa kurang relevan. Melihat dasar-dasarnya serta manfaat dari pelayanan komuni dan pengakuan pertama pada usia dini (7 tahun) dapat dikatakan bahwa isi dokumen ini tidak pernah ketinggalan jaman. Itu sebabnya tak seorang pauspun sesudah Pius X membatalkan dokumen ini. Sebaliknya ada paus yang mengeluarkan dokumen untuk menegaskan kembali isi dari Quam Singulari. Isi dari dokumen ini menggarisbawahi daya kekuatan sakramen (Ekaristi dan Pengampunan) dalam hidup manusia lebih dari pada kesadaran dan pengetahuannya. Kini manusia cenderung mengandalkan pengetahuan dan kesadarannya untuk mencapai sesuatu sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga manusia semakin kurang menyadari daya kekuatan Allah yang menyelamatkan (daya sacramental) dalam hidupnya. Maka dokumen Quam Singulari sebenarnya relevan untuk mengingatkan kita bahwa daya kekuatan Allah tetap berkarya dalam hidup kita juga secara sacramental meski kita kurang menyadarinya. Apasaja alasan dan manfaatnya dokumen ini?
2. Mengapa?
Alasan Biblis
- Yesus sangat mencintai anak-anak (Mrk. 10:13.14.16)
- Yesus menjunjung tinggi kepolosan dan kesederhanaan jiwa anak-anak (Mat. 18:3.-5)
Alasan Historis
- Gereja Katolik mempraktekkan sejak awal dengan membawa anak-anak kecil kepada Kristus melalui Ekaristi dan komuni yang diberikan kepada bayi usia menyusui.
- Anak-anak kecil yang dibaptis dalam Gereja Katolik diberi komuni. Ini ditulis dalam buku upacara sesudah abad XIII.
- Praktek ini masih dilaksanakan di Gereja Yunani dan Gereja-Gereja Timur. Untuk hindarkan bahaya anak memuntahkan hosti kudus, sejak awal anak-anak menerima komuni dalam rupa anggur kudus.
- Di Gereja Latin praktek ini kemudian berhenti. Anak-anak tidak diisinkan menerima komuni sampai memasuki usia akal budi dan sesudah memiliki pengetahuan mengenai Sakramen yang mengagumkan ini.
- Konsili Lateran IV thn 1215 mewajibkan umat beriman menerima Sakramen Pengampunan dan Komuni setelah mencapai usia akal budi.
Alasan Psikospiritual
- Anak-anak berumur sekitar 7 tahun berada pada masa yang peka terhadap misteri yang agung.
- Anak-anak pada masa ini juga mempunyai hak untuk menerima anugerah sorgawi dengan menyambut makanan sorgawi yang amat bermanfaat bagi kehidupannya di bumi dan kelak di alam baka.
- Anak-anak pada masa ini amat polos, murni dan jujur meskipun sudah bisa membedakan mana yang baik dan jahat.
- Pengalaman rohani yang mendalam karena persatuan dengan Yesus dalam komuni akan sangat membekas dalam hidup selanjutnya dan sangat mempengaruhi perkembangan hidup beriman
3. Daya guna dan manfaat
- Anak-anak diberi hak untuk menerima anugerah-rahmat Sakramen mahakudus.
- Anak-anak diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri dengan menerima Sakramen Pengampunan Dosa.
- Anak-anak diberi hak untuk hidup dalam keadaan penuh rahmat yang menyelamatkan.
- Anak-anak diberi kesempatan menjalin hubungan erat dan sakramental dengan Yesus dan dapat memupuk semangat untuk mencontohi Yesus sejak kecil untuk rela mencintai dengan tulus tanpa pamrih.
- Dengan rahmat sakramen ini anak-anak sejak kecil sudah mendapat semangat yang memupuk panggilan hidup sebagai rohaniwan dan biarawan-biarawati.
- Anak-anak sejak kecil mendapat kekuatan sakramental untuk menghadapi macam-macam godaan dan menghindarkan kebiasaan-kebiasaan keji sedini mungkin. Bagi anak-anak Ekaristi menjadi penangkal yang membebaskan mereka dari
- kesalahan sehari-hari dan melindungi mereka dari dosa yang membawa maut (Konsili Trente).
4. Syarat-syarat
- Anak sudah dibaptis dan telah mempersiapkan diri dengan menerima Sakramen Pengampunan Dosa.
- Anak telah mencapai usia akal budi, sekitar tujuh tahun.
- Anak telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat.
- Anak telah dapat membedakan mana roti dan anggur biasa dan mana roti dan anggur kudus yang telah menjadi Tubuh dan Darah Yesus.
- Anak memiliki rasa hormat sepantasnya kepada Sakramen maha kudus.
- Anak diarahkan untuk menerima sakramen pengampunan dosa dan komuni pertama dengan penuh percaya dan memiliki niat baik.
- Anak memiliki pengetahuan atau pemahaman secukupnya tentang Sakramen meskipun belum lengkap.
- Anak dapat melakukan puasa sekurang-kurangnya sejam sebelum komuni.
- Anak mendapat bimbingan secukupnya dari orang tua, guru-guru, petugas pastoral, imam (bapa pengakuan dan pastor paroki atau pembantunya).
5. Usia akal budi
- Konsili Lateran menuntut satu usia yang sama untuk penerimaan sakramen pengampunan dosa dan komuni suci.
“Maka, usia akal budi untuk pengakuan adalah saat seseorang dapat membedakan antara baik dan jahat, yaitu ketika seseorang mencapai tahap penggunaan akal budi tertentu, sama saja halnya untuk komuni kudus, dituntut suatu usia saat seorang anak dapat membedakan antara roti dari Ekaristi kudus dan roti biasa; sekali lagi usia ketika seorang anak sudah mencapai penggunaan akal budi.” - “Saat anak-anak mulai menggunakan akal budinya sedemikian sehingga mereka dapat membayangkan, memikirkan suatu penghormatan kepada sakramen (Ekaristi), maka sakramen ini dapat diberikan kepada mereka” (Thomas Aquinas)
- “Ketika seorang anak sudah mencapai tahap penggunaan akal budi maka anak itu segra terkena kewajiban dari hukum ilahi dan bahkan Gereja pun tidak dapat menghalangi anak itu dari kewajibannya” (Vazques).
- “Tetapi ketika seorang anak bisa berbuat salah, yang termasuk dosa berat yang membawa maut, maka ia dikenakn kewajiban oleh perintah moral, yaitu untuk pengakuan dosa dan selanjutnya kewajiban untuk komuni” (St. Antoninus).
6. Kekeliruan yang dikecam QS
- Pendapat yang mengatakan bahwa diperlukan kemampuan akal budi yang lebih memadai untuk peneriman komuni pertama dari pada untuk sakramen tobat pertama.
- Pendapat yang menyatakan bahwa untuk menerima komuni kudus diperlukan pengetahuan yang sempurna tentang hidup beriman.
- Pendapat yang menuntut persiapan yang luar biasa dengan menunda usia komuni pertama hanya bagi yang usianya lebih matang: dua belas, empat belas tahun atau lebih, ini sangat dikecam (Jansenisme).
- Menjadikan Ekaristi kudus suatu hadiah saja dan bukannya suatu penyembuh kelemahan manusiawi.
- Pendapat yang menyatakan bahwa komuni pertama dalam usia yang lebih matang dan disertai pengarahan-pengarahan yang memadai dapat memberikan perubahan kepribadian yang lebih baik dibanding komuni pertama dalam usia lebih dini.
7. Pelanggaran-pelanggaran
- Merampas hak anak-anak untuk hidup di dalam Kistus sejak usia dini, padahal hak itu diperoleh anak-anak dari rahmat pembaptisan.
- Menyebabkan hilangnya masa pertama tanpa dosa dari rahmat pembaptisan, padahal di usia dini itulah sebenarnya anak-anak dapat dihindari dari kemungkinan-kemungkinan tertanamnya benih jerat kejahatan dosa ke dalam diri mereka.
- Membiarkan anak-anak hidup dalam keadaan dosa (dosa berat) dengan melarang mereka mengaku dosa hingga ditetapkannya usia untuk komuni pertama ataupun dengan cara menolak memberikan absolusi kepada mereka ketika mereka mengaku dosa.
- Menolak memberikan viaticum atau komuni sakramen perminyakan suci bagi anak yang sudah dibaptis yang sedang sekarat dan belum menerima komuni pertama di usia akal budi, lalu ketika anak meninggal, ia dimakamkan sebagai bayi, sehingga dirampas haknya untuk didoakan sebagai anggota Gereja.
8. Penggungjawab
- Yang dilimpahi tugas dan tanggungjawab atas anak-anak adalah pertama-tama ayah dan ibu, lalu para guru, pimpinan komunitas dan pimpinan rumah-rumah penampungan anak-anak, semua yang memiliki fungsi dan tanggungjawab perwalian, para imam non parokial maupun imam paroki.
- Orang tua atau wali (anak yatim piatu atau anak asuhan) adalah penanggungjawab pertama dan utama. Mereka mengamati, membimbing dan menilai anak-anak setiap hari. Merekalah yang memastikan bahwa anak sudah dapat menerima sakramen pengampunan dosa dan komuni pertama lalu meminta guru dan imam untuk memenuhi kebutuhan anak.
- Orang tua dan guru-guru serta petugas pastoral lainnya bertanggungjawab membimbing anak-anak yang sudah menerima sakramen pengampunan dosa dan komuni pertama agar selanjutnya dengan setia dan teratur merayakan sakramen-sakramen itu.
- Adalah tugas para guru dan para imam penanggungjawab untuk membimbing orangtua sedemikian rupa agar menyadari dan melaksanakan tugas mereka sebagai penanggungjawab utama dan pertama dalam hal ini.
- Bila orang tua melalaikan tugas dan tanggungjawabnya sehubungan dengan komuni pertama anak-anaknya, maka imam bersangkutan dapat mengambil alih tugas orang tua dan walinya.
- Bila imam menentang atau tidak setuju untuk menerima anak-anak yang dinilai orang tuanya sudah mampu menggunakan akal budinya, maka mereka dapat mengajukan anak yang besangkutan kepada imam lainnya, karena setiap imam mempunyai hak untuk menerima seorang anak untuk komuni pertama secara pribadi atau privat.
Langkah Konkrit
- Baca dokumen Quam Singulari dan dokumen-dokumen terkait yang mendukung isi dari QS. Lihat: Bernardet DC Gloria (penyuntinng), Betapa Istimewanya (Quam Singulari), Penerbit Nusa Indah -Ende, 2003 dengan rekomendasi dari beberapa uskup, imam dan awam.
- Mengamati dan menilai praktek pelayanan sakramen pengampunan dosa dan komuni pertama selama ini. Apakah ada anak yang berusia 5 atau 6 atau tujuh tahun dan amat ingin atau terus menerus meminta untuk menerima komuni pertama karena sudah dapat membedakan roti biasa dari hosti kudus dan juga sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi dilarang (dihalangi) untuk pengakuan pertama dan komuni pertama? Mengapa usia komuni pertama dan pengakuan pertama di banyak paroki ditunda sampai anak berada di kelas IV atau V atau bahkan kelas VI dan SMP kelas I, II dan III? Alasannya apa? Mengapa diberlakukan sama rata untuk semua anak? Apakah alasan-alasan yang diberikan untuk kebijaksanaan pastoral itu sesuai dengan isi dari dokumen Quam Singulari?
- Manakah hal-hal baik yang perlu diteruskan dan manakah langkah-langkah kebijaksanaan yang perlu ditinjau kembali.
- Pertimbangkan suatu program yang memadai sesuai dengan isi dari dokumen QS yang tidak pernah kedaluarsa.
Kesimpulan
- PATUTLAH KITA SYUKURI RAHMAT TUHAN YANG DISALURKAN LEWAT DOKUMEN QS INI.
- CARILAH SALAH SATU BENTUK KEGIATAN UNTUK MERAYAKAN KENANGAN 100 TAHUN DARI DOKUMEN INI.
- AMATLAH ISTIMEWA MENYADARI DAYA KEKUATAN RAHMAT SAKRAMEN PENGAMPUNAN DOSA DAN KOMUNI PERTAMA BAGI ANAK-ANAK USIA AKAL BUDI DAN BAGI SELURUH GEREJA.
Terima kasih banyak.
Ledalero, Mei 2010.
P.Bernardus Boli Ujan, SVD.