Home Blog Page 239

Motif pertobatan: takut neraka. Cukupkah?

9

Pertanyaan:

Dear Bu Ingrid,

selama ini saya adalah seorang Katolik KTP. Baru-baru ini sajalah saya berusaha untuk bertobat walaupun untuk itu saya harus bergulat dengan banyak pertanyaan. Hal apa yang membuat saya ingin bertobat? Jawabannya adalah: neraka.

Internet membuat saya mengetahui hal-hal seperti berikut:
– Yang ditunjukkan dalam film 2012, ramalan kalender suku Maya,
– Ramalan Santo Malachy bahwa Paus Benediktus XVI adalah Paus terakhir (atau setidaknya akan ada beberapa paus lagi sebelum akhir jaman),
– Bencana alam yang frekuensinya semakin meningkat,
– Moralitas dunia yang semakin bobrok (seks bebas, pornografi),
– Isu eksistensi Planet X atau Planet Nibiru yang akan melintas dekat orbit bumi sehingga bumi berubah porosnya dan bencana global terjadi. Planet X ini melintas setiap beberapa ribu tahun sekali, dan isunya terakhir kali ia melintas adalah saat Atlantis tenggelam dan hilang dari peradaban.
– Pelegalan (pernikahan) homoseksualitas dan aborsi.
– Menghilangnya lebah (Abert Einstein menyatakan demikian: ‘jika lebah menghilang dari muka bumi, maka umat manusia hanya punya waktu empat tahun untuk hidup’).
– Dan banyak lagi hal lainnya

Singkatnya, saya banyak mengunjungi situs-situs yang menyatakan bahwa akhir dunia sudah dekat dan karena saya percaya akhir dunia sudah dekat, saya memutuskan inilah saatnya untuk bertobat.
Jadi alasan atau motif pertobatan saya adalah karena ‘ketakutan’ atau ‘takut’.
Saya takut masuk neraka. Takut disiksa selama-lamanya. Tidak ada jalan kembali jika sudah masuk neraka, bukan?
Saya tidak menyukai motif ini, alangkah indahnya jika saya bertobat karena Sabda dan seruan kasih Tuhan! Tetapi inilah kebenarannya dan saya bersyukur juga karena hal-hal tersebut di atas yang menakutkan saya dapat membawa saya ke pintu pertobatan.
Pertanyaan saya: bagaimana komentar Bu Ingrid mengenai motif pertobatan saya? Apakah saya harus mengubahnya? Jika ya, bagaimana caranya?

Terima kasih,
Fenky

Jawaban:

Shalom Fenky,

Pada tahap awal, jika anda bertobat karena takut hukuman neraka pada Pengadilan Terakhir, itu baik, tetapi tidak cukup. Sebab Tuhan bukan hanya Allah yang Maha Adil, namun juga Allah yang berbelas kasih. Maka pengenalan kita akan Allah tidak boleh hanya berhenti pada pengenalan akan keadilan-Nya tetapi juga pada belas kasih-Nya. Allah adalah Bapa yang mengasihi kita, anak- anak yang diangkat-Nya di dalam Kristus (lih. Rom 8:15, Gal 4:6). Maka kita tidak boleh hanya “takut dihukum”, tetapi harus sampai pada level “takut untuk menyakiti/ membuat sedih Dia yang begitu mengasihi kita” dengan pelanggaran dan dosa kita. Dalam istilah teologis, ‘takut akan hukuman’ itu disebut ‘servile fear‘ sedangkan ‘takut menyakiti hati Tuhan’ adalah ‘filial fear‘. Jadi seperti halnya jika kita mengasihi seseorang (yang sangat mengasihi kita), maka kita tidak mau berbuat sesuatu yang menyakiti hatinya; demikian pula, kita harus bersikap seperti ini terhadap Tuhan. Dengan perkataan lain, mengasihi Tuhan harus menjadi motivasi utama bagi kita untuk terus menerus bertobat di sepanjang hidup kita.

Para orang kudus mengajarkan kepada kita bahwa “servile fear” itu bukannya sesuatu yang buruk- karena ini dapat juga membantu kita untuk menghindari dosa- tetapi jika mau sempurna, kita harus sampai kepada “filial fear“, yaitu agar kita menghindari dosa (dan berbuat baik), demi kasih kita kepada Tuhan. Itulah sebabnya perintah utama dan pertama yang diberikan oleh Tuhan Yesus adalah, “Kasihilah Tuhan Allahmu…. dengan segenap hati, jiwa dan kekuatanmu….” (Mrk 12:30). Sebab atas dasar kasih kepada Tuhan inilah maka kita dapat mengasihi sesama, artinya motivasi kita mengasihi sesama adalah karena kita mengasihi Tuhan [yang terlebih dahulu mengasihi kita].

Maka jika sekarang anda ingin mempunyai sikap “filial fear” terhadap Tuhan, anda harus menghayati bahwa selain Tuhan Maha Adil, Ia juga Maha Kasih. Kasih Allah begitu besar sehingga mengutus Putera-Nya sendiri untuk menyelamatkan kita dari kuasa dosa, dengan wafat-Nya di kayu salib. Oleh rahmat keselamatan ini, maka pintu Surga terbuka bagi kita, jika sampai akhir hidup kita, kita setia beriman kepada-Nya. Kasih Allah inilah membawa kita kepada kehidupan kekal dalam persatuan dengan Dia selamanya. Semakin kita merenungkan, meresapkan dan menghayati rencana keselamatan ini, maka hati kita akan dipenuhi oleh ucapan syukur. Tak mengherankan, Rasul Paulus mengajarkan kita untuk pertama- tama mengucap syukur di dalam doa kita, “Ucaplah syukur senantiasa….” (Ef 5:20). Sebab di dalam ucapan syukur itulah hati kita terangkat, dan penghayatan akan kasih Tuhan yang telah kita terima inilah yang akan menumbuhkan di dalam hati kita, kasih kepada Tuhan dan keinginan untuk menghindari dosa, demi kasih kita kepada-Nya (‘filial fear‘).

Sedangkan tentang akhir jaman, sebaiknya janganlah kita “meramalkan” harinya, atau percaya kepada ramalan banyak pihak tentang hal ini. Firman Tuhan berkata, bahwa tidak ada seorang-pun yang tahu hari dan saatnya…. (Mat 25:13) Maka sikap yang paling tepat adalah berjaga- jaga, waspada, hidup kudus, dan menantikan dengan rindu, kedatangan Tuhan yang kedua kalinya. Bukanlah bagian kita untuk meramalkan apakah pada saat kedatangan-Nya kita masih hidup di dunia atau tidak. Atau, akankah akhir jaman akan datang dalam satu atau dua tahun lagi. Jika kita hidup kudus sebaik mungkin dan percaya bahwa Tuhan tidak akan membiarkan kita dicobai melebihi kekuatan kita (lih. 1 Kor 10:13), maka kita tidak seharusnya gelisah. Percayalah jika saatnya tiba, walaupun mungkin keadaannya akan mengerikan, karena akan didahului bencana ataupun penganiayaan, namun jika hati kita bersatu dengan Tuhan, maka kita akan dimampukan oleh-Nya untuk menghadapi semua itu. Malah, jika kita masih hidup dan bertahan sampai pada akhirnya, kita bersama- sama dengan para orang- orang kudus yang telah wafat dan dibangkitkan, akan “menyongsong Tuhan Yesus di angkasa” (1 Tes 4:17) dan melihat Kristus datang dengan kemuliaan-Nya. Tentang kapan saatnya, tidak usah membuat kita risau, yang penting kita harus berusaha hidup kudus, supaya jika saatnya tiba, Tuhan mendapati kita sebagai hamba yang setia (Luk 12:43), sehingga dapat diijinkan untuk masuk ke dalam kemuliaan kekal.

Memang jika kita melihat tanda- tanda yang ada sekarang ini, saya juga tidak menyangkal bahwa mungkin saja sekarang ini kita memasuki jaman akhir. Namun perihal hari dan saatnya, tidak ada yang dapat meramalkannya atau menentukannya selain dari Tuhan sendiri. Saya mengundang anda untuk membaca beberapa artikel di Katolisitas tentang akhir jaman, sehingga anda dapat mengetahui pandangan Gereja Katolik tentang akhir jaman (silakan klik di judul- judul berikut ini):

Perlukah kita mengetahui kapan terjadinya akhir zaman?
Mengapa Gereja Katolik tidak mengajarkan Kerajaan literal 1000 Tahun

2nd Coming: sekali, dua tahap, utk menghindarkan umat dari penderitaan?

Tanggapan Katolik tentang dua tahap Kedatangan Kristus di akhir jaman

Demikian yang dapat saya sampaikan untuk pertanyaan anda. Semoga berguna.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Siapakah Elia yang dinubuatkan oleh Maleakhi?

4

Pertanyaan:

Salam…

Saya ingin menanyakan tentang ayat ini…
4:5 Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari TUHAN yang besar dan dahsyat itu.
4:6 Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah.

dan apakah ELIA ADALAH MUHAMMAD & BUKAN YOHANES PEMBAPTIS?

saya mendapat lengkapnya dari ini….. [dari Katolisitas: link kami hapus]

Tolong katolisitas memberikan penjelasan yang lengkap…

Tolong ditanggapi secepatnya… Terimakasih…
Semoga Tuhan memberkati kita semua…

Boy

Jawaban:

Shalom Boy,

Yang ditanyakan di sini adalah tentang penggenapan nubuat dalam Mal 4:5-6:

“Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari TUHAN yang besar dan dahsyat itu. Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah.”

1. Yohanes Pembaptis = Elia?

Dalam Yoh 1:6-8 dan Yoh 1:19-28, Yohanes Pembaptis ditanya oleh para ahli Taurat, tentang apakah ia benar- benar/ secara literal adalah Nabi Elia yang telah turun dari surga, sehubungan dengan pesannya, bahwa Ia mempersiapkan jalan bagi kedatangan Tuhan. Para ahli Taurat ini bertanya, sebab mereka menginterpretasikan Mal 4:5-6 secara literal. Menjawab pertanyaan ini Yohanes Pembaptis menjawab, “Bukan”. Dan jawaban ini benar, karena secara literal Yohanes Pembaptis memang bukan Nabi Elia.

Maka untuk memahami penggenapan nubuat Mal 4:5-6, kita mengacu kepada penjelasan Tuhan Yesus sendiri. Tuhan Yesus mengartikan nubuatan tersebut secara spiritual (yaitu dengan perbandingan/ metafor), dan bukan secara literal. Ketika para murid bertanya tentang penggenapan nubuatan yang disebut dalam Mal 4:5-6, Tuhan Yesus menjawab, “… Memang Elia akan datang dan memulihkan segala sesuatu dan Aku berkata kepadamu: Elia sudah datang, tetapi orang tidak mengenal dia, dan memperlakukannya menurut kehendak mereka. Demikian juga Anak Manusia akan menderita oleh mereka.” (lih. Mat 17:11-12). Pada waktu itu, mengertilah murid- murid Yesus, bahwa Ia berbicara tentang Yohanes Pembaptis (Mat 17:11-13- LAI).

Menarik jika kita mengetahui terjemahan langsung dari kata Yunani dari Mat 17:11-12 ini, seperti yang tertulis dalam Douay Rheims Bible (terjemahan Vulgate), demikian:

But he [Jesus] answering, said to them: “Elias indeed shall come, and restore all things. But I say to you, that Elias is already come, and they knew him not …”

Maka sebenarnya terjemahan yang lebih tepat ke dalam bahasa Indonesia adalah: “Elia memang harus [bukan “akan”] datang untuk memulihkan segala sesuatu. Tetapi Aku berkata kepadamu, bahwa Elia sudah datang, dan mereka tidak mengenalinya …”

Jadi di sini Yesus menjelaskan bahwa nubuatan itu sudah dipenuhi oleh Yohanes Pembaptis. Yohanes Pembaptis memang bukan nabi Elia secara literal, dan bukan reinkarnasi dari nabi Elia; namun ia mempunyai ciri- ciri/ karakter yang serupa dengan nabi Elia, sehingga ia dapat dikatakan sebagai penggenapan nubuat para nabi yang tertera dalam Mal 4:5-6, dan Yes 40:3. Untuk mengetahui lebih jelas tentang hal ini, mari kita melihat kepada ayat- ayat berikut ini:

a. Injil mengatakan bahwa Yohanes Pembaptis adalah penggenapan nubuat nabi Yesaya:

Ada suara yang berseru-seru: “Persiapkanlah di padang gurun jalan untuk TUHAN, luruskanlah di padang belantara jalan raya bagi Allah kita!” (Yes 40:3)

Penggenapan sabda Tuhan ini nyata dalam diri Yohanes Pembaptis, seperti yang tertulis secara eksplisit dalam Mat 3:1-3, Luk 3:3-4 dan Yoh 1:23:

Pada waktu itu tampillah Yohanes Pembaptis di padang gurun Yudea dan memberitakan: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” Sesungguhnya dialah yang dimaksudkan nabi Yesaya ketika ia berkata: “Ada suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya.” (Mat 3:1-3)

Jawabnya [Yohanes Pembaptis]: “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan! seperti yang telah dikatakan nabi Yesaya.” (Yoh 1:23, lihat juga Luk 3:3-4)

b. Yohanes Pembaptis adalah nabi yang diutus Tuhan untuk mengajarkan pertobatan (Mat 3:2,11; Mrk 1:4, Luk 3:3-17), atau membalikkan hati para bapa kepada anak- anaknya dan sebaliknya, seperti yang dikatakan tentang nabi Elia (lih Mal 4:5-6). Injil Lukas menuliskan hal ini secara eksplisit dalam Luk 1:5-7, 15-17:

“Pada zaman Herodes, raja Yudea, adalah seorang imam yang bernama Zakharia dari rombongan Abia. Isterinya juga berasal dari keturunan Harun, namanya Elisabet. Keduanya adalah benar di hadapan Allah …tetapi mereka tidak mempunyai anak, sebab Elisabet mandul dan keduanya telah lanjut umurnya…. Maka tampaklah kepada Zakharia seorang malaikat Tuhan…, “Jangan takut, hai Zakharia, sebab doamu telah dikabulkan dan Elisabet, isterimu, akan melahirkan seorang anak laki-laki bagimu dan haruslah engkau menamai dia Yohanes…. Sebab ia akan besar di hadapan Tuhan dan ia tidak akan minum anggur atau minuman keras dan ia akan penuh dengan Roh Kudus mulai dari rahim ibunya; ia akan membuat banyak orang Israel berbalik kepada Tuhan, Allah mereka, dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang benar dan dengan demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya.”

c. Yohanes Pembaptis juga memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit (Mat 3:4), seperti halnya nabi Elia (lih. 2 Raj 1:8). Keduanya memakai jubah bulu binatang sebab jubah bulu tersebut dikenal sebagai pakaian para nabi yang bernubuat (lih. Zak 13:4). Injil Matius mengutip Yes 40 untuk mengatakan bahwa Yohanes Pembaptis adalah penggenapan nubuat nabi Yesaya (lih. Mat 3:1-3).

d. Selain dari itu, gaya hidup keduanya sangatlah serupa, yaitu menyerupai seorang Nazarite. Nabi Elia tinggalnya berpindah- pindah, ditepi sungai (1 Raj 17:3) di gua- gua di gunung (1 Raj 19:9), di bawah pohon arar di padang gurun, saat menerima perkataan Tuhan (1 Raj 19:5). Demikian pula Yohanes Pembaptis, yang juga menerima firman Tuhan di padang gurun (Luk 3:2).

Melihat penjabaran di atas, maka kita ketahui bahwa walaupun Yohanes Pembaptis bukan Nabi Elia secara literal, namun ia merupakan penggenapan dari nubuat nabi Maleakhi dan Yesaya, sebagai suara yang berseru- seru di padang gurun untuk mempersiapkan kedatangan Mesias, dengan menyerukan pertobatan. Dalam hal inilah, maka Yohanes Pembaptis secara metafor adalah nabi Elia, seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus sendiri (lih. Mat 17:13)

2. Penggenapan nubuatan menurut arti spiritual

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud oleh Tuhan Yesus adalah bahwa Yohanes Pembaptis datang dengan roh dan kuasa nabi Elia untuk melakukan misi yang serupa dengan nabi Elia, namun bukanlah nabi Elia secara literal dan juga bukan reinkarnasi Elia.

Untuk lebih memahami prinsip interpretasi ini, mari kita melihat penggenapan nubuatan yang serupa tentang kedatangan raja Daud, yang dipenuhi oleh Kristus. Kedatangan Daud, untuk merestorasi umat Allah itu dinubuatkan dalam Hos 3:5 dan Yeh 34:23-24. Oleh karena itu memang umat Israel menghubungkan Sang Mesias dengan figur “Raja Daud”. Nubuat ini dipenuhi oleh Tuhan Yesus, yang dalam penjelmaan-Nya sebagai manusia, lahir sebagai keturunan Daud. Di sini Yesus bukan Raja Daud secara literal, dan juga bukan reinkarnasi Raja Daud, namun misi yang diemban-Nya adalah untuk merestorasi umat pilihan Allah, namun tidak dalam arti literal, yaitu dalam arti spiritual. Kedatangan Kristus bukan untuk melepaskan umat Israel dari penjajahan penguasa/ pemerintah dunia, namun untuk melepaskan umat Allah dari penjajahan/ kuasa dosa.

Demikianlah dengan cara yang serupa kita mengartikan penggenapan nabi Maleakhi 4:5-6 dalam diri Yohanes Pembaptis.

3. Cara kematian Yohanes Pembaptis membuktikan bahwa ia bukanlah penggenapan nubuat nabi Maleakhi?

Di link non Kristen tersebut disebutkan argumen bahwa karena Yohanes Pembaptis wafat dengan cara dipenggal kepalanya oleh pengawal Raja Herodes atas permintaan anak perempuan Herodias [karena hasutan ibunya], maka Yohanes Pembaptis bukanlah Elia yang disebut dalam nubuat Maleakhi. Alasannya adalah, Yohanes Pembaptis dinilai ‘tidak berhasil’ membalikkan hati bapa-bapa kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya. Lalu si penulis mengambil kesimpulan, Muhammad lebih cocok dianggap sebagai Elia yang disebutkan dalam nubuat Maleakhi, daripada Yohanes Pembaptis.

Namun jika perhatikan, kematian Yohanes Pembaptis bukan disebabkan karena konflik antara anak dan bapa. Kematian Yohanes Pembaptis disebabkan karena: 1) kebencian Herodias [istri Filipus] kepada Yohanes Pembaptis yang telah berani menegur Raja Herodes, karena menikahi dirinya yang adalah istri Filipus, saudara Herodes sendiri (lih. Mrk 6: 18-19); 2) keengganan raja Herodes untuk menarik perkataannya sendiri di hadapan para tamunya, walaupun sebenarnya ia tidak bermaksud untuk membunuh Yohanes Pembaptis (Mrk 6:26).

Cara kematian Yohanes Pembaptis yang mengenaskan, tidak dapat dijadikan tolok ukur bahwa ia bukan nabi. Sebab dalam Perjanjian Lama, terdapat juga nabi- nabi yang wafat dengan cara dibunuh, contohnya Yeremia, Amos, dan Habakuk.

Selanjutnya,  jika dikatakan bahwa Yohanes Pembaptis tidak berhasil melakukan tugas untuk “membalikkan hati para bapa kepada anaknya dan anak kepada bapanya”, maka hal yang sama juga dapat dikatakan kepada Muhammad. Sebab harus diakui secara obyektif bahwa sampai sekarang, walau ada banyak orang yang bertobat, namun belum semua orang bertobat, belum semua bapa berbalik kepada anaknya dan anak kepada bapanya. Namun harus diakui bahwa inti pemberitaan yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis pada saat itu adalah ajaran pertobatan dan baptisan, yang maknanya adalah membalikkan hati seseorang kepada Allah Bapa di surga, dan juga hati para bapa kepada anaknya dan anak kepada bapanya sebagai bukti pertobatannya kepada Allah. Sebagai akibat pengajaran Yohanes Pembaptis, ada banyak orang Israel yang bertobat, dan ini disebutkan di Mat 3: 5, dan Mrk 1:5. Di atas semua itu, Tuhan Yesus sendiri telah mengatakan bahwa Elia yang dimaksud dalam nubuat tersebut sudah datang. Karena itu, tidak mungkin penggenapan nubuat baru terjadi setelah Yesus, sebab jika demikian, artinya tidak mengindahkan apa yang dikatakan oleh Kristus sendiri. Tentu perkataan Yesus ini benar, dan karenanya kita tidak perlu mengartikan ayat ini dengan pengertian yang lain.

4. Kesimpulan

Dari ayat- ayat di atas dan penjelasannya, tidak ada satupun yang mengatakan bahwa nabi Elia mengacu kepada Muhammad. Sebaliknya Kitab Suci telah menyatakan dengan jelas bahwa nubuat tentang nabi Elia yang harus datang tersebut, telah digenapi secara rohani oleh Yohanes Pembaptis.

Ludwig Ott, dalam Fundamentals of Catholic Dogma, p. 487, dalam menjelaskan makna Mat 17: 12, Mrk 1:9:13 mengatakan, “Yesus tidak mengatakan secara eksplisit tentang kedatangan nabi Elia di masa yang akan datang sebelum Pengadilan Terakhir, …. (Mat 17:11, Elia memang harus datang untuk memulihkan segala sesuatu), …. Yesus melihat itu telah digenapi di dalam kedatangan Yohanes Pembaptis (Mat 17:12)

Agaknya perlu disadari, bahwa untuk menginterpretasikan Kitab Suci dengan benar, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Kesatuan suatu ayat dengan ayat- ayat yang lain di dalam Kitab Suci.
Kita tidak boleh hanya memilih satu atau dua ayat lalu menghubungkannya dengan pengertian dan hipotesa menurut pengertian pribadi, tanpa melihat kaitannya dengan pesan keseluruhan Kitab Suci. Nubuat Mal 4:5-6 berkaitan dan Yes 4:30, dan penggenapannya jelas tertulis dalam Mat 17:9-13, Mrk 1:6, Luk 1:5-7, 15-17; Yoh 1:23.

b. Penggenapan nubuatan tidak harus secara literal, namun dapat juga secara spiritual/ rohani; apalagi jika di dalam Kitab Suci sendiri telah dinyatakan secara eksplisit bahwa penggenapan nubuatan yang dimaksud adalah secara rohani. Hal penggenapan nubuat tentang Elia dalam diri Yohanes Pembaptis adalah salah satu contohnya, demikian pula penggenapan nubuat tentang Raja Daud yang akan memulihkan umat pilihan Allah, dalam diri Kristus.

c. Kitab Suci diberikan kepada Gereja sehingga interpretasi yang otentik adalah yang diajarkan oleh Gereja. Kita sebagai umat Katolik sangat beruntung, bahwa kita memiliki Magisterium Gereja yang dapat mengajarkan kepada kita tentang interpretasi yang benar tentang Sabda Tuhan. Dengan demikian, apa yang tidak dinyatakan benar oleh Gereja, maka tidak selayaknya kita pandang sebagai kebenaran.

Demikian yang dapat saya sampaikan sehubungan dengan pertanyaan anda. Semoga berguna.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Mengapa umat Kristen non-Katolik tidak dapat menerima komuni di Gereja Katolik?

45

Kita mungkin pernah mendengar dalam beberapa perayaan Ekaristi, yang mungkin juga dihadiri oleh umat dari agama lain, diumumkan bahwa yang boleh menerima Tubuh Kristus adalah orang-orang yang dipermandikan secara Katolik dan telah menerima komuni pertama. Ada umat Kristen non-Katolik yang tidak mengerti akan hal ini dan mengatakan bahwa mereka ingin menyambut Tubuh Kristus, karena percaya. Namun, mengapa keinginan mereka dihalangi? Sebenarnya kalau kita lihat, tidak ada yang melarang orang-orang untuk datang kepada Kristus dalam setiap perayaan Ekaristi. Namun, untuk dapat menyambut Kristus dalam perayaan Ekaristi, maka bagi umat Kristen, harus telah dibaptis dan masuk ke dalam Tubuh Mistik Kristus, yaitu Gereja Katolik. Hal ini adalah hal sangat wajar, karena kalau kita ingin memperoleh hak, maka kita juga harus menjalankan kewajiban. Adalah menjadi hak umat Katolik untuk berpartisipasi dalam setiap perayaan Ekaristi, namun menjadi kewajiban umat tersebut untuk tetap berada dalam kesatuan dengan Gereja Katolik, percaya akan dogma dan pengajaran Gereja Katolik. Dengan demikian, kalau memang mereka ingin menyambut komuni di dalam Gereja Katolik, maka dengan senang hati Gereja Katolik menyambut mereka. Namun, karena Gereja Katolik menyadari bahwa Sakramen Ekaristi adalah Sakramen yang menuntun orang kepada keselamatan kekal, maka dalam kondisi yang mendesak (bahaya kematian, dll), bagi umat Kristen non-Katolik yang percaya akan Sakramen ini, atas inisiatifnya sendiri, dapat meminta pastor untuk memberikan Tubuh Kristus kepada mereka.

Keberatan lebih lanjut adalah ada yang mengatakan bahwa larangan seperti ini adalah buatan manusia belaka dan tidak perlu dipatuhi. Kalau mereka berpendapat bahwa larangan tersebut hanya bikinan manusia saja, mengapa mereka ingin menerima Ekaristi, yang berarti mereka mengakui bahwa Yesus hadir secara nyata (Tubuh, Darah dan ke-Allahan-Nya) dalam rupa roti dan anggur? Bukankah kedua hal ini dikeluarkan oleh Gereja yang sama? Kalau mereka mengakui bahwa pengajaran Gereja Katolik ini adalah suatu kebenaran, maka apakah yang menghalangi mereka untuk masuk ke dalam Gereja Katolik? Apakah dengan demikian mereka mengakui bahwa dogma Kristus hadir secara nyata dalam Ekaristi mempunyai dasar di Alkitab dan pada saat yang bersamaan mereka mengklaim bahwa larangan umat Kristen non-Katolik untuk menerima Ekaristi adalah hanya bikinan manusia belaka? Bukankah dengan demikian maka sikap seperti ini adalah sikap yang memilih-milih dan menggunakan parameter yang sebenarnya adalah double standard? Kalau memang percaya bahwa Bapa adalah baik, sehingga Dia memberikan Putera-Nya untuk menjadi manusia dan kemudian hadir secara nyata dalam rupa roti dan anggur, apakah yang menjadi alasan untuk tidak masuk ke dalam Gereja yang mempercayai bahwa Yesus hadir secara nyata (Tubuh, Jiwa, dan ke-Allahan-Nya) dalam rupa roti dan anggur?

Berikut ini mari kita melihat hakekat dari Ekaristi, sehingga kita dapat mengerti mengapa ada larangan bahwa umat Kristen non-Katolik tidak dapat menerima Ekaristi di dalam perayaan Misa. Ada banyak hakekat dari perayaan Ekaristi. Namun, satu hal yang saya ingin soroti dalam menanggapi pernyataan anda adalah Ekaristi sebagai Sakramen Persatuan. Berikut ini adalah apa yang dituliskan di dalam Katekismus Gereja Katolik:

KGK, 1396. Kesatuan Tubuh Mistik: Ekaristi membangun Gereja. Siapa yang menerima Ekaristi, disatukan lebih erat dengan Kristus. Olehnya Kristus menyatukan dia dengan semua umat beriman yang lain menjadi satu tubuh: Gereja. Komuni membaharui, memperkuat, dan memperdalam penggabungan ke dalam Gereja, yang telah dimulai dengan Pembaptisan. Di dalam Pembaptisan kita dipanggil untuk membentuk satu tubuh Bdk. 1 Kor 12:13.. Ekaristi melaksanakan panggilan ini: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1 Kor 10:16-17):
Kalau kamu Tubuh Kristus dan anggota-anggota-Nya, maka Sakramen yang adalah kamu sendiri, diletakkan di atas meja Tuhan; kamu menerima Sakramen, yang adalah kamu sendiri. Kamu menjawab atas apa yang kamu terima, dengan “Amin” [Ya, demikianlah] dan kamu menandatanganinya, dengan memberi jawaban atasnya. Kamu mendengar perkataan “Tubuh Kristus”, dan kamu menjawab “Amin”. Jadilah anggota Kristus, supaya Aminmu itu benar” (Agustinus, serm. 272).

KGK, 1398. Ekaristi dan kesatuan umat beriman. Karena keagungan misteri ini, santo Augustinus berseru: “O, Sakramen kasih sayang, tanda kesatuan, ikatan cinta” (ev. Jo 26,6,13) Bdk. SC 47.. Dengan demikian orang merasa lebih sedih lagi karena perpecahan Gereja yang memutuskan keikutsertaan bersama pada meja Tuhan; dengan demikian lebih mendesaklah doa-doa kepada Tuhan, supaya saat kesatuan sempurna semua orang yang percaya kepada-Nya, pulih kembali.

KGK, 1400. Persekutuan-persekutuan Gereja yang muncul dari Reformasi, yang terpisah dari Gereja Katolik, “terutama karena tidak memiliki Sakramen Tahbisan, sudah kehilangan hakikat misteri Ekaristi yang otentik dan sepenuhnya” (UR 22). Karena alasan ini, maka bagi Gereja Katolik tidak mungkin ada interkomuni Ekaristi dengan persekutuan-persekutuan ini. “Kendati begitu, bila dalam Perjamuan Kudus mereka mengenangkan wafat dan kebangkitan Tuhan, mereka mengimani, bahwa kehidupan terdapat dalam persekutuan dengan Kristus, dan mereka mendambakan kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan” (UR 22).

KGK, 1401. Jika menurut pandangan Uskup diosesan ada situasi darurat yang mendesak, imam-imam Katolik boleh menerimakan Sakramen-sakramen Pengakuan, Ekaristi, dan Urapan Orang Sakit juga kepada orang-orang Kristen lain yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, bila mereka sendiri secara sukarela memintanya, asalkan mengerti Sakramen-sakramen itu mereka memperlihatkan iman Katolik serta berada dah disposisi yang baik Bdk. CIC, can. 844 -4

Jadi, dengan demikian, maka terlihat jelas, pada saat kita mengikuti perayaan Ekaristi, bukan saja kita disatukan dengan Kristus, namun kita juga disatukan dengan seluruh umat beriman, yang berada di dalam satu kumpulan di bawah Paus. Dan juga seluruh umat beriman yang menerima Tubuh Kristus dalam Ekaristi percaya akan dogma yang sama, yaitu kehadiran Yesus secara nyata dalam setiap perayaan Ekaristi. Tentang siapa saja yang berhak menerima komuni di atur di dalam Kanon 844.

Kan. 844 – § 1. Para pelayan katolik menerimakan sakramen-sakramen secara licit hanya kepada orang-orang beriman katolik, yang memang juga hanya menerimanya secara licit dari pelayan katolik, dengan tetap berlaku ketentuan § 2, § 3 dan § 4 kanon ini dan kan. 861, § 2.
§ 3. Pelayan-pelayan katolik menerimakan secara licit sakramen-sakramen tobat, Ekaristi dan pengurapan orang sakit kepada anggota-anggota Gereja Timur yang tidak memiliki kesatuan penuh dengan Gereja katolik, jika mereka memintanya dengan sukarela dan berdisposisi baik; hal itu berlaku juga untuk anggota Gereja-gereja lain, yang menurut penilaian Takhta Apostolik, sejauh menyangkut hal sakramen-sakramen, berada dalam kedudukan yang sama dengan Gereja-gereja Timur tersebut di atas.
§ 4. Jika ada bahaya mati atau menurut penilaian Uskup diosesan atau Konferensi para Uskup ada keperluan berat lain yang mendesak, pelayan-pelayan katolik menerimakan secara licit sakramen-sakramen tersebut juga kepada orang-orang kristen lain yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, dan tidak dapat menghadap pelayan jemaatnya sendiri serta secara sukarela memintanya, asalkan mengenai sakramen-sakramen itu mereka memperlihatkan iman katolik dan berdisposisi baik.
§ 5. Untuk kasus-kasus yang disebut dalam § 2, § 3 dan § 4, Uskup diosesan atau Konferensi para Uskup jangan mengeluarkan norma-norma umum, kecuali setelah mengadakan konsultasi dengan otoritas yang berwenang, sekurang-kurangnya otoritas setempat dari Gereja atau jemaat tidak katolik yang bersangkutan.

Dari kanon tersebut di atas, maka tidak benar bahwa dalam situasi biasa, orang-orang Kristen non-Katolik dapat menerima komuni di dalam Gereja Katolik. Hal ini dikarenakan orang-orang Kristen yang lain tidak dalam bahaya mati atau ada keperluan berat lain yang mendesak, walaupun mereka mempunyai disposisi hati yang baik (lih. Kan 844 § 4. di atas). Jadi Misa di dalam kelompok doa Ekumene, harus diumumkan bahwa hanya umat yang telah dibaptis dan beragama Katolik saja yang dapat menerima Ekaristi. Kalau mau, Romo dapat mendoakan umat Kristen yang lain setelah komuni atau setelah Misa.

Persyaratan untuk menerima komuni bukan hanya disposisi hati yang percaya/ mengimani bahwa hosti tersebut (setelah konsekrasi) adalah Tubuh Kristus. Sebab komuni di sini bukan hanya berarti Komuni/ persatuan dengan Tubuh Kristus dalam hosti kudus, namun juga komuni/ persatuan dengan Tubuh Mistik Kristus yaitu Gereja Katolik, di bawah pimpinan Bapa Paus. Hal yang kedua inilah yang mungkin tidak diimani oleh banyak orang Kristen Protestan, karena mereka tidak mengakui kepemimpinan Bapa Paus. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menerima Komuni dalam Perayaan Misa, karena mereka pengertian mereka tentang Komuni tidak sama dengan pengertian Gereja Katolik. Semoga keterangan ini dapat memperjelas dan membantu.

Kasus-kasus pembatalan perkawinan kanonik (nullitas matrimonii)

209

Kasus pembatalan perkawinan kanonik

Dalam konteks studi hukum gereja, kasus pembatalan perkawinan kanonik adalah kasus di mana perjanjian perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu tidak sah sehingga tidak tercipta sebuah perkawinan. Jika pasangan suami – isteri telah menikah secara kanonik telah berpisah dan berdamai kembali menjadi tidak mungkin, kasus-kasus itu disampaikan pada kuasa Gereja untuk diselidiki. Kuasa Gereja yang dimaksudkan adalah Tribunal Perkawinan Keuskupan (memang tidak semua keuskupan memiliki Tribunal karena keterbatasan tenaga ahli). Dalam proses anulasi perkawinan itu jika terbukti dan perjanjian perkawinan itu dinyatakan batal maka pihak-pihak yang berperkara bebas membangun kehidupan perkawinan yang baru.

Jenis-jenis kasus pembatalan perkawinan

Kanon 1057, KHK 1983, menyatakan ada tiga syarat dasar supaya sebuah perkawinan sah kanonik. Tiga syarat itu adalah: (1) adanya saling kesepakatan tanpa cacat mendasar untuk perkawinan, (2) dilaksanakan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mempunyai kemampuan legitim untuk melaksanakan perkawinan itu, yakni tidak terhalang oleh halangan yang menggagalkan dari hukum ilahi atau hukum positif (gerejawi dan sipil); (3) secara publik dilaksanakan dengan tata peneguhan yang diwajibkan hukum, yakni sebagaimana dituntut oleh hukum gereja atau negara. Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa ada 3 hal yang dapat membatalkan perkawinan:

a. Kasus karena cacat dalam kesepakatan perkawinan,

b. Kasus karena halangan yang menggagalkan,

c. Kasus karena cacat atau ketiadaan tata peneguhan kanonik.

Perkawinan yang dapat dinyatakan batal oleh Tribunal perkawinan

Kanon 1671 dan 1476 menegaskan bahwa perkara-perkara perkawinan orang-orang yang telah dibaptis dari haknya sendiri merupakan wewenang hakim gerejawi dan siapapun baik dibaptis maupun tidak, dapat menggugat di pengadilan. Adapun pihak tergugat secara legitim harus menjawabnya. Dengan demikian perkawinan apa saja, di mana salah satu pihak sudah dibaptis dapat dinyatakan batal oleh tribunal perkawinan gerejawi.

Siapa saja yang dapat meminta pembatalan perkawinan?

Kanon 1674 menyatakan: yang dapat menggugat perkawinan adalah (1) pasangan suami-isteri; (2) promotor iustitiae, jika nullitasnya sudah tersiar apabila perkawinan itu tidak dapat atau tidak selayaknya disahkan. Dengan demikian entah pihak manapun yang berperkara bahkan pihak yang tidak terbaptis dapat membawa perkaranya ke Tribunal perkawinan Gerejawi untuk memohon pembatalan perkawinan (bahkan jika ia yang menyebabkan batalnya perkawinan). Namun demikian usaha untuk rujuk kembali perlu diusahakan pihak-pihak yang bersengketa. Ini adalah tugas pastoral kristiani dan utama bagi Pastor dan umat beriman. Di beberapa negara hukum sipil menuntut bahwa sebelum pasangan suami isteri memulai proses perceraian, mereka harus terlebih dahulu menghadap panitia rujuk kembali (di Indonesia belum ada), badan yang didirikan oleh Pemerintah (Gereja). Sebenarnya tiap keuskupan bahkan paroki bisa mendirikan sendiri semacam komisi rujuk (perdamaian), baru setelah badan itu menyatakan tidak mampu mendamaikan pasangan itu, mereka bisa meminta untuk mengajukan pembatalan perkawinan. Sebagai catatan penting: sebuah tribunal gerejawi hanya akan memulai sidang-sidang perkara perkawinan jika usaha rujuk kembali praktis sudah tidak mungkin lagi.

Bagaimana kasus pembatalan perkawinan ditangani?

Perkara pembatalan perkawinan dapat ditangani melalui peradilan gereja (Tribunal perkawinan) atau di luar pengadilan maksudnya diputuskan oleh Ordinaris wilayah. Ada dua macam proses peradilan yakni: proses biasa sebagaimana dalam proses peradilan Gereja (bdk kann 1671-1685) dan proses dokumental (bdk, kann. 1686-1688). Proses biasa digunakan untuk semua kasus, kecuali untuk perkara yang penyebabnya adalah halangan yang menggagalkan, atau cacat dalam tata peneguhan yang sah atau perwakilan secara tidak sah dan ada bukti-bukti dokumental. Sedangkan perkara tidak adanya sama sekali tata-peneguhan yang sah di luar pengadilan.

Pernyataan pembatalan perkawinan (Surat bebas untuk melangsungkan perkawinan baru)

Sebuah dekret pernyataan pembatalan perkawinan adalah sebuah pengakuan yang dibuat oleh Hakim gerejawi dalam sebuah kalimat peradilan. Pernyataan itu diperkuat oleh hakim pengadilan gerejawi lain bahwa pengakuan itu telah terbukti dengan kepastian moral bahwa ketika perkawinan dilangsungkan ada suatu penyebab pembatalan. Dalam ranah hukum kanonik, [artinya salah satu atau keduanya (yaitu suami dan istri) tersebut adalah Katolik], jika perkawinan mereka sama sekali tidak diteguhkan dengan tata peneguhan kanonik, maka persatuan itu bukanlah sebuah perkawinan. Karena dilaksanakan secara tidak sah, maka tidak bisa disebut sama sekali sebagai sebuah perkawinan. Persatuan semacam itu tidak bisa dinyatakan batal, tetapi bila mau diadakan sebuah penyelidikan, seperti misalnya penyelidikan pertunangan biasa yang menyatakan tidak adanya tata peneguhan kanonik dan bisa dibuktikan, lalu bisa diberikan surat bebas untuk menikah kembali kepada pihak yang bersangkutan oleh Ordinaris wilayah. Oleh karena itu, dikatakan bahwa kasus ini diurus secara luar peradilan maksudnya tanpa formalitas peradilan (proses dokumental kann. 1686-1688).

Tentang Summorum Pontificum

9

Pertanyaan:

Salam Kasih

Mohon penjelasannya tentang ‘Sumorrum Pontificum’ dan ‘Novus Ordo’ hubungannya dengan Konsili Vatikan 2 ….?

Apa sih tanggapan sebenarnya dari Kardinal Julius di Indonesia ? pengaruh dari keputusan Kardinal Yulius untuk Gereja Katolik di Indonesia ?

terima kasih untuk jawabannya

Yulius Arie

Jawaban:

Shalom Yulius Arie,

Berikut ini adalah jawaban dari Romo Boli, Romo Wanta, dan tambahan dari Ingrid:

Dari Romo Boli:

Sumorum Pontificum memberi kemungkinan untuk merayakan misa dengan pola Misa Pius V (1570). Novus Ordo adalah hasil dari ide pembaruan Konsili Vatikan II yang menghendaki agar misa lebih sederhana tetapi agung, dengan memasukkan kembali unsur-unsur yang penting tetapi telah hilang dalam peredaran zaman, dan menghilangkan unsur-unsur yang agak berlebihan. Dan Paus Benedictus XVI memandang Novus Ordo tidak dengan sendirinya menghilangkan misa dengan pola Pius V. Karena itu diberi kemungkinan untuk merayakan misa dengan Ordo Pius V. Kardinal Yulius sebagai pemimpin Keuskupan Agung Jakarta memandang misa dengan pola Misa Pius V belum dapat dirayakan di wilayah Keuskupan Agung Jkt, karena syarat-syarat yang dituntut untuk misa seperti itu sulit dipenuhi semuanya di wilayah Keuskupan Agung Jkt. Dalam hal ini uskup-uskup lain di seluruh Indonesia mempunyai otonomi masing-masing untuk menentukan kebijaksanaan dalam hal ini.

P.Bernardus Boli.

Dari Romo Wanta:

Yulius Yth

Summorum Pontificum adalah surat apostolik motu proprio dari Paus Benediktus XVI sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik. Isinya tentang kepedulian dari Paus Benediktus XVI yang terus menerus untuk menjamin bahwa Gereja Kristus mempersembahkan suatu perayaan yang kaya kepada Allah Mahamulia untuk memuji dan memuliakan nama-Nya dan demi kebaikan seluruh Gereja Kudus-Nya. Maka di tiap keuskupan diperkenankan misale romawi yang dipromulgasikan oleh St Pius V dan dikeluarkan oleh Beato Yohanes XXIII, selain misale romawi yang disahkan oleh Paus Paulus VI tahun 1970. Novus ordo adalah ordo yang baru hubungannya dengan Konsili Vatikan II adalah sangat erat di mana semangat dari Konsili Vatikan II adalah pembaruan aggiornamento dan tetap memelihara kekayaan liturgi Gereja. Tanggapan Kardinal sama seperti yang disampaikan Paus bahwa lex orandi (tata doa) yang kaya dan anggun itu tidak boleh mengarahkan kepada perpecahan dalam lex credendi (tata iman) dalam Gereja. Kardinal sebagai uskup memiliki kewenangan hanya di dalam teritorial Gereja partikular (KAJ).

salam,
Rm Wanta

Tambahan dari Ingrid:

Shalom Yulius Arie,
Berikut ini yang dapat saya sampaikan sebagai tambahan dari apa yang disampaikan oleh Rm. Boli dan Rm. Wanta:

1. Jika anda ingin mengetahui isi teks Summorum Pontificum (dalam bahasa Inggris), silakan klik di sini

2. Dari isi surat tersebut, pada article 1, diketahui bahwa memang Tata cara liturgis yang dipakai dalam Misa Kudus di Gereja Katolik (Latin rite) adalah tata cara yang dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI, yang dikenal dengan Novus Ordo. Tata cara Novus Ordo inilah yang memungkinkan diadakannya Misa Kudus dengan bahasa setempat, sehingga harapannya dapat lebih dihayati oleh umat di manapun di seluruh dunia. Ini sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II, seperti yang disampaikan dalam Sacrosanctum Concilium 36.

Namun demikian, Konsili Vatikan tidak bermaksud menghapuskan tatacara dalam bahasa Latin, dan ini juga jelas disebutkan dalam Sacrosanctum Concilium tersebut. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa setelah Konsili Vatikan II, di keuskupan- keuskupan tertentu, tetap dapat diadakan Misa dengan tata cara yang dipromulgasikan oleh Paus Yohanes XXIII yang terberkati (pada tahun 1962, seperti yang diajarkan oleh Paus Pius V- 1570), -yang dikenal dengan Tridentine Mass (Missa Tridendina).

3. Namun ketentuan untuk diadakan Misa Tridentina tersebut adalah: harus ada terlebih dahulu komunitas yang stabil yang menghendaki tatacara tersebut, dan hal ini harus dibicarakan terlebih dahulu dengan pastor paroki, dan dalam bimbingan Uskup, agar tidak terjadi perpecahan yang membahayakan kesatuan Gereja. Mari kita baca article 5:

Art. 5. § 1 In parishes, where there is a stable group of faithful who adhere to the earlier liturgical tradition, the pastor should willingly accept their requests to celebrate the Mass according to the rite of the Roman Missal published in 1962, and ensure that the welfare of these faithful harmonises with the ordinary pastoral care of the parish, under the guidance of the bishop in accordance with canon 392, avoiding discord and favouring the unity of the whole Church.

Maka pada akhirnya, pihak uskuplah yang bertanggungjawab untuk menyikapi hal ini, sebab Kan 392 berbunyi:

Kan. 392
§ 1 Karena harus melindungi kesatuan seluruh Gereja, maka Uskup wajib memajukan disiplin umum untuk seluruh Gereja dan karenanya wajib mendesakkan pelaksanaan semua undang-undang gerejawi.
§ 2 Hendaknya ia menjaga agar penyalahgunaan jangan menyusup ke dalam disiplin gerejawi, terutama mengenai pelayanan sabda, perayaan sakramen-sakramen dan sakramentali, penghormatan terhadap Allah dan para Kudus, dan juga pengelolaan harta-benda.

Jadi jika Misa Tridentina sekarang belum umum diadakan di Jakarta ataupun di Indonesia, maka kemungkinan (menurut pandangan saya) para uskup di Indonesia belum melihat adanya: 1) komunitas yang cukup stabil yang menginginkan diadakannya Misa Tridentina ini. 2) Belum adanya kesiapan untuk melaksanakannya, karena hal ini mensyaratkan diadakannya pembinaan yang cukup, entah di pihak imamnya (yang harus menguasai tata cara Latin dan segala detail pelaksanaannya) ataupun di pihak umatnya; agar jangan sampai terjadi perpecahan yang tidak diinginkan.

Sewaktu bermukim di Amerika, saya beberapa kali mengikuti komunitas Misa Tridentina, sehingga kurang lebih saya melihat dinamika yang terjadi di sana. Memang harus diakui, bahwa tanpa persiapan pembekalan yang cukup bagi umat, maka resikonya adalah ada pihak- pihak tertentu yang dapat menganggap bahwa tatacara Tridentina adalah yang terbaik, sampai ‘merendahkan’ tata cara Novus Ordo, dan Konsili Vatikan II. Pandangan ini tentu tidak benar, sebab kedua tata cara tersebut sah dan tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, hanya Bapa Paus sudah memutuskan Novus Ordo sebagai tatacara yang dipilih, sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II.

Jadi, sebagai umat awam, saya mengajak agar kita semua memahami inti yang ingin disampaikan oleh Motu Proprio Summorum Pontificum. Sebab jika Bapa Uskup telah menilai adanya kesiapan baik dari pihak imam maupun umat (dengan persyaratan seperti yang disebutkan di atas) maka, suatu hari dapat saja Misa Tridentina dapat diperbolehkan/ diadakan di Indonesia. Namun jika sekarang hal itu belum terwujud, maka itu bukan karena hal politik atau keengganan dari pihak Bapa Uskup, tetapi karena keadaan yang belum memungkinkan. Sebab pengadaan tatacara Tridentina tersebut, tidak hanya meliputi Misa Mingguan saja, namun juga ada banyak hal lain yang harus diperhatikan, termasuk juga tatacara pemberian sakramen- sakramen lainnya (ini dapat terjadi setiap hari dalam kehidupan rohani umat di paroki). Hal ini yang mungkin belum umum diketahui oleh umat di Indonesia sekarang ini. Umumnya di Amerika ataupun di negara Barat lainnya, bahasa Latin sudah menjadi bahasa kedua bagi mereka, ataupun doa- doa berbahasa Latin sudah menjadi bagian dari kehidupan rohani mereka sehari- hari, sehingga sedikit banyak mereka yang terlibat aktif dalam Misa Tridentina, dan dapat lebih menghayati Misa tersebut.

Di lain pihak, kita harus melihat dengan jujur bahwa tatacara Novus Ordo saja, yang dengan bahasa Indonesia, belum sepenuhnya dipahami maknanya oleh umat, apalagi yang berbahasa Latin. Ini adalah tantangan kita semua sebagai umat Katolik, yaitu untuk semakin menghayati iman kita, sehingga tatacara Novus Ordo/ Tridentina tidaklah terlalu berpengaruh bagi kehidupan rohani kita.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga berguna.

Salam kasih dalam Kristus,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Post Format: Image

0

 

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab