Home Blog Page 100

Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam Surga

4

Demikianlah adalah keterangan para Bapa Gereja tentang frasa ” Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam Surga”, yang dikompilasi oleh St. Thomas Aquinas dalam Catena, mengenai ayat Mat 6:10:

St. Agustinus dalam, Serm. in Mont., ii, 6: Dalam kerajaan yang kudus itu, kehidupan yang bahagia akan menjadi sempurna di dalam diri para Orang Kudus, sebagaimana kehidupan tersebut sekarang ini ada dalam diri para Malaikat surgawi. Maka setelah permohonan ini, “Datanglah Kerajaan-Mu,” diikuti oleh, “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam Surga.” Artinya, seperti pada para Malaikat di Surga, kehendak-Mu akan terjadi, sehingga mereka memperoleh penggenapannya, tidak ada kesalahan yang mengaburkan pengetahuan mereka, tidak ada rasa sakit yang merusak kekudusan mereka. Demikianlah, semoga terjadilah bagi para Orang Kudus-Mu yang ada di dunia, yang menurut tubuh mereka, diciptakan di dunia. Sehingga, “Terjadilah kehendak-Mu,” dipahami dengan benar sebagai, ‘perintah-perintah-Mu ditaati’; “di bumi seperti di Surga”, yaitu sebagaimana oleh para Malaikat, demikianlah juga oleh manusia…. yaitu, mereka melakukan sesuai dengan kehendak-Nya.

Lagi, St. Agustinus mengatakan: Atau, sebagaimana oleh orang-orang benar, demikian juga oleh orang-orang berdosa; seperti Ia seolah berkata, seperti orang-orang benar melakukan kehendak-Mu, semoga demikian jugalah para pendosa, baik dengan kembali kepada-Mu (bertobat) atau dengan menerima setiap orang sebagai penghargaaannya….

Atau, dengan ‘di bumi seperti di Surga’, kita pahami kedagingan dan kerohanian. Sebagaimana Rasul Paulus berkata, “Dalam pikiranku aku manaati hukum Tuhan (Rom 7:25), kita lihat kehendak Tuhan dilakukan di dalam roh. Tetapi sebagai gantinya yang dijanjikan kepada orang-orang benar, “Terjadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di Surga;” adalah sebagaimana roh tidak menentang Tuhan, semoga tubuh juga tidak menentang roh.”

Atau; “di atas bumi seperti di dalam Surga,” sebagaimana Kristus Yesus sendiri; seperti Anak Manusia yang melakukan kehendak Bapa ….

St. Krisostomus: Lihatlah betapa istimewa hal yang mengikutinya; setelah mengajarkan kita untuk menginginkan hal-hal surgawi, dengan perkataan, “Datanglah Kerajaan-Mu”, sebelum kita masuk ke Surga, Ia menghendaki kita membuat bumi ini menjadi Surga, dalam perkataan, “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di dalam Surga.”

Sebab kebajikan bukanlah dari usaha-usaha kita sendiri, tetapi dari rahmat yang dari atas. Di sini lagilah ditekankan kepada setiap kita agar berdoa bagi seluruh dunia, sebab kita tidak berkata, Terjadilah kehendak-Mu atas aku, atau atas kami; tetapi di seluruh bumi, sehingga kesalahan akan berhenti, kebenaran akan ditanamkan, kejahatan akan musnah, dan kebajikan akan kembali, sehingga dunia akan menjadi seperti Surga.

St. Hieronimus: Biarlah menjadi malu, mereka yang keliru menegaskan melalui ayat-ayat ini bahwa terdapat kejatuhan [ruinas] setiap hari di Surga.

St. Siprianus: Kita tidak memohon agar Tuhan melakukan kehendak-Nya, tetapi bahwa kita dapat dimampukan untuk melaksanakan kehendak-Nya…; dan agar terjadi pada kita, kita sungguh membutuhkan kehendak tersebut, yaitu dari pertolongan Tuhan dan perlindungan-Nya; sebab tidak ada orang yang kuat dari kekuatannya sendiri, tetapi ia aman dalam pertolongan dan belas kasihan Tuhan.

Makna Kitab Obaja

1

Demikian keterangan yang kami sarikan dari Catholic Bible Dictionary, ed. Scott Hahn, (New York: Double Day, 2009), p. 660-661:

Kitab Obaja memang merupakan Kitab yang tersingkat dalam Kitab Perjanjian Lama, yang terdiri dari hanya 21 ayat. Nubuat yang disampaikan di dalamnya merupakan salah satu nubuat yang tertegas/ keras dalam Kitab Suci. Nubuat itu menentang bangsa Edom, penjajah Yehuda, dan para musuh bangsa Israel yang baru kembali dari pembuangan ke tanah air mereka.

Maka secara prinsip, kitab Obaja terdiri dari dua bagian:
1. Pernyataan penghakiman atas bangsa Edom (ayat 2-7, 10, 14, 15) dan
2. Jaminan akan kemenangan bangsa Israel.

Pola pembahasan semacam ini umum dijumpai dalam pernyataan para nabi lainnya, seperti dalam kitab Yesaya (Yes 34:5-17, 63:1-6), Yeremia (Yer 49:7-22), Ratapan (4:21-22), Yehezkiel (26:12-14), Yoel (Yl 3:19), Amos (Am 1:11-12).

Meskipun merupakan kitab yang tersingkat, kitab Obaja mempunyai ciri khas karena dituliskan dengan gaya bahasa yang keras. Kitab ini menyatakan dengan berani tentang kejatuhan bangsa Edom, dengan menggunakan penggambaran yang jelas (ay. 3-4). Kitab ini juga mengulangi pernyataan perlindungan Tuhan akan umat-Nya, dan janji Allah akan membalaskan kepada mereka yang mengutuk umat-Nya, “Janganlah masuk ke pintu gerbang umat-Ku pada hari sialnya, bahkan janganlah memandang ringan malapetaka yang menimpanya pada hari sialnya; dan janganlah merenggut kekayaannya pada hari sialnya…. Sebab telah dekat hari TUHAN menimpa segala bangsa. Seperti yang engkau lakukan, demikianlah akan dilakukan kepadamu, perbuatanmu akan kembali menimpa kepalamu sendiri…. (ay. 13-15)

Teks ini menggambarkan keyakinan akan pemulihan bangsa Israel, dan di balik semua itu, samar-samar digambarkan tentang keyakinan yang teguh akan kemenangan Kerajaan Allah di akhir zaman.

Melukis dunia

0

Seorang ibu  berusia  lebih dari setengah baya  baru  dua minggu datang dari Medan.

Kehadirannya memberikan jutaan pesan bagi manusia yang sering dilanda keresahan.

Tanpa canggung ia bergabung dengan umat dalam Misa Lingkungan Santo Don Bosco – Tiga Raksa- Paroki Santa Odilia,  11 September 2013.

Penampilannya yang sederhana membuatnya gampang menyesuaikan diri dengan keadaan.

Umat menerimanya dengan sukacita.

Ia tidak memahami bahasa Indonesia sehingga ia memerlukan orang yang menerjemahkan apa yang dikatakan dan didengarnya.

Bahasanya adalah senyuman dari hati  yang dapat dimengerti setiap orang yang berada di sekelilingnya.

 

Senyuman itu senantiasa mengembang di dalam jiwanya.

Senyumannya telah menjadi penawar kegundahan yang melintasi kehidupannya.

Suaminya menghadap Sang Pencipta  dengan meninggalkan delapan anak.

Anak bungsunya masih berada dalam kandungan pada usia delapan bulan.

Sepetak sawah menjadi tempat mencari kehidupan bagi anak-anaknya.

Semakin ia menangisi keadaan, semakin ia dilanda kekuatiran yang mencekam.

 

Pencerahan  tiba-tiba merasuki jiwanya sehingga ia mampu tersenyum dalam menjelajahi hayatnya.

Tersenyum telah  melibas keputusasaan  seperti yang telah diungkapkannya dalam rangkaian kata yang indah :

 

“Aku harus memulai hari baru dengan senyuman baru.

Senyuman baru membuka berkah baru dari surga.

Meskipun sejuta masalah melilitku, aku harus tetap tersenyum.

Berkat Tuhan senantiasa lebih banyak daripada masalah.

Kuasa Tuhan  memampukanku tetap tersenyum di tengah masa-masa yang sukar”.

 

Aku  pegang tangannya  sambil menyanyikan lagu “Walau Seribu Rebah”

Tiada pernah kuragukan
Kasih setia-Mu ya Tuhan
Setiap waktu dalam hidupku
Tak pernah Kau tinggalkan

Meski langit tampak suram
Awan gelap pun menghadang
Hadapi badai lewati gelombang
Tak pernah Kau tinggalkan diriku

Reff :
Walau seribu rebah di sisiku
Kau tetaplah Allah penolongku
Walau sepuluh ribu rebah di kananku
Tak kan ku goyah s’bab Yesus sertaku.

Dalam masa tuanya, ia tinggal  di rumah anak-anaknya secara bergantian  bukan untuk merongrong mereka, tetapi untuk menularkan senyuman  sebagai sumber  kekuatan dan pengharapan.

 

Pesan  dari kesaksiannya :

Mari kita lukis dunia dengan senyuman, maka  petualangan dalam kehidupan memberikan selaksa makna.

Senyum adalah anugerah Tuhan yang membawa kedamaian dan menggerakkan kekuatan. Jangan menunggu bahagia untuk dapat  tersenyum, tetapi tersenyumlah untuk menyambut kebahagiaan dari Tuhan  di hari mendatang.

Ledakan kebaikan Tuhan akan segera memenuhi seluruh kehidupan kita yang mampu tersenyum sebagai ungkapan iman  kita kepadaNya.

Tuhan pada akhirnya akan mengangkat kita jauh lebih tinggi daripada yang pernah kita impikan

“Sebab itu TUHAN menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab TUHAN adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia!” (Yesaya 30:18)

Tuhan Memberkati

 

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Mencuri dari Sang Mahakuasa

3

Meditasi pagi adalah hal yang cetar membahana untuk kehidupan biara. Cetar membahana karena hasilnya ada dua : 1) Berhasil merenungkan dan mengkontemplasikan sesuatu dan memperoleh sesuatu yang cetar membahana, atau 2) Berhasil tidur dengan suksesnya dan mengangguk-angguk ngantuk sampai jatuh dan seisi kapel menjadi cetarr membahanaaa. Syukurlah kehormatan pertama untuk hasil kedua sudah jatuh di tangan teman. Semoga aku tidak sampai mengalaminya. Aminnn..

Ternyata, Tuhan berbaik hati untuk memberikanku hasil yang pertama. Injil untuk meditasi pagi ini menceritakan bahwa Yohanes Pembaptis menegur Herodes karena mengambil Herodias, istri Filipus, saudaranya. “Tidak halal bagimu untuk mengambil Herodias,” kata Yohanes Pembaptis, karena pada mulanya Herodias bukanlah milik Herodes. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil sesuatu yang menjadi milik orang lain. Entah itu barang konkrit seperti uang, emas, istri, nasi goreng, atau barang abstrak seperti hak orang lain.

Awalnya, aku merasa heran. Adakah aku mencuri sesuatu dari orang lain, Allahku? Aku merasa tidak mencuri sesuatupun dari seseorang. Aku berusaha merunut kembali mulai dari masa lalu hingga hari ini. Siapa tahu ada ingatan yang terlewatkan. Tetapi, tidak ada. Aku tidak mencuri apapun dari seseorangpun. Akhirnya, Tuhan juga capek bermain tebak-tebakan. Injil tersebut ditujukan padaku karena aku telah mencuri sesuatu dari Tuhan. Pusinglah kepala si tukang gulali, karena apa yang mungkin bisa ia curi dari Allah yang Mahakuasa.

Apakah yang mungkin bisa aku curi dari Yesus? Semua yang aku punya adalah pemberian Yesus, karena belas kasihan-Nya. Tidak ada yang bisa aku curi, kecuali… waktu. Aku mencuri apa yang seharusnya menjadi hak Allah, yakni waktuku. Aku memang telah tinggal di biara, di mana segala kegiatan telah terjadwal dan teratur, termasuk doa. Tetapi, aku belum sepenuh hati fokus kepada Allah di setiap sesi doa. Loh, Gusti, kan setiap kali aku bekerja di kebun, atau melakukan kerja bakti, atau belajar, atau apapun kegiatan dalam biara, juga adalah wujud doa kepadaMu? protesku. Memang, tapi aku belum mempersembahkan keseharianku untukNya. Dalam segala hal yang aku lakukan, Allah selalu harus ada dalam pikiranku. Terlebih, sebenarnya ada waktu-waktu yang bisa aku manfaatkan untuk berelasi secara pribadi. Yap, jelas sudah dosaku.

Kelihatannya, si tukang gulali tidak bisa berkutik lagi. Memang benar, bahwa ia perlu memperbaiki diri. Ia harus mengembalikan sesuatu yang ia telah curi dari Allah. Mulai dari saat ini, ia harus memintal gulali, mencuci piring, mengepel lantai, mendaraskan Mazmur, memanjatkan doa, pokoknya melakukan semua hal dengan kesadaran penuh bahwa Ia melakukan semua itu sambil memikirkan Allah. Ia harus melakukan semua itu untuk Allah, untuk kemuliaan Allah (1 Kor 10. 31)

Paus Fransiskus: Tugas para uskup untuk meneguhkan dalam iman, kasih, dan kesatuan!

0

Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus pada Pesta Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, Sabtu 29 Juni 2013 yang di dalamnya juga diadakan penyerahan Palium kepada Uskup Agung Metropolitan yang baru diangkat dari seluruh dunia:

Yang mulia para kardinal sekalian,

Yang mulia Kardinal Metropolitan Ioannis,

Saudara-saudaraku para uskup dan imam,

Yang terkasih saudara dan saudari sekalian,

Kita merayakan Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, Para Rasul, pelindung utama Gereja Roma: sebuah perayaan yang menjadi lebih penuh sukacita karena kehadiran para uskup dari seluruh dunia. Sebuah kekayaan besar, yang membuat kita dalam beberapa pengertian menghidupkan kembali peristiwa Pentakosta. Hari ini, seperti waktu itu, iman Gereja berbicara dalam setiap lidah dan keinginan untuk menyatukan semua orang dalam satu keluarga.

Saya sampaikan ucapan tulus dan terima kasih kepada Delegasi Patriarkat Konstantinopel, [yang] dipimpin oleh Metropolitan Ioannis. Saya berterima kasih kepada Patriark Ekumenis Bartholomaios I atas sikap persaudaraan yang telah diperbaharui ini. Saya sambut para duta besar dan otoritas sipil yang terhormat. Dan secara khusus saya berterima kasih kepada Paduan Suara dari Gereja St. Thomas Leipzig – gereja Bach sendiri – yang memberikan kontribusi pada perayaan liturgi hari ini dan mewakili kehadiran ekumenis tambahan.

Saya ingin menawarkan tiga pemikiran tentang pelayanan Petrus, [yang] dipandu oleh kata “meneguhkan”. Apa panggilan Uskup Roma dalam meneguhkan?

1. Pertama, meneguhkan dalam iman. Injil berbicara tentang pengakuan Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup” (Mat 16:16), pengakuan yang tidak datang dari dia tapi dari Bapa kita di surga. Karena pengakuan ini, Yesus menjawab: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku” (ayat 18). Peran, pelayanan gerejani Petrus, didirikan di atas pengakuan imannya dalam Yesus, Anak Allah yang hidup, dimungkinkan oleh rahmat yang diberikan dari yang Maha Tinggi. Pada bagian kedua dari bacaan Injil hari ini kita melihat bahaya berpikir dalam hal duniawi. Ketika Yesus berbicara tentang kematian dan kebangkitan-Nya, tentang jalan Allah yang tidak sesuai dengan jalan kekuasaan manusia, daging dan darah kembali muncul dalam Petrus: “Dia menarik Yesus ke samping dan mulai menegurNya … Ini tidak harus terjadi padaMu “(16:22). Jawaban Yesus yang keras: “Enyahlah, Iblis! Engkau suatu batu sandungan bagiKu “(ayat 23). Setiap kali kita membiarkan pikiran kita, perasaan, atau logika kekuasaan manusia kita menang, dan kita tidak membiarkan diri kita diajarkan dan dibimbing oleh iman, oleh Tuhan, kita menjadi batu-batu sandungan. Iman dalam Kristus adalah terang hidup kita sebagai umat Kristen dan sebagai pelayan-pelayan dalam Gereja!

2. Meneguhkan dalam kasih. Dalam bacaan kedua kita mendengar kata-kata Santo Paulus yang menggugah: ” Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2 Tim 4:7). Tapi pertandingan apakah ini? Ini bukanlah salah satu dari pertarungan-pertarungan yang diperjuangkan dengan senjata manusia yang sayangnya terus menimbulkan pertumpahan darah di seluruh dunia, melainkan pertandingan kemartiran. Santo Paulus memiliki satu senjata: [yaitu] pesan Kristus dan karunia seluruh hidupnya bagi Kristus dan bagi orang lain. Justru kesiapan ini untuk meletakkan dirinya terbuka, secara pribadi, untuk dikonsumsi demi kepentingan Injil, untuk menjadikan dirinya segala sesuatu bagi semua orang, secara terus-menerus, yang memberinya kredibilitas dan membangun Gereja. Uskup Roma dipanggil dirinya untuk hidup dan meneguhkan saudara dan saudarinya dalam kasih ini bagi Kristus dan bagi semua orang lain, tanpa perbedaan, batasan atau hambatan. Dan bukan hanya Uskup Roma saja: masing-masing dari kalian, para uskup agung dan uskup baru, [juga] memiliki tugas yang sama: untuk membiarkan diri kalian dikonsumsi oleh Injil, untuk menjadi segalanya bagi semua orang. Ini adalah tugas kalian untuk tidak menahan apa-apa, pergi keluar dari diri kalian sendiri dalam pelayanan umat Allah yang beriman dan kudus.

3. Meneguhkan dalam kesatuan. Di sini saya ingin merefleksikan sejenak pada ritual yang telah kita lakukan. Pallium adalah simbol persekutuan dengan Penerus Petrus, “sumber yang abadi dan terlihat dan pondasi kesatuan keduanya dari iman dan persekutuan” (Lumen Gentium, 18). Dan kehadiran kalian hari ini, saudara-saudara terkasih, adalah tanda bahwa persekutuan Gereja bukan berarti keseragaman. Konsili Vatikan Kedua, dalam berbicara tentang struktur hirarkis Gereja, menyatakan bahwa Tuhan “telah menetapkan para rasul sebagai kolegiat atau permufakatan permanen, yang pada kepalanya Ia tempatkan Petrus, dipilih dari bilangan mereka” (ibid., 19). Meneguhkan dalam kesatuan: Sinode para uskup, dalam keharmonisan dengan uskup agung. Mari kita maju pada jalan sinode [Yunani: “Syn”= bersama dan “Nodos”= berjalan], dan tumbuh dalam keharmonisan dengan pelayanan utama tersebut. Dan Konsili melanjutkan, “kolegiat ini, sejauh itu terdiri dari banyak anggota, adalah ekspresi dari berbagai variasi dan universalitas umat Allah” (ibid., 22). Dalam Gereja, variasi itu sendiri merupakan harta yang besar, selalu didasarkan dalam keharmonisan kesatuan, seperti mosaik besar yang di dalamnya setiap bagian kecil bergabung dengan lainnya sebagai bagian dari satu rencana besar Allah. Ini seharusnya mengilhami kita untuk selalu bekerja mengatasi setiap konflik yang melukai tubuh Gereja. Bersatu dalam perbedaan kita: tidak ada cara Katolik lainnya selain untuk menjadi bersatu. Ini adalah semangat Katolik, semangat Kristen: untuk bersatu dalam perbedaan-perbedaan kita. Ini adalah cara Yesus! Pallium, seraya menjadi tanda persekutuan dengan Uskup Roma dan dengan gereja universal, dengan Sinode para Uskup, juga tanda komitmen [pada] masing-masing dari kalian untuk menjadi seorang pelayan persekutuan.

Mengakui Tuhan dengan membiarkan diri diajar oleh Allah, untuk dikonsumsi oleh kasih bagi Kristus dan Injil-Nya, untuk menjadi para pelayan kesatuan. Ini, saudara-saudara para uskup terkasih, adalah tugas-tugas yang rasul suci Petrus dan Paulus percayakan kepada masing-masing dari kita, sehingga mereka dapat dijalani oleh setiap orang Kristen. Semoga Bunda suci Allah membimbing kita dan menyertai kita selalu dengan perantaraannya. Ratu Para Rasul, doakanlah kami! Amin.

(AR)

 

Paus Fransiskus,

Basilika Vatikan, 29 Juni 2013

Diterjemahkan dari : www.vatican.va

Jika Tuhan sudah tahu sejumlah manusia akan masuk neraka, mengapa mereka tetap diciptakan?

20

Ada sejumlah orang menilai Tuhan tidak adil, karena walaupun Ia sudah tahu bahwa sejumlah manusia akan masuk neraka, namun Ia tetap menciptakan mereka juga. Benarkah demikian? Berikut ini adalah lima prinsip yang mendasari ajaran Gereja Katolik, yang tidak mempertentangkan tentang pengetahuan Tuhan dengan kenyataan bahwa sejumlah orang akan memilih untuk masuk neraka, dan kebijaksanaan Allah yang mengizinkan hal itu terjadi. Dengan kata lain, meskipun Tuhan mengetahui bahwa sejumlah manusia akan masuk neraka, namun Ia tetap menciptakan mereka juga, karena:

1. “Bonum diffusivum sui” (Kebaikan itu menyebar)

Kebaikan itu mempunyai sifat menyebar dengan sendirinya. Allah mengasihi manusia tanpa pandang bulu (lih. Kis 10:34). Allah yang mempunyai kebaikan yang sempurna, dengan suka rela menyampaikan kebaikan-Nya dengan menciptakan alam semesta, yang mencapai puncaknya pada manusia yang diciptakan-Nya menurut rupa dan gambar-Nya. Artinya manusia diciptakan sebagai mahluk yang mempunyai akal budi dan kehendak bebas, seperti diri Allah sendiri. Sebagai akibat dari kehendak bebas ini manusia memang dapat memilih untuk menolak Allah, namun dari pihak Allah, Ia tidak pernah menolak manusia. Ia tetap baik kepada semua orang. Itulah sebabnya, dikatakan bahwa, “…. Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat 5:45)

Tuhan tidak menggantungkan kebahagiaan-Nya dari manusia. Apakah manusia itu akan menerima-Nya atau menolak-Nya, tidak mengubah kesempurnaan-Nya. Sebab Allah menciptakan manusia menurut kerelaan hati-Nya, tak ada yang memaksa, dan bukan karena Ia kekurangan apa-apa. Rasul Paulus berkata, “Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang.” (Kis 17:24-25)

2. Tuhan telah memberikan rahmat yang cukup kepada semua manusia untuk dapat diselamatkan.

Rasul Paulus mengajarkan bahwa Allah menghendaki, “supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” (1 Tim 2:4). Demikian pula, Rasul Petrus mengajarkan bahwa Tuhan, “menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.” (2 Ptr 3:9). Maka, Gereja Katolik mengajarkan bahwa sesuai dengan kehendak-Nya itu, Allah memberikan rahmat yang cukup kepada semua orang agar dapat diselamatkan. “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu”…. (2 Kor 12:9). Allah memberikan rahmat-Nya ini kepada semua orang, namun agar dapat terwujudnya keselamatan itu, manusia harus turut bekerjasama dengan rahmat Allah itu. St. Agustinus mengatakan demikian, “God who created you without you cannot save you without you” atau terjemahannya, “Tuhan yang telah menciptakanmu tanpa-mu, tidak dapat menyelamatkanmu tanpa-mu.” (Sermon 169, 11,13).

Dengan prinsip ini, maka Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa sejak awal mula Tuhan sudah secara aktif ataupun berinisiatif memasukkan sejumlah orang ke neraka, dan sejumlah lagi ke Surga, sebagaimana dikenal dengan istilah “double predestination“, yang umum diyakini oleh sejumlah denominasi Kristen non- Katolik.

Dari pihak Allah, Allah telah mengutus Yesus Kristus Putera-Nya untuk menebus dosa umat manusia, dan menghantar manusia agar dapat selamat dan memperoleh kehidupan yang kekal (lih Yoh 3:16). Kini tergantung dari pihak manusia, apakah ia mau menerima rahmat Allah ini dengan mengimani Kristus, dan melaksanakan semua perintah-Nya, atau tidak.

3. Mengetahui tidak sama dengan menyebabkan, “knowing is not the same as causing“.

Selanjutnya, perlu diketahui bahwa Tuhan tetap setia kepada manusia, meskipun manusia tidak setia kepada-Nya, sebab Ia tak dapat menentang hakekat Diri-Nya sendiri sebagai Allah yang setia (lih. 2 Tim 2:13). Tuhan akan tetap setia dalam bersikap adil dan berbelas kasih, meskipun sejumlah manusia menyalahgunakannya ataupun menentang-Nya. Maka Tuhan dapat mengetahui bahwa sejumlah orang akan menyalahgunakan kehendak bebas mereka, bahkan di saat yang paling genting dalam hidup mereka; namun demikian Allah akan tetap setia terhadap rencana-Nya untuk memberikan rahmat kasih karunia dan pemulihan terhadap dosa-dosa, bahkan meskipun Ia telah mengetahui bahwa orang-orang tersebut tidak akan menggunakannya.

Jadi harus dibedakan di sini: mengetahui tidak sama dengan menyebabkan. Tuhan sudah tahu bahwa sejumlah orang akan tidak bekerjasama dengan rahmat-Nya, namun bukan Ia yang menyebabkan mereka memutuskan demikian. Dengan kata lain, dalam setiap tindakan penyelamatan terdapat dua hal, yaitu: rahmat Allah dan kerjasama dari pihak manusia. Demikian pula dalam setiap perbuatan dosa terdapat dua hal: bantuan Tuhan bagi kita agar kita tidak melakukan dosa, dan juga, kekerasan hati kita menolak bantuan Tuhan itu. Dengan demikian, Tuhan tidak bertanggungjawab atas dosa-dosa yang kita perbuat, meskipun Ia telah mengetahuinya.

4. Tuhan memperlakukan manusia dengan hormat, dengan memberikan tanggungjawab moral kepadanya.

Tuhan tidak memperlakukan manusia seperti robot, yang dipaksa-Nya harus tunduk kepada semua kehendak-Nya. Namun Tuhan memperlakukan kita manusia dengan hormat -Ia menghormati martabat manusia- dengan memberikan kepada kita manusia tanggungjawab moral. Sebagai akibatnya, Allah juga memberikan konsekuensi kepada kita jika kita gagal melaksanakan tanggungjawab itu. Tuhan tetap memperlakukan manusia dengan layak, bahkan meskipun Ia telah mengetahui bahwa mereka akan menyalahgunakan kehendak bebas yang Tuhan berikan kepada mereka.

Maka hidup ini memang menyerupai arena pertandingan, di mana kita manusia secara nyata diuji. Allah memberikan ujian yang nyata ini, sebab adalah baik bagi kita untuk turut mengusahakan keselamatan itu. Rasul Paulus berkata, “tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar… ” (Flp 2:12). Maka Allah menghendaki agar kita setia dan bekerjasama dengan rahmat-Nya untuk mengerjakan keselamatan kita, agar lulus dalam ujian hidup dan memperoleh mahkota kehidupan (lih. 1 Kor 9:25; Yak 1:12; Why 2:10). Namun jika hidup ini merupakan ujian yang sungguh, bukan hanya rekaan, maka harus diterima bahwa sejumlah orang akan bekerjasama dengan Allah dan memenangkannya, namun sejumlah yang lain tidak. Tuhan yang Maha Tahu, mengetahui semuanya itu, namun ini tidak menjadikan ujian itu tidak ada artinya. Tujuan dari ujian dalam hidup ini adalah untuk mewujudkan kemungkinan kerjasama kita yang sejati dengan Tuhan, untuk mencapai kehidupan kekal di Surga.

5. Ada elemen misteri dalam rencana Tuhan sehingga kita manusia tak mampu menyelami sepenuhnya pemikiran Tuhan.

Namun pada akhirnya, memang harus diakui bahwa ada elemen misteri dalam rencana Tuhan sehingga kita manusia tidak dapat sepenuhnya memahami-Nya. Nabi Yesaya berkata, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu. (Yes 55:8-9)

Maka mungkin saja kita sekarang belum sepenuhnya memahami mengapa Tuhan menciptakan dunia dengan segala isinya, termasuk mereka yang akan menolak Dia. Baru pada saat kelak kita memandang Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya di surga, kita akan memperoleh pengetahuan yang sempurna akan Dia (lih. 1 Yoh 3:2) dan segala penggenapan rencana-Nya. Dalam keterbatasan kita kita tidak bisa menilai dan menghakimi Tuhan, tentang keputusan Tuhan menciptakan umat manusia seperti sekarang ini; sebab apa yang kita ketahui tentang Allah sangatlah terbatas, sedangkan pengetahuan Allah itu sungguh tak terbatas. Allah mengetahui segala sesuatu dengan sempurna, termasuk alasan mengapa Ia menciptakan dunia sebagaimana adanya sekarang.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab