Home Blog Page 99

Sudahkah aku ‘ingin melihat Kristus’?

6

[Minggu Biasa XXXI:  Keb 11:22-12:2; Mzm 145: 1-14; 2Tes 1:11- 2:2; Luk  19:1-10]

Seandainya aku bertubuh pendek seperti Zakheus, mungkin aku dapat lebih menghayati makna Injil hari ini. Bukan saja hanya berbadan pendek, tetapi keadaannya sebagai  kepala tukang pajak, membuat Zakheus berbeda dari orang kebanyakan. Banyak orang tak suka kepadanya karena tukang pajak saat itu dikenal suka mengambil keuntungan dari menagih orang lebih banyak dari seharusnya. Tapi rupanya belas kasih Tuhan tidak mengecualikan  Zakheus, yang sepertinya tidak masuk hitungan di mata orang banyak. Injil mencatat bahwa Tuhan Yesus melintasi kota Yerikho, di mana Zakheus tinggal. Sebelumnya Yesus baru saja menyembuhkan orang buta sebelum masuk kota, dan orang ramai membicarakannya, sehingga Zakheus penasaran ingin melihat Yesus, Sang Penyembuh itu. Zakheus membuang gengsinya sebagai orang kaya, menyingkirkan rasa malunya dan mau bersusah-payah memanjat pohon ara, hanya untuk satu tujuan sederhana: untuk melihat seperti apakah Yesus itu.

Sudahkah aku merindukan Tuhan Yesus seperti Zakheus? Paus Yohanes Paulus II dalam salah satu khotbahnya tentang perikop ini tanggal 2 November 1980, pernah mengatakan demikian, “Apakah aku ingin ‘melihat Kristus’? Apakah aku sudah melakukan segala sesuatu untuk ‘melihat Dia’? Pertanyaan ini, dua ribu tahun kemudian, tetap relevan seperti pada saat itu, ketika Yesus berjalan melintasi kota-kota dan desa-desa di tanah air-Nya. Ini adalah pertanyaan yang relevan bagi kita masing-masing hari ini: Apakah aku mau melihat Dia? Apakah aku sungguh-sungguh mau? Apakah aku mungkin malah memilih untuk tidak melihat-Nya dan berharap Ia tidak melihat aku (setidaknya dalam cara berpikirku dan dalam perasaanku)? Dan jika aku telah melihat-Nya dalam cara tertentu, apakah aku lebih memilih untuk melihat-Nya dari jauh, tidak terlalu dekat, tidak mau mengambil resiko di hadapan mata-Nya, supaya tidak terlalu dalam memahami …. supaya tidak harus menerima keseluruhan kebenaran yang ada di dalam Dia, yang datang dariNya – dari Kristus?”

Sungguh, Tuhan Yesus melihat ke dalam hati setiap orang. Yesus mengetahui kesungguhan hati Zakheus dan Ia sungguh menghargainya. Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata: “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.” (Luk 19:5) Betapa mengejutkan perkataan Yesus ini bagi Zakheus, sebab perkataan ini begitu akrab, seperti ucapan seorang teman lama yang tidak sungkan mampir. Zakheus yang tadinya hanya bermaksud melihat Yesus sekilas saja, kini malah mendapat perhatian ekstra, sebab Yesus mau datang ke rumahnya! Wow! Zakheus-pun segera turun dan menyambut Yesus dengan suka cita. Ia telah menerima suka cita yang dari Tuhan, melalui perjumpaannya dengan Yesus. Suka cita ini  ternyata mendorong Zakheus untuk memulai hidup yang baru dengan mengikuti ajaran Kristus. Ia tidak mau lagi memeras orang lain. Ia mau memberikan setengah dari miliknya kepada orang miskin dan mengembalikan empat kali lipat kepada orang-orang yang pernah diperasnya. Ini adalah tindakan ganti rugi  yang melampaui apa yang disyaratkan dalam hukum Taurat Musa (lih. Kel 22:4). Pengalamannya menerima kemurahan dan belas kasih Tuhan Yesus, menjadikan Zakheus-pun bermurah hati dan berbelas kasih kepada orang lain.

Tuhan Yesus, mari datanglah di rumah hatiku. Akupun rindu mengalami suka cita di dalam Engkau seperti Zakheus. Ubahlah aku menjadi lebih baik seturut kehendak-Mu, dan mampukanlah aku, yang telah menerima kemurahan dan belas kasih-Mu, untuk dapat bermurah hati dan berbelas kasih kepada sesamaku.”

Mari berdoa dengan kerendahan hati

1

[Minggu Biasa XXX: Sir 35:12-14.16-18; Mzm 34: 2-23; 2Tim 4:6-8,16-18; Luk 18:9-14]

Pernah ada suatu kali, kami mendengar orang berkomentar demikian, “Malas ah, aktif di gereja…. orang-orangnya yang jadi pengurus berantem melulu….” Mungkin komentar macam ini terdengar nyeleneh dan pedas didengar, namun mari kita melihat dengan jujur, benarkah demikian? Sebab nyatanya, kalau sebuah komunitas ataupun keluarga sudah kurang rajin berdoa bersama, memang seringnya, demikianlah akibatnya. Keluarga akan mudah bertengkar, dan mulai tidak ada suka cita dan damai sejahtera di dalamnya. Kalau berlarut-larut dibiarkan, malah dapat terjadi perpecahan. Waduh, adakah yang dapat dilakukan supaya hal macam ini tidak terjadi?

Mari kita mengacu kepada sabda Tuhan Minggu ini. Tuhan Yesus kembali mengajar kita agar kita tekun berdoa. Doa dalam kehidupan kita umat beriman adalah semacam nafas kehidupan. Bayangkan, kalau kita tidak bernafas, tentu kita akan kepayahan bukan? Dalam hitungan menit, game over sudah. Namun selain pentingnya doa, Yesus menekankan satu hal lagi di sini, yaitu agar kita berdoa dengan sikap kerendahan hati. Sebab ada banyak orang, mungkin termasuk kita juga, yang kadang berdoa dengan sikap yang kurang pas. Kita menganggap diri kita sudah baik, sudah berusaha melakukan kehendak Tuhan, dan kemudian mulailah kita memohon banyak hal kepada-Nya. Namun sikap yang dibenarkan Tuhan adalah, datang kepada-Nya dengan sikap kerendahan hati. “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini….” (Luk 18:13) Sebab dengan sikap seperti ini, kita dapat dengan jujur melihat ke dalam hati kita, bahwa kita itu jauh dari sempurna. Kita masih jatuh bangun dalam menjalani kehidupan ini. Bahkan untuk melakukan hal-hal kecil saja dengan kasih yang besar, sering kita masih gagal. Umumnya kita masih terlalu cepat mengeluh dan terlalu mudah melihat kesalahan orang lain, daripada menutupi kesalahan mereka dengan kesabaran dan pengertian kita. Sungguh, mengasihi sesama itu adalah perjuangan, sekaligus ujian, apakah kita sungguh mengasihi Tuhan. Kita semua mengalami ujian ini, baik di dalam keluarga, lingkungan kerja, ataupun dalam lingkungan gerejawi. Kalau kita gagal mengasihi, mari kita tanyakan kepada diri kita, sudahkah kita memohon belas kasihan Tuhan? Sudahkah kita tekun memohon agar Ia memberikan hati yang lemah lembut dan rela mengampuni? Hanya dengan sikap kerendahan hati-lah kita dapat melihat, bahwa karena kitapun berdosa dan mengharapkan pengampunan Tuhan, maka sepantasnya kita juga mau memberikan pengampunan kepada sesama. Tentu tak terbayangkan, jika kelak kita terhalang untuk memandang Tuhan, karena sewaktu hidup di dunia kita gagal mengasihi, enggan mengampuni dan terlalu tinggi hati. Sadar akan kelemahan kita, semoga kita dapat datang ke hadapan Allah dengan hati terbuka, yang siap menerima teguran Tuhan melalui sabda-Nya dan kesediaan untuk memperbaiki diri.

Rasul Paulus mengatakan bahwa hidup di dunia ini bagaikan pertandingan (lih 2 Tim 4:7), yaitu pertandingan untuk memelihara iman, harapan dan kasih. Kekuatan kita untuk memenangkan pertandingan ini datang dari Tuhan sendiri, asalkan kita tekun memohon kepada-Nya di dalam doa-doa kita dengan sikap kerendahan hati. Mari kita pegang janji Tuhan Yesus, “Sebab barangsiapa meninggikan diri akan direndahkan, dan barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan.” (Luk 18:14).

OMK Yang Militan: Bagaimana Membentuknya ?

10

Kita menemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online,  data mengenai arti kata militan dan contoh penggunaannya  sebagai berikut: mi·li·tan a bersemangat tinggi; penuh gairah; berhaluan keras: untuk membina suatu organisasi diperlukan orang-orang yang — dan penuh pengabdian. (http://kbbi.web.id/militan).

Untuk arti “bersemangat tinggi” dan “penuh gairah”, kita menyetujuinya seratus persen. Namun untuk makna  “berhaluan keras” tampaknya  kita agak kurang setuju sepenuhnya karena peyoratif atau agak negatif, mengingatkan kita pada kelompok ekstrem, garis keras, tak bisa berdialog, keras kepala, dan semacamnya. Namun jika dimaknai positif, bisa pula berhaluan keras ini  berarti teguh dalam nilai kebaikan moral dan iman. Bukankah kita mengenal para santo santa remaja muda belia yang teguh tidak mau melakukan dosa walaupun kecil saja, namun berkeras hanya melakukan kebaikan demi pengabdian kepada Tuhan yang telah mengasihi dan menebusnya?

Sebaiknya terhadap Orang Muda Katolik (OMK), kita mengambil makna positif dari kata militan ini sebagai berikut: “Orang Muda Katolik bersemangat tinggi, penuh gairah, bertekad keras untuk berakar dan dibangun dalam Kristus, menjadi misionaris di antara teman sebaya, pewarta dialog dan pelaku kebaikan dengan sikap maupun perilaku, bersemangat dalam ibadah, bersemangat pula dalam karya nyata”.  Tentu saja, idealisme atau nilai luhur ini harus kita pegang, baik oleh kita yang bertindak sebagai Pembina maupun oleh seorang atau sekelompok orang muda yang beriman Katolik.

Orang Muda: Bonus Demografi atau Musibah Demografi?                

Mengapa orang muda selalu menjadi sorotan? Pertanyaan ini penting untuk mendudukkan posisi di hadapan sejarah dan menantang tanggungjawab moral kita demi masa depan yang lebih baik. Marilah memulai dari data statistik. Menurut Undang-Undang RI nomer 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan pasal 1 ayat 1,  pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Data statistik tahun 2010  menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia ialah 237. 641. 326 orang.  Median umur penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 27,2 tahun (www.bps.go.id. http://tnp2k.go.id). Laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,49 persen per tahun..,Pada 2020 diperkirakan jumlah penduduk usia muda 15-24 tahun saja akan mencapai 50-60 persen. Artinya,   akan menjadi ‘bonus demografi’ jika penduduk usia muda tersebut memiliki mutu hidup, keterampilan dan pekerjaan. Sebaliknya jumlah penduduk muda sebanyak itu akan menjadi ‘musibah demografi’ jika mereka mengganggu, tidak bermutu dan tidak militan. (www.investor.co.id).

Jumlah orang Katolik Indonesia ialah sekitar tiga persen dari jumlah penduduk. Jika enam puluh persennya  merupakan orang muda, maka hal itu berarti ada sekitar empat juta orang muda Katolik, tersebar di 37 keuskupan di seluruh Indonesia.  Akankah OMK menjadi beban sejarah, alias musibah demografi? Ataukah sebaliknya menjadi bonus, tanda kebaikan Allah bagi Indonesia? Jika saat ini kita merawat dan membina mereka dengan sebaik-baiknya sesuai kehendak Kristus melalui Gereja-Nya yang satu kudus katolik apostolik, maka kita boleh berharap bahwa mereka akan menjadi bonus demografi bagi Indonesia. Bagaimana membentuk atau membina OMK, sudah digariskan oleh Gereja dengan jelas. Namun kita akan melihat pula bahwa yang sudah tergaris dengan jelas itu pun masih memerlukan aksi nyata untuk melaksanakannya, dengan segala pemikiran, tenaga dan biaya dengan hasil buah yang masih harus ditunggu jauh ke depan, tidak instan seperti membangun gedung bangunan gereja. Perlu kesabaran Ilahi untuk membina OMK. Artinya, pembimbing atau Pembina OMK di tingkat paroki maupun kategorial haru memiliki relasi akrab dengan Kristus dalam Gereja-Nya, memiliki pengalaman doa dan spiritualitas pelayanan.

Berpusat pada Yesus Kristus

Kadang-kadang terdengar keluhan, walaupun belum ada survei, bahwa OMK kurang militan. Kita mengamini saja keluhan-keluhan itu karena memang terdengar demikian adanya. Namun hendaklah kita ingat bahwa tugas pokok  kita sebagai warga Gereja ialah selalu mewartakan Injil dengan cara-cara baru, (evangelisasi baru) dan re-evangelisasi, termasuk untuk dan bersama OMK. Paus St Yohanes Paulus II menyatakan: “Orang muda dari setiap benua, jangan takut untuk menjadi santa atau santo dari millennium baru ini! Berkontemplasilah, cintailah doa, teguhlah dalam imanmu dan tulus dalam pelayanan pada saudara-saudarimu, jadilah anggota yang aktif dalam membangun perdamaian. Agar berhasil dalam tuntutan perutusan hidup ini, teruslah mendengarkan sabda-Nya, timbalah kekuatan dari sakramen-sakramen terutama Ekaristi dan Sakramen Tobat. Tuhan menginginkan kalian menjadi rasul yang berani bagi Injil-Nya dan membangun umat baru! Jika kamu percaya bahwa Kristus menampakkan cinta Bapa bagi setiap pribadi, kamu tidak akan gagal dalam berjuang, untuk menyumbang dalam membangun dunia baru yang didirikan di atas kekuatan cinta dan pengampunan, perjuangan melawan ketidakadilan dan semua bahaya secara fisik, moral dan religious, pada orientasi politik, ekonomi, budaya, dan teknologi yang melayani manusia dan perkembangannya yang utuh” (Homili pada Hari Orang Muda Sedunia ke 15, Roma Agustus 2000).

Dialog antara Simon Petrus dengan Yesus Kristus yang bangkit dalam Injil Yohanes bab 19  ayat 15 hingga 19  harus menjadi dialog pula antara OMK dengan Kristus. Pertanyaan yang sama dari Yesus kepada Simon Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” terhadap OMK, bukanlah pertanyaan kateketik, melainkan pertanyaan yang memerlukan jawaban pribadi.  Hendaklah OMK dibimbing sedemikian rupa sehingga mereka sendiri bisa mengalami Yesus Kristus yang mengasihi dan karenanya berani menjawab secara pribadi, seperti diajarkan Gereja, bahwa orang Katolik mengasihi Yesus Kristus lebih dari segalanya. Kepusatan pada Kristus bagi OMK mutlak harus selalu di dalam komunitas dan Gereja Katolik. Tanpa Gereja Kristus, kita tidak secara kuat mewartakan Injil. Kita membutuhkan paus, para uskup, para kudus. Kita pun berpusat dalam Salib Kristus dalam Gereja-Nya yang bersama-sama menanggung perutusan ini.

OMK Bangkit Melakukan Misi, Menjadi Misionaris

Ketika OMK mengalami “Kristus yang bangkit” atau misteri paskah dalam hidupnya, maka mau tidak mau mereka akan merasa diri menjadi utusan bagi Kristus. Tema World Youth Day 2013 di Rio de Janeiro sangat jelas: “Pergilah, jadilah semua bangsa murid-Ku” (Mat 28:19). Lagu tema menyatakan jelas pula: OMK, jadilah misionaris!” Misionaris bagi OMK ialah OMK.

OMK akrab dengan budaya masa kini: selvi (foto diri untuk diunggah dalam media sosial), berjejaring sosial dengan internet tanpa harus berjumpa, karena OMK sendiri merupakan bagian dari generasi yang oleh majalah TIME disebut “The Me Me Me Generations”, generasi yang suka mengunggah diri sendiri di media jejaring sosial. Orang Muda Katolik diutus ke tengah budaya di mana orang muda dengan mudah larut oleh gebyar daya tarik visual yang berpendar-pendar setiap saat di smartphone dan sabak elektronik mereka. Namun anehnya, dalam pendar-pendar cahaya layar gadget itu, makin sukar ditemui kebaikan dan kebenaran.

Paus Fransiskus mengingatkan dalam Ensiklik Lumen Fidei # 3: “Dalam ketiadaan cahaya, setiap hal menjadi membingungkan. Sukarlah melihat kebaikan dalam gelapnya kejahatan”. Ancaman ketagihan pornografi menjadi nyata, jauh melebihi ketagihan akan narkoba, dan keduanya tetap tidak bisa dipuaskan oleh pendar-pendar layar gadget yang terus menawarkan produk-produk terbaru.  Dalam situasi demikian, OMK mesti dibawa kepada inti panggilannya: mewartakan Kristus, pertama-tama dalam doa.  “Kita harus pertama-tama bercakap-cakap dengan Tuhan agar bisa berbicara mengenai Tuhan” (Paus emeritus Benediktus XVI, pesan untuk WYD 2013 Rio). Pengalaman doa baik dalam perayaan-perayaan sakramen maupun devosi pribadi maupun bersama menjadi penting diadakan dalam pembinaan OMK.

Selanjutnya, kita mesti tabah dalam perjalanan yang panjang  di jalur pembinaan OMK, dengan memandang pengharapan Paskah. Memanggul salib pembinaan OMK tetaplah harus memandang Kebangkitan. “Misteri Paskah adalah degup jantung perutusan Gereja. Berlimpahnya buah pewartaan Injil diukur tidak pada kesuksesan maupun kegagalannya, melainkan pada peneguhan perutusan oleh logika salib Yesus. Inilah salib yang selalu menghadirkan Yesus Kristus yang menjamin berbuahnya perutusan kita” (Paus Fransiskus, 8 Juli 2013).

Akhirnya, hendaknya pembinaan OMK membuat mereka mampu menjawab panggilan pribadinya dalam Gereja dan masyarakat entah mau menjadi suami atau isteri atau menjadi imam, biarawan, biarawati atau rasul selibat awam. Namun semua bentuk panggilan itu harus karena mengalami kasih Kristus belaka, sehingga mereka akan bisa mengatakan “Saya menemukan panggilan saya dalam Gereja kita ini. Saya dikasihi dan dipanggil untuk mengasihi!”. Generasi OMK yang militan akan tampak dalam wujudnya: kemurahan hati, dedikasi dalam tiap pelayanan. “Kemurahan hati sejati tidak dimulai ketika Anda memiliki sesuatu yang mau diberikan, tetapi lebih-lebih ketika tak ada satu pun yang Anda ambil” (Nipun Metha – pemuda pendiri CharityFocus.org).

Jadi, pokok  perkara dalam pembinaan OMK, justru kita kembalikan ke khazanah Gereja yang didirikan Kristus yaitu Gereja Katolik dengan sejarahnya yang dua ribuan tahun ini, di mana isinya ialah Kristus sendiri. Hanya bersama Kristus dalam Gereja, OMK Indonesia akan menjadi militan seperti yang kita harapkan, menjadi bonus demografi, menjadi berkat bagi Indonesia.

Romo Yohanes Dwi Harsanto Pr ialah imam Keuskupan Agung Semarang yang bertugas sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan pada kantor Konferensi Waligereja Indonesia (KomKep KWI)  periode 2008-2011,  2011-2014 bertempat tinggal  di Jakarta. Tulisan ini sudah dimuat di majalah bulanan kristiani ”INSPIRASI – lentera yang membebaskan”, edisi no 110 tahun X Oktober 2013, halaman 17-19.

Semangat Iman dari World Youth Day, Rio De Janeiro, yang kubawa ke Papua

10

Pengantar dari Editor:

Ignatia Karina adalah seorang dokter muda asli Jakarta yang sedang menjalani tugas di Bintuni, Papua Barat, keuskupan Manokwari-Sorong. Karina juga orang muda Katolik yang mengikuti Hari Orang Muda Katolik Sedunia “World Youth Day” (WYD) di Rio de Janeiro, Brasil, bulan Juli tahun 2013 yang lalu. Pengalaman imannya dalam WYD menggerakkan pemudi ini untuk melakukan sesuatu di tempatnya berkarya. Terimakasih kepada Karina yang telah rela membagikan pengalamannya yang sungguh berharga ini. Betapa kita bersyukur kepada Tuhan, atas pribadi-pribadi yang terbuka kepada sapaan Tuhan, untuk melayani penuh ketulusan dan semangat pengorbanan karena kasih dan imannya pada Tuhan, percaya sepenuhnya Tuhan akan selalu menyediakan dan menyempurnakan di tengah segala keterbatasan. Semoga menyemangati OMK Indonesia dan di mana-mana agar menjadi misonaris, seperti tema WYD 2013 “Pergilah. jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (bdk. Mat 28:19).
Terpanggil untuk berbagi berkat dari WYD Rio, 2013

Saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus,

Sebagai Orang Muda Katolik (OMK) yang sudah mengikuti World Youth Day (WYD), 2013 saya tertantang melihat sosialisasi “OMK Gathering” yang akan diadakan di Jakarta untuk OMK Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Bandung dan Keuskupan Bogor tanggal 23 November 2013.

Sejak mengalami WYD 2013, rasanya ingin ikut acara-acara OMK lainnya, sejalan dengan tema WYD: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku”.

Dengan semangat dari WYD 2013 itulah, perkenankanlah saya menceritakan pengalaman selama di Papua Barat, tepatnya di Bintuni. Saya mulai bertugas sebagai dokter PTT Daerah di Bintuni, Papua Barat, sejak bulan Mei 2013. Puji Tuhan pada bulan Juli lalu bisa mendapat cuti 1 bulan untuk mengikuti WYD.

Setiap orang yang tahu saya pergi ke Brasil untuk mengikuti WYD 2013 bertanya “Apa yang kamu dapat dari acara tersebut?”. Untuk pertanyaan itu, saya mempunyai jawaban utama yaitu: pengalaman iman yang sangat berkesan. Saya bertemu dengan berjuta rekan seiman dan terutama melihat langsung, walau dari jauh, pemegang takhta tertinggi dalam hierarki Gereja Kristus, penerus St Petrus, Paus Fransiskus I.

Belum ada yang bertanya apa yang akan saya lakukan setelah pengalaman yang sudah saya dapat. Dan saya juga tidak pernah memikirkan dapat melakukan sesuatu untuk Gereja. Pendek kata, pengalaman tersebut saya simpan untuk diri sendiri.

Namun, saya rasakan Tuhan punya kehendak agar pengalaman yang saya dapat selama di Brasil boleh menjadi berkat juga untuk yang lain, yang belum mendapat kesempatan untuk mengikuti acara WYD.

Sepulang dari Brasil, setelah saya kembali ke Papua, saya diminta tolong untuk mendampingi kelompok remaja Katolik yang disingkat menjadi Remakat. Kelompok Remakat ini baru terbentuk selama 1 bulan karena baru saja dipisahkan dari Kelompok Sekami (Serikat Kepausan Anak-Remaja Misioner) yang sebelumnya beranggotakan anak-anak dari tingkat SD hingga SMP. Namun karena transisi dari Sekami ke OMK dirasakan terlalu cepat, maka dicetuskanlah kelompok Remakat sebagai jembatan perpindahan dari Sekami menuju OMK. Dengan demikian, sebagai wadah kegiatan untuk anak-anak,  mulai bulan Agustus 2013, Paroki Bintuni memiliki 3 kelompok: Sekami untuk anak-anak SD, Remakat untuk anak-anak SMP hingga 1 SMA, dan OMK untuk yang sudah SMA kelas 2 ke atas.

Awalnya saya terima tugas tersebut dengan setengah-setengah. Setengah bangga karena dipercaya menjadi pendamping para remaja Katolik, juga setengah takut karena belum pernah menjadi pendamping sebuah kelompok pembinaan dalam Gereja.Tetapi pengalaman saya mengikuti Persekutuan Doa selama di Jawa dan kemudian mengikuti WYD mengingatkan betapa hidup saya terasa berarti dengan mencintai dan mengimani Yesus Kristus. Saya diingatkan bahwa tidak semua mendapat kesempatan seperti saya untuk belajar dan mendapatkan pengajaran mengenai iman Katolik secara mendalam. Saya bersyukur memiliki orangtua yang mewajibkan saya sejak kecil agar ke gereja. Saat kuliah ada teman-teman yang rajin mengajak saya mengikuti Persekutuan Doa dan belajar Firman. Hingga yang termuktahir adalah melihat sendiri perayaan iman sedunia oleh  kaum muda Katolik. Karena itu, saya tertantang untuk membagikan rahmat yang sudah saya terima.

Prihatin akan Kekerasan

Di Papua Barat, hal pertama yang saya temui adalah kekerasan. Sering saya mendapat pasien, kebanyakan perempuan, yang badannya lebam dan jalannya tertatih-tatih, karena habis dipukuli. Biasanya mereka bercerita bahwa mereka baru dipukul oleh saudara atau keluarga. Kalau ditanya kenapa dipukuli, maka jawaban yang paling sering didengar adalah karena yang memukul itu sedang mabuk. Ya, mabuk oleh minuman keras.

Belum habis keheranan saya merawat pasien-pasien yang terluka karena dipukuli, pada suatu hari, saya melihat sendiri seorang perempuan dihajar oleh sekelompok orang.  Saat itu saya dalam perjalanan menuju persekutuan doa  OMK yang rutin diadakan tiap Sabtu sore.  Perempuan itu dipukul beramai-ramai pada  malam Minggu itu karena anaknya meninggal dunia. Aneh memang. Sebagai ibu, tentu si perempuan itu sedih karena anaknya meninggal. Bukannya dihibur, dia malah mendapat hajaran.  Melihat itu, hati rasanya ingin membela, tapi akal saya menahannya. Saya takut kkalau-kalau kemarahan massa beralih pada saya. Sejak saya bertugas di Papua ini, memang saya merasa takut setiap kali berjumpa dengan orang  yang sedang marah karena mabuk. Sudah banyak cerita tentang kekerasan yang saya dengar mengenai orang mabuk di Papua. Ada yang menusuk polisi, ada yang memecahkan rak-rak kaca tempat jualan para pedagang di pasar, ada yang berkelahi dan akhirnya berakhir di UGD RSU Bintuni.

Kadang saya menjawab takut bila ditanya, bagaimana kabar di Papua? Papa saya pernah bertanya mengenai keadaan saya. Maka saya ceritakan yang saya rasakan di sini. Papa menantang saya: “Bagaimana caranya supaya kekerasan berhenti di wilayahmu? Kamu bisa berbuat apa?” Glek! Pertanyaan yang susah saya jawab. Akhirnya saya jawab, “Papa, mungkin butuh puluhan tahun untuk bikin kekerasan hilang dari Papua dan perlu kerja sama banyak orang. Tugas Rina sendiri pasti tidak lama di Papua Barat, nggak mungkin bisa bikin kekerasan hilang dalam sekejap.”  Papa saya menantang lagi. “Cobalah kamu kerja sama dengan Gereja”  Saya menjawab lagi: “Tiap hari minggu itu Pater John dan Pater Damas berkali-kali khotbah mengajak umat jangan mabuk, jangan main pukul, jangan percaya sewanggi*”  Supaya papa saya jangan terlalu mengejar lagi, saya bilang, “Ya mungkin nanti bisa saya buat poster, Pa..” Sampai sekarang, saya belum membuat poster-poster  seruan agar masyarakat tidak membuat kekerasan itu. Mungkin nanti.

Kekerasan memang marak di Papua Barat terutama di kalangan kaum muda. Padahal saya mendengar bahwa orang Papua sebenarnya penuh kasih. Ada seorang bidan senior asli Papua berkata pada saya, “Dokter, orang Papua itu memang kelihatannya seram. Tetapi hati kami sangat penuh kasih.” Bidan itu mengatakan  kalimat itu sambil makan pinang, jadi gigi dan gusinya terlihat merah-merah. Cukup seram kelihatannya sehingga saya agak meragukan ucapannya. Namun akhirnya saya bisa merasakan sendiri watak asli orang Papua.  Mungkin raut muka mereka terkesan seram, tetapi, mereka punya semangat yang tinggi. ” Jangan ditanya kawan, kalau tong sudah punya mau, tong jalan sudah”.

Mendampingi Remaja Katolik

Semangat tersebut saya rasakan pertama kali saat mendampingi Remakat. Menurut panduan dari paroki, tugas utama pendamping adalah memimpin kegiatan ibadah yang menjadi agenda rutin setiap minggu. Karena ibadah pertama kali diadakan bulan September, maka acuan yang dipakai adalah Panduan Pertemuan Bulan Kitab Suci Nasional 2013.

Pada pertemuan ibadah pertama, mereka tampak antusias melihat saya sebagai orang baru ikut duduk menunggu dimulainya ibadah. Saya resah, karena saya didaulat untuk memimpin ibadah. Temanya: Bapak Abraham, Bapak Orang Beriman. Tema yang syukurlah, sangat cocok untuk memulai pertemanan saya dengan kawan-kawan baru yang umurnya baru setengah umur saya. Dalam pertemuan pertama itu, saya tanya siapa yang berdoa tiap hari. Tidak sampai 10 orang yang mengangkat tangan, dari 24 orang yang datang. Padahal yang tercatat sebagai anggota Remakat katanya ada sekitar 50 orang. Didampingi oleh Suster Ernestine, suster tarekat TMM yang juga ditugaskan gereja sebagai pendamping Remakat, kami berdua berusaha mengajak mereka untuk menjadikan doa Bapa Kami, Salam Maria, dan Kemuliaan sebagai dasar doa harian. Kemudian disusul membaca Kitab Suci sebagai aktivitas harian. Kami tantang mereka untuk menemukan ayat Kitab Suci favorit.

Beberapa minggu setelah pertemuan rutin mingguan, saya cukup kaget mengetahui bahwa ada beberapa anak yang sekarang rutin mengunjungi  gereja setiap siang setelah pulang sekolah untuk berdoa.  Dari beberapa ibadah, saya melihat bahwa banyak anak yang bukan asli Papua. Mereka ialah dari Toraja, Flores, dan Maluku. Memang tanah Papua dikatakan seperti tanah terjanji, lahan basah, sehingga banyak pendatang di sini. Sayangnya, di Bintuni, bagian dari tanah terjanji ini, listrik belum 24 jam menyala. Malah kadang-kadang  24 jam tidak menyala.

Jumlah remaja Katolik yang datang untuk beribadah sempat menurun. Semangat saya untuk mendampingi mereka pun sempat menurun. Saya merasa, saya datang ke Papua sebagai dokter. Mengapa waktu saya lebih banyak saya habiskan bukan untuk hal-hal medis? Awalnya saya seharusnya ditugaskan ke puskesmas di daerah terpencil di Bintuni. Namun akhirnya saya mendapat pilihan untuk menerima nota tugas khusus bekerja di klinik gereja paroki Banyak yang bilang, sayang saya tidak pernah merasakan bekerja di puskesmas. Dan jujur sampai sekarang itu masih menjadi pergumulan saya.

Tuhan lebih tahu mengapa saya sampai ke Papua

Pada hari pembukaan bulan rosario yang dirayakan dengan perayaan Ekaristi di Gua Maria Manimeri yang berjarak puluhan kilometer dari Bintuni. sambil menunggu umat datang, Pater Damas mengatakan pada saya dan suster: “Tanggal 15 Oktober ialah tanggal merah, Idhul Adha. Jangan sampai lewat begitu saja!”. Saat itu saya diam saja, Suster Ernestine juga diam saja. Namun 3 hari setelahnya, tanggal 4 Oktober saat hari Jumat pertama, tiba-tiba saja saya dan Suster mempunyai ide yang sama untuk menanggapi ucapan Pater: ‘Mari adakan rekoleksi untuk anak-anak Remakat’. Ya, rekoleksi pertama kali untuk remaja Katolik di Bintuni!

Akhirnya sore hari saat ibadat Remakat, saya beri tahu pada anak-anak ide mengenai rekoleksi itu. Tidak disangka, mereka semangat bukan main. Akhirnya mereka menentukan sendiri tanggal 12-13 Oktober sebagai hari untuk rekoleksi. Saat diminta kesediaanya untuk berembuk bersama Pater, maka mereka bersemangat.  Hari minggu siang itu pastoran penuh dengan anak-anak Remakat menjumpai Pater Damas. Semua ribut, minta bicara. Pater dari tersenyum sampai geleng-geleng kepala. Kemudian ada anak yang bertanya, “Apa tema rekoleksinya?” Spontan saya menjawab, “100% Muda, 100% Katolik. Terinspirasi dari jargon “100% Katolik, 100% Indonesia” yang sering saya dengar selama persiapan WYD. Pater acungkan jempol tanda setuju. Anak-anak juga tepuk tangan, satu hati dengan tema tersebut. Ada yang tanya lagi: “Apa tujuan acara rekoleksi ini?” Saya menjawab agak terbata-bata kali ini. Tapi akhirnya berhasil dirangkum menjadi: pendalaman iman dan belajar organisasi. Semua mengangguk-angguk.

Persiapan singkat dan kilat selama 1 minggu. Saya minta sukarelawan untuk memasak. Semua anak perempuan angkat tangan. Saya minta sukarelawan untuk belanja keperluan. Semua anak perempuan dan sebagian anak laki-laki angkat tangan. Saya minta sukarelawan untuk survey tempat acara, semua anak angkat tangan. Sampai akhirnya harus ditarik undi untuk menentukan siapa yang berangkat survey.  Pater sudah menunjuk tempat di SP 5 yang berjarak 20 kilometer dari pusat kota Bintuni. Tempat tersebut adalah gereja stasi yang di sampingnya berdiri bangunan sekolah untuk taman kanak-kanak.

Satu minggu persiapan, kami target peserta 40-60 orang. Ternyata OMK juga mempunyai acara di tanggal yang sama dengan tanggal pelaksanaaan rekoleksi Remakat. Akhirnya disepakati Suster Ernestine turun tangan menyiapkan rekoleksi OMK, saya sendiri menyiapkan rekoleksi Remakat. Namun ternyata Tuhan tidak kekurangan orang untuk rekoleksi Remakat ini. Tiba-tiba saja ada dua orang menghampiri saya. Mereka sering saya lihat di gereja dan pernah sekali dua kali mengobrol. Saat diumumkan di gereja mengenai acara rekoleksi remakat ini, mereka berdua mengatakan siap membantu. Namanya Kak Mukti dan Fajar. Mereka bukan orang asli Bintuni. Kak Mukti berasal dari Bandung dan Fajar berdarah Batak dan besar di Fak-Fak tapi sempat mengenyam pendidikan di Jawa. Mereka datang ke Bintuni dengan cita-cita tinggi, memajukan kualitas sumber daya manusia Bintuni.

Semua persiapan akhirnya berjalan dengan lancar. Sampai di hari H, alat transportasi yang ditunggu tidak kunjung datang. Kami menunggu dua jam lebih. Anak-anak sempat kehilangan semangat karena terlalu lama menunggu. Saya pun sempat patah arang. Kesal karena seharusnya kami sudah di tempat acara tapi sampai saat itu malah masih duduk menunggu. Syukurlah dua teman saya yang ikut mendampingi acara rekoleksi ini tidak patah semangat. Mereka bilang, ada aral melintang itu biasa. Pacar juga ikut menyemangati walau dari jauh. Dapat suntikan semangat dari sana-sini, saya kembali pasrahkan acara ini padaNya sampai kendaraan datang. Kami memulai ibadat pembukaan diterangi cahaya lilin karena listrik belum menyala. Tidak ada yang mandi. Konsumsi pun yang sudah disiapkan dari siang, mulai terasa berkurang enaknya Namun, jadwal acara di hari pertama berjalan luar biasa. Saat saya duduk sejenak untuk beristirahat saat makan malam, terdengar latihan yel-yel dari seluruh peserta yang berjumlah 55 orang yang terbagi menjadi 5 kelompok. Langit penuh bintang, bulan juga menyala cukup terang. Udara sudah mulai sejuk malam. Jangkrik juga mulai bersuara. Dalam hati saya hanya bisa bersyukur pernah mengalami situasi rekoleksi yang seadanya namun sarat makna.

Sebagai penutup acara di hari pertama, Kak Mukti dan Fajar kemudian menyiapkan ruangan untuk doa Taize. Lampu dimatikan, cahaya hanya dari lilin-lilin yang dinyalakan. Kami mencoba mengenalkan doa tersebut kepada mereka sebagai daya tarik rekoleksi. Respon anak-anak cukup positif. Ternyata semua menikmati saat-saat hening dimana hanya lagu-lagu meditatif Taize mengalun dari laptop dan speaker yang disiapkan Kak Mukti dan Fajar. Saat kami mengajak mereka menyanyikan Magnificat, semua angkat suara walau masih ragu karena mengumandangkan lagu yang bukan bahasa Indonesia. Tapi sungguh terdengar syahdu.
Setelah doa Taize yang ditutup renungan malam, semua masih mempunyai energi. Kami bilang yang penting jam 11 malam harus tidur untuk bersiap besoknya bangun jam 5 pagi karena jam setengah 6 ada olah raga pagi bersama. Anak-anak ternyata siap dengan acara “talent show ” sebagai penutup hari sebelum tidur. Setelah menyanyikan lagu dangdut bersama, ada yang siap menyajikan tontonan bela diri taekwondo dan pencak silat.

Hari berikutnya lebih membuat saya kaget karena kagum. Tiada anak  yang protes walau harus tidur di lantai karena fasilitas yang seadanya. Anak-anak putri sudah bangun dari jam setengah lima. Saya yang tidur bersama mereka terbangun kaget saat mereka mulai ribut bersiap-siap. Saya pikir tidak mendengar alarm dan kesiangan. Saat melihat jam, masih setengah 5. Alamak… baru kali ini saya mengikuti rekoleksi di mana pesertanya diminta bangun jam 5, semua sudah bangun jam setengah 5. Bahkan katanya ada anak putra yang bangun jam 3 pagi. Entah karena mereka terlalu bersemangat atau tidak bisa tidur karena alas lantai.

Bagian yang paling kami takuti adalah acara mandi. Ada acara ibadat jam 8. Waktu mandi sekitar 2 jam untuk 55 peserta dengan 3 kamar mandi. Kamar mandi untuk putri ada 2 dan hanya mengandalkan air tampungan hujan. Sayangnya sudah beberapa hari hujan tidak turun sehingga persediaan air terbatas. Sementara kamar mandi untuk putra hanya satu, dengan persediaan air yang cukup banyak karena dipompa dari tanah. Sayangnya airnya kekuningan dan kalah bersih dari air hujan. Syukurlah, beberapa peserta dari SP 5 berinisiatif untuk pulang mandi di rumah masing-masing yang jaraknya dekat dengan lokasi rekoleksi. Melihat ada yang pulang ke rumah untuk mandi, beberapa peserta dari Bintuni ikut menumpang mandi untuk menghemat waktu, juga untuk mendapat air yang kualitasnya lebih baik.

Akhirnya, semua peserta sudah rapi jali menjelang jam 8. Ketika menurut saat disuruh berbaris dan memasuki gereja dengan teratur, bisa dilihat mata semua umat yang datang tertuju pada mereka. Melihat diri mereka menjadi perhatian para umat yang datang, kebanggaan cukup jelas terpancar dari wajah mereka.

Materi selama rekoleksi ada 3, dibagi menjadi pendalaman iman, agenda organisasi, dan promosi kesehatan. Materi pertama mengenai pendalaman iman saya ambil dari catatan Romo Benny Phang O.Carm yang dimuat di majalah renungan harian Cafe Rohani bulan September 2013. Mengenai Gereja yang kudus dan umatnya yang pendosa, tantangan untuk hidup kudus di tengah dunia. Ditambah bagaimana agar tidak lupa dengan Tuhan dalam keseharian kita yang saya kutip dari email Romo Santo yang meneruskan dari web katolisitas. Saya bukan pembicara terbaik, saya sadari itu. Catatan sudah dipegang di tangan, tapi lebih banyak lupanya daripada ingatnya. Namun, percaya saja, Tuhan yang menyempurnakan.

Materi agenda organisasi juga ditanggapi dengan semangat. Ternyata mereka memiliki mimpi yang cukup tinggi untuk kemajuan iman dan hidup mereka. Kami para pembimbing cukup terharu saat banyak yang mengusulkan untuk diadakan ibadat doa Taize di ruang doa gereja sebagai kelanjutan dari ibadat yang mereka ikuti semalam. Ada yang meminta seminar mengenai tujuan hidup, juga seminar tentang orang tua. Tidak saya sangka, cukup banyak yang berasal dari keluarga yang bercerai, bahkan ada orang tua yang sampai pindah agama. Anak-anak ini merasa kehilangan harapan saat orang tua mereka bercerai dan kemudian tidak bisa lagi bersama-sama dengan seluruh keluarga pergi ke gereja. Kemudian beberapa yang berasal dari luar Papua, tinggal di Papua dititipkan di wali, mengalami masalah komunikasi dengan orang tua mereka di tanah asal, sehingga mereka merasa terabaikan.

Masalah pernikahan memang menjadi persoalan yang cukup rumit di Papua. Saya mendengar banyak pasangan suami istri Katolik di sini bercerai karena yang suami tukang minum, atau tukang pukul, atau tukang minum dan tukang pukul, atau tukang judi togel.

Terakhir masalah promosi kesehatan yang dibantu oleh teman-teman sejawat saya, dokter puskesmas lain yang ikut bersedia membantu memberi materi tanpa dibayar.

Masalah yang diangkat tentang kesehatan alat reproduksi. Topik ini kami angkat karena masalah seks bebas juga menjadi perhatian utama para tenaga kesehatan di sini. Dan, jujur, cukup banyak putra-putri Katolik di Papua yang menikah karena yang perempuan terlanjur hamil. Mungkin inilah kesempatan kami untuk memotong kebiasaan yang semakin marak tersebut, dengan mengenalkan seksualitas mereka sedari remaja. Semua tampak antusias, bahkan sampai dua teman saya yang menyampaikan materi mengakui bahwa baru kali ini mereka mendapat penonton yang sangat responsif dan paling banyak bertanya.

Saya minta maaf bila bercerita terlalu panjang. Namun, saya ingin membagikan semangat anak-anak ini. Sampai sekarang, seminggu setelah rekoleksi, jumlah yang mengikuti ibadat Remakat menjadi hampir dua kali lipat biasa. Kami biasa beribadat dari rumah ke rumah anak-anak. Kali ini saya cukup kaget, ada anak yang dari SP 5 datang menempuh puluhan kilo untuk ikut beribadat bersama. Jumlah anak asal Papua pun sudah meningkat jauh lebih banyak dibandingkan sebelum rekoleksi. Saya hanya bisa bersyukur bisa melihat anak-anak ini merasakan semangat saat mengenal Yesus dan kekatolikan lebih dalam.

Sekarang Gereja mempunyai misi lain untuk pemuda-pemudi Bintuni. Kali ini mungkin terkesan lebih ambisius: Youth Camp untuk OMK Paroki Bintuni beserta seluruh stasi yang rencananya diadakan tanggal 27-29 Desember 2013. Target peserta: 200 orang. Pater kemudian menunjuk saya yang pernah mengikuti WYD untuk menyiapkan kemasan acara. Sungguh suatu kebanggaan bahwa pengalaman saya sebagai peserta WYD dapat menjadi inspirasi untuk mengadakan Youth Camp di sini. Sabtu lalu dalam ibadah OMK dilanjutkan pertemuan  untuk membentuk panitia inti. Cukup banyak yang meragukan kelancaran acara ini bila persiapan hanya selama 2 bulan. Saya sendiri sadar beban acara Youth Camp sebenarnya sangat berat. Mulai dari menentukan materi, menentukan lokasi Youth Camp karena terbatasnya fasilitas di Bintuni, mengumpulkan dana puluhan juta dalam 2 bulan, juga termasuk mengundang nara sumber dari luar. Tapi entah kenapa, ada dorongan untuk percaya saja dan terus maju hingga akhirnya saya memilih ikut terlibat dalam Youth Camp perdana di Bintuni. Perdebatan akhirnya segera berakhir. Mengutip slogan Gubernur Papua Barat, seorang OMK menyerukan, “Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Kalau bukan kitorang, siapa lagi.” Dan dialah yang kemudian terpilih menjadi ketua panitia Youth Camp Bintuni 2013, putra asli Papua, Piuz Morotim.

Saya tidak pernah bermimpi bahwa suara saya dalam Gereja akan didengar sampai sedemikian rupa seperti sekarang di Bintuni, pun tidak pernah tahu bahwa saya dapat membantu Gereja selain di bidang musik dalam arti mengiringi koor di gereja. Namun pengalaman saya mengikuti WYD mungkin menjadi modal awal saya untuk berani menjawab panggilan Tuhan untuk pergi dan jadikan semua bangsa murid-Nya, termasuk di Papua.
Saya tidak lagi merasa enggan pada orang Papua, karena merasakan sendiri kehangatan mereka, saat kami tertawa bersama-sama, menertawakan kelucuan Pater, Suster, atau sesama teman-teman OMK. Saya bisa rasakan semangat mereka, untuk membuat acara perayaan iman untuk muda-mudi, untuk mengenalNya lebih dalam, untuk membawa perubahan pada hidup, membawa perubahan pada Papua.

Akhir cerita, seperti semua OMK Jakarta, Bandung, dan Bogor menantikan OMK Gathering di Jakarta, kami di sini sangat menantikan Youth Camp tanggal 27-29 Desember nanti. Tema acara sudah ditentukan: ‘Bersatu dan Bergerak’. Bergerak menuju pembangunan iman kaum muda di Papua. Sampai sekarang, acara secara garis besar dimaksudkan sebagai pendalaman iman dan motivasi – agar kaum muda di sini dapat berharap dan mengimani bahwa Papua dapat menjadi lebih baik melalui karya mereka.

Berbeda dengan persiapan rekoleksi Remakat yang hanya digawangi segelintir pendamping, kali ini persiapan Youth Camp Bintuni dikeroyok oleh hampir semua OMK di Bintuni. Para mantan OMK pun turun tangan. Demikian juga pihak pembesar dan pemerintahan yang menganut Katolik sedang dilobi untuk ikut terlibat. Syukurlah ada harapan yang mulai muncul dalam kaum muda Gereja, untuk bersama-sama bersatu dan bergerak menuju Papua yang lebih baik, di mana kekerasan ditinggalkan dan kasih ditebarkan.

Tong mohon doanya, kawan…

 

Keterangan istilah:
Sewanggi : istilah untuk ilmu hitam di Papua
Tong: kami / kita
Kitorang: kita orang

SP 5: Satuan Pemukiman 5. Di beberapa daerah di luar Jawa, nama wilayah diberi nama seperti itu: SP 1, SP 2, SP 3, dst.

 

DOA
Allah Bapa Mahakasih, kami bersyukur menjadi murid Kristus Putera-Mu. Curahkanlah Roh Kudus-Mu kepada OMK agar mereka menjadi misionaris yang mewartakan kabar gembira-Mu agar masa depan Gereja-Mu cerah selalu. Berkatilah OMK agar selalu bertumbuh dalam iman kepadaMu, dalam Yesus Kristus sahabat sejati OMK. Amin.

Oleh: Ignatia Karina

Pesan Suci Paus Fransiskus, Hari Minggu Misi Sedunia 2013

0
Saudara dan saudari yang kukasihi,
Tahun ini kita merayakan Hari Minggu Misi atau Evangelisasi menjelang penutupan Tahun iman, yang telah merupa­kan momen penting untuk mempererat persahabatan kita dengan Tuhan dan untuk menegaskan perjalanan kita sebagai Gereja yang mewartakan injil dengan be­rani. Dalam perspektif ini saya ingin mengembang­kan beberapa pemikiran.
1. Iman merupakan anugerah Allah yang berharga. Allah membuka hati kita agar kita dapat mengenal dan mengasihi Dia. Ia mau menjalin hubungan den­gan kita agar kita dapat mengambil bagian dalam hidup-Nya agar hidup kita penuh makna, lebih baik dan lebih indah. Allah mengasihi kita! Akan tetapi iman itu meminta tanggapan kita, meminta agar kita berani menyerahkan diri kepada Allah, meminta agar kita mengasihi seperti Allah mengasihi, dan meminta agar kita tahu berterima kasih kepada Allah atas kera­himanNya yang tak terbatas.
Iman itu tidak dianugerahkan kepada orang tertentu saja melainkan kepada semua orang sebab hati semua orang ingin dikasihi Allah, ingin mengalami kesela­matan dari Allah!
Iman itu adalah sebuah anugerah yang tak boleh dinikmati sendiri, minta dibagikan. Jika kita tidak berbagi iman itu, kita menjadi orang kristiani yang terisolir, yang mandul dan sakit.
Pewartaan injil adalah bagian integral dari identitas murid Kristus dan komitmen konstan yang menjiwai kehidupan Gereja. “Semangat misioner adalah tanda nyata kedewasaan komunitas gerejani” (Benediktus XVI, Anjuran Apostolik Verbum Domini, 95). Setiap komuni­tas adalah “dewasa” apabila mengakui imannya den­gan bangga, merayakannya dengan penuh sukacita dalam liturgi, mewujud-nyatakan kasih dan me­wartakan Sabda Allah tak henti-hentinya sambil ke­luar dari lingkup hidupnya sendiri untuk dibawa ke “masyarakat pinggiran”, terutama kepada mereka yang belum sempat mengenal Kristus.
Konsistensi iman di tingkat pribadi dan komuniter diukur juga dari kemampuan berbagi iman itu dengan sesama, disebarluaskan, dijelmakan menjadi kasih, menyaksikan Kristus kepada orang yang dijumpai dan kepada mereka yang mengambil bagian dalam  perjalanan hidup bersama dengan kita.
2. Tahun iman yang mengenangkan 50 tahun dimulai Konsili Vatikan II, merupakan dorongan agar seluruh Gereja memiliki kesadaran baru akan kehadirannya dalam dunia zaman ini dan akan misinya di antara bangsa-bangsa. Tugas misi ini tidak menyangkut hanya secara geografis tetapi juga bangsa-bangsa, kebudayaan-ke­budayaan dan pribadi-pribadi sebab “garis batas iman” tidak hanya melintasi daerah dan tradisi-tradisi, tetapi juga hati setiap orang laki-laki dan perempuan.
Konsili Vatikan II telah menegaskan bahwa tugas peru­tusan misioner, tugas memperluas perbatasan iman, adalah tugas setiap pribadi dan setiap komunitas kristiani,”Karena umat Allah hidup dalam jemaat-jemaat, terutama dalam keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki, serta dengan cara tertentu kelihatan di situ, maka adalah juga tugas jemaat-jemaat itu mem­beri kesaksian akan Kristus di hadapan para bangsa”. (Ad Gentes, 37).
Setiap komunitas hendaknya merasa disapa oleh Ye­sus sendiri ketika Ia berpesan kepada para Rasul agar mereka “menjadi saksi-Nya di Yerusalem dan di selu­ruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” (Kis 1,8). Sapaan Yesus ini merupakan dimensi mut­lak kehidupan kristiani, sebab kita semua diutus mew­artakan injil dengan perkataan dan perbuatan kepada semua orang.
Saya ajak para uskup, para imam, para dewan imam dan dewan pastoral, setiap orang dan setiap kelompok yang diberi tanggung jawab dalam Gereja agar mem­berikan perhatian khusus kepada dimensi misioner dalam program-program pastoral dan pendidikan, sa­dar bahwa tugas perutusan itu belum memadai kalau tidak mencakup tanggung jawab dan tekad “memberi kesaksian akan Kristus di hadapan para bangsa.” Dimensi misioner itu bukan sekedar sejumlah program dan kegiatan dalam kehidupan kristiani, melainkan semangat dan spiritualitas yang menjiwai semua segi kehidupan kristiani.
3. Sering karya evangelisasi menemukan hambatan-hambatan bukan hanya dari luar, tetapi juga dari da­lam komunitas kristiani itu sendiri seperti kurangnya semangat, tidak adanya sukacita, kurang minat dan lebih-lebih kurang pengharapan dalam mewartakan pesan Kristus kepada semua orang dan dalam mem­bantu orang berjumpa dengan Kristus.
Masih ada orang yang berpikir bahwa mewartakan kebenaran Injil memperkosa kebebasan manusia. Dalam hal ini Paus Paulus VI mempunyai kata-kata inspiratif,”Tentu kelirulah memaksakan sesuatu pada hati nurani saudara-saudara kita. Tetapi mengajukan kepada hati nurani manusia kebe­naran tentang Injil dan penebusan dalam Yesus Kris­tus dengan jelas dan dengan menghormati sepenuh­nya pilihan-pilihan yang akan diambilnya nanti, … itu merupakan suatu kehormatan bagi kebebasan manusia”. (Anjuran. Ap. Evangelii Nuntiandi, 80 / EN 80).
Dengan berani dan dengan senang hati serta dengan penuh hormat hendaknya kita senantiasa mengun­dang orang berjumpa dengan Kristus, dan menjadi pembawa Injil-Nya.
Yesus telah datang di tengah-tengah kita untuk mem­perkenalkan jalan keselamatan dan kita telah diberi tugas perutusan untuk mewartakan keselamatan itu kepada semua orang sampai ke ujung bumi.
Sering kita saksikan bahwa kekerasan, kepalsuan, dan kesesatanlah yang dikedepankan dan yang di­sodorkan. Maka pada masa kini adalah sangat urgen menampilkan hidup yang baik menurut injil melalui pewartaaan dan kesaksian, dan ini hendaknya dilaku­kan mulai dari dalam Gereja itu sendiri. Sebab, dalam perspektif ini setiap penginjil hendaknya ingat sebuah prinsip yang mendasar, bahwa Kristus tak dapat di­wartakan tanpa Gereja.
Paus Paulus VI menulis,”Penginjilan bukanlah meru­pakan suatu kegiatan individual dan terisolir; tetapi penginjilan adalah suatu kegiatan yang secara men­dalam bersifat gerejani. Bila seorang pengkotbah di tempat paling tersembunyi, seorang katekis, atau se­orang pastor di tempat yang paling jauh, berkotbah tentang Injil, mengumpulkan jemaat, mewartakan iman, melayani sakramen, meskipun ia sendirian, ia melakukan suatu kegiatan gerejani. Ia tidak bertindak atas suatu perutusan yang berasal dari dirinya sendiri atau berdasarkan suatu inspirsi pribadi, tetapi dalam kesatuan dengan perutusan Gereja dan atas nama Gereja”. (E.N. 60).
Dan ini memberi kekuatan kepada misi, pun pula membangkitkan kesadaran dalam sang misionaris dan penginjil bahwa ia tak pernah sendirian, melainkan ia adalah bagian dari dari tubuh yang satu yang dijiwai oleh Roh Kudus.
4. Pada masa kini, mobilitas yang sudah umum dan kemudahan komunikasi melalui media, sudah men­capuradukan orang, bangsa, pengetahuan, pengala­man. Karena alasan kerja, keluarga-keluarga berpindah dari satu benua ke benua yang lain; pertukaran profesional dan kebudayaan, turisme dan fenomena serupa men­gakibatkan pergerakan orang yang luas. Kadang-ka­dang komunitas-komunitas paroki pun merasa sulit mengenal dengan tepat dan pasti, siapa-siapa tinggal dalam satu daerah secara tetap atau hanya sementa­ra. Terjadi juga bahwa di daerah yang pernah terin­spirasi oleh iman, bertambah jumlah orang yang merasa diri jauh dari iman, menjadi acuh tak acuh terhadap agama atau terikat dengan kepercayaan-kepercayaan lain. Tak jarang, beberapa orang beriman mengambil keputusan yang menjauhkan diri dari iman, dan den­gan demikian mereka sepantasnya menerima ‘evan­gelisasi baru’. Tambahan lagi bahwa masih begitu banyak umat manusia yang belum digapai oleh Kabar Baik Yesus Kristus.
Sementara itu, kita sedang mengalami suatu masa kri­sis yang menyentuh banyak aspek kehidupan, bukan hanya dalam bidang ekonomi, finansial, keamanan, lingkungan, tetapi juga tentang arti kehidupan dan nilai-nilai mendasar yang menjiwainya. Kehidupan bersama ditandai oleh ketegangan dan konflik, yang menimbulkan kesulitan dan ketidaknyamanan dalam mencari jalan bagi suatu perdamaian yang lestari.
Dalam situasi yang rumit ini, di mana cakrawala masa kini dan masa depan dikelabui oleh awan yang men­gancam, menjadi lebih mendesak lagi membawa den­gan gagah berani Injil Kristus. Injil ini menyampaikan pew­artaan tentang harapan, rekonsiliasi, persekutuan, kedekatan Allah dengan belaskasih-Nya, keselamatan-Nya serta berita bahwa kasih Allah itu mampu mengatasi kegelapan kejahatan dan menuntun di jalan kebaikan. Manusia masa kini membutuhkan cahaya yang pasti yang menerangi jalannya dan ini dia mendapatnya hanya dalam pertemuan dengan Kristus.
Mari kita bawa ke dunia ini, melalui kesaksian dan kasih kita, harapan yg ditimbulkan oleh iman kita. Mi­sionaritas Gereja kita bukan proselitisme, sebaliknya adalah kesaksian hidup yang menerangi jalan, yang membawa harapan dan kasih. Gereja kita – saya ulan­gi sekali lagi – bukan organisasi sosial, perusahaan atau LSM: dia adalah komunitas orang yg dijiwai oleh Roh Kudus, yang sudah mengalami dan meng­hayati kekaguman perjumpaan dengan Yesus Kristus dan ingin berbagi pengalaman kegembiraan ini, dan berbagi Pesan keselamatan yang dibawa oleh Tuhan. Roh Kudus lah sedang menuntun Gereja dalam per­jalanan ini.
5. Saya ingin mengajak semua agar menjadi pem­bawa Kabar Baik Kristus dan saya sangat berterima kasih kepada semua misionaris, laki-laki dan perem­puan, kepada para imam Fidei Donum, kepada para bi­arawan/ti, kepada semua orang beriman yang semakin hari semakin banyak yang mendengar panggilan Tuhan dan meninggalkan tanah airnya guna melayani Injil di tempat dan kebudayaan yang berbeda. Saya ingin pula menggarisbawahi bahwa Gereja-gereja yang masih muda dengan berani sedang mengambil komitmen untuk mengirim misionarisnya kepada Gereja-gereja yang dalam kesulitan – tak jarang kepada Gereja-gereja yang lebih tua juga – dan dengan demikian membawa se­mangat yang segar dan antusiasme yang menjadi ciri khas penghayatan imannya, yang memperbarui hidup dan memberi harapan. Sesuai dengan pesan Yesus “pergilah dan jadikanlah semua bangsa muridku(Mt 28:19), hidup dalam suasana universal ini merupakan suatu kekayaan bagi setiap gereja lokal, bagi setiap komunitas; memberikan misionaris tak pernah meru­pakan suatu kerugian, sebaliknya suatu keuntungan.
Saya mendorong semua yg mendengar panggilan ini supaya menjawab dengan hati besar kepada suara Roh, sesuai dengan status hidup masing-masing, dan supaya tidak takut mengikuti Tuhan. Saya ajak juga para Uskup, keluarga-keluarga religius, komunitas-komunitas dan kelompok-kelompok kristiani supaya, dengan visi yang luas dan disernement yang tepat, mendukung pang­gilan misioner Ad Gentes dan membantu Gereja-gereja yang membutuhkan imam, religius dan awam guna memperkuat komunitas kristiani. Perhatian ini sehar­usnya hidup juga di antara Gereja-gereja anggota suatu konferensi Uskup tingkat nasional atau regional: san­gat penting bahwa Gereja-gereja yang lebih kaya akan panggilan, membantu dengan hati besar Gereja-gere­ja yang menderita karena kekurangannya.
Saya ajak juga para misionaris, laki-laki dan perem­puan, khususnya imam-imam Fidei Donum dan awam, supaya hidup dengan gembira pelayanan mereka dalam Gereja-gereja di mana mereka bertugas dan membawa serta kegembiraan mereka dan kekayaan iman Gereja-gereja dari mana mereka berasal, den­gan mengingat Paulus dan Barnabas yang pada akhir perjalanan misioner mereka “menceriterakan segala sesuatu yang Allah lakukan dengan perantaraan mer­eka dan bahwa Ia telah membuka pintu bagi bangsa-bangsa lain kepada iman” (Kis 14:27). Mereka itu bisa menjadi semacam jalan untuk ‘mengembalikan’ iman de ngan membawa kesegaran gereja-gereja muda, supaya Gereja-gereja yang lebih tua menemukan kembali antusiasme dan kegembiraan dalam berbagi iman, da­lam suatu pertukaran yang menjadi kekayaan umum dalam kemuridan Tuhan.
Uskup Roma memikul bersama dengan para Uskup suatu keprihatinan terhadap semua Gereja dan kepri­hatinan itu menemukan suatu bentuk penghayatan dalam komitmen Karya Kepausan Misioner, yang mempunyai tujuan menjiwai dan memperdalam ke­sadaran misioner setiap orang beriman dan setiap ko­munitas. Dan ini terlaksana melalui suatu pendidikan misioner seluruh Umat Allah yang lebih mendalam, begitu pula dengan memupuk kepekaan komunitas-komunitas kristiani dalam memberikan bantuan guna memperluas Injil di dunia.
Dan sekarang hati kita terarah kepada umat Kris­tiani di pelbagai tempat di dunia ini yang mengalami hambatan dalam mengakui iman mereka di hadapan umum, begitu pula hak untuk menghayati imannya dengan bebas ditolak. Mereka ini adalah saudara dan saudari kita, saksi yang berani – yang jumlahnya me­lebihi jumlah para martir abad-abad pertama – yang menanggung dengan ketekunan rasuli bentuk-bentuk penganiayaan masa kini. Tidaklah sedikit yang berani mengambil risiko terhadap hidup mereka untuk tetap setia kepada Injil Kristus.
Saya dalam doa menyatakan solidaritas saya kepada pribadi-pribadi, keluarga-keluarga dan komunitas-ko­munitas yang mengalami kekerasan dan intoleransi dan kepada mereka saya sampaikan kata-kata Yesus yang meneguhkan hati,” Kuatkanlah hatimu, Aku te­lah mengalahkan dunia.” (Yoh 16:33). Paus Benediktus XVI mengimbau agar “firman Tu­han disebarkan dan dimuliakan(2Tes 3:1).
Semoga Tahun Iman ini semakin mengeratkan hubun­gan dengan Kristus Tuhan, sebab hanya dalam Dialah terdapat kekuatan untuk membangun masa depan dan hanya dalam Dialah terdapat jaminan kasih yang otentik dan konsisten (S.Apotolik. Porta Fidei,15).
Saya memberkati dengan sepenuh hati para misionar­is, laki-laki dan perempuan dan semua orang yang men­giringi dan mendukung misi Gereja yang mendasar ini agar pewartaan Injil dapat berkumandang di segala penjuru dunia, dan kita, pelayan injil dan misionaris akan mengalami “betapa menghibur dan meneguhkan pewartaan Injil” (EN,80).
Dari Vatikan, 19 Mei 2013, Hari Raya Pentakosta.
Alih bahasa: Misionaris Xaverian.

Jangan bosan berdoa, jangan lelah berusaha, dan jangan enggan mewarta!

5

[Minggu Biasa XXIX: Kel 17:8-13; Mzm 121:1-8; 2Tim 3:14-4:2; Luk 18:1-18]

Minggu lalu sabda Tuhan mengajarkan kita agar beriman seperti orang kusta yang disembuhkan Tuhan Yesus. Hari ini, sabda Tuhan mengingatkan kita akan hal selanjutnya yang tak terpisahkan dari iman, yaitu: tetaplah berdoa. Sebab jika kita mengimani Allah yang Maha baik dan Maha memelihara, kita akan terus terdorong untuk bersyukur kepada-Nya dan memohon campur tangan-Nya dalam kehidupan kita. Inilah yang Tuhan Yesus sampaikan kepada kita dalam bacaan Injil hari ini: Jangan bosan berdoa, dan janganlah berputus asa. Sebab Tuhan berkenan memberikan pertolongan-Nya saat kita tekun berdoa menyerahkan hidup kita kepada-Nya.

Dalam bacaan pertama, kita juga melihat betapa Allah berkenan kepada doa orang beriman. Nabi Musa berdoa di puncak bukit, untuk memohon pertolongan Allah, ketika bangsa Israel bertempur melawan bangsa Amalek. Saat Musa mengangkat tangannya, bangsa Israel menjadi lebih kuat, namun saat ia menurunkan tangannya, terjadi hal sebaliknya. Setelah sekian waktu, lelah-lah Musa, ia tak kuat untuk selalu mengangkat tangannya. Tapi ia tidak putus asa. Ia memohon bantuan Harun dan Hur untuk menopang kedua tangannya, sehingga tangannya dapat terus terangkat sampai matahari terbenam. Bangsa Israel akhirnya menang dalam pertempuran itu. Bukankah pengalaman Musa juga dapat terjadi pada kita sekarang? Bukankah keluhan semacam inipun akrab di telinga kita  “Aku sudah berdoa, tapi sepertinya tak dikabulkan… aku jadi malas berdoa lagi….” Mari kita belajar dari Nabi Musa. Janganlah kita malu untuk memohon dukungan doa dari keluarga atau teman-teman kita. Pertolongan kita memang datang dari Tuhan, namun Tuhan menghendaki agar kita turut melakukan bagian kita, agar memenangkan perjuangan hidup ini. Mari kita memohon kebijaksanaan dari Tuhan untuk dapat melakukan apa yang menjadi bagian kita, dan menyerahkan apa yang tidak bisa kita lakukan ke dalam tangan Tuhan. Dengan demikian kita selalu mempunyai kekuatan dalam pergumulan hidup, sebab kita tahu bahwa kita menghadapinya bersama Tuhan. Dengan pertolongan Tuhan, kita akan dimampukan untuk melakukan apa yang dapat kita lakukan, dan kita akan dipimpin untuk menemukan jalan keluar dari segala kesulitan yang kita alami dalam hidup ini.

Sungguh, Tuhan adalah segalanya bagi kita. Maka, walaupun memang kita dapat memohon banyak hal kepada-Nya, seperti rahmat kesehatan, kerukunan dalam keluarga, pekerjaan, agar lulus ujian dst, tetapi jangan lupa bahwa sebenarnya, yang terpenting adalah Tuhan sendiri. Bagaimana supaya kita dapat mengalami hubungan yang dekat dengan Tuhan? Mungkin itulah yang harus kita mohonkan setiap hari, dan juga kita mohonkan bagi orang-orang yang kita kasihi, dan bahkan semua orang. Tuhan berkenan kepada doa-doa yang dihaturkan terus menerus demi keselamatan kita dan orang- orang yang kita doakan. Pesan ini menjadi pas bagi hari ini, saat kita juga merayakan Minggu Evangelisasi. Jika kita telah mengalami kasih Allah yang telah dinyatakan-Nya kepada kita di dalam Kristus, mari kita bagikan kabar sukacita ini kepada sesama, terutama kepada mereka yang belum mengenal-Nya. Sebab dengan menyampaikan kasih Tuhan ini kepada mereka, kitapun diingatkan kembali akan kasih-Nya kepada kita. “Jesus loves you! Tuhan mengasihimu”, itulah pesan yang perlu disampaikan kepada semua orang. Maka, ingatlah ketiga hal ini: jangan bosan berdoa, jangan lelah berusaha, dan jangan enggan mewarta, sebab kita mengimani Allah yang begitu baik dan penuh kasih. Ayo!

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab