Ekaristi adalah ‘dekapan’ Allah yang menyatukan

Jika anda sudah menikah dan punya anak-anak kecil, anda pasti dapat memahami perasaan indah yang tak terlukiskan ini: Anak anda menghampiri anda, tanpa rengekan, tanpa tangisan, memeluk dan mencium anda. Anda akan merasakan kasih yang begitu dekat yang mempersatukan anda berdua. Jika suatu hari anda mengalami hal ini, entah dengan anak anda, keponakan atau cucu anda, bayangkanlah bahwa Tuhan sengaja memberikan pengalaman tersebut, supaya anda dapat sedikit membayangkan bagaimana perasaan Tuhan jika anda datang kepada-Nya seperti anak kecil itu. Hati-Nya melimpah dengan kasih dan suka cita, karena memang Dia selalu menantikan kesempatan ini; yaitu membawa anda ke dalam dekapan-Nya untuk bersatu dengan Dia. Oleh kuasa Roh Kudus, dekapan ini mempersatukan kita dengan Allah sendiri, seperti yang terjadi di dalam Ekaristi, saat Ia, Sang Ilahi, merendahkan diri untuk merangkul dan mengangkat kita, manusia yang dari ‘debu’ ini, agar kita beroleh hidup ilahi. Kita manusia yang berdosa tidak dapat, oleh usaha sendiri, menjadi kudus, kalau bukan Allah sendiri yang menguduskan kita.

Ekaristi adalah sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani

Ekaristi adalah sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani. Pertumbuhan Spiritualitas Kristiani yang bergerak ke arah ‘persatuan yang semakin erat dengan Kristus’ (KGK 2014) akan mencapai puncaknya pada Ekaristi yang adalah Kristus sendiri. Kristus hadir di dalam Ekaristi, sesuai dengan janji-Nya pada saat meninggalkan warisan Ekaristi pada Perjamuan Terakhir sebelum sengsara-Nya. Ekaristi diberikan sebagai kurban Tubuh dan Darah-Nya, agar dengan mengambil bagian di dalamnya, kita dapat bersatu dengan-Nya dan menjadi satu Tubuh (lih. KGK 1329). Jadi, Ekaristi merupakan Perjanjian Baru dan Kekal yang menjadi dasar pembentukan Umat pilihan yang baru, yaitu Gereja. ((Lih. Joseph Cardinal Ratzinger, Called to Communion, (San Francisco, USA: Ignatius Press 1996), p.28, “The institution of the most holy Eucharist… is the making of a covenant and as such, is the concrete foundation of the new people: the people comes into being through its covenant relation to God .”)) Di dalam Ekaristi kita melihat cerminan liturgi surgawi dan kehidupan kekal di mana Allah meraja di dalam semua (lih. KGK 1326). Dengan menerima Ekaristi, kita dipersatukan dengan Kristus dan melalui Dia, kepada Allah Tritunggal, sebab Ekaristi adalah kenangan kurban Yesus dalam ucapan syukur kepada Allah Bapa, oleh kuasa Roh Kudus (lih. KGK 1358). Jadi dengan menerima Ekaristi, Tuhan tidak saja hanya hadir, tetapi ‘tinggal’ di dalam kita sehingga kita mengambil bagian di dalam kehidupan Ilahi, kehidupan yang memberikan kita kekuatan untuk mencapai kesempurnaan kasih yang diajarkan oleh spiritualitas Kristiani, yaitu ‘mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama’.

Sekilas tentang Spiritualitas Kristiani

Spiritualitas secara umum adalah jalan untuk memahami keberadaan dan kehidupan manusia yang berkaitan dengan pencarian nilai-nilai luhur untuk mencapai tujuan hidupnya. ((Lih. Michael Downey, Understanding Christian Spirituality, (New Jersey, USA: Paulist Press, 1997), p.14)) Di dalam agama Kristiani, ‘jalan’ tersebut bukanlah berupa peraturan- peraturan, tetapi berupa ‘Seseorang‘. Dan ‘Seseorang’ ini adalah Yesus Kristus, yaitu Allah yang menjelma menjadi manusia. Dengan kata lain, Spiritualitas Kristiani tidak diawali dengan ide gambaran tentang Allah, melainkan di dalam iman akan Sabda Allah yang menjadi manusia (Yoh 1:14), yaitu Yesus Kristus. Kristuslah pemenuhan Rencana Keselamatan yang dijanjikan Allah. Karena itu, kehidupan Spiritualitas Kristiani berpusat pada Kristus.

Pertumbuhan spiritual dicapai dengan mengambil bagian dalam Misteri Kristus

Kristuslah perwujudan Spiritualitas Kristiani, sehingga sangat wajar jika kita ingin bertumbuh secara spiritual, kita harus mengambil bagian di dalam ‘Misteri Kristus’, sehingga kehidupan spiritual kita merupakan bagian dari kehidupan yang Yesus miliki bersama dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Dengan demikian kita diangkat menjadi anak-anak Allah. ((Jordan Aumann, Christian Spirituality in the Catholic Tradition, (USA: Ignatius Press, 1985), p.9 and p.11 “…. Christ is, therefore, the embodiment of authentic spirituality and quite logically, from our point of view the spiritual life must be a participation in the ‘mystery of Christ.’ …..This does not mean, however that we should consider the spiritual life as Christ-centered to such an extent that we should fail to give emphasis to God the Father, God the Holy Spirit,….. but it is only by means of the mystery of God that we can believe fully in the mystery of the Incarnation and, therefore, can understand Jesus Christ…..Consequently, to participate in the mystery of Christ means to share in the selfsame life which animated the God-man, the life which the incarnate Word shares with the Father and the Holy Spirit; and through this life, man is regenerated and elevated to the supernatural order.”)) Keikutsertaan kita di dalam Misteri Kristus dinyatakan jika kita berpartisipasi di dalam Misteri Paska Kristus -yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan Kenaikan-Nya ke surga. ((Lih. Sacrosanctum Concilium 5, (Dokumen Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci)) Misteri Paska ini dihadirkan di dalam liturgi Gereja Katolik (lih. KGK 1085).

Misteri Paska Kristus adalah pernyataan Kasih Tuhan yang terbesar

Tuhan adalah Kasih (1 Yoh 4:16) dan belas kasih adalah sifat Allah yang terbesar. Dalam belas kasih-Nya Allah ingin mengembalikan hubungan kasihNya dengan manusia yang telah dirusak oleh dosa. Untuk itulah Kristus datang ke dunia, untuk menyatakan belas kasihan Tuhan yang terbesar melalui Misteri Paska-Nya, yang menjadi bukti kasih Tuhan pada manusia yang lebih kuat dari pada dosa dan maut. Allah tidak menyayangkan Yesus Putera-Nya sendiri untuk menyelamatkan kita (Rom 8:32), para pendosa. Jadi, alasan Kristus untuk datang ke dunia adalah untuk wafat bagi kita; dan karena itu layaklah jika Ia mewariskan kenangan wafat-Nya itu, yang menjadi Perjanjian Baru dan Kekal antara kita manusia dengan Tuhan.

Di sini ‘perjanjian’ atau ‘covenant/ convenire (Latin)’ memiliki arti yang lebih dalam daripada sekedar kontrak. Perjanjian ini tidak menandai pertukaran harta milik, tetapi pemberian diri dalam relasi kasih, yang berlaku untuk selamanya. ((Lih. Scott Hahn, A Father Who Keeps His Promises, (Ann Arbor, Michigan, USA: Servant Publications, 1998), p. 24. “What is exactly a covenant? It comes from the Latin word ‘convenire’, which means ‘to come together’ or to agree; the English term ‘covenant’ involves a formal, solemn and binding pact between two or more parties. Juga Robert A Sungenis, Not by Bread Alone, (California, USA: Queenship Publication, 2000), p.11-12.)) Sejak kejatuhan Adam sampai kedatangan Kristus, Allah telah membuat perjanjian dengan bangsa Israel (‘the People of God’) melalui para bapa bangsa dan para nabi. Perjanjian ini (disebut Perjanjian Lama) ditandai dengan kurban penyembahan terhadap Tuhan dan kurban penebus dosa (Im 9:23) yang dipersembahkan melalui para imam (Kel 10:25-26). Melalui kurban ini, manusia diampuni dan dimampukan kembali untuk mengasihi Allah. Kurban inilah yang diteruskan oleh Gereja (‘the New People of God’) sebagai Perjanjian Baru dan Kekal di dalam Ekaristi -yang menjadi tebusan dosa manusia sampai akhir jaman. Ekaristi menjadi tanda belas kasihan Allah yang dinyatakan kepada Gereja dan melalui Gereja kepada segenap umat manusia.

Bagaimana Gereja menghadirkan Misteri Paska Kristus

Karena Misteri Paska merupakan hal yang terutama dalam Rencana Keselamatan Allah, maka Ekaristi yang menghadirkan Misteri Paska ini menjadi hal yang terutama dalam Gereja. Di dalam liturgi, Misteri Paska dihadirkan kembali karena jasa kebangkitan Kristus dan kuasa Roh Kudus. Di dalam liturgi, terutama Ekaristi, rahmat dicurahkan untuk pengudusan kita dan kemuliaan Tuhan, ((Lih. Sacrosanctum Concilium 10)) yang keduanya merupakan tujuan kehidupan spiritual kita. Jadi keikutsertaan kita di dalam liturgi, terutama dalam Ekaristi, adalah sesuatu yang sangat penting untuk pertumbuhan rohani kita, karena di dalam Ekaristi kita menerima rahmat pengudusan yang membuat kita mampu mencapai kepenuhan hidup, oleh karena kita dapat masuk dalam hubungan kasih yang mendalam dengan Allah.

Makna Liturgi Ekaristi

Di dalam kurban Ekaristi, para anggota Gereja menyatukan diri mereka dengan Kristus, Sang Kepala, untuk mempersembahkan pujian dan syukur kepada Allah Bapa. Di sini Kristus menjadi sekaligus Imam dan Kurban. Kata “Ekaristi” sendiri berarti ‘ucapan terima kasih kepada Allah’ (Lih. KGK 1328), dan sesungguhnya adalah doa Yesus Kristus kepada Allah Bapa. Keikutsertaan kita dalam doa Yesus yang disampaikan kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus adalah liturgi, (lih. KGK 1073) sehingga liturgi adalah suatu tindakan Yesus sebagai Kepala dan Gereja sebagai TubuhNya. ((Lih. Sacrosanctum Concilium 7.)) Yesus yang sungguh hadir di dalam liturgi Ekaristi, mengubah roti dan anggur oleh kuasa Roh Kudus menjadi Tubuh dan DarahNya, melalui perkataan-Nya yang diucapkan oleh imam, “Inilah TubuhKu, yang diberikan bagi-Mu…Inilah DarahKu yang ditumpahkan bagimu (Mat 26:26-28; Mrk 14:22-24; Lk 22:19-20).

Dengan mengambil bagian di dalam doa ini, kita menaikkan pikiran dan hati kepada Tuhan, dan di dalam iman, kita menerima rahmat yang tak terhingga, yaitu Kristus sendiri di dalam rupa hosti kudus, (lih. KGK 2559, 1373) yang menguduskan kita. Dengan demikian kita mengalami kepenuhan doa sebagai karunia Tuhan. Kita memberi kemuliaan kepada Tuhan, tidak hanya dengan menerima karunia itu, tetapi juga dengan memberikan diri kita kepada Tuhan, dalam arti kita ‘berdoa di dalam Roh’ (Ef 6:18) untuk menghidupkan di dalam batin kita kasih Bapa yang dinyatakan dalam Kristus untuk mendatangkan keselamatan bagi kita (lih. KGK 1073). Dengan Allah sendiri yang hidup di dalam kita, maka kita menjadi sungguh-sungguh ‘hidup’. Inilah yang disebut kemuliaan Tuhan.

Di dalam Ekaristi, kita menjadikan Karya Keselamatan Allah sebagai bagian dari diri kita sendiri, karena kita mempersatukan diri dan dipersatukan dengan Kristus yang menjadi Kurban satu-satunya yang dipersembahkan kepada Allah- yaitu Kurban yang menyelamatkan umat manusia. ((Lih. Redemptor Hominis, (Surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Penyelamat Manusia), 7)) Dengan demikian, liturgi Ekaristi menjadi sumber doa dan tujuan doa kita. Karena itu, Ekaristi dikatakan sebagai puncak kehidupan Gereja, kesempurnaan kehidupan rohani dan arah tujuan dari segala sakramen Gereja (lih. KGK 1374).

Ekaristi mempersatukan kita dengan Kristus terutama dalam penderitaan kita

Doa menghantar seseorang kepada persatuan dengan Tuhan, sehingga ia dapat memiliki kehendak yang sama dengan kehendak Tuhan. Di dalam persatuan ini, Kristus bersatu dengan tiap-tiap orang, terutama mereka yang menderita. Di dalam Kristus, penderitaan manusia memperoleh arti yang baru yang berarti “melengkapi apa yang kurang dalam penderitaan Kristus” (Kol 1:24). Maksudnya adalah, karena Gereja sebagai Tubuh Kristus terus berkembang di dalam ruang dan waktu, maka penderitaan Kristus yang menyelamatkan juga dapat terus berkembang dan dilengkapi oleh penderitaan manusia. ((Lih. Salfivici Doloris (Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Tentang Arti Kristiani dari Penderitaan Manusia), 24.)) Di dalam penderitaan, manusia diajak untuk beriman lebih dalam, dengan cara mengubah pengertian kita tentang kebahagiaan untuk disesuaikan dengan kebahagiaan menurut pengertian Allah.

Prinsip kebahagiaan adalah: Allah ingin bersatu dengan kita. Jika kitapun demikian, dan menerima hal persatuan dengan Allah sebagai kebahagiaan kita, maka penderitaan atau kesenangan tidak menjadi masalah bagi kita. Sebaliknya, kita dapat menerima penderitaan kita, karena kita mengetahui bahwa di dalam Kristus, hal itu mendatangkan keselamatan bagi kita sendiri, bagi orang lain dan bagi semua orang berdosa secara umum. ((Lih. Jordan Aumann, Spiritual Theology, (New York, USA: Continuum 1980, reprint 2006), chapter 7. “Something is lacking to the passion of Christ, as St. Paul dared to say (Col 1:24) which must be contributed by the members of Christ cooperating in their own redemption… God accepts the suffering offered to Him by a soul in grace for salvation of another soul or for sinners in general.”)) Jadi penderitaan di dunia terjadi untuk mendatangkan kasih, ((Lih. Salfivici Doloris, 29-30.)) dan kasih yang memperbaiki dunia yang penuh dosa adalah keselamatan. Maka penderitaan berhubungan erat dengan keselamatan.

Ekaristi juga mengingatkan kita bahwa tidak ada Keselamatan jika tidak ada Salib; dan di dalam Kristus semua salib kita menyumbangkan arti bagi Keselamatan. Di dalam Ekaristi, kita dipersatukan dengan Kristus dan ikut ambil bagian di dalam penderitaan-Nya agar dapat pula mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya.

Ekaristi adalah contoh kerendahan hati Kristus

Di dalam Ekaristi, Kristus menyatakan pemenuhan janjiNya ketika berkata, “Akulah Roti Hidup yang telah turun dari sorga. Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya… Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” (Yoh 6:35,51,54,57). Dengan mengambil rupa roti, Yesus membuat Diri-Nya menjadi sangat kecil, meskipun sesungguhnya, bahkan surga-pun tidak cukup untuk memuat DiriNya. Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan menjadi seorang hamba… sama dengan manusia. Dan… sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, dan sampai mati di kayu salib (Flp 2: 5-8).

Di dalam kerendahan hati-Nya, Dia menanggung penghinaan untuk dosa yang tidak pernah Dia lakukan. Sekarang, setelah Dia bangkit dari mati, Dia merendahkan diri secara lebih lagi, dengan mematuhi perkataan para imam-Nya, dan hadir di dalam rupa hosti, agar Dia dapat tinggal bersama kita untuk menghantar kita ke hidup yang kekal. Di dalam Ekaristi, Yesus mengajar kita tentang hal kemiskinan dan kerendahan hati. Dia mengambil rupa roti untuk dipecah dan dibagi-bagi, agar Ia dapat hadir ‘di dalam batas sebuah partikel yang kecil’ ((Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, (Manchester, New Hampshire, USA: Sophia Institute Press, 1960, reprint 2001), p. 31)) – hanya untuk menunjukkan bahwa Dia mau melakukan apa saja, untuk menyatakan betapa Dia mengasihi kita. Yesus yang sempurna merendahkan diri-Nya sampai ke titik ter-rendah, supaya kita yang rendah ini dapat dibawa kepada kesempurnaan Tuhan, dengan mengambil bagian di dalam kehidupan-Nya. Ia menjadi contoh bagi kita, supaya kita-pun mau berkurban untuk orang lain, supaya mereka dapat pula mengambil bagian di dalam kehidupan Allah.

Ekaristi membimbing kita kepada pengetahuan akan Tuhan, sebab di dalamnya kita melihat belas kasihan Allah dan kuasa Allah yang dinyatakan lewat perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus untuk menyelamatkan kita. Pada saat yang sama, kita dipimpin untuk sampai pada pengetahuan akan diri kita sendiri, sebab kita diingatkan akan dosa-dosa kita yang telah menyebabkan Dia wafat di Salib. Sungguh, Ekaristi merupakan contoh sempurna tentang kerendahan hati, yang menjadi dasar dari segala nilai-nilai kebijakan dalam Spiritualitas Kristiani. ((lih. St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae II-II, Q. 161, a.5 ad 2. “…humility is said to be the foundation of the spiritual edifice.” )) (Lihat artikel: Kerendahan Hati: Dasar dan Jalan menuju Kekudusan) Ekaristi menyatakan dua kebenaran kepada kita: bahwa kita ini pendosa, namun sangat dikasihi oleh Tuhan. Dengan demikian, kita dapat belajar untuk dengan rendah hati menerima Dia yang sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi, dan bahwa Ekaristi adalah cara Allah untuk mengasihi kita dan menyelamatkan kita.

Ekaristi membawa pada pertobatan yang terus menerus

Belas kasihan Tuhan yang dinyatakan di dalam Ekaristi membawa pertobatan, yang artinya ‘berbalik dari dosa menuju Tuhan’. Hal ini disebabkan karena kita tidak dapat bersatu dengan Tuhan yang kudus, jika kita tetap tinggal di dalam dosa. Pertobatan yang diikuti oleh pengakuan dosa yang menyeluruh adalah langkah pertama yang harus dibuat jika kita ingin sungguh-sungguh memulai kehidupan rohani. Langkah ini adalah pemurnian dari dosa berat (mortal sin). ((Lih. St Francis de Sales, An Introduction to the Devout Life, (Rockford, Illinois, USA: TAN Books and Publishers, 1994), p.14-15)) Sakramen Ekaristi tidak secara langsung menghapuskan dosa-dosa berat ini, namun Ekaristi secara tidak langsung menyumbangkan pengampunan atas dosa-dosa tersebut. ((Lih. Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, p. 77.)) Selanjutnya melalui Ekaristi, Tuhan memberikan rahmat pada kita agar kita sungguh-sungguh bertobat, ‘membenci’ dosa kita, dan hidup dalam pertobatan yang terus-menerus, sebab Dia membantu kita untuk melepaskan diri dari keterikatan yang tidak sehat kepada dunia, yang menurut Santo Franciskus de Sales adalah ‘segala kecenderungan untuk berbuat dosa’. Di dalam Ekaristi, kita ‘melihat’ penderitaan Kristus, sebagai akibat dari dosa-dosa kita, sehingga kita terdorong untuk menghindari dosa tersebut. Dengan pertobatan ini, selanjutnya kita dapat bertumbuh dengan berakar pada Kristus (lih. KGK 1394).

Ekaristi adalah Sakramen Kasih yang mempersatukan

Di atas segalanya, Ekaristi adalah sakramen Kasih. Ekaristi adalah tanda Kasih, yang disebut oleh Gereja sebagai agape, atau pax (damai). Ekaristi adalah pernyataan kasih Tuhan yang tak terbatas dan yang mengakibatkan dua jenis persatuan, yaitu persatuan dengan Tuhan melalui Kristus dan persatuan dengan sesama di dalam Kristus. Akibat dari persatuan ini adalah kasih yang tulus, yang menurut Santo Thomas adalah persahabatan antara manusia dengan Allah berdasarkan dengan kasih dan komunikasi dua arah, yang termasuk pemberian karunia kebahagiaan Tuhan kepada kita. ((Cf. St Thomas Aquinas, Summa Theology II-II, Q.23,a.1. “…since there is a communication between man and God, inasmuch as He communicates His happiness to us, some kind of friendship must needs be based on this same communication, of which it is written (1 Cor 1:9): “God is faithful: by Whom you are called unto the fellowship of His Son.” The love which is based on this communication is charity: wherefore it is evident that charity is the friendship of man for God.)) Dengan demikian, kebahagiaan Allah menjadi kebahagiaan kita. Hal ini membuat kita dapat melakukan perbuatan baik dengan siap sedia dan hati gembira, karena keinginan dan pikiran kita menjadi seperti keinginan dan pikiran Allah.

Ekaristi mendorong kita mengasihi sesama

Jelaslah, kasih kepada Tuhan mendorong kita untuk mengasihi sesama. Kristus telah memberikan perintah untuk mengasihi sesama sebagai perintah utama dalam kehidupan Kristiani, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi ” (Yoh 13:34-35). Kasih di sini adalah kasih yang ‘memberikan diri’ (self-giving), terutama kepada yang miskin dan menderita, seperti yang diceritakan di dalam perumpamaan Orang Samaria yang baik hati. Di sini, orang yang miskin dan menderita, termasuk adalah mereka yang telah menyakiti hati kita dan mereka yang telah kita sakiti hatinya. Kasih mensyaratkan kita untuk melihat mereka sebagaimana Yesus melihat mereka, dan hanya rahmat Allah yang memungkinkan kita untuk melakukan hal ini. Jadi, Allah yang adalah Kasih, adalah sumber kekuatan bagi kita untuk mengasihi. Ekaristi sebagai sakramen kasih memberikan kepada kita rahmat pengudusan yang memampukan kita untuk bertindak sesuai dengan iman, pengharapan dan kasih; untuk memberikan hidup kita untuk mengasihi Tuhan dan sesama, karena kasih kita kepada Tuhan. ((Lih. 1Yoh 3:16; Yoh 15:13, Lumen Gentium 42, Dokumen Vtikan II, Konstitusi tentang Gereja.)) Jadi kesempurnaan kasih bukanlah semata-mata tergantung dari usaha manusia, tetapi adalah karunia yang diberikan dari Allah. ((Lih. Jordan Aumann, Christian Spirituality in the Catholic Tradition, p. 16))

Ekaristi membawa perubahan

Akibat dari rahmat Ekaristi adalah ‘perubahan‘. Yesus bukan hanya mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan DarahNya, tetapi Dia melakukan sesuatu yang lebih dashyat lagi: Ia mengubah kita seutuhnya di dalam Dia dan mengisi kita dengan Roh Kudus yang sama yang membuat-Nya hidup. Dia mengubah keinginan kita untuk berbuat dosa menjadi keinginan untuk mengasihi. Dia mengubah kita, yang mempunyai keinginan hidup sendiri-sendiri menjadi keinginan untuk hidup dalam kebersamaan dalam damai. Sungguh, dengan menerima Ekaristi kita menjadi semakin dekat bersatu dengan Kristus (lih. KGK 1396), sehingga kita dapat terus menerus bertanya pada diri sendiri, “Apa yang akan dilakukan oleh Yesus, jika Ia ada di tempatku?” ((Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, p. 102)) Sikap ini akan membawa kita kepada jalan kekudusan, sebab kita terdorong untuk selalu mencari kehendak Tuhan di dalam segala sesuatu dan menyesuaikan diri kita dengan gambaran-Nya. Kita akan berusaha sedapat mungkin untuk mempergunakan segala kemampuan kita untuk memuliakan Tuhan dengan menyediakan diri bagi pelayanan kepada Tuhan dan sesama. ((Lih. Lumen Gentium 40)) Ekaristi mengubah kita ‘dari dalam’ sehingga kita dapat bertumbuh dalam kesempurnaan kasih yang menjadi kesempurnaan hidup rohani. Kepenuhan dan kebahagiaan hidup yang dicita-citakan oleh spiritualitas dicapai melalui pemberian diri kita di dalam Ekaristi, yaitu saat kita, bersama Yesus dan oleh kuasa Roh Kudus, mempersembahkan diri kita kepada Allah Bapa dan mengambil bagian dalam persatuan dengan kehidupan Allah Tritunggal Mahakudus. Di dalam Tuhan inilah kita dikuduskan.

Buah dari penerimaan Ekaristi tergantung dari sikap kita

Sungguh luas dan dalamlah makna Ekaristi dalam kehidupan rohani kita. Namun, buah dari penerimaan Ekaristi ini tergantung dari sikap kita. Semakin murni hati kita, semakin berlimpahlah rahmat yang kita terima. Sebab rahmat Tuhan yang berlimpah diberikan kepada kita di dalam Ekaristi, yang memberikan buah- buahnya yaitu: memperkuat persatuan kita dengan Allah (KGK 1391, 1396), meningkatkan dan memperbaharui rahmat Baptisan kita (KGK 1392), memisahkan kita dari dosa (KGK 1393-1395), mempersatukan kita sebagai tubuh Mistik Kristus (KGK 1396-1398). Oleh karena itu, kita harus menerima Ekaristi di dalam keadaan berdamai dengan Allah (tidak sedang dalam dosa berat) dan di dalam iman. Di dalam liturgi Ekaristi, pikiran kita harus bersatu dengan perkataan doa kita, dan kita harus bekerja sama dengan rahmat itu; jika tidak, kita menerimanya dengan sia-sia (lih. 2 Kor 6:1, KGK 1394)

Kita harus memiliki pikiran dan hati seperti Bunda Maria, yang mengambil bagian secara penuh di dalam Misteri Paska Kristus, dengan jawaban ‘YA’ yang total kepada Tuhan. Ia mempersembahkan dirinya seutuhnya kepada Allah- sambil menanggung penderitaan sebagai ibu, yang mencapai puncaknya pada saat ia melihat kesengsaraan dan kematian Anaknya di hadapan matanya sendiri, atas tuduhan dosa yang tidak pernah diperbuat oleh-Nya. Oleh karena itu, Bunda Maria menjadi teladan dalam hal iman, kasih dan persatuan yang sempurna dengan Kristus. ((Lih. Redemptoris Mater, (Surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Bunda Penyelamat), 42)) Dengan menyerahkan segala kehendak bebasnya kepada Allah, Bunda Maria memberikan contoh kepada kita untuk bekerjasama dengan Allah.

Kesimpulan

Ekaristi adalah, “sakramen kasih, tanda kesatuan, dan ikatan kasih”, sebuah Perjamuan Paska di mana Kristus dikurbankan, untuk mengisi kita dengan rahmat yang menghantar kita kepada kehidupan kekal. ((Lih. Sacrosanctum Concilium, 57)) Sebagai sakramen kasih, Ekaristi menjadi sumber kekuatan bagi kita untuk mencapai kesempurnaan kasih yaitu kekudusan. Sebagai tanda kesatuan, Ekaristi menandai persatuan antara Tuhan dengan semua orang beriman (Gereja), dan melalui Gereja, dengan seluruh dunia. Sebagai ikatan kasih, Ekaristi mengarah pada persekutuan dengan Tuhan dan sesama. Sebagai Perjamuan Paska, Ekaristi menggambarkan tujuan akhir kita di surga. Sungguh, Ekaristi menjadi ‘Surga di Dunia’. Oleh karena itu, Ekaristi menjadi sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani.

Kita harus bersatu dengan Kritus di dalam Ekaristi, jika kita ingin bertumbuh di dalam kekudusan untuk menjadi semakin serupa dengan Dia; sebab Ia adalah sumber kekudusan dan guru kesempurnaan. “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya,” kata Yesus, “dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku” (Yoh 15:5,8). Kita harus tinggal di dalam Kristus dan Gereja-Nya, yaitu Tubuh-Nya, supaya kita dapat berbuah, yaitu kekudusan di dalam kesempurnaan kasih, untuk memuliakan Tuhan.

Jadi, kekudusan tidak tergantung dari usaha kita semata-mata, tetapi adalah pemberian Tuhan. Di dalam Ekaristi, Tuhan memberikan kasih dan rahmat pengudusan-Nya kepada kita, yaitu pada saat kita berpartisipasi dengan aktif di dalamnya, dengan mengakui bahwa Ia adalah Tuhan, dan kita membiarkan Ia mengasihi kita dan memberikan rahmat-Nya kepada kita sesuai dengan cara yang dikehendaki-Nya. Sebaliknya, kitapun memberikan segenap diri kita kepada Tuhan. Rahmat pengudusan Tuhan akan mengubah kita menjadi orang yang paling berbahagia, karena dapat memberikan diri kita kepada Tuhan dan sesama. Kita yang lemah dan berdosa dapat diubah Tuhan menjadi kudus, dan dimampukan oleh-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan kasih yang di luar batas pemikiran manusia. Dan di sinilah kemuliaan Tuhan dinyatakan!

71 COMMENTS

  1. Dear Katolisitas.org ada orang yg mengatakan bahwa missa penyembuhan dilarang oleh Vatikan (http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_doc_20001123_istruzione_en.html)

    Khususnya dalam pasal berikut ini (dalam norma disiplin tersebut):
    Art. 7 – § 1. Without prejudice to what is established above in art. 3 or to the celebrations for the sick provided in the Church’s liturgical books, prayers for healing – whether liturgical or non-liturgical – must not be introduced into the celebration of the Holy Mass, the sacraments, or the Liturgy of the Hours.

    Benarkah begitu? Mohon jawabannya. Saya biasa nanya di web Katolisitas.org tapi nunggu jawabannya super-lama. Sekarang saya mencoba nanya di Facebook aja, barangkali bisa dapet jawaban cepat.

    Thanks
    GBU

    • Salam Kilbenni,

      memang demikian. Sering instruksi ini kurang mendapat perhatian dari para pelayan patoral dan liturgi. Perlu kita ingat bahwa setiap Perayaan Ekaristi (Misa) adalah perayaan di mana di dalamnya Allah sendiri hadir dan menganugerahkan daya kekuatan yang menyembuhkan (menyelamatkan) kita secara rohani dan jasmani, dan karenanya kita bersyukur kepada Allah yang mahabaik. Dengan menyebut Misa tertentu sebagai “Misa penyembuhan” maka bisa saja kita berpikir bahwa ada Misa penyembuhan dan ada pula Misa biasa yang tidak menyembuhkan. Bila ada ujud khusus untuk memohon penyembuhan, bisa dirumuskan sebagai ujud Misa atau disampaikan dalam doa umat. Bila ada doa khusus untuk penyembuhan yang biasanya disertai penumpangan tangan atas orang yang didoakan, hendaknya kegiatan seperti ini (doa penyembuhan) dibuat di luar perayaaan Ekaristi (liturgi).

      Doa dan Gbu,
      Rm Boli

      • Terima kasih Romo.

        Berarti gawat banget, banyak sekali missa penyembuhan di dunia ini, contoh: di Filipina dan di Lembah Karmel. Mohon laporkan mereka ke Paus aja, Romo Boli. Karena para Romo karismatik itu entah bodoh atau membangkang, saya gak tau apa motivasi mereka.

        Thanks. GBU

        [Dari Katolisitas: Perhatian Anda tentu juga sudah menjadi perhatian para imam dan Uskup. Penyelenggaraan liturgi yang benar dan penggunaan/ pemahaman istilah-istilah sebagaimana yang seharusnya menjadi perhatian kita semua. Jika ada yang belum sesuai maka silakan diberitahukan kepada yang bersangkutan dengan motivasi kasih. Sepanjang pengetahuan saya dalam beberapa kesempatan, yang dulunya sering disebut Misa Penyembuhan, kini diganti menjadi KRK Penyembuhan (tanpa Misa Kudus). Atau diadakan Misa biasa, baru kemudian sesudahnya ada doa-doa untuk intensi mohon penyembuhan. Jika ini yang terjadi, maka tidak ada masalah.]

  2. Shalom Katolisitas.
    Saya bertanya beberapa hal tentang pelaksaan TPE yang dilakukan seorang Romo yang menjadi pertanyaan beberapa umat sbb.
    1. Ada Misa penyembuhan yang dilakukan oleh seorang Romo dan dilaksanakan dalam gereja, kejadiannya seperti ini. Pada saat pemberian Komini, seperti biasa umat antri sesuai dengan deretan bangkunya. Setelah menerima komini umat tidak langsung kembali ketempat duduknya tapi berdiri berderet di depan altar dan kemudian Romo menumpangkan tangan kepada umat. Sementara Romo menumpangkan tangan pemberian komini kepada umat yang duduk di deretan bangku berikutnya berhenti umat menunggu selesainya penumpangan tangan oleh Romo. Jadi setiap satu deret, ada jeda dalam proses pemberian komini. Kemudian Misa dilanjutkan seperti biasa sampai berkat penutup.
    2. Misa penyembuhan itu dilaksanakan di gereja tapi kolekte tidak seluruhnya diserahkan kepada Paroki tetapi hanya sebagian, sisanya dikelola sendiri oleh kelompok penyembuhan itu sehingga kesannya pemberian sebagian dari kolekte kepada paroki seakan-akan sebagai uang sewa penggunaan gereja.
    Hal ini menjadi perdebatan di antara umat dan Romo Paroki tahu hal ini.
    Mohon jawaban atas dua pertanyaan tersebut agar dapat dipergunakan untuk mengakhiri polemik di antara umat. Trimakasih Tuhan memberkati.

    • Salam Frans,

      1. Hendaknya kegiatan pembagian komuni tidak dihambat oleh kegiatan lain (seperti penumpangan tangan dan doa untuk penyembuhan). Sebaiknya penumpangan tangan dan doa penyembuhan itu dilaksanakan sesudah perayaan Ekaristi sehingga tidak memaksa seluruh umat untuk tunggu lama dalam Gereja, karena tidak semua orang membutuhkan penumpangan tangan dan doa penyembuhan itu.
      2. Tentang kolekte haruslah dibicarakan baik-baik dengan paroki, supaya tidak ada kesan bahwa kelompok khusus menyelenggarakan misa khusus untuk mencari dana bagi kegiatan kelompok melalui pengumpulan kolekte. Kolekte terutama diberi untuk orang-orang miskin, yang berkekurangan. Dana untuk kegiatan kelompok khusus bisa dicari dengan cara lain di luar kegiatan liturgis.

      Salam dan doa. Gbu.
      Rm Boli.

  3. shalom tim katolisitas,,saya mau bertanya apakah dengan mengikuti perayaan ekaristi, dosa2 kita juga hihapuskan?mengingat ini adalah kenangan juga akan karya penebusan dosa oleh Yesus…kalau dihapuskan,apakah dosa berat juga dihapuskan?saya rindu untuk menyambut tubuh Tuhan tapi dilarang karena pernah mendengar ajaran bahwa orang yang berdosa berat tidak boleh menyambut komuni..kenapa sakramen rekonsiliasi tidak bisa diterimakan sesering sakramen ekaristi?

    • Shalom Rudolf,

      Yang dihapus dalam perayaan Ekaristi adalah dosa-dosa ringan, sedangkan dosa-dosa berat tetap harus diakui dalam Sakramen Pengakuan Dosa. Ketentuan di Katekismus adalah sebagai berikut

      KGK 1394    Seperti halnya makanan jasmani perlu untuk mengembalikan lagi kekuatan yang sudah terpakai, demikianlah Ekaristi memperkuat cinta yang terancam menjadi lumpuh dalam kehidupan sehari-hari. Cinta yang dihidupkan kembali ini menghapus dosa ringan (Bdk. Konsili Trente: DS 1638). Kalau Kristus menyerahkan Diri kepada kita, Ia menghidupkan cinta kita dan memberi kita kekuatan, supaya memutuskan hubungan dengan kecenderungan yang tidak teratur kepada makhluk-makhluk dan membuat kita berakar di dalam Dia.
      “Karena Kristus telah wafat untuk kita karena cinta, maka setiap kali kita merayakan peringatan akan kematian-Nya, kita mohon pada saat persembahan, agar cinta itu diberi kepada kita oleh kedatangan Roh Kudus. Kita mohon dengan rendah hati, supaya berkat cinta, yang dengannya Kristus rela wafat untuk kita, kita pun setelah menerima rahmat Roh Kudus, memandang dunia sebagai disalibkan untuk kita dan kita sebagai disalibkan untuk dunia…. Marilah kita, karena kita telah menerima cinta itu secara cuma-cuma, mati untuk dosa dan hidup untuk Allah” (Fulgensius dari Ruspe, Fab. 28,16-19).

      KGK 1395    Oleh cinta yang disulut Ekaristi di dalam kita, ia menjauhkan kita dari dosa berat pada masa mendatang. Semakin kita ambil bagian dalam hidup Kristus dan semakin kita bergerak maju dalam persahabatan dengan-Nya, semakin kurang pula bahaya bahwa kita memisahkan diri dari-Nya oleh dosa besar. Tetapi bukan Ekaristi, melainkan Sakramen pengampunan ditetapkan untuk mengampuni dosa berat. Ekaristi adalah Sakramen bagi mereka, yang hidup dalam persekutuan penuh dengan Gereja.

      Maka, jika Anda tahu dan sadar bahwa Anda telah melakukan dosa berat dan mau bertobat, silakan Anda mengaku dosa dalam Sakramen Pengakuan Dosa terlebih dahulu, lalu sesudah itu Anda dapat menyambut Ekaristi. Sakramen Pengakuan dapat diterimakan setiap hari, jika diinginkan demikian, sebagaimana konon dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II semasa hidupnya. Tetapi tentu bukan untuk mengakukan kesalahan yang sama setiap hari, yang artinya orang tersebut belum sungguh- sungguh bertobat ataupun menjalankan penitensinya. Umumnya dianjurkan bagi seseorang yang ingin bertumbuh secara spiritual untuk menerima sakramen Tobat selama 2 minggu sampai sebulan sekali.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  4. Dear Katolisitas,
    Saya mau bertanya mengenai mujijat Ekaristi. Saya membaca kumpulan mukjijat Ekaristi yang diterbitkan oleh Marian Centre selain itu sy juga mendownload video2 tentang mujijat Ekaristi seperti di Korea Julia Kim kemudian juga di India . Apakah semua peristiwa ini diakui sah oleh Vatican ? Seperti yang sy baca untuk Julia Kim, Blessed John Paul II ikut menjadi saksi perubahan ini.
    Terima Kasih

    [Dari Katolisitas: Tentang mukjizat Ekaristi yang pernah terjadi di seluruh dunia, sebagaimana terangkum dalam brosur the Vatican International Exhibition, silakan klik di sini. Di sana tidak tercantum mukjizat di Naju, Korea. Tentang fenomena Julia Kim, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Paus Yohanes Paulus II memang pernah menjadi saksi perubahan rupa hosti yang diterima Julia Kim, namun beliau tidak mengatakan apapun maupun menyatakan fenomena tersebut sebagai mukjizat yang otentik].

  5. selamat siang, saya mau tanya, saya sedang berencana mengikuti beasiswa ke luar negeri dan itu merupakan impian saya. Namun di negeri tersebut saya tidak tahu di mana letak gereja Katolik dan belum tentu ada gereja Katolik di wilayah yang saya datangi. Oleh karena itu, saya tidak dapat mengikuti perayaan Ekaristi dan menerima komuni, apakah yang harus saya lakukan? Apakah lebih baik membatalkan kepergian tersebut dengan mengorbankan impian saya? Ini merupakan hal yang cukup menimbulkan pertentangan di pikiran saya

    • Shalom Evelyn,
      Yang pertama harus anda lakukan adalah benar-benar mencari tahu apakah benar-benar tidak ada Gereja Katolik di tempat anda nantinya belajar, sebelum memutuskan apapun. Mungkin saja orang yang anda tanyai bukan beragama Katolik, sehingga tidak mengetahui letak Gereja Katolik. Kalau anda mau share, silakan memberi tahu daerah dan negara tersebut, sehingga mungkin ada pembaca Katolisitas yang mengetahui letak Gereja Katolik. Mungkin saja ada, hanya dibutuhkan waktu untuk mencapainya. Jadi, sebelum berfikir untuk membatalkan, silakan mencari tahu terlebih dahulu tentang keberadaan Gereja Katolik tersebut. Dan penting dipertimbangkan bahwa Ekaristi adalah sumber kekuatan kita untuk terus bertumbuh dalam kehidupan spiritual.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  6. Saya mau tanya bolehkah kita menerima Hosti 2 kali dalam sehari ?
    Jika boleh, Misanya berbeda atau tidak…? thanks

    [dari Katolisitas: silakan menyimak jawaban yang sudah pernah diberikan untuk pertanyaan yang sama dengan pertanyaan Anda, tepatnya di point kedua, klik di sini, dan jika ada yang masih belum jelas silakan bertanya lagi]

  7. Syaloom Pengurus Katolisitas

    Saya memang merasa ada yang beda di perayaan Ekaristi di Katolik. Pertama saya kira itu acara “simbol” yang dirangkai begitu agung di gereja Katolik.

    Dan setelah saya membaca kalau Ekaristi adalah sungguh daging dan darah Kristus dan Yesus Kristus sendiri yang berkata di Yoh 6 dan ketika perjamuan terakhir.

    Sejak saat itu saya sangat ingin Ekaristi. Tapi makin hari kerinduan itu berubah jadi keragu2an dan sungguh bukan kerinduan dengan kerendahan hati. Saya merasakan hal itu dan saya takut saya tidak menghina Tubuh dan Darah Kristus karena keragu2an saya dan kesombongan saya.

    Saya pun berpikir kalau saya makan Tubuh dan Darah Kristus maka akan terjadi perubahan dalam kerohanian saya dan sifat2 sombong akan hilang. Tapi selalu ada keraguan yang mengatakan belum tentu begitu.

    Pertanyaan saya:
    1. Apakah Ekaristi yang asli hanya utk orang-orang yg benar-benar percaya itu sudah bukan roti lagi tapi Daging Yesus. Atau pada semua orang?
    2. Apakah dengan memakan Ekaristi itu akan mengubah seseorang? Nyatanya ada orang-orang Katolik yg sudah makan tapi masih “bejad”.

    • Shalom Leonard

      1. Ya, roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus melalui konsekrasi yang diucapkan oleh imam yang ditahbiskan secara sah. Artinya ada dua hal yang menjadikan perubahan (yang disebut sebagai transubstansiasi) itu: 1) perkataan konsekrasi yang diambil dari perkataan Yesus; 2) jalur apostolik yang menjadikan sah-nya tahbisan imam yang mempersembahkan perayaan Ekaristi. Oleh karena itu, di dalam perayaan Ekaristi, setelah konsekrasi diucapkan oleh imam yang sah tahbisannya, maka substansi/ hakekat roti dan anggur itu bukan lagi roti dan anggur tetapi menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Jadi, Ekaristi yang dibagikan kepada orang- orang yang menyambutnya adalah Tubuh dan Darah Kristus. Dengan demikian, Transubstansiasi tidak tergantung dari iman imamnya atau iman orang yang menerimanya, tetapi oleh perkataan konsekrasi dan ke-sahan tahbisan imamnya. Oleh karena itu jika umat menyambut Komuni tidak dengan disposisi batin yang baik ataupun tidak mengimaninya, maka ia berdosa terhadap Tubuh dan Darah Tuhan (lih. 1 Kor 11:28-30).

      2. Ya, Ekaristi dapat mengubah seseorang, namun efek perubahan ini mensyaratkan disposisi/ sikap batin yang baik dari orang yang menyambutnya. Sebab dikatakan dalam Konsili Vatikan II tentang Liturgi suci, demikian:

      “Akan tetapi supaya hasil guna itu diperoleh sepenuhnya, Umat beriman perlu datang menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaklah mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta bekerja sama dengan rahmat surgawi, supaya mereka jangan sia-sia saja menerimanya (2 Kor 6:1).” (Sacrosanctum Concilium, 11)

      Maka efek yang dapat kita terima dari menyambut sakramen Ekaristi sebanding dengan bagaimana sikap batin kita saat menyambutnya. Pada orang- orang yang kurang menghayatinya dengan sungguh, efeknya tidak sebesar seperti pada orang- orang yang sungguh- sungguh menghayatinya. Maka pada orang-orang yang menurut anda masih ‘bejad’ mungkin efeknya tidak secara langsung terlihat, tetapi dapat terjadi, rahmat yang diterimanya itu suatu saat akan membawa mereka untuk mengalami pertobatan yang sejati.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Syalom Bu Ingrid,

        Terima kasih atas jawabannya. Kemarin saya dijelaskan oleh Katekis saya tentang Ekaristi. Pada saat Doa Syukur Agung terjadi konsekrasi. Sama seperti yang saya baca di Katolisitas.org

        Nah yang jadi penasaran saya adalah:

        Waktu itu saya malam2 doa di Gereja dan ngeliat lampu yg di Tabernakel padam, saya panik trus kabarin ke satpam dan orang gereja yg saya kenal, karena setahu saya itu menandakan Kemuliaan Allah. Jadi ngga boleh padam. Tp mereka bilang udah habis stock lampunya dan sudah malam jadi besok pagi saja.. Apakah roti yang di Tabernakel masih Tubuh dan Darah Kristus? Soalnya setiap Perayaan Ekaristi di “ubah” lagi jadi Tubuh dan Darah Kristus dan reaksi mereka tenang2 saja tuh pas lampunya padam. Ga tau deh apa saya yang ga ngerti. Mohon penjelasannya

        • Shalom Leonard,

          Berubahnya roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus itu adalah karena perkataan konsekrasi yang diucapkan oleh imam yang tahbisannya sah, seperti sudah dipaparkan di atas. Nah, di dalam tabernakel tersimpanlah roti yang sudah dikonsekrasikan itu, yang telah menjadi Tubuh Kristus itu sendiri, oleh sebab itu dikatakan bahwa di dalam setiap Gereja Katolik, Tuhan Yesus sungguh- sungguh hadir, karena Ia berkenan bersemayam di dalam tabernakel yang ada di setiap gedung gereja Katolik. Sebagai tanda dari kehadiran ini, dipasang lampu tabernakel yang senantiasa menyala. Maka lampu itu fungsinya adalah sebagai tanda, tetapi bukan sebagai penyebab berubahnya roti menjadi Tubuh Kristus; sebab perubahan (disebut Transubstansiasi) itu hanya terjadi oleh karena konsekrasi yang dilakukan oleh imam yang tertahbis dengan sah. Sedangkan setelah substansi roti itu diubah menjadi Tubuh Kristus, maka Kristus tetap hadir selama substansi roti itu ada (jadi tidak berubah menjadi roti biasa lagi setelah Misa selesai). Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

          KGK 1377    Kehadiran Kristus dalam Ekaristi mulai dari saat konsekrasi dan berlangsung selama rupa Ekaristi ada. Di dalam setiap rupa dan di dalam setiap bagiannya tercakup seluruh Kristus, sehingga pemecahan roti tidak membagi Kristus (Bdk. Konsili Trente: DS 1641).

          Itulah sebabnya, meskipun Misa sudah selesai, jika kita masuk ke dalam setiap gereja Katolik, kita tetap memberikan penghormatan/ sikap hormat ke arah tabernakel, karena Kristus hadir secara istimewa di sana, dalam rupa roti. Kehadiran ini ditandai dengan nyalanya lampu tabernakel.

          Maka, jika lampu tabernakel itu padam, memang idealnya langsung diganti, namun jika tidak bisa, misalnya karena persediaan lampu habis, atau alasan lainnya, itu tidak mengubah kenyataan bahwa Kristus tetap hadir di dalam tabernakel. Pengalaman ini dapat dijadikan pelajaran agar sebaiknya pihak koster/ pastoran mempunyai persediaan lampu yang cukup, sehingga jika lampu mati, dapat langsung diganti.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

           

  8. Saya ingin menanyakan:

    Terima banyak kasih bagi saudara saudari pengurus website ini, saya banyak belajar dari nya, sekali lagi terima kasih banyak.
    pertanyaan?
    Mengapa saat misa kita menggunakan Credo yang singkat ( apostle creed), dan bukan Nicene Creed? kenapa misa di singapura, Australia menggunakan Nicene Creed? saya pernah ikut misa di perwakilan Vatikan mereka juga menggunakan Nicene Creed? Bukankah harusnya Katolik dimana-mana sama–universal?
    Terima kasih atas penjelasannya.
    Tuhan Beserta kita selalu.

    • Noratus yth,

      Credo Apostolorum (Syahadat Para Rasul) dipakai juga karena rumusan iman yang singkat padat itu diyakini berasal dari para Rasul, dimuat juga dalam Buku Misa 2002 (bhs Latin) dan diterjemahkan dan dimasukkan dalam buku Tata Perayaan Ekaristi (2005) karena terjemahnnya sudah diperiksa dan disetujui oleh Pimpinan Gereja tertinggi (dapat rekonyisi). Persetujuan itu menjadi bukti bahwa terjemahannya benar dan tidak mengandung ajaran sesat.

      Salam dan doa. Gbu.
      Pst. B.Boli SVD.

  9. Bagaimana menurut Romo apakah Misa Kring yg dilaksanakan pada hari sabtu ?
    Di Paroki saya, kalau sdh misa kring pada sabtu malam, beberapa umat lalu paginya “Tidak Perlu” lagi misa pada Minggu Pagi, (kan kemarin sudah,…. katanya)
    Padahal Misa itu tdk memakai bacaan Minggu…..
    Trimakasih. Tuhan memberkati

    • Zenny katekis Paroki yang baik,

      Menurut saya misa kring setiap Sabtu tidak menggantikan perayaan hari Minggu jadi umat harus hadir lagi dalam misa hari Minggu. Lebih bijak kalau perayaan di lingkungan tidak dilakukan pada hari Sabtu atau Minggu karena pastor akan misa di Paroki. Kegiatan lingkungan bisa di hari lain atau kalau tidak bisa tetap hari Sabtu, tetapi tidak merayakan Ekaristi kecuali ada duka kematian umat.

      salam
      Rm Wanta

  10. Romo Wanta yang terkasih,
    Menurut TPE yg baru, kalau kita menerima berkat pengutusan itu, Berlutut atau Berdiri ?
    Di Keuskupan Denpasar menurut saya masih belum seragam, ada yg pastor mengajak berdiri ada yg mengajak berlutut, Pasti para pastor punya alasan masing-masing.
    Namun alangkah indahnya kalau buku yg namanya TPE itu dilaksanakan secara seragam
    Trimakasih. Tuhan memberkati

    • Zenny katekis di Paroki Negara yang baik,

      Seturut rubrik dalam TPE yang telah diaprobasi para Uskup Indonesia berkat penutup umat hendaknya dapat berlutut/berdiri. Setuju kalau umat diajari dan mulai dari para rama pemimpin ibadat/perayaan umat mengajarinya. Jadi keduanya bisa digunakan tergantung bagaimana liturgi ditata di paroki tersebut. Tentang keseragaman tata gerak (gestikulasi) memiliki arti yang berbeda di beberapa tempat. Dalam lingkup Gereja Katolik Indonesia sebaiknya mengikuti apa yang telah ditetapkan di TPE yang sudah di aprobasi tapi masih akan diperbaiki lagi karena Roma meminta beberapa hal koreksi.

      salam berkat Tuhan
      Rm Wanta

  11. Yth. Ibu Inggrid,

    Saya mohon informasi tentang perbedaan istilah “MISA” dan “PERAYAAN EKARISTI” ? mana yang benar ? juga arti masing-masing. Atau juga kapan kita menggunakan nya istilah Misa atau Perayaan Ekaristi.
    Terima kasih atas perhatian Ibu. Tuhan memberkati.

    Salam,

    J. Suryono

    • Shalom Jonathan Suryono,

      Terima kasih atas pertanyaannya tentang Ekaristi. Misa (KGK, 1332) dan Ekaristi (KGK, 1328) adalah dua hal yang sama untuk menekankan aspek yang berbeda. Nama Ekaristi adalah untuk menekankan ucapan syukur atau terima kasih kepada Allah dan nama Misa adalah untuk menekankan pengutusan setelah umat dikuatkan dengan Tubuh Kristus. Kita dapat merujuk kepada Katekismus Gereja Katolik (KGK, 1328-1333) sebagai berikut:

      1328. Kekayaan isi Sakramen ini menyata dalam aneka ragam nama. Tiap-tiapnya menunjuk kepada aspek tertentu. Orang menamakannya: Ekaristi, karena ia adalah ucapan terima kasih kepada Allah. Kata-kata "eucharistein" Bdk Luk 22:19; 1 Kor 11:24. dan "eulogein" Bdk. Mat 26:26; Mrk 14:22. mengingatkan pujian bangsa Yahudi, yang – terutama waktu makan – memuliakan karya Allah: penciptaan, penebusan, dan pengudusan.

      1329. Perjamuan Tuhan Bdk. 1 Kor 11:20., karena ia menyangkut perjamuan malam, yang Tuhan adakan bersama murid-murid-Nya pada malam sebelum sengsara-Nya. Tetapi ia juga menyangkut antisipasi perjamuan pernikahan Anak Domba Bdk. Why 19:9. dalam Yerusalem surgawi.Pemecahan roti, karena ritus yang khas pada perjamuan Yahudi ini, dipergunakan oleh Yesus: pada waktu makan – sebagai kepala persekutuan – Ia memberkati roti dan membagi-bagikan-Nya Bdk. Mat 14:19; 15:36; Mrk 8:6.19.; Ia melakukan ini terutama dalam perjamuan malam terakhir Bdk. Mat 26:26; 1 Kor 11:24.. Dari tindakan ini para murid mengenal-Nya kembali sesudah kebangkitan Bdk. Luk 24:13-35.. Dengan istilah "memecahkan roti" orang Kristen pertama menggambarkan perkumpulan Ekaristi mereka Bdk. Kis 2:42.46; 20:7.11.. Dengan itu, mereka hendak menyatakan bahwa semua orang yang makan satu roti yang dipecahkan – dari Kristus itu – masuk ke dalam persekutuan-Nya dan membentuk di dalam-Nya satu tubuh Bdk. 1 Kor 10:16-17..Perhimpunan Ekaristi (synaxis), karena Ekaristi dirayakan dalam perhimpunan umat beriman, di mana Gereja dinyatakan secara kelihatn Bdk. 1 Kor 11:17-34.

      1330. Kenangan akan kesengsaraan dan kebangkitan Tuhan. Kurban kudus, karena ia menghadirkan kurban tunggal Kristus, Penebus dan mencakup pula penyerahan diri Gereja. Atau juga kurban misa kudus, "Kurban Syukur" (Ibr 13:15) Bdk. Mzm 116:13.17., persembahan rohani Bdk. 1 Ptr 2:5., kurban murni Bdk. Mal 1:11. dan kudus, karena ia menyempumakan dan melebihi segala kurban Perjanjian Lama. Liturgi kudus dan ilahi, karena seluruh liturgi Gereja berpusat dalam perayaan Sakramen ini dan paling jelas terungkap di dalamnya. Dalam arti yang sama orang juga menamakannya perayaan misteri kudus. Juga orang mengatakan Sakramen mahakudus, karena Ekaristi adalah Sakramen segala Sakramen. Disimpan dalam rupa Ekaristi di dalam tabernakel, orang menamakan tubuh Kristus itu Yang Maha Kudus.

      1331. Komuni, karena didalam Sakramen ini kita menyatukan diri dengan Kristus yang mengundang kita mengambil bagian dalam tubuh dan darah-Nya, supaya kita membentuk satu tubuh Bdk. 1 Kor 10:16-17.. Orang juga menamakan Ekaristi hal-hal kudus [ta hagia; sancta] (const. ap. 8,13,12; Didache 9,5; 10,6) – ini sejajar dengan arti pertama ungkapan "persekutuan para kudus" dalam syahadat apostolik. Nama-nama yang lain adalah: roti malaikat, roti surgawi, "obat kebakaan" (Ignasius dari Antiokia, Eph. 20,2) dan bekal perjalanan.

      1332. Misa kudus, karena liturgi, dimana misteri keselamatan dirayakan, berakhir dengan pengutusan umat beriman [missio], supaya mereka melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupannya sehari-hari.

      Semoga jawaban ini dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

      • Shalom Pak Stef,

        Terima kasih sekali atas penjelasan. Karena saya pernah mendengar dari Pewarta kalau Misa adalah salah satu bagian dari Perayaan Ekaristi. Misa dari terjemahan bahasa Inggris “Mass”, dan menjadi salah kaprah di Indonesia. Maka kita diharapkan lebih baik menyebutkan tidak “ke Gereja” atau “ke Misa” tapi “ke Perayaan Ekaristi”.
        Mohon pencerahan dari Pak Stef.

        Tuhan memberkati Pak Stef dan Ibu Inggrid atas segala karya di ladang Tuhan.

        Salam,

        Jonathan Suryono

        • Shalom Jonathan,

          Terima kasih atas komentarnya. Apa yang dikatakan oleh pewarta tersebut (kalau memang dia mengatakan bahwa Misa adalah salah satu bagian dari Perayaan Ekaristi) adalah tidak benar, seperti yang telah dipaparkan dalam Katekismus Gereja Katolik, KGK 1332. Bahwa kita ke gereja memang tidak selalu sama dengan Misa atau Ekaristi, karena kita dapat juga ke gereja untuk doa adorasi, doa pribadi, dll. Namun kata Misa mempunyai makna yang identik dengan Ekaristi. Semoga hal ini dapat membantu.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          stef – katolisitas.org

  12. Shalom Katolisitas,
    Saya ingin mohon bantuan Katolisitas utk beberapa hal mengenai Ekaristi yang kurang saya pahami. Sehubungan dengan pertemuan lingkungan Pendalaman Iman yang sudah dicanangkan dari KAJ untuk bulan2 kosong ini, salah satu temanya adalah ttg Ekaristi. Saya kebetulan dipercayakan utk membawakan tema ini di lingkungan saya. Karena ini menyangkut tanggung jawab saya kepada Tuhan dan juga umat, saya ingin sekali memberikan pengetahuan dan informasi yg benar kepada umat. Oleh karena itu saya mohon bantuan Katolisitas untuk beberapa pertanyaan saya ini.
    Berikut adalah pertanyaan saya sehubungan dengan Ekarisiti:

    1. Pada ayat 23 (Kor 11:23) dikatakan:
    Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya;
    Yang ingin saya tanyakan adl: mengapa Paulus mengatakan bahwa “hal itu” dia terima dari Tuhan? Bukankah Paulus belum menjadi pengikut Kristus pada waktu itu, apalagi Paulus juga tidak ikut perjamuan terakhir. Bisa tolong dijelaskan?

    2. Apakah orang yang sudah/pernah meninggalkan iman Katolik secara sementara diperkenankan menerima Komuni Kudus? Misalnya ada orang sudah dibaptis secara Katolik, namun kemudian dia menyebrang ke gereja Protestan selama 1 tahun dan kemudian ke gereja Katolik lagi. Atau ada yang ikut Budha atau Islam, kemudian kembali ke Gereja Katolik dan ingin menerima Komuni. Bagaimana ajaran Gereja mengenai hal ini? apakah diperbolehkan?
    kalau tidak boleh, mengapa?
    Kalau boleh, ada syarat2 apa saja yang harus dilakukan terlebih dahulu? (mis: pengakuan dosa)
    3. Ada situasi2 dimana, orang non-Katolik (dalam artian beragama lain, tidak sedang katekumen, tidak menunjukkan ketertarikan pada gereja katolik), yaitu orang2 yang sekedar ingin tahu ttg gereja Katolik ikut menerima Komuni padahal sudah dberitahukan lewat pengeras suara, maupun kanan-kirinya, bahwa tidak boleh menerima hosti kalau belum dibaptis secara Katolik. Dalam kasus ini orang2 ini tahu tidak boleh menerima karena belum dibaptis. Namun mereka menerima juga karena:
    a. ingin tahu
    b. ikut-ikutan (malu kalau tidak maju ke depan)
    c. sengaja (dalam artian buruk- sering kita mendengar umat agama lain menerima tubuh Kristus utk dibuang lagi pada akhir Misa.

    Bagaimana Gereja memandang hal ini utk ketiga alasan diatas (a,b,c).
    apakah mereka yang melakukan (a,b,c) menjadi berdosa? bagaimana sikap kita kepada orang2 spt itu?

    4. Untuk lagu Kemuliaan dan Salam Damai,
    saya perhatikan tidak setiap misa ada lagu ini, kadang2 ada misa dengan Salam Damai, ada juga yang langsung Anak Domba Allah. Mengapa begitu? Apakah ada waktu2 khusus untuk Salam Damai?
    Juga untuk lagu Kemuliaan, ada suatu masa lagu Kemuliaan tidak dinyanyikan maupun dibacakan sama sekali? Apakah saya Benar? Kalau tidak salah pada masa prapaskah saya menemukan hal ini. (tolong dikoreksi kl saya salah) Apakah ada waktu2 khusus juga untuk Kemuliaan? Pada saat kapan saja?
    5. Apa arti kata “profanisasi” dan “klerus”?

    Sekian pertanyaan dari saya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak untuk bantuannya
    Tuhan Memberkati
    Salam,
    Herlina. K

    • Shalom Herlina,

      Berikut ini jawaban pertanyaan anda seputar perayaan Ekaristi:

      1. Kita ketahui bahwa Rasul Paulus memang tidak hadir dalam Perjamuan Kudus yang diadakan Yesus sehari sebelum sengsara-Nya, sebab Paulus baru mengenal Kristus setelah Kristus bangkit dan naik ke surga. Namun kita juga mengetahui bahwa Tuhan Yesus memanggil Rasul Paulus secara khusus untuk menjadi rasul-Nya, pada jalan menuju Damsyik (lih Kis 9). Selanjutnya, Kitab Suci menuliskan bahwa memang Rasul Paulus menerima pengajaran Injil dari pernyataan Yesus Kristus sendiri. Hal ini dikatakan dalam Gal 1:11- 24, walaupun tidak dikatakan secara persis, bagaimana caranya, berapa kali atau kapan Tuhan Yesus menyatakan diri-Nya secara langsung kepada Rasul Paulus.

      Dengan berpegang pada pernyataan Rasul Paulus ini, maka kita ketahui bahwa Tuhan Yesus sendiri yang menyampaikan hal Perjamuan Kudus tersebut kepadanya. Oleh karena itu Rasul Paulus dapat mengajarkan tentang Ekaristi, sama seperti pengajaran para rasul lainnya, yang juga menerima pengajaran tersebut dari Kristus.

      2. Seseorang yang telah dibaptis Katolik lalu meninggalkan Gereja Katolik (karena menjadi Protestan atau berpindah agama lain) selama beberapa waktu, dan kemudian ingin kembali menjadi Katolik, tentu diperbolehkan. Tetapi tentu, ia harus terlebih dahulu mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa/ Tobat.

      Sebab persyaratannya, adalah seseorang dapat menyambut Komuni (Ekaristi Kudus) jika ia ada persatuan yang penuh dengan Gereja Katolik, dan ia dalam kondisi rahmat, artinya tidak dalam kondisi berdosa berat. Meninggalkan Gereja Katolik, apalagi jika motivasinya adalah demi kepentingan pribadi, adalah dosa berat, dan karenanya tidak dapat menerima Komuni. Namun jika seseorang telah menyesali kesalahannya ini, bertobat dan menerima sakramen Tobat, maka ia dapat menerima Komuni kembali.

      3. Bagaimana dengan orang- orang yang tidak mengerti tetapi ikut- ikutan menerima Komuni?

      Katekismus mengajarkan bahwa seseorang dikatakan berdosa berat jika ia melakukan sesuatu yang diketahuinya sebagai sesuatu yang salah/ dosa, namun atas kehendak bebasnya, ia tetap melakukannya juga (lih. KGK 1857). Maka hal inilah yang menjadi dasar untuk mengatakan sejauh mana kesalahan/ dosa orang yang menerima Komuni tanpa mengetahui maknanya. Tentu orang yang sengaja melakukannya dengan maksud buruk, apalagi untuk membuangnya, melakukan dosa yang sangat berat, sebab itu termasuk tindakan sacrilege (sakrilegi) terhadap Tuhan Yesus.

      Menerima Komuni karena sikap ingin tahu, ikut- ikutan dan sikap sengaja menghina/ membuangnya, itu merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Jika seseorang benar-benar ingin tahu, maka ia harus mencari tahu terlebih dahulu maknanya sebelum ikut- ikutan menyambutnya tanpa mengerti artinya. Jika demikian yang dilakukan, mereka mendatangkan hukuman atas dirinya sendiri (lih. 1 Kor 11: 28-30). Maka adalah tugas kita umat Katolik untuk memberitahukan kepada mereka yang tidak memahami makna Komuni Kudus, agar tidak melakukan sesuatu yang tidak semestinya. Jika meskipun sudah diberi tahu mereka tetap melakukannya, itu sudah bukan tanggungjawab kita lagi, melainkan sepenuhnya tanggung jawab orang yang bersangkutan kepada Tuhan.

      4. Lagu Kemuliaan dan Salam Damai.

      Kemuliaan memang tidak dinyanyikan/ dibacakan pada masa Prapaska dan Adven. Maksudnya untuk mengkhususkan masa tersebut bagi masa pertobatan. Kemuliaan akan kembali dilambungkan pada Misa Malam Paska dan Malam Natal, dan selanjutnya pada masa biasa dalam kalender liturgi.

      Sedangkan Salam Damai memang tidak selalu dinyanyikan. Yang tertulis di rubrik adalah imam mengucapkan, “Damai Tuhan selalu besertamu”, dan dijawab oleh umat: “dan bersama rohmu”. Sesudahnya, imam dapat meminta umat untuk saling memberikan Salam Damai. Ini maksudnya sebagai simbol yang menyatakan kesungguhan kita untuk berdamai dengan sesama, seperti perintah Yesus agar kita datang mempersembahkan persembahan kepada Tuhan setelah kita terlebih dahulu berdamai dengan saudara/i kita. Maka memberikan salam damai adalah tanda simbolis yang menyatakan hal ini, yang tentu harus ditindak lanjuti, [jika kita belum sempat berdamai dengan orang- orang tertentu sebelum mengikuti Misa Kudus], atau merupakan simbol yang nyata, jika kita sudah melakukan perintah Tuhan ini, yaitu telah berdamai dengan orang- orang yang telah menyakiti hati kita atau yang kita sakiti hatinya.

      Dengan makna simbolis ini, maka pada waktu Misa, kita memberi salam damai, cukup kepada orang- orang ada di sekeliling kita saja, tidak perlu sampai berjalan- jalan ke sana ke mari sehingga dapat mengganggu konsentrasi umat yang lain. Karena yang lebih terpenting adalah kita menyadari, kepada siapakah kita seharusnya berdamai, yang ‘diwakili’ oleh orang- orang yang berdiri di sekeliling kita tersebut. Jangan lupa sebab peristiwa berikutnya, yaitu doa Anak Domba Allah adalah doa yang sangat penting; sehingga jangan sampai perhatian kita beralih kepada kegiatan memberi salam damai, sehingga kurang terfokus kepada doa selanjutnya yang lebih penting, yang tertuju kepada Kristus Sang Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia, yang oleh-Nya kita beroleh keselamatan dan hidup yang kekal.

      5. Profanisasi telah dibahas di sini, silakan klik.

      Sedangkan klerus adalah anggota Gereja yang ditahbiskan, sehingga yang termasuk di sini adalah para Uskup, imam, dan para diakon tertahbis (bukan prodiakon).

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas,org

  13. Salam kenal ibu Inggrid..syaloom..Saya sudah sering membaca artikel ibu disini dan sangat bersyukur sekali karena banyak hal yang dapat dipelajari dan dibagikan kepada teman-teman. Kalau boleh saya mau bertanya seputar penerimaan komuni saat misa. ada pengumuman sebelum komuni yang sering kita dengar,bunyinya kira-kira begini: ” yang boleh menerima komuni adalah warga gereja ( yang telah dibaptis) katolik dan telah menerima komuni pertama”. dan ” yang tidak berhalangan” Dapatkah ibu menjelaskan hal ini? karena ada saja orang berpendapat “walaupun dia berdosa, tidak ada yang melarang orang tersebut untuk menjawab kerinduannya bertemu dengan Yesus dalam rupa hosti” atau ” siapa yang tahu aku berdosa? hanya Tuhan dan aku saja…” dan lain sebagainya.. Semoga dengan penjelasan ibu hal ini dapat memberikan betapa kita harus menghormati kesucian hati dan jiwa ..karena tubuh kita adalah bait kudus Allah…dan kita menghormati kehadiran Allah dalam diri kita….Terima kasih sebelumnya,Gbu

    • Penerimaan Komuni

      Shalom Angela Marici,

      Justru karena menghayati bahwa jika kita menyambut Ekaristi artinya kita menyambut Kristus sendiri, maka kita harus memeriksa batin sebelum menyambut-Nya. Katekismus mengajarkan demikian:

      KGK 1385 Untuk menjawab undangan ini, kita harus mempersiapkan diri untuk saat yang begitu agung dan kudus. Santo Paulus mengajak supaya mengadakan pemeriksaan batin: “barang siapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barang siapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya” (1 Kor 11:27-29) Siapa yang sadar akan sebuah dosa besar, harus menerima Sakramen Pengakuan sebelum ia menerima komuni.

      Maka sebelum kita menerima Ekaristi, sebenarnya seseorang harus terlebih dahulu mengimani bahwa yang akan disambutnya adalah Tubuh dan Darah Kristus sendiri; dan ia tidak terhalang menerima-Nya karena berdosa berat. Karena itu sebelum menyembut Kristus selayaknya kita memeriksa batin, apakah kita telah melakukan dosa berat yang belum kita aku-kan dalam Sakramen Tobat. Jika ada, kita perlu mengaku dosa tersebut terlebih dahulu.

      Hal yang menjadi kompleks adalah jika seseorang tahu bahwa ia telah melakukan dosa berat, dan bahkan hidup dalam dosa, yang tidak bertobat dan meninggalkan dosa tersebut, tetapi tetap menerima Komuni. Kasus demikian dapat menjadi batu sandungan bagi umat. Misalnya mereka yang hidup dalam perkawinan yang tidak sah di mata Gereja. Karena maksud persatuan dengan Yesus dalam komuni kudus adalah juga untuk menguduskan kehidupan umat, yang tentu sejalan dengan panggilan hidup mereka, baik menikah atau selibat bagi kerajaan Allah. Komuni itu sendiri melambangkan persatuan Kristus dan Mempelai-Nya yaitu Gereja; dan ikatan ini harus pula digambarkan dengan kesatuan suami istri dalam Perkawinan kudus, karena memang Rasul Paulus menggambarkan ikatan Kristus dan Gereja ini sebagai model ikatan suami dan istri. Jadi jika ternyata seseorang tidak mengindahkan kehendak/ peraturan Tuhan dalam hal ini, maka sebenarnya ia tidak sungguh- sungguh memahami makna Ekaristi dan makna ajaran Rasul Paulus seperti tertulis di atas. Tuhan itu sungguh kudus, sehingga jika kita ingin menyambut-Nya kitapun harus mempersiapkan hati dan batin kita, dan menerima-Nya dalam kondisi rahmat. Dan kondisi rahmat ini kita peroleh jika kita senantiasa bertobat dan mentaati perintah- perintah Allah.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  14. Salam Buat Bu Ingrind and Pak Step,

    Ibu bisa sedikit menjelaskan tentang perayaan ekarisity yang dirayakan oleh Gereja Katolik Roma dan Gereja Katolik Timor yang disebut ORTO-DOXA. apa ada perbedaan? dan umat di bagian Asia Timor menganut ORTO-DOXA itu.
    Mohon penjelasan dari ibu,

    Salam Kasih dalam Kristus Tuhan!

    A. Amaral

    • Shalom Aquilino Amaral,

      Tentang Perayaan Ekaristi dalam Gereja Timur Orthodox (yang tidak dalam persatuan penuh dengan Gereja Katolik), Katekismus mengajarkan demikian:

      KGK 1399 Gereja-gereja Timur, yang tidak berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, merayakan Ekaristi dengan cinta yang besar. "Sungguhpun terpisah, Gereja-gereja Timur mempunyai Sakramen-sakramen yang sejati, terutama berdasarkan suksesi apostolik, imamat dan Ekaristi. Melalui Sakramen-sakramen itu mereka masih berhubungan erat sekali dengan kita". Dengan demikian semacam persekutuan "in sacris", jadi dalam Ekaristi, "bila situasi memang menguntungkan dan dengan persetujuan pimpinan Gerejani, bukan hanya mungkin, melainkan juga dianjurkan" (Unitatis Redintegratio 15). (Bdk. CIC, can. 844, 3).

      Selanjutnya tentang hubungan Gereja Katolik tentang Gereja- gereja Timur Orthodox ini, dapat anda baca di sini, silakan klik, terutama pada Bab III tentang Gereja-gereja dan Jemaat-jemaat Gerejawi yang terpisah dari Tahta Apostolik di Roma, Sub Bab 1, Tinjauan khusus tentang Gereja -gereja Timur, nomor 14 sampai dengan 18.

      Karena baik Gereja Timur Orthodox maupun Barat (Katolik Roma) bersumber pada Tradisi para rasul, maka perayaan Ekaristi yang dirayakan oleh keduanya mempunyai kemiripan; dan sakramen Ekaristi yang mereka berikan juga adalah sakramen yang sah. Hanya saja, karena Gereja Timur Orthodox tersebut tidak sepenuhnya berada dalam kesatuan dengan Gereja Katolik, maka kita sebagai umat yang dibaptis Katolik selayaknya mengikuti perayaan Ekaristi yang diadakan oleh Gereja Katolik. Sebab, makna sakramen Ekaristi juga dalah sebagai sakramen pemersatu/ kesatuan dengan Gereja Katolik sebagai Tubuh Mistik Kristus. Dalam hal ini, kekecualian hanya dapat diberikan pada kondisi-kondisi tertentu/ darurat, seperti misalnya dalam bahaya maut. Ketentuannya dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 adalah sebagai berikut:

      Kan. 844 § 2 Setiap kali keadaan mendesak atau manfaat rohani benar-benar menganjurkan, dan asal tercegah bahaya kesesatan atau indiferentisme, orang beriman kristiani yang secara fisik atau moril tidak mungkin menghadap pelayan katolik, diperbolehkan menerima sakramen tobat, Ekaristi serta pengurapan orang sakit dari pelayan-pelayan tidak katolik, jika dalam Gereja mereka sakramen-sakramen tersebut adalah sah.

      Perlu juga diketahui bahwa tidak semua Gereja-gereja Timur tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik. Sebab, terdapat 22 Gereja-gereja Timur yang berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, dan daftar nama Gereja tersebut dapat anda baca di sini, silakan klik.

      Demikian semoga keterangan ini bermanfaat.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  15. Romo Wanta,

    ada ganjalan besar sejak mengikuti Misa Natal anak2 di sebuah paroki di JakSel.
    Suasana kacau balau bahkan tindakan romo yg memimpin misa justru membuat suasana semakin ricuh.

    Dalam misa tsb. romo mengajak anak2 (orang2 dewasa juga banyak yg mengikuti) utk mengangkat tangan dan bahkan menggoyangkan badan, bertepuk2 tangan dsb.

    Bahkan Kemuliaan digantikan oleh nyanyian PS 456, dinyanyikan sambil melambai2kan tangan dan bergoyang2 badan.

    BAhkan saat konsekrasi pun tubuh romo tsb. masih bergoyang2, sepertinya terhanyut suasana sebelumnya. Sayang sekali saya tdk membawa kamera utk merekam hal tsb.

    Sebagai Katolik, saya tidak mengenal sikap melambai2 tangan, bergoyang2, tepuk tangan selama misa,
    saya merasa berada di sebuah kebaktian Protestan.

    Peristiwa2 tsb. telah menjadi batu sandungan, karena hilangnya orientasi umat saat datang ke misa.

    • Agnus Dei Yth.

      Nama anda kok mengambil ritus liturgi yang disakralkan ya? Terus terang saja tidak apa sama Rama. Saya sependapat bahwa cara berliturgi yang demikian dilakukan rama yang anda ceritakan itu tidak benar karena itu perlu ditertibkan. Kalau boleh sebutkan paroki mana.

      Terimakasih dan salam
      Rm Wanta

  16. Salam Dalam Kristus,

    Teman saya bertanya, berapa kali kita boleh membuat Tanda Salib dalam suatu ibadat Ekaristi. Katanya ada suatu paroki di Jakarta yang Romo Parokinya menyatakan cukup hanya sekali saja membuat Tanda Salib, yaitu saat memasuki Gereja dan mengambil Air Suci. Setelah itu tidak perlu lagi membuat Tanda Salib sampai keluar dari Gereja.

    Apakah memang ada tatacara / ketentuan khusus / tertulis mengenai hal ini dan bila ada, dimana saya dapat memperolehnya.

    Terimakasih atas informasinya.

    Salam,
    Ign. Fadjar Surjadi

    • Fadjar Yth

      Tanda Salib dalam perayaan ekaristi cuma dua kali saja pada awal mulai dan pada akhir berkat penutup. Karena itu saat homili tidak perlu tanda salib, saat pembawa persembahan tak perlu tanda salib, saat pengakuan tidak perlu absolusi dengan tanda salib. Demikian penjelasan semoga semakin dipahami. Kalau ambil air berkat itu tidak apa mau dua kali atau tiga kali silakan sebab itu di luar tata perayaan ekaristi.

      salam
      Rm Wanta

      Tambahan dari Ingrid:

      Shalom Fadjar,
      Dengan penjelasan dari Romo Wanta, bahwa tanda salib hanya dibuat pada awal mula Misa (bersama dengan Romo pada saat Romo mengawali perayaan Ekaristi) dan pada akhir, saat berkat penutup, maka kita membuat Misa sebagai satu rangkaian doa yang tak terputuskan. Dengan pengertian ini, maka selayaknya kita memusatkan hati pada setiap bagian Misa Kudus, dan menjadikannya doa yang keluar dari hati kita sendiri. Maka jika sungguh menghayatinya, maka kita tidak akan mengobrol di gereja, atau berpikir ataupun melakukan sesuatu yang tidak layak dilakukan dalam keadaan berdoa.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

      • Terima kasih banyak atas penjelasan dari Romo Wanta dan Mbak Inggrid, saya dapat memahami maksud / artinya secara penuh.

        Salam dalam Kristus,
        Ign. Fadjar Surjadi

  17. Hi Katolisitas ! salam sejahtera….

    Dalam kesempatan ini saya hendak menanyakan perihal menghadiri misa yang ‘illicit’. Seperti yang kita ketahui, ada beberapa hal di mana misa yang dipersembahkan imam adalah valid, sah namun ‘illicit’ atau illegal, misal jika imam tersebut terkena suspensi. Ambilah contoh kasus SSPX, yang mana sekalipun ekskomunikasi terhadap empat uskup nya telah dicabut, namun status yuridis mereka belum mendapat fakultas dari Tahta Suci, ini menyebabkan mereka belum dapat menjalankan fungsi imamat mereka, dan misa yang dipersembahkan mereka adalah ‘illicit’ namun yang menjadi pertanyaan saya, berdosakah kita jika menerima komuni dari misa tersebut? apa konsekuensi atau sanksi dari Gereja menurut KHK?

    Saya sebagai yang awam dan masih mencari akan kecintaan saya yang mendalam akan misa Tridentina menjadi bingung dan waswas akan fenomena ini. Sungguh saya mengharapkan adanya imam lokal yang jelas status yuridisnya, yang mampu dan bersedia mempersembahkan misa Tridentina ini sehingga tidak perlu bagi saya untuk hadir ke misa SSPX.

    Terima kasih, Pax Christe…..

    Julius Paulo

    • Julius Paulo Yth

      Kasus pelanggaran kelompok SSPius X (Mgr Levebre dkk) yang telah dicabut, tentu Vatikan juga mengembalikan kewenangannya (facultates), karena bagi saya tidak mungkin seorang imam telah dikembalikan statusnya ke pangkuan Gereja dan telah sah menjadi imam katolik, namun tidak diberikan yuridiksinya. Secara yuridis biasanya kuasa dan yurisdiksi mengikutinya ketika imam telah diterima kembali dari hukuman. Maka seorang imam yang telah dibebaskan dari sangsi kanonik menerima kedua hal ini: officio dan yuridiksi (facultates). Jika terjadi kasus imam yang yurisdiksinya dicabut, imam itu melakukan tindakan sakramen tidak sah seperti perkawinan misalnya. Imam yang merayakan misa illicit bersama umat illicit, adalah tidak layak, namun umat yang menerima komuni kudus tidak kena sangsi berdosa. Pertama karena umat tidak tahu. Kalau umat tahu dia imam illicit sebaiknya tidak ikut serta dalam pelayanan sakramen dan menyampaikan kepada umat yang lain.

      Di Jakarta ada kelompok yang misa tridentine bahasa Latin tiap bulan di paroki Matraman, Minggu lalu tgl 6 Desember saya mempersembahkan misa Tridintine bersama umat sekitar 30 orang .

      salam
      Rm Wanta

      • Salam sejahtera,

        Terima kasih banyak Romo Wanta yang telah meluangkan waktu untuk membahas dan menjawab pertanyaan saya, dalam kesempatan ini sengaja saya tuliskan pertanyaan saya di kolom ini.

        Romo, dalam balasan terhadap pertanyaan saya yang akhirnya sudah ditampilkan, tertulis;

        “Di Jakarta ada kelompok yang misa tridentine bahasa Latin tiap bulan di paroki Matraman, Minggu lalu tgl 6 Desember saya mempersembahkan misa Tridintine bersama umat sekitar 30 orang .”

        Mohon maaf sebelumnya romo, bukankah misa bahasa Latin tersebut yang diadakan di paroki Matraman adalah Missale Romanum Paulus VI? sebab sejauh yang saya pelajari, misa ini memiliki beberapa perbedaan dengan Missale Tridentium, yang dirumuskan oleh St.Pius V. Sebab saya rutin menghadiri misa tersebut di sana, namun kebetulan yang tanggal 6 Desember lalu berhalangan. Saya sangat mencintai Ekaristi, baik itu Missale Romanum maupun Missale Tridentium, hanya saja menurut pribadi saya Missale Tridentium tampak lebih menyuarakan iman katolik secara lebih jelas, namun tetap keduanya adalah setara dan berkesinambungan.

        Terima kasih, dominus vobiscum pater….

        • Julius Paulo Yth

          Benar selama ini yang pernah saya layani missale Romanus Paulus VI sedangkan Missale Tridentinum (SSP X dan pengikut Lefebre) meski Bapa Suci Paus Benediktus XVI memperkenankan misa ritus demikian dan belum pernah dicabut penggunaan misa tersebut di KAJ sejauh yang saya ketahui tidak diperkenankan karena tidak relevan bagi umat mungkin nambah kacau karena sangat berbeda dengan misa yang telah dirayakan selama ini. Demikian keterangan dari Komlit KWI selama ini umat sudah dibiasakan dengan MR Paulus VI yang sudah sangat dihayati dan untuk Misa bahasa Latin seperti dilakukan kelompok kecil di Matraman tetap diperbolehkan. Jika anda sudah pernah bertemu saya silahkan datang ke kantor KWI kita bisa berdikusi apalagi bertetangga dengan komlit tentang apa saja khususnya liturgi. Teks Tridentinum saya akan dapatkan dari rama Bosco O’Carm tapi yang pasti saya belum pernah menggunakan ritus itu. Terimakasih untuk koreksinya.

          salam dan berkat Tuhan
          Rm Wanta

          • Rm.Wanta, Pr. Yth

            Terima kasih atas jawaban dan kesedian Romo untuk berdiskusi, sungguh sangat saya hargai dan harapkan, mungkin jika ada kesempatan bagi saya untuk bertemu langsung dengan romo perihal diskusi tentang liturgi, akan saya nantikan datangnya waktu itu. Sedikit menanggapi jawaban romo, saya ingin sedikit memberikan tambahan. Yaitu kaitan antara Misa Tridentine dengan kelompok SSPX atau pengikut Mgr.Lefebvre. Seringkali misa Tridentine dikaitkan atau diidentikkan dengan kelompok-kelompok tersebut yang memang saat ini masih dalam proses dialog dengan Tahta Suci akan rekonsiliasinya, tentunya kita mengharapkan kembalinya kelompok tersebut ke dalam pangkuan Bunda Gereja yang Satu dalam Gereja Katolik. Namun hal ini sudah sepatutnyalah diluruskan bahwa Misa Tridentine tidak bisa diidentikan dengan SSPX (NB: kelompok ini ada di Indonesia, di wilayah Keuskupan Bogor, Cinere), sebab misa tersebut adalah sebuah forma liturgi pra-konsili Vatikan II dan memang tidak pernah dilarang penggunaannya, seperti yang ditegaskan oleh Bapa Suci Paus Yohannes Paulus II dalam motu proprio-nya; Ecclesia Dei tahun 1988, dan sekali lagi oleh Bapa Suci Paus Benedictus XVI melalui motu proprio; Summorum Pontificum pada tahun 2007 lalu. Kelompok SSPX memang dikenal akan kelekatannya pada liturgi tersebut, namun karena adanya tindakan yang membahayakan keutuhan Gereja melalui diantaranya penolakan hasil-hasil Konsili Vatikan II dan pentahbisan Uskup tanpa melalui ijin Tahta Suci, maka latae sentenciae ekskomunikasi dijatuhkan. Jadi misa Tridentine adalah berbeda dan tidak bisa dikaitkan dengan SSPX dengan segala konotasi negatifnya.

            Romo, menanggapi perihal “menambah kacau” jika misa Tridentine diadakan seperti pendapat romo di atas, bisakah untuk dijelaskan akan bentuk dan konsekuensinya? Sebab saya kurang mengerti pada bagian tersebut. Saya berpendapat bahwa misa Tridentine bisa memberikan keselarasan dalam merayakan Ekaristi kudus sebab dalam menjalankannya adalah terikat oleh segala aturan dalam tata caranya, serta tertutup akan segala kemungkinan inovasi yang kurang pantas pada perayaan Misteri Agung, juga terlebih menunjukkan kekayaan dan kedalaman doktrin iman katolik di tengah arus indifferentisme saat ini, suatu misa yang kaya nilai katekese. Mungkin jika aku mengambil beberapa contoh “menambah kacau” menurut pandanganku pribadi, misal, pada perayaan Misa Imlek, di mana gereja seolah disulap seperti klenteng pada hari itu, atau misa gaya Karismatik yang pada saat itu gereja disulap bak diskotik dengan lagu hingar-bingar, serta sikap-sikap umat yang sangat tidak liturgis seperti tertuang dalam buku TPE 2005 edisi Buku Umat, di mana umat diajak untuk bertepuk-tangan, mengangkat tangan, dsb. Semua itu tidak ada dalam bagian Petunjuk Praktis halaman 5-8, juga masuknya lagu-lagu profan dalam perayaan Ekaristi. Yang mana menurut hemat saya pribadi adalah “kekacauan” yang sesungguhnya.

            Sungguh suatu kabar baik romo bisa mendapatkan teks liturgi Tridentina dari Rm.Bosco, O.Carm, mungkin suatu waktu waktu nanti dapat mempelajarinya atau mungkin juga merayakan Ekaristi dengan liturgi tersebut dan tentunya sungguh suatu kabar yang menggembirakan bagi para pecinta misa Tridentina di Indonesia.

            Terima kasih, salam dan doaku

            Julius Paulo

          • Shalom Julius Paulo,

            Terima kasih atas tanggapannya. Saya coba menjawab diskusi ini. Romo Wanta tahu secara persis bahwa memang Misa Tridentine tidak selalu diidentifikasikan dengan SSPX. Bahkan Paus Benediktus XVI secara khusus dalam surat apostoliknya “Summorum Pontificum” menegaskan bahwa Roman Missal (tahun 1970) merupakan “ordinary way of Catholic worship“, sedangkan Roman Missal (tahun 1962 / Tridentine) merupakan “The extraordinary expression of the same law of prayer”, yang dituliskan oleh Paus Benediktus XVI dalam artikel 1. Kemudian dalam artikel 5 dituliskan juga bahwa kalau ada kelompok yang tetap, yang menginginkan misa Tridentine, maka pastor dapat mengadakannya, namun juga harus tetap menjaga kesatuan dari seluruh Gereja. Oleh karena itu, uskup yang bersangkutan harus menganalisa, bahwa dengan diselenggarakan Misa Tridentine, kesatuan umat dalam liturgi tetap terjaga.

            Art 1. The Roman Missal promulgated by Paul VI is the ordinary expression of the ‘Lex orandi’ (Law of prayer) of the Catholic Church of the Latin rite. Nonetheless, the Roman Missal promulgated by St. Pius V and reissued by Bl. John XXIII is to be considered as an extraordinary expression of that same ‘Lex orandi,’ and must be given due honour for its venerable and ancient usage. These two expressions of the Church’s Lex orandi will in no any way lead to a division in the Church’s ‘Lex credendi’ (Law of belief). They are, in fact two usages of the one Roman rite.

            Art. 5. §1 In parishes, where there is a stable group of faithful who adhere to the earlier liturgical tradition, the pastor should willingly accept their requests to celebrate the Mass according to the rite of the Roman Missal published in 1962, and ensure that the welfare of these faithful harmonises with the ordinary pastoral care of the parish, under the guidance of the bishop in accordance with canon 392, avoiding discord and favouring the unity of the whole Church.

            Dan yang terpenting adalah penyelenggaraan Misa Tridentine bukan dilakukan dengan dasar bahwa Roman Missal 1970 adalah tidak sah. Namun, penyelenggaraan Misa Tridentine ini harus tetap menjaga kesatuan umat beriman dan membawa umat beriman untuk dapat mempunyai penghayatan yang lebih baik tentang liturgi Ekaristi. Saya rasa, kalau banyak umat, yang merupakan kelompok yang stabil, dan menginginkan penyelenggaraan misa Tridentine ini, maka pihak keuskupan akan menanggapi dengan baik. Pada saat yang bersamaan kita juga menghormati keputusan dari keuskupan. Oleh karena itu, kalau anda mau, silakan datang ke Romo Wanta dan berdiskusi bersama dengan komisi liturgi. Saya pikir, ini adalah cara yang terbaik yang telah ditawarkan oleh Romo Wanta sebelumnya. Semoga dapat diterima dengan baik.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            stef – http://www.katolisitas.org

  18. Syalom Pak Stef dan Bu Ingrid,
    Saya mempunya anak umur 3 tahun yang sedang aktif2nya, sehingga tidak pernah bisa diam barang satu menitpun, dimanapun dan kapanpun kecuali kalau sedang tidur saja. Kalau hari Minggu dia selalu saya ajak ke Gereja, walaupun saya dan suami selalu duduk di luar karena sembari mengawasi anak saya yang tidak pernah mau duduk diam. Saya dan suami bergantian mengikuti anak saya yang lari2an kesana kemari dan dia juga tidak mau mengikuti sekolah Minggu. Pertanyaan saya adalah, pantaskah saya dan suami menerima Komuni padahal kami tidak bisa mengikuti misa dengan khusuk, bahkan bacaan Kitab Suci hari itu ataupun khotbah Pastorpun saya tidak tau. Bagaimana ya Pak, mohon jawabannya.
    Terimakasih. GBU

    • Shalom Cahyaningtyas,
      Memang kondisi anda tidak mudah, dan tidak ideal, ya. Maka di sini saya tidak akan membahas kejadian yang sudah lewat/ terjadi, tetapi lebih baik memikirkan solusi untuk hari ke depannya. Saya mempunyai keponakan juga yang masih kecil- kecil di sini dan kami biasa membawa mereka mengikuti Misa harian dan Misa hari Minggu. Di sini tidak ada sekolah Minggu/ Bina Iman, karena memang anak-anak diajarkan untuk mengikuti Misa Kudus sejak usia kecil. Maka biasanya, kami membawa mereka (7, 5 dan 3 tahun) untuk duduk bahkan di bangku terdepan. Kelihatannya ‘berbahaya’ ya, takut kalau anak-anak ribut di tengah-tengah Misa. Namun kenyataannya malah sebaliknya, karena mereka malah dapat merasa ‘terlibat’. Mungkin agak sedikit sulit pada awal-awalnya, tetapi lama kelamaan mereka malah dapat mengikuti dan berpartisipasi dengan baik, karena mereka melihat dari dekat apa yang dilakukan di altar. Keponakan kami yang baru berumur hampir 3 tahun ini malah sudah dapat turut berdoa di Misa dan sama sekali tidak mengganggu pada waktu Misa. Ia bahkan menangis kalau tidak bisa mengikuti Misa, karena terlambat bangun pagi. Maka, silakan anda mengikuti tips ini, semoga berguna.
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  19. Shalom,

    Saya ingin bertanya sejarah protestanisme.. bisakah anda ceritakan agar saya semakin mengerti, dan soal penjualan surat pengampunan dosa mengapa mereka melakukan hal tersebut.

    Saya menunggu jawaban dari bpk/ibu. Terima kasih

    • Shalom Leon,
      Terima kasih atas pertanyaannya tentang sejarah Protestanism dan soal penjualan surat pengampunan dosa. Untuk sejarah Protestanism, saya minta maaf, karena belum ditulis. Memang rencananya katolisitas.org akan menuliskan tentang sejarah Gereja, namun hal ini memerlukan riset dan waktu yang cukup panjang.
      Untuk kesalahpahaman penjualan surat pengampunan dosa, dapat dibaca di sini (silakan klik). Dan untuk mengerti apa sebenarnya indulgensi, silakan membaca artikel ini (silakan klik).
      Semoga dapat membantu.
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – http://www.katolisitas.org

  20. selamat pagi katolistas…
    membaca diskusi diatas, saya pingin bertanya sejarah asal mula terpisahnya Gereja Orthodox dgn GK.
    saya pernah membaca sebelum masalah fillioque pun sebenarnya GO sdh tidak setia dgn GK..
    namun setelah skisma timur, maka Gereja2 Timur yg tidak setia kepada GK menjadi Orthodox…
    Saya mohon informasi yg tepat dan lengkap dong pak/bu ???

    terima kasih sebelumnya

    • Shalom Antonius,
      Pemisahan diri dari Gereja-gereja Timur Orthodox yang dikenal sebagai Eastern Schism (Skisma Timur), merupakan proses yang panjang dari beberapa pemisahan sementara yang ditandai oleh dua kejadian yang penting: 1) Skisma dari patriarch Photius tahun 867 dan 2) Skisma dari patriarkh  Michael Cerularius tahun 1054. Kedua kejadian ini dimotivasi oleh alasan-alasan politis, tetapi tuduhan heresi adalah yang dipakai untuk menjelaskan skisma tersebut.
      Pada intinya, Photius menuduh Gereja Latin (Barat) menyisipkan kata "filioque" ke dalam Credo/ syahadat Aku Percaya. Sedangkan Michael Cerularius memfokuskan pada ritual dalam penggunaan roti beragi dalam Ekaristi.

      Namun demikian, pertama-tama harus diterima secara objektif bahwa Gereja Timur telah berulang kali mengakui keutamaan kepemimpinan Rasul Petrus terhadap seluruh Gereja untuk hal-hal yang terpenting. Maka kepemimpinan Gereja Roma merupakan pengambil keputusan yang final dalam hal keimanan dan kepemiminan Gereja. Hal ini terlihat dari surat Paus Klemens I kepada Gereja Yunani di Korintus pada tahun 95 AD.
      Seacara garis besar, beberapa hal yang menyebabkan skisma tersebut adalah:
      1. Dibangkitkannya kawasan Konstantinopel sebagai daerah keuskupan Gereja Timur untuk alasan politik (sekitar awal abad ke-4), di mana fasilitas dan kontrol Gereja kemudian diambil alih oleh pihak Kaisar demi kepentingan politiknya.
      2. Gereja Timur berkembang dalam kebudayaan Yunani, sedangkan Gereja Barat, dalam Latin. Secara umum pada waktu itu memang dunia Barat lebih "illiterate"; kebudayaan Yunani dipandang lebih maju daripada Latin, sehingga ada motif politis yang membuat Gereja Timur sulit untuk tunduk pada Gereja Barat.
      3. Di samping itu dari beberapa bidaah yang terjadi seperti Arianism (343-398), Monothelitism (640-681), Iconoclasm di abad ke 8 dan 9, sehingga dari tahun 323- 867 (yaitu 455 tahun), tidak kurang dari 203 tahun bidaah tersebut terjadi di Konstantinopel. Dalam dalam setiap schism tersebut, Konstantinopel ada di pihak yang keliru, sedang Roma pada pihak yang benar.
      4. Pada tahun 1054, kejadian dimulai dari ditaklukkannya Itali selatan dan Sisili oleh pihak Norman, yang diikuti dengan pemaksaan ritus Latin pada penduduk di sana. Maka Cerularius membalas dengan pemaksaan ritus Byzantine dalam gereja ritus Latin di Konstantinopel. Delegasi yang dikirim oleh Paus St. Leo IX ke Konstantinopel dipimpin oleh Kardinal Humbert, namun sayangnya, ia adalah seorang yang kurang sabar. Setelah usaha rekonsiliasi kelihatannya semakin sulit, Humbert kehabisan kesabaran, dan mengeluarkan surat eks-komunikasi kepada Cerularius. Cerularius dan sinodenya kemudian juga meng-anathema Humbert.
      Namun kemudian perbuatan Humber tersebut menjadi invalid/ tidak sah karena Bapa Paus St. Leo wafat.
      5. Keadaan pemisahan ini menjadi lebih buruk dengan adanya penjarahan Konstantinopel  (the sack of Constantinople) oleh para tentara Perang Salib pada tahun 1204.
      6. Dua Konsili (Konsili Lyons 1274 dan Konsili Florence 1439), dimaksudkan untuk menjembatani perbedaan, namun tidak berhasil. Akhirnya persatuan secara resmi dinyatakan ditanggalkan pada tahun 1472. Gereja-gereja Timur yang memisahkan diri tersebut menamakan diri gereja Orthodox.

      Namun perlu diketahui tidak semua Gereja-gereja Timur memisahkan diri dari kesatuan dengan Gereja Katolik. Sekarang terdapat 22 Gereja Timur yang tetap dalam kesatuan dengan Gereja Katolik. Silakan klik di sini untuk membaca nama-nama Gereja Timur tersebut. Dokumen Vatikan II tentang Gereja-gereja Timur  Orientalium Ecclesiarum, 2, ini menyatakan “Gereja Katolik memang menghendaki, agar tradisi-tradisi masing-masing Gereja khusus atau Ritus tetap utuh dan lestari.” Dan Gereja-gereja ini tergabung dalam Gereja Katolik dan ketentuan hukum Gerejanya diatur dalam CCEO (The Code of Canons of the Eastern Churches/ Codex Canonum Ecclesiarum Orientalium) yang dipromulgasikan oleh Bapa Paus Yohanes Paulus II tanggal 1 Oktober 1990.

      Demikian semoga bermanfaat.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati

  21. Yth. Pak Stef,
    Terima kasih atas tanggapan yang begitu cepat.
    Pak Stef dan pengasuh katolisitas, ada pertanyaan mengganjal yang sudah saya tanyakan kebeberapa Imam lewat e mail, namun sebagian tak menjawab (mungkin sibuk ya), bagaimana pandangan/tanggapan resmi Gereja/Hirarki, atas persamaan/kemiripan tata cara ibadat di GKI dengan TPE (hanya minus Liturgi ekaristi/DSA), juga Bc 1, Mzm, Bc 2 dan Injil nya hampir sama untuk seluruh penanggalan liturgi termasuk penamaan Tahun Liturgi, seperti tahun ini sama disebut Tahun B (contoh : GKI : Sunday, 19 April 2009 : Minggu Paskah 2 – Tahun B; Tema: Tetap Percaya Walau Tidak Melihat ; Kisah Para Rasul 4:32-35; Mazmur 133; 1 Yohanes 1:1-2:2; Yohanes 20:19-31.KATOLIK : Minggu Kedua Paska; 2009-04-19; Hari ini adalah Solemnity
    Warna: Putih ; Tahun: B ; Tema: Pembaptisan, iman, komunitas, pujian, penyembahan ; Divine Office:2 ; Bacaan Misa Kudus:Kisah Para Rasul 4:32-35 ; Mazmur 118:2-4, 13-15, 22-24 ; 1 Yohanes 5:1-6 ;Yohanes 20:19-31 )
    Terima kasih atas perhatian dan penjelasnnya, semoga senantiasa dilimpahi berkat oleh Allah Bapa dalam mewartakan kabar baik lewat dunia maya ini.
    Salam,
    Bonar Siahaan – Medan

    • Shalom Bonar,
      Terima kasih atas dukungannya terhadap katolisitas.org.
      Mengenai ibadah GKI, saya sendiri tidak terlalu tahu persis bagaimana ibadah mereka. Karena GKI berasal dari Lutheran, maka saya akan coba bandingkan dengan Lutheran Church di USA. Memang ibadah mereka mirip dengan Gereja Katolik. Tentu saja ini bukan sesuatu yang mengherankan, karena pendiri dari dari Lutheran adalah Martin Luther, yang dulunya adalah seorang pastor.
      Dari beberapa dokumen gereja Lutheran, kita dapat melihat bahwa mereka menghargai liturgi:

      1) On holy days, and at other times when communicants are present, Mass is held and those who desire it are communicated. Thus the Mass is preserved among us in its proper use, the use which was formerly observed in the church and which can be proved by St. Paul’s statement in I Cor. 11:20 ff. and by many statements of the Fathers. (Augsburg Confession XXIV:34-35 [German]).
      2) …we do not abolish the Mass but religiously keep and defend it. In our churches Mass is celebrated every Sunday and on other festivals, when the sacrament is offered to those who wish for it after they have been examined and absolved. (Apology XXIV:1)
      3) Places, times, persons, and the entire outward order of worship are therefore instituted and appointed in order that God’s Word may exert its power publicly. (Large Catechism I:94)
      4) To determine the apostles’ wish and intention, therefore, we must consult their writings, not merely their example. They observed certain days, not because such observance was necessary for justification but to let the people know when to assemble. When they assembled, they also observed other rites and a sequence of lessons. Frequently the people continued to observe certain Old Testament customs, which the apostles adapted in modified form to the Gospel history, like the Passover [Acts 18:21] and Pentecost [Acts 20:16], so that by these examples as well as by instruction they might transmit to posterity the memory of these great events. (Apology VII/VIII:40)
      5) …make the sign of the cross and say, “In the name of God, the Father, the Son, and the Holy Spirit. Amen.” Then, kneeling or standing, say the Apostles’ Creed and the Lord’s Prayer. (Small Catechism VII:1-2)

      Namun perbedaan terbesar dalam hal liturgi adalah Ekaristi Kudus dan jalur apostolik. Dua hal ini tidak dapat tergantikan, walaupun liturgi gereja Lutheran hampir sama dengan Gereja Katolik. Berikut ini adalah penjelasannya atas perbedaan tersebut.

      1) Apostolic Succession: Gereja Katolik tidak mengakui keabsahan Sakramen Ekaristi dari gereja lain, kecuali dari Gereja Timur Ortodox. Hal ini karena "konsekrasi" atau "kata-kata untuk merubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus oleh kekuatan Roh Kudus" harus dilakukan oleh imam yang ditahbiskan oleh Uskup yang mempunyai "apostolic succession", yang kalau ditelusuri tahbisan dan "laying of hands" ini adalah berasal dari para rasul, yang menerima mandat dari Yesus sendiri. Gereja Katolik mengakui bahwa Gereja Timur Ortodox mempunyai tahbisan yang sah, sehingga sakramen yang dilakukan dalam gereja mereka juga sah.Gereja Anglikan, juga Protestan kehilangan apostolic succession, sehingga Gereja Katolik tidak mengakui keabsahan sakramen Ekaristi mereka.
      2) Transubstantiation dan Consubstantiation: Gereja Katolik mengajarkan bahwa roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus setelah konsekrasi (disebut: transubstantiation). Ini artinya, bahwa yang termakan atau sisa dari Roti yang sudah dikonsekrasi adalah benar-benar Tubuh Kristus. Ini menyebabkan Gereja Katolik menyimpannya dalam tabernakel, dan juga ada doa Adorasi, yaitu doa di depan Sakramen Maha Kudus. Beberapa gereja Protestan mengakui consubstantiation, yang berarti roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus setelah dikonsekrasi dan dimakan/diminum. Jadi bagi gereja Protestan, sisa roti dan anggur yang tidak termakan/terminum bukanlah tubuh dan darah Kristus, namun hanya roti dan anggur biasa.

      Ingrid telah memulis artikel tentang hal ini "Sejarah yang mendasari pengajaran tentang Ekaristi" (silakan klik).
      Semoga jawaban singkat di atas dapat membantu. Tuhan memberkati.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – http://www.katolisitas.org

      • Saya kemarin pernah membuka website GKI, disana banyak bacaan kitab suci disertai renungan-renungan Ibadah Hari Minggu. Memang kalender liturginya sama dengan Gereja Katolik, hanya saja tetap ada yang berbeda, misalnya tanggal 1 Januari Gereja Katolik merayakan Hari Raya Santa Maria Bunda Allah, di GKI tidak ada hari raya tersebut. Untuk Rabu Abu, Kamis Putih, Jumat Agung, bacaannya sama.

        Minggu Biasa antara Masa Natal dengan Masa Prapaskah di Protestan disebut Minggu sesudah Epifani, namun saya lihat bacaannya sama dengan Gereja Katolik.

        Salam

        Chris

      • Salam semua, khususnya Pak Stef dan Bu Ingrid. Saya pernah bincang-bincang dengan seorang pendeta GKI Peterongan Semarang mengenai liturgi, dan beliau mengatakan bahwa memang GKI mengikuti saja kalender dari Gereja Katolik, hanya penafsirannya beda. Memang sudah diputuskan oleh sinode gereja mereka untuk mengikuti kalender bacaan dari Katolik. Demikianlah sekedar tambahan informasi.
        Salam: Isa Inigo

      • Saya kira, yang tertulis di CCC ttg apa saja yg termasuk Gereja Timur itu kurang lengkap. Kalau kita lihat lebih dekat, ada Gereja Assiria Timur, Gereja Apotolik Armenia, Gereja Orthodox Oriental, dan Gereja Orthodox. Semuanya mempunyai Misteri Suci (Sakramen) yang sama dgn Katolik Roma, dan mereka juga mempunyai Apostolik Succession. Sehingga, Ekaristi mereka juga sah.
        [dari admin: komentar berikut ini digabungkan]
        Saya kira, walau intinya sama, tapi lebih tepat kalau dikatakan bahwa Gereja Timur mempunyai ekspresi teologi yang berbeda dengan Gereja Barat. Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik tidak dilihat sebagaimana umat Katolik Roma melihat Paus (yang langsung berada di bawah yurisdiksinya). Patriachal Church melihat Patriarch sebagai pemimpin Gerejanya dan Paus diakui sebagai the “first among the equal” dan sebagai tanda kesatuan dari ke-22 Gereja-gereja Katolik. =)

  22. Pak Stef, Bu Ingrid

    ada pertanyaan,
    ada seorang Protestan dibaptis selam dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus dan pada saat paskah kadang orang tersebut ikut perayaan-nya juga di Gereja Katolik. Pertanyaan-nya, apakah dari sudut pandang Katolik saya tidak boleh menerima Roti dan Anggur? [coba cek: “Karena mereka ini, yang percaya kepada Kristus dan menerima pembaptisan dengan baik, berada dalam semacam persekutuan dengan Gereja Katolik, walaupun tidak sempurna.” (Dekrit Konsili Vatikan II tentang Ekumene, Unitatis Redintegratio, no. 3).]

    Mohon penjelasannya, terima kasih

    Tuhan memberkati.

    • Shalom Chris,

      Untuk menjawab pertanyaanmu, apakah seorang yang telah dibaptis selam di gereja Protestan dapat menyambut Komuni; berikut ini saya tuliskan beberapa prinsipnya.

      Gereja Katolik memang mengakui adanya satu pembaptisan, dan oleh karena itu mengakui pembaptisan yang dilakukan oleh gereja Protestan sepanjang itu diadakan dengan maksud yang sama dengan Gereja Katolik, dan memenuhi syarat forma-nya yaitu pembaptisan di dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus. Gereja Katolik memiliki daftar gereja-gereja Protestan yang pembaptisannya diakui oleh Gereja Katolik, dan ini diketahui oleh pihak pastor paroki. Jadi diakuinya baptisan gereja Protestan itu bukan karena baptis selam atau bukan, tetapi, oleh maksud dan forma-nya. Dasarnya adalah:

      KGK 1256     Biasanya pelayan Pembaptisan adalah Uskup dan imam dan, dalam Gereja Latin, juga diaken. Dalam keadaan darurat setiap orang, malahan juga seorang yang belum dibaptis, dapat menerimakan Pembaptisan, asal saja ia mempunyai niat yang diperlukan: Ia harus bersedia melakukan, apa yang dilakukan Gereja, waktu Pembaptisan, dan memakai rumusan Pembaptisan yang trinitaris. Gereja melihat alasan untuk kemungkinan ini dalam kehendak keselamatan Allah yang mencakup semua orang dan perlunya Pembaptisan demi keselamatan.

      Jadi benar yang dikatakan dalam Dekrit Konsili Vatikan II tentang Ekumene, Unitatis Redintegratio (UR), no. 3, “Karena mereka ini, yang percaya kepada Kristus dan menerima pembaptisan dengan baik, berada dalam semacam persekutuan dengan Gereja Katolik, walaupun tidak sempurna.” Mereka [anggota jemaat gereja Protestan] memang berada dalam persekutuan dengan kita anggota Gereja Katolik, namun persekutuan itu tidak sempurna, karena mereka tidak mengakui adanya kesatuan dengan Tubuh Mistik Kristus yang ada di dalam Gereja Katolik, di bawah pimpinan Bapa Paus (lihat UR 3 dan 4). Dan karena alasan inilah maka mereka tidak diperkenankan menyambut Komuni, karena makna yang ingin disampaikan oleh Komuni itu adalah peratuan yang sempurna dengan Tubuh Kristus, yang termasuk juga Tubuh Mistik-Nya yang ada di dalam Gereja Katolik.
      Berikut ini saya sertakan beberapa petikan juga dari dokumen yang sama, yaitu Unitatis Redintegratio (UR), yang mungkin dapat lebih memperjelas:

      UR 3: Akan tetapi saudara-saudari yang tercerai dari kita, baik secara perorangan maupun sebagai Jemaat dan Gereja, tidak menikmati kesatuan, yang oleh Yesus Kristus hendak dikurniakan kepada mereka semua, yang telah dilahirkan-Nya kembali dan dihidupkan-Nya untuk menjadi satu tubuh, bagi kehidupan yang serba baru, menurut kesaksian Kitab suci dan tradisi Gereja yang terhormat. Sebab hanya melalui Gereja Kristus yang Katoliklah, yakni upaya umum untuk keselamatan, dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan. Sebab kita percaya, bahwa hanya kepada Dewan Para Rasul yang diketuai oleh Petruslah Tuhan telah mempercayakan segala harta Perjanjian Baru, untuk membentuk satu Tubuh kristus di dunia. Dalam tubuh itu harus disaturagakan sepenuhnya siapa saja, yang dengan suatu cara telah termasuk umat Allah, Selama berziarah di dunia, umat itu, meskipun dalam para anggotanya tetap tidak terluputkan dari dosa, berkembang dalam Kristus, dan secara halus dibimbing oleh Allah, menurut rencana-Nya yang penuh rahasia, sampai akhirnya penuh kegembiraan meraih seluruh kepenuhan kemuliaan kekal di kota Yerusalem sorgawi.
      UR 4: Kita percaya, bahwa kesatuan itu tetap lestari terdapat dalam Gereja Katolik, dan berharap, agar kesatuan itu dari hari ke hari bertambah erat sampai kepenuhan zaman.

      Oleh karena itu,  Komuni tidak dapat dibagikan kepada jemaat Protestan, atau bahkan kepada pendeta Protestan, walaupun mereka percaya bahwa hosti itu sudah diubah menjadi Tubuh Kristus. Hal ini pernah saya jawab di tulisan ini (silakan klik). Karena untuk sungguh bersatu dengan Tubuh Kristus, mereka harus juga mengakui kesatuan dengan Tubuh Mistik Kristus yang ada dalam Gereja Katolik. Dan hal inilah yang tidak dipunyai oleh mereka [karena kalau tidak demikian, tentu mereka sudah menjadi Katolik], sehingga mereka tidak diperkenankan menerima Komuni dalam Gereja Katolik.

      Semoga keterangan di atas dapat berguna, ya.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati

  23. Saya menemukan web ini secara tidak sengaja waktu sedang browsing web katolik. Ternyata webnya bagus banget n comment2nya pun tidak “bikin emosi tinggi” seperti banyak web keagamaan lain. Saya yang dibaptis sejak lahir dan minim pengetahuan terhadap iman katolik menemukan banyak sekali pencerahan di sini, he9…
    Saya ada beberapa pertanyaan, mohon dijawab:
    1. Mengapa ekaristi senantiasa menjadi pusat ibadat dalam gereja Katolik? Kenapa bukan sabda (seperti teman-teman Protestan) atau yang lain?
    2. Apa sebenarnya dosa asal itu? Saya sudah banyak membaca dan bertanya. Ada guru agama yang menjawab bahwa dosa asal itu adalah “kecenderungan dosa/untuk berbuat dosa”, tapi jawaban itu tidak memuaskan hati saya, karena dikatakan pula bahwa dengan dibaptis, kita dibersihkan dari dosa asal dan dosa pribadi. Kalau dikatakan dosa asal adalah kecenderungan dosa, mengapa setelah dibaptis pun kecenderungan kita untuk berbuat dosa itu tetap ada?
    3. Apa yang mendasari doktrin transubtansiasi? Memang di kitab suci kita mendapati bahwa Yesus mengatakan, “Inilah tubuh-Ku…” dst, tetapi apa yang mendasari pandangan Gereja bahwa maksud Yesus itu sungguh harafiah (bukan simbolis)? Karena Yesus sendiri sering berkata-kata dalam bahasa simbolis…
    4. Saya pernah diajari dalam pelajaran agama di sekolah bahwa kalau kita dalam situasi di mana dosa itu tidak dapat dihindari, kita hendaknya memilih untuk melakukan dosa yang terkecil (minus malum). Pertanyaan saya, apakah kita masih bisa dikatakan berdosa bila melakukan minus malum ini? Karena, sekecil apapun, itu kan tetap dosa, dan kita sadar/tahu bahwa minus malum yang kita lakukan itu tetap kejahatan.
    5. Saya pernah membaca mengenai ketiga pilar reformasi (sola fide, sola scriptura, sola gratia–atau entah apa itu, saya rada lupa namanya). Mengenai sola fide dan sola scriptura, saya sudah mengerti apa maksud keduanya dan mengapa Gereja Katolik tidak bisa menerima ajaran itu. Yang ingin saya tanyakan adalah tentang sola gratia itu. Apa itu sola gratia, dan apakah Gereja juga menolaknya sebagaimana kedua doktrin sebelumnya?
    Sekian pertanyaan saya, maaf kalau pertanyaannya kebanyakan, he3… Terima kasih sebelumnya.

    Shalom,
    Irena

    • Shalom Irena,

      Terima kasih atas pertanyaan dan dukungannya terhadap katolisitas.org. Berikut ini adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Irena.

      1) Pertanyaan tentang ekaristi, silakan melihat artikel ini (silakan klik) dan mengapa Ekaristi menjadi puncak kehidupan umat Kristiani, silakan baca artikel ini (silakan klik), dan bagaimana untuk mempersiapkan diri untuk menyambut Ekaristi silakan membaca artikel ini (silakan klik).

      2) Untuk menjawab dosa asal, maka silakan membaca artikel ini (silakan klik). Dan juga diskusi disini (silakan klik), yang intinya adalah:

      (a) Dengan penebusan Kristus, maka Kristus telah memberikan jalan menuju keselamatan (Yoh 14:6). Ibaratnya, dengan penebusan Kristus, maka Yesus telah membangun suatu jembatan yang dapat dilewati oleh setiap orang yang mau datang kepada-Nya. Namun ini tidak berarti bahwa dosa asal dihilangkan. Pada saat Adam dan Hawa berdosa, maka manusia telah kehilangan beberapa hal: 1) Rahmat kekudusan, 2) 4-preternatural gifts, yang terdiri dari (a) immortality/ tidak tunduk terhadap kuasa maut, (b) immunity from suffering / tidak dapat menderita, (c) infused knowledge, (d) integrity, yaitu harmoni dan tunduknya segala macam keinginan dan emosi dari kedagingan kita kepada reason (akal budi) (Lih KGK, 405, 337).

      (b) Sebagai akibat dosa, maka manusia kehilangan semua rahmat di atas. Namun dengan penebusan Kristus, maka Rahmat Kekudusan dipulihkan, yaitu dengan cara menerima Sakramen Baptis. Namun 4-preterntural gifts tidak dipulihkan dan tetap menjadi bagian dari manusia, sehingga manusia selalu berjuang terhadap empat hal: ignorance / ketidaktahuan, kematian, penderitaan, dan concupiscence/ kecenderungan untuk berbuat dosa. KGK 2515 menjelaskan tentang kecenderungan manusia untuk berbuat dosa.

      (c) Jadi dosa asal dihapuskan dengan menerima Sakramen Baptis, namun manusia tetap harus berjuang melawan keinginan daging, sehingga pada akhirnya manusia dapat sampai pada Kerajaan Surga. Oleh sebab itu, kita masih melihat banyak penderitaan, perang, kejahatan, dll. Kita harus menjalankan bagian kita masing-masing untuk memancarkan terang Kristus di dunia.

      3) Pertanyaan tentang doktrin transubtansiasi dapat melihat jawaban nomor 1.

      4) Pertanyaan untuk dosa: Untuk konsep dosa, silakan melihat artikel ini (silakan klik). Dan kemudian untuk mengerti apakah perbuatan kita baik atau tidak, kita dapat melihat prinsip Teologi Moral, yang diajarkan oleh St. Thomas Aquinas dalam Summa Theology, I-II, q. 18, a.4 yaitu bahwa, terdapat tiga hal yang menentukan moralitas suatu perbuatan:

      (a) Objek moral (moral object), yang merupakan objek fisik yang berupa tujuan yang terdekat (proximate end) dari sesuatu perbuatan tertentu (sifat dasar perbuatan) di dalam terang akal sehat.

      (b) Keadaan (circumstances) yaitu keadaan di luar perbuatan tersebut, tetapi yang berhubungan erat dengan perbuatan tersebut, seperti kapan dilakukan, di mana, oleh siapa, berapa banyak, bagaimana dilakukannya, dan dengan bantuan apa.

      (c) Maksud/tujuan (intention) yaitu tujuan yang lebih tinggi yang menjadi akhir dari perbuatan tersebut.

      Selanjutnya, St. Thomas Aquinas  mengajarkan bahwa "Evil results from any single defect, but good from the complete cause," Artinya, jika satu saja dari ketiga hal itu tidak dipenuhi dengan baik/ sesuai dengan akal sehat, maka perbuatan dikatakan sebagai kejahatan; dan karenanya merupakan ‘dosa’, sedangkan perbuatan yang baik harus memenuhi syarat ke tiga hal di atas.

      Dasar ini dapat kita pakai untuk menilai semua perbuatan, apakah itu dapat dikatakan perbuatan baik/ bermoral atau tidak.

      Jadi apakah dosa kecil (venial sin) yang kita lakukan dalam membuat pilihan tetap berdosa? Jawabanya adalah "ya" kalau melanggar ketiga prinsip di atas. Namun tentu saja karena keadaan yang mempengaruhi kita, maka dapat mengurangi bobot dosa tersebut. Kita harus minta kepada Tuhan agar kita diberikan rahmat kebijaksanaan, sehingga pada waktu kita dihadapkan pada persoalan tertentu, kita dapat bertindak sesuai dengan perintah Allah dan tidak berbuat dosa.

      5) Tentang sola fide, silakan lihat diskusi ini (silakan klik) dan juga ini (silakan klik), sola scriptura (silakan klik). Dan untuk sola gratia atau hanya berkat Tuhan, dimana dikatakan bahwa keselamatan adalah dikarenakan berkat Tuhan. Gereja Katolik setuju dengan hal ini. Dasarnya adalah keselamatan adalah diluar jangkauan manusia atau dengan kata lain, keselamatan adalah "in the order of grace" yang melebihi kodrat manusia. Oleh karena itu, keselamatan hanya dapat dicapai kalau diberikan secara cuma-cuma oleh Tuhan.

      Namun berkat Tuhan juga melibatkan manusia untuk turut berpartisipasi dalam karya keselamatan. St. Augustinus mengatakan "He who created you without you does not justify you without you." (Serm. 169,2,10.) Mungkin suatu saat, tim katolisitas.org akan menjabarkannya secara lebih lanjut bagaimana kodrat (nature) dan grace (berkat) menuntun manusia kepada keselamatan, seperti yang dikemukakan oleh St. Augustinus.

      Semoga uraian di atas dapat membantu.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      stef

  24. Halo,
    saya mau nanya tentang Ekaristi:
    1. Katanya, kalau Roti dan Anggur pada waktu malam perjamuan terakhir tidaklah lengkap.. ada lagi .. yaitu ketika Yesus haus dan diberi Anggur Masam, oleh karena itu dikatakan “telah selesai”. Lalu ditusuk dengan tombak, keluarlah darah dan air. Apakah itu benar?

    2. Holy Grail itu apa yah? Bagaimana penyikapan ttg Da Vinci Code karya Dan Brown?

    saya kadang hilang iman ketika Ekaristi.. bagaimana cara untuk meningkatkannya ya?

    • Shalom Kristofer,

      1) Gereja Katolik mengajarkan bahwa dalam Perjamuan terakhir, Yesus meng- institusikan Ekaristi, yaitu mendirikan sakramen Ekaristi untuk diteruskan sebagai peringatan yang menghadirkan kembali misteri wafat dan kebangkitan-Nya sampai kedatangan-Nya kembali pada akhir jaman.
      KGK (Katekismus Gereja Katolik 1364) mengatakan, "Dalam Perjanjian Baru kenangan itu mendapat arti baru. Apabila Gereja merayakan Ekaristi, ia mengenangkan Paska Kristus; Paska ini dihadirkan. Kurban yang dibawakan Kristus di salib satu kali untuk selama-lamanya, selalu tinggal berhasil guna. "Setiap kali korban salib yang di dalamnya dipersembahkan Kristus, Anak Domba Paska, dirayakan di altar, terlaksanalah karya penebusan kita" (Lumen Gentium 3).

      2) Roti dan Anggur dalam perjamuan tersebut melambangkan Tubuh dan Darah Kristus (lihat KGK 1376, 1377), suatu kenyataan simbolis bahwa melalui pengorbanan-Nya di kayu salib maka terjadi pertumpahan Daran-Nya, sehingga seperti seolah terpisah dari Tubuh-Nya, namun demikian sesungguhnya Tubuh dan Darah itu satu. Hal inilah yang menyebabkan, mengapa kita sebagai umat Katolik dapat menerima komuni dalam rupa hosti saja (atau anggur saja), dan itu tidak mengubah kenyataan bahwa kita sudah menerima kepenuhan Kristus.

      3) Bahwa pada saat di salib lambung Yesus ditikam, dan pada saat itu keluarlah darah dan air, maka kita melihat bahwa pada perjamuan Ekaristi hal itu pula yang dihadirkan kembali. Sebab pada sebelum konsekrasi, pastor mencampurkan anggur dengan sedikit air, untuk memperingati sengsara Yesus. Campuran antara darah dan air ini yang diubah menjadi darah Yesus dalam konsekrasi.

      4) Perkataan Yesus, "Sudah selesai" (Yoh 19:30) tersebut menyatakan bahwa dengan pengorbanan Diri-Nya di kayu salib, Yesus telah memenuhi rencana keselamatan Allah untuk manusia (rencana yang telah ribuan tahun dinubuatkan kini terpenuhi dengan pengorbanan Yesus di kayu salib)

      5) Terjemahan ‘Holy Grail’ sebenarnya adalah ‘piala anggur perjamuan terkahir’. Namun Holy Grail atau lengkapnya The Holy Blood and the Holy Grail adalah judul buku fiksi yang dikarang oleh Michael Baigent dkk, yang dipakai sebagai salah satu referensi oleh Dan Brown dalam menuliskan novelnya "Da Vinci Code". Perlu diketahui bahwa buku Da Vinci Code adalah buku cerita fiksi, sehingga isinya tidak mempunyai makna historis, dan sesungguhnya juga tidak berdasarkan fakta historis. Hanya saja cara Dan Brown menyampaikannya seolah-olah isi buku itu benar-benar berdasarkan fakta. Jika kita membaca KItab Suci dan fakta sejarah yang objektif, maka kita akan dapat melihat bahwa uraian Dan Brown tidak berdasar. Pihak Vatikan menentang buku ini namun tidak mengeluarkan kecaman heretik terhadap Dan Brown, karena Gereja tidak dalam posisi mempertentangkan isi buku yang sifatnya fiksi (tidak sungguh terjadi). Lebih lanjut silakan klik di sini dan klik di sini.

      6) Untuk lebih menghayati Ekaristi, pertama-tama diperlukan disposisi hati yang benar, dan mengimani sungguh kehadiran Yesus dalam Ekariti. Untuk itu, silakan juga membaca artikel Sudahkah kita pahami Ekaristi (silakan klik), dan Cara Mempersiapkan Diri menyambut Ekaristi, silakan klik di sini. Jika masih ada pertanyaan, silakan bertanya lagi ya, semoga saya dapat menjawabnya.

      Demikian yang dapat saya tuliskan sehubungan dengan pertanyaan Kristofer.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati

  25. Salam,
    Pada Perjamuan Akhir bersama ke-12 Rasulnya, Yesus mengatakan ‘Lakukanlah ini sebagai Peringatan/Kenangan akan Daku’. Tetapi disetiap Misa/Perayaan Ekaristi, Roti dan Anggur yang dipersembahkan oleh imam harus kita imani sebagai ulangan Perja-muan Akhir 2013 tahun yang lalu, yaitu sebagai Tubuh dan Darah Yesus, tidak sekedar sebagai ritual kenangan.
    A) Bagaimana dijelaskan Perayaan Ekaristi tak sekedar ritual peringatan/kenangan?
    B) Apakah orang Protestan juga mengimani Perjamuan Suci seperti orang Katolik?

    • Shalom Yohanes K,

      Mengenai Makna Ekaristi.

      Untuk menjelaskan makna Ekaristi, kita tidak dapat hanya melihat kepada Kitab Suci saja, namun juga kepada Tradisi Suci, yaitu bagaimana para rasul mengartikannya, sesuai dengan perintah yang dikatakan oleh Yesus kepada mereka. Untuk lebih lengkapnya, silakan membaca artikel Sudahkah kupahami arti Ekaristi?, dan Ekaristi Sumber dan Puncak Spiritualitas Kristiani (silakan klik). Yesus memerintahkan kepada para rasul-Nya untuk mengenangkan Perjamuan Kudus (lihat Mat 26: 26-28; Mrk 14: 22-24; Luk 22:15-20). Setelah kebangkitan Yesus, peringatan akan Perjamuan Kudus ini dilaksanakan dalam ibadah umat Kristen awal, yang terdiri pengajaran para rasul, persekutuan, ‘memecahkan roti’ dan berdoa (Kis 2:42, 46). ‘Memecahkan roti’ di sini adalah perayaan Perjamuan Kudus/ Ekaristi.  Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus (lihat 1 Kor 11:23-29)  menjelaskan makna Ekaristi ini bahwa dengan makan roti dan minum dari piala Ekaristi, maka umat memperingati Perjamuan kudus dan ‘memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang’ (1 Kor 11:26). Dengan menyambut Ekaristi, seseorang menyambut Tubuh dan Darah Tuhan Yesus, sehingga jika diterima dengan tidak layak dapat mendatangkan hukuman bagi umat tersebut. Hal kehadiran Yesus dalam Ekaristi sesuai dengan pengajaran Yesus tentang diri-Nya sebagai Roti Hidup (Yoh 6).

      a) Maka Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1341 mengajarkan bahwa perintah untuk mengulangi perbuatan dan perkataan-Nya, bukan hanya sebagai kenangan,  tetapi juga perayaan liturgis kenangan akan Kristus, yang merupakan ungkapan iman akan rahmat keselamatan yang kita peroleh lewat kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus, dan inilah yang kita beritakan sampai kedatangan Yesus yang kedua (akhir zaman) di mana Yesus akan datang sebagai pembela kita.

      b) KGK 1382 mengajarkan bahwa Misa adalah kenangan kurban, dan perjamuan komuni kudus dengan Tubuh dan Darah Tuhan Yesus, dan kurban dan perjamuan ini merupakan makna Ekaristi yang tak terpisahkan.
      Maka Perayaan Ekaristi merupakan penghadiran kembali kurban Yesus di kayu Salib, sekaligus juga kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga. Hal ini dimungkinkan karena kuasa Roh Kudus, dan karena Kristus yang menjadi kurban dan sekaligus Imam Agung dalam perayaan Ekaristi (yang bertindak di dalam diri pastor) adalah Allah yang tidak terbatas oleh waktu.
      Cara merayakan yang demikian telah menjadi Tradisi Suci Gereja Katolik sejak awal seperti halnya yang diajarkan oleh Bapa Gereja St. Ignatius dari Antiokhia (35-117), St. Sirilus (313- 386) dan St. Agustinus (354-430). St. Agustinus dalam penjelasannya kepada pengikut Mani (Manichaean), antara lain mengatakan bahwa, "…Sebelum kedatangan Kristus, kurban tubuh dan darah ini dinyatakan dengan kurban hewan sembelihan; di dalam sengsara Kristus, gambaran kurban sembelihan ini dipenuhi oleh kurban Kristus sebagai kurban sempurna, dan setelah kenaikan-Nya ke surga, kurban ini diperingati/dihadirkan kembali di dalam sakramen Ekaristi."  (Reply to Faustus the Manichaean, 21:20)

      c) Mengenai Perjamuan Kudus di dalam gereja Kristen Protestan, dan bedanya dengan Perayaan Ekaristi dalam Gereja Katolik sudah pernah saya jawab di tulisan ini (silakan klik). 

      Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat bagi kita semua untuk semakin menghayati makna Perayaan Ekaristi.

      Salam kasih dari http://www.katolitas.org
      Ingrid Listiati

  26. Salam kasih,
    Saya membaca Luk.10:25-37 tentang orang Samaria yang baik hati.Yang ingin saya tanyakan, adakah sesuatu yang khusus tentang orang Samaria sehingga Tuhan Yesus memilih orang Samaria sebagai “profil” orang yang baik hati dalam perumpamaannya?Mengapa bukan orang Lewi? Atau bahkan si tokoh imam?
    Jika orang Samaria digambarkan sebagai orang yang baik dalam perikop di atas, mengapa dalam Yoh.4:9 disebutkan orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria?
    Mohon penjelasannya ya. Karena dalam membaca kitab suci, kadang saya kesulitan memahami situasi yang diceritakan sehingga kadang sulit menangkap pesannya.
    Terima kasih sebelumnya.
    Tuhan memberkati kita semua.

    • Shalom Mei,
      Terima kasih atas pertanyaannya. Untuk memahami perikop orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37) dan juga kaitannya dengan orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria (Yoh 4:9), maka kita harus melihat beberapa hal:

      1) Pada saat pemerintahan Rehabeam, Israel terbagi menjadi dua, yang terdiri dari sepuluh suku di bagian utara, yang disebut kaum Israel dan Yehuda (terdiri dari Yehuda dan suku Benyamin). Dan Samaria adalah merupakan pusat kerajaan di bagian utara. Dan dua kerajaaan ini tidak hidup dengan rukun.
      Dalam pemerintahan Yerobeam, raja Israel, persembahan kepada Tuhan tidak lagi dilakukan di Yerusalem, namun dia mendirikan patung dua anak lembu dari emas di Betel dan Dan, dan memerintahkan rakyatnya (kerajaan bagian utara) untuk menyembahnya, sehingga tidak perlu lagi rakyatnya pergi ke Yerusalem (lih. 1 Raj 12:26-33).
      Kemudian pada jaman pemerintahan Jeroboam II, Israel jatuh ke tangan kerajaan Siria, dimana orang-orang Israel mulai mengadakan kawin campur dengan orang-orang Siria. Dengan demikian, kaum Israel melanggar perintah Tuhan yang mengatakan agar orang Israel tidak menikah dengan bangsa lain (lih. Ul 7:3-5). Inilah sebabnya orang-orang Yahudi membenci orang-orang Israel, dan menganggap mereka sebagai suku yang tidak murni lagi karena sudah saling menikah dengan bangsa lain.
      Orang-orang Israel juga mempersulit orang-orang Yahudi ketika mereka membangun kembali Yerusalem setelah pembuangan dari Babilonia (Ez 4; Neh 4).

      2) Jadi sangatlah mudah dimengerti bahwa orang-orang Yahudi membenci bangsa Israel (kerajaan bagian utara).

      Mari sekarang kita menghubungkannya dengan orang Samaria yang tidak disukai oleh orang Yahudi (Yoh 4:9) dan orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37).

      1) Dalam konteks Luk 10, Yesus ingin menekankan hukum kasih, yaitu kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama. Dan lebih lanjut Yesus ingin menekankan bahwa "sesama" tidak terikat kepada suku, golongan, maupun perbedaan keyakinan, namun sesama menjangkau seluruh umat manusia, bahkan termasuk orang-orang yang membenci kita.

      2) Perikop tersebut juga dapat diartikan sebagai berikut: Yesus adalah seorang Samaria yang baik, yang menolong dan membebaskan manusia yang terluka dan tak berdaya karena dosa. Dan bukan hanya menolong dengan dua dinar, namun dengan darah-Nya yang tak ternilai. Dan Yesus membawa manusia ke penginapan, yang dapat juga diartikan Gereja Katolik. Yesus juga merawat luka yang diakibatkan oleh dosa dengan minyak dan anggur, yang melambangkan sakramen-sakramen Gereja.

      Demikian yang dapat saya uraikan, semoga dapat menjawab pertanyaan Mei.

      Salam kasih dari https://katolisitas.org
      stef

  27. Sdr. Ingrid Listiati

    Istri saya yang dulunya protestan sekarang menjadi Katolik dan keluarga dari istri banyak yang protestan dan keluarga saya Katolik. Pada suatu hari ada yang mengatakan bahwa dalam kebaktian Bujono Suci dalam protestan sama dengan ekaristi. Pertanyaan saya : Apakah Roti dan Anggur di kebaktian protestan sama dengan Ekaristi?.

    Mohon pencerahannya.

    • Shalom Julius,
      Gereja Katolik mengajarkan bahwa keabsahan Sakramen Ekaristi berkaitan dengan Sakramen Tahbisan Suci dan jalur Apostolik yang diturunkan dari para Rasul (Apostolic succession). Perjamuan Kudus yang dilakukan oleh gereja Protestan kehilangan kedua unsur tersebut, sehingga maknanya tidak sama dengan Ekaristi di dalam Gereja Katolik.

      Tahbisan Suci dan jalur Apostolik ini adalah sangat penting, karena kedua hal ini menunjukkan keaslian dan kesetiaan terhadap iman Para Rasul, dan yang sungguh sesuai dengan perintah dan kehendak Yesus sendiri, baik dalam hal makna maupun dalam hal bagaimana seharusnya kita merayakannya. Pada dasarnya, kita harus menyadari bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mendirikan Gerejakecuali Kristus; dan tidak ada seorangpun yang dapat menentukan sah atau tidaknya Ekaristi, kecuali Kristus sendiri dan para rasul dan penerus mereka, yang telah diberi kuasa oleh Yesus untuk menentukan hal itu (lih. Mat 18:18).
      Kita sebagai umat beriman hanya dapat menerima dengan rendah hati apa yang sudah ditentukan oleh Yesus dan para rasul tersebut.

      Lebih lanjut tentang hal ini, silakan membaca jawaban surat Oelean yang pernah ditulis oleh Stefanus Tay, di sini (silakan klik).

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati

  28. Stefanus Tay dalam jawaban pertanyan menulis :
    Ada yang mengajukan argumentasi bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena berdasarkan beberapa kitab-kitab yang tidak termasuk dalam alkitab. Dan inilah yang dijabarkan secara panjang lebar dalam karya fiksi (fiksi = tidak nyata) dalam Da Vinci Code tulisan Dan Brown.

    Pertamyaan saya :
    1. Mengapa otoritas Gereja Katolik tidak melakukan gugatan kepada penulis fiksi yang seakan membiarkannya dan bahkan karya fiksi itu ada yang menterjemahkan dalam banyak bahasa?. Bukankah ini menyesatkan?
    2. Didalam lukisan Perjamuan Kudus dilukis / digambarkan Meria Magdalena kepalanya menempel di pundak Yesus, dan bahkan banyak orang Katolik yang memasang gambarnya., dengan tidak sadar, bahwa gambar tersebut terinpirasi karya fiksi dalam Da Vinsi Code yang ditulis Dan Brown.
    3. Di Geraja Katolik sendiri (tanda kutip) tidak pernah memberikan penjelasan dan alasan-alasan lukisan-lukisan mana saja yang patut dan tidak patut dipasang

    Terima kasih atas penjelasannya, semoga semakin menambah wawasan dan iman kita.

    • Shalom Julius,

      1) Setahu saya, Vatikan memang menolak isi buku Da Vinci Code, karangan Dan Brown. Pada tanggal 15 Maret 2005, Vatikan menunjuk Tarcisio Kardinal Bertone, seorang Kardinal Italia yang pada waktu itu bertugas sebagai Archbishop di Genoa untuk menangani masalah ini. Kardinal Bertone kemudian menyuarakan reaksi keras dan menolak isi buku Da Vinci Code yang menyatakan bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena dan memiliki keturunan. Kardinal Bertone menyebut bahwa hal itu merupakan pernyataan yang sesat dan memalukan, dan ia menganjurkan agar para umat beriman memboikot buku tersebut (dan juga filmnya pada tahun 2006). Lihat jawaban bahwa tidak benar Yesus menikah dengan Maria Magdalena. Meskipun demikian, baik Kardinal Bertone dan juru bicara Vatikan tidak menyatakan bahwa beliau berbicara sebagai perwakilan resmi dari Gereja Katolik (Vatican tidak perlu men-cap ‘heretic’ pada karya fiksi/ cerita yang sesungguhnya tidak terjadi. Menurut sejarah Gereja, yang dianggap heretic adalah pengajaran yang bertentangan dengan pengajaran Gereja, yang dinyatakan dan disebarkan bukan atas dasar karya fiksi); namun karena pernyataan ini dibuat oleh Kardinal yang tingkatannya cukup tinggi (bahkan merupakan salah satu calon Paus dalam pemilihan Paus terdahulu), maka pernyataan tersebut dapat dipercaya dan memiliki bobot yang serius.

      2) Mengenai gambar "Perjamuan Terakhir": yang duduk di sisi kanan Yesus adalah Rasul Yohanes dan bukan Maria Magdalena. Alkitab menunjukkan dengan jelas dan hal ini didukung oleh beberapa hal. Joseph Ratzinger (Paus Benedict XVI) dalam bukunya Jesus of Nazareth menjelaskan hal ini, dan berikut ini adalah kutipan ringkasnya (Double Day, New York, 2007, h.222- 225):

      a) Rasul Yohanes disebut di Alkitab sebagai Rasul yang dikasihi oleh Yesus dan yang bersandar di dada Yesus (Yoh 13:25). Pernyataan ini seharusnya dibaca paralel dengan prolog Injil Yohanes yang menerangkan tentang Yesus, "Tidak ada yang pernah melihat Allah, hanyalah Putera-Nya yang tunggal, yang terdekat dengan hati Allah Bapa, yang telah menyatakan Dia." (Yoh 1:18). Seperti Yesus, Sang Putera, mengetahui misteri Allah Bapa karena bersandar pada hati-Nya, maka Rasul Yohanes menerima pengetahuan yang mendalam tentang Yesus dengan menyandarkan diri pada hati Yesus.

      b) Melalui Alkitab, Rasul Yohanes kita ketahui sebagai anak Zebedeus. Nah sekarang, Penelitian ahli Kitab Suci dari Perancis yang bernama Henri Cazelles, yang meneliti penyelidikan J. Colson, J Winandy dan M.E. Boismard, menyatakan bahwa kemungkinan Zebedeus adalah seorang Imam Agung di Bait Allah, yang memang tugasnya dirotasi 2 kali setahun, sekali bertugas adalah seminggu. Sepulangnya dari tugas di Bait Allah ini, Zebedeus bekerja sebagai nelayan, namun bukan sembarang nelayan, melainkan kepala nelayan yang membawahi beberapa pekerja/ nelayan. Itulah sebabnya maka kedua anaknya, Yohanes dan Yakobus, dapat meninggalkannya untuk mengikuti Yesus. Karena statusnya sebagai anak Imam agung inilah, maka Yohanes dapat masuk ke tempat Yesus diadili (lih. Yoh 18:15). Selanjutnya, kemungkinan pula Zebedeus tinggal di daerah suku Essenes di Yerusalem; dan ia pula  yang memberikan tempat kepada Yesus dan para rasul-Nya untuk mengadakan Perjamuan Terakhir. Menurut adat kebiasaan Yahudi, jika tuan rumah tidak dapat hadir dalam perjamuan, maka yang mewakili adalah anaknya yang sulung, yang harus duduk di sebelah kanan sang tamu dan kepalanya bersandar di dada tamu tersebut. Maka karena adat kebiasaan Yahudi inilah, Yohanes menyandarkan kepalanya di dada Yesus.
      Dari uraian di atas, maka kita mengetahui, bahwa yang duduk di sebelah kanan Yesus adalah Rasul Yohanes, dan bukan Maria Magdalena. Jadi pernyataan Dan Brown tersebut, adalah fiksi, dan tidak mengambil dasar dari Alkitab maupun sejarah pada saat itu- setidaknya itulah yang kita ketahui dari penelitian para pakar (exegetes) Kitab suci seperti yang disebutkan di atas.

      3) Dengan melihat bahwa yang duduk bersandar pada Yesus itu adalah Rasul Yohanes, maka Gereja Katolik tidak melarang pemajangan lukisan "Perjamuan Terakhir".

      Semoga uraian di atas menjawab pertanyaan Julius.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati

      • Selamat Tahun Baru P. Stef & B.Ingrid, semoga di tahun yang baru Tuhan Yesus lebih memberkati dan lebih sukses.

        Dari penjelasan di atas mengenai mruid Yesus yang duduk di sebelah kanan Yesus dan menyandarkan kepalanya di dada Yesus adalah Yohanes, anak sulung Zebedeus. Pertanyaan saya adalah bukankah Yohanes adalah murid termuda dari keduabelas rasul Yesus? Jika Yohanes adalah anak sulung jadi dia adalah kakak dari Yakobus, berarti dia bukan murid termuda?
        GBU,

        • Shalom Chandra,
          Mengenai apakah Yohanes merupakan rasul termuda, memang merupakan perkiraan umum para ahli Kitab Suci, namun hal ini tidak diketahui secara pasti. Rasul Yohanes sering dianggap sebagai rasul termuda, karena menurut sejarah, ia adalah rasul yang hidup paling lama (jika dibandingkan dengan para rasul yang lain), yaitu sampai sekitar 95 tahun (wafat pada tahun 99/ 100), dalam pengasingan di pulau Patmos, sedangkan para rasul lainnya wafat sebagai martir.
          Bahwa Yohanes merupakan anak sulung dari Zebedeus yang menjadi pemilik rumah tempat diadakannya Perjamuan terakhir, juga masih merupakan pendapat/  hasil studi ahli kitab suci (exegete) dari Perancis yang bernama Henri Cazelles, seperti yang dikutip oleh Paus Benediktus XVI dalam bukunya "Jesus of Nazareth" p. 224-225. (Silakan di-cek pada terjemahan bahasa Indonesia-nya pada bab delapan, Tentang Penggambaran Prinsip dari Injil Yohanes). Jika Yohanes anak sulung, maka Yakobus adalah rasul termuda.
          Maka kedua pendapat tentang Yohanes atau Yakobus sebagai rasul termuda memang masih merupakan perkiraan para ahli Kitab Suci.

          Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
          Ingrid Listiati

Comments are closed.