(Relevansi kann. 1083-1094)
Ada bermacam-macam halangan yang menggagalkan perkawinan
Kurangnya umur (bdk. kan 1083):
Syarat umur yang dituntut oleh kodeks 1983 adalah laki-laki berumur 16 tahun dan perempuan berumur 14 tahun dan bukan kematangan badaniah. Tetapi hukum kodrati menuntut kemampuan menggunakan akalbudi dan mengadakan penilaian secukupnya dan “corpus suo tempore habile ad matrimonium”. Hukum sipil sering mempunyai tuntutan umur lebih tinggi untuk perkawinan dari pada yang dituntut hukum Gereja. Jika salah satu pihak belum mencapai umur yang ditentukan hukum sipil, Ordinaris wilayah harus diminta nasehatnya dan izinnya diperlukan sebelum perkawinan itu bisa dilaksanakan secara sah (bdk kan. 1071, §1, no.3). Izin semacam itu juga harus diperoleh dari Ordinaris wilayah dalam kasus di mana orang tua calon mempelai yang belum cukup umur itu tidak mengetahui atau secara masuk akal tidak menyetujui perkawinan itu (bdk. kan 1071, §1, no.6).
Impotensi (bdk kan. 1084):
Impotensi itu adalah halangan yang menggagalkan, demi hukum kodrati, dalam perkawinan. Sebab impotensi itu mencegah suami dan istri mewujudkan kepenuhan persatuan hetero seksual dari seluruh hidup, badan dan jiwa yang menjadi ciri khas perkawinan. Yang membuat khas persatuan hidup suami istri adalah penyempurnaan hubungan itu lewat tindakan mengadakan hubungan seksual dalam cara yang wajar. Impotensi yang menggagalkan perkawinan, haruslah sudah ada sebelum perkawinan dan bersifat tetap. Pada waktu perkawinan sudah ada, bersifat tetap maksudnya impotensi itu terus menerus dan bukan berkala, serta tidak dapat diobati kecuali dengan operasi tidak berbahaya. Impotensi ada dua jenis: bersifat absolut dan relatif. Impotensi absolut jika laki-laki atau perempuan sama sekali impotens. Impotensi relatif jika laki-laki atau perempuan tertentu ini tidak dapat melaksanakan hubungan seksual. Dalam hal absolut orang itu tidak dapat menikah sama sekali, dalam impotensi relatif pasangan tertentu juga tidak dapat menikah secara sah.
Adanya ikatan perkawinan (bdk. kan 1085):
Ikatan perkawinan terdahulu menjadi halangan yang menggagalkan karena hukum ilahi. Kan 1085, §1: menghilangkan ungkapan “kecuali dalam hal privilegi iman” (Jika dibandingkan dengan kodeks 1917). Ungkapan ini berarti jika seorang yang dibaptis menggunakan privilegi iman walau masih terikat oleh ikatan perkawinan terdahulu, dia bisa melaksanakan perkawinan secara sah dan ketika perkawinan baru itu dilaksanakan ikatan perkawinan lama diputuskan.
Disparitas cultus (bdk. kan 1086):
Perkawinan antara dua orang yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah. Perlu dicermati ungkapan “meninggalkan Gereja secara formal” berarti melakukan suatu tindakan yang jelas menunjukkan etikat untuk tidak menjadi anggota Gereja lagi. Tindakan itu seperti menjadi warga Gereja bukan Katolik atau agama Kristen, membuat suatu pernyataan di hadapan negara bahwa dia bukan lagi Katolik. Namun demikian janganlah disamakan tindakan itu dengan orang yang tidak pergi ke Gereja Katolik lagi tidak berarti meninggalkan Gereja. Ada dua alasan tentang norma ini: pertama karena tujuan halangan ini adalah untuk menjaga iman katolik, tidak ada alasan mengapa orang yang sudah meninggalkan Gereja harus diikat dengan halangan itu. Kedua, Gereja tidak mau membatasi hak orang untuk menikah.
Perkawinan yang melibatkan disparitas cultus (beda agama) ini, sesungguhnya tetap dapat dianggap sah, asalkan: 1) sebelumnya pasangan memohon dispensasi kepada pihak Ordinaris wilayah/ keuskupan di mana perkawinan akan diteguhkan. Dengan dispensasi ini, maka perkawinan pasangan yang satu Katolik dan yang lainnya bukan Katolik dan bukan Kristen tersebut tetap dapat dikatakan sah dan tak terceraikan; setelah pihak yang Katolik berjanji untuk tetap setia dalam iman Katolik dan mendidik anak-anak secara Katolik; dan janji ini harus diketahui oleh pihak yang non- Katolik (lih. kan 1125). 2) Atau, jika pada saat sebelum menikah pasangan tidak mengetahui bahwa harus memohon dispensasi ke pihak Ordinaris, maka sesudah menikah, pasangan dapat melakukan Convalidatio (lih. kann. 1156-1160) di hadapan imam, agar kemudian perkawinan menjadi sah di mata Gereja Katolik.
Tahbisan suci (bdk. kan. 1087):
Adalah tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci.
Kaul kemurnian dalam suatu tarekat religius (bdk. kan. 1088):
Kaul kekal kemurnian secara publik yang dilaksanakan dalam suatu tarekat religius dapat menggagalkan perkawinan yang mereka lakukan.
Penculikan dan penahanan (bdk. kan. 1089):
Antara laki-laki dan perempuan yang diculik atau sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud untuk dinikahi, tidak dapat ada perkawinan, kecuali bila kemudian setelah perempuan itu dipisahkan dari penculiknya serta berada di tempat yang aman dan merdeka, dengan kemauannya sendiri memilih perkawinan itu. Bahkan jika perempuan sepakat menikah, perkawinan itu tetap tidak sah, bukan karena kesepakatannya tetapi karena keadaannya yakni diculik dan tidak dipisahkan dari si penculik atau ditahan bertentangan dengan kehendaknya.
Kejahatan (bdk. kan. 1090):
Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap pasangan orang itu atau terhadap pasangannya sendiri.
Persaudaraan (konsanguinitas (bdk. kan. 1091):
Alasan untuk halangan ini adalah bahwa perkawinan antara mereka yang berhubungan dalam tingkat ke satu garis lurus bertentangan dengan hukum kodrati. Hukum Gereja merang perkawinan di tingkat lain dalam garis menyamping, sebab melakukan perkawinan di antara mereka yang mempunyai hubungan darah itu bertentangan dengan kebahagiaan sosial dan moral suami-isteri itu sendiri dan kesehatan fisik dan mental anak-anak mereka.
Hubungan semenda (bdk. kan. 1092):
Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun. Kesemendaan adalah hubungan yang timbul akibat dari perkawinan sah entah hanya ratum atau ratum consummatum. Kesemendaan yang timbul dari perkawinan sah antara dia orang tidak dibaptis akan menjadi halangan pada hukum Gereja bagi pihak yang mempunyai hubungan kesemendaan setelah pembaptisan dari salah satu atau kedua orang itu. Menurut hukum Gereja hubungan kesemendaan muncul hanya antara suami dengan saudara-saaudari dari isteri dan antara isteri dengan saudara-saaudara suami. Saudara-saudara suami tidak mempunyai kesemendaan dengan saudara-saudara isteri dan sebaliknya. Menurut kodeks baru 1983 hubungan kesemendaan yang membuat perkawinan tidak sah hanya dalam garis lurus dalam semua tingkat.
Halangan kelayakan publik (bdk. kan. 1093):
Halangan ini muncul dari perkawinan tidak sah yakni perkawinan yang dilaksanakan menurut tata peneguhan yang dituntut hukum, tetapi menjadi tidak sah karena alasan tertentu, misalanya cacat dalam tata peneguhan. Halangan ini muncul juga dari konkubinat yang diketahui publik. Konkubinat adalah seorang laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa perkawinan atau sekurang-kurangnya memiliki hubungan tetap untuk melakukan persetubuhan kendati tidak hidup bersama dalam satu rumah. Konkubinat dikatakan publik kalau dengan mudah diketahui banyak orang.
Adopsi (bdk. kan. 1094):
Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua. Menurut norma ini pihak yang mengadopsi dihalangi untuk menikah dengan anak yang diadopsi, dan anak yang diadopsi dihalangi untuk menikah dengan anak-anak yang dilahirkan dari orang tua yang mengadopsi dia. Alasannya karena adopsi mereka menjadi saudara-saudari se keturunan.
Kepada YTH,
Romo Gusti Kesumawanta.
Yang diberkati tuhan
Perkenalkan saya Malfi dan saya seorang katolik
Umur saya 25 tahun
Saya tinggal di Pemalang
Sekedar ingin mencari pencerahan tentang suatu masalah atau kejadian yang sekitar saya alami
Dan kejadian ini sudah saya sempat diskuskan dengan seorang muslim , Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu.
Masalah :
Tentang seorang wanita katolik dia bernama helena prahastuti
Helena seorang wanita yang sudah menikah dengan pria bali bernama wayan antonius dan pernikahan mereka di adakan secara adat 8 tahun silam di bali, .. dari hasil perkawinan mereka memiliki seorang anak cantik berumur sekitar 6/7 tahun saat ini , bernama Anya
Sekarang masalahnya adalah seorang istri ( helen a) meninggalkan anak dan suami nya dengan alasan tidak jelas, sudah hampir 7-8 bulan helena meninggalkan keluarga di bali, tidak dengan sepatah kata apapun helena pergi.
Dan setelah kepergian helena yang entah kemana, tiba-tiba helena memutuskan untuk menikah dengan seorang pemuda di pemalang bernama Fredi Santoso.
Helena memutuskan menikah tanpa menyelesaikan pernikahannya yang terdahulu dengan Wayan serta tidak memikirkan anak cantik ( Anya ) yang mereka miliki dari hasil pernikahan 8 tahun.
Wayan sudah berusaha untuk kembali membangun rumah tangga dengan helena, sampai menghubungi keluarga helena yang berada di purwokerto, serta menghubungi semua kerabat dekat dengan harapan bisa membantu untuk rujuk dan memulai kembali rumah tangga mereka, Wayan pun menghubungi gereja katedral ( purwokerto ) serta menghubungi romo boni disana .
Romo boni pun sudah diberikan semua bukti bahwasanya helena sudah menikah dan mempunyai anak,serta romo boni pun di beri tahukan tentang perbuatan dosa yang dilakukan helena dan fredi setiap mereka bertemu pasti saja melakukan hubungan suami istri.
Helena menganggap semua itu muda karna romo boni memberikan peluang kepada helena dan keluarganya.
wayan sudah bicara baik-baik dengan seluruh keluarga ( ibu, kakak, adik ) serta orang terdekat helena untuk membantu , tapi semua itu nihil, karna keluarga helena menutup diri untuk mendengar semua penjelasan wayan,
Wayan konsultasi dengan romo Boni di purwokerto tempat tinggal helena sekarang, dan tidak ada tanggapan baik dari romo Boni disana, romo Boni seolah membuka peluang untuk helena menikah dengan Fredi santoso pemuda dari pemalang, romo Boni menutup mata dengan status helena yang masih istri Wayan yang dinikahi secara adat di bali, dan romo boni dipurwokerto dengan mudah memberi restu pernikahan mereka nanti. Dan menyatakan kalau masalah pernikahan wayan dan helena hanya per sekian persen sehingga helena dan fredi dapat menikah secara mudah di gereja katedral
Romo boni di purwokerto tidak perduli dengan nasib anak cantik yang helen dan Wayan miliki, romo Boni di purwokerto memang memiliki kedekatan yang spesial dengan keluarga helena di purwokerto, dengan kejadian ini saya jadi menyimpulkan romo berat sebelah, karna hubungan kedekatan dengan keluarga sehingga mengenyampingkan keutuhan keluarga wayan dan helena.
Hasil diskus saya dengan teman muslim , Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu :
Penikahan tidak boleh di lanjutkan karna helena masih berstatus istri Wayan yang dinikahi secara adat
Wayan harus diberi kesempatan untuk membangun kembali rumah tangga mereka
Anya Anak cantik yang mereka miliki berhak memiliki kebahagian dengan keluarga yang utuh
Romo Boni dan seluru keluarga tidak boleh menutup mata dengan kenyataan helena yang sudah mempunyai keluarga dan merestui pernikahan mereka nanti.
Pertanyaan saya :
1. Menurut romo apakah bisa pernikahan ini berlanjut ?
2. Apakah Wayan masih bisa membangun pernikahan mereka, dan Wayan bersedia menikah secara gereja nantinya?
3. Keluarga sudah di beri tahu tetapi tidak di dengar, karna di beri angin oleh romo Boni di purwokerto, apakah saya masih bisa mendengarkan apa yang dikatakan romo Boni di purwokerto tsb ?
Demikian pertanyaan yang saya ajukan untuk romo, dan saya mohon pencerahan agar saya dapat mengambil dan memilah mana yang harus saya jalani dan saya hindari
Salam hangat
Malfiana
Malfiana Yth
Perkawinan harus didasarkan pada status bebas seseorang untuk dapat menikah secara sah. Dari cerita anda jelas sudah pernah menikah dan ada ikatan perkawinan meski secara adat. Oleh karena itu, perkawinan tidak bisa dilanjutkan tanpa adanya pernyataan dari pihak yang berwenang bahwa Helena telah bebas dan dapat menikah lagi. Tidak bisa menjawab dengan jaminan bahwa Wayan dapat membangun perkawinan dengan Helena lagi artinya perlu rekonsiliasi, rujuk damai yang perlu tindakan luar biasa. Silakan datang ke Romo Boni untuk menyampaikan keberatan yang anda sampaikan. Perkawinan secara adat Hindhu Bali diakui secara sipil sebagai perkawinan yang sah. Semoga dapat dipahami.
salam
Rm Wanta
Salam Sejahtera, Romo dan mba Malfiana
Saya terkejut dan turut merasa prihatin dengan apa yg dialami oleh saudara Wayan. Saya mengerti betul bagaimana rasanya berasa di posisi mas Wayan. Karena saudara saya sendiri tengah mengalami hal yg sama.
Sebagai umat katolik, semoga kita dapat saling menguatkan saudara kita yg dalam kesulitan.
Salam kenal mba Malfiana, smoga pesan saya dpt dibalas. Karena saya ingin berdiskusi dgn mba lebih jauh. Salam damai. :)
Yth
Romo,
Romo, boleh saya bertanya?
jujur saya bingung dengan masalah ini romo.. Saya dengan pacar saya sudah berhubungan layaknya suami istri. dan ternyata kami memiliki hubungan saudara. kakek saya adalah kakak dari nenek pacar saya. lantas apa yang harus saya lakukan romo? dia janji dia bakal menikah dengan saya, tapi entah kenapa sekarang dia lari dan dia selalu bilang tidak mau melanggar hukum gereja. saya bingung romo…
terimakasih romo, Tuhan yesus memberkati.
Shalom Faniangel,
Kalau kita melihat dari sisi hukum Gereja, maka kita melihat peraturannya adalah sebagai berikut:
Kan. 1091 – § 1. Tidak sahlah perkawinan antara mereka semua yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik yang sah maupun yang natural.
§ 2. Dalam garis keturunan menyamping, perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat keempat.
§ 3. Halangan hubungan darah tidak dilipatgandakan.
§ 4. Perkawinan tidak pernah diizinkan, jika ada keraguan apakah pihak-pihak yang bersangkutan masih berhubungan darah dalam salah satu garis lurus atau dalam garis menyamping tingkat kedua.
Jadi, dalam kasus Anda, maka Anda dan pacar Anda mempunyai garis keturunan menyamping tingkat enam. Dengan kata lain, tidak ada larangan dari sisi hukum Gereja.
Yang perlu disikapi adalah kalau Anda tetap melanjutkan ke jenjang yang lebih serius adalah dengan menghentikan perbuatan yang jelas dilarang sebelum masuk ke jenjang perkawinan. Anda perlu mendiskusikan hal ini dengan pacar Anda. Dan semoga Anda dan pacar Anda dapat memulai lagi hubungan yang lebih baik, lebih sehat dan lebih murni.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Romo, saya ” nikah ” waktu saya umur 18 tahun dengan unsur paksaan, ancaman dari suami yang umurnya jauh lebih tua daripada saya, dan tanpa kehadiran atau sepengetahuan orang tua saya..
Umur 19 saya pergi meninggalkan ” suami ” karena saya disiksa sama dia dan saya tidak tahan lagi..
pernikahan kami tidak pernah tercatat di catatan sipil..
” Suami ” saya pegang surat dari gereja..
bisakah pernikahan kami digagalkan ?
apa saya harus pindah agama untuk menggagalkan pernikahan kami?
Warm Regards
Alida
Alida yth,
Jika perkawinan dengan paksaan sebelum peneguhan perkawinan maka bertentangan dengan prinsip libertas kebebasan moral untuk memilih dan itu cacat konsensus, dapat dianulir perkawinannya. Apalagi membahayakan jiwa Anda.
salam
Rm Wanta
Romo, sampai sekarang saya masih bergumul dengan jawaban yang mengatakan boleh diberkati di gereja Katolik, walaupun dia sudah pernah kawin dan diberkati di gereja non Katolik. Katanya perkawinan itu memang sah untuk sipil tetapi tidak sah untuk Katolik, karena perkawinan itu tidak sakramen. Lalu bagaimana kita mempertentangkan ini dengan sabda Allah “Apa yg telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Ternyata dengan sepotong surat cerai, kita mengabaikan sabda yg utama ini. Mohon bantuan romo atas pergolakan batin ini apalagi saya seorang pengurus lingkungan, di paroki Sakramen Maha Kudus Kissaran
Wirakop yth
Perkawinan itu ada dua macam dari sudut pandang Gereja Katolik. Perkawinan kanonik dan non kanonik. Perkawinan kanonik kalau diteguhkan di dalam Gereja Katolik sesuai aturannya. Perkawinan non kanonik yaitu perkawinan di luar norma hukum Gereja Katolik dan pasti di luar Gereja Katolik seperti di KUA dll. Mereka sudah menikah/kawin tapi tidak sah secara kanonik. Nah untuk sah kanonik, perlu dilakukan pengesahan kanonik. Itulah yang saya katakan diberkati di Gereja Katolik maksudnya diberkati adalah disahkan kembali perkawinan yang sudah sah tapi hanya secara sipil saja.
Salam
Rm Wanta
Salam,
Misal ada kasus seorang laki-laki A (anak dari ayah X dan ibu Y). Kakak perempuan dari X (yaitu perempuan Z)punya anak laki-laki K. Kemudian si K punya anak perempuan B. Dapatkah laki-laki A menikahi perempuan B dalam gereja Katolik ? Mohon penjelasannya.
Shalom Romy,
Ya, B dapat menikah dengan A di Gereja Katolik (tentu jika tidak ada halangan lain/ semua persyaratan kanonik terpenuhi), sebab garis yang menghubungkan mereka ada 5 garis, sedangkan yang tidak diperkenankan adalah garis keturunan menyamping sampai tingkat ke-empat (kan. 1091, § 2).
Cara menghitungnya adalah:
A anak dari X, X adalah anak dari O (sebut saja demikian)
B anak dari K, K anak dari Z, Z anak dari O.
Pertemuan garis keturunan A dan B bertemu di O, dan sekarang hitunglah jumlah garis yang mengubungkannya, yaitu AX, XO, BK, KZ, ZO, total ada 5 garis, maka lebih dari batas minimum 4 garis.
Silakan membaca lebih lanjut di artikel ini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih atas penjelasannya ibu Ingrid Listiati.
Shalom Katolisitas
Saya ingin menanyakan tentang masalah perkawinan, ada kasus perkawinan seperti berikut :
ada seorang wanita yang telah menikah pada tahun 2003, ketika mengandung anak ketiga, suaminya meninggalkannya begitu saja pada tahun 2007… dan pada tahun 2011 wanita tersebut belajar katekumen dan akhirnya pada tahun 2012, dia dibaptis dan menjadi anggota gereja Katolik.. seiring waktu berjalan (sejak ditinggal suaminya), dia menemukan seorang pria Katolik single (WNA, sedang mengurus surat WNI) dan tinggal bersama (kumpul kebo) dan mempunyai seorang anak..
yang jadi pertanyaan :
1. apakah wanita tersebut terhalang oleh syarat perkawinan secara Katolik (perkawinan sebelumnya)?
2. apakah mereka dapat mengajukan kanonik dan menikah secara gereja Katolik?
3. apakah perkawinan wanita itu sebelumnya harus diajukan kepada tribunal perkawinan agar dapat menikah secara katolik?
Mohon tanggapan dan penjelasan dari Romo dan team Katolisitas
Terima Kasih
Tuhan memberkati seluruh pelayanan katolisitas kepada semua orang
Win yth
Dengan jelas dan pasti wanita tersebut terhalang oleh syarat perkawinan karena telah memiliki ikatan perkawinan sebelumnya meskipun sudah ditinggal pergi, apalagi dibaptis. Dapat terjadi ada kesalahan pastor, yang membaptis seseorang dalam keadaan bermasalah dalam perkawinan (lihat **). Harus dilihat dulu kasusnya, kalau pembaptisan itu tidak mengembangkan orang ke arah kesucian hidup dan berkembanganya rahmat sakramen dalam hidupnya maka jangan dibaptis terutama mereka yang dibaptis lalu hidup bersama tanpa perkawinan yang sah kanonik. Dengan sendirinya karena ada halangan, tidak dapat melangsungkan perkawinan kanonik. Harus diproses di tribunal perkawinan apakah ada bukti bahwa ada cacat perkawinan mereka sebelumnya.
salam
Rm Wanta
**
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Win,
Tulisan di atas tidak cukup menjelaskan apakah pada saat wanita itu dibaptis, ia dalam keadaan hidup bersama dengan kekasihnya itu, di luar ikatan perkawinan. Jika ya, maka ini adalah pelanggaran, dari pihaknya karena tidak memberitahukan kepada Romo yang membaptis, dan dari pihak Romo, karena tidak menanyakan kepadanya tentang status perkawinannya. Jika ini yang terjadi, bahwa ia telah dibaptis, tidak mengubah kenyataan bahwa tindakannya untuk hidup bersama dengan seseorang di luar ikatan perkawinan, adalah tindakan yang salah/ dosa, dan sebetulnya ia tidak dapat menerima Komuni dalam keadaannya yang sedemikian.
Menekankan jawaban Rm. Wanta:
Ya, ada halangan menikah dari pihak wanita tersebut karena perkawinan secara Katolik mensyaratkan status liber (bebas dari ikatan perkawinan) dari kedua belah pihak agar pasangan dapat menikah secara sah. Tanpa status bebas ini, maka pasangan tak dapat menikah secara sah menurut Gereja Katolik. Jika memang di perkawinan sebelumnya ada halangan/ cacat perkawinan sebagaimana pernah diulas di sini, silakan klik, silakan mengajukan permohonan pembatalan perkawinan tersebut ke pihak Tribunal yang akan diikuti dengan proses penyelidikan/ pemeriksaan oleh pihak Tribunal keuskupan. Baru jika permohonan anulasi (pembatalan perkawinan terdahulu) tersebut dikabulkan, atas dasar bukti-bukti dan saksi, baru wanita tersebut dapat menikah, kali ini secara sah, di Gereja Katolik. Namun jika tidak ada dasar untuk melakukan permohonan pembatalan (karena tidak adanya pelanggaran/ halangan/ cacat) yang terjadi sebelum ataupun pada saat pernikahan, maka sesungguhnya wanita itu tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan (anulasi). Diperlukan keterbukaan hati dan kejernihan pikiran untuk melihat dengan jujur kepada perkawinan terdahulu, apakah sebenarnya memang ada halangan/cacat. Sebab jika tak ada dasar pembatalan, maka ikatan perkawinan terdahulu itulah yang sah di hadapan Tuhan, dan yang tak terceraikan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Bu Ingrid,
kalau dilihat dari kronologis tahunnya, ibu itu belum tentu menikah secara katholik. karena disebutkan ibu itu mengikuti pelajaran katekumen dan dibabtis beberapa tahun setelah ditinggalkan suaminya.
kalau ibu itu memang belum pernah menikah secara katholik lalu akan menikah dengan pasangannya (WNA) apakah juga tetap tidak boleh?
Terimakasih.
Shalom Anna,
Gereja Katolik menjunjung tinggi martabat perkawinan, maka jika seseorang sudah menikah secara sah menurut agama lain, meskipun bukan secara Katolik, juga ikatan perkawinan itu diakui oleh Gereja Katolik. Dengan demikian, orang yang sudah pernah menikah secara sah menurut agama manapun, ia terhalang untuk menikah lagi di Gereja Katolik. Dengan kata lain, perkawinan Katolik mensyaratkan status liber (tidak pernah terikat perkawinan apapun) dari kedua pihak yang akan menikah. Kekecualian adalah, jika dapat dibuktikan bahwa perkawinan terdahulu itu tidak memenuhi syarat ke-sah-an menurut hukum Gereja Katolik, dan untuk itu diperlukan pembuktian terlebih dahulu melalui pemeriksaan tribunal keuskupan. Ada tiga hal yang membuat perkawinan itu tidak sah menurut hukum Gereja Katolik, dan tentang hal ini sudah pernah diulas di sini, silakan klik; dan tentang apa saja yang disebut halangan menikah, silakan membaca kembali artikel di atas.
Jika ibu itu menemukan salah satu dari hal-hal yang disebutkan dalam halangan ataupun cacat perkawinannya yang terdahulu itu, ia dapat menulis surat permohonan pembatalan perkawinannya, untuk ditujukan kepada pihak Tribunal Keuskupan tempat ia berdomisili. Silakan membicarakan tentang hal ini dengan Romo paroki. Baru jika permohonannya ini sudah dikabulkan oleh pihak Tribunal, (Tribunal mengeluarkan surat yang menyatakan perkawinannya yang terdahulu itu tidak sah), ia dapat menikah secara sah di Gereja Katolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
shalom,
saya seorang katolik terlanjur dengan suami orang dan pada mulanya dia mengakui tak pernah berkeluarga tetapi 5 tahun hidup bersama saya dapat tahu dia sudah beristeri dan sudah mempunyai 3 orang anak.akhirnya dia mengakui bahawa dia sudah berkeluarga dan mereka sudah tidak tinggal bersama 2 tahun sebelum mengenali saya sehinggalah 2013 ini. sehingga kini saya masih tidak jelas tentang status perkhawinannya dahulu kerana suami jarang mengongsikan perkara itu kepada saya.mereka masih berhubung dan suami akan balik sekali setahun kepada isteri dan anak-anaknya. walaupun sebenarnya,perasaan saya kurang senang semenjak mengetahui hal itu malah agak sedikit terganggu kerana suami sebenarnya tidak jujur tentang statusnya sebelum ini. Soalan saya, adakah suami boleh menganut agama katolik supaya suami dan anak-anak saya dibaptis dan kami suami isteri mengalami pemberkatan perkhawinan menurut katolik?
Nora yth
Perkawinan bisa disahkan dan diteguhkan dalam perkawinan Katolik jika dalam keadaan bebas tidak ada ikatan perkawinan sebelumnya. Jika ada ikatan maka harus ada proses dan upaya pemutusan ikatan itu. Biasanya agak berat karena boleh dikatakan anda terlanjur hidup bersama dengan orang yang sudah menikah resmi, secara hukum tidak dibenarkan.
salam
Rm Wanta
Saya Peter, dan saya sudah menikah selama 2 tahun. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan.
Beberapa kali saya merasakan, saya tidak merasa bahagia dengan pernikahan saya. Kadang saya ingin kembali sendiri. Hingga saat ini, bisa dibilang saya menjalani pernikahan ini seperti menjalani kewajiban dan bukan panggilan hidup. Saya juga mempertanyakan, apakah saya mencintai istri saya? Terkadang saya menyesali pernikahan saya.
Apakah pernikahan akan bertahan lama tanpa adanya cinta? Karena menurut saya cinta itu tidak bisa dipaksakan tapi dilahirkan.
Bahkan saya juga memiliki pemikiran, seandainya ada pihak ke-3 yang mencintai istri saya, saya rela melepaskannya.
Apa yang harus saya lakukan dengan masalah yang saya hadapi? Adakah yang salah dengan diri saya?
Terima kasiha atas sarannya.
Shalom Peter,
Saya bersimpati membaca curahan hati Anda. Pernikahan Anda masih sangat muda. Kehidupan perkawinan dengan tantangan, kekayaan dan dinamikanya yang mengandung segenap kebahagiaan masih menunggu Anda. Coba mengingat kembali dan menghayati apa yang menjadi butir-butir motivasi Anda berdua untuk saling mengucapkan janji di depan altar dan Tuhan. Lalu dalam doa di hadapan Tuhan dan permenungan pribadi, periksalah dan introspeksilah dengan jujur apa yang menjadi ganjalan Anda sekarang. Jika ada ganjalan yang ketika pacaran dulu tidak dialami (atau dialami tetapi tidak pernah dihadapi dengan serius), cobalah membicarakannya secara terbuka dengan pasangan dan dicari titik temunya berdua. Komunikasi yang baik selayaknya senantiasa dikembangkan dan dibiasakan. Apapun ganjalan yang ada, coba membicarakannya satu sama lain. Mungkin pasangan Anda juga mengalami ganjalan yang tidak Anda ketahui, sehingga kemudian bisa diatasi bersama-sama dalam kasih dan niat baik.
Kehidupan pernikahan dimaksudkan untuk selamanya, khususnya inilah yang kita hayati dalam perkawinan Katolik. Setiap tahapan tahun-tahun dalam pernikahan mempunyai dinamikanya sendiri, yang dipengaruhi juga oleh perubahan kematangan kita sebagai individu, perubahan situasi-situasi di luar diri kita seperti pekerjaan, relasi sosial dengan keluarga besar dan teman, faktor ekonomi, kehadiran anak-anak dan banyak lagi. Karena begitu dinamisnya kehidupan manusia dalam perkawinan, maka bila ada sebuah tahapan yang kita merasa sulit untuk menghadapinya, solusinya bukan keluar (quit) dari perkawinan, tetapi mengerjakan bersama sebagai sebuah tim antara suami dan istri agar saat-saat yang sukar bisa dilalui bersama dengan baik. Pada dasarnya suami dan istri juga adalah dua orang sahabat baik, yang ingin selalu saling mencari tahu apa yang terbaik yang bisa dilakukan untuk bisa membahagiakan pasangannya. Jadi orientasinya tidak lagi diri sendiri, melainkan kebahagiaan pasangan demi kebahagiaan berdua.
Dinamisnya manusia dalam kehidupan perkawinan itu membuat situasi tidak akan sama terus, akan selalu berubah. Saat-saat yang sukar akan ada waktunya untuk berubah, menjadi hangat dan manis kembali, terutama jika Anda berdua sudah mulai terlatih menyikapinya dan menjadi lebih matang bersama-sama. Maka bersabarlah dan tetap berusaha yang terbaik. Saya pernah membaca bahwa dua tahun pertama dalam perkawinan adalah masa-masa terberat di mana perbedaan pendapat lebih sering terjadi. Karena Anda berdua baru saja lepas dari masa pacaran dan masa bulan madu yang serba indah dan ideal, lalu mulai berhadapan dengan dunia nyata dan rutinitas sehari-hari dengan aneka kesulitannya. Masing-masing karakter menyikapi kenyataan itu dengan pembawaan masing-masing yang belum tentu klop satu sama lain sehingga terjadi ketegangan, yang bisa memicu terjadinya pertengkaran yang hebat atau sebaliknya, rasa ingin menarik diri dan apatis serta ingin berhenti saja, seperti yang Anda rasakan. Tetapi kalau dalam masa-masa ini Anda berdua belajar untuk menghadapi dengan kepala dingin dan niat yang baik untuk mengembangkan dan mempertahankan perkawinan ini, pelan-pelan dominasi ego, kekecewaan, kecemasan akan perbedaan menyikapi masalah, akan digantikan kesadaran pentingnya komitmen dan dedikasi kepada satu sama lain. Ini saatnya Anda memasuki hubungan jangka panjang dengan pikiran lebih matang (dewasa), mengambil keputusan berdua untuk siap menyongsong tantangan selanjutnya dengan lebih solid dan kompak.
Dalam perkawinan, cinta tidak dapat dipisahkan dengan komitmen, supaya perkawinan tetap berjalan dan utuh. Cinta dengan komitmen sebenarnya adalah cinta agape, yang ingin selalu memberi dan membahagiakan pasangan. Komitmen yang kuat untuk tetap membuat perkawinan bertahan dan berkembang dibutuhkan terutama di saat muncul perbedaan pendapat, berbagai kesukaran dalam berbagai hal, masalah ekonomi, masalah anak-anak, dan seribu satu tantangan lainnya. Di dalam komitmen itu ada kemauan untuk mengalah, mau berkorban, mau mendengarkan pihak lain, mau untuk mengerti, membuka diri untuk berkomunikasi dengan baik, dan terbuka terhadap kritik yang membangun sehingga kita juga mau untuk berubah. Cinta memang pada awal mulanya adalah hadiah, tidak diusahakan dan datang sendiri sebagai karunia Tuhan. Tetapi setelah cinta itu kita alami dan saling kita berikan, komitmen harus masuk dan mengambil peran, supaya cinta tidak terkikis dan habis karena dinamika kehidupan ini. Maka cinta itu harus dikerjakan, diolah, dipupuk, dikembangkan, dijaga dengan pengorbanan supaya tetap menyala. Ada sebuah inspirasi dari Paus Gregorius mengenai cinta: “cinta dinyatakan melalui perbuatan kasih, tetapi ketika perbuatan kasih itu berhenti dilakukan, cinta itu pun tidak ada lagi”. Dan yang juga amat penting, datanglah selalu kepada Kristus dalam doa dan Ekaristi untuk memohon rahmat-Nya menjaga dan meneguhkan cinta dan komitmen Anda berdua serta menyegarkannya dengan cinta kasih-Nya.
Semoga sharing ini ada manfaatnya bagi Anda. Teriring kasih dan doa kami dalam Kristus Tuhan bagi Anda berdua
Triastuti-katolisitas.org
Romo Wanta.
Terima kasih atas penjelasan mengenai dengan persoalan saya..Bagaimanapun masih tidak dapat menjawab dengan sepenuhnya persoalan saya..kerana Kanon 1121 dan 1122 hanya menyebut bahawa pastor paroki hendaklah memberitahu pastor paroki tempat pasangan itu diBaptis..jika kanon ini ditafsir secara sempit maka tidak perlulah pihak gereja mengeluarkan sijil tetapi cukup dengan pemberitahuan ringkas seperti telefon,email atau surat..
Mohon Romo dan team memberikan pandangan kerana masalah ini menyangkut masa depan pasangan yg berkawin dalam Gereja Katolik tetapi tidak ada sijil kawin.
Adrain yth
Coba Anda baca baik-baik dalam kanon 1121 selesai perayaan perkawinan hendaknya secepat mungkin mencatat (bukan telpon atau sms) dalam buku perkawinan…dilanjutkan hendaknya memberitahukan perkawinan yang telah dilangsungkan kepada pastor paroki. Kemudian menurut UU.no 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan pula bahwa perkawinan yang dilakukan oleh umat beragama harus dicatat oleh pejabat pencatatan sipil (no 2). Artinya hukum sipil mewajibkan perkawinan sesuai agama masing-masing mempelai harus dicatat oleh pejabat publik pencatatan sipil. Pastor paroki adalah pembantu pejabat pencatatan sipil dan dia wajib memberitahukan kepada pejabat publik pencatatan sipil. Jika pasangan melanggar ketentuan ini, maka mereka akan kena sanksi hukum karena perkawinan bukan hanya tindakan rohani/gereja tapi tindakan publik yang harus taat pada hukum sipil yang berlaku di Indonesia. Pengesahan perkawinan gereja ke sipil dapat dilakukan setelah perkawinan (seminggu sesudahnya) jika pastor paroki tidak sebagai pejabat pembantu pencatatan sipil, karena tidak semua pastor paroki diangkat selaku pejabat pembantu pencatatan sipil. Semoga semakin jelas. Akibat tidak diurus perkawinan gereja ke pencatatan sipil untuk akte perkawinan, anak yang lahir akan mengalami kesulitan dalam akte kelahiran. Semoga semakin jelas.
salam
rm wanta
Shalom..
Saya ingin bertanya mengenai dengan sijil atau surat kawin Gereja Katolik.
Di sebahagian Paroki Paderi mengeluarkan sijil atau surat kawin kepada pasangan yang berkawin dalam Gereja sama ada melalui Misa Kudus Perkawinan atau melalui pemberkatan perkawinan..Dan sebahagian lagi tidak mahu mengeluarkan sijil atau surat kawin..
Soalan saya..Adakah terdapat undang-undang yang mengharuskan supaya sijil atau surat kawin dikeluarkan kepada pasangan tersebut..
Adrain, yth.,
Persoalan pada Surat perkawinan Gereja atau Testimonium Matrimonii dari pihak Paroki selalu dan wajib dikeluarkan oleh Pastor Paroki sebagai bukti bahwa pasangan tsb telah menikah secara sah kanonik di Gereja Katolik. Surat tsb digunakan untuk bukti pencatatan sipil. Berdasarkan UU 1 tahun 1974 hukumnya wajib. dan sesuai KHK 1983, semua pelayanan sakramen hendaknya segera dicatat kan 1121 dstnya 1122 menegaskan hal tsb. Kalau belum jelas undang saya ke Malay akan saya beri ceramah khusus bersama pas. Ingrid Stef.
salam
rm wanta
salam damai sejahtera katolisitas,
ini ada pertanyaan dari teman saya yang non kristen,, yg tentunya dia paham kalo saya seorang katolik..
jika ada orang yang telah menikah dan memiliki anak, dan lagi anak ny masih kecil,, tp pada waktu tsb si suami ingin/pun mendapat panggilan menjadi imam.. bagaimana nasib keluarga tersebut, trus apakah setelah menjadi imam si pria masih menafkahi keluarga tsb?
oy, sblmnya teman saya bertanya apakah orang yang sudah menikah boleh menjadi imam? nah saya jawab boleh, tp dia harus meninggalakan keluarganya untuk menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan,, nah trus teman saya tanya dah kurang lebihnya sprti diatas,,
tp saya sempet jawab, karna dia telah mendapat panggilan, dan kaupun tau Tuhan itu yang utama, jd sepertinya dia tidak lagi menafkahi keluarga tsb,, tp setelah saya pulang, dan pikir2 ualng, kayaknya saya sembrono menjawab sebelum bertanya kpd yang lebih paham..
untuk itulah saya bertanya di katolisitas, dan tentunya dapat meluruskan jawaban saya,, nanti jika sudah terjawab saya akan mengoreksi jawaban saya yang sembrono tsb kpd teman saya lagi..
terimakasih sebelumnya katolisitas,
semoga Bapa, Putra, dan RohKudus selalu beserta kita
Shalom Cristoporus,
Jika seseorang telah mendapatkan panggilan berkeluarga, telah mempunyai tanggung jawab sebagai suami dan juga sebagai ayah, maka sudah selayaknya bapa ini setia terhadap panggilannya dan bertanggung jawab untuk memberikan kehidupan yang layak bagi anggota keluarganya. Hal ini sama seperti seorang imam yang juga harus setia terhadap panggilannya dan tidak tergoda untuk membina kehidupan berumah tangga. Pada akhirnya, kekudusan dapat dicapai baik kehidupan sebagai imam maupun sebagai suami dan ayah.
Di dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK 1041) menjabarkan irregular untuk menerima tahbisan:
Kan. 1041 Irregular untuk menerima tahbisan adalah:
1 yang menderita suatu bentuk kegilaan atau penyakit psikis lain, yang sesudah berkonsultasi dengan para ahli, dinilai tidak mampu untuk melaksanakan pelayanan dengan baik;
2 yang telah melakukan tindak pidana (delictum) kemurtadan, bidaah atau skisma;
3 yang telah mencoba menikah, juga secara sipil saja, entah karena ia sendiri terhalang untuk melangsungkan nikah karena ikatan perkawinan atau tahbisan suci atau kaul publik kekal kemurnian, entah menikah secara tidak sah dengan wanita yang terikat perkawinan sah atau terikat kaul yang sama;
4 yang telah melakukan pembunuhan secara sengaja atau mengusahakan pengguguran kandungan, dan berhasil, dan semua yang bekerja sama secara positif;
5 yang telah melakukan mutilasi secara berat dan dengan maksud jahat pada diri sendiri atau orang lain, atau telah mencoba bunuh diri;
6 yang telah melakukan suatu perbuatan tahbisan yang dikhususkan bagi mereka yang telah mendapat tahbisan Uskup atau imam, atau yang tidak memilikinya, atau dilarang melaksanakannya karena hukuman kanonik yang telah dinyatakan atau dijatuhkan.
Dalam kasus-kasus yang sungguh jarang terjadi, dengan izin khusus dari Vatikan, maka seorang pendeta non-Katolik dapat saja menjadi imam. Namun, cara yang biasa dipakai adalah imam dipilih dari pria lajang yang telah melalui pendidikan khusus, dan memenuhi semua persyaratan yang lain. Mari kita terus setia dengan panggilan yang kita terima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear Romo,
Ada kasus seperti ini Romo, teman saya akan menikah & pada saat kanonik ternyata diketahui teman saya sudah hamil. Dari ciri perkawinan Katolik, apakah teman saya masih bisa melakukan sakramen perkawinan; dianggap sah oleh hukum Gereja. Terimakasih.
[dari Katolisitas: silakan menyimak jawaban yang pernah diberikan untuk pertanyaan serupa, klik di sini]
Dear Team Katolisitas
ada yang ingin saya tanyakan :
saya mempunyai seorang teman (wanita), dia menikah dispensasi beda agama (disparitas cultus)… seiring perjalanan waktu, teman saya ini hamil…ketika suaminya tau dia hamil, suaminya berkata jika anak yg lahir itu cowo harus mengikuti agama dia (konghucu), jika anak yang lahir wanita silakan masuk agama teman saya (Katolik) dan teman saya ini merasa dibohongin oleh suami bahwa pas kanonik, suami setuju jika anak yang dilahirkan akan dibaptis secara Katolik tetapi setelah teman saya ini hamil, suami berkata lain…apakah masalah ini bisa diajukan ke tribunal perkawinan?
teman saya ini menikah sekitar bulan Juni 2011
Terima Kasih sebelumnya
Semoga Tuhan memberkati segala tugas pelayanan dan perutusan team Katolisitas
Shalom Win,
Pertama- tama harus disadari bahwa perkawinan yang sudah sah di hadapan Tuhan sesungguhnya tidak terceraikan. Nah, jika perkawinan teman Anda itu sudah mendapat dispensasi beda agama dari pihak keuskupan, sesungguhnya perkawinan tersebut sah, kecuali dapat dibuktikan bahwa ada halangan/ cacat sebelum atau pada saat perkawinan. Sebab untuk mendapat dispensasi, pihak yang non- Katolik, dalam hal ini suami teman Anda, memang menandatangai surat yang menyatakan bahwa ia mengetahui kewajiban pihak Katolik untuk tetap Katolik dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk dapat membaptis anak- anak secara Katolik dan mendidik mereka secara Katolik. Bahwa sekarang suaminya berubah pikiran, maka silakan ditanyakan mengapa demikian? Silakan mengusahakan konseling terlebih dahulu, jika perlu dirembukkan secara terbuka di hadapan pastor yang dulu mengadakan persiapan kanonik pasangan tersebut/ romo yang memberkati perkawinan tersebut. Harap diingat bahwa yang dijanjikan oleh pihak Katolik adalah “bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik” (KHK 1125, 1).
Maka silakan dirembukkan dengan suami, dapatkah misalnya, jika dianggap sebagai jalan tengah, baptisan anak ditunda sehingga baik teman Anda maupun suaminya dapat sama- sama mendidik anak mereka? Dan dalam kesempatan tersebut, teman Anda yang Katolik itu dapat berusaha sekuat tenaga untuk mendidik anaknya dengan prinsip iman Katolik? Biarlah nanti anak teman Anda sendiri yang memutuskan, akan ikut pengajaran yang mana. Jika pihak Katolik sudah dalam kapasitasnya berjuang sekuat tenaga untuk mendidik anak secara Katolik, maka ia sudah menjalankan kewajibannya, walaupun tetap ada kemungkinan bahwa anaknya tidak mau menjadi Katolik. Masalahnya ada, jika pihak yang Katolik tidak dengan sekuat tenaga berusaha untuk itu.
Di atas itu mohon dipahami bahwa Gereja Katolik melihat perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dan sangat serius, dan tidak semudah itu dapat dibatalkan. Yang pertama kali harus diusahakan adalah mempertahankan perkawinan. Baru jika segala cara sudah diusahakan, dan ternyata mencapai jalan buntu karena salah satu pihak sudah tidak jujur sejak awal mula, maka pihak yang tertipu dapat memohon pembatalan perkawinan kepada pihak Tribunal Keuskupan tempat di mana perkawinan diteguhkan. Silakan menghubungi pastor paroki, untuk keterangan lebih lanjut, jika situasi ini yang terjadi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Bu Ingrid
Terima kasih banyak atas penjelasan nya, nanti akan saya sampaikan ke teman saya..
Kasih Allah menyertai Bu Ingrid dan segenap Team Katolisitas
Amoro Misericordioso
Salam,
Saya kurang mengerti mengenai impotensi absolut dan relatif. Apakah impotensi absolut berarti kelainan pada alat seksual, ketidaksuburan, atau permasalahan lain? Apakah dengan demikian berarti orang dengan kelainan pada alat kelamin sedari lahir tidak dapat menikah sekalipun telah dioperasi? Untuk kasus ketidaksuburan, apakah pernikahan yang dilangsungkan dalam kondisi kedua pasangan mengetahui sebelum perkawinan bahwa salah satu pasangan tidak subur adalah sah? Terima kasih.
Pacem,
Ioannes
Ioannes Yth,
kalau anda bertanya apa itu impotensi absolut dan relatif sebenarnya yang tahu baik adalah seorang dokter. Jika anda bisa menanyakan ke dokter akan lebih jelas karena penjelasan impotensi saja pada umumnya orang tahu dan di tayangan TV obrolan malam JAkTV pernah membahas topik impotensi. Saya coba menjelaskan secara garis besar, tidak teknis medis. Impotensi adalah ketidakmampuan alat genitalia laki-laki untuk melakukan hubungan secara intim (coitus) dengan seorang perempuan (istrinya) secara normal. Sehingga tidak terjadi ereksi dan penetrasi. Ini impotensi absolut, kalau relatif dia mampu ereksi tetapi tidak memiliki kekuatan untuk bertahan sehingga penetrasi tidak terjadi secara sempurna. Semoga tidak keliru karena saya bukan dokter. Mohon maaf.
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid :
Shalom Ioannes,
Berdasarkan atas jawaban Rm. Wanta, maka nampaknya perlu dilihat dahulu apakah yang disebut sebagai kelainan lahir dari alat kelamin tersebut. Sebab jika kelainan tersebut tidak mengganggu fungsinya untuk melakukan hubungan suami istri (tidak membuatnya impotensi) maka hal itu tidak merupakan halangan menikah.
Demikian pula, hal ketidaksuburan (infertilitas), sesungguhnya itu tidak otomatis menjadi halangan menikah. Sebab infertilitas tidak selalu identik dengan kasus impotensi. Lagipula, secara prinsip, dasar yang membatalkan perkawinan umumnya adalah kondisi tertipu ketika memasuki perkawinan. Jika kondisi infertilitas sudah diketahui sejak sebelum menikah, dan kedua pihak sudah menerima, maka hal itu bukan merupakan halangan menikah ataupun cacat konsensus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih banyak ku ucapkan buat Romo Wanta, artikel ini sangat membantu saya dalam kuliah Hukum Perkawinan. Terima kasih pula atas tanggapan Romo terhadap setiap kasus… Salam Damai Tuhan Sang penebus.
Met sore Romo, saya mau tanya penjelasan lebih lanjut mengenai halangan perkawinan pada point :
Halangan kelayakan publik (bdk. kan. 1093):
Halangan ini muncul dari perkawinan tidak sah yakni perkawinan yang dilaksanakan menurut tata peneguhan yang dituntut hukum, tetapi menjadi tidak sah karena alasan tertentu, misalnya cacat dalam tata peneguhan. Halangan ini muncul juga dari konkubinat yang diketahui publik. Konkubinat adalah seorang laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa perkawinan atau sekurang-kurangnya memiliki hubungan tetap untuk melakukan persetubuhan kendati tidak hidup bersama dalam satu rumah. Konkubinat dikatakan publik kalau dengan mudah diketahui banyak orang.
Terima kasih Romo, buat penjelasannya.
Robie Yth
Halangan kelayakan publik didasarkan pada suatu perkawinan tidak sah, di mana biasanya halangannya bersifat tetap / stabil karena melekat pada orang itu, misalnya karena dia menikah tidak sah, hidup bersama di luar pernikahan dan semua orang mengetahuinya. Karena itu halangan tersebut menggagalkan perkawinan entah dari pihak laki laki ataupun perempuan. Contoh, seorang tidak dapat dengan sah mengawini anak dari teman perkawinannya yang tak sah (atau dari pasangan konkubinatnya).
salam
Rm wanta
Saya sebagai katolik kurang sepaham dengan alasan penyebab dari halangan perkawinan yaitu impotensi!
Karena impotensi merupakan sebuah penyakit mengapa seorang impotensi dilarang kawin di Gereja Katolik, kalau misalnya tujuan perkawinan agar memiliki anak kan bisa mengadopsi anak?
Menurut saya dari semua ajaran Katolik yang kurang masuk akal adalah halangan perkawinan yang disebabkan oleh impotensi?
apakah ada dispensasi tentang impotensi agar bisa melakukan perkawinan?
Shalom Krisna,
Agaknya harus dibedakan pengertian antara impotensi dan infertilitas. Sebab yang Anda tuliskan di atas, nampaknya adalah kasus infertilitas, dan Anda benar bahwa infertilitas tidak menjadi halangan perkawinan. Sedangkan yang dimaksud impotensi di sini adalah ketidakmampuan melakukan hubungan suami istri, entah karena trauma masa lalu, gangguan psikis ataupun misalnya karena kasus homoseksualitas. Impotensi menjadi halangan perkawinan, karena salah satu hakekat cinta kasih suami istri adalah persatuan pribadi yang terdalam, yang menyangkut persatuan tubuh, hati dan jiwa.
KGK 1643 “Cinta kasih suami isteri mencakup suatu keseluruhan. Di situ termasuk semua unsur pribadi: tubuh beserta naluri-nalurinya, daya kekuatan perasaan dan afektivitas, aspirasi roh maupun kehendak. Yang menjadi tujuan yakni: kesatuan yang bersifat pribadi sekali; kesatuan yang melampaui persatuan badani dan mengantar menuju pembentukan satu hati dan satu jiwa; kesatuan itu memerlukan sifat tidak terceraikan dan kesetiaan dalam penyerahan diri secara timbal balik yang definitif, dan kesatuan itu terbuka bagi kesuburan. Pendek kata: itulah ciri-ciri normal setiap cinta kasih kodrati antara suami dan isteri, tetapi dengan makna baru, yang tidak hanya menjernihkan serta meneguhkan, tetapi juga mengangkat cinta itu, sehingga menjadi pengungkapan nilai-nilai yang khas Kristen”. (FC 13)
Jika tidak dapat dilakukan persatuan tubuh, terdapat suatu halangan yang sifatnya hakiki terhadap persatuan kasih suami istri tersebut. Oleh karena itu, kesiapan fisik, psikis dan mental memang diperlukan untuk sebuah perkawinan.
Demikian semoga memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati-katolisitas.org
Krisna Yth,
Impotensi berdasarkan kanon 1084 § 1 adalah ketidakmampuan untuk melakukan persetubuhan yang mendahului (antecedens) perkawinan dan bersifat tetap (perpetua), entah dari pihak laki-laki entah dari pihak perempuan, entah bersifat mutlak entah relatif, menyebabkan perkawinan tidak sah menurut kodratnya sendiri. Lalu berdasarkan kanon 1084 § 2: Selama dalam keraguan ada tidaknya impotensi, perkawinan tetap tidak boleh dihalangi dan tetap sah. Sedangkan berdasarkan kanon 1084 § 3: Sterilitas (ketidakmampuan melahirkan anak) tidak melarang ataupun menggagalkan perkawinan, dengan catatan asalkan keadaan ini tidak ditutupi-tutupi untuk menipu pasangannya.
Impotensi dimasukkan ke dalam halangan dalam perkawinan kanonik karena tujuan perkawinan adalah untuk persatuan suami istri lahir dan batin, dan melahirkan anak dan mendidik anak. Singkatnya, kemampuan untuk berhubungan suami istri dan adanya keturunan sebagai buah perkawinan menjadi kedua hal yang menjadi konsekuensi dari kedua tujuan perkawinan tersebut. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka ada kemungkinan perkawinan dapat gagal dan tidak sah – jika terbukti karena adanya impotensi tersebut.
1) Jika keadaan impotensi tersebut sudah diketahui sebelum menikah, dan kedua pihak mengetahui keadaan tersebut pada hari pernikahan namun keduanya menerima keadaan tersebut, termasuk keadaan bahwa nantinya mereka tidak dapat berhubungan suami istri sebagaimana umumnya dan tidak akan memiliki anak atau tidak memiliki anak kecuali melalui adopsi, dan kalau mereka tetap sepakat untuk memutuskan hidup berkeluarga, perkawinan mereka tetap sah.
2) Tetapi kalau keadaan ini tidak diketahui sebelumnya atau ditutup-tutupi, maka jika ketahuan keadaan impotensi ini bisa menggagalkan perkawinan. Sebab pada dasarnya tidak boleh ada orang yang memasuki perkawinan dalam keadaan tertipu.
Oleh karena itu, impotensi termasuk dalam halangan khusus dan karena itu pula sebelum perkawinan sebaiknya ada general check- up bagi calon pengantin untuk menghindari perkawinan yang gagal atau bubar.
Sedangkan, impotensi yang baru terjadi setelah perkawinan karena suatu alasan misalnya kecelakaan atau penyakit tidak membatalkan perkawinan.
salam,
Rm Wanta
Tambahan lagi dari Ingrid:
Shalom Krisna,
Saya hanya ingin menambahkan, walaupun impotensi – dalam keadaan- keadaan tertentu- dapat dikatakan sebagai halangan perkawinan, namun keadaan tidak mempunyai anak sesungguhnya tidak otomatis menihilkan nilai kehidupan perkawinan (sehingga otomatis dapat dibatalkan). Paus Yohanes Paulus II dalam Ekshortasi Apostoliknya, Familiaris Consortio mengatakan, “Namun demikian, tidaklah boleh dilupakan bahwa, bahkan ketika prokreasi tidak mungkin terjadi [maksudnya adalah keadaan infertilitas/ tidak dapat mempunyai anak], kehidupan perkawinan tidak kehilangan artinya oleh karena alasan ini. Sesungguhnya, keadaan fisik yang tidak dapat mempunyai anak bagi pasangan suami istri dapat menjadi kesempatan untuk pelayanan penting lainnya terhadap kehidupan manusia, sebagai contohnya: adopsi, beragam bentuk karya pendidikan, dan bantuan kepada keluarga-keluarga lain dan untuk kaum miskin atau anak- anak cacat.” (Familiaris Consortio, 14)
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Adik saya Bunga ingin menikah dan menjadi seorang umat HKBP, kami sudah memberikan masukan2 dan ternyata tdk diterimanya dengan baik, seakan-akan pikirannya tdk mau menerima hal2 yang bertolak belakang dg keinginannya, hal tersebut kami duga karena teman lelakinya sudah mencuci otak adik kami dan mengatakan bahwa karena laki2 kepala keluarga maka istri harus ikut (lucu jg utk org yang berprofesi sbg Dokter Gigi mau menuruti pemikiran spt itu). Saat ini kami tidak tahu lagi mau berbuat apa, hanya bisa berkata jika ia menikah dan menjadi umat HKBP maka kami tidak akan datang ke pemberkatan maupun pesta perkawinannya. Keluarga kami jadi kacau balau dan terpecah.
Sdri Linda yang baik,
Saya mendukung anda sekeluarga yang selalu mengingatkan saudari anda akan imannya. Keluarga, terutama orangtua, memang mempunyai tanggungjawab untuk mendampingi anak-anaknya dalam kehidupan iman. Tetapi ketika mengalami kesulitan seperti yang anda alami saat ini, janganlah anda sekeluarga mudah berprasangka buruk dan mudah “menghakimi” orang luar (pacar adik anda) dengan istilah cuci otak dan semacamnya. Kalaupun ada orang yang mempengaruhi atau membujuk adik anda, yang terpenting untuk anda lakukan adalah menyadarkan adik anda, bukan menghakimi dan melimpahkan kesalahan pada orang lain. Menghakimi dan bahkan mencaci maki orang lain tidak akan menyelesaikan masalah.
Usul saya, janganlah putus-putus mengingatkan adik anda, dan sertailah upaya pendampingan adik anda itu dengan doa. Mohonlah kepada Bapa yang telah menganugerahkan iman kepada anda sekeluarga agar saat-saat ini juga berkenan mengutus Roh Kudus-Nya agar memperteguh iman anda sekeluarga, terutama adik anda yang sedang goyah.
Tuhan memberkati
In amore Sacrae Familiae
Agung P. MSF
Dear Romo,
Saya berniat untuk menikah, akan tetapi pasangan saya Kristen Protestan dan pernah menikah secara KUA dan masuk menjadi muslim. Mereka bercerai kemudian pasangan saya kembali memeluk Kristen Protestan. Yang mau saya tanyakan disini, apakah saya bisa melangsungkan pernikahan secara Katolik dengan latar belakang pasangan saya yang seperti itu? Karena selama ini saya ragu untuk menikah karena hal tersebut dan keluarga saya mengharuskan saya menikah dibawah hukum Katolik.
Warm Regards,
Putri Yth,
Kalau anda ragu-ragu, orang bijak dan secara moral mengatakan jangan melangkah lebih jauh. Artinya jangan ambil keputusan yang penting. Kedua, pasangan anda memiliki halangan yang membuat perkawinan anda tidak sah. Oleh karena perkawinan selalu dan harus dilakukan oleh orang-orang yang berstatus bebas tanpa ikatan perkawinan sebelumnya dan tidak ada halangan serta peneguhan secara kanonik. Hal ini berlaku wajib hukumnya bagi orang Katolik yang akan menikah.
salam
rm wanta
Salam Romo,
Saya seorang Katolik menikah dengan pria non Katolik (Muslim) secara KUA. Untuk memudahkan mengurus perijinan saya (terpaksa) mengucapkan syahadat..saya telah menikah selama 5 tahun dan dikaruniai seorang putra dan saya tetap dengan keyakinan saya dan ke Gereja (meskipun di KTP berbeda). Apakah saya masih boleh menerima komuni di gereja? Apakah putra saya juga bisa mendapat sakramen baptis?
Martha Yth
Seorang Katolik wajib hukumnya menikah di Gereja Katolik. Maka jika menikah bukan di Gereja Katolik dia melanggar hukum akan kena sangsi. Menikah di luar Gereja Katolik tidak sah maka tidak dapat komuni kudus. Sebaiknya anda membereskan perkawinan dengan meminta pada pastor paroki anda pengesahan sederhana, tunjukkan surat baptis anda, surat perkawian KUA, lalu ajak pasangan anda untuk memberesan perkawinan, dimulai pengakuan dosa, syahadat para rasul, kursus singkat perkawinan sebagai pemulihan dan pembaruan dan pengesahan sederhana perkawinan. Sesudah itu anda bisa komuni kudus.
Silakan segera, saya yakin akan dilayani, jika ada kesulitan tanyakan pada saya lagi nanti saya bantu.
salam
Rm Wanta
dear romo wanta:
terima kasih atas jawaban romo sebelumnya…ada beberapa pertanyaan tambahan dari kasus teman saya ini.
1. teman prianya yang sudah menikah 3 tahun dengan pasangan seimannya ini ternyata mereka menikah karena alasan kehormatan.artinya dulu istri dari pria ini pernah pacaran 5 tahun lebih dan bertunangan tetapi gagal. kemudian bertemu dengan pria katolik ini yang menikahinya setelah 2 tahun berpacaran
si pria katolik ini merasa pernikahan mereka terjadi bukan karena cinta tapi demi pelampiasan pribadi ato kehormatan salah satu pasangan.
2. teman saya ini yang menikah di KUA juga merasa sudah tidak mencintai suaminya setelah dia diselingkuhi dan berniat kembali ke gereja katolik dan membawa ke 2 anaknya ke gereja katolik juga asal teman pria katoliknya ini bisa melakukan pembatalan pernikahan demi kehormatan ini secara hukum gereja
3. teman saya ini dan pria katolik yang berkeluarga ini sama sama saling mencintai romo dan mereka ingin bisa kembali menikah di gereja katolik secara sah setelah semua urusan mereka secara hukum gereja dan hukum sipil negara dipenuhi.
4. pertanyaan saya bisakah teman pria katolik ini mendapatkan pembatalan pernikahannya karena dia merasa pernikahannya terpaksa ato demi kehormatan salah satu pasangannya
5. bisakah teman saya ini dan pria katoliknya ini menikah kembali di gereja katolik secara sah setelah mereka membereskan semuanya itu dan teman saya mengaku dosa karena telah menikah di KUA.
mohon penjelasan dari romo wanta dan tim moderator katolisitas.
Terima Kasih dan Tuhan Memberkati
Shalom Anya,
Pada prinsipnya, perkawinan yang sudah sah tidak dapat dibatalkan. Maka jika ingin memohon pembatalan perkawinan, silakan dilihat dahulu, apakah memang ada dasar yang mendukung permohonan tersebut, yaitu apakah ada: 1) halangan menikah, 2) cacat kanonik, atau 3) cacat forma kanonika. Dan ketiga hal ini terjadi sejak sebelum atau pada saat perkawinan diteguhkan. Silakan membaca lebih lanjut prinsip dasarnya di artikel ini, silakan klik. Jika sudah pernah menikah di agama lain saja merupakan halangan menikah baginya untuk menikah (lagi) di Gereja Katolik, apalagi orang yang sudah pernah menikah di Gereja Katolik.
Maka jika dikatakan bahwa perkawinan karena terpaksa demi kehormatan itu harus dapat dibuktikan. Apakah ada saksi dan bukti dari pemaksaan ini? Jika ada, silakan menulis surat ke pihak tribunal keuskupan tempat di mana perkawinan terdahulu diteguhkan. Namun jika tidak ada saksi dan tidak ada bukti, maka akan sulit, sebab dalam proses pemeriksaan kasus oleh tribunal, maka hal ini akan ditanyakan. Jika tidak didapatkan saksi dan bukti, besar kemungkinan permohonan tidak dapat diluluskan.
Perkawinan teman Anda di KUA itu memang nampaknya mempunyai cacat forma kanonika. Namun demikian, jika ia mau meminta pembatalan, ia harus tetap menulis surat permohonan pembatalan perkawinan (libellus) kepada pihak tribunal. Seandainya izin pembatalan perkawinan diperoleh, selanjutnya, ia tetap tidak dapat menikah dengan teman prianya itu karena temannya itu masih terikat perkawinan Katolik dengan istrinya yang terdahulu. Kekecualian hanya apabila perkawinan temannya itu sudah dapat izin pembatalan, namun catatannya adalah apakah memang ada dasarnya (sebutkan KHKnya), dan apakah ada bukti- bukti dan saksi-saksinya. Ini adalah kasus yang harus diperiksa di Tribunal dan kami di katolisitas tidak dapat memberikan jawaban, apakah izin dapat diberikan atau tidak, sebab itu adalah keputusan tribunal.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Bgm klo nda ada bukti n saksinya, namun pembatalan perkawinan tetap dikeluarkan oleh gereja katholik di daerah lain dan sudah keluar surat pembatalannya meskipun blum disampaikan kpd pastor pertama tmpt berlgsungnya perkawinan pertamanya? Catatan keduanya menikah secara khatolik dan sekarang perkawinan keduanya sudah diberkati lagi di gereja katolik di daerah lain
Hendrykus Yth,
Dalam proses hukum acara buku VII KHK 1983 prinsipnya tidak mungkin tak ada bukti diambil sebuah keputusan, kalau ini terjadi maka keputusan itu tidak sah. Seluruh proses hukum acara harus dilalui, kalau tidak batal demi hukum
salam
Rm Wanta
Makasih byk atas penjelasannya romo, cuma yang saya msh bingung ttg hukum acara semuanya hrs dilalui itu bgm/contoh2nya bgm? Trz atas dasar bukti dan saksi bgm Ɣªηƍ di benarkan smp bisa keluar/terbit pembatalan perkawinan di paroki kota lain??
Hendrykus Ytk,
Perkawinan kedua tidak sah. Harus diberitahu dan dibuktikan bahwa tidak sah supaya pasangan dan ramanya mengerti. Yang berhak memberi tahu adalah saksi yang tahu menyampaikan kepada pastor paroki.
salam
rm wanta
Dear Romo,dan Saudara Moderator yang terkasihh dalam Tuhan Kita Yesus Kristus,
Saya ingin bertanya tentang teman saya dan rencana kehidupan dia ke depan.
Pertanyaan saya :
1. Teman saya ini seorang katolik dan menikah dengan seorang pria muslim dan dikaruniai 2 anak, kini status mereka sudah bercerai dan teman saya mengasuh ke2 anaknya (single parent). Mereka dahulu menikah secara beda agama dan teman saya ini tetap dengan iman Katoliknya. Saat ini teman saya berhubungan dengan seorang pria Katolik yang sudah berkeluarga secara Katolik tapi tidak memiliki momongan sampai saat ini. Teman saya itu mengutarakan bahwa pria Katoliknya ini akan membatalkan pernikahannya secara Katolik. Pertanyaan saya;apakah jika pasangan teman saya itu akhirnya jadi membatalkan pernikahannya dan menikah dengan teman saya secara Katolik, maka pernikahan mereka akan sah.
Teman saya mengutarakan bahwa pria Katoliknya ini sungguh serius ingin membatalkan pernikahan pertamanya secara Katolik (libellus) saat ini karena dengan istrinya itu TIDAK ADA CINTA selama 3 tahun.
Apakah dalam hal ini gereja Katolik bisa mensahkan pernikahan teman saya berikutnya dengan pria Katolik ini apabila semua urusan pembatalan pernikahannya sudah selesai.
2. Teman saya pernah menikah beda agama dan sudah bercerai dengan 2 anak, maka rencana pernikahan mereka secara Katolik yang berikutnya akan dapat diterima dan diberikan sakramen pernikahan oleh gereja Katolik?
Terima kasih atas pencerahannya dari romo dan saudara moderator.
GBU
Anya Yth
Perceraian dan pemisahan merupakan peristiwa yang menyedihkan termasuk kami Gereja dalam hal ini para pastor, yang seharusnya membuat keluarga kristiani rukun dan harmonis. Secara pribadi perkawinan yang direncanakan dengan memutuskan perkawinan sebelumnya artinya ada agenda tersembunyi untuk mendapatkan pasangan baru, dan hal ini tidak diperkenankan. Gereja tidak menginginkan perkawinan dengan catatan usaha memutuskan perkawinan sebelumnya. Karena itu saya tidak menganjurkan menikah dengan orang Katolik yang pernah menikah dengan sengaja atau kemauan memutuskan perkawinannya. Cobalah meminta pertimbangan dengan pastor paroki anda yang lebih tahu kehidupan anda sendiri. Saya memohon mencoba untuk merujukkan perkawinan yang retak dan gagal sehingga bisa utuh kembali.
salam
Rm Wanta
Dear Romo Wanta,
Terima kasih atas jawabannya romo..tapi ada penjelasan berikutnya romo tentang alasan teman saya ini, yaitu
1. teman saya yang tetap Katolik ini dan cowo Katolik tersebut sudah berkenalan sejak mereka TK hingga SMP di sekolah Katolik. Mereka mengakui sejak SMP mereka sudah saling suka walau cuma cinta monyet atau dalam bahasa sekarang cinta pertama mereka.
2. lalu mereka terpisah hingga pada tahun 2002 teman saya ini terpaksa menikah secara beda agama karena married by accident dengan pria muslim yang memberikan 2 anak dan akhirnya mereka bercerai
3. lalu beberapa tahun kemudian sekitar tahun 2010 teman saya ini yang tetap Katolik dengan mengasuh kedua anaknya bertemu dengan teman pria Katolik yang dahulu adalah teman masa kecilnya yang sudah berkeluarga selama 3 tahun tanpa memiliki momongan
4. dari perjumpaan itu, teman saya tahu bahwa istri dari teman pria Katoliknya yang sudah berkeluarga ini dulu pernah bertunangan dengan pria Katolik lainnya dan menjalin hubungan pacaran selama 7 tahun tapi akhirnya batal menikah.
5. teman pria Katolik teman saya itu mengatakan bahwa istrinya masih terus berhubungan dengan mantan tunangannya lewat sms ato telpon sekedar menanyakan kabar
6. akhirnya teman pria Katolik teman saya ini menyatakan bahwa dia dan istrinya sebenarnya tidak saling cinta
7. pernikahan mereka hanya demi kehormatan keluarga
8. karena belum memiliki anak, temannya ini ingin mengadakan pembatalan
9. dan dia mengutarakan bahwa temannya ini akan menerima kedua anak teman saya dan membawa teman saya kembali ke dalam gereja Katolik
10. teman saya ini selama menikah beda agama dan sejak cerai walau Katolik tidak pernah ke gereja lagi karena malu harus menikah di KUA
11.teman saya berharap teman prianya bisa mendapatkan pembatalan dari gereja atas keadaan selama ini yang hanya demi kehormatan belaka.
Mohon pendapat romo, apakah gereja bisa memberikan pembatalan dan mengerti bahwa sebenarnya kedua orang ini walau mereka pernah salah melangkah tapi SALING MENCINTAI
Terima Kasih Romo Wanta dan team moderator
Romo Yth,
Ibu saya (55 tahun) dijadwalkan dibaptis pada Natal tahun ini, namun dikarenakan bapak (72 tahun) saya belum Katolik dan dulu mereka menikah secara adat, romo paroki mewajibkan untuk melakukan pemberesan perkawinan, kalau tidak, tidak boleh ikut pembaptisan.
Yang menjadi kendala saat ini adalah, bapak saya berkeberatan untuk diajak ke gereja untuk bertemu dengan romo, dikarenakan juga hubungan kedua orangtua saya yang tidak lagi harmonis, tidak ada lagi komunikasi yang baik antara suami istri. Bapak saya tidak menunjukkan pertentangan apapun atas keputusan Ibu saya masuk Katolik, tetapi yah itu, beliau tidak tertarik/berminat melakukan proses2 untuk ke Gereja.
Oleh karena itu saya mohon diberikan arahan, bagaimana menghadapi situasi ini, mengingat Ibu saya sangat ingin sekali dibaptis dan tinggal selangkah lagi dan beliau selalu rajin dan semangat mengikuti pelajaran katekumen.
Yunni Yth,
Untuk kasus ini dibereskan dengan “sanatio in radice” karena seharusnya convalidatio simplex namun pihak yang tidak mau urusan gereja, maka yang sadar akan pengesahan kanonik dipakai dasar untuk memohon kemurahan dari Uskup sehingga perkawinannya sejak awal adalah sah dan ibu bisa komuni. Rama Paroki hendaknya melihat motivasi ibu yang mau dibaptis melebihi aturan kanonik yang menuntut kehadiran bapak yang non Katolik. Saya anjurkan dibaptis lalu dibereskan perkawinannya.
Salam dan berkat Tuhan,
rm wanta
Romo yang baik,
Terima kasih atas jawaban romo. Setelah membicarakan kembali dengan romo paroki, dikatakan bahwa ibu saya tetap boleh ikut pembaptisan. Puji syukur kepada Tuhan.
Sekali lagi terima kasih atas jawaban romo yang mencerahkan kebingungan saya.
Salam,
Yunni
Romo,
Saat ini saya sedang mengajukan Proses Anulasi ke Rm Purbo.
Saya sudah pernah bertemu dengan Rm Purbo sebanyak 3x.
Alasan sy mengajukan anulasi adalah sbb. :
Kami menikah bulan september 2009. Dalam perjalanan perkawinan kami yang masih seumur jagung saya sudah mengalami penganiayaan fisik yang sangat parah. Suami sy seorang “Pendoa Katolik”.
Dia bilang dia memdapatkan karunia “penglihatan” dan ” Pendengaran” dari Roh Kudus.
Sebelum menikah saya tidak mengetahui semua ini. Saya hanya tau dia seorang pendoa. Yang saya sesalkan dia selalu mendapatkan bisikan dari “Roh Kudus” ( versi suami saya ) bahwa saya selingkuh.
Pernah juga suatu ketika dia tiba” pulang ke rumah tengah malam dan menabrak pagar rumah kami dengan mobilnya lalu mengangkat pagar itu ke kamar dan melemparkannya ke tubuh saya yang saat itu sedang tertidur. Dia bilang saat itu bahwa dia dapat bisikan dari ” spiritualnya” bahwa saya menyimpan laki” dalam kamar. Dan saat itu dia berteriak mencari minyak tanah untuk membakar saya.
Ini hanya salah satu contoh saja, Masih banyak kekejaman lain yang tidak pantas untuk diungkapkan.
Saya sdh beberapa kali melaporkan kasus saya ke Polisi. Sebagai Info kami tidak terikat perkawinan secara sipil/negara. Hanya Sakramen yang mengikat perkawinan kami.
Polisi tidak dapat menangani masalah kami karena suami saya berdalih ini hukum katolik, Anda bukan beragama Katolik jd jgn campuri urusan RT saya.
Polisi hanya meminta saya minta bantuan gereja untuk melepaskan diri dari suami saya yang menurut polisi mengalami gangguan jiwa. Karena “orang gila” tidak bs dihukum.
Berbagai cara sudah saya lakukan untuk mohon bantuan gereja. Dari menemui Romo Paroki, Romo Kanonik, Pastor” yg saya kenal semua berkesimpulan bahwa saya harus ke Rm Purbo.
Sudah hampir 1 th saya saya menunggu, bahkan saya sering sms atau telp ke Rm Purbo menanyakan kasus saya tapi saya selalu diminta untuk bersabar.
Romo, saya memohon Anulasi demi keselamatan jiwa saya dan anak saya. Dan saya mempunyai banyak bukti hitam diatas putih ( laporan polisi, hasil visum ), saksi dari satpam perumahan, tetangga, teman” pembantu, sopir, bahwa keluarga suami saya sendiri.
Apakah semua itu tidak bisa dijadikan pertimbangan Gereja Demi Rasa Kemanusian untuk menyelamatkan “Nyawa dan Mental” saya dengan anak saya.
Maafkan saya jiwa saya membawa kasus ini ke publik karena saya sangat tertekan.
Suami saya bilang “kalau gereja mengabulkan anulasi dia akan melepaskan saya” (saya mempunyai bukti smsnya). Yang jadi masalah adalah dia selalu mendapatkan “BISIKAN-BISIKAN” yang menyesatkan dari “SPIRITUALNYA” yang pada akhirnya mengorbankan saya dan anak saya.
Pertanyaan saya mengapa Gereja begitu lambat mengambil keputussan padahal kasus ini sangat menguras nenergi saya. Saya tidak tau sampai kapan saya bisa bertahan dan tetap “WARAS” karena teror yang terus menerus. Saat ini kami tidak tinggal serumah tapi suami sy masih sering datang dan menteror saya. tetangga” sayapun terganggu dan saya pernah mendapat tegoran dari RT.
Mohon bantuannya Romo kemana lagi saya harus meminta perlindungan?
Terima kasih & BGU all
Vina
Yuvina Yth,
Silakan membawa surat permohonan anulasi itu ke Tribunal Jakarta melalui Rama Andang dan sebisa mungkin berjumpa dengan dia, di Kramat VI nomor 22 Jakarta Pusat. Semoga berhasil
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid,
Shalom Yuvina,
Saya sungguh sangat prihatin dengan apa yang anda alami dalam kehidupan perkawinan Anda. Saya hanya ingin bertanya, apakah Anda sudah pernah menerima surat tanda terima dari Tribunal bahwa surat libellus Anda sudah diterima? Jika belum, atau jika ada kemungkinan surat itu hilang, maka silakan mengikuti saran Romo Wanta, untuk menuliskan kembali surat permohonan pembatalan perkawinan (libellus) itu ke Tribunal perkawinan di Jakarta (jika sekarang Anda tinggal di Jakarta) melalui Rm. Andang. Jangan lupa tuliskan dasar- dasar dari KHK yang kemungkinan dapat dijadikan dasar bagi permohonan anulasi perkawinan Anda. Tuliskan juga riwayat perkawinan Anda, dan lampiran surat- surat dan dokumen yang dapat memperkuat permohonan Anda. Silakan membaca artikel- artikel tentang ketiga hal yang dapat menjadikan perkawinan tidak sah menurut hukum Gereja yaitu: 1) halangan menikah, silakan klik di sini; 2) cacat konsensus, dan 3) cacat forma Kanonika, (tentang kedua hal ini), klik di sini
Silakan Anda menemui pastor paroki Anda untuk memperoleh bantuan untuk menuliskan libellus, dan sesudah selesai silakan menemui Rm. Andang. Jika surat Anda jelas dan lengkap, semoga dapat diproses dengan lebih cepat.
Di atas semua itu iringilah semua usaha Anda ini dengan doa, mohon kekuatan dan bimbingan Tuhan agar Anda dapat memperoleh keadilan. Doakanlah juga suami Anda, agar Tuhan berkenan menyatakan kepadanya bahwa segala dugaan- dugaannya keliru, dan sudah selayaknya ia tidak mengandalkan bisikan-bisikan yang malah dapat menyesatkan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati – http://www.katolisitas.org
Romo YTH,
Mohon masukan dari Romo. Saya bertemu dengan seseorang yang saya sayangi 6 bulan sebelum dia menikah. Sebenarnya memang dia telah merencanakan pernikahan dan kanonik sebelum bertemu saya. Setelah bertemu saya, dia menceritakan dia sudah tidak ingin melanjutkan rencana pernikahannya. Dia memilih mengagalkannya. Tetapi dari pihak calon suaminya memaksakan begitupun dari keluarga dia tanpa memperdulikan dia. Walau kami akhirnya menjalani hubungan tapi ditentang keluarga. Sambil keluarganya menyiapkan pernikahan dan terus memaksa dengan ancaman2. Sampai pada akhirnya kami tidak dapat membendungnya lagi, mereka menikah secara katolik walau si suami bukan katolik sementara dia katolik. Sampai setelah menikah, saya mencoba untuk tidak menghubungi lagi walau sangat berat. Tetapi dia tidak bisa, saya pun sulit. Apalagi melihat dia stress dan mencoba menyakiti dirinya sendiri. Akhirnya saya pun mengikuti kemauan kami berdua. Dia berencana menyudahi pernikahannya dan memilih mencari cara bersama saya. Pertanyaan saya, apakah tindakan saya benar? Kalaupun mereka bercerai, apakah ada kesempatan kami bisa mendapatkan sakramen pernikahan? Bagaimana caranya? Karena dari awal sebenarnya kami sudah mendambakan sebuah sakramen pernikahan. Terima kasih Romo.
Shalom Dave,
Sambil menunggu jawaban Rm Wanta, izinkan saya menanggapi dahulu pertanyaan Anda:
Membaca kisah Anda, nampaknya harus diterima terlebih dahulu faktanya, demikian: teman anda itu telah menikah di Gereja Katolik dengan suaminya, walaupun suaminya itu non- Katolik. Sedangkan prinsip yang dipegang oleh Gereja Katolik adalah: semua perkawinan dianggap sah, kecuali dapat dibuktikan kebalikannya (lih. Kan. 1060). Maka dalam kasus perkawinan teman anda itu: Perkawinan itu telah melalui proses kanonik, dan dengan demikian meskipun ada perbedaan agama, hal itu nampaknya telah diselesaikan dengan adanya dispensasi dari pihak Keuskupan. Maka terus terang saja, posisi Anda tidak mudah. Sebab perkawinan yang sudah sah diberkati di Gereja Katolik tidak dapat diceraikan. Adalah lebih mudah keadaannya jika pada waktu Anda tahu adanya halangan dalam perkawinan tersebut (jika benar teman Anda itu dipaksa oleh keluarga dan calon suaminya), melaporkan hal itu sebelum perkawinan dilangsungkan atau sesaat sebelum diadakan pemberkatan perkawinan. Itulah gunanya diadakan pengumuman perkawinan sebanyak tiga kali sebelum dilangsungkannya suatu perkawinan di Gereja Katolik.
Kini saat perkawinan sudah diberkati, maka keadaan menjadi lebih sulit. Sejujurnya, perlu ditanyakan, mengapa dahulu teman Anda itu mau menikah dengan suaminya (sebelum bertemu dengan Anda), sebab di zaman sekarang ini sudah tidak begitu umum keadaan dipaksa menikah seperti di zaman Siti Nurbaya. Jika sebenarnya teman Anda itu juga mengasihi calon suaminya (saya mengandaikan, mereka juga melewati masa pacaran) maka bukankah posisi Anda di sini menjadi sulit, sebab memang Anda masuk sebagai pihak ketiga dalam hal ini; dan menjadi lebih rumit lagi setelah Anda tetap melakukan hubungan ini setelah mereka menikah. Bukankah ini menunjukkan bahwa teman anda agak labil/ kurang dapat menentukan pilihan hati. Sebab mungkin kalau anda tidak bertemu dengannya, bisa jadi dia sekarang sudah bahagia menikah dengan suaminya itu. Atau, suatu pertanyaan, jika bukan Anda yang dia temui, tapi orang lain yang juga mendekati dia, akankah dia juga ingin membatalkan perkawinannya?
Selanjutnya, Anda katakan teman Anda itu stress dan menyakiti dirinya sendiri. Jika benar demikian, ini juga merupakan sesuatu indikasi yang kurang baik (menunjukkan jiwa yang labil), sebab seseorang yang normal walaupun dalam keadaan stress sekalipun, tidak menyakiti diri sendiri apalagi jika sampai membahayakan nyawanya sendiri. Maka nampaknya dia membutuhkan pertolongan, bukan pertama- tama dari Anda, tetapi mungkin dari pihak konselor perkawinan ataupun psikolog. Orang- orang yang cenderung labil sedemikian umumnya memang akan mengalami kesulitan di dalam perkawinan, dan jika Anda memilih orang semacam ini tentu resiko semacam inipun harus pula Anda hadapi, di samping bahwa bagi Anda persoalan menjadi lebih rumit, karena teman Anda itu tidak berstatus bebas untuk dapat Anda nikahi.
Maka, mohon maaf jika saran saya terdengar kaku dan tidak sesuai dengan harapan Anda. Namun nampaknya silakan Anda pertimbangkan baik- baik niat Anda untuk mengurus pembatalan perkawinan teman Anda itu. Walaupun secara teoritis Anda atau teman Anda itu berhak mengajukan surat permohonan pembatalan perkawinan, namun jangan dilupakan bahwa dalam prosesnya pihak Tribunal akan memeriksa, dan meminta bukti- bukti dan saksi yang menguatkan permohonan tersebut. Jika tidak dapat diberikan bukti dan saksi yang kuat, maka mungkin permohonan tidak dikabulkan. Atau sebaliknya, seandainya permohonan dikabulkan sekalipun, apakah Anda yakin bahwa Anda akan dapat hidup bahagia dengan dia? Sebab kelabilan psikologis teman Anda itu juga dapat menjadi hal yang tidak sepele kelak bagi perkawinan Anda sendiri.
Mohonlah pimpinan Tuhan agar Anda tidak salah membuat keputusan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Romo,
Saya pria Katholik menikah dengan non Katholik (Muslim). Kami melakukan pernikahan 2 x karena alasan formalitas, yang pertama adalah tahun 2001 secara KUA dengan memalsukan identitas saya, yang kedua tahun 2003, dengan orang yang sama, secara gereja (catatan sipil), dengan dispensasi. Hingga sekarang kami belum dikaruniai keturunan (belum punya anak). Setelah 8 tahun, kami sepakat untuk berpisah (dikarenakan faktor ekonomi, ketidakharmonisan dalam keluarga dll). Istri hingga sekarang beragama Muslim (KTP), dan kemudian dengan mudah menikah lagi dengan seorang Muslim (duda) berbekal surat cerai dari Pengadilan Agama, atas dasar pernikahan secara Muslim kami, sedangkan saya hingga sekarang masih mengurus perceraian sipil saya. Apakah saya akan dapat menikah lagi secara Katholik? Apakah kasus saya di atas cukup kuat untuk mendapatkan anulasi? Mohon pencerahan dari Romo yang terhormat..langkah apa yang harus saya lakukan
Christ Yth
Lakukanlah langkah perceraian sipil dahulu karena itu juga menjadi bukti untuk menyatakan bahwa perkawinanmu dulu memang gagal. Kemudian silahkan menulis surat libellus ke Tribunal di mana anda dulu diteguhkan perkawinan. Selanjutnya akan diproses. Tentu anda harus mencantumkan pokok-pokok anulasi yang kuat, karena itu silahkan hubungi pastor paroki di mana anda tinggal, untuk mendapatkan pendampingan. Langkah ini adalah langkah terburuk dalam kasus-kasus perkawinan, namun apa boleh buat untuk mendapatkan keadilan dan status yang jelas. Untuk lebih jelasnya silahkan membaca artikel terkait di katolisitas.org.
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Christ,
Sebenarnya andalah yang paling mengetahui adakah pokok- pokok yang dapat dijadikan sebagai dasar anulasi dalam perkawinan anda. Anda dapat membaca di artikel- artikel di situs ini, tentang adanya tiga hal yang dapat menjadikan perkawinan tidak sah, yaitu: 1) halangan menikah, silahkan klik di sini; 2) cacat konsensus, dan 3) cacat forma Kanonika, (tentang kedua hal ini), klik di sini.
Jika anda menemukan adanya halangan/ cacat itu, misalnya kalau anda menikah karena terpaksa, atau kalau anda ditipu/ tertipu pada saat memasuki perkawinan, sebagaimana yang termasuk dalam salah satu halangan/cacat konsensus tersebut, maka anda dapat menyebutkannya dalam surat libellus (permohonan pembatalan perkawinan). Prinsipnya halangan/ cacat perkawinan itu harus terjadi sejak sebelum atau pada saat menikah (dan bukan baru terjadi setelah menikah), sehingga anulasi itu bukan perceraian, tetapi pembatalan, artinya sudah sejak awalnya perkawinan tersebut memang tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai perkawinan yang sah.
Silakan mendiskusikannya dengan pastor paroki anda, dan kemudian jika anda menemukan pokok dasar anulasi, anda dapat membuat surat libelus dengan menyertakan kisah perjalanan perkawinan anda, dengan menyertakan juga pokok/ dasar yang kemungkinan dapat menjadi pertimbangan bagi anulasi perkawinan anda, dan juga selain fotocopy surat nikah, juga surat cerai sipil, jika memang surat itu sudah ada. Lalu dikirimkan ke Tribunal Keuskupan tempat di mana perkawinan tersebut diteguhkan.
Mohonlah pimpinan Tuhan selalu untuk melangkah di saat- saat yang sulit ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Damai!
Mat hari minggu tim Katolisitas!
Saya mau bertanya, apakah seorang mualaf (dari Katolik masuk islam) yang telah bercerai dengan suaminya bisa diterima menjadi anggota gereja Katolik, dan menikah dalam Katolik?
Trims atas jawabannya.
Loren Yth
Maksudnya dia kembali menjadi Katolik lagi setelah bercerai? Allah tidak pernah menolak umat-Nya yang kembali ke pangkuan-Nya. Karena itu umat Katolik yang kembali bertobat setelah murtad atau pindah agama akan diterima. Tentu ada aturannya: harus mengikuti pelajaran agama, pernyataan tobat dan pengakuan iman Gereja Katolik, pelajaran komuni pertama.
Kalau menikah di Gereja Katolik harus memiliki status liber tidak ada ikatan perkawinan sebelumnya. Jika ada perlu dibereskan terlebih dahulu, artinya yang bersangkutan perlu memohon kemurahan hati Bapa Uskup untuk memutuskan ikatan perkawinannya yang terdahulu.
salam
Rm Wanta
Dear Romo,
saya seorang Katolik, yang dibesarkan dari keluarga Katolik. Yang ingin saya tanyakan .. apakah pembaptisan untuk pindah agama tidak diperlukan ijin dari lembaga yang membaptis. Sebagai contoh dari lahir dibaptis Katolik secara diam diam untuk kepentingan pribadi orang tersebut pindah ke agama bukan Katolik tanpa pemberitahuan apa apa ke pihak lembaga agama Katolik dan orang tua. Apakah seseorang dalam keluarga Katolik berhak berpindah pindah agama karena alasan sudah dewasa dan akan menikah. Apakah ada sanksi apabila memiliki 2 surat baptis yang masih berjalan.. apakah kedua lembaga berhak mengeluarkan surat baptis tanpa menerima surat surat pemberitahuan tentang pindah agama yang akan berakibat pada penyalahgunaan surat surat palsu.
Manakah yang sah secara hukum apabila suatu saat terjadi penyalahgunaan surat baptis..
Tks atas bantuannya.
Fredrik Yth
Pembaptisan baik di Gereja Katolik maupun gereja-gereja non Katolik yang diakui sebagai tindakan sah adalah sakramen yang tidak terhapuskan. Sakramen pembaptisan adalah sakramen dasar dan pintu masuk ke sakramen lain yang memeteraikan orang di dalam Tubuh Kristus. Baptisan memberikan suatu meterai yang tidak terhapuskan, oleh karena itu tidak bisa dua kali menerima baptisan. Pindah agama tidak perlu izin karena lembaga keagamaan tidak memperkenankan umatNya pindah agama. Kalau izin pasti tidak diberi. Karena itu bagi Gereja Katolik tidak mungkin diberikan 2 surat baptis. Seseorang yang sudah pernah dibaptis di gereja non Katolik yang sah diterima oleh Gereja Katolik tidak perlu dibaptis lagi, sehingga tidak ada 2 surat baptis. Kalau di gereja lain, itu bukan kewenangan kami melarang apalagi memberikan sangsi. Tentu secara moral salah dan keliru memiliki 2 surat baptis. Yang sah adalah surat baptis yang diakui oleh Gereja Katolik.
salam
Rm Wanta
saya mau bertanya, apakah jika sepasang katolik mau menikah tapi salah satu pihak dari orang tua perempuan tidak mau hadir pada saat sakramen pernikahan nantinya karena tidak mau merestui hanya karena alasan yang sepele,karena dia merasa tidak dilibatkan dalam persiapan pernikahan lalu dia menjadi marah (memang papa saya benar2 pemarah,ada masalah kecil saja lgs marah dan dulu pada waktu saya masi masih SEKOLAH DASAR mau menerima sakramen ekaristi/terima komuni pertama pun dia marah2 ga senang dengan alasan yang tidak jelas, tidak mengijinkan saya untuk terima komuni pertama dan tidak hadir pada saat saya komuni pertama,untungnya saya bisa terima komuni pada waktu itu walaupun pas pulang dimarahin abis2an) dan sekarang kejadian 14 thn lalu itu kembali terulang pada saat saya mau menerima sakramen pernikahan nanti pada bulan september, papa saya mengancam tidak akan hadir dan merestui padahal pernikahan kami sudah tinggal menghitung hari sekitar dua bulan lagi,dan persiapan sudah 70% siap hanya tinggal tunggu kanonik dan pengumuman greja saja. saya benar2 bingung dan khawatir sekali. saya berpacaran sudah 5 tahun lebih dan papa saya pun tahu saya mau menikah dan sudah kenal dekat dengan pacar saya itu, pada waktu lamaran pun papa saya hadir dan memberi restu kok, skrg saja karena alasan dia tidak dilibatkan dalam persiapan yang sudah 70 % ini dia menjadi marah dan mengancam seperti itu. Bagaimana tanggapan tim katolisitas mengenai hal ini, terima kasih sebelumnya.
Shalom Nana,
Terima kasih atas sharingnya. Memang situasi yang anda hadapi adalah situasi yang sulit. Namun dalam suasana yang bahagia ini, saya ingin menyarankan agar anda dan calon anda untuk datang ke papa dan meminta maaf, jika dirasa cara anda berdua dalam mempersiapkan perkawinan tidak sesuai dengan harapan papa. Silakan membicarakan hal ini dengan pasangan anda. Carilah waktu yang tepat, dan ada baiknya anda berbicara sendiri dengan papa anda, minta maaf, dan mencoba mengerti sudut pandang papa anda. Setelah papa anda dapat mengerti, silakan mengajak pasangan anda untuk bersama-sama berbicara dengan papa. Yang terpenting, berdoalah agar Tuhan dapat memberikan hati yang lembut kepada papa dan sampaikan semuanya dengan kasih. Semoga Tuhan memberikan jalan agar anda dapat menyelesaikan hal ini dengan baik, sehingga kebahagiaan anda akan terasa lengkap di hari perkawinan anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shallom Romo Wanta / Ibu Inggrid / Pak Stef,
Ada kasus dari seorang katekumen.
Seorang Ibu (sebut saja Ani) saat ini sedang ikut katekumen, beliau berusia 58th, dengan 1 anak. beliau menikah tahun 1983 dengan seorang WNA Taiwan dan menikah di Taiwan, saat itu keduanya bukan katolik.
Awalnya Ibu Ani ini memang dikekang oleh keluarga besarnya dalam mencari pasangan, shg beliau akhirnya bekerja di Taiwan & dapat pasangan (sebut saja Bpk Yan) org Taiwan. Pernikahan di lakukan di Taiwan dicatatkan di kantor pernikahan Taiwan (mungkin seperti catatan sipil Indonesia) dan mereka tinggal di Taiwan.
Thn 84, ibu ani hamil dan beliau memilih melahirkan di Indo agar anaknya bisa berstatus WNI.
Lalu stlh 2 bulan, anaknya di bawa ke Taiwan.
Sejak perkawinannya, Ibu Ani melihat sifat asli suaminya yang hanya memanfaatkan harta keluarga Ibu Ani saja (maklum si ibu cukup kaya), suka kasar, judi dll dan muncul ketidakharmonisan dalam keluarga. Suaminya jg jarang pulang dan tdk jelas keberadaannya, dan akhirnya thn 86 ibu Ani memilih utk kembali ke Indo karena ketakutan dgn prilaku suami dan Ibu Ani ingin membesarkan anaknya dengan baik di Indo.
Semua arsip2 dibawa oleh suaminya (termasuk akte suami, surat nikah dll) dan ibu ani tidak punya arsip sama sekali, kecuali paspor ibu ani. Saat ini status suami bu ani tidak diketahui (hidup, mati, alamat dll).
Setahu saya, agar Ibu Ani boleh dibaptis di GK maka harus dilakukan pemberesan perkawinan dengan Pastor paroki karena beliau pernah menikah.
Pertanyaan saya :
Jika suaminya tidak diketahui status & keberadaanya, surat nikah / cerai tidak ada, maka apakah tetap harus ada pemberesan pernikahan ? bolehkah suaminya “dianggap” meninggal krn kondisi ini ? Bagaimana supaya Ibu Ani ini bisa dibaptis dan tidak terkena halangan hukum gereja ??
Sekali lagi, Ibu Anik sudah tergolong lansia dan sangat merindukan Sakramen Baptis.
Mohon bantuan dari Romo dan para pengasuh Katolisitas.
Terimakasih banyak. Tuhan memberkati.
Salam,
Stella
Stella Yth
Kasus yang anda ceritakan untuk pembaptisan dimana perkawinan gagal/ pisah ranjang dan pasangan (dalam hal ini Ibu Ani) tidak hidup dalam dosa (maksudnya tidak menikah lagi atau tidak menjalin hubungan dengan pria lain); maka ia bisa dibaptis tanpa pemberesan perkawinan. Mohon dicari saksi yang dapat memberikan keterangan bahwa suami meninggalkan istri dan tidak diketahui di mana suaminya berada. Lalu minta surat keterangan dari Ketua Lingkungan bahwa ibu Ani orang yang baik saleh dan mau menjadi Katolik. Surat keterangan itu dilampiri keinginan pribadi ibu Ani sebagai pemohon atas kerinduan mau dibaptis dan tidak akan kembali hidup bersama dengan suami ditujukan kepada rama paroki. Pastor paroki tidak boleh menolak permohonan umat yang meminta keselamatan dengan menerima baptis. Tidak ada halangan untuk diberi baptisan. Semua hal diatas perlu dilengkapi dengan pembinaan iman ibu Ani sehingga sakramen yang diterimanya sungguh berdayaguna. Ibu Ani dapat menerima sakramen inisiasi: baptis, ekaristi/komuni dan krisma sekaligus jika benar usia sudah lanjut (lansia).
salam
Rm Wanta
Romo Wanta yth,
Terimakasih banyak atas penjelasannya. Iya, Ibu Ani tdk punya pasangan lain hingga saat ini.
Pertanyaan selanjutnya :
1) Apakah solusi yg Romo sampaikan berdasarkan hukum gereja ? Atau kebijakan pastoral? Karena dari beberapa kasus yg mirip setahu saya, romo paroki tidak mengijinkan utk baptis. Jd jika Romo bisa memberi dasar hukumnya, maka akan lebih baik.
2) Menyambung ttg baptisan dan krisma (maaf mgkn agak diluar konteks perkawinan). Romo mengatakan jika lansia, baptis diterimakan sekalian dengan Krisma (inisiasi), jika telah dipersiapkan. Apakah ini kebijakan pastoral utk lansia ? Karena ada kasus di sebuah paroki di jkt, pastor paroki meminta baptis dan krisma terpisah, termasuk utk lansia, pdhl umumnya lansia sudah menurun daya ingat, kesehatan dll, saya pribadi kasihan jk lansia harus dipersiapkan lebih lama lagi.
Terima kasih atas penjelasannya. Gbu
Salam,
Stella
Stella Yth
Tentu saja saya menjawab berdasarkan apa yang saya pelajari yakni hukum Gereja: silakan baca kan 1752 KHK 1983:
Kan 1752 Dalam perkara-perkara pemindahan hendaknya diterapkan ketentuan-ketentuan Kanon 1747, dengan mengindahkan kewajaran kanonik dan memperhatikan keselamatan jiwa-jiwa, yang dalam Gereja harus selalu menjadi hukum yang tertinggi.
Bacalah juga kan 834 terutama pada sakramen kan 840 s/d kan 911. Di situ anda akan temukan pelayan sakramen, siapa saja dan secara berurutan KHK 1983 menampilkan ketiga sakramen inisiasi, baptis, penguatan, ekaristi kudus. Pada umumnya baptisan dewasa dapat diterimakan sakramen inisiasi, tapi jika diberikan hanya baptis dan ekaristi saja kemudian terpisah penguatan oleh Uskup bersama yang lain juga bisa dilakukan. Atas alasan yang berat, Uskup yang melayani penguatan berdasarkan hukum dapat memberikan otoritas yang berwenang dengan melibatkan imam-imam agar mereka sendiri melayani sakramen penguatan. Untuk itu mebutuhkan izin. Jadi bisa dilakukan ketiga sakramen diberikan bagi lansia dengan izin Uskup. Baca pula Konstitusi Liturgi (SC), 71:
71. (Peninjauan kembali upacara sakramen Krisma)
Upacara Krisma hendaknya ditinjau kembali juga supaya lebih nampak jelas hubungan erat Sakramen itu dengan seluruh inisiasi kristiani. Maka dari itu pembaharuan janji-janji Baptis seyogyanya mendahului penerimaan Sakramen Krisma.
Bila ada kesempatan baik, penerimaan Krisma dapat diselenggarakan dalam Misa suci. Sedangkan mengenai upacara di luar Misa, hendaknya disediakan upacara pendahuluan.
Lansia lebih melihat norma kan 1752. Jika anda berminat bersama teman lain katolisitas akan mengagendakan temu darat khusus Liturgi. Datang ya.
salam
Rm Wanta
Syallom Romo Wanta,
Terimakasih atas penjelasannya.
Ini semua sangat membantu & menguatkan saya dan teman-teman khususnya yang saat ini sedang berkarya dalam sie pewartaan.
Saya sangat tertarik sekali ttg agenda temu darat dari katolisitas utk tema Liturgi, sebisa mungkin saya akan datang. Saya tunggu tanggal & tempat nya.
Maaf ada pertanyaan lain ttg kasus perkawinan sehubungan dengan calon baptis sbb:
Seorang ibu Mira usia 54 thn, saat ini sedang katekumen (3bulan). Dia menikah thn 1975 dengan Bpk Tono , keduanya bukan katolik (secara adat, surat nikah sipil baru dibuat thn 1988).
Mereka Memiliki 3 anak dan saat ini semua katolik.
Thn 94, karena ketidakcocokan dalam keluarga, akhirnya mereka bercerai dengan surat cerai sipil. Saat ini suaminya (bpk Tono) , tidak katolik, sudah menikah lagi dgn wanita lain.
Ibu Mira, sudah komit utk tidak menikah lagi dan hanya ingin bersama ke 3 anaknya dan dengan segala pergulatan hidupnya & melihat iman anak2nya, saat ini beliau ingin menjadi katolik.
Pertanyaan saya, apakah perceraian ini sah / diakui oleh gereja katolik sehingga ibu Mira tidak terkena halangan pernikahan sebagai syarat beliau untuk menerima Sakramen Inisiasi ? Jika menjadi halangan, bagaimana solusi untuk pemberesan pernikahannya ?
Sekali lagi terimakasih atas semua masukan yang disampaikan oleh Romo & moderator.
Tuhan memberkati.
Salam,
Stella
Stella Yth
Membaca kisah yang anda ceritakan kiranya dapat dipahami bahwa Ibu Mira yang memiliki keinginan dan motivasi menjadi Katolik tidak boleh dihalangi. Meskipun dilanda perkawinan yang pisah karena ketidakcocokan dengan pasangan, dia memiliki itikad baik untuk tidak akan menikah lagi dan hidup dengan anak-anak. Saya kira tidak ada keberatan jika motivasi ibu Mira didukung oleh keluarga dan anak-anak sehingga iman katolik sungguh terjamin tumbuh sesudah dibaptis. Maka silakan melanjutkan masa katekumenat dan bagi saya dapat dibaptis. Untuk sakramen inisiasi kiranya hanya baptis dan komuni sedangkan krisma selanjutnya setelah iman tumbuh dan perlu jeda waktu untuk pendalaman iman lebih dewasa dan matang.
salam
Rm Wanta
Romo Wanta Yth,
Terimakasih atas semua tanggapan Romo atas kasus2 ini.
Semoga Tuhan memberkati selalu.
Salam,
Stella
Dear Romo,
Saya cuma mau bertanya kalo ada misalnya calon pasangan saya berasal dari agama lain dan sudah bercerai, terus sekarang mau menikah di gereja Katolik apakah bisa? Atau kalau misalnya calon pasangan saya dibaptis menjadi katolik, apakah bisa menerima sakramen perkawinan secara katolik? terima kasih dan Tuhan memberkati
Shalom Yani,
Prinsipnya, Gereja Katolik mensyaratkan kedua mempelai pria dan wanita dalam status liber/ bebas, maksudnya tidak pernah terikat dalam perkawinan terdahulu. Sehingga kalau salah satu sudah pernah menikah (walaupun di agama bukan Katolik), maka perkawinan tersebut tidak dapat diberkati oleh Gereja Katolik, sebab Gereja Katolik tetap menghargai ikatan perkawinan kodrati yang sudah disahkan menurut agama lain.
Jika pasangan ingin diberkati di Gereja Katolik, maka ikatan perkawinan terdahulunya harus dibereskan dahulu. Artinya, silakan dilihat, apakah ada kemungkinan pembatalan perkawinan. Menurut Gereja katolik, ada tiga hal yang membatalkan perkawinan: 1) halangan menikah, silahkan klik di sini; 2) cacat konsensus, dan 3) cacat forma Kanonika, (tentang kedua hal ini), klik di sini. Nah orang yang tidak Katolik tidak terikat forma kanonika, tetapi hal halangan menikah dan cacat konsensus tetap perlu diperhitungkan. Silakan, jika ada dasarnya dari kedua hal tersebut, calon anda menulis surat permohonan pembatalan ikatan perkawinan kepada pihak Tribunal untuk memohon kemurahan hati Uskup untuk memutuskan ikatan perkawinan terdahulunya itu.
Silakan menemui pastor paroki untuk mendampingi anda di dalam hal ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
mau tanya Romo.Teman sy laki2 menikah pertama dgn istri yg dr protestan masuk katolik jd menikah secara khatolik gtu.trus ni teman sy ni dalam perjalanan pernikahan rupanya ada masalah dlm rumahtangganya dan mengajukan cerai sipil di pengadilan negeri.setelah mendapat putusan cerai sipil kemudian teman sy menikah lg dgn istri ke2 secara protestan dan teman sy pun masuk protestan krn. kesal atau blm mendapatkan restu scara adminstrasi dr pihak Greja khatolik atas istri pertamanya, singkat kata mungkin dia maunya cepat.pertanyaan saya apakah pernikahan ke2 dr teman saya ini sah menurut GK dan SIPIL?dan apakah istri ke 1 dpt melakukan gugatan krn selama sidang cerai sipil istri 1 tdk pernah hadir dlm persidangan.
Gusty Yth
Permohonan umat ingin cepat serba instan memang tidak bisa dilakukan oleh Gereja Katolik dalam persoalan anulasi perkawinan di Tribunal. Termasuk dalam pembinaan calon baptis bahkan KPP tidak mungkin dilakukan dengan cepat maunya sendiri. Itulah yang kadang menjadi persoalan pastoral para pastor di Gereja Katolik. Umat kurang paham bahwa segala proses dalam pelayanan umat itu ada prosedur dan aturannya. Tujuannya adalah semakin mendalam dan kuat dalam menghayati hidup beriman. Oleh karena itu, persoalan yang anda ajukan memang tidak bisa diproses cepat, kalau mengambil jalan pintas pindah agama atau diteguhkan di Gereja lain untuk perkawinan kedua tentu tidak sah secara kanonik. Karena apa? Karena masih memiliki ikatan perkawinan meskipun sudah cerai sipil. Kita harus menghormati institusi rohani ikatan perkawinan yang dianugerahkan kepada umatNya. Maka janganlah cepat bercerai, persoalan hidup perkawinan harus diatasi dengan dialog komunikasi yang baik, rujuk dan damai di antara keluarga pasutri dan orang tua dan anak. Jadi teman anda memasuki perkawinan yang tidak sah secara kanonik menurut Gereja Katolik.
salam
Rm Wanta
Shalom Romo n saudara/i sekalian. Saya mau nanya. Ada seorang teman saya yang sudah menikah secara katolik n pada akhirnya harus bercerai dikarenakan suaminya narkoba dan mencampakkan istrinya. seandainya istrinya tersebut mau menikah lagi secara katolik, apakah diperbolehkan? serta apakah ada dispensasi khusus dan diperbolehkan menerima komuni kudus?
Ronny Yth
Tidak serta merta dapat dibuat suatu pengandaian bahwa pasangan yang menikah lagi dapat diberikan komuni kudus. Pasangan tersebut harus melalui prosedur hukum di mana kasus perkawinan mereka dilihat kembali apakah ada cacat dalam konsensus ketika perkawinan dilaksanakan? Setelah proses itu, jika perkawinan bisa dinyatakan batal oleh hukum melalui tribunal perkawinan keuskupan maka status istri tersebut bisa menikah kembali (karena perkawinan terdahulu adalah tidak sah). Jika tidak, maka ia tidak dapat menikah kembali karena masih adanya ikatan perkawinan sebelumnya, kecuali pasangannya meninggal dunia. Tentang komuni, perlu diperiksa bagaimana hidupnya setelah perkawinan bubar dan kesaksian hidupnya sebagai umat Katolik. Asalkan ia tetap hidup murni, (tidak hidup sebagai suami istri dengan orang lain, dan tidak melakukan dosa berat lainnya) maka ia dapat saja menerima Komuni Kudus.
Hendaknya menghadap pastor paroki dimana dia berdomisili.
salam
Rm Wanta
Mau nanya lagi Romo. Apa saja hal2 yg mjd bagian dari “Anulasi” tsb? Trimakasih sebelumnya.
Ronny Yth
Bagian yang menjadi anulasi perkawinan adalah tiga hal pokok: adanya halangan, adanya cacat konsensus dan adanya cacat forma canonica. Anda kemungkinkan bingung lagi silakan baca dalam web katolisitas (silakan klik).
salam
Rm Wanta
Romo,
Apakah suami sudah berkata cerai atau pisah itu termasuk perkawinan sudah bubar?
[dari katolisitas: Dalam katolik tidak ada istilah perceraian. Yang ada adalah kalau terbukti bahwa perkawinan tidak sah, maka dapat dilakukan pembatalan/anulasi. Silakan melihat artikel dan tanya jawab ini – silakan klik.]
Dear Romo,
Saya sudah menikah selama 6 tahun setelah 8 tahun pacaran. Selama menikah banyak sekali permasalahan dari keluarga suami yang membuat saya stress kadang saya merasa tidak kuat dengan banyaknya cobaan. Selama menikah, suami tidak mau memiliki anak. Bahkan diajak untuk konsultasi ke pakar kesehatan dia menolak. Untuk berhubungan saja suami saya selalu menolak dengan alasan capek. Dan selama kami menikah, suami menolak untuk pergi ke gereja. Untuk pergi ke gereja saja kita bisa bertengkar bahkan ia pernah melempari saya ketika saya mengajak dia ke gereja.
Awal pernikahan suami memang sibuk dengan pekerjaannya bahkan sering ditugaskan ke luar kota. Tapi saya sangat memahami karirnya yg bergerak di bidang IT.Menginjak tahun ke 4 pernikahan, kesibukan semakin bertambah, hampir tiap hari pulang jam 3 pagi, bahkan tidak pulang ke rumah sampai 3 hari dan tidak bisa dihubungi. Yg paling menyakitkan pada saat saya sakit keras dengan keadaan susah jalan, dia hanya sempat menurunkan saya di lobby rumah sakit dan tidak perduli dengan keadaan saya. Lagi-lagi dengan alasan sibuk. Saya juga sering menunggu dia jemput di kantor saya sampai jam 2 atau jam 3 pagi (jarak kantor ke rumah sangat jauh jadi kalau sudah kemalaman pulang, saya harus menunggu dia jemput).
Uang bulanan yang saya terima tiap bulannya juga sangat minim karna alasannya harus dipotong dengan uang makan anjing peliharaan kami & biaya asuransi kesehatan diri saya. Untungnya saya bekerja, jadi saya bisa memenuhi kebutuhan belanja di rumah.
Sebenarnya saya sudah tidak sanggup namun saya harus bertahan karena saya merasa saya harus menjaga janji pernikahan kami berdua. Melihat sesuatu yg aneh dengan suami saya, keluarga dan teman2 saya mendesak untuk menyelidiki apa yg terjadi dengan suami saya. Mereka curiga dia ada wanita lain. Tapi saya tidak percaya. Akhirnya saya berdoa memohon kepada Tuhan untuk diberi petunjuk. Sampai akhirnya saya menemukan FB suami saya beserta paswordnya. Dari situ mulai terbongkar kalau selama ini suami saya berhubungan dengan perempuan2 malam dan saya juga bisa membongkar pasword emailnya disitu saya menemukan beberapa tagihan kamar hotel & minuman2 keras yg dipesan oleh suami saya & pasangannya. Saya juga menemukan beberapa sms mesra suami saya dengan perempuan tersebut. Dan ternyata selama ini besar gaji yg dia terima selama ini lumayan besar tidak sesuai dengan yg dia akui selama ini kepada saya (saya akhirnya menemukan semua slip gaji yg dia sembunyikan).
Akhirnya suami saya mengaku bahwa dia telah menghamili perempuan tersebut dan kita harus bercerai karna dia mau bertanggung jawab. Perempuan tersebut beragama lain.
Yg menjadi pertanyaan saya apakah dengn kasus seperti ini saya bisa pembatalan pernikahan? Saya sudah 6 bulan tidak tinggal serumah dengan suami saya. Selama ini saya hidup ngekos, karna rumah beserta mobil saya dikuasai oleh suami saya. Waktu itu saya pernah sempat bekkonsultasi dengan pastor paroki, beliau malah menyarankan saya untuk menerima bayi hasil perselingkuhan suami saya dan merawatnya seperti anak saya sendiri. Terus terang Romo, hati saya tidak semulia itu. Saya tidak sanggup kalau harus seperti itu. Hati saya sudah hancur. Mohon pencerahan dari Romo dan apa saja yg harus saya lakukan untuk melakukan pembatalan pernikahan ?
Terima Kasih Romo…..
Bernadetha Yth
Saya ikut prihatin dengan keadaan anda. Melihat cerita anda kelihatan untuk rujuk kembali saya kira tidak mungkin dan anda berkeinginan untuk memroses perkara perkawinan ini dalam tribunal Gereja. Maka mulailah menulis surat permohonan pembatalan perkawinan. Tulislah sejarah perkawinanmu dan meminta pastor paroki yang anda kenal untuk mendampingi. Jika tidak maka anda bisa sendiri ke kantor keuskupan di mana terdapat Tribunal Perkawinan Gereja. Proses ini bukan perceraian tetapi proses pembatalan perkawinan. Artinya akan ada proses pembuktian apakah sebelum perkawinan ada cacat hukum yang dapat membatalkan perkawinan anda. Semoga dapat dipahami dan silakan membaca di web katolisitas rubrik hukum Gereja untuk lebih memahami proses ini. Berkat Tuhan.
Salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Bernadetha,
Silakan anda membaca terlebih dahulu, tentang macam- macam halangan yang menggagalkan perkawinan, di sini,silakan klik dan tentang cacat konsensus, di sini, silakan klik.
Silakan melihat apakah ada dari yang anda alami yang termasuk dalam katagori yang tertulis di sana. Jika ada, maka anda memiliki dasar untuk mengajukan pembatalan perkawinan, dan semoga nanti hal itu dapat dibuktikan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Romo,
Apakah sudah ada contoh kasus pernikahan yang dibatalkan pada keuskupan surabaya??
karena mama saya cerita kalau temannya sudah mengurus sejak berusia 30-an hingga kini sudah hampir 50 belum juga ada pembatalan, apakah sangat rumit untuk mendapatkan pembatalan pernikahan bila hanya dari pihak lelaki atau wanita saja yang mengurus pembatalan? atau memang harus ada dua belah pihak agar proses bisa berlangsung lancar?? kalau salah satu pihak lepas tangan apa mungkin bisa diproses pembatalan pernikahannya??
terima kasih Romo
GBU
Emma Yth
Keuskupan Surabaya telah memiliki Tribunal Perkawinan. Coba hubungi Rm Dwi Joko Pr dia viakris judisial yang bisa ditanyai tentang kasus anda. Silakan mencari alamat dan nomor telpon dan bertemu dengan rama Dwi Joko. Proses pembatalan akan berjalan meskipun pihak yang dipanggil tidak menjawab. Yang penting dia menerima surat panggilan dari tribunal.
salam
Rm Wanta
Romo nama saya juli, saya sudah pacaran selama 1 tahun dengan orang yang berbeda agama. Saya bingung saya mau membawa hubungan ini menjadi serius ke jenjang pernikahan. Tp saya sadar bahwa saya gak mungkin menikah dengan orang yang beda agama. bagaimana kami untuk memantapkan n bisa untuk menikah dengan pacar saya ini. saya minta tolong romo bantu kami untuk memecahkan masalah ini.
Terima kasih sebelumnya Romo.
Juli Yth,
Masa pacaran adalah masa untuk saling mengenal satu sama lain secara terbuka jujur dan bertanggungjawab. Karena itu dalam masa pacaran hendaknya anda melakukan komunikasi yang mendalam terutama pembicaraan tentang agama yang berbeda akan menjadi halangan dan persoalan pendidikan iman anak dalam keluarga. Apakah calon anda mengetahui bahwa perkawinan beda agama mengandung resiko cukup besar untuk kelangsungan hidup berkeluarga? Kecuali pasangan anda menghormati anda dan memberikan kebebasan beragama pada anda agar dapat tetap katolik dan pendidikan anak secara katolik? Adakah kesungguhan hati dan cinta yang akan menjamin keluarga anda nanti bersama dia tidak goyah dan retak serta dapat bisa bubar? Pertanyaan semacam itu perlu dikomunikasikan didialogkan selama masa pacaran. Ada keluarga kawin campur yang bagus tapi ada juga yang gagal. Kekhawatiran ada, misalnya bahwa dia kelak meninggalkanmu dan memaksamu mengikuti agamanya, anak-anak yang lahir tidak diperkenankan ikut ibunya dll, itulah yang juga terjadi dalam perkawinan beda agama. Maka pikirkan baik- baik dan ajaklah dia berbicara tentang hal- hal ini agar dikemudian hari anda tidak menyesal. Bagi saya setahun belum lama masa pacaran maka langkah serius perlu ditimbang lagi jangan keburu- buru serius. Lihat perilaku dan kesungguhan hatinya apakah dia mencintaimu sungguh? Ikutilah proram “Discovery” jika anda mau memperdalam hubungan anda di samping Gereja Katedral Jakarta setiap Minggu ke 3 dalam bulan.
salam
Rm Wanta
Maaf Romo, saya ikut nimbrung. “Discovery” itu apa ya Romo ? Sepertinya menarik, kalau mau gabung syarat2 apa ya Romo ? Thanks
Mike Yth
Discovery adalah sebuah Workshop/Lokakarya yang bertujuan mempersiapkan orang muda katolik yang sedang pacaran dan mau serius melangkah ke jenjang perkawinan. Tujuannya adalah agar pasangan tersebut dapat mengenal satu sama lain secara utuh dan melihat perkawinan menurut ajaran Gereja Katolik secara benar sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Peserta diharapkan berpasangan tidak diwakilkan, minimal salah satu pasangan beragama Katolik karena selama workshop diberikan ajaran tentang perkawinan menurut pandangan Gereja Katolik. Selama workshop peserta yang ikut belajar mengenal diri, mengenal pasangan, komunikasi dan lainnya dalam kurun waktu pengajaran dari pagi jam 08.00 sampai dengan 17.00 setiap hari Minggu ke tiga di Gedung Karya Sosial KAJ.
Sebelum anda mengambil keputusan menikah kenalilah pasanganmu, lebih baik sekarang dari pada terlambat dikemudian hari yang berakibat buruk.
salam
Rm Wanta
Terima kasih banget Romo atas info nya, saya minat sekali.
Apakah ini di kenakan biaya administrasi Romo ?
Maaf kalau banyak nanya….
Mike Yth
Biaya ikut program Discovery Rp 150.000 sepasang. Setiap Minggu ketiga dalam bulan di Gedung Karya Sosial KAJ dekat Gereja Katedral Jakarta.
Silakan cari informasi di sana jika ikut pasti tidak menyesal dan bahkan tidak rugi.
salam
Rm Wanta
Salam Romo & Tim Katolisitas.,
Saya bersyukur bisa mengetahui halaman web ini. sya telah mndapat bnyak pengetahuan yang menguatkan keyakinan akan Iman Katolik saya. Terpujilah Allah.
Saya ada beberapa pertanyaan mengenai pernikahan beda agama.
Seorang rekan kerja saya adalah janda 2 anak yg ditinggal mati oleh suaminya. mereka adalah adalah keluarga katolik. saat ini dia berpacaran dengan seorang duda cerai (protestan) yang juga telah memiliki anak. Karena pihak laki2 bersedia mengikuti kepercayaan rekan saya, mereka sedang dalam proses pengurusan untuk menikah di GK, namun terdapat ganjalan karena status pernikahan pihak laki2. pertanyaan saya:
1. bagaimana status anak hasil perkawinan pihak laki2 apabila kemudian terjadi pembatalan perkawinan pertama?
2. rekan saya berencana melakukan pernikahan secara non katolik apabila tidak mendapat anulasi, dengan keinginan setelah menikah tetap akan mengikuti ibadah/kegiatan GK (jadi hnya untuk peneguhan perkawinan saja / secara simbolik mungkin?). Apakah hal itu dibenarkan menurut GK?
3. Adakah solusi terhadap masalah ini?
Semoga jawaban Romo dan Tim bisa jadi pencerahan bagi saya dan rekan saya ini.
Heinz Yth
Dalam kanon 22 dinyatakan bahwa UU Sipil yang dirujuk oleh Hukum Gereja harus ditepati dengan efek-efek yang sama dalam hukum kanonik sejauh tidak bertentangan dengan hukum ilahi. Maka anak yang lahir dari perkawinan yang sah sipil dan kemudian bercerai tetap menjadi anak kandung orang tua yang telah tercatat secara sipil. Demikian KHK mengakui anak tersebut adalah anak dari orang tua kandung sesuai hukum sipil meskipun mereka telah dianulir/ dibatalkan perkawinannya. Apa yang telah diputuskan dalam hukum sipil ketika perkawinan dan kelahirannya anaknya adalah sah sipil maupun gerejawi.
Rencana rekan anda menikah di luar Gereja Katolik adalah tindakan yang keliru sehingga mengakibatkan perkawinan mereka tidak sah. Solusinya adalah mencari pokok anulasi secara tepat agar permohonan terkabulkan di Tribunal dan kemudian tidak meneguhkan perkawinan di luar Gereja Katolik. Setiap orang biarpun hidup dalam perkawinan tidak sah, Gereja Katolik mengusahakan untuk membantu mereka agar hidup benar dan kembali ke dalam Gereja Katolik.
salam
Rm Wanta
shalom Rm. Wanta
Aku dulu menikah secara katolik. Dan thn 4thn yl aku bercerai sah di catatan sipil. Sekarang aku mau bertanya : seandainya kl nanti aku menikah lagi diberkati di gereja non katolik. Apakah aku masih bisa menerima komuni ? dan apakah pernikah aku di anggap sah oleh Tuhan ? Apakah secara katolik aku dianggap berzinah krn tidak ada pembatalan pernikahan. Terima kasih
Salam
Elizabeth
Elizabeth Yth
Kalau pernah menikah kemudian cerai dan menikah lagi di luar Gereja Katolik, maka anda kena sangsi dan tidak diperkenankan menerima komuni kudus. Mengapa? Karena perkawinan kedua merupakan pelanggaran terhadap kesucian perkawinan, karena hidup bersama dengan orang yang belum sah perkawinannya secara kanonik menurut Gereja Katolik. Berzinah ya, jika melakukan hubungan seks, sebelum ada pernyataan resmi dari Tribunal Gereja Katolik bahwa perkawinan pertama anda tidak sah dan kemudian disahkan perkawinan kedua.
Terimakasih atas perhatiannya.
salam
Rm Wanta
Dear Stef, Ingrid and Romo,
Saya mau bertanya tentang suatu kisah nyata. Sejujurnya saya sangat bingung, apakah hal ini bener atau tidak. Mungkin saudara Stef, saudari Ingrid atau Romo yang bisa menjelaskan secara detail.
Pertanyaan saya:
Ada satu pasangan yg baru menikah dan skrg menjadi katolik. Permasalahan di sini, sang suami ini dari gereja protestan dulunya and uda pernah menikah 2 kali. Trus pisah dgn istri nya yg pertama and kedua. Nah skrg ini dia menikah dgn istri ketiga. Dan saya sangat kaget meliat mereka di gereja katolik and menerima hosti.
Apakah gereja katolik mengakui dan mengijinkan mereka itu utk menerima hosti?
Apakah pernikahan mereka itu sah mnurut ajaran katolik?
Terima kasih.
regards,
felix
Felix Yth
Perkawinan mereka tidak sah karena ada halangan ikatan perkawinan sebelumnya bahkan menikah dua kali. Maka dia tidak layak menerima komuni kudus. Untuk itu perlu diberitahu supaya tidak menerima komuni karena akan menjadi batu sandungan bagi umat lain selain itu menjadi pendidikan bagi umat agar menghargai perkawinan Gereja Katolik, satu tak terputuskan, bagi terbaptis diangkat oleh Kristus menjadi sakramen. Semoga dipahami.
salam
Rm Wanta
Maaf Felix dan Romo , saya ikut bertanya di sini,..
Jika seorang (A) yang pernah menikah dengan orang Katolik di luar gereja, beberapa lama kemudian orang tersebut (A) dibabtis , apakah pernikahan terdahulunya telah menjadi sakramen perkawinan yang sah menurut Gereja walaupun tanpa ada pembaharuan janji nikah di depan pastor?
Terima kasih
Gbu
Dion Yth
Setiap org katolik wajib hukumnya menikah secara hukum katolik (kanonik) maka jika dia menikah di luar GK, perkawinan tidak sah secara kanonik. Untuk itu perlu convalidasi-pengesahan di dalam GK. Kalau pasangan non baptis dikemudian hari lalu dibaptis maka perlu upacara convalidasi dan tanpa pembaruan janji perkawinan (diandaikan perkawinan di luar GK sudah ada konsensus) baru menjadi sakramen. Sebaiknya sebelum dibaptis perkawinan dibereskan dulu lalu saat convalidasi dibaptis sekalian lebih indah.
salam
Rm Wanta
Yth Romo Wanta,
Mohon bantuan untuk permasalahan saya sebagai berikut :
Saya katolik (30)
Belum pernah menikah
Calon istri saya islam (32)
Sudah pernah menikah secara islam, resmi cerai secara hukum, 2 anak
Dia pernah dibabtis katolik sewaktu kecil, namun sekarang beragama islam.
kami ingin sekali meresmikan pernikahan kami secara katolik.
Mohon petunjuk dari Romo,
Terima kasih Romo, Tuhan memberkati,
Andreas
Andreas Fobi Yth
Caranya agar anda dapat menerima sakramen perkawinan adalah mengatasi halangan dalam diri calon pasangan anda hal mana pernah menikah meski sudah cerai sipil. Ikatan rohani perkawinan antara calon istri anda dan pasangan terdahulunya itu masih ada menurut pandangan Gereja Katolik, karena itu perlu diputuskan melalui proses permohonan ke Uskup di mana anda berdomisili. Mengapa dibutuhkan hal itu? Lalu apa hubungannya dengan Gereja Katolik padahal dia Islam? Karena dia akan menikah dengan orang Katolik maka mau tidak mau segala aturan Gereja Katolik harus dijalani (penyelidikan kanonik dll). Hal lain karena dia beragama Islam meski sudah pernah dulu dibaptis, alangkah baiknya dia mau menjadi Katolik kembali tidak perlu baptis lagi, cukup confetio public dengan mengucapkan credo dan mengikuti pengajaran untuk persiapan Komuni dan penerimaan sakramen inisiasi lainnya (dalam hal ini sakramen sakramen Ekaristi dan Penguatan, setelah didahului dengan sakramen Pengakuan Dosa) karena sudah dewasa. Kita berharap karena dorongan imannya itu dan mau menikah di Gereja Katolik maka proses dispensasi pemutusan ikatan perkawinan terdahulu segera dapat diselesaikan sehingga dia memililki status bebas untuk menikah dengan anda.
salam
Rm Wanta
Selamat malam Romo,
Saya ada permasalahan di pernikahan saya ,
Saya dan suami menikah secara katolik tahun 2004, sebelumnya dia seorang Protestan dan jarak umur kami adalah 5 tahun , skg saya 42 th dan dia 47 th.
Kami berkenalan cukup singkat, kenal di Juli 2003 dan menikah Feb 2004 dan hingga saat 2010 belum mempunyai anak . Kami bekerja sehingga waktu yang dihabiskan bersama adalah Sabtu Minggu.
Karena kondisi financial saya lebih baik dari dia, maka saya tidak menuntut dia materi dan saya tidak mempermasalahkan hal itu , meskipun sebelum menikah dia bilang akan menyerahkan penghasilan setiap bulannya, namun dari awal menikah sampe sekarang tidak dilakukan dan karena saya mngerti kondisinya jadi saya tidak menuntut.
Sehingga untuk kebutuhan utama untuk day to day maupun sekunder saya mencover sendiri dan saya tidak complain terhadap dia , malah dia yang complain terhadap saya karena saya boros
Oh ya saya tinggal di mertua dan tidak bermasalah dengan keadaan tersebut,
2004 , 2005 kami jalanin bersama seperti biasa yaitu meluangkan waktu bersama di sabtu atau minggu dengan jalan jalan sehabis gereja
Dalam 2 tahun tsb kami memang tidak ada plan untuk mempunyai keturunan mulai kapan, jadi mengikuti air mengalir saja , dan pada saat itu saya hanya berpikir kalo diberikan anak sama Tuhan , saya pribadi siap lahir batin
… namun menginjak tahun ke 2006 , saya mulai menjaga hubungan suami istri , ini karena saya melihat suami belum bisa bertanggung jawab penuh sebagai kepala rumah tangga, karena saya pernah ajak suami untuk kontrak rumah sehingga kita bisa mandiri, tapi dia bilang ga ada biaya, kemudian saya ajak juga untuk menabung bersama , dia juga tidak mau , saya ajak ke luar kota untuk refreshing dia juga tidak mau, dan selalu alasannya sama ga ada dana , apalagi kami punya anak … hal ini yang akhirnya membuat saya berpikir punya anak , meskipun prinsip saya apabila saya diberi anak saya akan siap lahir batin, dan mungkin ini jalan Tuhan juga hingga sekarang saya belum punya anak . Dan suami sendiri tidak pernah berdiskusi tentang plan rumah tangga seperti apa kedepannya .
Di 2006 ini kami sudah mulai jarang weekend bersama , bisa dikatakan dia sudah mulai malas keluar untuk jalan nemanin saya sehingga akhirnya saya sering jalan sendiri
Di tahun 2007 , meskipun jarang ada keributan, tapi kami sudah jarang pergi ke gereja bersama sama dan mungkin sudah saking seringnya masalah2 yang ga penting muncuk akhir terakumulasi sehingga pada saat saya mengharapkan bantuan dia dan semestinya dia bisa berusaha , tapi dia pasif sehingga ada masalah apapun saya hadapi sendiri sehingga saya merasa punya suami tp ga punya suami, dan dia pernah terang2an bilang sementara ini kita sendiri sendiri , saya ga tau apa maksudnya apa maksudnya secara financial sendiri2 ?
Puncaknya di pertengahan 2008, saya minta bantuan dia karena saya ada masalah dengan kendaraan saya di salah satu mall, yang ada dia marah2 dan menyalahkan saya, trus trang saya drop karena slama pernikahan saya tidak pernah menuntut tapi kasi solusi saja ga bisa , sehingga sejak itu saya lgs menetapkan hati bahwa suami saya tidak bisa diharapkan dan diandalkan dan saya harus berdiri sendiri
Di tahun 2008 ini pula dia pernah bercanda tapi menyakitkan seperti misalnya saya bepergian ke luar kota , dia pernah bilang klo main ke pantai yang agak ke tengah aja biar nanti ketelan ombak , saya berpikir meskipun canda apakah sperti itu caranya sebagi seorang suami ? dan dia bilang itu bercanda…
Sehingga sampe 2009 saya sudah mulai jarang berkomunikasi dan di Juli 2009 kami berdua pernah sidang keluarga (dari keluarga saya ) sementara dari keluarga suami , pendekatannnya ke suami tujuannya untuk mencari solusi dan mencoba untuk memperbaiki
Dan pada waktu ditanya oleh keluarga saya dia menyampaikan keluhan ttg saya , karena saya pulang malam bahkan sampe pagi dan dia bilang saya selingkuh
Alasan dari saya : tidak kasih perhatian dan tidak tanggung jawab dan dia bilang akan merubah kalo saya berubah
Sehingga 3-4 bulan setelah Juli saya mengurangi pulang malam atau pagi, dan saya juga tidak pergi2 ga jelas seperti dulu ,dan yang saya liat dari suami sama sekali ga da perubahan dan sekitar bulan oktober 2009 saya bertanya dia maunya seperti meskipun pada saat itu saya sudha hilang rasa sejak tahun 2007 dan dia bilang dalam keluarga mesti ada keturunan dan saya bilang gimana mau punya anak kalo kita sperti ini ga ada persiapan kedepannya , kasih nafkah istri selam aini tidak dilakukan gimana punya anak , saya sempat berkata demikian , namun dia berkata ya rejeki kan datang sendiri ..
gimana rejeki datang sendiri kalo selama ini saya lihat dia berpenghasilan hanya dari gaji .
Jelas saya ga berani , kecuali saya bisa lihat dari suami saya perjuangan untuk mencari nafkahnya ada .
Dan akhirnya itu diskusi saya dengan dia yg terakhir
Dan sepertinya susah untuk disatukan , karena saya sudah tidak ada rasa dan peduli dan akhirnya sejak awal 2010 hingga skgl saya tidak berkomunikasi alias tidak berbicara dengan dia , dan dia pun juga tidak mengajak untuk berbicara dan kami masih serumah dan sekamar
Saya tau saya ada andil sehingga terjadi masalah ini , tapi saya sepertinya tidak sejalan dengan dia dan dia tidak sejalan juga dengan saya , ini mungkin juga akibat perkenalan yang kurang cukup lama mengenal satau sama lain dan mungkin juga karakter suami terbawa dari backgorund keluarganya , karena saya dan suami konseling dengan romo di th 2009 meskipun tidak bersamaan waktunya , romo tersebut mengatakan kesimpulannya salah satunya dari background keluarga dan wataknya agak susah dirubah
Saya bersyukur sama Tuhan , karena Dia saya dikuatkan dengan keadaan ini , sepertinya msalah ini simple tapi ini berat buat saya
Berdasarkan hal yang sampaikan , apakah saya bisa mengajukan pembatalan pernikahan
Mohon maaf apabila terlalu panjang
Dan terima kasih atas perhatiannya Romo .
GBU
Susan
Susan yth.
Adalah hak setiap orang untuk mengajukan pembatalan perkawinan di Gereja, jika memang ada dasar yang mendukungnya. Namun sesungguhnya arternatif ini adalah pilihan yang terakhir, jika upaya rujuk apapun sudah tidak berhasil. Jika jalan memohon pembatalan perkawinan yang dipilih, maka yang harus ada, adalah dasar hukumnya dan bukti peristiwa yang menyebabkan perkawinan sebenarnya tidak sah sejak awal. Memang kalau sudah tidak berkomunikasi lama agaknya sulit untuk menumbuhkan kembali perasaan cinta dan mau membangun keluarga yang lebih baik. Karena itu jika tidak mau berpisah namun juga tidak dapat berkomunikasi, Gereja Katolik memberikan jalan keluar dengan mengijinkan pasangan untuk hidup pisah ranjang namun masih dalam perkawinan yang sah. Cobalah datang ke tribunal atau rama paroki untuk membicarakan hal ini, bisa jadi dengan cara itu suami bisa sadar dan mulai menyadari kesalahan yang dilakukan sambil menjalani konseling dengan seorang rama yang anda kenal dan dapat membantu persoalan anda.
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Susan,
Membaca kisah anda, sejujurnya, saya masih menaruh pengharapan bahwa sebenarnya, jika diusahakan dengan sungguh- sungguh dari kedua belah pihak (baik anda dan suami) maka perkawinan anda masih dapat diselamatkan. Tentu dengan mengandalkan bantuan rahmat Tuhan. Karena itu, jika boleh saya menyarankan, silakan anda datang untuk berkonsultasi dengan romo paroki atai seksi kerasulan keluarga di paroki anda. Idealnya, anda berdua dapat menjalani masa konseling, sehingga kedua belah pihak dapat melihat apa yang dapat diperbaiki untuk menciptakan hubungan yang lebih baik antara anda berdua. Ingatlah bahwa walau bagaimanapun anda dan suami telah berjanji satu sama lain di hadapan Tuhan bahwa akan selalu setia satu sama lain, baik dalam untung maupun malang, sehat dan sakit. Maka jika suami tidak terlalu baik dalam kondisi keuangannya, yang harus anda lakukan sebagai istri adalah mendorong dan mendukungnya agar dia dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Apakah anda sudah melakukan hal ini, dan sejauh mana anda telah melakukannya, itulah pertanyaan yang harus anda renungkan. Jadi, menurut hemat saya, penghasilannya yang kurang bukan alasan yang tepat untuk dijadikan dasar bagi seseorang untuk meninggalkan/ berpisah dengan pasangannya. Yang terpenting adalah dia masih mempunyai tanggung jawab sebagai suami dan mau bekerja keras. Adalah peran istri untuk membangkitkan motivasi yang baik dalam diri suami, agar ia dapat mempunyai semangat dalam bekerja, dan berpikir positif untuk masa depan.
Susan, saya menganjurkan anda untuk memeriksa hubungan anda dengan Tuhan. Bawalah masalah keluarga anda ini di hadapan Tuhan Yesus. Berdoalah novena, dan mohonlah agar Bunda Maria mendoakan anda dan suami, agar hubungan anda berdua yang sudah tawar itu dapat diubah oleh Tuhan Yesus menjadi manis kembali, seperti mukjizat air menjadi anggur (lih. Yoh 2:1-11). Usahakan untuk kembali menyapa suami anda, demi kasih anda kepada Kristus yang telah mempersatukan anda berdua. Jika nanti suami telah dapat diajak berkomunikasi, silakan anda usulkan kepadanya untuk mengikuti konseling berdua, atau ikutilah retret week- end ME (Marriage Encounter) di kota anda. Silakan anda klik di sini, dan di sini, silakan klik untuk mengetahui tentang ME dan jadwal retret ME, atau hubungi pasutri ME di paroki anda. Sejauh yang saya ketahui, ada banyak pasangan suami istri yang dapat kembali berkomunikasi dengan baik setelah mengikuti retret tersebut.
Akhirnya sebagai sesama wanita dan istri, saya mengajak anda untuk menyadari panggilan Tuhan kepada kita, yaitu sebagai "penolong" suami (lih Kej 2:18). Mari kita mohon kepada Tuhan, rahmat dari-Nya agar kita dimampukan untuk melakukan tugas kita ini, terutama jikalau suami kita sedang lemah (sakit, jatuh miskin, kurang bersemangat, dst). Yakinlah bahwa jika kita sudah setia melakukan bagian kita, maka Tuhan akan campur tangan dalam menyelesaikan masalah di dalam keluarga kita, sebab tiada yang mustahil bagi Tuhan (Luk 1:37).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati – katolisitas.org
saya seorang wanita katolik yg sdh berpisah dengan suami selama 6 tahun,
dan sdh resmi bercerai melalui pengadilan negeri sejak 6 bln yg lalu..
saya dulu menikah secara katolik karena kami mmg berasal dari keluarga katolik yg taat.
yg ingin saya tanyakan..1. apakah perceraian saya tdk berlaku secara hukum katolik ?
2. apakah dengan menikah lagi nnt itu berarti saya akan melakukan perzinahan dgn
suami saya meskipun saya menikah secara resmi nantinya ?
3. atau adakah hal2 laen yg harus saya lakukan supaya saya tdk salah melangkah
maksud saya langkah apa yg harus saya ambil sebelum saya menikah lagi
nntnya ? sebab sungguh saya tidak ingin meninggalkan ke katolik an dlm diri
saya.
4. atau apakah sebaiknya saya tidak usah menikah lagi ? karena tentu saja saya
tidak mau dianggap berzinah sepanjang hidup saya..
demikian pertanyaan saya n mohon penjelasannya…makasih..
salam dalam nama Yesus…
Dhian yth
Perceraian secara sipil menurut hukum Gereja dianggap sebagai sebuah perpisahan saja dan tidak memutuskan ikatan perkawinan yang bersifat spiritual. Jika anda nanti menikah lagi secara sipil saja tanpa kanonik seturut norma hukum Gereja tentu dianggap hidup bersama tapi tidak dalam ikatan perkawinan yang sah Gereja. Tindakan itu melanggar aturan moral dan berzinah. Kalau perkawinan secara resmi Gereja tentu tidak dianggap berzinah. Jalannya yang ditempuh selain anda sudah resmi perceraian sipil perlu dilakukan yang namanya proses anulasi perkawinan (pembatalan perkawinan). Apakah perkawinan anda yang dulu (6 th yang lalu) ada cacat konsensus atau halangan atau secara forma canonica. Jika terbukti maka status anda bebas dan dapat menikah lagi secara kanonik. Hal lain yang perlu dilakukan mengajukan pembatalan perkawinan anda yang telah bubar supaya dibuktikan apakah bisa dibatalkan dengan argumen yang sahih dan jelas.
Saya salut anda tidak meninggalkan kekatolikan anda karena itu tempuhlah jalan proses pembatalan perkawinan. Silahkan menulis permohonan anda ke Keuskupan dimana anda tinggal. Semoga bisa dipahami dan anda menemukan hidup baru yang lebih baik.
Salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Dhian,
Berikut ini adalah pembahasan mengenai ketiga unsur yang menggagalkan perkawinan secara kanonik (menurut Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik):
1. Adanya halangan perkawinan baik umum dan khusus (bdk kann. 1073-1094)
2. Adanya cacat konsensus (bdk kann 1095-1107)
3. Adanya cacat forma canonica (bdk. kann 1108-1123).
Untuk pembahasan selanjutnya tentang ketiga unsur tersebut, silakan membaca di link-link yang ada di sini, silakan klik.
Silakan anda melihat kembali apakah ada dari ketiga unsur pokok tersebut yang terjadi dalam kehidupan perkawinan anda yang terdahulu? Jika ada, dan anda mempunyai saksi- saksi yang dapat meneguhkan kesaksian anda, silakan mengajukan permohonan anulasi/ pembatalan perkawinan, melalui pastor paroki anda. Semoga jika memang ada halangan ataupun cacat konsensus yang terjadi sebelum/ pada saat perkawinan, dan anda mempunyai bukti- buktinya, maka permohonan anda dapat dikabulkan oleh pihak tribunal keuskupan.
Apapun yang sudah terjadi dalam kehidupan anda, yakinlah bahwa jika anda berjalan di jalan Tuhan, dan hidup menurut kehendak-Nya anda akan dapat mencapai kebahagiaan di dalam hidup ini, entah apakah anda menikah atau tidak menikah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom ibu Inggrid
Terus terang saya pusing ketika menulis deskripsi masalah saya. Masalah ini begitu rumit untuk diurai.
Ibu saya seorang perempuan Katolik berusia 58 tahun. Beliau cukup rajin ke Gereja. Namun pengetahuan beliau akan hukum Gereja sangat minim. Beliau telah menikah sebanyak 2 kali.
Pernikahan pertama terjadi 40 tahun yang lalu. Beliau menikah dengan seorang pria Kong Hu Chu (ayah kakak saya) dan dikaruniai seorang putra (kakak saya). Pernikahan ini tidak dilangsungkan di dalam Gereja Katolik maupun di catatan sipil. Hal ini dikarenakan ayah kakak saya itu tidak mau menikah di Gereja dan mereka tidak paham urusan administrasi negara atau dikarenakan sulit mengurus pernikahan di catatan sipil akibat diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.
Selama pernikahan tersebut, ibu saya tidak pernah ke Gereja. Hal itu disebabkan menurut orang banyak akibat pernikahan itu, ibu saya tidak boleh menerima komuni. Pernikahan itu berlangsung selama 20 tahun, hingga akhirnya ayah kakak saya meninggal karena kanker hati. Jadi selama 20 tahun itu ibu saya tidak pernah menerima komuni atau ke Gereja.
Namun kakak saya dapat dibabtis menurut Gereja Katolik. Ia mendapat surat babtis dari Gereja. Menurut ibu saya karena kakak saya itu ikut agama ibu saya. Di akte kelahirannya pun cuma tercantum nama ibu saya bukan atas nama ayah kakak saya.
Setelah ayah kakak saya meninggal, ibu saya kembali ke Gereja dan menerima komuni lagi tanpa pengakuan dosa. Kemudian beliau menikah kembali dengan seorang pria beragama Buddha (ayah saya). Dari pernikahan ini dikaruniai dua orang putra dan putri, saya dan adik saya. Saya dan adik saya seorang Katolik (ada surat Babtis)
Sebelum pernikahan ini, ayah saya telah menikah secara sah di catatan sipil dan bercerai secara sah di pengadilan agama. Namun pernikahan ini merupakan “pernikahan rekayasa” (tanpa ada hubungan badan selama pernikahan). Mantan istrinya seorang WNA. Ia ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia agar dapat pergi ke Australia (diskriminasi terhadap orang Tionghoa masih tinggi pada waktu itu). Oleh karena itu ia menikah dengan ayah saya yang telah berkewarganegaraan Indonesia agar mendapat status WNI dan dapat pergi ke Australia.
Ibu saya mengetahui hal tersebut sebelum menikah. Namun karena tidak paham dengan hukum Gereja dan menganggap pernikahan tersebut hanya rekayasa, jadi tidak menghiraukannya. Mereka (ibu dan ayah saya) tidak memberitahu ke Pastur/ Romo yang menikahkan. Akhirnya mereka menikah di Gereja Katolik dan mendapat surat nikah yang sah dari Gereja.
Saat ini ayah saya telah meninggal karena sakit.
Yang ingin saya tanyakan:
1. Bagaimana status kakak saya di Gereja Katolik?
2. Apakah Babtisan kakak saya sah di mata Gereja?
3. Apakah pernikahan kedua ibu saya sah di mata Gereja?
4. Bagaimana status saya dan adik saya di Gereja Katolik?
5. Apa yang harus dilakukan ibu saya untuk menyelesaikan masalah ini?
Apabila Ibu atau Romo menyarankan untuk pengakuan dosa, saya mohon saran bagaimana mengajak Ibu saya mau mengaku dosa.
Ia memang sorang Katolik yang setia namun beliau enggan bergulat dengan keKatolikannya. Ia jarang membaca kitab suci. Namun beliau rajin ke Gereja dan berdoa setiap malam.
Saya melihat beliau selalu cemas akan segala hal. Hidupnya tidak damai. Ia sering mengeluh pada saya katanya beliau sering menangis tanpa alasan. Saya mengamati hal itu sejak ayah kami meninggal, perekonomian keluarga agak tergoncang akibat krisis moneter, dan beliau memasuki masa menopost.
Saya kasihan terhadap ibu saya. Saya sering membayangkan kehidupan bahagia di Surga bersama Allah dan keluarga besar saya. Namun apabila mengingat hal ini saya menjadi takut apabila saya berpisah dengan keluarga saya.
Lain masalah ibu saya lain pula masalah kakak dan adik saya. Kakak saya telah pindah agama dari Katolik ke Kristen karena menikah. Mungkin hal ini di karenakan kakak saya jarang ke Gereja, tidak pernah membaca kitab suci dan tidak pernah berdoa. Namun semenjak pacaran dengan seorang perempuan Kristen ia berubah dan akhirnya ia menikah secara Kristen
Adik perempuan saya seorang Katolik, namun ia jarang berdoa dan membaca kitab suci. Ke gereja saja masih sering bolong. Kurang aktif di gereja.
6. Tambahan pertanyaan apa yang harus saya lakukan?
Stefanus Yth.
Membaca cerita anda tentang perkawinan orang tuamu banyak lika-likunya dan tentu itulah kehidupan yang terjadi dalam keluargamu dan harus diterima. Jawaban saya sebagai berikut:
1. Status kakak anda sebagai umat katolik sah, karena baptisan kakak anda tidak memiliki halangan meski orang tua bermasalah dalam perkawinan namun pendidikan katolik terjamin di dalam keluarga mereka. Terbukti tetap menjadi pengikut Kristus hingga dewasa.
2. Baptisan tetap sah, jika yang membaptis adalah pastor Katolik yang sah dan memiliki kewenangan tindakan baptisan. Kakak anda tidak menerima turunan halangan dari orang tua anda. Ajaran Gereja (hukum lama) hal ini masih dimengerti sebagai halangan tapi kini Konsili Vatikan II dan Kitab Hukum Kanonik 1983 tidak mencantumkan hal tersebut.
3. Perkawinan ibu anda tidak sah karena ayah anda terikat dengan perkawinan sebelumnya meski sudah cerai sipil, dan dengan beda agama. Saya tidak yakin apakah perkawinan tersebut dulu telah mendapat dispensasi dari halangan beda agama.
4. Status anda dan adik anda karena masih Katolik mendapat baptisan yang termeteraikan tak terhapuskan maka tetap sah dan memiliki hak kewajiban sama sebagai umat Allah.
5. Untuk menyelesaikan persoalan ini baiklah ibu diajak ke pastor paroki anda di mana anda bergabung lalu mengajak mengaku dosa untuk bisa kembali menerima hak berkomunio dalam Ekaristi kudus.
6. Setiap orang Katolik harus memelihara hidup imannya dengan berdoa membaca Alkitab dan merayakan Ekaristi kudus setiap hari Minggu.
Semoga anda mampu melaksanakan dengan berkat Tuhan.
salam
Rm Wanta
terimakasih atas jawaban dan saran Romo Wanta. saya mohon dukungan doa dari romo agar permasalahan keluarga saya dapat segera terselesaikan dan semoga ibu saya mau menyadari dengan rendah hati segala dosa beliau dan mau diperdamaikan dengan Allah dan Gereja. terimakasih
Shalom Romo,
Saya seorang gadis katolik, menjalin hub dengan duda cerai 2 anak-beragama kristen. Kami ingin menikah, tetapi saat ini saya sudah hamil 4 bulan. Saya bingung, bagaimana dengan proses perkawinan kami, karena kami sepakat untuk menikah scr katolik, saya harus menyelesaikan administrasi gereja dnan capil. Sementara yang saya tahu, proses administratif tsb membutuhkan waktu paling tidak 2-3 bulan. Sementara jika saya harus mengikuti prosedur yang normal, pd saat pemberkataan nanti usia kandungan saya sudah mencapai 7 atau 8 bulan.. Dilain sisi, keluarga saya menginginkan perkawinan secepatnya. sementara saya mau mengikuti prosedur normal.
Yang ingin saya tanyakan:
1.Apakah kondisi ini bisa mendapatkan dispensasi dr GK?
2.Apakahstatus calon suami saya menjadi penghalang dalam proses penyelidikan kanonik
3..Apakah saya akan dikenakan eks-komunikasi?
Saya membutuhkan romo pendamping untuk konseling mengenai masalah ini, sekaligus untuk proses pemulihan saya menjadi “virgin” di hadapan Tuhan.
Terimakasih sebelumnya.
Tuhan Yesus memberkati/Meti
Meti Yth
Semua tindakan yang kita lakukan itu mengandung resiko. Resikonya positif atau negatif. Tindakan yang anda lakukan dengan memberikan diri dan menyatakan cinta untuk melangkah ke jenjang perkawinan dengan pasangan yang sudah pernah menikah memiliki resiko pula. Pertama prinsip perkawinan Katolik selalu dua orang yang memiliki status bebas tanpa ada ikatan perkawinan atau yang lain (kaul religius) sehingga bisa melakukan perkawinan. Jika kita menikah dengan orang yang sudah pernah menikah maka ada halangan karena meski sudah cerai sipil, tetap ikatan rohani itu ada di dalamnya. Jadi calon suami anda memiliki halangan untuk meresmikan perkawinanmu dengan dia. Maka ada proses yang harus dijalani dan tentu memakan waktu. Kedua, keadaanmu yang sedang hamil memiliki resiko pula yang harus ditanggung sendiri karena itu harus menerima kenyataan. Maka lindungi bayi di dalam kandunganmu sampai melahirkan dengan selamat dan sehat. Karena sudah jatuh dalam dosa maka harus melakukan pengakuan dosa atas kesalahanmu ini. Proses pemutusan ikatan rohani di dalam perkawinan calon suami bukan meminta dispensasi, melainkan proses pembatalan perkawinan. Mohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ini lewat pastor paroki. Tentang kondisi hamil dan keadaanmu tergantung kemurahan ordinaris wilayah. Calon suami menjadi penghalang karena pernah menikah. Anda tidak dikenakan ekskomunikasi, hanya anda masuk dalam situasi dosa dan tidak bisa menerima komuni kudus. Oleh karena itu mulailah mengusahakan jalan yang benar sesuai norma Gereja meski lama dijalani. Perihal malu telah hamil itu hal yang normal dari resiko yang anda pilih sendiri. Maka harus dihadapi dengan hati yang mau menerima kenyataan ini.
salam
Rm Wanta
Syalom Romo,
Terima kasih atas penjelasan yang diberikan di atas. Mungkin perlu dijelaskan lagi, bahwa calon suami dimaksud adalah seorang kristen yang dulunya menikah secara islam. Apakah tetap diperlukan untuk diajukan pembatalan perkawinan seperti yang telah dijelaskan oleh Romo sebelumnya?
Tuhan memberkati,
Meti & Rian
Meti dan Rian Yth,
Tetap diperlukan pemutusan ikatan perkawinan antara pihak Kristen dan Islam, meskipun menikah secara Islam. Kuasa itu ada di tangan Uskup. Bagi Gereja katolik perkawinan sipil (natural) adalah sah secara publik dan memiliki ikatan perkawinan meskipun belum sah kanonik. Nanti akan diinterogasi (diwawancarai) oleh pihak keuskupan perihal perkawinan yang gagal. Semoga semakin paham dan tetap semangat dalam mengurus persoalan ini.
salam
Rm Wanta
Dear Rm Wanta,
Mohon dijelaskan mengenai hukum gereja berikut, terutama pada istilah konkubinat.
Kelayakan publik (bdk. kan. 1093):
Halangan ini muncul dari perkawinan tidak sah yakni perkawinan yang dilaksanakan menurut tata peneguhan yang dituntut hukum, tetapi menjadi tidak sah karena alasan tertentu, misalanya cacar dalam tata peneguhan. Halangan ini muncul juga dari konkubinat yang diketahui publik. Konkubinat adalah seorang laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa perkawinan atau sekurang-kurangnya memiliki hubungan tetap untuk melakukan persetubuhan kendati tidak hidup bersama dalam satu rumah. Konkubinat dikatakan publik kalau dengan mudah diketahui banyak orang.
Sebelumnya saya ucapkan terimakasih.
Salam damai dalam Kristus.
Laura
Laura Yth
Yang dimaksudkan dengan konkubinat adalah hidup bersama dalam satu rumah (“kumpul kebo”) di luar pernikahan yang sah. Kelayakan publik dimaksudkan adalah nilai nilai moral dan etis masyarakat yang dianut dan dihidupi bahwa kehidupan bersama di luar pernikahan resmi atau sah tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan Allah dalam kehidup keluarga. Maka hal itu dilarang dan tidak diizinkan oleh masyarakat dan juga oleh Gereja Katolik.
salam
Rm Wanta
Saya ingin menanyakan tentang perceraian atau pembatalan nikah dalam gereja Katolik. Anak dosen saya telah menikah secara Katolik dan menjalani hidup perkawinan selama bbrp tahun (keduanya Katolik). Suatu ketika istri dosen saya mengatakan kalau anaknya sudah bercerai. Saya kaget karena mereka berdua(dosen saya+istrinya) adalah tokoh gereja dan terpandang dalam masyarakat. Ketika saya diberi tahu hal itu secara otomatis saya bertanya pada istri dosen saya itu:” Berarti ndak boleh komuni ya,. Bu?” Ibu itu dengan tegas berkata:”Boleh. Kata siapa tidak boleh?” Saya bingung dengan jawabannya tetapi melihat Ibu itu sewot maka saya tidak bertanya lagi. Setahu saya kalau sudah ratum consumatum dengan alasan apapun tidak bisa diceraikan. Bukankah kalau sudah menikah beberapa tahun pasti sudah mengadakan persetubuhan? Lau bagaimana kok bisa diceraikan? Saya tidak tahu apakah yang dimaksud Ibu itu perceraian atau pembatalan nikah?Bagaimana prosesnya? Lalu apa bedanya cerai dengan pembatalan nikah? Apakah jika pembatalan nikah terjadi maka masing-masing pasangan bisa menikah lagi secara gerejawi? Terima kasih.
Shalom Johan,
Pertanyaan anda serupa dengan pertanyaan di bawah ini, maka silakan membaca jawaban saya di sini, silakan klik.
Ya, tidak ada perceraian dalam Gereja Katolik; yang ada adalah pembatalan perkawinan, yaitu pernyataan bahwa perkawinan tidak sah sejak awal, dengan ketentuan yang telah saya sebutkan di link di atas.
Dalam kasus anak dari dosen anda yang (mungkin) bercerai secara sipil, jika tidak memperoleh ijin pembatalan perkawinan, maka statusnya adalah pisah ranjang. Selama pasangan tidak menikah lagi, maka meskipun keduanya berpisah, masing- masing tetap boleh menerima Komuni. Lain halnya jika ada pihak yang menikah kembali (tanpa pembatalan perkawinan sebelumnya) maka ia seharusnya tidak dapat menerima Komuni.
Namun demikian, ada kemungkinan, pasangan tersebut telah mengurus pembatalan perkawinan ke pihak Tribunal keuskupan. Jika pihak Tribunal memberikan izin, karena selama pemeriksaan ditemukan bukti- bukti halangan menikah ataupun cacat konsensus, yang terjadi sebelum atau pada saat perkawinan diteguhkan, maka ikatan perkawinan di antara keduanya dinyatakan tidak sah/ tidak ada, sehingga jika di kemudian hari keduanya memutuskan untuk menikah (dengan orang lain) diperbolehkan, karena ikatan sebelumnya sudah dinyatakan null/ tidak ada. Jika anulasi sudah diberikan, maka keduanya dapat menikah lagi secara gerejawi, namun ini bukan untuk dianggap sebagai perkawinan kedua. Perkawinan ini tetap yang pertama, sebab yang sebelumnya tidak ada/ tidak sah.
Silakan dibaca dahulu artikel di atas dan link-link yang saya sebutkan di atas, semoga anda dapat mengetahui dasar- dasar kebijakan Gereja memberikan Anulasi; dan bahwa ini tidak sama artinya dengan perceraian.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Apakah pasangan suami istri (menikah secara katholik ),bisa di ceraikan ?mhn petunjuk.
Shalom Julie,
Pasangan pria dan wanita yang menikah secara Katholik secara sah tidak dapat diceraikan.
Jika ada kemudian yang disebut sebagai pembatalan perkawinan (Anulasi) itu bukan bermakna sebagai perceraian, tetapi untuk menyatakan bahwa perkawinan tersebut tidak sah dari awal mula. Nah, syaratnya perkawinan dinyatakan sebagai tidak sah dari awal, adalah jika ditemukan bukti- bukti:1) halangan kapasitas menikah, 2) cacat konsensus, 3) cacat forma kanonika (tidak dilakukan sesuai dengan cara yang disyaratkan oleh Gereja Katolik)
Tentang halangan menikah, silakan klik di sini; tantang cacat konsensus, silakan klik di sini.
Jika diperhatikan halangan menikah, cacat konsensus ataupun cacat forma kanonika, itu berkaitan dengan keadaan sebelum dan pada saat perkawinan diteguhkan, dan bukan keadaan sesudah perkawinan.
Maka anulasi bukanlah perceraian, namun pernyataan bahwa ikatan perkawinan tersebut tidak sah, karena tidak memenuhi syarat sejak awal. Permohonan anulasi dapat dikabulkan, hanya setelah pihak yang bersangkutan mengajukan permohonan ke Tribunal keuskupan di mana perkawinan diteguhkan, dan kemudian pihak Tribunal mengadakan penyelidikan dan menemukan bukti- bukti yang mendukung. Jika tidak ditemukan cukup bukti, maka permohonan anulasi tidak dapat dikabulkan, dan dalam keadaan demikian, ikatan perkawinan dianggap tetap ada.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear romo,
Suatu perceraian ketika belum dibereskan di tribunal gereja akhirnya pihak yang belum beres itu terkena ekskomunikasi Gereja bukan? Atas pihak yang terkena ekskomunikasi gereja ini seandainya ketika menghadapin sakratul maut sampai meninggalnya masih dengan status ekskomunikasi gereja, bolehkan pihak tersebut menerima sakramen pengurapan orang sakit? dan ketika meninggal apakah masih boleh menerima pemberkatan misa arwah dari seorang pastur atas seseorang yang terkena ekskomunikasi?
terima kasih pastur.
Benedict Yth
Pihak yang belum beres atau masih menunggu proses pembatalan perkawinan di tribunal tidak terkena ekskomunikasi. Ekskomunikasi terjadi jika terdapat pelanggaran yang berat (kan. 1321, dan Kan 1331 dstnya). Dalam keadaan darurat sakrat maut semua hukuman berhenti dan keselamatan jiwa menjadi pilihan yang utama dilakukan maka dapat diterimakan sakramen baptis, pengurapan orang sakit. Misa arwah tetap seperti biasa, kini kodeks 1983 dan ajaran Gereja melayani umat ketika meinggal sama dengan yang lain tidak membedakan. Biarpun yang bunuh diripun tetap dilayani dengan pemberkatan, manusia (Gereja) tidak boleh menghakimi seseorang ketika sudah meninggal itu hak Allah maka Gereja sekarang harus menampilkan Gereja yang penuh belas kasih seperti Allah adalah kasih justru di saat manusia berduka.
salam
Rm Wanta
Dh, Romo Wanta
Yang ingin saya tanyakan adalah :
1. Apa saja yang harus disiapkan untuk melakukan proses pemberesan perkawinan???
2. Butuh waktu berapa lama untuk proses pemberesan perkawinan??
Terima kasih,
Anne Yth
Tulisan tentang Hukum Gereja perihal tribunal perkawinan yang disebut dengan anulasi adalah proses pernyataan pembatalan perkawinan bukan pemberesan perkawinan. Apa saja yang harus disiapkan? Banyak tapi mulailah dengan menulis surat ke Tribunal Perkawinan Keuskupan melalui pastor paroki lebih lanjut akan disampaikan kelengkapan lainnya. Waktu yang diperlukan minimal satu tahun jika organ tribunal dengan perangkatnya berjalan dengan lancar. Semoga dapat dipahami.
salam
Rm Wanta
slm damai romo…saya ada satu kemuskilan…saya asal dari malaysia…saya tau kesulitan yg tibul dlm pemerintahan negara saya jika menikah dengan pasngan yang bukan seagama…untuk pengetahuan romo pasangan saya berasal dari indonesia tetapi bukan beragama katolik…kami ingin menikah tetapi kerana maslah agama yang berbeza n undang2 negara saya yang tidak membenarkan perkahwinan campur saya ingin bertanya apakah saya boleh menikah d negara indonesia dan bagaimana prosedurnya..saya bercadang setelah saya berkahwin d negara indonesia saya akan mendaftarkan perkahwinan saya d GK tempat saya tinggal…apakah itu dibenarkan dan adakah sah perkahwinan saya d tempat lain ? mohon d perjelaskan kerna hal ini membingungkan saya…terima kasih
Lyn Yth
Anda bisa saja menikah di Indonesia, mencari paroki di Jakarta, mengurus dokumen gereja di paroki asal anda dibaptis atau domisili dilengkapi semuanya lalu kirim ke paroki di Jakata yang menjadi tempat pilihannya (beserta dokumen surat baptis, akte kelahiran, status bebas anda dan pasangan anda juga dari kantor pemerintahan, atau dari Gereja Katolik). Perlu ada surat delegasi dari pastor paroki anda ke pastor yang akan meneguhkan perkawinan anda di Indonesia. Perkawinan anda beda agama maka harus diurus untuk dispensasi ke pihak keuskupan dari perkawinan beda agama nanti akan diuruskan oleh sekeretariat Paroki. Silakan bicarakan hal permohonan dispensasi ini dengan pastor paroki anda dan pastor yang akan meneguhkan perkawinan anda. Diumumkan di paroki asal anda dan bisa diumumkan di paroki di mana perkawinan akan diteguhkan, di Jakarta misalnya. Anda juga harus mengikuti KPP untuk bekal perjalanan dan persiapan anda dalam memasuki kehidupan keluarga. Jika semua syarat kanonik dipenuhi perkawinan anda sah kanonik (Gereja).
salam dan berkat Tuhan
Rm Wanta
salam damai romo…terima kasih atas penjelasan yang telah romo berikan kepada saya..ianya amat berguna dan saya menghargainya….doakan saya agar perjalanan perkahwinan ini seperti yang di rencanakan Nya…terima kasih
Romo Wanta,
Saat ini saya sedang ada kasus anulasi.
Akan tetapi setelah 3 tahun belakangan ini saya “di diamkan” oleh [edit: nama romonya dihapus] / KAJ.
Jalan apa yang harus saya tempuh jika begini ? Karena pertengahan tahun depan
saya akan menikah lagi…
Terima kasih,
Tuhan memberkati.
Herman Yth
Mohon kesabaran dan cari jalan keluar. Saya anjurkan bawalah ke Rm Andang SJ jalan Kramat VI no 22 Jakarta. Kemungkinan masih bisa ada jalan. Memang banyak keluhan dari umat beriman khususnya di tribunal KAJ karena lambat penanganannya. Semoga mendapat jalan terbaik.
salam
Rm Wanta
Terima kasih atas info nya Pastor Wanta.
Tuhan memberkati.
Romo Wanta Yth.
Romo, saya mau melangsungkan perkawinan dengan duda cerai, tetapi perkawinan yg terdahulu dilangsungkan menurut agama Budha.
Setelah becerai pasangan saya memeluk agama Kristen, tahun 2007 dia dibabtis di gereja Bethani.
Dan sekarang pasangan saya mau mengikuti ajaran agama saya dan juga mau dibabtis.
Menurut romo paroki, walaupun pasangan saya dibabtis katholik. Saya tetap tidak dapat melangsungkan pernikahan secara katholik, hanya dapat melangsungkan pernikahan secara sipil yang disaksikan/ direstui oleh romo paroki.
Dan sebagai akibat dari pernikahan itu saya dan pasangan saya untuk selamanya tida boleh menerima komuni.
yang saya tanyakan apakah tidak ada jalan lain agar saya tetap dapat menerima komuni ?
Terima kasih Romo
Gabriella Yth
Jalan satu-satunya adalah permohonan ke Bapak Uskup untuk memutuskan ikatan perkawinan Duda calon suami yang telah menikah. Dengan cara itu dia berstatus bebas dan dapat menikah secara sah dengan anda. Uskup sebagai wakil Kristus dan menerima kuasa ilahi dari Tuhan untuk memimpin umatNya, memiliki kuasa itu. Jika pemutusan ikatan perkawinan itu diperoleh, anda dapat menikah secara sah di Gereja Katolik dan tetap diperkenankan menerima Komuni Suci.
Maka calon pasangan anda harus bisa terbuka dan mengemukakan persoalan ke Keuskupan dan motivasinya mau menikah dengan anda apa, juga bersedia memenuhi persyaratan yang dituntut untuk perkawinan di Gereja Katolik. Tulislah dan ceritakanlah kisah perkawinan calon pasangan anda dan dikirim ke Uskup di mana anda berdomisili. Setelah surat diterima calon pasangan anda akan dipanggil untuk diinterogasi, karena itu, hal ini harus disampaikan padanya. Mungkinkah dia mau bekerjasama untuk hal ini? Sehingga statusnya menjadi jelas. Untuk diketahui prinsip dasar dan umum dalam perkawinan Gereja Katolik selalu diminta syarat status liber/ bebas dari calon penganten. Status ini diperoleh baik dari Gereja maupun Pemerintah Sipil (camat, lurah, rt/rw) untuk membuktikan bahwa calon penganten adalah bebas dan single tidak ada ikatan apapun dengan seseorang. Semoga dapat dipahami
Salam
Rm Wanta
Romo Yth.,
saya dahulu beragaman kristen dan saya skrng sudah menjadi seorang katholik krn mengikuti suami..pertanyaan saya : saudara suami (laki2,beragama katholik) menikah kembali.,istri pertamanya meninggalkannya setelah mempunyai seorang anak,skrng si anak berumur 12 th..skrng saudara suami saya,sudah menikah dengan wanita lain dengan cara kristen sambil menunggu surat pembatalan pernikahan dr gereja katholik (dengan skenarionya dia menjatuhkan nama sang mantan istri,sehingga surat itu bisa didapat).stlh surat didapat,skrng mereka menikah secara katholik dan menyebut diri mereka masih berpacaran (tdk ada yg tahu status mereka yg telah menikah scr kristen,krn mereka menikah scr diam2)..surat keputusan dari gereja katholik yg menyatakan bahwa perkawinan yg pertama di batalkan karena terjadi halangan..pertanyaan saya,kalo pernikahan itu dibatalkan,bagaimana status anak tersebut? kan orangtuanya menikah secara katholik..mengenai kebohongan pernikahan yg kedua,apa hukumnya? kalo kelak terjadi masalah dengan istri kedua,berarti pernikahan itu bisa juga dibatalkan? saya tidak dapat bertanya kepada suami saya yg katholik sejak lahir,karena 1. saya takut menyinggung perasaannya,karena yg saya tanyakan adalah saudaranya..2. saya baru tinggal di jayapura-papua,shg saya masih malu untuk bertemu dengan romo di sana
Ruth Yth
Tentang status anak perkawinan yang dibatalkan tetap sebagai anak biologis dari orang tua meski perkawinan bubar. Hukum sipil mengatur demikian dan Hukum Gereja mengikutinya (merujuknya). Tentang berbohong maka pernyataan pembatalan itu bisa ditinjau kembali oleh Tribunal. Jika memang benar ada saksinya. Perkawinan didasarkan pada kejujuran, kebenaran dan kebebasan, kesadaran akan apa yang diucapkan saat perkawinan.
Hukum acara atau proses dalam KHK 1983 mengenal PK (peninjauan kembal)i. Kan 1645 menyatakan bahwa melawan putusan yang telah menjadi perkara teradili dapat dibuat peninjauan kembali secara menyeluruh saat nyata secara terbuka ada ketidakadilan dari putusan itu.
Putusan itu didasarkan pada bukti-bukti yang di kemudian hari diketahui palsu, sehingga tanpa bukti itu bagian dispositif dari putusan tsb tidak dapat dipertahankan. Memang rumit. Untuk diketahui putusan affirmative pada pengadilan pertama belum cukup, harus dimintakan secara otomatis Judicial review pada pengadilan tingkat kedua. Jika putusan negatif maka putusan naik ke tingkat Signatura Apostolik Roma, lebih rumit lagi. Jadi tidak semudah apa yang tertulis dan makan waktu lama.
Saya belum paham kebohongan yang diceritakan dan di mana tempat perkara itu? Perkawinan diakui yang pertama dia menikah jika diandaikan sah. Semua perkawinan yang berjalan diandaikan sah kecuali ada bukti kebalikannya tidak sah. Semoga sedikit demi sedikit dipahami.
salam
Rm Wanta
Yth. Katolisitas, Rm. Wanta, Pr
Menyimak akan halangan perkawinan berikut :
Tahbisan suci (bdk. kan. 1087):
Adalah tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci.
Mohon penjelasannya, apakah sah pernikahan seorang Imam Katolik yang belum mendapat Laisasi melakukan pernikahan (di Gereja Lain). Dan akhirnya meminta Convalidatio setelah diterbitkannya surat Laisasinya, karena menurut saya, mencoba saja sudah tidak sah, apalagi melangsungkan/melaksanakan.
Kesan saya, hal ini dilakukan untuk melegalisasi perkawinan saja, daripada masuk kategori “Berzinah”.
Mohon kiranya sudi memberi penjelasan.
Terima kasih dan salam dalam Kristus.
B. Siahaan YTh
Gereja dengan hukumnya tidak bisa diakali, seperti pada peristiwa yang anda tanyakan. Meski persoalan hidup umat semakin sulit dipecahkan, Gereja Katolik semakin bijak dan cerdik mengatur hidup beriman umatNya agar kebaikan umum tercapai. Maka imam yang masih ada halangan publik tidak bisa dengan sah menerima peneguhan perkawinan di Gereja Katolik. Untuk kasus ini tidak menggunakan convalidatio. Hanya kalau sudah ada surat dispensasi kewajiban hidup sebagai Imam dari Kongregasi Imam dan menjadi awam, maka halangan berhenti; dan baru dengan kondisi ini ia memiliki status bebas halangan, dan dapat menikah secara sah.
Semoga dipahami.
salam
Rm Wanta
Yth. Rm. Wanta, Pr
Terima kasih atas penjelasannya, memang benar yang romo sampaikan bahwa pernikahan seorang imam yang masih punya halangan publik tidak bisa menikah secara Katolik, karena itu, maka dilakukanlah di gereja lain, karena proses laisasi belum selesai, dan setelah surat laisasi keluar, barulah kembali ke gereja Katolik dan apakah prosesnya tidak dengan Convalidatio bila kejadiannya seperti itu?, atau apakah pernikahan di gerja lain itu menjadi sah dengan sendirinya (walau halangan tersebut belum dicabut atau diberi dispensasi) dan kembali ke gereja Katolik tanpa prosedur apapun, dan bagaimana tanggapan romo bila sang imam, yang mash dalam halangan itu menyambut tubuh Kristus pada saat perayaan ekaristi?
Ini saya tanyakan karena ada hal seperti itu saya lihat dan terus terang akhirnya hal seperti itu menjadi pertanyaan dikalangan umat yang melihat dan mengetahuinya dan akhirnya bingung.
Terima kasih dan Salam dalam kasih Kristus.
B Siahaan Yth
Proses tidak menggunakan Convalidatio, halangan ini melekat dalam diri seseorang yang ditahbiskan, bukan karena adanya ketidaktahuan tentang halangan kemudian menikah di Gereja non- Katolik. Jadi kalau mau ya sabar menunggu sampai ada surat resmi dari Vatikan setelah bebas dari halangan baru menikah. Tidak diperkenankan sambut komuni kudus karena hidup dalam dosa. Kalau belum tahu harus diberitahu agar tidak menjadi batu sandungan umat.
salam
Rm Wanta
Selamat siang,
Romo, saya ingin menanyakan tentang sakramen pernikahan, di mana dikatakan bahwa sebenarnya yang memberikan sakramen pernikahan bukanlah seorang Imam/Romo akan tetapi kedua mempelai itu sendiri. Bisa minta tolong dijelaskan maksudnya ya Romo?
Terima kasih sebelumnya.. GBU
Salam,
Rosa
Rosa Yth
Essensi perkawinan terletak pada consensus antara laki-laki dengan perempuan, saat itulah lahir perkawinan dan rama wakil Gereja meneguhkan komitmen mereka dan dua orang menjadi saksi. Jadi benar sakramen lahir dari ketika mereka saling memberi dan menerima diri sebagai sebuah perjanjian cinta yang dipersatukan oleh Allah dan disaksikan umat beriman.
salam
Rm Wanta
Salam damai,
Romo, jika salah 1 keluarga dari pasangan tidak menyetujui pernikahan karena alasan suka atau tidak suka, mitos2 dan “ramalan” apakah dapat menggagalkan pernikahan?
salam
Aldi Yth
Calon penganten yang sehat mental dan fisik itu juga syarat mutlak untuk perkawinan. Maka jika keluarga salah satu dari calon pasangan suka mitos, klenik, ramalan dan menuju ke arah tidak sehat dalam hidup kerohanian, dan hal itu sungguh mempengaruhi keadaan rohani calon pasangan itu, ini dapat dikatakan bisa menggagalkan perkawinan. Itulah benih yang bisa menjadi besar dan mengganggu relasi suami istri dalam realitas perkawinan nantinya. Jika demikian, untuk akuratnya, maka dapat periksa mental ke dokter jiwa untuk mengetahui apakah calon sehat mental, rohani dan jasmani.
Namun ada kalanya, yang suka klenik itu hanya pihak orang tua saja, dan calon pasangan yang bersangkutan sudah tidak tertarik/ terpengaruh sama sekali dengan klenik itu, karena ia sudah dibaptis sedangkan orang tuanya belum. Dalam kondisi ini sesungguhnya, pandangan keluarganya tidak menggagalkan perkawinan, karena hal ‘suka mitos/ klenik’ tersebut tidak menjadi pandangan pribadi calon pasangan itu sendiri.
Salam
Rm wanta
Shalom Rm. Wanta,
Untuk perkawinan beda agama, kadangkala dijumpai kasus sbb: pihak keluarga dari kedua belah pihak ngotot untuk melangsungkan pernikahan anak2 mereka di lembaga agamanya masing2. Yang Katolik ngotot untuk melangsungkan pernikahannya di GK sedangkan yang non Katolik juga ngotot dilangsungkan di penghulu / vihara/yang lain (sesuai dengan agamanya), sehingga diambil kesepakatan untuk melangsungkan pemberkatan pernikahan itu di kedua tempat, yaitu GK dan non GK. Jadi setelah acara sakramen perkawinan di GK mereka melanjutkan acara di penghulu / vihara (atau sebaliknya di non Gk terlebih dahulu baru ke GK). Kata kedua keluarga tersebut biar adil (?). Apakah dibenarkan oleh Gk untuk perkawinan yang demikian? Jika tidak sah dan telah terjadi perkawainan yang demikian apa yang harus dilakukan oleh pasangan tersebut?
Mohon penjelasan dan terima kasih.
Abin yth
Sebagaimana telah saya jelaskan dalam jawaban atas pertanyaan umat tentang kasus perkawinan beda agama/gereja bahwa Gereja Katolik melarang peneguhan ganda. Hal itu dengan jelas dinyatakan dalam kan. 1127 #3: “dilarang baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma #1, mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan atau membarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan, dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri”. Prinsip yang digunakan bila terjadi saling tidak mau mengalah dan ngotot mau menang sendiri adalah win win solution, dengan kebijakan pastoral yang relevan dan membawa kententraman jiwa masing-masing. Ordinaris wilayah (Uskup) dapat membuat surat gembala dalam hal ini. Pelanggaran atas hal ini karena ketidaktahuan diampuni kesalahannya oleh Gereja. Namun bagi yang sadar dan tahu akan larangan ini hendaknya tidak melakukannya.
salam
Rm Wanta
Shalom Rm. Wanta,
Terima kasih atas jawabannya, namun mohon maaf masih ada yang kurang jelas, yaitu untuk kalimat: “… win-win solution, dengan kebijakan pastoral yang relevan …”
Apa maksudnya dan bisakah diberikan contohnya untuk kebijakan pastoral yang bagaimana yang biasanya diberikan?
Salam dan doa,
Abin
Abin Yth
Prinsip win – win solution digunakan untuk dapat memberikan jalan tengah yang baik antara kedua belah pihak misalnya: Sabtu malam upacara tukar cicin dengan ibadat yang dipimpin oleh Pendeta lalu Minggu pemberkatan perkawinan di Gereja Katolik dipimpin oleh Pastor Katolik, perlu diplomasi pembicaraan yang baik dan itu bisa diterima. Semoga dimengerti.
salam
Rm Wanta
Salam,
Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan (mungkin ada beberapa pertanyaan yang tidak jelas, jika ada saya akan mencoba untuk memperjelas pertanyaan saya) :
1. Apakah yang dimaksud dengan menggagalkan perkawinan? Apakah hal yang menghalangi pernikahan terjadi ataukah hal yang membatalkan suatu pernikahan yang sudah terjadi (dengan kata lain : cerai) ?
2. [1084] Apakah seseorang yang impoten tidak boleh menikah? dalam keadaan seperti apakah ia mendapatkan pengecualian untuk menikah? (Bisakah diberikan contoh kasusnya?)
3. [1085] Apakah yang dimaksud dengan privilegi iman? Bagaimanakah hubungannya dengan perkawinan dalam penjelasan di atas?
4. [1087 dan 1088] Apakah mungkin bagi seorang pastor/romo untuk menikah?
5. [1090] Bagaimana jika kejahatan tersebut berhubungan dengan finansial? Misalkan pernikahan di dalangi karena salah satu pasangan hendak menipu uang pasangan lain? Bagaimana pula jika kejahatan itu muncul setelah pernikahan, misalkan karena perselingkuhan dan kecemburuan yang tinggi seorang istri berusaha membunuh suaminya tetapi kemudian suaminya selamat dan ketakutan terhadap istrinya, apakah pernikahan tersebut dapat dibatalkan?
6. [1091] Apakah pernikahan dengan sepupu diperbolehkan?
7. [1092] Apakah pernikahan dengan saudara ipar seperti pada cerita Onan di kitab kejadian 38 diperbolehkan?
8. [1094] Apakah yang dimaksud dengan adopsi? Apakah jika anak tersebut dimasukkan ke dalam surat keluarga secara sipil atau adakah hukum gereja yang mengatur mengenai adopsi?
9. Jika ada seorang pria memiliki anak perempuan menikah dengan seorang wanita yang memiliki anak lelaki, apakah anak2 mereka boleh menikah?
Terima kasih,
Rain Yth
Jawaban atas pertanyaan anda;
1. Menggagalkan perkawinan artinya adalah adanya unsur yang harus dipenuhi jika tidak akan membuat perkawinan itu tidak sah.
2. Impotens bisa menikah asalkan kedua belah pihak telah mengetahui sebelumnya dan menerima keadaan ini. Bahwa impotensi itu ada sebagai yang menghalangi karena salah satu tujuan perkawinan adalah melahirkan dan mendidikan anak. Namun itu bukan menjadi satu-satunya tujuan, Dalam penjelasan secara medis dapat ditanyakan ke dokter impotensi ada jenisnya.
3. Previlegi iman adalah kemurahan yang diberikan oleh Bapa Suci atau Uskup atas halangan suatu perkawinan sebelumnya karena ada kaitannya pemutusan ikatan perkawinan. Demi iman orang itu kemurahan itu diberikan oleh pihak yang berwenang,
4. Seorang pastor tidak mungkin menikah karena ada halangan publik kaulnya atau sumpah selibatnya dan terlebih tahbisan imamatnya. Namun jika sudah menerima kemurahan dispensasi dari kewajiban dari tahbisan imamtnya dari Takhta Suci dia dapat melangsungkan perkawinan.
5. Pernikahan yang didasarkan pada ketidakjujuran bertentangan dengan essensi dari konsensus perkawinan yang menekankan kejujuran, kebebasan dan kebenaran dari hati kedua orang yang menyatakan konsensusnya.
6. Pernikahan dengan sepupun dapat menggagalkan keabsahan perkawinan sampai hubungan darah menyamping tingkat 4 (sepupu). aturan ini sehubungan dengan aspek kesehatan/biologis dari keturunan anak yang lahir dan melelu gerejawi maka bisa memohon dispensasi dengan alasan yang kuat dan berat,
7. Lihat kanon 1091-1092, Kasus seperti Onan yang menikahi istri kakaknya karena meninggal sesuai dengan aturan Gereja tidak diperkenankan masih ada hubungan keluarga karena perkawinan.
8. Adopsi merupakan tindakan mengambil anak menjadi asuhan dan diangkat menjadi “seperti anak sendiri”, diakui secara sipil tapi di KHK 1983 tidak membicarakan secara khusus. Namun KHK 1983 merujuk pada hukum sipil, anak tsb masuk daftar dalam KK, juga catatan dalam buku baptis atau KK dalam paroki,
9. Anak-anak boleh menikah sejauh tidak ada halangan umum dan khusus serta memenuhi persyaratan dalam KHK 1983,
Semoga dipahami mohon membaca artikel lain dalam katolisitas.org yg membahas pertanyaan anda. Terimakasih.
salam
Rm Wanta
Romo Wanta yth,
Kiranya saya mendapatkan masukan atas kejadian dibawah ini dan terimakasih banyak sebelumnya.
Pernikahan saya dilakukan menurut tata-cara Gereja Katolik (GK), kedua pihak dibaptis katolik jauh sebelum kami menikah.
Sebelum pernikahan kami secara GK dilaksanakan, sempat didengar bahwa calon pasangan saya itu pernah menikah siri (dibawah tangan) sebelumnya dan bagaimana hal itu terjadi tidak jelas. Dan juga mendengar bahwa ada anak, yang katanya lagi adalah ‘bukan’ anaknya. Saat pasangan saya menikah muda secara siri tersebut dia seharusnya adalah penganut agama katolik (karena dia dibaptis ketika kecil) . Kejadian tersebut tidak dipertanyakan lebih lanjut dengan alasan sudah menjadi bagian masa lalu dan tidak mau membongkar kejadian pahit. Bagaimana akhirnya dengan pernikahan siri tersebutpun tidak jelas dan sayangnya juga tidak dikonsultasikan dengan GK sebelum kami menikah.
Pasangan saya mendapat status liber dari GK di kota tempatnya dibaptis dahulu ketika kamipun kemudian menikah.
Bagaimana menurut pandangan hukum GK , apakah pernikahan pasangan sebelumnya tersebut adalah termasuk halangan pernikahan karena adanya ikatan perkawinan terdahulu (walau perkawinannya adalah siri/dibawah tangan)?
Pernikahan kami bermasalah dan dalam kurun waktu berbulan2 segala usaha untuk mempertahankan pernikahan ini tidak membawa hasil hingga berujung kepengadilan sipil.
Mohon pandangannya dan terimakasih.
Ican Yth.
Membaca cerita singkat anda saya memiliki kesimpulan sementara yang harus dibuktikan dengan akurat bahwa perkawinan siri itu juga menjadi halangan untuk perkawinan. Dari penjelasan oeang muslim yang mengerti hukum perkawinan agama Islam menyatakan bahwa perkawinan siri itu juga mengandung ikatan perkawinan, jadi bagi Gereja Katolik itu halangan untuk melangsungkan perkawinan. Jika ini dilanggar maka perkawinan tidak sah sejak permulaan. Kurang hati- hati dan terlalu cepat membaptis orang yang non katolik dan tidak teliti memeriksa status seseorang yang sudah menikah adalah kelalaian petugas Gereja (termasuk pastornya). Maka perlu diwaspadai bagi calon pengantin yang hendak menikah di Gereja Katolik. Status bebas harus didapat dari desa, camat dan bukti dua orang saksi bahwa dia benar-benar belum pernah menikah dan tidak ada ikatan. Karena itu coba buatlah kisah perkawinanmu dan lampirkan bukti- bukti yang akurat dan jelas untuk diajukan proses anulasi di Tribunal perkawinan.
salam
Romo Wanta, Pr.
Romo, seandainya anulasi di Tribunal perkawinan dikabulkan, adakah pengaruh terhadap surat2 GK atas nama anak2 yang lahir dalam pernikahan secara GK, dimana mereka juga telah dibaptis Katolik? Baik terhadap surat2 GK yang telah dibuat maupun yang akan dibuat dimasa yang akan datang?
Dan dengan adanya anulasi, bagaimana pandangan hukum GK terhadap status anak2 tersebut?
Terimakasih atas masukannya. Dan untuk tim Katolisitas, Bravo! Situs ini membantu untuk membuka wawasan.
Salam Damai,
Ican
Ican Yth
Surat yang dikeluarkan Gereja Katolik atas nama anak-anak yang lahir hasil perkawinan sebelumnya yang tidak sah dan dibatalkan, tetap berlaku dan sah. Status anak tetap sah anak ayah/ibu yang mengandungnya, sedangkan untuk diasuh oleh siapa, hukum Gereja merujuk ke hukum sipil akan diasuh oleh siapa. Hukum Gereja mengatur disiplin dan hidup rohani umat Katolik.
Salam
Rm Wanta
Dear Rm. Wanta..
Saya mau menanyakan sesuatu yang beberapa bulan ini membuat saya selalu gelisah dan gundah sebelum pernikahan saya berlangsung dan setelahnya.
Romo.. Saya dibabtis secara katolik… Dan telah mengikuti sakramen ekaristi selama 20thn, dan pada tanggal 28 des 2009 kemarin saya menikah, tetapi saya menikah tidak di gereja katolik melainkan di gereja HKBP,
Hal ini dikarenakan desakan dari orngtua suami saya…
Romo.. Yang ingin saya tanyakan..
1. Apakah ini suatu kegagalan perkawinan?
2. Masih bolehkah saya bergereja di GK dan menerima sakramen ekaristi?
3. Apakah yang dapat mmbuat saya menjadi tenang.. Karena sejak keputusan ini saya ambil saya tak sedikitpun dapat tenang.
Terimakasih Romo..
Best regard’s,
Bertin
Bertina Yth
Ini bukan suatu kegagalan perkawinan tetapi kelalaian dalam meneguhkan perkawinan. Anda masih Katolik dan bisa dibereskan perkawinan yang tidak layak (licit) karena tanpa izin dari Uskup. Datanglah ke pastor paroki anda dan sampaikan rama saya meminta pengesahan convalidatio untuk perkawinan saya yang ada halangan beda gereja dan telah disahkan bukan di depan Imam katolik. Nanti rama paroki anda akan membereskannya dan anda bisa komuni seperti dulu kala. Jangan tunda segera memberitahukan kepada rama paroki. Doa dan berkat Tuhan
salam
Rm Wanta
Comments are closed.