[Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus: Ul 8:2-3, 14-16; Mzm 147:12-20; 1Kor 10:16-17; Yoh 6:51-58]
“Tuhan Allahmu… memberi kamu makan manna, yang tidak kamu kenal” (Ul 8:2-3).
Perkataan ini dari Kitab Ulangan mengacu kepada sejarah bangsa Israel, yang dipimpin Allah keluar dari perbudakan oleh bangsa Mesir, dan selama 40 tahun dipimpin melalui gurun menuju Tanah Terjanji. Ketika telah mapan di daratan itu, bangsa pilihan [Israel] mencapai suatu otonomi tertentu, kenyamanan tertentu dan menempatkan diri dalam bahaya melupakan kejadian-kejadian yang telah menyiksa mereka di masa lalu, [mereka] mengabaikan rasa syukur akan campur tangan Allah dan akan kebaikan-Nya yang tak terbatas. Dan karenanya Kitab Suci mendesak bangsa itu untuk mengingat kembali, untuk mengenang, seluruh perjalanan melintasi gurun, dalam saat-saat kekeringan dan keputusasaan. Perintah Musa adalah agar [mereka] kembali ke hal-hal mendasar, yaitu untuk mengalami ketergantungan yang total kepada Allah, ketika kelangsungan hidup mereka berada di tangan-Nya sehingga bangsa itu memahami bahwa “manusia tidak hidup hanya dengan roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang keluar dari mulut Allah” (Ul 8:3).
Di samping kelaparan fisik, manusia mengalami kelaparan lainnya: kelaparan yang tidak dapat dipuaskan dengan makanan biasa. Itu adalah kelaparan akan kehidupan, kelaparan akan cinta dan kelaparan akan keabadian. Dan tanda manna—seperti seluruh pengalaman bangsa Israel di padang gurun—juga mencakup dalam dirinya sendiri dimensi ini: yaitu simbol suatu makanan yang memuaskan kelaparan manusia yang mendalam. Yesus memberi kita makanan ini. Lebih tepatnya, Ia sendiri adalah roti hidup yang memberi hidup kepada dunia (lih. Yoh 6:51). Tubuh-Nya adalah sungguh-sungguh makanan dalam rupa roti; darah-Nya adalah sungguh-sungguh minuman dalam rupa anggur. Itu bukan makanan sederhana untuk memuaskan tubuh, seperti manna. Tubuh Kristus adalah roti di waktu-waktu akhir, yang dapat memberi hidup, kehidupan kekal, sebab roti ini dibuat dari cinta kasih.
Ekaristi menyampaikan kasih Tuhan kepada kita; sebuah kasih yang begitu besar sehingga roti itu memberi kita makan dengan diri-Nya sendiri; kasih yang diberikan secara cuma-cuma, selalu tersedia bagi setiap orang yang lapar dan memerlukannya untuk memperbarui kekuatannya sendiri. Untuk menghidupi pengalaman iman artinya adalah untuk membiarkan diri sendiri diberi makan oleh Tuhan dan untuk membangun keberadaan diri sendiri bukan dari benda-benda material tetapi dengan kenyataan yang tidak binasa, yaitu karunia-karunia Allah, Sabda-Nya dan Tubuh-Nya.
Jika kita melihat ke sekeliling kita, kita sadari bahwa ada begitu banyak tawaran makanan yang tidak datang dari Tuhan dan yang nampaknya lebih memuaskan. Sejumlah orang ‘memberi makan’ diri mereka sendiri dengan uang, sejumlah yang lain dengan kesuksesan dan kesia-siaan, dan sejumlah yang lain, dengan kekuasaan dan kesombongan. Tetapi makanan yang sungguh memelihara dan mengenyangkan kita hanyalah apa yang Tuhan berikan kepada kita! Makanan yang Tuhan tawarkan kepada kita berbeda dengan makanan lain, dan mungkin bagi kita nampaknya tidak sesedap makanan lain yang ditawarkan dunia kepada kita. Maka kita memimpikan makanan lain, seperti orang-orang Ibrani di gurun, yang merindukan daging dan bawang, yang mereka makan di Mesir, tapi melupakan bahwa mereka memakan makanan itu di meja perbudakan. Di saat-saat pencobaan itu, mereka mempunyai kenangan, tetapi kenangan yang sakit, kenangan yang mereka pilih-pilih sendiri. Sebuah kenangan budak, bukan kenangan seorang yang merdeka.
Saat ini, kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri: bagaimana dengan aku? Di mana aku mau makan? Di meja manakah aku ingin diberi makan? Di meja Tuhan? Atau apakah aku memimpikan makan makanan sedap tetapi dalam perbudakan? Lebih lanjut, kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri: apakah yang kuingat? Tuhan yang menyelamatkanku, atau bawang putih dan bawang [makanan] dalam perbudakan? Ingatan yang mana yang memuaskan jiwaku?
Bapa [penulis kitab] mengatakan kepada kita: “Aku memberimu makan dengan manna, yang tidak kamu kenal.” Biarlah kita memulihkan kembali kenangan ini. Ini adalah tugas, yaitu untuk memulihkan kenangan itu. Biarlah kita belajar untuk mengenali roti palsu yang membohongi dan merusak, sebab itu datang dari cinta diri, dari mengandalkan diri sendiri dan dari dosa.
Dalam prosesi berikut ini, kita akan mengikuti Yesus yang sungguh hadir dalam Ekaristi. Hosti itu adalah manna kita, yang melaluinya Tuhan memberikan diri-Nya kepada kita. Kita kembali kepada-Nya dengan iman: Yesus, belalah kami dari godaan makanan duniawi yang memperbudak kami, makanan yang tercemar. Murnikanlah ingatan kami, supaya tidak terbelenggu dalam cinta diri dan pilihan duniawi, tetapi supaya bisa menjadi kenangan yang hidup akan kehadiranMu di sepanjang sejarah bangsa-Mu, sebuah kenangan yang membuat “monumen” tanda kasih-Mu yang menebus kami. Amin” (Diterjemahkan dari Homili Paus Fransiskus, di Hari Tubuh dan Darah Kristus, 2014).
Ekaristi adalah kenangan yang hidup akan pengorbanan Kristus yang menebus kita. Betapa dalamnya makna Ekaristi dan betapa besar rahmat yang kita terima setiap kali kita menyambut Ekaristi kudus itu. Sebab yang kita terima dan yang masuk ke dalam tubuh kita dan bersatu dengan jiwa kita adalah Tuhan Yesus sendiri, yaitu: Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan-Nya. “Tuhan Yesus di hari yang istimewa ini, di hari perayaan Tubuh dan Darah-Mu, bantulah aku untuk semakin memahami dan menghayati kenangan yang hidup akan kehadiran-Mu dalam Ekaristi. Sebagaimana Engkau telah memberikan seluruh diri-Mu kepadaku, terimalah juga segenap diriku yang kupersembahkan kepada-Mu. Semoga kehadiran-Mu memurnikan jiwa dan pikiranku, agar aku dapat selalu mengingat segala kebaikan-Mu kepadaku, terutama bahwa Engkau telah mengorbankan diri-Mu demi menebus segala dosaku. Walau kata-kata tak mampu melukiskan, kutahu Engkau memahami betapa aku bersyukur kepadaMu. Terima kasih Tuhan Yesus. Dimuliakanlah nama-Mu kini dan sepanjang masa. Amin.”