Dewasa ini banyak orang – di dalam Gereja Katolik maupun di luar Gereja Katolik – yang mengklaim bahwa mereka menerima wahyu dari Allah. Umat Katolik harus menyikapi hal ini dengan hati-hati karena wahyu-wahyu tersebut belum tentu otentik, dan tidak jarang dapat menyesatkan umat beriman. Wahyu-wahyu ini disebut sebagai wahyu pribadi. Wahyu pribadi adalah wahyu yang diterima oleh sejumlah orang (seperti yang diterima oleh para santa santo) dalam sejarah umat manusia, yang sifatnya tidak menambah perbendaharaan iman maupun menyempurnakan wahyu umum – yang kesempurnaannya telah dipenuhi di dalam Kristus. Tujuan dari wahyu pribadi ini adalah sebagai tanda penyertaan Allah untuk membimbing manusia dalam tindakan yang sesuai dengan apa yang telah diwahyukan-Nya dalam wahyu umum (lih. St. Thomas Aquinas, Summa Theologica, II-II q.174 a.6 reply 3). Dengan demikian, wahyu pribadi yang otentik akan membangkitkan devosi, doa, pertobatan, maupun partisipasi dalam sakramen-sakramen, dan tetap menjaga persatuan dengan para uskup dan paus, serta tidak mungkin bertentangan dengan wahyu umum.

Karena Kristus telah memberi wewenang kepada Gereja untuk mengajar (lih. Mat 16:18-19), dan Rasul Paulus menuliskan bahwa tiang penopang dan dasar kebenaran adalah Gereja (lih. 1Tim 3:15), maka Magisterium Gereja – yang mendasarkan pengajarannya pada Kitab Suci dan Tradisi Suci – dapat memberikan penilaian apakah wahyu pribadi tersebut otentik atau tidak. Namun, demikian, kalaupun wahyu pribadi ini telah dinyatakan otentik, umat beriman tidak dituntut untuk mempercayainya sebagaimana mempercayai artikel-artikel iman. Gereja dapat menyatakan bahwa wahyu pribadi yang telah disetujui otentisitasnya dapat memberikan manfaat bagi umat beriman.

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian:

KGK 67 Dalam peredaran waktu terdapatlah apa yang dinamakan “wahyu pribadi”, yang beberapa di antaranya diakui oleh pimpinan Gereja. Namun wahyu pribadi itu tidak termasuk dalam perbendaharaan iman. Bukanlah tugas mereka untuk “menyempurnakan” wahyu Kristus yang definitif atau untuk “melengkapinya”, melainkan untuk membantu supaya orang dapat menghayatinya lebih dalam lagi dalam rentang waktu tertentu. Di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, maka dalam kesadaran iman, umat beriman tahu membedakan dan melihat dalam wahyu-wahyu ini apa yang merupakan amanat otentik dari Kristus atau para kudus kepada Gereja. Iman Kristen tidak dapat “menerima” wahyu-wahyu yang mau melebihi atau membetulkan wahyu yang sudah dituntaskan dalam Kristus. Hal ini diklaim oleh agama-agama bukan Kristen tertentu dan sering kali juga oleh sekte-sekte baru tertentu yang mendasarkan diri atas “wahyu-wahyu” yang demikian itu.

Paus Benediktus XIV (31 March 1675 – 3 May 1758) menuliskan:

Meskipun sebuah persetujuan [dalam tingkat] iman Katolik boleh tidak diberikan kepada wahyu-wahyu [pribadi] yang telah disetujui, namun, persetujuan [dalam tingkat] iman manusia, yang dibuat sesuai dengan tuntunan kebijaksanaan, adalah layak diberikan kepadanya; karena sesuai dengan tuntunan-tuntunan ini, wahyu-wahyu [pribadi] tersebut adalah mungkin dan layak dipercaya. [De Serv. Dei Beatif.]