Nampaknya keliru, jika dikatakan bahwa St. Agustinus menolak adanya Baptis keinginan (Baptism of desire). Sebab walaupun St. Agustinus menulis banyak tentang pentingnya sakramen Baptis untuk keselamatan, ia juga menuliskan demikian: “I find that not only martyrdom for the sake of Christ may supply what was wanting of Baptism, but also faith and conversion of heart, if recourse may not be had to the celebration of the mystery of Baptism, for want of time.” terjemahannya: “Aku sampai pada kesimpulan bahwa tidak hanya kemartiran demi Kristus dapat menggantikan apa yang kurang dari Baptisan, tetapi juga, iman dan pertobatan hati, jika karena kurangnya waktu, tidak dimiliki kesempatan untuk perayaan misteri Baptisan” (De baptismo IV, 22, 29), misalnya karena orang tersebut telah wafat sebelum sempat menerima sakramen Baptis.
Masih dalam tulisan yang sama, St. Agustinus menyebutkan contohnya, yaitu tentang sang penjahat yang disalibkan di sisi Kristus. St. Agustinus mengatakan bahwa si penjahat itu tidak disalibkan karena nama Kristus, dan juga ia tidak menderita karena percaya kepada Kristus, melainkan ia percaya ketika ia sedang menderita. Maka di sini terlihat, dalam kasus si penjahat itu, betapa besarnya kuat kuasa Allah yang bekerja, yang bahkan tanpa sakramen Baptisan, sebagaimana dikatakan oleh Rasul Paulus, “Dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.” (Rom 10:10). Tetapi kekurangannya ditambahkan secara tidak kelihatan ketika pemberian Pembaptisan tidak dapat dilakukan, bukan karena kebenciannya terhadap agama [dalam hal ini agama Kristiani], tetapi karena keperluan mendesak pada saat itu (lih. Ibid.), dalam hal ini, pada saat kematiannya.
Memang dalam buku terakhirnya, Retractiones, II,18, St. Agustinus menyampaikan perkiraanya bahwa kemungkinan si penjahat itu telah pernah dibaptis dengan air sebelum wafatnya -walau ini hanya disampaikan sebatas kemungkinan- dan dengan demikian menegaskan bahwa Sakramen Baptis (dengan air) itu memang tetap perlu untuk keselamatan. Baptisan tersebut bagaikan pintu yang mengarahkan kepada keselamatan. Kasus si penjahat yang disalibkan bersama Yesus, tentu saja merupakan kasus khusus yang tidak dapat dijadikan patokan umum, seolah asal berpegang pada Rom 10:10, maka seseorang tidak perlu dibaptis. Dalam banyak tulisannya tentang sakramen Baptis, berkali-kali St. Agustinus mengajarkan pentingnya sakramen Baptis untuk keselamatan. Maka tentang Baptisan keinginan ataupun Baptisan martir, bukan merupakan patokan umum, melainkan merupakan keadaan khusus, yang dapat memberikan efek Baptisan dengan air, jika karena keadaan yang mendesak, seseorang yang sudah mengimani Kristus tidak sempat menerima sakramen Baptis sebelum wafatnya.
Apapun yang diajarkan oleh St. Agustinus, Gereja Katolik berpegang kepada ajaran Magisterium tentang Baptisan, yang atas dasar Kitab Suci dan Tradisi Suci sebagaimana diajarkan para Bapa Gereja (tidak hanya St. Agustinus saja). Gereja Katolik mengajarkan bahwa Pembaptisan perlu untuk keselamatan, sebab demikianlah yang ditetapkan oleh Tuhan Yesus sendiri (lih. Yoh 3:5; Mrk 16:16, Mat 28:19-20, KGK 1257). Pembaptisan ini dapat merupakan Baptisan dengan air (dalam sakramen Baptis), sebagai cara yang umum; namun dalam keadaan darurat keinginan untuk dibaptis dapat diwujudkan dengan Baptisan darah (sebagai martir bagi Kristus), dan Baptisan keinginan (jika sungguh beriman dan bertobat), jika sebelum sempat dibaptis dengan air, seseorang telah meninggal dunia (lih. KGK 1258-1260). Dengan demikian, “Tuhan telah mengikatkan keselamatan pada Sakramen Pembaptisan, tetapi Ia sendiri tidak terikat pada Sakramen-sakramen-Nya.” (KGK 1257)
Apakah benar Santo Agustinus menentang adanya baptis rindu?
http://noveonline.wordpress.com/2007/12/01/st-agustinus-dari-hippo/
Universalitas menurut Agustinus sangat mustahil, apapun pandangan teologi seseorang mengenai rahmat. Universalitas disingkirkan oleh suatu fakta sederhana, yaitu apa yang terjadi pada pembabtisan. Sebagai mana kita lihat bahwa semua orang tidak dibabtis. Maka tidak semua orang diselamatkan. Neraka dan penghukuman merupakan nasib bagi mereka yang tidak dibabtis. Tentu saja pandangan ini sangat sempit dan tidak relevan dengan pemikiran zaman sekarang. Oleh karena itu ada kecenderungan untuk menggali ide tradisional tentang “babtis kerinduan”, suatu cinta akan Allah yang sama nilainya dengan janji yang diikrarkan pada saat pembabtisan. Jadi mereka yang memiliki kerinduan akan Allah tetapi tidak sempat dibabtis, mereka juga diselamatkan. Pandangan ini ditolak Santo Agustinus. Ia hanya menerima penganti ini dengan babtisan darah, yaitu mereka yang mati karena injil.
Thanks
Shalom Krisna,
Mungkin Anda perlu memeriksa ataupun mendefinisikan kembali pernyataan Anda yang mengatakan bahwa St. Agustinus menganggap bahwa “universalitas sangat mustahil…. Sebagai mana kita lihat bahwa semua orang tidak dibaptis.
Apakah maksud Anda adalah “tidak semua orang dibaptis” dan bukan “semua orang tidak dibaptis”? Sebab kita tahu bahwa ada banyak orang dibaptis, walaupun tidak semua orang. Juga, apa maksudnya universalitas di sini? Sebab jika yang dimaksud adalah universalitas ajaran, maka St. Agustinus mengajarkan hal tersebut, yaitu bahwa keseluruhan (universalitas) ajaran kebenaran ada pada Gereja Katolik, dan otoritas Gereja Katolik-lah yang membuatnya percaya kepada Injil :
“Gereja itu disebut sebagai Katolik, sebab ia merangkum semua kebenaran, dan meskipun terdapat beberapa fragmen dari kebenaran ini yang ditemukan di heresi-heresi yang berbeda-beda….” (St. Augustine, Letters to Vincent, no. 93)
“….. tanpa bicara tentang kebijaksanaan ini, yang tidak kamu percayai ada dalam Gereja Katolik, terdapat banyak hal lain yang membuat aku tetap berada di pangkuannya. Persetujuan bangsa- bangsa membuat aku tetap dalam Gereja ini, demikian pula otoritasnya, ditandai dengan mukjizat-mukjizatnya, dikuatkan dengan dengan pengharapan, diperluas dengan kasih, diteguhkan oleh zaman. Aku tetap di dalamnya karena suksesi para imam, sejak dari tahta Rasul Petrus yang kepadanya Tuhan setelah kebangkitan-Nya memberikan tugas untuk menggembalakan domba-domba-Nya, sampai kepada keuskupan di masa sekarang. Dan juga, diberi nama Katolik yang tidak tanpa alasan, di tengah banyak heresi, Gereja tetap bertahan. Sehingga, meskipun semua bidat mengharap untuk disebut orang Katolik, namun ketika seseorang bertanya, di manakah Gereja Katolik, tidak seorang bidat-pun akan menunjuk kepada kapelnya ataupun rumahnya sendiri.” (Against the Epistle of Manichaeus 4:5; NPNF 1, Vol. IV, 130)
“Sebab bagi saya, saya tidak akan percaya kepada Injil kecuali didorong oleh otoritas Gereja Katolik (Against the Epistle of Manichaeus 5, 6; NPNF 1, Vol. IV, 131)
St. Agustinus menegaskan tentang adanya konsensus dari umat Kristen tentang penggunaan nama Katolik. “Entah mereka inginkan atau tidak, para bidat harus menyebut katolik (universal) terhadap Gereja Katolik (De vera religione, xii).
Maka St. Agustinus mengajarkan adanya universalitas dalam Gereja Katolik. Sedangkan tentang Baptisan, St. Agustinus tetap mengajarkan bahwa sakramen Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan, namun tidak menutup kemungkinan, adanya Baptisan darah (dengan menjadi martir bagi Kristus) dan Baptis rindu (dengan iman dan pertobatan), selanjutnya, sudah ditulis di artikel ini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.