Sumber gambar: http://www.playbuzz.com/gregs/what-is-your-biblical-profession

[Hari Minggu Paskah IV: Kis 4:8-12; Mzm 118:1-29; 1Yoh 3:1-2; Yoh 10:11-18]

Sewaktu kami menempuh studi teologi, kami tinggal di rumah sepupu kami selama 4 tahun. Di sanalah kami menjadi akrab dengan keponakan-keponakan kami, yang kami anggap sebagai anak-anak kami sendiri. Bersama dengan sepupu kami dan suaminya, kami sering berdoa bersama anak-anak, mengulangi kisah-kisah dalam Kitab Suci dan riwayat hidup orang kudus, dan bermain quiz Kitab Suci. Seorang dari keponakan kami, namanya Nicholas, adalah anak baptis kami, yang kerap kami ajak untuk mengikuti Misa harian, sejak ia berumur dua tahun. Sebelum tidur siang, Nicholas kerap mendatangiku dan memintaku untuk menunjukkan gambar-gambar Yesus di layar komputerku. Salah satu gambar yang menjadi kesukaannya adalah gambar Yesus Sang Gembala yang baik. Ia sering memandang gambar itu, dan berkata, “Tuhan Yesus itu amat baik, Tante.” “Dari mana kamu tahu itu, Nicholas?” tanyaku. “Sebab Ia sayang pada domba-domba-Nya. Lihat, Ia menggendong domba yang kecil itu…”  ujar Nicholas. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu untuk menyampaikan pesan Injil, “Ya,  Nicholas, Tuhan Yesus sangat menyayangi kita. Ia selalu menjaga dan melindungi kita seperti gembala menjaga domba-dombanya. Tuhan Yesus juga akan menggendongmu, Nicholas, maka jangan takut. Sekarang kamu bobo dulu ya.” Nicholas tersenyum, dan biasanya, tak lama setelah itu, ia terlelap. Rupanya gambar Yesus Gembala yang baik begitu melekat dalam pikirannya, sehingga ia merasa aman karena dikasihi dan dilindungi.

Maka, tentu ada maksudnya, bahwa Yesus menggambarkan diri-Nya sebagai Gembala yang baik. Dengan wajah-Nya yang memancarkan kasih, Ia menggendong domba-Nya, kemungkinan domba yang ditemukan-Nya setelah terpisah dari kawanan sekian waktu lamanya. Atau domba yang berhasil diselamatkan-Nya dari serigala yang hampir memangsanya. Sungguh,  kawanan domba-Nya dapat merasa aman dalam perlindungan-Nya, sebab Ia senantiasa menjaga mereka sampai titik darah penghabisan. “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya…. Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku…” (Yoh 10: 11,14). St. Gregorius mengatakan, “Yesus sendiri memberikan teladan tentang apa yang diperintahkan-Nya: Ia menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya, agar Ia dapat mengubah tubuh dan darah-Nya dalam Sakramen, dan dengan demikian, Ia memberi makan domba-domba-Nya—yang telah ditebus-Nya—dengan daging-Nya sendiri” (St. Gregory, in Catena Aurea, John 10:11-13). Dengan demikian, kasih sang Gembala tidak saja ditunjukkan-Nya dengan melindungi kawanan domba-Nya, namun juga dengan memberi mereka makan dari diri-Nya sendiri, agar kawanan-Nya itu dapat memperoleh hidup, seperti Ia sendiri hidup. Maka gambaran Yesus sebagai Gembala yang baik, tidak terlepas dari ajaran-Nya tentang Roti Hidup, sebab maksud Yesus menyerahkan hidup-Nya kepada kita, adalah agar kita dapat memperoleh hidup-Nya itu, yang menghantar kita kepada kehidupan kekal bersama dengan Dia. Ia menghendaki agar kita dapat menyantap tubuh dan darah-Nya, agar dengan demikian hidup-Nya dapat mengalir di dalam tubuh dan darah kita. “Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku” (Yoh 6:57). Dengan hidup-Nya yang mengalir di dalam kita, kita diangkat menjadi anak-anak Allah, sehingga kelak kita dijadikan sama seperti Dia dan dapat memandang Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya (lih. 1Yoh 3:2).

Maka, teladan Yesus Gembala yang baik mendorong kita untuk selalu mensyukuri kebaikan-Nya, namun juga mendorong kita untuk meniru teladan-Nya dan mendoakan juga para gembala kita—khususnya para imam, uskup dan Paus—agar mereka dapat menjadi gembala yang baik bagi kita umat-Nya. Di hari Minggu Panggilan ini, kita diajak untuk mendoakan mereka dan memohon kepada Tuhan agar Ia memanggil banyak orang muda, untuk dapat menanggapi panggilan imamat. Betapa dunia membutuhkan para imam yang kudus! Betapa kita memerlukan para imam, sehingga kita dapat menerima sakramen- sakramen yang menyampaikan rahmat Allah yang membawa kita masuk dalam kehidupan ilahi-Nya. Dan betapa perlunya kita mendoakan para imam, uskup dan Paus agar mereka dapat menjalankan tugas sebagai pelayan-pelayan Tuhan yang setia. Dalam khotbahnya di Misa pentahbisan Uskup Jean-Marie Speich dan Giampiero Gloder, Paus Fransiskus mengatakan, “Dan kalian, Jean-Marie dan Giampiero, pilihan Tuhan, perhatikanlah bahwa kalian telah dipilih dari antara manusia dan untuk manusia… Sesungguhnya, “jabatan uskup” adalah nama dari sebuah pelayanan itu dan bukan [nama] dari sebuah kehormatan. Uskup harus berusaha untuk melayani dan bukan untuk berkuasa, sesuai dengan perintah Sang Guru: “barangsiapa ingin menjadi besar di antara kalian hendaklah [ia] menjadi pelayan kalian, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kalian, hendaklah [ia] menjadi hamba dari semua.” Yang selalu melayani…. Wartakan Firman di setiap kesempatan… Memperingatkan, menegur, dan menasihati tak putus-putusnya dalam kesabaran dan dalam pengajaran. Dan melalui doa dan persembahan kurban bagi umat kalian, menggunakan berbagai ragam kekayaan rahmat ilahi atas kepenuhan kekudusan Kristus… Seorang uskup yang tidak berdoa berarti ia hanyalah separuh uskup saja. Dan jika ia tidak berdoa kepada Tuhan, ia berakhir dalam keduniawian. Jadilah penjaga-penjaga setia dan pencurah misteri-misteri Kristus dalam Gereja yang dipercayakan kepada kalian. Kalian ditempatkan oleh Bapa sebagai kepala keluarga-Nya; karena itu, senantiasa mengikuti contoh dari Gembala Baik yang mengenal akan domba-domba-Nya dan dikenal oleh mereka dan tidak ragu untuk menyerahkan nyawa-Nya bagi mereka…” (Paus Fransiskus, 24 Okt 2013). Betapa dunia kita sekarang ini, membutuhkan pemimpin-pemimpin yang rela melayani dan bukan yang senang dilayani. Betapa kita membutuhkan teladan kasih yang tulus seperti Kristus, yang memberikan diri sehabis-habisnya bagi kita, agar kita dapat hidup sebagai anak-anak Allah. Semoga teladan Kristus ini mendorong banyak orang muda untuk menanggapinya agar sebagai Gereja kita senantiasa bertumbuh dalam kasih dan pelayanan kepada sesama, sebagaimana dikehendaki oleh Kristus.

“Kalau kamu sudah besar, kamu mau jadi apa, Nicholas?” tanyaku kepada keponakan kami itu. “Mau jadi imam,” katanya, “eh salah, mau jadi Uskup,” sambungnya dengan wajahnya yang polos. Semoga semakin banyak  orang muda dapat menjawab panggilan Tuhan ini, dan bertekun mengikutinya sampai akhir. Semoga semakin banyak orang tua  dengan lapang hati mempersembahkan putra dan putri mereka jika panggilan ini lahir dalam hati anak-anak mereka. Sebab dunia memerlukan adanya gembala-gembala yang baik, yang mengambil sumbernya dari Kristus Sang Gembala yang Baik.