KWI Tolak PP No. 61/2014 Ps 31 dan 34 tentang Aborsi karena Urgensi Medik dan Akibat Perkosaan.

Oleh: Mgr. Ignatius Suharyo Pr.

 

Pengantar Redaksi

Berikut ini kami sampaikan rilis resmi KWI perihal penolakan sikap para Bapak Uskup se-Indonesia terhadap Praktik Aborsi karena alasan Urgensi Medik dan Akibat Perkosaan.

———————

Pernyataan Sikap KWI terhadap PP No. 61/2014 Tentang Kesehatan Reproduksi

“Orang yang mempunyai hidup, berhak untuk hidup karena dia sudah hidup dan mempunyai hidup”

HIDUP berharga dan bernilai, maka harus dijaga, dipelihara dan dibela. Sejak awal kehidupan, Allah sendirilah yang menciptakan manusia, ”Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku” (Mazmur 139:13).

Karena Allah sendiri yang menghendaki karya penciptaan ini, manusia tidak berhak untuk menghentikan Karya Agung Allah ini dengan menyingkirkannya. Apalagi, perintah Allah begitu tegas: Jangan membunuh! (Keluaran 2,30) yang tidak hanya berlaku bagi manusia yang sudah lahir namun juga mereka yang masih berada dalam kandungan.

Gereja mengakui bahwa hidup manusia dimulai sejak pembuahan dan hidup itu harus dibela dan dihormati. Segala bentuk tindakan yang mengancam sejak awal kehidupan ini secara langsung, tidak dibenarkan.

Nilai hidup manusia adalah nilai intrinsik yang ada dalam dirinya, dia bernilai oleh karena dirinya sendiri tanpa ada relasinya dengan pihak lain. Kecacatan atau penyakit yang dialami seseorang tidak mengurangi nilai dan martabat manusia. Oleh karena itu, aborsi dengan alasan kecacatan atau penyakit, tidak bisa dibenarkan.
Tindak pemerkosaan dapat menyebabkan trauma psikologis, spiritual dan sosial bagi korbannya. Yang diperlukan adalah sikap belarasa terhadap korban dan memberi bantuan dalam pelbagai hal agar yang bersangkutan bisa bangkit dari penderitaannya dan menghilangkan traumanya sehingga bisa kembali hidup bahagia. Namun keinginan untuk bahagia tidak memberikan hak kepadanya untuk membunuh orang lain. Melakukan aborsi demi mencapai kebahagiaan ibu yang mengandung akibat perkosaan sama artinya dengan menggunakan orang lain (janin) sebagai alat dan tidak menghormatinya sebagai subyek. Hal ini merupakan pelanggaran berat terhadap martabat manusia yang adalah Gambar dan Citra Allah.

Ketua Presidium KWI: Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo dalam kapasitasnya sebagai Ketua Presidium KWI bersama Sekjen KWI Mgr. Johannes Pujasumarta mengeluarkan pernyataak sikap penolakan terhadap praktik aborsi karena urgensi medik dan akibat perkosaan. (Dok. Majalah Hidup)
Janin adalah makluk yang “lemah, tidak dapat membela diri, bahkan sampai tidak memiliki bentuk minimal pembelaan, yakni dengan kekuatan tangis dan air mata bayi yang dimiliki oleh bayi yang baru lahir, yang menyentuh hati..” (Evangelium Vitae no. 58). Padahal Allah adalah pembela kehidupan, terutama mereka yang lemah, miskin dan tidak mempunyai pembela. Di sinilah muncul prinsip vulnerability, dimana orang yang kuat harus membela dan melindungi yang lemah. Selaras dengan hati Allah yang membela yang kecil, lemah dan tidak bisa membela dirinya, maka Gereja memilih untuk berpihak pada mereka dan menegaskan untuk membela kehidupan yang sudah diyakini ada sejak pembuahan.
Dalam Kitab Hukum Kanonik / KHK (Codex Iuris Canonici – CIC) ditegaskan: “Bagi mereka yang menganjurkan, mendorong dan melakukan tindakan aborsi, sesuai dengan Hukum Gereja, mereka terkena ekskomunikasi latae sententiae” (KHK 1398). Ekskomunikasi langsung atau otomatis.

Demikianlah pernyataan sikap kami terhadap PP No. 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

Kami menolak pemberlakuan pasal 31 dan 34 yang menguraikan tentang pengecualian aborsi yang diakibatkan oleh indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.

Jakarta, 5 September 2014
P R E S I D I U M
Konferensi WALIGEREJA INDONESIA,

Mgr. Ignatius Suharyo
K e t u a

Mgr. Johannes Pujasumarta
Sekretaris Jenderal.

Dikutip dari:

http://www.sesawi.net/2014/09/12/kwi-tolak-pp-no-612014-ps-31-dan-34-tentang-pengecualian-aborsi-karena-urgensi-medik-dan-perkosaan/

4 COMMENTS

  1. Pada PP No. 61/2014, menurut saya masih terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan selain pasal 31 dan 34.

    Mengapa KWI hanya menyorot pasal 31 dan 34 saja, sedangkan tidak dibahas lebih lanjut mengenai pasal 19 sd 24 (kontrasepsi) dan 40 sd 46 (reproduksi tidak alamiah) ?

    Terimakasih.

    • Shalom Rangga,

      KWI sudah pernah mengeluarkan dokumen resmi mengenai hal kontrasepsi dan reproduksi tidak alamiah.

      Mengenai hal konstrasepsi, pedoman KWI adalah apa yang telah ditetapkan oleh Magisterium Gereja Katolik, seperti nyata dalam Humanae Vitae 14, silakan klik.

      Berikut ini adalah tanggapan dari Romo Hubertus Hartono MSF:

      “Persoalan mengenai alat kontrasepsi dan reproduksi tidak alamiah sudah menjadi diskusi lama sehingga menghasilkan program nasional yang dinamakan dengan Program Keluarga Berencana. Gereja sejak awal sudah berdialog dengan pemerintah (dalam hal ini BKKBN) untuk menegaskan sikapnya. Dan salah satu program KB yang diakui pemerintah selain kontrasepsi adalah Keluarga Berencana Alamiah.

      Pedoman Pastoral keluarga KWI no. 61 point 3 menyatakan sikap KWI
      itu demikian:

      “Di antara sejumlah cara pengaturan anak yang dilakukan selama ini, Gereja tetap meyakini dan menegaskan bahwa metode Keluarga Berencana Alami adalah satu-satunya metode pengaturan kelahiran anak yang sesuai dengan prinsip-prinsip
      moral katolik”.

      Pedoman Pastoral keluarga KWI No 61 di point 4 ditegaskan:
      “Apabila suami isteri mengalami kebimbangan dan keraguan dalam menghadapi kesulitan tersebut (pembatasan kelahiran anak dengan KBA), mereka diminta meminta nasihat kepada seorang imam untuk mencari jalan keluar. Dalam konsultasi pendampingan pastoral tersebut diharapkan memperhatikan hukum gradualitas (lex gradualitatis)”

      Artinya:
      melihat persoalan perlu dilihat situasinya, tingkat kesulitannya sejauh apa dll, sambil terus dibimbing agar dapat dilaksanakan apa ya diajarkan oleh Gereja yaitu KBA.

      Sikap KWI sudah tegas dan jelas untuk memilih KBA. Bahwa Pemerintah yang didukung seluruh elemen bangsa mempropagandakan kontrasepsi, itu menjadi keputusan nasional, namun kita memilih di antara yang ada itu KBA. Tugas kita sebagai Gereja adalah tetap mewartakan prinsip ini di tengah arus besar yang ada.”

      Selanjutnya tentang tanggapan KWI terhadap hal reproduksi tidak alamiah/ prokreasi artifisial, kami sampaikan terpisah di artikel ini, silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Melegalkan Aborsi di Indonesia?
    Peraturan Pemerintah No 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi memberi legalisasi aborsi asal embrio terjadi akibat pemerkosaaan.
    Menkes yang mengeluarkan peraturan ini notabene katolik.
    Sejauh mana peraturan tersebut masih sesuai dengan ajaran moral gereja Katolik.

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca pertanyaan KWI di atas, silakan klik]

Comments are closed.