Alangkah terkejutnya hatiku mendengarkan suara isakan tangis dari seorang ibu. Dengan suara parau, ia mengatakan bahwa suaminya baru saja meninggal dunia. “Romo, tolong doakan aku dan suamiku” merupakan kata-kata yang hanya ia bisa ucapkan. Suaminya meninggal dunia secara mendadak dalam usia yang tergolong muda pada tanggal 16 Juli 2014. Ia meninggal ketika sedang menyetir mobil di Jalan Tol Bekasi menuju kantornya karena serangan jantung. Jantung suaminya itu memang sudah diberi dua ring sejak dua tahun silam.
Aku mengenal ibu itu dalam retret perutusan Kursus Evangelisasi Pribadi XVII Paroki Santo Yakobus – Kelapa Gading tanggal 27-29 Juni 2014. Ibu itu memintaku untuk berdoa bagi seorang anaknya dan suaminya yang sakit. Dalam acara adorasi yang aku pimpin, tanggal 09 Juli 2014 di Paroki yang sama dan dihadiri lebih dari dua ratus umat, ia mengangkat penyakit anak dan suaminya di hadirat Tuhan dalam Sakramen Mahakudus. Cucuran air matanya jelas mengungkapkan kegelisahan, kesedihan, dan terutama harapan bahwa tiada yang mustahil bagi Tuhan.
Retret dan adorasi telah meneguhkan imannya dalam menghadapi kejadian yang tak terduga ini seperti yang ia katakan. Tubuh dan jiwanya sempat lunglai mendengar kepergian suaminya, tetapi tidak sampai tergeletak karena ada tanggungjawab yang harus ia tanggung. Anak sulungnya yang mulai kuliah dan anak bungsunya yang memerlukan perhatian lebih membakar semangatnya. Ungkapan kata-katanya tentang kepergian suaminya sangat mengharukan: “Sesak dadaku ketika engkau mengembuskan nafas terakhirmu tanpa aku di sisimu. Engkau telah pergi sendirian untuk selamanya tanpa diriku, tanpa bisikan kata-kataku, tanpa kata-kata yang menguatkanmu, dan tanpa pegangan erat tanganku. Aku berada dalam impian dan kenyataan. Aku menangis tersedu-sedu seakan-akan dunia tidak lagi milikku ketika aku menyadari bahwa ini adalah sebuah kenyataan. Walaupun kini hidupku sangat pahit, aku harus melaluinya. Ada kewajiban yang telah kita ikrarkan bersama dalam janji nikah yang harus aku selesaikan setelah kepergianmu”.
Suaminya memang pergi ke hadapan Tuhan tanpa tanda-tanda sebelumnya. Akan tetapi, pada malam sebelumnya, suaminya itu memberi kenangan yang indah. Ketika ia sedang berusaha tidur, suaminya itu berkali-kali melihat wajahnya. Pandangan suaminya itu merupakan ungkapan cintanya yang sekuat baja dan selembut sutera yang senantiasa mengalir bagaikan air di sungai walaupun raganya tiada lagi bersamanya. Ungkapan kasih suaminya yang manis itu pasti terukir dalam jiwanya. Kenangan itu tak akan pernah hilang. Walaupun raga tak bersamanya lagi, tetapi hati suaminya itu tetap bersamanya.
Kenangan manis itu telah membuka lebar-lebar tentang makna cintanya kepada suaminya. Apa yang ada ternyata semakin berharga setelah tiada. Ia semakin menyayangi anak-anaknya. Tangan Tuhan menyertainya dalam menjalankan tugas sebagai seorang ayah dan sekaligus seorang ibu. Anugerah Tuhan, yaitu kekuatan-Nya, menjadi sangat terasa. Kenangan manis terhadap suaminya yang ia cintai tersimpan dalan jiwanya. Kenangan manis itu pelan-pelan mencairkan rasa duka. Kebahagiaan pun mengalir kembali dalam hati karena ia mengalami kesatuan hati yang abadi.
Pesan yang kita dapat dalam peristiwa ini sangat berarti dalam meniti kehidupan ini. Tataplah orang yang kita sayangi dengan perasaan cinta dari hati. Cinta adalah ikatan dua hati. Tatapan cinta dari hati pasti semakin mengalirkan perasaan indah yang mungkin terpendam dalam jiwa selama ini. Kehidupan pun dihiasi dengan cinta yang semakin murni. Ungkapannya adalah mengabdi terhadap orang-orang yang ditinggalkan pergi oleh orang yang dicintai. Cinta itu pun menjadikan dua hati tidak akan pernah mati: “Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia pasti akan dihina” (Kidung Agung 8:7)
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC