Hasrat mensharingkan pengalaman akan kuasa Allah tak akan pernah dapat dicegah oleh perjalanan waktu dan perasaan malu. Sharing pengalaman itu menjadi sebuah ungkapan syukur yang melegakan atas kebaikan Tuhan. Itulah yang dilakukan oleh Ibu Riani yang berusia lima puluh tajuh tahun. Ia tinggal di Serpong.

Ibu Riani, pada tanggal 09 Maret 2015, mengunjungiku di Pastoran Gereja Katolik Santo Odilia – Citra Raya. Ia bertandang bersama anak-anak, menantu, dan cucu-cucunya. Ia ingin menyampaikan kepadaku tentang pengalamannya akan kebaikan Tuhan. Ia mengalami kesembuhan dari penyakit kanker rahim, dalam Adorasi Jam Suci pada tahun 2011, di Gereja Santa Odilia – Tangerang itu. Ia sudah menderita kanker rahim yang sangat parah selama bertahun-tahun. Ia tidak mau menjalani kemoterapi seperti yang disarankan tim medis di Singapore. Pada tahun 2011 itu, tim medis di Singapore, menyatakan kankernya telah menyebar ke seluruh tubuhnya. Hidupnya dinyatakan hanya tiga bulan lagi. Ia terkejut, tetapi tidak sampai patah hati. Dari kawannya, ia mendengar ada adorasi jam suci setiap Kamis Malam Jumat Pertama di Gereja Santa Odilia. Ia datang dalam adorasi itu bukan terutama untuk kesembuhan dari kankernya, tetapi lebih sebagai sebuah kesempatan terakhir baginya untuk menyembah Tuhan. Ia memegang erat Velum (kain penyelubung Sakramen Mahakudus), sambil menangis ketika Sakramen Mahakudus aku bawa kehadapannya: “Tuhan, memang semua sudah kelihatan akan lenyap, tetapi masih ada Engkau, Tuhan. Aku menyembahMu. Semoga kekudusan-Mu menyucikan jiwaku dan menjaganya sampai Allah memanggilku untuk pulang ke rumah-Nya dalam waktu dekat ini”. Perkataanku kepadanya “Bu, engkau pasti sembuh” diimaninya sebagai suara Tuhan yang menyembuhkan imannya di kala nyawanya sudah diambang surga. Ia mengisi waktu singkatnya dengan mengubah hidupnya semakin hari semakin seperti yang Tuhan kehendaki.

Pada tahun 2012, ia datang ke dokter Singapore. Ia dengan tenang siap untuk menyambut pernyataan dari tim medis tentang kematiannya. Ia siap menerima kematiannya karena mengimani bahwa kematian merupakan perpindahan hidup yang membahagiakan bagi yang telah mempersiapkan jiwanya. Setelah menjalani berbagai cek medis, tim medis menyatakan bahwa semua tumornya telah hilang dan tidak menyebar. Ia disembuhkan Tuhan secara ajaib. Namun, tim medis itu juga mengatakan bahwa sel-sel kanker itu akan bertumbuh atau berhenti total setelah lima tahun kemudian. Itulah yang membuatnya tidak berani mensharingkan pengalaman imannya ini sebelum lima tahun sejak tahun 2011. Akan tetapi, ia sangat gelisah sampai ia membagikan pengalaman anugerah kesembuhan dari Tuhan ini. Ia mengalami penyembuhan Tuhan sebagai sebuah hidup yang baru. Ia mengisi hidup baru ini dengan penuh syukur, menjaga hidupnya dari dosa, dan berbagi kasih. Ia tidak peduli pada tahun 2016 (tahun kelima) apakah kankernya akan tumbuh lagi atau tidak. Ia sudah merasakan bahwa hidup baru selama empat tahun ini sungguh memberikan kepadanya damai dan sukacita.

Pesan yang dapat kita syukuri dari ceritera ini: Tetaplah kayuh sepeda kita dengan segala kekuatan yang ada ketika angin besar menghantam kita supaya kita tidak jatuh tertimpa olehnya. Kehancuran hidup datang dari kita sendiri yang namanya menyerah dan putus asa. Jalani hidup kita ini dengan penuh kesungguhan. Terimalah kenyataan dengan jiwa besar, yaitu kesabaran. Sabar bukan berarti lemah dan kalah. Sabar adalah obat penangkal terbaik dari keputusasaan sehingga kita yang sabar disebut lebih dari pahlawan: “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota” (Amsal 16:32). Hadiah yang kita terima dari Tuhan adalah kebahagiaan. Kesimpulannya adalah sabar itu susah, sabar itu cape, sabar itu stress, sabar itu sakit, tetapi sabar itu indah.

Tuhan Memberkati

Oleh Pst Felix Supranto, SS.CC