Sumber gambar: https://tvaraj2inspirations.files.wordpress.com/2012/06/pharisees.jpg

[Hari Minggu Biasa ke XXII: Ul 4:1-8; Mzm 15:2-5; Yak 1:17-22,27; Mrk 7:1-23]

Suatu kali aku datang mengikuti perayaan Ekaristi dan duduk di samping seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun. Ketika ibadat sedang berlangsung, tiba-tiba sang kakek mencondongkan kepalanya kepadaku dan berbisik, “Lihatlah ibu itu yang berdiri di depanmu! Bayangkan betapa sulitnya waktu ia mengenakan celana panjangnya…. hehehe…” Sang kakek terkekeh. Aku agak terkejut, dan spontan aku langsung melihat kepada wanita setengah baya yang berdiri di depanku. Ia mengenakan celana legging yang sangat pas atau lebih tepatnya, sempit. Walaupun sudah tua, sang kakek ternyata masih memperhatikan para wanita di sekitarnya. Malah mungkin terlalu memperhatikan, demikian pikirku. Tiba-tiba kusadari bahwa   pikiranku sudah buyar. Tadi doanya sampai di mana ya?…. Buru-buru aku minta ampun kepada Tuhan. Ternyata tidak mudah untuk menjaga kemurnian hati, termasuk dan terutama, pada saat kita sedang berdoa menghadap Tuhan!

Bacaan Injil dalam Misa di hari-hari belakangan ini, mengisahkan tentang perkataan keras Tuhan Yesus kepada orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Pasalnya, mereka terlalu memperhatikan hal-hal lahiriah daripada yang  rohaniah. Mereka lebih mementingkan kebersihan tangan dan berbagai perkakas, daripada kemurnian hati. Ironisnya, di zaman sekarang, ada sikap ekstrim yang lain. Menganggap bahwa semua hal lahiriah itu tidak penting, maka orang datang kepada Tuhan dengan sikap seadanya, berpakaian semaunya, dan berpikir  “ah, kan yang penting hati.” Diperlukan kejujuran dari diri kita masing-masing, untuk menjawab, apakah sikap semacam itu menunjang sikap batin yang layak untuk menghadap Tuhan. Sebab sikap lahiriah kita saat beribadah, dapat mempengaruhi sikap rohaniah kita sendiri, maupun orang lain yang sedang beribadah bersama kita. Dalam contoh di atas, ibu itu mungkin tidak menyadari bahwa caranya berpakaian membuat orang lain terganggu saat berdoa. Menjadi permenungan bagi kita, apakah cara kita berpakaian dan sikap kita dalam ibadah mengganggu atau mendukung orang lain untuk mengarahkan hati kepada Tuhan? Apakah sikap kita mencerminkan kemurnian hati dan penghormatan kita kepada Tuhan? Sebab kalau ternyata tidak, kita tidak lebih baik daripada orang-orang Farisi itu. Mereka bahkan masih lebih mendingan, karena biar bagaimanapun, mereka memberi perhatian khusus kepada hal kebersihan lahiriah—dan tentunya kesopanan—saat berdoa menghadap Tuhan. Kita di zaman sekarang malah cenderung defisit dalam hal kedua-duanya. Sudah sikap lahiriahnya kurang layak, sikap batiniahnya juga kurang murni. Bukankah sering diumumkan di gereja, agar umat menjaga kebersihan dan tidak meninggalkan tissue di bangku? Bukankah ada cukup banyak orang yang berpakaian terlalu pendek dan terlalu cuek saat menghadiri Misa, sampai diperlukan poster untuk menegurnya? Bukankah ada saja umat yang asyik ber-hp meskipun duduk tak jauh dari tabernakel di mana Tuhan sendiri hadir?  Dan bukankah begitu mudahnya pikiran kita diisi oleh berbagai hal yang mengalihkan perhatian kita dari Allah? Sungguh keeratan kasih kita dengan Tuhan nampak pertama-tama dalam sikap batin, dan karena itu Tuhan Yesus mengingatkan kita untuk memeriksa apa yang ada di dalam hati kita. Sebab jika sikap batin kita sudah baik, maka dengan sendirinya sikap kita yang nampak dari luar juga akan baik. 

Jadi nampaknya kita perlu senantiasa berjuang untuk menyelaraskan apa yang kita imani di dalam hati dengan apa yang kita lakukan sebagai konsekuensinya. Dengan kata lain, kita perlu berusaha agar sikap penghormatan kepada Tuhan di dalam batin sesuai dengan sikap lahiriah kita. Kesesuaian sikap batiniah dengan lahiriah ini membantu kita menjadi pelaku firman, dan bukan hanya pendengar saja. Sebab pelaku firman adalah orang yang perbuatannya sesuai dengan firman Allah yang diimaninya. Dengan kesesuaian ini, maka keseluruhan hidupnya menjadi ibadah, dan ibadahnya tidak terbatas hanya pada saat sedang beribadat. Orang yang hatinya murni akan berjuang untuk melakukan ibadah yang sejati dan tak bercela di hadapan Allah. Yaitu dengan mengunjungi sesama yang dalam kesusahan dan menjaga dirinya sendiri agar tidak dicemari oleh dunia (lih. Yak 1:27). St. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa kemurnian itu penting bagi semua orang, sebab kemurnian adalah “syarat bagi cinta kasih, sebuah dimensi kebenaran terdalam di dalam hati manusia” (Audiensi Umum, 3 Desember 1980). Mari kita dengan jujur memeriksa batin: Apakah pikiran, perkataan dan perbuatan kita mencerminkan kemurnian hati? Apakah kita cenderung menghalangi kemurnian hati orang lain dengan penampilan, sikap dan tindakan kita? Singkatnya, apakah kita sudah memiliki kemurnian hati? Jika belum, marilah kita dengan rendah hati memohon ampun kepada Tuhan dan datang kepada-Nya dalam sakramen Tobat. Semoga rahmat pengampunan Tuhan memulihkan kita dan membantu kita untuk bertumbuh dalam kemurnian hati.

Tuhan Yesus, aku sungguh ingin menjadi orang yang murni dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Kumohon ya Tuhan, perolehlah bagiku, kesederhanaan dan kesantunan yang akan tercermin dalam sikap dan tindakanku yang terlihat dari luar. Jagalah mataku—yang merupakan jendela bagi jiwaku—dari segala sesuatu yang dapat meredupkan cahaya hatiku, yang selayaknya hanya mencerminkan kemurnian menurut teladan-Mu. Semoga Komuni kudus yang kuterima, memeteraikan hatiku selamanya untuk melawan segala godaan kesenangan daging yang membawa kepada dosa. Hati Yesus yang Mahakudus, Mata air segala kemurnian, kasihanilah aku. Jadikanlah hatiku murni, ya Tuhan, supaya aku mampu menjadi pelaku firman-Mu.  Amin.”