Home Blog Page 89

Memperbarui persembahan diri kita kepada Allah

1

[Pesta Yesus dipersembahkan di kenisah: Mal 3:1-4:3; Mzm 24:7-10; Ibr 2:14-18; Luk 2:22-40]

Hari ini kita memperingati hari Yesus dipersembahkan di kenisah di Yerusalem, tepat empat puluh hari setelah kelahiran-Nya, yang juga bertepatan dengan waktu pentahiran. St. Yusuf dan Bunda Maria membawa Yesus untuk dipersembahkan kepada Allah, agar memenuhi hukum Taurat Musa, bahwa semua anak sulung, yaitu semua yang lahir terdahulu dari kandungan, baik manusia maupun hewan, adalah milik Allah (lih. Kel 13:2,12-13). Persembahan ini menjadi kenangan yang hidup, akan bagaimana Allah membebaskan bangsa Israel dari penjajahan Mesir. Yaitu saat Allah membinasakan semua anak sulung dari bangsa Mesir, baik manusia maupun hewan, sedangkan anak- anak sulung dari bangsa Israel diselamatkan-Nya karena tanda darah kurban anak domba, yang dibubuhkan di ambang pintu-pintu rumah mereka. Setelah peristiwa ini, bangsa Israel selalu mempersembahkan anak binatang yang sulung sebagai kurban kepada Allah.  Sedangkan anak sulung mereka, mereka tebus dengan kurban, sebagai tanda bahwa anak itu adalah milik Tuhan (Kel 13:15). Untuk maksud inilah St. Yusuf dan Bunda Maria mempersembahkan sepasang burung tekukur dan dua ekor anak merpati, yaitu ketentuan kurban tebusan bagi umat yang miskin.

Di kenisah itulah, St. Yusuf dan Bunda Maria bertemu dengan Simeon dan Hana. Mereka menerima pernyataan dari Roh Kudus, sehingga mereka mengenali bahwa Anak yang dalam pelukan Bunda Maria itu adalah Mesias: keselamatan dari Allah, terang bagi bangsa-bangsa dan kemuliaan bagi umat Israel (lih. Luk 2:29-32). St. Bernardus mengatakan dalam salah satu khotbahnya tentang perayaan hari ini, yang sering ditandai dengan prosesi, demikian, “Hari ini Perawan Maria membawa ke kenisah, Sang Tuhan-nya kenisah….” St. Bernardus kemudian menyebutkan bahwa St. Yusuf, Bunda Maria, Simeon dan Hana, adalah empat orang pertama yang memulai prosesi sukacita, yang akan terus diperingati sampai ke ujung bumi. Prosesi ini kemudian dilanjutkan oleh Gereja dengan tradisi prosesi lilin yang melambangkan Kristus Sang Terang dunia. Kita membawa lilin-lilin untuk diberkati dan digunakan pada saat berdoa, lambang yang mengingatkan bahwa kitapun dipanggil untuk menjadi seperti Kristus yang mempersembahkan diri-Nya kepada Allah Bapa. Gereja mengajak kita untuk membawa Terang Kristus kepada dunia dan orang-orang di sekitar kita.

Hari ini, kita juga memperingati saat Bunda Maria mempersembahkan Puteranya, dan mempersembahkan dirinya sendiri kepada Allah. Bunda Maria memperbarui ketaatannya kepada Allah, “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu” (Luk 1:38), sebagaimana dikatakannya kepada malaikat yang menyampaikan Kabar Gembira dari Allah kepadanya. Maka, hari ini kitapun diundang untuk memperbarui ketaatan kita kepada Allah.  Yaitu, agar kita dapat mengikuti teladan Bunda Maria, mau mempersembahkan seluruh diri kita, pikiran dan karya kita, kepada Allah.  Sejujurnya, betapa sedikitlah yang dapat kita persembahkan kepada Allah, sebab segala sesuatu yang ada pada kita, toh sebenarnya juga dari Allah dan milik Allah. Persembahan sederhana Bunda Maria- sepasang tekukur dan merpati- menjadi sungguh istimewa, sebab disatukan dengan persembahan Kristus. Maka, mari kita juga mempersembahkan persembahan kita, dan kita satukan dengan persembahan Kristus, agar berkenan bagi Allah Bapa. Doa-doa, karya, bakat dan sejumlah berkat Allah yang kita terima dari Allah, kita persembahkan kembali kepada Allah, dan kita persatukan dengan kurban Kristus dalam Ekaristi kudus. Maka apa yang nampaknya tidak berarti menjadi begitu bernilai, sebab telah disatukan dengan kurban Kristus yang nilainya tiada terkira. Semoga Allah Bapa berkenan menerima persembahan kita sebagaimana Ia menerima persembahan St. Yusuf dan Bunda Maria.

Hari ini, mari kita berdoa bersama St. Alfonsus Liguori, “Hari ini, O Bundaku, aku juga mengikuti teladanmu, hendak mempersembahkan hatiku yang miskin kepada Allah… Persembahkanlah aku sebagai milikmu juga kepada Allah Bapa dan kepada Yesus, dan berdoalah kepada Bapa, supaya melalui jasa Kristus Putera-Nya, dan oleh doa-doamu, Ia dapat menerimaku dan menjadikan aku sebagai milik-Nya sendiri….”

Mengapa disebut Misteri Paskah?

5

Istilah Misteri Paskah (Mysterium paschale ) kerap digunakan dalam Konsili Vatikan II (1963-1965) sebagai istilah yang mengacu kepada karya penebusan Kristus yang diwartakan dan dilaksanakan di dalam liturgi.

Dalam Konstitusi tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium, Konsili menjelaskannya sebagai berikut:

“Adapun karya penebusan umat manusia dan permuliaan Allah yang sempurna itu telah diawali dengan karya agung Allah di tengah umat Perjanjian Lama. Karya itu diselesaikan oleh Kristus Tuhan, terutama dengan misteri Paska: sengsara-Nya yang suci, kebangkitan-Nya dari alam maut, dan kenaikan-Nya dalam kemuliaan. Dengan misteri itu Kristus “menghancurkan maut kita dengan wafat-Nya, dan membangun kembali hidup kita dengan kebangkitan-Nya”. Sebab dari lambung Kristus yang beradu di salib muncullah Sakramen seluruh Gereja yang mengagumkan.” (SC 5, lih juga SC 10, 47,61)

Kata “Paska” ini sendiri berasal dari kata Ibrani “Pesach” yang artinya passover, ‘dilewati/ diluputkan’ yang mengacu kepada pembebasan bangsa Israel dari penjajahan Mesir, ketika malaikat maut melewati/ meluputkan rumah-rumah orang Israel yang ditandai dengan darah anak domba (lih. Kej 12:21-24). Bangsa Israel kemudian memperingati peristiwa ini dengan perjamuan anak domba, yang disebut sebagai perjamuan paska. Bangsa Israel memperingati perjamuan paska ini setiap tahun untuk memperingati perayaan penebusan, perjanjian Allah dengan mereka, dari penjajahan perbudakan menuju kebebasan, dari kematian menuju kehidupan. Nah bagi kita umat Kristen, peristiwa ini diperingati dan disempurnakan dalam perayaan Paskah, di mana Kristuslah Sang Anak Domba Paska yang dikurbankan, untuk membebaskan kita manusia dari penjajahan dosa. Ini merupakan perayaan penebusan kita sebagai umat Kristiani. Dan karena Baptisan merupakan perayaan disatukannya kita dengan kematian dan kebangkitan Kristus Sang Anak Domba Allah yang oleh-Nya kita menerima penebusan dosa, maka dalam perayaan Paska, kita juga memperingati Baptisan kita.

Menurut Fr. Raniero Cantalamessa OFM Cap, pengkhotbah Kepausan, interpretasi misteri Paska menurut para Bapa Gereja dapat disimpulkan mencakup empat dimensi ((Cantalamessa R. OFMCap,  Introduction, in: Easter in the Early Church, (1993) p. 2-3)):

1) Sejarah. Kejadian-kejadian sejarah membentuk pondasi bagi misteri Paska dan diperingati dalam liturgi Paska.

2) Sakramen dan mistagogi. Kejadian-kejadian historis tentang wafat dan kebangkitan Kristus dinyatakan di dalam diri umat sebagai jalan dari kematian menuju kehidupan. Pertama-tama hal ini dicapai dalam Baptisan dan Ekaristi, tetapi perayaan Paska sebagai keseluruhan, itu sendiri adalah sebuah sakramen, yaitu sakramen Paska, paschale sacramentum.

3) Moral dan kehidupan rohani. Paska merupakan peralihan- pemutusan hubungan dengan kejahatan, pertobatan menuju kebaikan, dan kemajuan dalam kehidupan rohani, sampai mencapai tempat peralihan abadi di Kerajaan Allah.

4) Eskatologis. Di tahun-tahun awal Gereja merayakan Misteri Paskah dengan pengharapan yang jelas akan kedatangan Kristus kembali. Namun lambat laun, komunitas-komunitas Kristen telah memusatkan diri kepada kehadiran Kristus di dalam Gereja sebagai antisipasi liturgis tentang Parousia (kedatangan Kristus yang kedua di akhir zaman). Eskatologi Paskah juga mendorong kerinduan bagi Paska surgawi, maka Misteri Paska menjadi janji akan kehidupan kekal.

Kata “Misteri” berasal dari kata “mysterium (Latin)/ mysterion (Yunani)”, artinya rahasia. Dari keempat dimensi di atas, nyatalah:

1) Adanya suatu ‘rahasia’ rencana Allah, yang bekerja di sepanjang sejarah manusia, yang mencapai puncaknya dalam pengorbanan Kristus di kayu salib, kebangkitan-Nya dan kenaikan-Nya ke Surga.

2) Demikian juga adalah suatu ‘rahasia’ rencana Allah yang terus berkarya dalam sakramen-sakramen Gereja untuk menghadirkan kembali peristiwa pengorbanan, kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus Putera-Nya ke Surga, terutama dalam Baptisan dan Ekaristi.

Dan oleh kuasa Roh Kudus-Nya peristiwa pengorbanan Kristus, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga, dihadirkan kembali secara sakramental dalam perayaan Ekaristi. Maka Ekaristi tidak menjadikan misteri Paska sebagai kenangan biasa. Kehadiran Kristus yang nyata dalam Ekaristi merupakan kurnia-Nya yang terbesar kepada Gereja. Dalam Ekaristi, Kristus menggenapi janji-Nya, “Akulah Roti Hidup yang turun dari Surga. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup… Ia yang makan daging-Ku dan minum darah-Ku akan memperoleh hidup yang kekal… tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu…. (lih. Yoh 6:51,54,56)

Dalam perayaan Ekaristi, kurban Kristus dihadirkan kembali, sebagai peringatan/ kenangan akan Tuhan Yesus yang berpesan, “Lakukanlah ini sebagai peringatan akan Aku,” dan sebagai perjamuan kudus yang melaluinya kita dapat mengambil bagian dalam kurban Paska dan memperbaharui perjanjian baru yang telah dibuat oleh Allah dengan ditandai dengan darah Kristus (lih. Eucharisticum Mysterium 3).

3) Juga dalam kehidupan rohani seseorang, adanya misteri Paska, yang artinya peralihan/ pertobatan, dari kehidupan lama ke kehidupan baru bersama Kristus, tak jarang menyimpan misteri/ rahasia tersendiri, yaitu, bagaimana seseorang dapat sungguh bertobat dari dosa yang telah lama mengikatnya. Sesuatu perubahan yang tak terpikirkan dapat terjadi, sebagai bagian dari misteri/ rahasia karya Allah dalam hidup kita masing-masing.

4) Akhirnya, jika kita menyadari bahwa penggenapan rencana Allah akan tercapai dengan sempurna di akhir zaman, kita juga akan melihat bahwa hal ini merupakan misteri/ rahasia Allah yang belum dapat kita ketahui dengan pasti sekarang ini. Sebab kita tidak tahu kapan saatnya akan tiba, dan seperti apakah kesempurnaan Paska surgawi itu. Yang jelas akan ada persatuan/ persekutuan yang tak terpisahkan antara kita dengan Allah, sebagaimana telah kita alami di dunia ini dengan menyambut Kristus dalam Ekaristi.

Selanjutnya, untuk menjelaskan makna yang lebih rinci tentang misteri/ ‘rahasia’ tersebut, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian:

KGK 774    Kata Yunani “musterion” (rahasia) dijabarkan dalam bahasa Latin dengan dua istilah: “mysterium” dan “sacramentum“. Menurut tafsiran di kemudian hari istilah “sacramentum” lebih banyak menonjolkan tanda kelihatan dari kenyataan keselamatan yang tak kelihatan, sedangkan kenyataan tak kelihatan itu sendiri dimaksudkan dengan istilah “mysterium“. Dalam arti ini Kristus sendiri adalah misteri keselamatan: “Misteri Allah tidak lain dari Kristus sendiri” (Agustinus, cp. 187,11,34). Karya keselamatan dari kodrat manusiawi-Nya yang kudus dan menguduskan adalah sakramen keselamatan yang dinyatakan dalam Sakramen-sakramen Gereja (yang oleh Gereja-gereja Timur juga disebut “misteri-misteri kudus”) dan bekerja di dalamnya. Ketujuh Sakramen itu adalah tanda dan sarana, yang olehnya Roh Kudus menyebarluaskan rahmat Kristus, yang adalah Kepala di dalam Gereja, Tubuh-Nya. Jadi, Gereja mengandung dan menyampaikan rahmat yang tidak tampak, yang ia lambangkan. Dalam arti analog ini, ia dinamakan “sakramen”.

Sebagai rangkuman, Paus Yohanes Paulus II menghubungkan Misteri Paska dengan penciptaan di awal mula dunia, puncak sejarah keselamatan (yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke Surga) dan penggenapan eskatologis di akhir zaman:

“Misteri Paska Kristus adalah pewahyuan penuh akan misteri asal usul dunia, puncak dari sejarah keselamatan dan antisipasi dari penggenapan eskatologis tentang dunia. Apa yang diselesaikan dalam Penciptaan dan ditempakan bagi umat-Nya dalam kitab Keluaran, telah menemukan penggenapan yang sepenuhnya dalam Wafat Kristus dan kebangkitan-Nya, meskipun penggenapannya secara definitif tidak akan datang sampai saat Parousia, ketika Kristus datang kembali dengan mulia…  (Dies Domini, 18)

Akhirnya, mari mengacu kepada surat Rasul Paulus yang telah mengajarkan betapa rahasia/ musterion kehendak Allah telah ada sejak semula, dan telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus, sebagai persiapan akan penggenapannya di akhir zaman kelak saat segala sesuatunya telah dipersatukan di dalam Kristus. Demikian yang dikatakan oleh Rasul Paulus:

“Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya. Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian. Sebab Ia telah menyatakan rahasia (musterion) kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi…” (Ef 1:3-10)

Menginjak kepala saudaraku

0

Engkau hanya menganggap saudara-saudaramu sebagai batu loncatan. Namun saat engkau gagal, engkau mengharapkan belas kasihan dari mereka, sesuatu yang tidak engkau berikan pada mereka.” – St. Josemaria Escriva

Ketika Ia berbisik melalui kata-kata St. Josemaria Escriva, akal budi dan kesombonganku protes keras. Akan tetapi, jauh dalam hati nuraniku, aku merasa kata-kata itu ada benarnya. Aku tercengang melihat gerakan kontras dalam hatiku ini. Di satu sisi, aku merasa kata-kata itu benar. Di sisi lain, aku tidak percaya karena aku merasa telah memperlakukan saudara-saudara sebiaraku dengan cukup baik. Semakin aku renungkan, mungkin memang aku hanya “cukup” baik dalam mencintai mereka. Aku belum mencintai mereka sebagaimana yang Yesus inginkan dariku.

Yesus Berdoa dalam Sakratul Maut di Gethsemani.

Ketika di Gethsemani, Yesus bergulat dengan kecemasan dan ketakutan-Nya sebagai manusia dalam menghadapi derita Salib. Di hadapan-Nya, terpampang dosa dan kengerian akibat kejahatan manusia. Terlintas pula gambar kekejian dosa-dosa yang aku lakukan. Pada akhirnya, Ia meminum cawan derita itu. Ia memeluk semua pendosa sebagai saudara-Nya dan mencintai mereka. Ia tetap mencintai pendosa, walau membenci dosa yang mereka. Dapatkah aku tetap mencintai saudara-saudaraku apa adanya, sekalipun banyak kekurangan?

Yesus Dicambuk.
Yesus dijatuhi hukuman salib, yang mengharuskanNya dicambuk terlebih dahulu. Cambuk berduri si prajurit Romawi merobek Tubuh Kristus. Ia tidak bersalah, dan apa yang dialamiNya adalah sebuah ketidakadilan. Tapi, Yesus menjalani penderitaan itu dengan rela. Ia mempersembahkan Tubuh-Nya sebagai korban demi saudara-saudara-Nya manusia, demi aku. Sanggupkah aku membaktikan tubuhku untuk saudara-saudaraku?

Yesus Dimahkotai Duri.
Yesus, sebagai Raja Israel yang Sejati, Penguasa Alam Raya, layak mendapat kemuliaan setinggi-tingginya. Hanya Ia seorang yang layak. Ketika berinkarnasi menjadi manusia, Ia mendapat mahkota di dunia ini. Namun, mahkota yang diperolehNya adalah mahkota duri. Ia diberi jubah dan tongkat kerajaan. Namun, itu semua hanyalah sindiran dan olok-olokan belaka. Dengan kerendahan hati yang luar biasa, Ia menjalani semua itu. BagiNya, jiwa manusia lebih penting dari kehormatan dan harga diri-Nya. Maukah aku mempersembahkan harga diriku demi saudara-saudaraku? Jika Tuhan meletakkan kemuliaan-Nya demi manusia, kenapa aku masih memegang harga diriku?

Yesus Memanggul Salib.
Yesus telah dicambuk, dipukul, dan dihina. Ia telah letih secara fisik dan mental. Namun, itu semua seolah masih belum cukup. Ia masih harus memanggul sendiri salib-Nya yang berat menuju Golgota. Tubuhnya yang penuh luka dan lelah sempat menolak dan ingin menyerah hingga tiga kali. Namun, hati dan jiwa-Nya dipenuhi cinta yang mendorongNya untuk terus maju. Apakah aku rela mendorong jiwa dan ragaku menembus keletihan dan halangan demi saudara-saudaraku, sekalipun situasi terlihat hampir tidak mungkin?

Yesus Wafat di Salib.
Langit berubah gelap. Mentari bersembunyi dibalik awan yang murung. Bumi berguncang menahan senggukan tangisnya. Bahkan, para malaikat menudungkan sayap mereka untuk menyembunyikan air mata mereka. Seluruh ciptaan menyaksikan Allah yang wafat disalib bagi Kekasih-Nya. Ia memberikan seluruh Diri-Nya, kemuliaan-Nya, cinta-Nya secara penuh pada manusia. Walau demikian, masih ada saja orang-orang yang menolak cinta-Nya, sekalipun berdiri di dekat salib. Ia memberikan Diri-Nya padaku. Relakah aku menyerahkan seluruh hidupku demi saudara-saudaraku? Relakah aku berkorban secara penuh bagi mereka sekalipun mereka menolak aku?

Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” – Tuhan Yesus (Mat 22 : 39).

Eling Sangkan Paraning Dumadi (Ingat Asal dan Tujuan Hidup)

0

Pengantar dari editor:
Pastor Felix Supranto, SS.CC yang setia menuliskan sharing pelayanan imamatnya kepada umat Tuhan di dalam kolom artikel “Pelayanan”, kali ini ingin berbagi pengalaman olah batin menandai akhir tahun 2013 dan akhir tahun iman yang diperuntukkannya bagi kita semua. Terima kasih Pst Felix, semoga karya dan perjalanan iman Pastor terus disempurnakan Tuhan dalam meneguhkan iman, kasih, dan harapan kami kepada Allah di peziarahan kehidupan dunia ini menuju kepadaNya

Di dalam jiwaku ada tekad untuk mengadakan sebuah retret pribadi yang menandai akhir tahun 2013 dan akhir tahun iman dengan memanfaatkan liburan tahunanku. Retret pribadi ini bukan di rumah retret yang sunyi, tetapi di dalam perjalanan ke tempat-tempat ziarah dari Jawa Tengah sampai Jawa Barat dengan menyetir jip tuaku sebagai salah satu bentuk matiragaku. Aku yakin di tempat-tempat itu aku merenungkan Sangkan Paraning Dumadi (Asal dan Tujuan Hidup). Tempat-tempat itu bukan sembarang tempat, tetapi tempat ziarah setelah terjadi olah batin tingkat tinggi dari para umat Allah yang terpilih.

Ada lima tempat ziarah yang aku jadikan sarana untuk lebih bersatu dengan Tuhan.

Pertama: Aku mengunjungi Gua Maria Sriningsih yang terletak di Dusun Gayamharjo-Klaten, pada hari Sabtu tanggal 28 Desember 2013. Pandangan sebuah bukit yang indah di mana Gua Maria berada membuat perjalananku penuh dengan antusias untuk mencapainya. Pematang sawah di pinggir jalan dan teduhnya pohon-pohon menetramkan hati setelah bergulat dengan panasnya perjalanan dari Yogyakarta. Ketika menaiki tangga menuju Gua Maria, aku melihat pohon-pohon beringin yang tua yang mengalirkan rasa merinding, bukan magic, tetapi aliran Roh yang menandai kesucian Bunda Maria. Aku berlutut berdoa di hadapan arca Bunda Maria Sriningsih, yang berarti Pengantara Berkat. Berkat yang dianugerahkan Allah adalah ketentraman hati atau batin.

Kedua: Ketentraman hati itu berasal dari Hati Kudus Yesus yang aku renungkan di Candi Hati Kudus Yesus Ganjuran di Yogyakarta. Sabda Tuhan Yesus “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu” (Matius 11:28)” terus menerus terdengar di dalam hatiku saat aku berdoa.

Ketiga: Ketentraman hati terjadi melalui kesetiaan dalam panggilan hidup yang aku renungkan di depan pemakaman Romo Sandjaya Pr di Muntilan pada hari Minggu tanggal 29 Desember 2013. Romo Sandjaya setia sebagai imam sampai wafat sebagai seorang martir.

Keempat: Kesetiaan terjadi ketika batin dan jiwa dikuatkan dengan Roti Kehidupan dalam adorasi kekal di Gua Maria Kereb di Ambarawa yang aku lakukan pada tanggal 29 Desember malam. Gua Maria Kereb mencerminkan kesetiaan Bunda Maria dan kedekatannya dengan Tuhan Yesus Kristus, Puteranya. Aku merenungkan kedekatan Bunda Maria dengan Puteranya itu dengan berdoa di depan patung Tuhan Yesus Kristus yang membuat mukjizat perubahan air menjadi anggur. Perubahan air menjadi anggur melambangkan perubahan kehidupan lama yang penuh dengan dosa menjadi kehidupan yang kudus yang memberikan sukacita.

Kelima: Sukacita kekal dianugerahkan di surga setelah menjalani dengan setia kehidupan yang sulit. Sukacita surga itu dicapai melalui renungan Jalan Salib di Gua Maria Sawer Berkat (Bunda Maria Terberkati/mencurahkan berkat Allah), di atas bukit Totombok Cisantana – Kuningan – Jawa Barat yang aku jalani pada hari Selasa tanggal 31 Desember 2013. Jalan salib menuju puncak di tempat Gua Maria, sangat tinggi kira-kira 700 m, dan berat karena jalan cukup licin apalagi hari itu hujan rintik-rintik. Sebelum memasuki jalan salib, aku berlutut di Taman Getsemani bersama Tuhan Yesus Kristus yang memilih kehendak Bapa-Nya setelah pergulatan yang sangat berat: “Ya, Bapa-Ku, jikalu sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Matius 26:39). Aku merasa sangat bahagia ketika sampai di puncak bukit di mana salib besar tertancap di sana dengan pohon-pohon rindang seakan-akan menjadi payung salib itu. Di depan salib itu, mataku terheran-heran karena tiba-tiba cahaya matahari yang indah bersinar di tengah hujan dan kabut di sela-sela pepohonan-pepohonan itu. Cahaya matahari tersebut mengingatkan aku akan Bunda Maria yang disebut sebagai perempuan berselubungkan matahari: “Maka tampaklah suatu tanda besar di langit : seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya” (Wahyu 12:1).

Lokasi Gua Maria Sawer Rahmat berada di bawah salib itu. Ketika sedang berjalan menuju gua itu, aku terpeleset dan jatuh persis di depan perhentian keempatbelas “Yesus dimakamkan”. Aku menghayati kejatuhanku itu sebagai Tuhan telah memakamkan kegagalan dan dosaku selama hidupku sehingga aku mudah-mudahan bisa menyawerkan berkat-Nya. Di depan patung Bunda Maria, aku bersimpuh atas berkat keselamatan yang telah diberikan Tuhan kepadaku. Aku bersyukur di puncak bukit Totombok ini: “Tuhan, terimakasih atas penguatan-Mu sehingga aku bisa mengakhiri tahun 2013 dan tahun iman dengan perjalanan rohani”. Bukit merupakan simbol dari Tuhan sendiri sehingga keberadaanku di atas bukit ini aku alami sebagai berada bersama Tuhan: “Ya Tuhan, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku !” (Mazmur 18:3).

Sukacita di atas bukit harus aku bawa turun ke bawah, tempat kehidupan biasa, yaitu untuk berbuat baik. Berbuat baik dalam tahun pelayanan ini merupakan cara untuk mencapai ketentraman hati. Tiga hal yang akan aku usahakan dalam tahun pelayanan ini untuk berbuat baik, yaitu : “Yen kenceng aja nglancangi” yang artinya jika cepat jangan mendahului; “Yen landep aja natoni” yang artinya jika tajam jangan melukai; “Yen pinter aja ngguroni” yang artinya jika pintar jangan menggurui. Ketiga wejangan itu berisi sikap nglembah manah dan andhap asor, yaitu sikap rendah hati serta tak meremehkan orang lain. Ketentraman jiwa terwujud dalam sikap yang tidak congkak, pongah, serta sombong. Seberapapun kemampuan yang aku miliki, aku harus tetap memposisikan sepadan dan sejajar dengan sesama. Tuhan Yesus telah mengajarkan hal ini : “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:29).

Pesan dalam perjalanan rohani ini dapat aku simpulkan: Di dalam keheningan tempat-tempat ziarah, aku diingatkan akan Tuhan Allah, Sang Sumber Kehidupan. Allah senantiasa ingin mencurahkan berkat-Nya, yaitu ketentraman jiwa. Ketentraman jiwa diperoleh melalui kesetiaan dalam menjalani panggilan hidup. Kesetiaan ditopang dengan Roti Kehidupan. Ketentraman sejati adalah bersatu dengan Tuhan yang harus dicapai melalui ketekunan dalam menjalani salib kehidupan. Ketentraman jiwa harus dibagikan kepada sesama dengan bersikap rendah hati dalam memperlakukan mereka.

Tuhan Memberkati

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Interpretasi Why 6

1

Berikut ini adalah interpretasi perikop Why 6:1-17, yang kami sarikan dari sumber utama, Haydock’s Commentary on Holy Scripture:

Para ahli Kitab Suci mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang penafsiran perikop ini, tentang apakah yang harus dimengerti mengenai isi yang dimeteraikan. Ada yang menghubungkannya dengan sejumlah penganiayaan, orang-orang tertentu, ataupun kejadian tertentu.

1-2. Meterai pertama: seorang yang menunggangi kuda putih. Ini dihubungkan dengan ‘Sabda Tuhan’ yang disebutkan juga di bab 19, menunggangi kuda, dan diberi mahkota. Kuda putih melambangkan kemenangan. Ini diartikan sebagai Kristus yang menang mengatasi semua musuh Gereja-Nya (yang dilambangkan dengan ketiga pengendara kuda lainnya). Ia membawa busur panah di tangan-Nya, yaitu ajaran Injil, yang menembus bagaikan anak panah di hati para pendengar-Nya. Mahkota diberikan sebagai tanda kemenangan. Kuda merah melambangkan perang; kuda hitam, bencana kelaparan; dan kuda pucat, wabah penyakit.

3-4: Meterai kedua. Kuda merah melambangkan perang dan penganiayaan. Dapat diartikan sebagai penganiayaan kejam yang dilakukan oleh para kaisar Romawi terhadap agama Kristen, di mana mereka dengan kejam telah membunuh orang-orang yang percaya kepada Kristus.

5-6: Meterai ketiga: Kuda hitam dengan penunggang yang membawa timbangan: sejumlah gandum untuk sedinar (gaji sehari), tiga ukuran jelai juga sedinar, tapi jangan merusakkan minyak dan anggur. Ini menggambarkan hasil dari perang yang dimenangkan: pemenangnya bahkan juga menjadi miskin, dengan hanya gaji sehari, minimal agar dapat bertahan hidup. Maka kuda hitam ini melambangkan musibah kelaparan, seperti yang dialami oleh daerah kekuasaan Romawi sepanjang pemerintahan para kaisar yang melakukan penganiayaan.

7-8: Meterai keempat: Kuda yang pucat, penunggangnya adalah Maut. Ini juga menggambarkan penganiayaan/ perang, dan secara khusus wabah penyakit yang mengikutinya, yang terjadi di empat bagian dunia daerah kekuasaan Romawi. Kuda pucat dan pengendaranya yang diikuti oleh kerajaan maut (neraka) menggambarkan keadaan kematian yang mengenaskan. Ini terjadi pada bangsa Romawi, dan sejarah telah mencatat kenangan tentang hal ini, yang menunjukkan bahwa nubuat Rasul Yohanes tentang hal ini telah tergenapi. Selanjutnya dikatakan bahwa hanya seperempat bumi yang dihancurkan.

9-11: Meterai kelima dan keenam: Doa-doa dari para martir di Surga. Mereka memohon keadilan, mohon agar para musuh Kristus dapat ditundukkan agar semua orang dapat mengakui keadilan Tuhan, dengan adanya hukuman bagi para musuh Kristus dan iman Kristen, dan penghargaan bagi para pelayan-Nya yang setia. St. Hieronimus, dengan ungkapan ‘di bawah altar/ mezbah’, memahami bahwa altar itu adalah gambaran Kristus sendiri dan di bawah-Nya adalah semua martir-Nya yang wafat di bawah Sang Kepala. Demikianlah jiwa para kudus itu hidup di Surga, sementara tubuh mereka disimpan di bawah altar-altar dalam gereja kita.

“Membalaskan darah kami”, yang dimohonkan oleh para orang kudus itu bukanlah kebencian terhadap para musuh mereka, tetapi mereka memohon semangat yang kuat bagi kemuliaan Allah dan kehendak bahwa Allah akan mempercepat Penghakiman Terakhir dan kebahagiaan/ pandangan kepada Allah yang sempurna (beatitude) bagi semua orang pilihan-Nya. Mereka memohon Allah membalas darah mereka bukan melalui kebencian terhadap musuh mereka namun melalui semangat yang besar yang telah mendorong mereka, untuk melihat keadilan Tuhan dinyatakan: agar dengan demikian semua orang dapat didorong untuk bertobat. Demikianlah dalam Kitab Suci kita membaca bagaimana para nabi memohon kepada Allah untuk menjadikan para musuh mereka menjadi bingung untuk menjadikan mereka rendah hati. “Jubah putih” adalah tanda kemurnian para martir tersebut, sebagai jaminan bahwa mereka akan memandang Allah. “Beristirahat sedikit waktu” kemungkinan mereka harus bersitirahat hingga terjadinya hari pembalasan terakhir, ketika jumlah orang-orang yang telah ditentukan untuk kebahagiaan, telah tergenapi. Maka mereka akan semua mengalami penghargaan dan para penganiaya mereka akan tercengang (St. Augustine, Serm. xi. de sanctis; St. Gregory the Great, lib. ii. Moral. cap. iv.).

12-17 Meterai keenam: …. gempa bumi yang besar. Banyak orang berpikir bahwa ini adalah tanda-tanda yang mengerikan, tentang matahari yang berubah menjadi hitam, tidak terjadi hingga zaman antikristus, sesaat sebelum akhir dunia (Mat 14, Luk 21, Yes 13, 34, Yeh 33; Dan 12). Namun sejumlah penafsir menggambarkan keajaiban ini sebagai penghukuman Tuhan yang terlihat, terhadap para kaisar dan penganiaya umat Kristen, sebelum kaisar Romawi Kristen yang pertama, Kaisar Konstantin.

St. Yohanes menggambarkan betapa Allah akan membalas kepada para musuh-Nya. Dapat mengacu kepada zaman Kaisar Konstantin, ketika kita melihat kejayaan agama Kristen yang mengalahkan paganisme, dan setelah kematiannya [Konstantin] dan anak-anaknya, kekaisaran Roma menyerah kepada bangsa barbar. Kota Roma sendiri dijarah, propinsi-propinsi menjadi kacau balau, sehingga keadaan itu sendiri menggambarkan kekacauan akhir zaman, ketika Allah yang Mahakuasa akan membuat para pendosa menerima hukumannya di hadapan semua orang benar.

Rasul Yohanes, seperti para nabi, menggunakan istilah gempa bumi, untuk menandakan dengan keras, kejahatan kekaisaran Roma dan para kaisarnya yang menganiaya. Kota Roma sendiri dipenuhi dengan perang. Para kaisar semua dihancurkan oleh Allah: Maxentius, dibuang ke sungai Tiber, Maximin Jovius melalui penyakit yang mengerikan dan tak tersembuhkan, Maximin Daia, kalah dalam perang, dan akhirnya mengidap penyakit aneh, seluruh perutnya hancur, ia kehilangan matanya, wafat seperti tengkorak. Licinius, dipukul, dan digantung. Demikian pula Maximian, yang menggantung diri di Marseilles, tempat ia dikurung.

14. Dalam kebingungan yang dahsyat yang terjadi dalam kekaisaran Romawi, di zaman Konstantin, begitu besarlah revolusi yang terjadi, sehingga gunung-gunung dan pulau-pulau seolah nampak bergeser dari tempat mereka. Dalam waktu 9 tahun itu (305-314) tujuh orang menginginkan untuk naik tahta, Maximin Galerius, Maxentius, Severus Cæsar, Maximin, Alexander, Maximin Hercules, dan Licinius. Keenam orang tersebut, dari Galerius sampai Hercules, wafat dalam jangka waktu 9 tahun (305-314), dan Licinius wafat dengan digantung tahun 324. Mereka semua adalah yang memusuhi agama Kristen. Kaisar Konstantin yang mendukung agama Kristen, dapat bertahan menguasai kerajaannya.

Dengan demikian, tanda-tanda tersebut (gempa, matahari yang menjadi hitam, dst) memang dapat dianggap sebagai ungkapan akhir zaman (lih. Hag 2:6; Nah 1:6, Mal 3:2; Luk 21:36; Yl 2:30-31, Kis 2:29, Yes 34:4, Mat 24:29, Mrk 13:24; Luk 21:35), walaupun juga dapat dikatakan bahwa dalam keadaan kekacauan yang digambarkan di sana sudah tergenapi pada masa kejatuhan kerajaan Romawi. Ungkapan tersebut juga dipergunakan selama berabad-abad untuk menggambarkan kematian bagi sejumlah orang penting di kalangan Yahudi. Demikian pula, kekacauan-kekacauan kosmik dalam Perjanjian Lama juga menggambarkan pemberontakan sosial, yang mengawali akhir dunia atau keteraturan sosial. Maka ungkapan yang menggambarkan berbagai kekacauan yang tercatat dalam kitab Wahyu, memang mempunyai makna ganda/ lebih dari satu. Ini menunjukkan betapa kayanya pesan yang ingin disampaikan dalam Kitab Suci, yang intinya mau mengingatkan kita untuk bertahan dalam iman sampai akhir, sebab pada akhirnya kelak, keadilan Tuhan akan menang. Yang jahat akan dihukum dan yang benar akan memperoleh penghargaan dan kebahagiaan kekal.

 

Tentang Otentisitas Surat Ibrani

5

Di abad ini ada sejumlah orang mempertanyakan otentisitas surat kepada jemaat Ibrani. Mereka mempertanyakan apakah surat ini benar ditulis dan berasal dari Rasul Paulus; atau bahkan mereka mempertanyakan apakah surat ini merupakan surat yang ditulis atas inspirasi Roh Kudus. Namun tentang hal otentisitas surat Ibrani, Gereja Katolik tidak pernah meragukannya. Sebab surat kepada Jemaat di Ibrani sudah termasuk dalam kanon Kitab Suci, dan dengan demikian telah ditetapkan oleh Gereja sebagai surat yang ditulis atas inspirasi Roh Kudus, sejak Konsili Carthage di tahun 397. Gereja kembali meneguhkan surat ini sebagai bagian dari kanon Kitab Suci melalui konsili-konsili selanjutnya, secara khusus dalam Konsili Florence (1442) dan Konsili Trente (Sesi IV, 1546).

Banyak penulis Gereja awal dari Timur meyakini bahwa surat tersebut ditulis oleh Rasul Paulus sendiri, seperti yang diyakini oleh St. Yohanes Krisostomus. Namun demikian, terdapat juga sejumlah Bapa Gereja yang mempertanyakan (contohnya St. Hieronimus dan St. Augustinus), apakah surat tersebut benar-benar ditulis oleh Rasul Paulus sendiri, ataukah melibatkan kolaborator yang lain. Namun demikian, para Bapa Gereja tersebut tidak meragukan bahwa surat ini adalah surat yang ditulis atas inspirasi Roh Kudus, dan secara langsung berasal/ dapat diatributkan kepada Rasul Paulus. Demikian tulis St. Hieronimus ketika mengutip perikop surat Ibrani, “demikianlah yang dikatakan St. Paulus di dalam suratnya, surat yang ditulisnya kepada jemaat Ibrani, meskipun banyak pengarang Latin meragukan dia sebagai pengarangnya.” (St. Jerome, In Mt IV, 26)

Namun sejumlah teolog di zaman Renaissance (seperti Erasmus dan Cajetan), dan mungkin juga para ahli di zaman abad 20-21 ini berpandangan bahwa surat ini tidak ditulis oleh Rasul Paulus, karena beberapa alasan. Argumen mereka yang pertama adalah karena tidak tertulisnya nama Paulus di bagian awal maupun akhir surat, seperti yang ada pada surat-surat Rasul Paulus lainnya. Kemudian, surat ini juga ditulis dengan tata bahasa dan gaya bahasa yang berbeda dengan surat-suratnya yang lain. Selanjutnya, perbedaan lainnya adalah bahwa dalam surat itu dibahas tema-tema ajaran yang beragam, dan secara khusus mempunyai ciri khas dalam hal pengutipan teks-teks Perjanjian Lama.

Origen di abad ke-2 mempunyai pandangan adanya kemungkinan adanya seorang editor dari ide-ide Rasul Paulus yang menjadi pengarang langsung dari surat itu. Maka, semua hal yang dituliskan di surat itu berasal dari Rasul Paulus, hanya saja, bahasa dan komposisi dapat saja merupakan/ melibatkan karya seseorang yang lain yang menuliskan pemikiran-pemikian dan perkataan Rasul Paulus itu. Dengan demikian, ini menyerupai apa yang terjadi pada penulisan kitab-kitab Pentateukh, yang diyakini oleh Gereja berasal dari Nabi Musa, walaupun mungkin saja bukan Nabi Musa sendiri yang menuliskan setiap kata yang tertulis di kitab-kitab itu.

Berikut ini kami sampaikan tanggapan yang diberikan oleh Pontifical Biblical Commision, tentang otentisitas surat Ibrani, tertanggal 24 Juni 1914:

“1. Apakah terdapat keraguan yang kuat, yang di abad-abad awal dimiliki oleh beberapa pemikir di Barat tentang apakah surat Ibrani merupakan tulisan yang diinspirasikan oleh Allah dan merupakan surat yang berasal dari Rasul Paulus, sebab oleh kesalahan istimewa para pengajar sesat, bahwa, meskipun seseorang sadar akan peneguhan yang terus menerus, dan kesatuan suara yang mutlak dari para Bapa Gereja dari Timur, yang setelah abad ke-4 dilengkapi dengan persetujuan yang penuh dari seluruh Gereja Barat; dengan juga mempertimbangkan penetapan-penetapan dari para Paus dan Konsili-konsili suci, secara khusus Konsili Trente, dan juga praktek yang terus menerus dari Gereja universal, ia dapat berkeberatan untuk memasukkan surat tersebut dengan yakin tidak saja di antara kitab-kitab yang kanonik -yang ditentukan sehubungan dengan iman- tetapi juga di antara surat-surat yang asli dari Rasul Paulus?

Jawab: Tidak.

(Artinya, surat Ibrani tersebut adalah surat yang asli dari Rasul Paulus).

2. Apakah argumen-argumen yang biasanya disimpulkan dari absennya penulisan nama Paulus, dan tidak-adanya pendahuluan dan kata penutup dalam surat kepada jemaat Ibrani- atau dari kemurnian bahasa Yunani, keanggunan dan kesempurnaan penggunaan kata dan gaya bahasa,- atau dari cara bagaimana Perjanjian Lama dikutip di dalamnya dan argumen-argumen yang disusun berdasarkan itu, atau dari perbedaan-perbedaan tertentu yang sepertinya ada antara ajaran di surat ini dan di surat-surat Rasul Paulus lainnya, secara tertentu dapat memperlemah keaslian surat ini dari Rasul Paulus, atau di sisi lain:

Apakah kesesuaian sempurna dari ajaran dan pandangan, kemiripan nasihat/ peringatan dan wejangan, dan keharmonisan frasa dan perkataan-perkataan itu sendiri yang juga diakui oleh sejumlah umat non-Katolik, yang ditemukan antara surat tersebut dan tulisan-tulisan lainnya dari Rasul kepada umat non-Yahudi tersebut, membuktikan dan meneguhkan kesamaan aslinya dari Rasul Paulus?

Jawab: Tidak untuk pertanyaan bagian pertama; dan Ya, untuk pertanyaan bagian kedua.

3. Apakah Rasul Paulus harus dianggap sebagai pengarang surat ini, sehingga harus disyaratkan untuk diteguhkan bahwa ia bukan hanya yang mempunyai ide dan menuangkannya semua oleh inspirasi Roh Kudus, tetapi juga menyempurnakannya dengan bentuk tersebut yang membuatnya mencolok secara istimewa?

Jawab: Tidak, biarlah Gereja memberikan keputusan penilaian lebih lanjut.”

Selanjutnya, tentang tahun penulisan, banyak para ahli berpandangan bahwa surat tersebut ditulis sebelum kejatuhan Yerusalem di tahun 70. Sebab tidak di satu bagianpun disebutkan tentang kejatuhan kota itu, sementara terdapat banyak acuan yang menandakan bahwa bait suci dan penyembahan menurut ketentuan Nabi Musa, masih secara aktif dilakukan (lih. Ibr 8:4;9:7,13,25). Di samping itu, teks menyebutkan berkali-kali saat-saat yang sulit bagi kaum Yahudi (lih. Ibr 10:25;10:37;12:26-;13:13). Ini dapat menunjukkan saat menjelang perang antara kaum Yahudi dan Romawi yang terjadi di tahun 67. Maka para ahli banyak yang menduga bahwa surat ini ditulis di tahun 67.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab