Home Blog Page 88

Bintang Pengharapan

0

Gerimis membasahi sepanjang jalan yang aku lalui menuju Cisoka, daerah terujung dari pusat Parokiku Santa Odilia- Tangerang, untuk merayakan Malam Natal. Perjalanan panjang selama dua jam dan dengan jarak empat puluh kilometer, beratapkan langit yang gelap dan beralaskan jalan yang berlubang, tidak mengurangi kebahagiaan untuk menghayati makna kelahiran Sang Juru Selamat. Kelahiran Tuhan Yesus sungguh ditampilkan dengan perayaan Malam Natal dalam kesederhanaan oleh lebih dari empat ratus umat dewasa, belum termasuk anak-anak yang tak terhitung banyaknya. Kelahiran Tuhan Yesus di gua atau kandang Betlehem sangat terasa dengan perayaan Malam Natal di bawah tenda yang dipasang di jalan berkerikil, tanpa air condition dan kegemerlapan, seperti di kota-kota. Umat datang dalam Misa dengan berpakaian rapi walaupun dengan baju lama. Banyak di antara mereka berjalan kaki selama satu jam untuk merayakan kelahiran Putera Allah ke dalam dunia. Semuanya itu pasti menimbulkan keharuan bagi hati yang peka.

Paduan suara kaum muda yang begitu indah membahana di tengah sunyinya malam dalam Misa di pinggir sawah ini. “Lagu Malam Kudus” pun terasa menggetarkan jiwa dalam suasana sunyi dan sepi. Sebelum berkat penutup, aku berlutut di hadapan umat yang mendoakanku untuk membaharui kaul religiusku, yaitu kaul ketaatan, kemurnian, dan kemiskinan, seumur hidup.

Kesederhanaan tidak mengurangi kebahagiaan mereka. Persaudaraan yang tulus justru terwujud dalam kebersamaan tanpa keterpaksaan. Mereka makan apa adanya sambil tertawa renyah melihat pertunjukan-pertunjukan, baik yang telah dipersiapkan ataupun yang spontan saat itu. Semuanya bersumber pada hati yang bersyukur atas berkat Tuhan.

Hati yang bersyukur itu diungkapkan oleh seorang anak yang tiba-tiba memeluk pinggangku ketika aku membagikan bingkisan sebuah minuman ringan dan roti kecil. Ia berkata sambil memandang mataku : “Romo, papaku tak punya uang sehingga Natal ini aku tetap memakai baju dan sepatu lama. Keindahan Natal tidak tergantung pada baju dan sepatu baru, ya Mo…, tetapi pada hati yang baru. Yang penting Tuhan Yesus tinggal di dalam hatiku. Aku tidak mempunyai kado untuk Tuhan Yesus yang diletakkan di bawah pohon Natal seperti di rumah banyak kawanku. Aku akan lebih rukun dengan kakak, adik, dan teman-temanku, sebagai kado untuk Tuhan Yesus. Itulah satu-satunya yang aku punya untuk Tuhan Yesusku”. Setelah itu, ia memandang ke langit sambil mengatakan sesuatu kepada mama dan papanya : “Papa dan mama jangan sedih karena tidak bisa membelikan aku baju dan sepatu baru pada Natal ini. Tidak mengapa papa dan mama … aku tetap memakai baju dan sepatu yang lama. Lihatlah hatiku tetap bersukacita karena aku yakin bahwa Tuhan Yesus menuntun jiwaku untuk meraih surga. Kemudian aku bertanya kepadanya : “Kalau besar mau menjadi apa nak ?”. Ia menjawab : “Aku akan menjadi dokter agar bisa menolong banyak orang, Romo.…”. Hatiku trenyuh/tersentuh mendengarkan ungkapan syahdu dari anak yang lugu ini. Sungguh di dalam hidupnya memancarkan bintang pengharapan karena Tuhan Yesus Kristus lahir dan bersemayam di dalam jiwanya.

Dari kisah anak itu dan kesederhanaan perayaan Natal, ada tiga hal yang perlu dihidupi untuk menyambut damai sejahtera : “Hiduplah untuk berkawan dan bukannya mencari lawan; Tanamkanlah damai dan bukannya merusak kedamaian; hiduplah saling menolong dan bukannya saling mendorong dan merongrong”. Berkawan, menanamkan damai, dan saling menolong membuat hidup kita terberkati : “Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah” (Kolose 3:15). Alangkah indahnya hidup kita ketika Tuhan Yesus tinggal di dalam hati karena kedamaian, sukacita, dan pengharapan memahkotai kita.

Tuhan memberkati.

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.

The Grand Divine Mosaic Ep. II

1

Hidup setiap manusia itu seperti mosaik yang menyusun kaca jendela Gereja. Gambar itu tersusun dari kepingan-kepingan kaca yang beraneka ragam. Ada yang kecil, ada yang besar. Ada yang berwarna, ada yang bening. Ada yang bersegi, ada yang tidak. Kendati beragam dan berbeda-beda, aku bisa melihat wajah Kristus yang bersinar. Cantik sekali. Hidupku di dunia ini sama seperti sekeping mosaik di tengah kaca jendela itu, bersama-sama dengan seluruh manusia, menyusun citra Allah yang mengagumkan. Oleh sebab itu, aku berusaha melakukan apa yang aku bisa dalam biara ini untuk menjadi mosaik yang baik.

Dalam biara, kami juga mendapat beragam mata kuliah yang berguna bagi formasi dan masa studi di tahap berikutnya. Salah satunya adalah Bahasa Inggris. Untuk memperlancar proses belajar-mengajar, sang dosen membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil dengan seorang tutor dalam tiap kelompok. Tutor dipilih dari siswa yang memiliki nilai Bahasa Inggris yang cukup baik. Kebetulan, aku dipercaya menjadi salah satu tutor. Karena aku memang menyukai bahasa Inggris, membagikan apa yang aku tahu adalah hal yang menyenangkan hati. Kami sering belajar bersama untuk mempersiapkan materi kelas Bahasa Inggris yang mendatang atau persiapan menghadapi ulangan. Aku berusaha menjadi tutor sebaik mungkin.

Sayangnya, setelah beberapa kali pertemuan dan ulangan, kelompokku tidak menunjukkan perbaikan yang berarti. Bahkan, dosen sempat menegur aku karena nilai kelompokku tidak menunjukkan peningkatan. Aku merasa gagal sebagai seorang tutor. Kegagalan ini diperparah dengan permasalahan dalam keluargaku, yang sedang dilanda perpecahan. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menyatukan dan mencari solusi, sekalipun aku terpisah jarak dari mereka. Aku menghujankan novena agar Tuhan bersedia menolong. Aku juga mencari berbagai retret dan menghubungi imam-imam yang dapat membantu mendamaikan mereka. Tapi, perpecahan itu tetap saja ada, bahkan semakin memburuk. Belum lagi ada sedikit konflik ini-itu dengan beberapa anggota komunitas. Aku merasa gagal membagikan talentaku, gagal sebagai anak, dan gagal sebagai anggota komunitas biara.

Kekecewaan pada diriku ini dikarenakan aku ingin memberi diri pada orang-orang yang ada di sekitarku. Aku ingin menolong semua mereka yang membutuhkan bantuanku dan memecahkan semua persoalan mereka. Tapi, mungkin di situlah letak permasalahannya. Dalam niat baik itu terselip kesombongan diri bahwa aku bisa melakukan segalanya sendiri. Seringkali, aku mencoba mengatasi hanya berdasarkan pertimbanganku pribadi dan caraku sendiri. Padahal, aku memiliki teman untuk diajak diskusi, formator untuk dimintai nasehat, dan, terutama, Allah yang menyediakan segalanya. Segala sesuatu dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku (Fil 4 : 13). Seharusnya, aku ingat akan hal tersebut.

Aku bukan lagi ingin menjadi sekeping mosaik, melainkan seluruh gambar di jendela kaca tersebut. Padahal, aku hanya memiliki satu warna, satu bentuk, dan satu rupa. Bayangkan jika jendela itu hanya dihiasi sekeping mosaik dengan satu warna. Tentu saja bukan rupa Kristus yang tampak, melainkan rupaku sendiri, dan rupa itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Kristus.

Pemintal gulali ini harus ingat bahwa sekeping mosaik memiliki batasan dan kekurangan. Ia tidak dapat menjadi seluruh gambar karena ia hanyalah kepingan. Ia dapat melakukan sekuat tenaga apa yang ia bisa persembahkan kepada Kristus dan sesama. Namun, ia harus ingat bahwa ia juga memiliki keterbatasan. Ia tidak bisa melakukan semua hal secara sempurna, apalagi bila ia tidak bernaung pada pertolongan Allah. Ini juga bukan alasan baginya untuk berlindung di balik kelemahannya dan tidak berusaha memberikan usaha terbaik bagi Allah dan sesama. Kerendahan hatilah kuncinya, seperti sekeping mosaik yang kecil yang meneruskan cahaya Matahari Ilahi.

Kerendahan hati adalah satu-satunya hal yang tidak dapat ditiru oleh setan.” – St. Yohanes Klimakus

Garam yang Asin dan Terang yang Bercahaya

1

[Minggu Biasa ke V: Yes 58:1-12; Mzm 112:1-10; 1Kor 2:1-16; Mat 5:13-20]

Dari sejumlah tokoh dunia, kita tak akan mungkin melupakan satu nama: Bunda Teresa dari Kalkuta. Bunda Teresa dikenal dunia sebagai pahlawan kemanusiaan, seorang yang rela membaktikan diri seutuhnya kepada orang-orang yang termiskin dari mereka yang miskin. Ia bersama para biarawati dalam komunitasnya, merawat orang-orang miskin yang terbuang di jalan, yang tubuhnya bagaikan tulang belulang berbungkus kulit yang tak mampu lagi berjalan. Dalam sebuah wawancara, seorang wartawan mengatakan kurang lebih demikian kepada Bunda Teresa, “Betapa luar biasanya karya Anda. Tapi sejujurnya, sekalipun saya diberi uang 1 juta dollar, saya tak akan mau melakukan apa yang Anda lakukan.” Namun Bunda Teresa menjawab, “Sayapun tidak akan melakukan ini untuk uang 1 juta dollar….” Lalu lanjut Bunda Teresa, “Sebab saya tidak melakukan semua ini untuk uang, namun untuk Tuhan; karena saya melihat Tuhan saya di dalam wajah-wajah mereka yang miskin dan terbuang ini…. Dan ini mendorong saya untuk berbuat sesuatu…”

Sungguh, teladan hidup Bunda Teresa menunjukkan bahwa ia telah melaksanakan kehendak Tuhan untuk menjadi garam yang asin dan terang yang bercahaya dunia. Tidak mudah memang, namun inilah panggilan kita juga sebagai murid-murid Kristus. Kita dipanggil untuk meneruskan Terang Kristus dan ‘rasa’ Kristus kepada orang-orang di sekitar kita. Tidaklah cukup bagi kita untuk berdoa dan berpuasa, jika hal itu tidak mengubah kita untuk menjadi orang yang lebih peka untuk menolong sesama yang membutuhkan bantuan. Bukankah demikian yang diajarkan oleh Nabi Yesaya dalam bacaan pada hari ini? (lih. Yes 58:1-12)

Maka, tak usah jauh-jauh ke Kalkuta, India, sebab sesama yang membutuhkan pertolongan itu ada di sekitar kita. Di awal tahun ini, terjadi banyak bencana di negeri kita. Berita di televisi hari-hari ini mengabarkan bencana bertubi-tubi melanda berbagai tempat, termasuk di Jakarta ini. Sepertinya pas dengan arahan KWI untuk mendedikasikan tahun 2014 ini sebagai tahun pelayanan kasih bagi Gereja. Sudahkah kita membantu sesama kita yang terkena musibah? Apa yang dapat kita lakukan untuk berbagi dengan saudara/i kita yang kekurangan makanan, pakaian, dan kehilangan tempat tinggal? Sudahkah kita berbagi suka cita dan pengharapan kepada mereka yang sedang berduka? Sebab bisa terjadi, orang yang perlu dibantu itu ternyata ada di dalam rumah kita sendiri, ataupun di paroki kita sendiri. [Di paroki kita, malah para imam kita yang kehilangan tempat tinggal pastorannya karena banjir!] Semoga Tuhan memampukan kita untuk bersegera dan dengan suka cita menanggapinya. Sebab akibat asinnya garam dan terangnya cahaya, pertama-tama mestinya terlihat dari efeknya terhadap keadaan yang paling dekat dengan garam dan cahaya itu. Juga, bagaikan garam yang memberi rasa asin sampai dirinyapun lebur menjadi satu dengan yang diasinkan, dan lilin memberi terang hingga meleleh dan habis terbakar, demikian pula kita dipanggil untuk memberikan diri kita dan rela berkorban untuk sesama.

Rasul Paulus mengajarkan kita agar kita mengenakan pikiran Kristus (1Kor 2:16), sehingga kita dapat dengan cepat mengulurkan tangan bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Semoga kita dapat memiliki ketajaman mata hati seperti Bunda Teresa, agar dapat melihat wajah Yesus, di dalam wajah-wajah mereka yang berkekurangan, sehingga kita terdorong untuk menolong. Dunia yang terpolusi dengan berbagai keadaan yang tidak ideal, bukan alasan bagi kita untuk tidak berbuat sesuatu. St. Agustinus mengatakan, “Terang, meskipun menembus polusi, tidaklah ikut terpolusi.” Semoga Terang Kristus memampukan kita untuk bercahaya menembus kegelapan, dan tidak terpengaruh oleh polusi keadaan yang belum ideal di sekitar kita.

Tuhan, jadikanlah aku garam yang asin, dan terang yang bercahaya, bagi lingkungan di sekitarku.”

Apakah Yesus lahir tanggal 25 Desember?

68

Ada banyak orang mempertanyakan, apakah benar Tuhan Yesus Kristus lahir di dunia tanggal 25 Desember? Sejumlah orang kemudian membuat banyak teori, yang seolah-olah ingin menunjukkan bahwa hari raya Natal di tanggal 25 Desember berasal dari kebiasaan kafir. Apakah benar demikian?

Keberatan dan tanggapan tentang perayaan Natal 25 Desember

Berikut ini adalah penjelasan yang kami sarikan dari buku karangan Taylor Marshall, The Eternal City: Rome and Origins of Catholic Christianity, ((Link:  http://taylormarshall.com/2012/12/yes-christ-was-really-born-on-december.html)), [teks dalam kurung adalah tambahan dari Katolisitas]:

Gereja Katolik, setidaknya sejak abad kedua, telah mengklaim bahwa Kristus lahir di tanggal 25 Desember. Meskipun demikian, ada banyak pendapat bahwa Tuhan kita Yesus Kristus tidak lahir pada tanggal itu. Berikut ini adalah tiga macam keberatan yang umum terhadap tanggal tersebut, dan  tanggapan atas masing-masing keberatan itu:

Keberatan 1: Tanggal 25 Desember dipilih untuk mengganti festival pagan Romawi, yang dinamakan Saturnalia. Saturnalia adalah festival musim dingin yang populer, sehingga Gereja Katolik dengan bijak menggantikannya dengan perayaan Natal.

Tanggapan atas Keberatan 1: Saturnalia adalah peringatan winter solstice, yaitu titik terjauh matahari dari garis khatulistiwa bumi. Namun demikian titik winter solstice jatuh pada tanggal 22 Desember. Memang benar bahwa perayaan Saturnalia dapat dimulai sejak tanggal 17 Desember sampai 23 Desember. Tetapi dari tanggalnya sendiri, tidak cocok [tidak ada kaitannya dengan tanggal 25 Desember].

Keberatan 2: Tanggal 25 Desember dipilih untuk menggantikan hari libur Romawi, Natalis Solis Invicti, yang artinya, “Kelahiran dari Matahari yang tak Terkalahkan” [atau dikenal sebagai kelahiran dewa matahari]

Tanggapan atas Keberatan 2: Pertama-tama, mari memeriksa kultus Matahari yang tak Terkalahkan. Kaisar Aurelian memperkenalkan kultus Sol Invictus atau Matahari yang tak Terkalahkan di Roma tahun 274. Aurelian mendirikan pergerakan politik dengan kultus ini, sebab namanya sendiri Aurelian, berasal dari kata Latin aurora, yang artinya “matahari terbit”. Uang logam koin masa itu menunjukkan bahwa Kaisar Aurelian menyebut dirinya sendiri sebagai Pontifex Solis atau Pontiff of the Sun (Imam Agung Matahari). Maka Kaisar Aurelian mendirikan kultus matahari itu dan mengidentifikasikan namanya dengan dewa matahari, di akhir abad ke-3.

Yang terpenting, tidak ada bukti historis tentang adanya perayaan Natalis Sol Invictus pada tanggal 25 Desember, sebelum tahun 354. Dalam sebuah manuskrip yang penting di tahun 354, terdapat tulisan bahwa tanggal 25 Desember tertulis, “N INVICTI CM XXX.” Di sini N berarti “nativity/ kelahiran”. INVICTI artinya “Unconquered/ yang tak terkalahkan”. CM artinya, “circenses missus/ games ordered/ permainan yang ditentukan/ diperintahkan.” Angka Romawi XXX sama dengan tiga puluh. Maka tulisan tersebut artinya ialah 30 permainan yang ditentukan untuk kelahiran Yang tak terkalahkan, pada tanggal 25 Desember. Perhatikan bahwa di sini kata “matahari” tidak disebutkan. [Maka bagaimana dapat dipastikan bahwa itu mengacu kepada dewa matahari?].  Selanjutnya, naskah kuno tersebut juga menyebutkan, “natus Christus in Betleem Iudeae/ kelahiran Kristus di Betlehem, Yudea” di tanggal 25 Desember itu. ((The Chronography of AD 354. Part 12: Commemorations of the Martyrs.  MGH Chronica Minora I (1892), pp. 71-2.))

Tanggal 25 Desember baru menjadi hari “Kelahiran Matahari yang tak terkalahkan” sejak pemerintahan  kaisar Julian yang murtad. Kaisar Julian pernah menjadi Kristen, tetapi telah murtad dan kembali ke paganisme Romawi. Sejarah menyatakan bahwa Kaisar Julian itulah yang menentukan hari libur pagan tanggal 25 Desember… Ini menyatakan apa?

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa “Matahari yang tak terkalahkan” bukanlah dewa yang popular di kekaisaran Romawi [sebab sebenarnya bukan dewa, tetapi suatu karakter yang dihubungkan dengan kaisar tertentu.] …Lagi pula, tradisi perayaan pada tanggal 25 Desember tidak ada dalam kalender Romawi sampai setelah Roma menjadi negara Kristen. Kelahiran Sang Matahari yang Tak Terkalahkan adalah sesuatu yang jarang dikenal dan tidak popular. Perayaan Saturnalia yang disebut di atas lebih popular … Sepertinya, lebih mungkin bahwa Kaisar Julian yang murtad itulah yang berusaha untuk memasukkan hari libur pagan, untuk menggantikan perayaan Kristen.

[Tambahan dari Katolisitas:

Maka penghubungan tanggal 25 Desember dengan perayaan agama pagan, itu sejujurnya adalah hipotesa. Silakan Anda klik di Wikipedia, bahwa penghormatan kepada dewa Sol Invictus di kerajaan Romawi, itu dimulai tanggal 274 AD. Maka penghormatan umat Kristen kepada Kristus, Sang Terang Dunia (Yoh 9:5), itu sudah ada lebih dulu daripada penghormatan kepada dewa Sol Invictus/ dewa matahari kerajaan Romawi. Nyatanya memang ada sejumlah orang yang menghubungkan peringatan kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember dengan perayaan dewa Sol Invictus itu. Sumber Wikipedia itu sendiri ((Link: https://en.wikipedia.org/wiki/Sol_Invictus#Sol_Invictus_and_Christianity_and_Judaism)) menyatakan bahwa hipotesa ini secara serius layak dipertanyakan. Bukti prasasti di zaman Kaisar Licinius, menuliskan bahwa perayaan dewa Sol itu jatuh tanggal 19 Desember. Prasasti tersebut juga menyebutkan persembahan kepada dewa Sol itu dilakukan di tanggal 18 November. (Wallraff 2001: 174–177). Bukti ini sendiri menunjukkan adanya variasi tanggal perayaan dewa Sol, dan juga bahwa perayaannya tersebut baru marak dilakukan di abad ke-4 dan 5, jauh setelah zaman Kristus dan para Rasul. Dengan demikian, pandangan yang lebih logis adalah bahwa para kaisar itu yang “mengadopsi” perayaan Natal 25 Desember sebagai perayaan dewa matahari-nya mereka, daripada kita umat Kristen yang mengadopsinya dari mereka.]

Keberatan 3: Kristus tidak mungkin lahir di bulan Desember sebab St. Lukas menjabarkan bahwa para gembala menggembalakan domba-domba di padang Betlehem. Gembala tidak menggembalakan pada saat musim dingin. Maka Kristus tidak mungkin lahir di musim dingin.

Tanggapan terhadap Keberatan 3: Palestina bukan Inggris atau Rusia atau Alaska. Betlehem terletak di lintang 31.7 [dari garis khatulistiwa, lebih dekat sedikit ke khatulistiwa daripada kota Dallas, Texas di Amerika, 32.8]. Adalah masih nyaman untuk berada di luar di bulan Desember di Dallas, [maka demikian juga dengan di Betlehem]. Sebab di Italia, yang terletak di garis lintang yang lebih tinggi dari Betlehem, seseorang masih dapat menggembalakan domba di akhir bulan Desember.

Penentuan kelahiran Kristus berdasarkan Kitab Suci

Penentuan kelahiran Kristus berdasarkan Kitab Suci, terdiri dari 2 langkah. Pertama adalah menentukan kelahiran St. Yohanes Pembaptis. Langkah berikutnya adalah menggunakan hari kelahiran Yohanes Pembaptis sebagai kunci untuk menentukan hari kelahiran Kristus. Kita dapat menemukan bahwa Kristus lahir di akhir Desember dengan mengamati kali pertama dari tahun itu, yang disebutkan oleh St. Lukas, St. Zakaria melayani di bait Allah. Ini memberikan kepada kita perkiraan tanggal konsepsi St. Yohanes Pembaptis. Dari sini dengan mengikuti kronologis yang diberikan oleh St. Lukas, kita sampai pada akhir Desember sebagai hari kelahiran Yesus.

St. Lukas mengatakan bahwa Zakaria melayani pada ‘rombongan Abia’ (Luk 1:5). Kitab Suci mencatat adanya 8 rombongan di antara 24 rombongan imamat (Neh 12:17). Setiap rombongan imam melayani satu minggu di bait Allah, dua kali setahun. Rombongan Abia melayani di giliran ke-8 dan ke-32 dalam siklus tahunan. Namun bagaimana siklus dimulai?

Josef Heinrich Friedlieb telah dengan meyakinkan menemukan bahwa rombongan imam pertama, Yoyarib, bertugas sepanjang waktu penghancuran Yerusalem pada hari ke-9 pada bulan Yahudi yang disebut bulan Av. ((Josef Heinrich Friedlieb’s Leben J. Christi des Erlösers. Münster, 1887, p. 312.)) Maka masa rombongan imamat Abia (yaitu masa Zakaria bertugas) melayani adalah minggu kedua bulan Yahudi yang disebut Tishri, yaitu minggu yang bertepatan dengan the Day of Atonement, hari ke-10. Di kalender kita, the Day of Atonement dapat jatuh di hari apa saja dari tanggal 22 September sampai dengan 8 Oktober.

Dikatakan dalam Injil bahwa Elisabet mengandung ‘beberapa lama kemudian/ after these days‘ setelah masa pelayanan Zakaria (lih. Luk 1:24). Maka konsepsi St. Yohanes Pembaptis dapat terjadi sekitar akhir September, sehingga menempatkan kelahiran St. Yohanes Pembaptis  di akhir Juni, meneguhkan perayaan Gereja Katolik tentang Kelahiran St. Yohanes Pembaptis tanggal 24 Juni.

Buku Protoevangelium of James dari abad ke-2 menggambarkan St. Zakaria sebagai imam besar dan memasuki tempat maha kudus…. dan ini mengasosiasikan dia dengan the Day of Atonement, yang jatuh di tanggal 10 bulan Tishri (kira-kira akhir September). Segera setelah menerima pesan dari malaikat Gabriel, Zakaria dan Elizabet mengandung Yohanes Pembaptis. Perhitungan empat puluh minggu setelahnya, menempatkan kelahiran Yohanes Pembaptis di akhir Juni, meneguhkan perayaan Gereja Katolik tentang Kelahiran St. Yohanes Pembaptis tanggal 24 Juni.

Selanjutnya… dikatakan bahwa sesaat setelah Perawan Maria mengandung Kristus, ia pergi untuk mengunjungi Elisabet yang sedang mengandung di bulan yang ke-6. Artinya umur Yohanes Pembaptis 6 bulan lebih tua daripada Yesus Kristus (lih. Luk 1:24-27, 36). Jika 6 bulan ditambahkan kepada 24 Juni maka diperoleh 24-25 Desember sebagai hari kelahiran Kristus. Jika tanggal 25 Desember dikurangi 9 bulan, diperoleh hari peringatan Kabar Gembira (Annunciation) yaitu tanggal 25 Maret… Maka jika Yohanes Pembaptis dikandung segera setelah the Day of Atonement, maka tepatlah penanggalan Gereja Katolik, yaitu bahwa kelahiran Yesus jatuh sekitar tanggal 25 Desember.

Selain itu Tradisi Suci juga meneguhkan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Tuhan Yesus. Sumber dari Tradisi tersebut adalah kesaksian Bunda Maria sendiri. Sebagai ibu tentu ia mengetahui dengan rinci tentang kelahiran anaknya [dan ini yang diteruskan oleh para rasul dan para penerus mereka]. Bunda Maria pasti mengingat secara detail kelahiran Yesus ini yang begitu istimewa, yang dikandung tidak dari benih laki-laki, yang kelahirannya diwartakan oleh para malaikat, lahir secara mukjizat dan dikunjungi oleh para majus.

Sebagaimana umum bahwa orang bertanya kepada orangtua yang membawa bayi akan umur bayinya, demikian juga orang saat itu akan bertanya, “berapa umur anakmu?” kepada Bunda Maria. Maka tanggal kelahiran Yesus 25 Desember (24 Desember tengah malam), akan sudah diketahui sejak abad pertama. Para Rasul pasti akan sudah menanyakan tentang hal ini dan baik St. Matius dan Lukas mencatatnya bagi kita. Singkatnya, adalah sesuatu yang masuk akal jika para jemaat perdana telah mengetahui dan merayakan kelahiran Yesus, dengan mengambil sumber keterangan dari ibu-Nya.

Kesaksian berikutnya adalah dari para Bapa Gereja abad-abad awal (abad 1 sampai awal abad 4) di masa sebelum pertobatan Kaisar Konstantin dan kerajaan Romawi. Para Bapa Gereja tersebut telah mengklaim tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Kristus.

Catatan yang paling awal tentang hal ini adalah dari Paus Telesphorus (yang menjadi Paus dari tahun 126-137), yang menentukan tradisi Misa Tengah malam pada Malam Natal… Kita juga membaca perkataan Teofilus (115-181) seorang Uskup Kaisarea di Palestina: “Kita harus merayakan kelahiran Tuhan kita pada hari di mana tanggal 25 Desember harus terjadi.” ((Magdeburgenses, Cent. 2. c. 6. Hospinian, De origine Festorum Christianorum.))

Tak lama kemudian di abad kedua, St. Hippolytus (170-240) menulis demikian: “Kedatangan pertama Tuhan kita di dalam daging terjadi ketika Ia dilahirkan di Betlehem, di tanggal 25 Desember, pada hari Rabu, ketika Kaisar Agustus memimpin di tahun ke-42, …. Ia [Kristus] menderita di umur tiga puluh tiga, tanggal 25 Maret, hari Jumat, di tahun ke-18 Kaisar Tiberius, ketika Rufus dan Roubellion menjadi konsul. ((St. Hippolytus of Rome, Commentary on Daniel.))

Dengan demikian tanggal 25 Maret menjadi signifikan, karena menandai hari kematian Kristus (25 Maret sesuai dengan bulan Ibrani Nisan 14- tanggal penyaliban Yesus. Kristus, sebagai manusia sempurna- dipercaya mengalami konsepsi dan kematian pada hari yang sama, yaitu tanggal 25 Maret…Maka tanggal 25 Maret dianggap istimewa dalam tradisi awal Kristiani. 25 Maret ditambah 9 bulan, membawa kita kepada tanggal 25 Desember, yaitu kelahiran Kristus di Betlehem.

St. Agustinus meneguhkan tradisi 25 Maret sebagai konsepsi Sang Mesias dan 25 Desember sebagai hari kelahiran-Nya: “Sebab Kristus dipercaya telah dikandung di tanggal 25 Maret, di hari yang sama saat Ia menderita; sehingga rahim Sang Perawan yang di dalamnya Ia dikandung, di mana tak seorang lain pun dikandung, sesuai dengan kubur baru itu di mana Ia dikubur, di mana tak seorang pun pernah dikuburkan di sana, baik sebelumnya maupun sesudahnya. Tetapi Ia telah lahir, menurut tradisi, di tanggal 25 Desember.” ((St. Augustine, De Trinitate, 4, 5.))

Di sekitar tahun 400, St. Agustinus juga telah mencatat bagaimana kaum skismatik Donatist merayakan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Kristus, tetapi mereka menolak merayakan Epifani di tanggal 6 Januari, sebab mereka menganggapnya sebagai perayaan baru tanpa dasar dari Tradisi Apostolik. Skisma Donatist berasal dari tahun 311, dan ini mengindikasikan bahwa Gereja Latin telah merayakan hari Natal pada tanggal 25 Desember sebelum tahun 311. Apapun kasusnya, perayaan liturgis kelahiran Kristus telah diperingati di Roma pada tanggal 25 Desember, jauh sebelum Kristianitas dilegalkan dan jauh sebelum pencatatan terawal dari perayaan pagan bagi kelahiran Sang Matahari yang tak Terkalahkan. Untuk alasan ini, adalah masuk akal dan benar untuk menganggap bahwa Kristus benar telah dilahirkan di tanggal 25 Desember, dan wafat dan bangkit di bulan Maret, sekitar tahun 33.

Sedangkan tentang perhitungan tahun kelahiran Yesus, menurut Paus Benediktus XVI dalam bukunya Jesus of Nazareth: The Infancy Narratives, adalah sekitar tahun 7-6 BC. Paus mengutip pandangan seorang astronomer Wina, Ferrari d’ Occhieppo, yang memperkirakan terjadinya konjungsi planet Yupiter dan Saturnus yang terjadi di tahun 7-6 BC (yang menghasilkan cahaya bintang yang terang di Betlehem), yang dipercaya sebagai tahun sesungguhnya kelahiran Tuhan Yesus. ((Pope Benedictus XVI,  Jesus of Nazareth: The Infancy Narratives, kindle version, loc. 1097-1101))

 

Paus : Doa Rosario Menopang Pertempuran Kita Melawan yang Jahat!

1

Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus pada Hari Raya Santa Perawan Maria diangkat ke Surga pada tanggal 15 Agustus 2013:

Saudara-saudari terkasih!

Pada akhir Konstitusinya atas Gereja, Konsili Vatikan II mewariskan kita sebuah meditasi yang sangat indah mengenai Maria yang Tersuci. Biar saya ingat kembali kata-kata yang mengacu pada misteri yang kita rayakan hari ini: “Perawan suci yang terlindungi bebas dari segala noda dosa asal, diangkat tubuh dan jiwa ke dalam kemuliaan surgawi, ketika hidupnya di dunia sudah berakhir, dan ditinggikan oleh Tuhan sebagai Ratu atas segala sesuatu” (no. 59). Kemudian menuju akhir, di sana: “Bunda Yesus dalam kemuliaan yang ia miliki dalam tubuh dan jiwa di surga merupakan gambaran dan awal gereja sebagaimana adanya disempurnakan di dunia yang akan datang. Demikian juga, ia bersinar seterusnya di bumi, sampai hari Tuhan datang “(no. 68). Dalam terang dari gambaran yang paling indah dari Ibu kita ini, kita dapat melihat pesan dari bacaan-bacaan Alkitab yang baru saja kita dengar. Kita bisa fokus pada tiga kata kunci: perjuangan, kebangkitan, pengharapan.

Kutipan dari Wahyu memperlihatkan visi perjuangan antara wanita dan naga. Sosok wanita, yang mewakili Gereja, adalah, di satu sisi, yang mulia dan penuh kemenangan dan sampai sekarang, di sisi lain, masih dalam kesusahan. Dan Gereja juga seperti itu: jika di surga ia sudah bersatu dengan berbagai cara dalam kemuliaan Tuhannya, dalam sejarah ia terus hidup melalui cobaan-cobaan dan tantangan-tantangan penuh konflik antara Allah dan si jahat, yang disebabkan oleh musuh abadi-Nya. Dan dalam perjuangan yang para murid harus hadapi – semua dari kita, semua murid-murid Yesus, kita harus menghadapi perjuangan ini – Maria tidak meninggalkan mereka sendirian: Ibu dari Kristus dan dari Gereja selalu bersama kita. Ia berjalan bersama kita selalu, ia bersama kita. Dan dalam sebuah cara, Maria berbagi dengan kondisi ganda ini. Dia tentu saja telah masuk, sekali untuk selamanya, ke dalam kemuliaan surgawi. Tapi ini tidak berarti bahwa ia jauh atau terpisah dari kita, melainkan Maria mendampingi kita, berjuang dengan kita, menopang umat Kristiani dalam perjuangan kita melawan kekuatan jahat. Doa bersama Maria, terutama Doa Rosario – tapi dengarkan dengan seksama: Doa Rosario. Apakah kalian berdoa Rosario setiap hari ? Tapi saya tidak yakin kalian melakukannya [orang-orang berteriak “Ya !”] … Benarkah? Nah, doa bersama Maria, terutama Doa Rosario, memiliki dimensi “penderitaan ” ini, yaitu perjuangan, doa yang bertahan dalam pertempuran melawan si jahat dan para kaki tangannya. Doa Rosario juga menopang kita dalam pertempuran itu.

Bacaan ke-dua berbicara kepada kita tentang kebangkitan. Rasul Paulus, menulis kepada jemaat di Korintus, menegaskan bahwa menjadi Kristiani berarti percaya bahwa Kristus benar-benar bangkit dari kematian. Seluruh iman kita didasarkan pada kebenaran mendasar yang bukan merupakan gagasan melainkan sebuah peristiwa. Bahkan misteri tubuh dan jiwa Maria diangkat ke surga sepenuhnya tertulis dalam kebangkitan Kristus. Kemanusiaan Bunda “ditarik” oleh Puteranya dalam bagian-Nya sendiri dari kematian kepada kehidupan. Sekali untuk selamanya, Yesus telah masuk ke dalam kehidupan kekal dengan semua umat manusia yang telah Dia ambil dari Maria; dan ia, sang Bunda, yang telah mengikutinya dengan setia sepanjang hidupnya, mengikutiNya dengan hatinya, dan telah masuk bersamanya ke dalam kehidupan kekal yang kita juga sebut surga, paradis, rumah Bapa.

Maria juga telah mengalami kemartiran Salib: kemartiran hatinya, kemartiran jiwanya. Ia telah menjalani kesengsaraan Putranya ke kedalaman jiwanya. Ia sepenuhnya bersatu denganNya dalam kematian-Nya, sehingga ia diberi karunia kebangkitan. Kristus adalah buah yang pertama dari antara orang mati dan Maria adalah[buah] yang pertama dari yang ditebus, yang pertama dari “orang-orang yang ada di dalam Kristus”. Ia adalah Ibu kita, tetapi kita juga dapat mengatakan bahwa ia adalah wali kita, saudari kita, saudari tertua kita, ia adalah yang pertama dari yang ditebus, yang telah sampai di surga.

Injil menunjukkan kepada kita kata ke-tiga itu: pengharapan. Pengharapan merupakan keutamaan orang-orang yang, mengalami konflik – perjuangan antara hidup dan mati, baik dan jahat – percaya pada kebangkitan Kristus, dalam kemenangan kasih. Kita mendengar Kidung Maria, Magnificat (Kemuliaan): itu adalah lagu pengharapan, itu adalah lagu Umat Allah yang berjalan melalui sejarah. Ini adalah lagu dari banyaknya orang kudus, pria dan wanita, beberapa yang terkenal, dan banyak lagi orang lainnya yang tidak dikenal oleh kita, tetapi diketahui oleh Allah: ibu, ayah, katekis, misionaris, imam, suster, orang-orang muda, bahkan anak-anak dan kakek-nenek: mereka ini telah menghadapi perjuangan hidup sewaktu sedang membawa di hati mereka pengharapan dari yang kecil dan yang rendah hati itu. Maria berkata: “jiwaku memuliakan Tuhan” – saat ini, Gereja juga menyanyikan ini di setiap belahan dunia. Lagu ini terutama kuat di tempat-tempat di mana Tubuh Kristus menderita sengsara. Bagi kita umat Kristiani, di mana pun Salib berada, di sana ada pengharapan, selalu. Jika tidak ada pengharapan, kita tidak kristiani. Itulah sebabnya saya ingin katakan: jangan biarkan dirimu kehilangan pengharapan. Semoga kita tidak kehilangan pengharapan, karena kekuatan ini adalah sebuah rahmat, sebuah karunia dari Allah yang membawa kita maju ke depan dengan mata kita tertuju pada surga. Dan Maria selalu ada di sana, dekat komunitas-komunitas itu, saudara-saudara kita, ia mendampingi mereka, menderita bersama mereka, dan menyanyikan Kemuliaan dari pengharapan bersama mereka.

Saudara-saudari terkasih, dengan segenap hati kita marilah kita juga menyatukan diri kita sendiri kepada lagu kesabaran dan kemenangan ini, [lagu] perjuangan dan sukacita, yang menyatukan Gereja yang menang dengan suatu penziarahan, bumi dengan langit, dan yang menghubungkan kehidupan kita menuju keabadian yang kita jalani. Amin.

(AR)

Paus Fransiskus,
Kastil Gandolfo, 15 Agustus 2013

Diterjemahkan dari : www.vatican.va

Paus : Jangan Malu Menjadi Pengikut Yesus

0

Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus pada Pesta Santo Ignatius Loyola, Pendiri Serikat Yesus pada tanggal 31 Juli 2013:

Dalam Ekaristi ini di mana kita merayakan Bapak kita, Ignatius Loyola, dalam terang bacaan-bacaan yang kita telah dengar saya ingin menyarankan tiga pemikiran sederhana, yang dipandu oleh tiga konsep: menempatkan Kristus dan Gereja di pusat; membiarkan diri kita dimenangkan oleh Dia untuk melayani, merasa malu atas kekurangan-kekurangan dan dosa-dosa kita sehingga menjadi rendah hati di mata-Nya dan di mata saudara-saudara kita.

1. Lambang Yesuit kita adalah sebuah monogram bertuliskan akronim dari “Iesus Hominum Salvator” (IHS)–red. Yesus penyelamat Manusia-. Masing-masing dari kalian bisa berkata kepada saya: kita tahu itu dengan sangat baik! Tapi lambang ini terus menerus mengingatkan kita dengan sebuah realitas yang kita tidak boleh lupa: sentralitas Kristus, bagi masing-masing dari kita dan bagi seluruh anggota Serikat yang St Ignatius ingin serukan, tepatnya, [berpusat] pada “Yesus” untuk mengindikasikan titik acuannya. Selain itu, pada awal Latihan Rohani kita juga menempatkan diri kita di hadapan Tuhan kita Yesus Kristus, Pencipta dan Juruselamat kita (lih. EE, 6). Dan ini membawa kita para Yesuit dan seluruh anggota Serikat untuk menjadi “penggembira”, untuk berdiri di hadapan “Kristus yang selalu lebih besar”, yang “Deus sempre maior”, yang “intimior intimo meo”, yang memimpin kita terus keluar dari diri kita sendiri, membawa kita ke kenosis tertentu, “berhenti mengutamakan diri sendiri, mencari manfaat untuk diri sendiri dan kepentingan sendiri”; (EE, 189). Pertanyaannya: “apakah Kristus adalah pusat hidup saya? Untuk kita, untuk setiap dari kita, pertanyaannya ialah apakah aku benar-benar menempatkan Kristus di pusat kehidupanku?” harus tidak dianggap remeh. Karena selalu ada godaan untuk berpikir bahwa kita berada di pusat; dan ketika seorang Yesuit menempatkan dirinya dan bukan Kristus di pusat [artinya] dia keliru. Dalam bacaan pertama Musa mengungkapkan secara bersikeras kepada rakyatnya bahwa mereka harus mengasihi Tuhan dan hidup menurut jalan-Nya “karena hal itu berarti hidup untuk kalian” (lih. Ul 30:16, 20). Kristus adalah hidup kita! Demikian juga sentralitas Kristus sesuai dengan sentralitas Gereja: mereka adalah dua titik fokus yang tidak dapat dipisahkan: aku tidak bisa mengikuti Kristus kecuali dalam Gereja-Nya dan dengan Gereja-Nya. Dan dalam kasus ini juga kita para Yesuit – dan seluruh anggota Serikat – tidak berada di pusat, kita adalah, boleh dikatakan, sebuah konsekuensi, kita berada pada pelayanan Kristus dan Gereja, Mempelai Kristus Tuhan kita, yang adalah Ibu suci kita Gereja yang hirarkis (lih. EE, 353). Manusia-manusia telah berakar dalam dan berlandaskan pada Gereja: ini adalah apa yang Yesus inginkan dari kita untuk berada. Tidak akan ada jalur paralel atau terisolasi. Ya, cara-cara penelitian, cara-cara kreatif, hal ini memang penting: bergerak keluar ke pinggiran itu, pinggiran-pinggiran orang banyak itu. Untuk alasan ini kreativitas sangat penting, tetapi selalu dalam komunitas, dalam Gereja, dengan rasa memiliki ini yang memberi kita keberanian untuk terus maju. Melayani Kristus adalah mencintai Gereja yang sebenarnya ini, dan yang melayani Gereja dengan murah hati dan dalam semangat ketaatan.

2. Jalan apa yang menuntun pada kehidupan sentralitas ganda ini? Mari kita lihat pengalaman St Paulus yang adalah juga pengalaman St Ignatius. Dalam bacaan ke-dua yang baru kita dengar, Rasul menulis: Aku terus maju menuju kesempurnaan Kristus, karena “Kristus Yesus telah membuatku menjadi milik-Nya sendiri” (Flp 3:12). Bagi Paulus itu terjadi dalam perjalanan ke Damaskus, bagi Ignatius dalam rumah keluarga Loyola, tetapi mereka memiliki sebuah titik mendasar yang sama: mereka berdua membiarkan Kristus membuat mereka menjadi milik-Nya. Aku mencari Yesus, aku melayani Yesus karena Dia telah mencari aku lebih dulu, karena aku dimenangkan olehNya: dan hal ini merupakan hati dari pengalaman kita.

Namun Ia pergi lebih dulu, selalu. Di Spanyol ada kata yang sangat ekspresif yang menjelaskan dengan baik : El nos “primerea”, Dia “mendahului” kita. Dia selalu lebih dulu. Ketika kita tiba Dia sudah ada di sana menunggu kita. Dan di sini saya ingin mengingat kembali meditasi pada “Kerajaan dalam Minggu Ke-dua”. Kristus Tuhan kita, Raja yang kekal, memanggil masing-masing dari kita, dengan mengatakan: “kepada siapa pun, kemudian, yang memilih untuk bergabung denganKu, Aku tidak menawarkan apa-apa kecuali sebuah bagian dalam penderitaan-penderitaan-Ku, tetapi jika ia mengikuti Aku dalam penderitaan ia pasti akan mengikuti Aku dalam kemuliaan” (EE, 95); untuk dimenangkan oleh Kristus untuk mempersembahkan kepada Raja ini seluruh pribadi kita dan setiap usaha kita (lih. EE, 96); yang mengatakan kepada Tuhan bahwa kita berniat untuk melakukan yang terbaik kita bagi pelayanan yang lebih sempurna dan pujian yang lebih besar pada yang Mulia, menanggung dengan sabar semua ketidakadilan, semua kekerasan, segala kemiskinan (lih EE, 98). Tapi saat ini pikiran-pikiran saya beralih ke saudara-saudara kita di Suriah. Membiarkan Kristus membuat kita menjadi milik-Nya sendiri selalu berarti berusaha maju ke depan untuk apa yang ada di depan, dengan tujuan Kristus (lih. Flp 3:14), dan hal itu juga berarti meminta diri seseorang dengan kebenaran dan ketulusan : apa yang telah aku lakukan bagi Kristus ? Apa yang sedang aku lakukan bagi Kristus? Apa yang harus aku lakukan untuk Kristus? (lih. EE , 53).

3. Dan saya sampai pada poin terakhir. Dalam Injil Yesus mengatakan: “Barangsiapa menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya …. Sebab barangsiapa malu karena Aku … ” (Luk 9:23; 26). Dan lain sebagainya. Rasa malu Yesuit. Undangan Yesus adalah tidak pernah untuk menjadi malu karena Dia tapi untuk mengikutiNya selalu dengan dedikasi total, percaya padaNya dan mempercayakan diri kepadaNya. Tapi seperti St Ignatius ajarkan kepada kita dalam “Minggu Pertama”, melihat Yesus dan, terutama, melihat Kristus yang Tersalib, kita merasakan perasaan yang paling manusiawi dan paling mulia itu yang adalah rasa malu karena ketidakmampuan untuk mengukur sampai kepadaNya; kita melihat pada kebijaksanaan Kristus dan ketidaktahuan kita, pada kemahakuasaan-Nya dan ketidakberdayaan kita, pada keadilan-Nya dan kelakuan buruk kita, pada kebaikan-Nya dan kejahatan kita (lih. EE, 59). Kita harus memohon rahmat untuk menjadi malu; rasa malu yang berasal dari percakapan yang berkesinambungan dengan belas kasihan-Nya, rasa malu yang membuat kita malu di hadapan Yesus Kristus, rasa malu yang menyelaraskan diri kita dengan hati Kristus yang telah membuat dirinya menjadi dosa karena aku; rasa malu yang mengharmoniskan setiap hati melalui air mata dan menemani kita dalam “penyertaan” dari “Tuhanku”setiap hari. Dan hal ini selalu membawa kita, sebagai individu-individu dan sebagai masyarakat, kepada kerendahan hati, kepada kehidupan kebajikan besar ini. Kerendahan hati yang setiap hari membuat kita sadar bahwa bukan kita yang membangun Kerajaan Allah tetapi selalu rahmat Tuhan yang bekerja di dalam kita; sebuah kerendahan hati yang memacu kita untuk menempatkan seluruh diri kita tidak menjadi pelayan diri kita sendiri atau ide-ide kita sendiri, tetapi melayani Kristus dan Gereja, seperti bejana-bejana tanah liat, rapuh, tidak memadai dan tidak mencukupi, namun yang mengandung harta karun besar yang kita lahirkan dan komunikasikan (lih. 2 Kor 4:7).

Saya selalu suka memikirkan waktu senja seorang Yesuit, ketika seorang Yesuit sedang mendekati akhir kehidupan, pada saat ia terbenam. Dan dua gambaran dari Yesuit di waktu senja ini selalu muncul dalam pikiran: sebuah gambaran klasik, gambaran dari St Francis Xavier yang sedang menatap ke arah China. Seni telah begitu sering menggambarkan ini, masa akhir Xavier. Demikian juga dalam sastra, dalam hasil karya seni yang indah dari Pemán. Pada akhirnya, tanpa sesuatu apapun selain berada di hadapan Tuhan, pemikiran ini membuat aku merasa baik. Suasana matahari terbenam yang lain, gambaran lain yang datang ke pikiran sebagai sebuah contoh adalah gambaran dari Pater Arrupe (red- mantan Superior Jendral Yesuit) dalam percakapan terakhirnya di kamp pengungsi, ketika ia katakan kepada kita – sesuatu yang biasa ia katakan – “Aku katakan hal ini seolah-olah ini adalah nyanyian angsaku: berdoalah”. Doa, persatuan dengan Yesus. Setelah menyampaikan kata-kata ini ia terbang ke Roma dan setibanya [di sana] ia terkena stroke yang mengantarnya terbenam – begitu panjang dan begitu penuh teladan – kehidupannya. Dua suasana matahari terbenam, dua gambaran, yang keduanya berguna bagi kita untuk dilihat dan untuk direnungkan. Dan kita seharusnya memohon rahmat ini semoga saat tutup usia kita sendiri akan menyerupai mereka.

Saudara-saudara, mari kita kembali kepada Bunda Maria yang membawa Kristus dalam rahimnya dan telah menyertai Gereja saat ia mengambil langkah-langkah pertamanya. Semoga ia membantu kita selalu mengutamakan Kristus dan Gereja-Nya di tengah-tengah kehidupan kita dan pelayanan kita. Semoga ia, yang adalah murid Putranya yang pertama dan yang paling sempurna, membantu kita membiarkan Kristus membuat kita menjadi milik-Nya, untuk mengikuti-Nya dan melayani-Nya dalam setiap situasi; semoga ia yang telah menanggapi dengan kerendahan hatinya yang terdalam pada pesan malaikat: “Sesungguhnya, aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38), memungkinkan kita untuk merasa malu pada kekurangan kita sendiri sebelum harta kekayaan itu dipercayakan kepada kita. Semoga hal itu juga memungkinkan kita untuk merasakan kerendahan hati saat kita berdiri di hadapan Allah; dan semoga kita disertai pada perjalanan kita dengan perantaraan bapa kita St Ignatius dan semua Orang Kudus Yesuit yang terus mengajarkan kita untuk melakukan segala hal, dengan kerendahan hati, ad maiorem dei Gloriam, Demi semakin besarnya kemuliaan Tuhan Allah kita.

(AR)

Paus Fransiskus,
Gereja Nama Yesus Yang Paling Suci, Roma, 31 Juli 2013

Diterjemahkan dari : www.vatican.va

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab