Home Blog Page 84

Apa yang terjadi di Konsili Nicea (325)?

4

Konsili Ekumenis pertama di Nicea yang diadakan tahun 325, diadakan sebagai tanggapan Gereja universal terhadap  ajaran sesat dari Arius dari Gereja Aleksandria, di Mesir, sekitar tahun 319.

1. Latar belakang diadakannya Konsili Nicea (325)

Di semua ajaran sesat yang terjadi dalam sejarah Gereja, terdapat usaha untuk merasionalisasi ajaran iman Katolik dengan menghilangkan sejumlah misteri iman yang dianggap sulit diterima oleh akal. Paham Arianisme merupakan contoh yang sempurna tentang hal ini. (Paham Arianisme merupakan ajaran sesat yang mengguncang Gereja, yang tadinya dalam keadaan damai, setelah penganiayaan terhadap Gereja dihentikan, karena dikeluarkannya Edict Milan (313) oleh pihak penguasa Romawi). Arius berusaha menyederhanakan misteri yang terbesar dalam ajaran Kristiani yaitu tentang Trinitas -Allah yang satu dalam tiga Pribadi- karena ia menganggap ajaran itu merupakan skandal bagi pemikiran manusia.

Selanjutnya tentang apakah yang diajarkan oleh paham Arianisme, silakan klik di sini.

Menanggapi ajaran sesat di wilayahnya, Patriarkh Aleksandria, St. Aleksander mengadakan konsili di Aleksandria sekitar tahun 321, yang dihadiri oleh sekitar 100 uskup dari Mesir dan Lybia, dan mereka mengecam ajaran Arius tersebut. Namun Arius mempunyai kemampuan politik yang tinggi, untuk memperoleh dukungan dari mereka yang mempunyai kedudukan, baik di pemerintahan maupun pejabat Gereja. Pendukungnya yang terpenting adalah dua orang Uskup yang bernama Eusebius. Yang pertama adalah Eusebius Uskup Kaisarea, Palestina, yang juga penulis buku sejarah Gereja, History of the Church; yang kedua adalah Uskup Eusebius dari Nikomedia, yang kemudian menjadi pemimpin partai Arian dan pelindung Arius. Uskup Nikomedia ini adalah sahabat Konstantia, kakak perempuan Kaisar Konstantin.

Setelah diekskomunikasi oleh Konsili Aleksandria, Arius pergi ke Palestina dan kemudian ke Nikomedia. Sementara itu, St. Aleksander menerbitkan surat yang berjudul, “Epistola encyclica“, yang kemudian ditanggapi oleh Arius, dan timbullah pertentangan antara kedua kubu yang mengakibatkan pergolakan dalam masyarakat. Kekacauan itu kemudian diperparah dengan pertikaian antara Kaisar Konstantin dan Licinius, di tahun 322-323. Setelah Kaisar Konstantin menang dan menjadi penguasa tunggal, ia mempunyai kepentingan untuk mengembalikan keadaan damai di daerah kekuasaannya. Untuk itulah ia menulis surat kepada St. Aleksander dan kepada Arius, dengan maksud agar keduanya membuat semacam persetujuan secepatnya. Untuk itulah ia bermaksud mengadakan Konsili Ekumenis untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Kaisar Konstantin kemudian menulis surat kepada para uskup di seluruh negeri untuk datang ke Nicea. Maka para Uskup itu (dari Mesir, Persia, Asia, Syria, Yunani, Thrace) datang ke Konsili di Nicea. Tidak diketahui secara historis apakah atas namanya sendiri Kaisar Konstantin memprakarsai Konsili, ataukah ia bertindak bersama dengan/ atas nama Paus saat itu. Namun demikian, mengingat banyaknya Uskup yang hadir dengan fokus utama pembahasan doktrinal sehubungan dengan tanggapan Gereja terhadap ajaran sesat Arianisme, dan ke-20 Kanon yang khusus membahas tentang ketentuan Gerejawi, menunjukkan besarnya kemungkinan bahwa Kaisar Konstantin dan Paus Sylvester I bertindak dalam persetujuan bersama untuk memprakarsai Konsili itu.

2. Konsili Ekumenis pertama di Nicea (325)

Akhirnya, di musim panas tahun 325 diadakanlah Konsili Nicea. Menurut catatan St. Athanasius, jumlah Uskup yang hadir dalam Konsili Nicea adalah sekitar 300 orang, (dalam suratnya, Ad Afros, ia menyebutkan jumlah 318 orang, sedangkan Eusebius menyebutkan 250 orang), mayoritas dari wilayah timur kerajaan. Pandangan Arius ditolak oleh mayoritas Uskup yang hadir. Hanya ada dua orang (yaitu Theonas dari Marmarica dan Secundus dari Ptolemais) bersama Arius sendiri, yang akhirnya menolak untuk menandatangani teks Syahadat Nicea yang dirumuskan oleh Konsili tersebut. Sebab teks syahadat itu merumuskan dengan jelas, bahwa Kristus “sehakekat dengan Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar.”

Sayangnya fakta ini diselewengkan. Buku Dan Brown yang terkenal itu, Da Vinci Code, mengutip pandangan yang menyatakan bahwa sebelum Konsili Nicea Yesus dianggap sebagai nabi biasa, dan baru dinobatkan sebagai ‘Putera Allah’ oleh Konsili Nicea, yang diperoleh melalui voting dengan kemenangan tipis. Ini tidak sesuai kenyataan. Ajaran tentang Trinitas itu sudah sejak awal diimani oleh Gereja. Walaupun kata “Trinitas” tidak secara eksplisit tertulis dalam Kitab Suci, namun prinsipnya jelas diajarkan dalam Kitab Suci. Para Bapa Gereja sebelum tahun 325 juga telah mengajarkan tentang Trinitas, sebagaimana pernah diulas di artikel ini, silakan klik.

3. Tentang siapa yang memimpin Konsili

Kaisar Konstantin sebagai tuan rumah di Nicea membuka Konsili, dan kemungkinan iapun hadir dalam sesi-sesi Konsili. Namun melihat hasil konsili yang jelas membahas hal-hal doktrinal dan disiplin Gereja yang khas, maka adalah lebih masuk akal bahwa pemimpin sesi-sesi Konsili itu adalah pihak otoritas Gereja, (dalam hal ini adalah Hosius dari Kordova dibantu perwakilan Paus, yaitu Vitus dan Vincentius, ataupun Patriarkh Aleksander dari Aleksandria atau Eustathius dari Antiokhia) dan bukan Kaisar Konstantin itu sendiri. Silakan klik di link ini, untuk membaca tentang hasil Konsili Nicea, yang mencakup pernyataan iman dari ke 318 Bapa Gereja, dan ke 20 Kanon yang ditetapkan, beserta surat kepada umat di Mesir, termasuk kecaman kepada Arius, Theonas dari Marmarica dan Secundus dari Ptolemais, yang menolak untuk menandatangani pernyataan iman para Bapa Gereja di Konsili Nicea.

4. Pernyataan Iman Konsili Nicea

We believe in one God, the Father Almighty, maker of all things visible and invisible; and in one Lord Jesus Christ, the Son of God, the only-begotten of his Father, of the substance of the Father, God of God, Light of Light, very God of very God, begotten (γεννηθέντα), not made, being of one substance (ὁμοούσιον, consubstantialem) with the Father. By whom all things were made, both which be in heaven and in earth. Who for us men and for our salvation came down [from heaven] and was incarnate and was made man. He suffered and the third day he rose again, and ascended into heaven. And he shall come again to judge both the quick and the dead. And [we believe] in the Holy Ghost.
And whosoever shall say that there was a time when the Son of God was not (ἤν ποτε ὅτε οὐκ ἦν), or that before he was begotten he was not, or that he was made of things that were not, or that he is of a different substance or essence [from the Father] or that he is a creature, or subject to change or conversion — all that so say, the Catholic and Apostolic Church anathematizes them.

Terjemahannya dalam bahasa Indonesia:

Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan; dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah yang tunggal, yang dari Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa; segala sesuatu dijadikan oleh-Nya. Untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, Ia turun dari surga dan menjelma menjadi manusia, menderita dan bangkit pada hati ketiga, Ia naik ke surga, Ia akan datang kembali untuk mengadili orang hidup dan yang mati. Dan [aku percaya akan] Roh Kudus…

Dan barang siapa yang berkata bahwa ada waktunya ketika Putera Allah tidak ada, atau sebelum Ia lahir Ia tidak ada, atau Ia diciptakan dari benda-benda yang tadinya tidak ada, atau bahwa Ia berasal dari hakikat yang berbeda dengan Bapa, atau bahwa Ia adalah mahluk ciptaan, atau Ia dapat berubah atau bertobat- semua yang serupa itu, Gereja Katolik dan Apostolik meng-anathema mereka.

Catatan:

– ‘Anathema’ artinya menyatakan bahwa seseorang/ sejumlah orang yang mengajarkan ajaran yang menyimpang tersebut, sebagai orang-orang di luar Gereja.

– Syahadat Nicea yang kita kenal sekarang (tercatat dalam buku Puji Syukur no.2) adalah hasil Konsili Nicea (325) dan Konstantinopel (381).

Pengharapan akan Terang di saat gelap datang

5

[Hari Minggu Prapaskah II: Kej 12:1-4; Mzm 33:4-22; 2Tim 1:8-10; Mat 17:1-9]

Injil hari ini mengisahkan tentang Yesus yang dimuliakan di atas gunung, enam hari setelah Ia memberitahukan para murid-Nya bahwa Ia akan menanggung banyak penderitaan, dibunuh oleh karena para imam kepala dan orang Farisi, namun akan dibangkitkan pada hari ketiga (lih. Mat 16:21). Perkataan Yesus tentang sengsara dan wafat-Nya ini sangatlah membuat para murid berduka, dan mungkin juga bertanya-tanya. Namun kemudian Yesus mengajak Rasul Petrus, Yakobus dan Yohanes untuk berdoa bersama-Nya di gunung Tabor. Di sana mereka melihat Yesus berubah rupa, dimuliakan dalam terang yang mengagumkan, bersama dengan Nabi Musa dan Elia. Para rasul itu tidak pernah melupakan kenangan manis ini yang diberikan oleh Yesus di tengah kegalauan hati mereka. Bahkan bertahun-tahun kemudian, Rasul Petrus menuliskan kenangan ini dalam suratnya kepada  Gereja, sebagai kesaksian untuk meneguhkan iman jemaat: “Kami menyaksikan…. suara dari yang Maha mulia… “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (lih.2 Pet 1:17-18). Maka Gereja memiliki pengharapan bahwa Kristus akan datang kembali dalam kemuliaan. Tak mengherankan jika St. Leo Agung mengajarkan, “Tujuan utama dari Transfigurasi adalah untuk menghalau kegelisahan dalam jiwa para murid akan kekejaman penyaliban Kristus.”

Pandangan akan kemuliaan Tuhan, memberikan kebahagiaan kepada para Rasul itu. Saking bahagianya, Rasul Petrus ingin membangun tiga buah tenda bagi Yesus, Nabi Musa dan Elia, mungkin agar kebahagiaan itu berlangsung lebih lama. Namun, Injil Lukas yang juga memuat kisah ini, menyatakan, “Tetapi Petrus tidak tahu apa yang dikatakannya itu.” (Luk 9:33). Mungkin baru setelah kebangkitan Yesus, kenaikan-Nya ke Surga dan atas bimbingan Roh Kudus, para Rasul mengetahui bahwa kebahagiaan sesungguhnya tidak tergantung dari berada di tempat ini atau itu, namun pada keterpautan jiwa kita dengan Tuhan Yesus. Jika kita berpaut pada Yesus, tidaklah menjadi masalah, apakah hidup kita sedang berjalan mulus, atau tidak; apakah kita sedang sehat, atau sedang sakit. Tuhan Yesus menopang kita, dan akan selalu menyertai dan menghibur kita. Ia menghendaki agar pengharapan akan kemuliaan surgawi yang dijanjikan-Nya, dapat memberi semangat kepada kita, untuk menjalani hidup ini. Kristus menghendaki agar kita menajamkan mata rohani kita, supaya kita dapat melihat Dia dalam diri orang-orang di sekeliling kita: suami, istri, anak- anak kita; ataupun dalam diri orang-orang yang kita jumpai setiap hari, dan terutama, yang membutuhkan pertolongan kita. Sukacita yang dialami dalam doa bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk melarikan diri dari tugas dan kesulitan sehari-hari. Justru maksud Tuhan adalah agar kita memperoleh kekuatan baru untuk menghadapinya bersama dengan Dia, dan menemukan makna hidup kita.

Mungkin baik di sini kita belajar dari seorang yang bernama Martha Robin (1902- 1981). Ia adalah seorang wanita kelahiran Châteauneuf-de-Galaure, Perancis, yang sangat taat dan beriman. Di usia 16 tahun ia jatuh sakit yang membuatnya koma selama 20 bulan. Setelah sadar, penyakitnya malah memburuk, dan membuatnya lumpuh, sampai wafatnya. Ia bahkan tidak dapat menelan sehingga tidak dapat makan dan minum. Adalah suatu misteri tersendiri bahwa Martha dapat hidup tanpa makanan selama 50 tahun, kecuali dari Ekaristi. Kondisinya ini kemudian diperiksa oleh beberapa dokter, salah satunya seorang dokter atheis, bernama Paul Louis Chouchoud. Dr. Chouchoud mendapat izin dari uskup setempat untuk menyelidiki keadaan Martha. Setelah mengamati dengan seksama, Dr. Chouchoud mengkonfirmasi bahwa Martha memang mengalami lumpuh total sehingga tidak dapat menelan air walaupun hanya setetes saja. Namun yang tak dapat dijelaskan adalah, tulis Dr. Chouchoud, saat Martha menerima Komuni kudus. Dia tidak dapat menelan ‘Hosti’ tersebut, sebab otot tenggorakannya tidak dapat bergerak, namun Hosti itu dapat lewat secara misterius melalui bibirnya yang tertutup menuju saluran kerongkongannya. Martha tidak dapat makan makanan atau minuman duniawi apapun, namun ia tidak dapat hidup tanpa Ekaristi.

Bagi Martha, menerima Ekaristi adalah sesuatu yang terpenting. Setelah Komuni, ia tenggelam dalam keadaan suka cita yang tak terkatakan. Martha mengalami penghiburan Terang Tuhan dalam Ekaristi, yang menghalau kegelapan hidupnya sebagai seseorang yang nampak tak berdaya. Kristus memampukan Martha untuk mempersembahkan hidupnya untuk mendoakan ribuan orang yang mengunjunginya. Kata-kata sederhana yang keluar dari bibirnya yang nyaris tidak dapat bergerak itu dapat mengubah hidup mereka. Martha membawa banyak orang kepada Kristus. Kesaksian hidupnya menunjukkan bahwa tidak ada suatu penyakit, kesesakan, atau kuasa apapun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus (lih. Rom 8:35-39), yang suatu saat nanti akan menyambut kita dalam Terang-Nya yang abadi.

Mungkin kita tidak lumpuh, dan masih bisa menelan dengan normal…, tapi apakah mata hati kita terbuka seperti Martha, sehingga kita dapat mengalami Terang Tuhan yang memberi pengharapan, dalam Ekaristi?

Malas melihat cermin

1

Ada kalanya saya malas melihat cermin, yaitu saat badan sedang gemuk karena sering makan melebihi porsi yang sehat serta kurang berolahraga. Sepertinya dengan begitu saya sedang ingin melupakan penampakan keadaan fisik saya. Demikian juga dengan keadaan rohaniku. Karena pilihan-pilihanku sendiri yang kubuat di luar Allah, ada banyak keadaan mula-mula yang sebenarnya indah menjadi tidak ideal lagi sampai-sampai melihat bayangan diri sendiri pun enggan. Rasa percaya diri terkikis.

Entah berapa banyaknya rencana Tuhan yang indah buat kehidupan manusia telah berubah karena pilihan manusia untuk memutuskan sendiri apa yang dianggapnya baik. Minggu lalu ketika tugas kuliah mengharuskan kami membuat skema pohon keluarga, keluarga inti yang sejatinya terdiri dari skema sederhana yaitu satu pasang suami istri dengan anak-anak, menjadi rupa-rupa bentuk skemanya, rumit dan membingungkan, karena terjadi pernikahan kedua dan bahkan ketiga karena perceraian, kemudian ada pernikahan antar sesama jenis, sehingga di negara yang liberal mulai ada wacana untuk tidak menyebut orangtua anak-anak sebagai ‘mother and father’, tetapi sebaiknya dengan ‘parents’ saja karena ada kemungkinan kedua orangtuanya berjenis kelamin sama. Sudah mulai jamak bahwa nilai yang mulia dan ilahi dianggap aneh, sebaliknya nilai yang keliru dan menyimpang dianggap sebagai dinamika jaman dan toleransi kemanusiaan.

Tuhan telah mengajakku menjadi mitranya untuk menjadi duta-duta kasih & penyampai Kabar Keselamatan bagi dunia ini, tetapi karena dosa-dosaku, jati diriku yang mulia menjadi kabur dan penuh distorsi. Tugas indah yang Dia percayakan padaku tidak mampu kupikul dengan semestinya, karena diriku sendiri masih penuh dengan pelanggaran dan cinta diri. Kita memerlukan sebuah masa pertobatan sebagaimana masa Prapaskah ini sebagai kesempatan untuk memulihkan jati diri kita yang sejati, yang dikaruniakan Tuhan pada manusia sejak semula. Dikasihi secara personal oleh Kristus, diciptakan secara istimewa dengan berbagai keunikan, dan dipelihara dengan kasih Bapa yang kekal sejak semula. Aku telah diciptakan seturut gambaran Diri-Nya (Kejadian 1: 26-28). Dicintai tanpa syarat sebagaimana adanya diriku (Yohanes 3:16-17 dan Roma 5:8). Aku begitu berharga dan tak ternilai, ditebus dengan darah yang demikian kudus oleh Kristus (Mazmur 49: 7-8 dan 1 Petrus 1:19). Aku dibenarkan (Roma 5:1), dikuduskan (Ibrani 10:10, 1 Kor 1:2, 6:11). Aku anggota komunitas Kerajaan Allah (1 Pet 2:9), aku dijadikan anak Allah dan anggota keluarga Allah oleh karena iman (Yoh 1: 12 dan Efesus 1:1-7 serta Galatia 3:26).

Yah, sedemikianlah berharganya kita di hadapan Allah. Rancangan Allah yang Ia miliki bagi kita, mulia dan sempurna. Sayangnya, memilih untuk mengandalkan diri sendiri, menempatkan ego dan keinginan diriku di atas suara Tuhan yang selalu mengingatkan dengan halus dan lembut dalam nuraniku, membuat citra itu perlahan-lahan mengabur. Dan tahu-tahu inilah aku, rapuh dan tidak percaya diri lagi, karena tidak mengenali lagi siapa diriku yang sebenarnya di mata-Nya. Tetapi Allah bukanlah Tuhan yang mudah menyerah. Ia juga tidak pernah menyerah akan aku. Sekalipun dunia ciptaan-Nya mungkin telah terdistorsi begitu rupa oleh kejahatan manusia, Allah tetap mempercayai kita untuk melanjutkan karya agung-Nya. Melalui solidaritas teragung dalam sejarah umat manusia, Putera-Nya Yesus Kristus hadir ke dunia sebagai manusia, menunjukkan jalan untuk memulihkan kembali jati diri alam semesta dan seisinya sebagaimana citranya yang mula-mula. Solidaritas yang sedemikian mahal, yang dijalani Kristus dengan penderitaan salib yang sedemikian berat. Sama halnya dengan Kristus yang berjuang untuk menempuh jalan pemulihan itu, aku diajakNya untuk berjuang bersama dan di dalam Dia. Tidak ada yang mustahil bersamaNya, semuanya mungkin untuk menjadi baik kembali, dimulai dari diriku sendiri dan pilihan-pilihanku untuk menyangkal egoku dan memikul salib kecilku bersamaNya***

Kenapa Sih, Kita Mengalami Pencobaan?

0

[Hari Minggu Prapaskah I: Kej 2:7-9; 3:1-7; Mzm 51:3-17; Rm 5:12-19; Mat 4:1-11]

Minggu pertama masa Prapaska ini dibuka dengan permenungan tentang Tuhan Yesus yang dicobai iblis di padang gurun. Peristiwa ini terjadi di awal karya Yesus di hadapan publik yang kemudian memuncak dengan kurban salib-Nya dan kebangkitan-Nya dari kematian. Mungkin kita yang bertanya- tanya, mengapa, kok Tuhan Yesus mau-maunya membiarkan iblis mencobai Dia. Sungguh ini adalah misteri bagi kita, yang jawaban tuntasnya baru kita ketahui jika kelak kita bertemu dengan Tuhan Yesus di Surga. Namun sementara ini kita dapat belajar dari St. Yohanes Krisostomus, yang mengatakan demikian, “Sebab Tuhan Yesus melakukan segala sesuatu untuk memberikan pengajaran kepada kita, demikianlah  Ia membiarkan diri-Nya dicobai oleh iblis… Ia melakukan ini agar orang-orang yang sudah dibaptis tidak menjadi kecil hati, jika setelah Baptisan mereka mengalami pencobaan-pencobaan yang lebih besar…”

Yesus mau mengajarkan kepada kita dengan teladan-Nya bahwa tak seorangpun dapat berpikir bahwa dirinya kebal terhadap segala jenis godaan. Sebab godaan iblis yang ditujukan kepada Yesus sebenarnya juga dapat ditujukan kepada kita, tentu saja dalam bentuk yang berbeda, yang lebih cocok dengan keadaan kita. Iblis tidak akan menawarkan kepada kita seluruh kerajaan di dunia, sebab ini mungkin terlalu tinggi bagi kita. Tapi iblis dapat mencobai kita di titik kelemahan kita, yang tak terlalu tinggi, namun cukup untuk membuat kita jatuh. Godaan untuk mengejar kekayaan dan segala yang sedang nge-trend saat ini; godaan untuk tidak setia kepada suami atau istri; godaan untuk melihat gambar atau situs porno, atau bahkan berbagai bentuk kecanduan lainnya: kecanduan main game, nonton sinetron TV, belanja di mall, atau kecanduan rokok, minum alkohol dan makan-makan di restoran setiap hari. Atau bentuk godaan yang lebih halus, tetapi lebih berbahaya, yaitu godaan untuk merasa diri lebih hebat, lebih baik atau lebih suci. Semua godaan itu membuat kita semakin memusatkan perhatian pada diri sendiri dan menjauhkan diri dari Allah, yang dapat berujung pada kegelisahan dan keputusasaan. Tuhan Yesus memberikan teladan agar kita mampu mengalahkan godaan-godaan itu, yaitu: dengan kerendahan hati dan mengandalkan Allah.

Yesus sendiri telah melakukannya. Setelah berpuasa 40 hari, Yesus yang tentunya merasa lapar, dicobai iblis agar mengubah batu menjadi roti. Namun Yesus bukannya hanya menolak makanan yang sangat dibutuhkan-Nya itu, tetapi juga menolak godaan yang lebih besar, yaitu godaan untuk menggunakan kekuatan ilahi-Nya untuk melarikan diri dari kesulitan yang dihadapi. Betapa besar kerendahan hati Yesus saat Ia sepenuhnya mengambil keadaan sebagai manusia. Marilah berdoa agar kitapun dapat dengan teguh menjalani hidup, mau bekerja keras, dan tidak segan berkorban demi kasih kita kepada orang-orang yang kita kasihi. Di saat kita lelah dan lemah, kita perlu waspada terhadap godaan semacam ini. Semoga kita dapat meniru Kristus, agar tidak mudah melarikan diri dari kesulitan, tetapi menghadapinya dengan kekuatan yang dari Tuhan. Selanjutnya, Yesus digoda iblis untuk menjatuhkan diri dari bubungan bait Allah, agar Allah dapat mengutus para malaikat-Nya untuk menatang Yesus. Tuhan Yesus juga menolak cobaan ini. Ia menolak melakukan ‘show off’ mukjizat hanya untuk alasan yang sia-sia. Demikianlah, iblis-pun dapat mencobai kita dengan godaan serupa, supaya kita tertarik untuk tampil sebagai seorang yang hebat, bahkan untuk alasan yang sepertinya rohaniah. Tuhan Yesus mengajarkan kita agar kita jangan mencobai Tuhan, untuk alasan agar dikagumi orang. Di cobaan yang terakhir, iblis menawarkan Yesus segala kemuliaan dan kuasa di dunia, asalkan Yesus mau menyembahnya. Tuhan Yesus lalu mengusirnya. Demikianlah, iblis selalu mengarahkan kita untuk memutar pusat perhatian kita kepada sesuatu yang bukan Allah. Namun Yesus mengajarkan kita agar senantiasa mengarahkan hati kita kepada Allah dan mengandalkan Dia, sebab hanya Tuhan-lah yang dapat menyelamatkan kita.

Di sepanjang masa Prapaska ini, kita semakin disadarkan akan kelemahan kita sebagai manusia. Sebab dalam banyak kesempatan, kita masih mempunyai kecenderungan untuk meninggikan diri sendiri daripada meninggikan Tuhan. Atau kecenderungan untuk melakukan apa yang seharusnya tidak kita lakukan. Atau kecondongan untuk selalu memilih yang enak dan mudah dan enggan berkorban. Apapun pergumulan kita, marilah dengan kerendahan hati kita memohon kepada Tuhan, agar Ia menuntun kita untuk mengalahkan segala godaan. Sebab Ia mengizinkan itu terjadi, agar membantu kita menjadi seseorang yang lebih baik dari hari kemarin. So help me, God.

Dengarlah Matahariku

0

Biara tempat aku mengalami formasi awal ini masih berupa Postulat, yang dihuni oleh calon-calon dari berbagai tarekat maupun keuskupan. Oleh sebab itu, diadakan orientasi Tarekat. Setiap dua bulan sekali, aku mengikuti orientasi Tarekat agar lebih mengenal dan mendalami spiritualitas khas yang dimiliki tarekatku. Aku dan saudara se-tarekat menginap di salah satu biara Novisiat. Selama menginap di biara Novisiat ini, aku bertemu dengan beberapa orang yang kebetulan juga mengunjungi biara tersebut, Agung, drg. Nico, dan Sr. Galih. Dalam diri mereka masing-masing, aku bisa melihat benang merah karya Allah dalam hidupku.

Agung adalah seorang siswa SMK perhotelan dan bekerja di salah satu hotel di daerah dekat biara. Ia bukan seorang Katolik, namun ia sedang mengikuti pelajaran katekumen. Keluarganya juga bukan berasal dari latar belakang Katolik sehingga cukup sulit menerima keputusannya tersebut. Perjuangannya tentu tidak ringan karena harus menghadapi penolakan dari keluarganya. Akan tetapi, ia begitu bersemangat dan optimis dalam menjalani masa katekumennya. Ia mengingatkanku akan diriku sendiri ketika mulai memasuki Kristianitas. Masa katekumen aku jalani dengan semangat pula, sekalipun mendapat tentangan dari beberapa pihak. Karena rahmat Allah, aku dapat bertahan dan menjadi Katolik.

Drg. Nico adalah seorang pemuda sebayaku dan berprofesi sebagai dokter gigi. Ia berasal dari kota besar, namun saat ini bertugas di daerah terpencil berjarak 5 jam perjalanan dari biara. Tempat kerjanya yang terpencil bukan karena ia ditempatkan di situ oleh instansi tertentu. Ia sendiri yang memilih untuk melamar di tempat tersebut, yakni sebuah rumah sakit kecil yang dikelola oleh salah satu kongregasi suster. Bisa dibayangkan daerah tersebut akan sangat sepi, berbeda dengan daerah perkotaan yang lebih ramai. Selain itu, bayaran yang ia terima juga jauh lebih rendah. Jika usahanya tidak berakar pada niat yang tulus, tidak mungkin ia bertahan. Ia datang ke biara karena ingin berkonsultasi dan live-in selama sehari. Ia juga merasakan ada panggilan dalam dirinya untuk mengikuti Kristus melalui hidup membiara. Ia mengingatkanku ketika aku pertama kali menyadari bahwa Allah memberiku anugerah yang khusus. Anugerah ini sangat indah, namun menuntutku untuk melepaskan banyak hal, termasuk pekerjaan, kehidupan, dan cita-cita yang aku rencanakan. Sama seperti drg. Nico, ada sesuatu yang aku cari dalam hidup, dan aku merasa menemukannya dalam panggilan-Nya. Aku bertekad menjawab dan berusaha meretas jalan. Karena pertolongan Allah, berbagai kendala, terutama dari keluarga, dapat diatasi dengan baik dan aku menjalani hidup formasi di biara ini.

Sr. Galih adalah seroang novis dari sebuah kongregasi suster misionaris. Ia berasal dari kota asalku dan memiliki kepribadian yang menyenangkan. Sepanjang perjalanan mengunjungi stasi, tidak henti-hentinya kami tertawa dan bercanda bersama. Berbekal wajah berpulas senyum dan tubuh subur sebagai sasaran guyon, dia udah akrab dengan banyak orang, sekalipun ia baru mengenal mereka. Jika dipikir-pikir secara duniawi, lebih banyak orang yang seharusnya lebih bahagia daripada dia. Ia tidak punya uang, tidak menikah, dan harus patuh taat kepada superior seumur hidup. Tapi, wajahnya memancarkan kebahagiaan dan kegembiraan, walaupun jalan hidupnya berbeda dari kebanyakan orang. Justru, saat ini banyak orang kaya yang depresi, pasangan yang bertikai, dan orang yang terkurung dalam dirinya sendiri sekalipun bebas. Ia memancarkan kebahagiaan yang supernatural, yang datang bukan dari dirinya sendiri. Ia bahagia karena Yesus menjadi pusat kebahagiaannya. Yesus adalah Matahari hidupnya, pusat orbit hidupnya. Hidupnya berputar mengelilingi Yesus sehingga terpaan badai hidup tidak merenggut kebahagiaannya, sekalipun tetap menyakitkan. Ia tidak butuh hal lain lagi untuk bahagia.

Karena ia terlebih dahulu memasuki jenjang novis, Sr. Galih melambangkan harapan yang ada di masa depanku. Seperti Sr. Galih, sekiranya, demikian pula yang ingin aku capai. Aku ingin menjadi seorang religius yang riang dan bahagia. Jejak hidupku telah tergambar dalam ketiga pribadi tersebut. Aku pernah melewati apa yang sedang Agung perjuangkan. Aku pernah mempertanyakan apa yang drg. Nico cari. Akankah aku bahagia seperti Sr. Galih kendati cobaan menerpa? Kebahagiaanku juga harusnya berpusat pada Yesus. Hidupku harus mengitari Yesus, pusat tata surya hidupku.

Mencintai Allah adalah hal yang lebih besar daripada mengenal Dia.” – St. Thomas Aquinas.

Jangan Bertanya Mengapa

0

Setelah Misa Sabtu sore pada tanggal 14 Desember 2013, aku meluncur ke sebuah rumah sakit di Tangerang untuk mengunjungi seorang ibu. Ibu itu berusia lima puluh empat tahun. Ia menderita kanker usus stadium tiga dan telah menjalani operasi. Pengaruh kemoterapy membuatnya lemah dan terbaring di rumah sakit.

Aku terkejut dengan keadaannya yang sangat berbeda dari keadaannya dua tahun silam pada waktu aku bertemu dengannya dalam retret perutusan Kursus Evangelisasi Pribadi. Aku mengenalnya sebagai seorang wanita yang energik, cekatan, dan ceria. Di dalam benaknya hanya ingin berbuat sesuatu bagi sesamanya. Semuanya itu telah hilang dan berubah menjadi kemuraman. Wajahnya pucat dan matanya tak menyinarkan setitik harapan. Rupanya penyakit itu telah menghancurkan jiwanya.

Di dalam kesedihanku, aku menawarkan kepadanya Sakramen Pengampunan Dosa dan Sakramen Perminyakan Suci. Mukjizat terjadi setelah ia menerima kedua sakramen tersebut. Keceriaannya yang telah hilang muncul kembali. Wajahnya menjadi berbinar-binar. Pernyataannya menyentakkan aku: “Ketika aku menjadi tangan kanan bosku di perusahaan, aku tidak bertanya kepada Tuhan mengapa posisi ini dianugerahkan kepadaku. Saya kini juga tidak bertanya lagi kepada Tuhan mengapa penyakit kanker ini menderaku, tetapi bagaimana aku memandangnya sehingga aku tidak jatuh dalam keputusasaan”. Kuasa Allah telah membangkitkan imannya kembali. Kami pun menyanyikan lagu “Allah Kuasa Melakukan Segala Perkara” :

Allah kuasa melakukan segala perkara
Allahku Maha Kuasa
Dia ciptakan seisi dunia
Atur sgala masa
Allahku Maha Kuasa

Setelah menyanyikan lagu itu, ia mengungkapkan permenungannya dalam rangkaian kata-kata indah: “Penyakit kanker ini mengingatkan aku akan makna kehidupan. Kehidupan adalah perjalanan pulang ke rumah Allah Bapa. Semakin lama dalam menempuh perjalanan itu, aku menyadari banyak barang yang tak berguna yang memberatkan langkahku, yaitu dosa-dosaku selama ini. Aku mengikisnya dengan mohon pengampunan kepada Allah atas dosaku dan mengampuni orang-orang yang telah melukai aku. Kini kakiku sangat ringan, tanpa beban, dalam meniti setiap langkahku menuju rumah kekal”.

Tepat satu bulan kemudian, yaitu tanggal 14 Januari 2014, aku bertemu dia kembali dalam acara pengajaran “Bapa Kami” di Lingkungan Helena. Ia nampak sangat sehat walaupun masih menjalani proses kemoterapy. Katanya: “Kini aku tidak melihat kematian, tetapi kehidupan yang membahagiakan di Surga. Dalam masa penantian ini, aku melakukan pengabdian yang aku bisa, yaitu sebagai bendahara lingkungan, dengan ketulusan. Ketenangan jiwa menyirnakan segala ketakutan dan kesakitan karena aku tahu siapa yang aku tuju”. Ia kemudian memintaku untuk mendoakannya agar ketenangan jiwanya ini bertahan sampai pada kesudahannya.

Pesan bagi kita yang sedang dan mungkin akan menghadapi banyak masalah dalam kehidupan: Dengan menjalani hidup ini, baik suka maupun duka, kita telah menghargai kehidupan. Menghargai kehidupan nampak dalam mensyukuri apapun yang terjadi. Bersyukur mendatangkan kebahagiaan. Jika kita bahagia, kita akan senantiasa merasa baik. Nasihat Santo Petrus menguatkan kita: “Dan Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya” (1 Petrus 5:10).

Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab