Home Blog Page 83

Belajar dari Perempuan Samaria

2

[Hari Minggu Prapaska III: Kel 17:3-7; Mzm 95:1-9; Rm 5:1-8; Yoh 4:5-42]

“Berilah Aku minum.” Demikian kata Yesus kepada seorang perempuan Samaria yang datang hendak menimba air di sumur Yakub di Sikhar. Suatu kalimat singkat sederhana, yang mungkin terdengar sangatlah normal dari seorang yang sedang melakukan perjalanan di siang hari bolong, karena teriknya matahari. Namun jika kita mengetahui latar belakang bangsa Yahudi dan Samaria, yang tidak akur selama berabad-abad, ditambah lagi bahwa menurut adat Yahudi tidaklah umum bagi seorang pria bercakap-cakap dengan perempuan di muka umum; maka tak heran, perkataan Yesus ini menimbulkan tanda tanya. Sebab bangsa Yahudi umumnya tidak bergaul dengan bangsa Samaria yang dianggap sebagai bangsa yang berkhianat, sebab mereka dulunya juga bangsa Israel, namun mau bercampur dengan bangsa-bangsa lain, sehingga tidak lagi meneruskan kemurnian tradisi Yahudi. Perempuan itu bertanya-tanya, apalagi ketika Yesus melontarkan perkataan yang baginya seperti ‘teka-teki’, bahwa Yesus yang meminta minum, menyatakan bahwa sebenarnya Ia-lah yang mampu memberikan air hidup sehingga orang tidak akan haus lagi (Yoh 4:13). Kontras dengan air sumur itu yang memuaskan dahaga hanya sekejap, air yang ditawarkan Yesus adalah sumber mata air akan terus mengalir di dalam diri orang yang meminumnya, dan akan menuntunnya sampai ke hidup yang kekal. St. Agustinus mengajarkan, bahwa di sini Yesus menyatakan kehausan, tidak saja secara jasmani, namun juga secara rohani. Ia haus akan pertobatan jiwa perempuan itu. Tuhan Yesus haus akan pertobatan setiap orang. Ia menawarkan ‘air hidup’ kepada setiap orang yang datang kepada-Nya.

Kenyataan bahwa Yesus mengetahui apa yang telah diperbuat oleh perempuan itu, bahwa ia telah mempunyai lima suami dan yang ada padanya sekarang bukan suaminya, membuat perempuan itu menyadari bahwa Yang berbicara dengannya adalah Seorang yang istimewa. “Nyatalah bagiku engkau adalah seorang nabi” (Yoh 4:19). Selanjutnya, ketika Yesus mengajarkan kepadanya tentang Allah sebagai Bapa yang menyatukan bangsa- bangsa, yaitu Allah yang disembah dalam Roh dan Kebenaran, perempuan itu mulai menghubungkan Seorang yang mengajaknya bicara itu, dengan Mesias, Sang Kristus. Ini membuatnya segera meninggalkan tempayannya di situ dan langsung menuju kota, untuk mewartakan pengalaman perjumpaannya dengan Yesus.

Menarik untuk disimak bahwa di sinilah pertama kalinya dicatat dalam Injil Yohanes, bahwa Yesus mengajarkan kepada orang lain tentang Allah sebagai “Bapa” (Yoh 4:23). Yesus memilih untuk menyatakan rahasia agung ini, di hadapan seseorang yang dianggap berdosa, yang tidak termasuk hitungan dalam anggapan orang Yahudi: seorang wanita Samaria, yang hidup bersama dengan seorang yang bukan suaminya. Pernyataan Yesus tentang Allah, yang adalah Bapa, Roh dan Kebenaran: Allah yang mengetahui segala sesuatu, namun juga yang lebih dahulu menyapa dan merindukan pertobatan anak-anak-Nya, sungguh mengubah hati perempuan itu. Demikian juga, di kesempatan inilah, pertama kalinya dicatat dalam Injil Yohanes Yesus secara implisit menyatakan bahwa Diri-Nya sebagai YHWH, dengan mengatakan, “Akulah Dia” (“I AM”, Yoh 4:26), sebab dalam Perjanjian Lama, Allah juga telah menyatakan diri-Nya sebagai “Akulah Aku” (“I AM”, Kel 3:14) dan dikenal oleh umat-Nya dengan sebutan YHWH (“HE IS”). Pengalaman perjumpaannya dengan Yesus, mendorong perempuan itu untuk mengimani Dia sebagai Tuhan dan mewartakan imannya itu kepada orang lain. Paus Fransiskus, dalam surat ensikliknya yang pertama, Lumen Fidei, mengajarkan pentingnya pengalaman perjumpaan dengan Allah ini: “Iman lahir dari perjumpaan dengan Allah yang hidup yang memanggil kita dan menunjukkan kasih-Nya, sebuah kasih yang mendahului kita dan yang padanya kita dapat bersandar ….. Diubah oleh kasih ini, kita mendapatkan … mata yang baru untuk melihat; kita menyadari bahwa kasih-Nya mengandung sebuah janji pemenuhan yang besar, dan sebuah penglihatan akan masa depan terbuka di hadapan kita” (LF 4).

Di masa Prapaska ini, kita diundang oleh Allah untuk selalu mengenang dan merayakan perjumpaan kita dengan-Nya, yang telah mengubah kita, dan yang akan selalu mengubah kita. Mari kita mengenang pengalaman kasih dan pengampunan Tuhan di masa yang lalu dan semoga kita dapat kembali mengalaminya di masa Prapaska ini.

“Ya Bapa, bantulah aku untuk mempunyai mata yang dapat melihat kedalaman kasih-Mu, sehingga aku dapat menjadi manusia baru di dalam Kristus.”

Merasakan Kehadiran

1

Ada dua hal yang paling mudah aku rasakan kehadirannya : 1) sesuatu yang paling aku senangi dan 2) sesuatu yang paling aku benci. Sangat mudah mendeteksi kehadiran seorang teman baik, orang-orang yang aku kasihi, atau orang-orang yang menarik secara fisik ketika mereka berada di dekatku. Begitu pula, sangat mudah bagiku untuk mendeteksi dini kehadiran makhluk terkutuk itu.

Aku sedang duduk tenang dalam kelas untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian keesokan hari. Maklum, materinya cukup banyak dan pelajaran tersebut cukup sulit. Di malam itu, aku hanya sendirian saja dalam kelas. Tidak ada prasangka apapun malam itu. Aku percaya Tuhan melindungi aku dari gangguan agar dapat belajar dengan tenang dan meraih hasil yang memuaskan dalam ujian. Hingga suatu saat, ketika aku sedang membenamkan diri dalam hand-out pelajaran, aku mendengarkan suara yang sangat aneh.

Pada mulanya, aku tidak terlalu memperhatikan suara tersebut. Namun, dalam hati muncul perasaan tidak nyaman sekaligus penasaran. Apa yang kira-kira menyebabkan suara tersebut. Suara itu berasal dari belakang dan terdengar seperti sesuatu terjatuh dari ketinggian. Suaranya kecil, tapi cukup jelas untuk didengar. Bulu kudukku langsung berdiri dan aku berdiri sigap sambil menoleh ke belakang. Aku begitu terkejut ketika makhluk itu tiba-tiba terbang mengarah padaku. Aku menghindar dan melihat makhluk itu mendarat di meja sebelah. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, aku langsung menyambar sandalku dan mendaratkannya dengan keras di atas si makhluk hina itu. Habislah kau, kecoak! Beraninya mengganggu belajarku!

Kejadian tersebut membuatku berpikir mengenai suatu hal. Bukan mengenai urusan belas kasih pada kecoak yang terlanjur penyet. Bukan pula mengenai ujian pelajaranku yang besok akan dapat nilai berapa. Aku berpikir mengenai merasakan kehadiran sesuatu, eh seseorang yang seharusnya paling aku senangi, Allahku. Seharusnya, bila aku benar-benar senang atau cinta, aku dapat merasakan kehadiran-Nya setiap saat. Nyatanya, terkadang aku lupa bahwa Allah selalu hadir di sisiku. Ketika godaan datang, ketika cobaan mendera, terkadang aku lupa bahwa Allah hadir di dekatku. Bila demikian, berarti Allah masih belum menjadi seseorang yang sungguh-sungguh aku cintai dalam hati, dong? Apalagi, seharusnya Ia bukan sekedar aku cintai, melainkan paling aku cintai dalam hati.

Aku mau senantiasa sadar bahwa Allah, yang seharusnya paling aku cintai, senantiasa hadir dalam hatiku supaya aku dapat mempersembahkan hari-hariku untukNya. Aku juga harus senantiasa peka akan kehadiran Setan, yang seharusnya paling aku benci, melalui setiap godaan yang datang sehingga aku dapat menolaknya dan mengusirnya jauh dari hatiku. Semoga gulali yang aku pintal hanya aku persembahkan untuk Allah, yang selalu aku sadari kehadiran-Nya dalam menit-menit hidupku.

Kristus bersamaku, Kristus di dalamku, Kristus di belakangku, Kristus di sisiku, Kristus memenangkan diriku, Kristus menenangkan dan menyembuhkanku, Kristus di bawahku, Kristus di atasku, Kristus dalam keheningan, Kristus dalam setiap bahaya, Kristus dalam setiap hati yang mencintaiku, Kristus di mulut teman dan orang asing.” – St. Patrick

Hati Allah Bersinar di Dalam Hati Kita (Menghidupi Tahun Pelayanan )

0

Kita, umat Paroki Santa Odilia – Cikupa, merupakan bagian dari Keuskupan Agung Jakarta. Kita sedang berziarah menuju sebuah communio (persekutuan/ persaudaraan) yang sejati. Wajah persekutuan sejati nampak dalam hidup yang semakin hari semakin beriman, semakin, semakin bersaudara, dan semakin berbelarasa. Dua tahun berturut-turut kita berusaha untuk membangun sebuah persekutuan yang semakin beriman dan bersaudara. Persaudaraan menyatu dengan iman. Tak ada persaudaraan yang abadi tanpa iman. Tak ada iman yang sempurna tanpa persaudaraan. Kita memang dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi satu tubuh dan mensyukurinya : “Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah” (Kolose 3:15). Iman dan persaudaraan hendaknya berbuah belarasa, yaitu pelayanan kasih. Tanpa kasih kita tidak mengenal Allah karena Allah adalah Kasih : “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:8).

Dasar dari pelayanan kasih adalah kita telah diciptakan, dipelihara, dan diselamatkan oleh Allah karena Ia mengasihi kita: “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa (Roma 5:8). Kita diselamatkan di dalam Kristus untuk Dia pakai menjadi utusan-utusan-Nya dalam menyalurkan kasih-Nya di tengah dunia. Melayani semata-mata merupakan kasih karunia-Nya. Pelayanan kasih merupakan pemberian kasih karunia Allah seperti yang diyakini oleh Rasul Paulus : “Dari Injil itu aku telah menjadi pelayannya menurut pemberian kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku sesuai dengan pengerjaan kuasa-Nya (Efesus 3:7). Karena pelayanan kasih semata-mata merupakan karunia dari Tuhan, kita tidak perlu membuktikan prestasi, keunggulan, ketangguhan, dan kekayaan kita sebelum kita melakukan pelayanan itu. Tuhan telah menganugerahkan kepada kita karunia-karunia sebelum memanggil kita untuk melayani dengan kasih: “Tetapi kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus” (Efesus 4:7). Jadi, pelayanan kasih merupakan ungkapan kasih kita kepada Tuhan yang telah memelihara dan menyelamatkan kita. Pelayanan kasih yang merupakan ungkapan kasih kita kepada Tuhan dan sesama akan membawa sukacita.

Pelayanan kasih harus nyata. Santo Yohanes dalam suratnya menasihati kita dalam hal ini : “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1 Yohanes 3:18). Tuhan Yesus Kristus mengekspresikan kasih-Nya dengan tindakan nyata : “Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu” (Yohanes 13:4-5). Tindakan nyata dalam tahun pelayanan kasih di paroki kita adalah gerakan uang surga Rp. 500 per hari dan per keluarga. Hasil dari uang surga ini akan dikumpulkan setiap bulan dan dibagikan kepada warga lingkungan/komunitas sendiri dan masyarakat sekitar mereka (non Katolik) yang paling membutuhkan. Selain itu, ada suatu program yang akan dilaksanakan oleh sie pendidikan, yaitu les bahasa Inggris untuk anak-anak pra sekolah/usia lima tahun dari keluarga sederhana. Les bahasa Inggris ini akan dilakukan dengan cara permainan sehingga anak nanti sudah mengenal bahasa Inggris sejak awal dan terutama tidak takut untuk masuk sekolah. Sekolah is fun (Sekolah adalah menyenangkan). Pada tahap awal akan dididik delapan atau sepuluh anak. Setelah setengah tahun berjalan, program ini akan ditingkatkan. Ketika semakin banyak anak yang membutuhkan, sie pendidikan akan mengkader beberapa orang lagi untuk dapat berpartisipasi dalam menangani progam ini. Program ini akan dimulai tanggal 21 Maret 2014, pukul 16.00 – 17.30 di Gedung Santo Damian – Paroki Santa Odilia. Program uang surga, Rp 500,- dan les bahasa Inggris ini menambah sumringah/semangat pelayanan kasih yang sudah ada, seperti poliklinik umum dan poliklinik gigi bagi umat yang kurang mampu.

Pelayanan kasih yang kita lakukan dengan sungguh-sungguh akan membuat banyak orang melihat dan mengalami Tuhan yang ada dalam hidup kita. Hati kita merupakan tempat hati Allah untuk menyinarkan kasih-Nya: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Matius 5:16). Semakin kita menggunakan berkat dari Tuhan bagi pelayanan kasih, Tuhan akan senantiasa menambahkannya kepada kita: “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu !” (Ratapan 3:22-23). Karena itu, jangan pernah sesali apa yang tidak kita miliki, tetapi sesalilah apa yang tidak kita hargai dari apa yang kita miliki. Menghargai dari apa yang kita miliki adalah menggunakannya untuk kemuliaan Tuhan dengan melakukan pelayanan kasih secara tulus: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati“ (Lukas 6:36). Mari kita renungkan : “Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan sediakan bagi kita untuk melakukan pelayanan kasih karena pelayanan kasih adalah kasih karunia Allah.

Tuhan Memberkati

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Menjadi Manusia berarti Menjadi Pengasuh Bagi Satu Sama Lain!

0

Berikut adalah homili Paus Fransiskus dalam misa untuk Perdamaian:

“Dan Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (Kej 1:12, 18, 21, 25).

Kisah Alkitab tentang awal sejarah dunia dan umat manusia berbicara kepada kita tentang Allah yang melihat ciptaan, dalam artian merenungkan hal itu, dan menyatakan: “Itu baik”. Hal ini, saudara-saudari terkasih, memungkinkan kita untuk masuk ke dalam hati Allah dan, dengan tepat dari dalam diri-Nya, untuk menerima pesan-Nya.

Kita dapat bertanya kepada diri sendiri: apa artinya pesan ini? Apa yang dikatakan kepada saya, kepada kalian, kepada semua dari kita?

1. Yang dikatakan kepada kita secara sederhana bahwa ini, dunia kita, di hati dan pikiran Allah, adalah “rumah harmonis dan damai”, dan bahwa itu adalah ruang di mana setiap orang dapat menemukan tempat mereka yang tepat dan merasa “di rumah”, karena hal itu”baik”. Semua ciptaan membentuk persatuan yang harmonis dan baik, tetapi di atas semua umat manusia, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, adalah satu keluarga, di mana hubungan-hubungan relasi ditandai dengan sebuah persaudaraan sejati yang tidak hanya dalam kata-kata: orang lain adalah saudara atau saudari untuk kasih, dan hubungan relasi kita dengan Allah, yang adalah kasih, kesetiaan dan kebaikan, mencerminkan setiap hubungan relasi manusia dan membawa keharmonisan pada keseluruhan ciptaan-Nya. Dunia Allah ialah sebuah dunia di mana setiap orang merasa bertanggung jawab atas yang lain, atas kebaikan dari yang lain. Malam ini, dalam refleksi, puasa dan doa, masing-masing dari kita jauh di lubuk hati harus bertanya kepada diri kita sendiri: Apakah ini benar-benar dunia yang aku inginkan? Apakah ini benar-benar dunia yang kita semua bawa dalam hati kita? Apakah dunia yang kita inginkan itu benar-benar sebuah dunia harmonis dan damai, dalam diri kita sendiri, dalam relasi-relasi kita dengan orang lain, dalam keluarga-keluarga, di kota-kota, di dalam dan di antara bangsa-bangsa? Dan apakah kebebasan yang bukan sebenarnya berarti yang memilih cara-cara di dunia ini yang menuntun pada kebaikan dari semua dan dibimbing oleh kasih?

2. Tapi kemudian kita bertanya-tanya: Apakah ini dunia yang di mana kita sedang hidup? Ciptaan mempertahankan keindahannya yang memenuhi kita dengan perasaan kagum dan itu tetap menjadi sebuah karya baik. Tapi ada juga “kekerasan, perpecahan, perselisihan, perang”. Hal ini terjadi ketika seseorang, ciptaan-Nya yang tertinggi, berhenti merenungkan keindahan dan kebaikan, dan menarik diri ke dalam keegoisannya sendiri.

Ketika seseorang hanya memikirkan dirinya sendiri, kepentingan-kepentingannya sendiri dan menempatkan dirinya di pusat, ketika ia mengizinkan dirinya terpikat oleh berhala-berhala kekuasaan dan kekuatan, ketika ia menempatkan dirinya di tempat Allah, maka semua hubungan-hubungan relasi dirusak dan segala sesuatunya hancur; kemudian pintu terbuka kepada kekerasan, ketidakpedulian, dan konflik. Hal ini adalah tepat dengan kutipan dalam Kitab Kejadian upayakan untuk mengajar kita dalam kisah Kejatuhan: manusia masuk ke dalam konflik dengan dirinya sendiri, dia menyadari bahwa dia telanjang dan dia menyembunyikan dirinya sendiri karena dia takut (lih. Kejadian 3: 10), dia takut akan pandangan sekilas Allah, dia menuduh wanita itu, yang adalah daging dari dagingnya (lih. ay 12); dia merusak keharmonisan dengan ciptaan, dia mulai mengangkat tangannya melawan saudaranya untuk membunuhnya. Dapatkah kita katakan bahwa dari keharmonisan dia meneruskan kepada “ketidakharmonisan”? Tidak, tidak ada hal semacam seperti “ketidakharmonisan”; yang ada adalah keharmonisan atau kita jatuh ke dalam kekacauan, di mana terdapat kekerasan, argumen, konflik, ketakutan ….

Justru itu tepatnya dalam kekacauan ini bahwa Allah menanyakan hati nurani manusia: “Di mana Habel, saudaramu itu?” Dan Kain menjawab: “Aku tidak tahu; apakah aku penjaga saudaraku?” (Kej 4:9). Kita juga ditanyakan [dengan] pertanyaan ini, yang akan menjadi baik bagi kita untuk bertanya pada diri sendiri juga: Apakah aku adalah benar-benar penjaga saudaraku? Ya, kalian adalah penjaga saudara kalian! Menjadi manusia berarti saling menyayangi satu sama lain! Tapi ketika keharmonisan rusak, sebuah metamorfosis terjadi: saudara yang seharusnya diperhatikan dan dikasihi itu menjadi musuh untuk bertarung, untuk membunuh. Kekerasan apa yang terjadi pada momen itu, berapa banyak konflik, berapa banyak perang telah menandai sejarah kita!
Kita hanya perlu melihat penderitaan dari begitu banyak saudara dan saudari [kita]. Hal ini bukan soal kebetulan, tapi kebenarannya: kita menyebabkan kelahiran kembali Kain dalam setiap tindakan kekerasan dan dalam setiap perang. Semua dari kita! Dan bahkan saat ini kita melanjutkan sejarah konflik di antara saudara-saudara ini, bahkan saat ini kita mengangkat tangan kita terhadap saudara kita. Bahkan saat ini, kita membiarkan diri kita dibimbing oleh berhala-berhala, oleh keegoisan, oleh kepentingan-kepentingan kita sendiri, dan sikap ini terus berlangsung. Kita telah menyempurnakan senjata-senjata kita, hati nurani kita telah jatuh tertidur, dan kita telah mempertajam ide-ide kita untuk membenarkan diri kita sendiri. Seolah-olah itu normal, kita terus menabur kehancuran, kepedihan, kematian! Kekerasan dan perang hanya menyebabkan kematian, mereka berbicara tentang kematian! Kekerasan dan perang adalah bahasa kematian!

Setelah kekacauan banjir, saat hujan berhenti, pelangi muncul dan burung merpati itu datang kembali dengan ranting zaitun. Hari ini, saya membayangkan juga pohon zaitun yang mewakili berbagai agama itu yang ditanam di Plaza de Mayo di Buenos Aires pada tahun 2000, yang meminta agar tidak ada lagi kekacauan, yang meminta agar tidak ada lagi perang, yang meminta perdamaian.

3. Dan pada titik ini saya bertanya pada diri sendiri: Apakah itu mungkin untuk melangkah pada jalan damai? Dapatkah kita keluar dari spiral kesedihan dan kematian ini? Dapatkah kita belajar sekali lagi untuk berjalan melangkah dan menjalani hidup dengan cara-cara damai? Meminta pertolongan Allah, di bawah tatapan keibuan dari Salus Populi Romani, Ratu Damai, saya katakan: Ya, itu mungkin bagi setiap orang! Dari setiap sudut dunia malam ini, saya ingin mendengar kita berseru: Ya, itu mungkin bagi setiap orang! Atau bahkan lebih baik, saya ingin untuk masing-masing orang dari kita, dari yang terkecil sampai yang terbesar, termasuk mereka yang dipanggil untuk memerintah negara-negara, untuk menanggapi: Ya, kami menginginkannya! Iman Kristiani saya mendesak saya untuk melihat kepada kayu Salib. Bagaimana saya berharap bahwa semua pria dan wanita yang berkehendak baik akan melihat kepada Salib itu walau hanya untuk sesaat! Di sana, kita bisa melihat jawaban Allah: kekerasan tidak dijawab dengan kekerasan, kematian tidak dijawab dengan bahasa kematian. Dalam keheningan Salib, kegaduhan senjata-senjata berhenti dan bahasa rekonsiliasi, pengampunan, dialog, dan perdamaian diucapkan.

Malam ini, saya meminta kepada Tuhan bahwa kita umat Kristiani, dan saudara-saudari kita dari agama-agama lain, dan setiap pria dan wanita yang berkehendak baik, berseru kuat: kekerasan dan perang tidak pernah merupakan jalan menuju perdamaian! Biarkan setiap orang tergerak untuk melihat ke kedalaman hati nuraninya dan mendengarkan kata itu yang mengatakan: Tinggalkan ke belakang kepentingan sendiri yang mengeras hati kalian, atasi ketidakpedulian yang membuat hati kalian tidak peka terhadap orang lain, taklukkan penalaran kalian yang mematikan, dan buka diri untuk dialog dan rekonsiliasi. Memandang kesedihan saudara kalian – saya memikirkan anak-anak: pandang hal-hal ini … tatap kesedihan saudara kalian, diamkan tangan kalian dan jangan tambahkan kepadanya, bangun kembali keharmonisan yang telah hancur itu, dan semua ini dicapai bukan dengan konflik tetapi dengan perjumpaan! Semoga kebisingan senjata berhenti! Perang selalu menandai kegagalan perdamaian, itu selalu merupakan sebuah kekalahan bagi kemanusiaan. Biarkan kata-kata Paus Paulus VI bergema lagi: “Tidak ada lagi satu melawan yang lain, tidak ada lagi, tidak pernah! … perang tidak pernah lagi, tidak pernah lagi perang! “(dialamatkan kepada PBB, 1965). “Perdamaian mengekspresikan dirinya hanya dalam damai, sebuah perdamaian yang bukan terpisah dari tuntutan-tuntutan keadilan melainkan yang dipupuk oleh pengorbanan pribadi, grasi, belas kasihan dan kasih” (Pesan Hari Perdamaian Sedunia, 1975). Saudara dan saudari sekalian, pengampunan, dialog, rekonsiliasi – ini adalah kata-kata perdamaian, yang terkasih di Suriah, di Timur Tengah, di seluruh dunia! Mari kita berdoa malam ini untuk rekonsiliasi dan perdamaian, mari kita bekerja untuk rekonsiliasi dan perdamaian, dan mari kita semua menjadi, di setiap tempat, pria dan wanita rekonsiliasi dan perdamaian! Maka semoga terjadi demikian.

(AR)
Paus Fransiskus,
Lapangan Santo Petrus, 7 September 2013

Diterjemahkan dari: www.vatican.va

Mencontoh Santo Fransiskus : Hubungan Akrab dengan Yesus, Berserah kepada Yesus, Berdamai dengan Semua!

1

Berikut adalah homili Paus Fransiskus pada pesta Santo Fransiskus dari Assisi:

“Aku bersyukur kepadaMu, Bapa, Tuhan langit dan bumi ini, karena semuanya itu telah Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi juga [Engkau] nyatakan mereka kepada orang kecil” (Mat 11:25).

Damai dan semua hal baik untuk masing-masing dan setiap orang dari kalian! Dengan kata sambutan Fransiskan ini saya ucapkan terima kasih atas kehadiran kalian di sini, di Lapangan yang begitu penuh sejarah dan iman ini, untuk berdoa bersama.

Hari ini, saya juga telah datang, seperti tak terhitung banyaknya para peziarah lain, untuk bersyukur kepada Bapa atas semua yang Dia telah ingin nyatakan kepada satu dari “orang-orang kecil” yang disebutkan dalam Injil hari ini: Fransiskus, putra seorang pedagang kaya dari Assisi. Perjumpaannya dengan Yesus menuntunnya untuk melucuti dirinya dari kehidupan yang mudah dan bebas cemas dalam upaya untuk bersatu dengan “Bunda Kemiskinan” dan hidup sebagai seorang putera dari Bapa surgawi kita. Keputusan Santo Fransiskus ini adalah sebuah cara yang radikal dalam meniru Kristus: dia telah mengenakan pakaian baru, mengenakan Kristus, yang, meskipun Ia kaya, menjadi miskin agar kita kaya oleh karena kemiskinan-Nya (2 Kor 8:9). Dalam semua kehidupan Fransiskus, kasih bagi orang miskin dan meniru Kristus dalam kemiskinan-Nya yang tak terpisahkan bersatu, seperti dua sisi mata uang yang sama.
Kesaksian apa yang Santo Fransiskus beritahukan kita hari ini? Apa yang dia katakan kepada kita, tidak hanya dengan kata-kata – yang cukup mudah – tetapi dengan kehidupannya?

1. Hal pertama yang ia beritahu kita adalah hal ini: bahwa menjadi seorang Kristen berarti memiliki hubungan relasi yang hidup dengan pribadi Yesus; itu artinya mengenakan Kristus, menjadi serupa denganNya.

Di mana perjalanan Fransiskus kepada Kristus berawal mula? Ini telah berawal mula dengan tatapan pada Yesus yang tersalib. Dengan membiarkan Yesus menatap kita pada saat itu bahwa Ia memberikan hidup-Nya bagi kita dan membawa kita kepada diri-Nya. Fransiskus mengalami hal ini dengan cara yang khusus di Gereja San Damiano, saat dia berdoa di hadapan salib yang saya juga akan mendapat kesempatan itu untuk menghormatiNya. Pada salib itu, Yesus digambarkan bukan sebagai yang mati, tetapi Yang hidup! Darah mengalir dari tangan, kaki dan bagian samping tubuh-Nya yang terluka, tetapi darah itu berbicara tentang kehidupan. Mata Yesus tidak tertutup melainkan terbuka, terbuka lebar: dia menatap kita dengan cara yang menyentuh hati kita. Salib tidak berbicara kepada kita tentang kekalahan dan kegagalan; melainkan sebaliknya, hal itu berbicara kepada kita tentang kematian yang hidup, kematian yang memberikan kehidupan, karena itu berbicara kepada kita tentang kasih, kasih Allah yang berinkarnasi, sebuah kasih yang tidak mati, melainkan yang menang atas kejahatan dan kematian. Ketika kita membiarkan Yesus yang tersalib menatap kita, kita diciptakan kembali, kita menjadi “ciptaan baru”. Segala sesuatu yang lain dimulai dengan ini: pengalaman rahmat yang mengubah, pengalaman dicintai tanpa jasa kita sendiri, meski keberadaan kita sebagai pendosa. Itulah sebabnya Santo Fransiskus dapat berkata mengikuti Santo Paulus: “Jauhlah kiranya bagiku untuk bermegah, kecuali dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus” (Gal 6:14).

Kami berpaling kepadamu, Fransiskus, dan kami minta padamu: Ajarilah kami untuk tetap berada di hadapan salib itu, untuk membiarkan Kristus yang tersalib menatap kami, untuk membiarkan diri kami diampuni, dan diciptakan kembali oleh kasih-Nya.

2. Dalam Injil hari ini kita mendengar kata-kata ini: “Datanglah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati” (Mat 11:28-29).

Ini adalah kesaksian kedua yang Fransiskus berikan kepada kita: bahwa setiap orang yang mengikuti Kristus menerima damai sejati, damai yang Kristus sendiri dapat berikan, damai yang dunia ini tidak bisa berikan. Banyak orang, ketika mereka mengingat Santo Fransiskus, mengingat damai; namun sangat sedikit orang menuju lebih dalam. Damai apa yang Fransiskus telah terima, alami dan jalani, dan yang dia teruskan kepada kita? Ini adalah damai Kristus, yang lahir dari kasih terbesar-Nya dari semuanya itu, kasih dari salib itu. Ini adalah damai yang Yesus yang Bangkit berikan kepada para murid-Nya ketika Ia berdiri di tengah-tengah mereka (bdk. Yoh 20:19-20).

Damai Fransiskan bukanlah sesuatu yang terasa sangat manis. Bukan! Itu bukan Santo Fransiskus sesungguhnya! Juga bukan semacam keharmonisan panteistik [red-yang percaya bahwa Tuhan adalah segala sesuatu dan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan] dengan kekuatan kosmos … Itu bukan Fransiskan yang baik pula! Itu bukan Fransiskan, melainkan gagasan yang beberapa orang telah temukan! Damai Santo Fransiskus adalah damai Kristus, dan ditemukan oleh orang-orang yang “memikul” “kuk” mereka, yaitu perintah Kristus: saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu (lih. Yoh 13:34; 15:12). Kuk ini tidak dapat ditanggung dengan kesombongan, praduga atau kebanggaan, tetapi hanya dengan kelembutan dan kerendahan hati.

Kami berpaling kepadamu, Fransiskus, dan kami minta padamu: Ajarilah kami untuk menjadi “alat-alat damai”, dari damai yang bersumber pada Tuhan itu, damai yang Yesus telah bawa kepada kita itu.

3. Fransiskus memulai Kidung Segala Makhluk Ciptaan dengan kata-kata ini: “Terpujilah Engkau, Yang Maha Tinggi, Allah yang Maha Kuasa, Tuhan yang baik … oleh semua makhluk ciptaan-Mu (FF, 1820). Kasih bagi semua ciptaan, bagi keharmonisannya. Santo Fransiskus dari Assisi menjadi saksi akan perlunya rasa hormat kepada semua yang Allah telah ciptakan dan sebagaimana Ia telah ciptakan itu, tanpa memanipulasi dan menghancurkan ciptaan; melainkan untuk membantu itu tumbuh, untuk menjadi lebih indah dan untuk lebih merupai apa yang Allah telah ciptakan itu demikian adanya. Dan di atas semua, Santo Fransiskus bersaksi untuk menghormati semua orang, dia bersaksi bahwa setiap dari kita dipanggil untuk melindungi sesama kita, bahwa manusia adalah pusat ciptaan, di tempat di mana Allah – Pencipta kita – telah menghendaki yang kita seharusnya. Tidak pada belas kasihan dari berhala-berhala yang telah kita buat! Keharmonisan dan perdamaian! Fransiskus adalah seorang yang harmonis dan damai. Dari Kota Damai ini, saya ulangi dengan segala kekuatan dan kelembutan kasih: Marilah kita hormati ciptaan, marilah kita tidak menjadi alat-alat kehancuran! Marilah kita hormati setiap manusia. Semoga di situ ada akhir dari konflik bersenjata yang menutupi bumi dengan darah; semoga bentrokan senjata berhenti; dan semoga di mana ada kebencian di situ ada kasih, di mana ada luka di situ ada pengampunan, dan di mana ada perpecahan di situ ada persatuan. Mari kita dengarkan teriakan semua orang yang menangis, yang menderita dan yang sekarat karena kekerasan, terorisme atau perang, di Tanah Suci, tempat yang dikasihi Santo Fransiskus, di Suriah, di seluruh Timur Tengah dan di mana-mana di dunia.

Kami berpaling kepadamu, Fransiskus, dan kami minta padamu: Perolehlah bagi kita karunia Allah akan keharmonisan, perdamaian dan penghormatan bagi ciptaan!

Akhirnya, saya tidak bisa lupakan fakta itu bahwa saat ini Italia merayakan Santo Fransiskus sebagai santo pelindungnya. Saya menyapa semua orang Italia, yang diwakili oleh Kepala Pemerintahan, yang hadir di antara kita. Persembahan tradisional minyak untuk lampu nazar, yang tahun ini diberikan oleh Daerah Umbria, adalah sebuah ekspresi dari hal ini. Marilah kita berdoa bagi Italia, agar setiap orang akan selalu bekerja untuk kebaikan bersama, dan melihat lebih kepada apa yang menyatukan kita, daripada apa yang memisahkan kita.

Saya buat sendiri doa Santo Fransiskus Assisi ini, untuk Italia dan dunia: “Aku berdoa kepadaMu, Tuhan Yesus Kristus, Bapa belas kasihan: Jangan pandang rasa tidak berterima kasih kami, tapi selalu ingat akan kebaikan tak tertandingi yang Engkau telah tunjukkan kepada Kota ini. Berilah yang itu boleh selalu menjadi tempat tinggal dari pria dan wanita yang mengenal Engkau dalam kebenaran dan yang memuliakan nama Engkau yang Maha kudus dan mulia, sekarang dan untuk selama-lamanya. Amin “(Cermin Kesempurnaan, 124: FF, 1824).

(AR)
Paus Fransiskus,
Lapangan Santo Fransiskus, Assisi, 4 Oktober 2013

Diterjemahkan dari: www.vatican.va

Di Salib Ada Cinta

0

(Rekoleksi Pembina BIA Sedekenat Tangerang )
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Suatu kehormatan bagiku bahwa aku diberi kesempatan untuk memberi rekoleksi kepada lebih dari dua ratus lima puluh pembina Bina Iman Anak se-dekenat Tangerang. Mereka datang dari dua belas paroki. Rekoleksi dilaksanakan tanggal 23 Februari 2014 di Aula Santo Damian, Paroki Santa Odilia Tangerang. Rekoleksi dengan tema “Kuasa Allah Bekerja Dalam Pelayanan” rupanya menyulutkan kembali semangat yang agak redup dan lebih menggelorakan api pelayanan. Nasihat Santo Paulus “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan” (Roma 12:11) menggetarkan jiwa mereka.

Semangat dalam pelayanan itu terungkap dalam sharing kelompok. Sharing ini berceritera tentang “pengalaman yang paling membahagiakan dalam pelayanan Bina Iman Anak”. Pengalaman kebahagiaan pasti membekas dan menelan segala kepahitan. Tampak setiap pribadi sangat antusias saling membagikan pengalamannya tentang “Kuasa Allah” dan saling menerimanya. Semua merasa dikuatkan dalam perjalanan pelayanannya. “Satu dalam pelayanan” terasa mengikat jiwa ketika mereka saling memberikan tanda salib di dahi mereka. Tanda salib itu menandakan bahwa mereka kini berjalan bersama karena mereka mengenakan pikiran Kristus. Tuhan Yesus Kristus adalah “Bossnya” bersama.

Suatu kebahagiaan bagiku karena aku mendapatkan suatu kesempatan mendengarkan secara pribadi, pengalaman hidup dan pelayanan dari seorang gadis yang berusia dua puluh tiga tahun. Ia adalah seorang pembina Bina Iman Anak dari Paroki Santo Agustinus, Karawaci. Di dalam wajahnya memantulkan kecerdasan, kegembiraan, dan ketulusan. Ia menjadi seorang pembina Bina Iman Anak sejak duduk di Sekolah Menengah atas. Dalam perjalanan hidup dan pelayanannya ini, pembentukan Tuhan baginya terasa sangat indah. Ia berasal dari keluarga sederhana. Ia hidup hanya bersama ibunya yang bekerja apa saja, serabutan, untuk menopang ekonomi rumah tangga. Keluarga besarnya tidak ada yang Katolik. Ia dibaptis ketika berusia sebelas tahun, kelas lima Sekolah Dasar. Ia tidak tahu mengapa ia bisa dibaptis walaupun orangtuanya belum Katolik saat itu. Ia mensyukurinya sebagai anugerah Tuhan. Anugerah Tuhan itu juga diterima ibunya dengan dibaptis ketika ia duduk di Sekolah Menengah Pertama. Karena keluarganya adalah keluarga yang sederhana, ia harus belajar sungguh-sungguh. Banyak orang menasihatinya untuk berhenti melayani supaya bisa fokus pada sekolahnya. Ia beruntung tidak berhenti dalam pelayanan. Tuhan memberkatinya dengan berkat-berkat tak terduga. Sekolahnya berjalan sangat baik. Ia sebenarnya sulit untuk bisa mendapatkan kesempatan kuliah mengingat keadaan keuangan keluarganya. Kalau Tuhan berkehendak, tidak ada sesuatupun yang dapat menghalanginya. Ia melamar untuk mendapatkan beasiswa PPA (Program Pendidikan Akuntasi BCA). Ia diterima dalam program itu dan berhasil menyelesaikannya. Ini mukjizat Tuhan yang boleh ia alami. Ada delapan ribu orang yang melamar PPA ini dan yang memenuhi syarat lima ribu orang. Setelah menjalani test saringan, delapan puluh orang diterima dalam program itu. Dari delapan puluh orang itu, hanya enam puluh sembilan orang, temasuk dirinya, yang lulus PPA setelah mengikutinya selama dua setangah tahun. Ia lulus dengan IPK, 4.9. “Aku tidak akan pernah pensiun dari pelayanan dalam Bina Iman Anak ini karena Tuhan amat baik, sungguh teramat baik”, katanya penuh dengan antusias.

Kebaikan Tuhan itu direnungkan dalam pentahtaan dan penciuman salib yang terinspirasi dari semangat Ordo Salib Suci (OSC). Di Salib ada derita, di Salib ada ketaatan, di Salib ada belas kasih dan pengampunan kerahiman ilahi. Di Salib ada pengorbanan total dan tanpa pamrih. Di Salib ada kasih Allah yang tak terbatas. Ketika Tuhan Yesus Kristus dipaku di Kayu Salib, aliran air hidup abadi memancar dari sisi-Nya, yaitu air dan darah kehidupan yang membasahi dunia. Banyak peserta diam dalam haru karena merasakan betapa besar kasih Kristus sampai wafat di salib demi keselamatan manusia. Mereka kemudian menatap Salib Kristus yang aku angkat tinggi-tinggi sambil memegang lilin yang bernyala. Aku berkata : “Siapa yang akan Aku utus ?” Mereka menjawab : “Ini aku, utuslah aku”. Hal ini mengingatkan akan peristiwa Musa meninggikan ular tembaga di padang gurun di mana yang memandangnya akan selamat ketika ular tedung memagutnya. Sekarang Yesus yang ditinggikan di salib menjadi tanda kemenangan dan keselamatan. Kini mereka akan membawa Kristus, Sang Terang, bagi anak-anak yang merupakan masa depan Gereja.

Pesannya : Pandanglah Salib Tuhan, Sang Sumber Cinta, maka cinta kita akan mengalir dari hati yang tulus. Mencintai dengan tulus tidak akan pernah lelah untuk bertahan dan dan tak pernah berhenti untuk berjuang karena cinta pasti akan menemukan kebahagiaan. Setetes cinta yang kita persembahkan kepada Tuhan akan mengubah yang lemah menjadi kuat, yang loyo menjadi gagah, dan yang patah semangatnya menjadi berkobar-kobar. Kemenangan cinta bersumber dari Salib Suci di Golgota. Tetesan-tetesan cinta yang mengalir bersama air dan darah-Nya dari atas Salib-Nya telah membawa keselamatan di empat penjuru dunia.

Terimakasih atas Salib-Mu Tuhan

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab