Home Blog Page 71

Doa Novena kepada St. Rita dari Cascia

1

St Rita, Tuhan memberikan engkau kepada kami sebagai teladan kebaikan dan kesabaran, dan mengaruniakan kepadamu bagian dari Sengsara Putera-Nya. Aku bersyukur kepadaNya untuk banyaknya berkat yang telah Tuhan karuniakan kepadamu sepanjang hidupmu, khususnya selama pernikahanmu yang tidak bahagia dan selama engkau menderita sakit di dalam biara.

Semoga teladanmu menguatkan aku untuk memikul salibku dengan sabar dan untuk hidup lebih kudus. Dengan melayani Tuhan sebagaimana teladanmu, kiranya aku boleh menyenangkan Dia dengan iman dan perbuatan-perbuatanku.

Aku gagal oleh karena kelemahan-kelemahanku. Berdoalah kepada Tuhan bagiku sehingga Ia boleh memulihkan aku pada cinta-Nya melalui rahmat-Nya dan menolongku dalam jalanku menuju keselamatan.

Dalam kebaikanmu dengarkanlah doaku dan mohonkanlah kepada Tuhan untuk mengaruniakan kepadaku permohonan ini jika ini adalah kehendak-Nya (sebutkan permohonan Anda)

Kiranya doamu menolongku untuk hidup dalam kesetiaan kepada panggilan hidupku sebagaimana teladanmu dan membawaku kepada cinta yang lebih dalam kepada Tuhan dan sesamaku hingga aku mencapai kehidupan kekal di Surga. Amin.

Diterjemahkan secara bebas dari teks berikut ini:

Novena Prayer
St Rita, God gave you to us as an example of charity and patience, and offered you a share in the Passion of His Son. I thank Him for the many blessings He bestowed upon you during your lifetime, especially during your unhappy marriage and during the illness you suffered in the convent.

May your example encourage me to carry my own Cross patiently and to live a holier life. By serving God as you did, may I please Him with my faith and my actions.

I fail because of my weakness. Pray to God for me that He may restore me to His love through His grace and help me on my way to salvation.

In your kindness hear my prayer and ask God to grant me this particular request if it be His will: (mention your request).

May your prayers help me to live in fidelity to my calling as you did and bring me to the deeper love of God and my neighbor until I reach eternal life in heaven. Amin.

Nihil Obstat: Francis J.McAree, S.T.D, Censor Librorum
Imprimatur: Patrick J. Sheridan, D.D, Vicar General, Archdiocese of New York

Novena Singkat pada St Rita

Doakanlah doa ini selama sembilan hari berturut-turut

Hari pertama, ke-empat, dan ke-tujuh

St Rita yang paling berbelaskasih, Penasehat Dari Masalah-masalah yang Membawa Keputusasaan, pertimbangkanlah dengan kebaikan, doa-doa dari sebuah hati yang pedih dan mohon perolehkanlah bagiku rahmat yang amat aku butuhkan.
Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan

Hari ke-dua, ke-lima, ke-delapan

St Rita yang paling berbelaskasih, Penasehat Dari Masalah-masalah yang Membawa Keputusasaan, aku telah memohon pertolongan darimu karena aku yakin kepada kekuatan perantaraan doamu. Mohon terimalah permohonanku dan persembahkanlah permohonanku itu kepada Tuhan.
Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan

Hari ke-tiga, ke-enam, dan ke-sembilan

St Rita yang paling berbelaskasih, tempat pertolongan terakhir dalam masalah-masalah yang mendesak, kupercayakan diriku kepadamu dengan iman dan cinta. Dalam situasi yang telah kuterangkan kepadamu, engkau adalah tempat pelarianku yang terakhir. Kasihanilah aku, melalui Sengsara Kristus yang engkau alami begitu eratnya!
Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan

Diterjemahkan secara bebas dari teks berikut ini:
Short Novena To St Rita

Recite the following prayers for nine successive days

1st, 4th, and 7th day
Most compassionate St Rita, Advocate of Desperate Cases, consider with benevolence the prayers of an anguished heart and please obtain for me the grace that I need so much.
Our Father, Hail Mary, Glory Be

2nd, 5th, and 8th day
Most compassionate St Rita, Advocate of Desperate Cases, I have recourse to you because I am certain of the power of your intercession. Please receive my request and present it to God yourself.
Our Father, Hail Mary, Glory Be

3rd, 6th, and 9th day
Most compassionate St Rita, last recourse in urgent cases, I entrust myself to you with faith and love. In the situation that I have explained to you, you are my ultimate refuge. Have pity on me, through the Passion of Christ in which you shared so intimately!
Our Father, Hail Mary, Glory Be

Nihil Obstat: Francis J.McAree, S.T.D, Censor Librorum
Imprimatur: Patrick J. Sheridan, D.D, Vicar General, Archdiocese of New York

Yuk, main ping-pong !!

0

Hidup itu seperti ping-pong,” kata si romo pengakuan dengan tenang setelah mendengar pengakuan dosaku. Aku agak kaget dan bingung dengan analogi si romo sehingga bertanya,“Maksudnya, Mo?” Beliau lalu menjelaskan bahwa hidup pertobatan tidak lepas dari perjuangan melawan godaan dan cobaan. Seringkali, manusia memandang kedua hal ini dengan tatapan ngeri atau benci, seolah berharap tatapan mereka bisa mengusir jauh-jauh kedua hal ini. Wajarlah. Siapa juga yang mau mendapat cobaan atau godaan?

Terus, si romo menganjurkan agar aku mengubah sudut pandangku. “Main ping-pong itu butuh lawan. Bayangkan kalau kamu main ping-pong, tapi nggak ada lawannya. Nggak seru kan? Begitu juga hidup. Cobaan dan godaan itu ibarat lawan tanding kita main ping-pong.” Aku mengangguk-angguk sambil membayangkan permainan ping-pong. Pas sekali analogi ping-pong si romo. Olahraga ini baru aku pelajari ketika berada dalam biara ini. Ternyata, lumayan seru juga ya. Sebelumnya, paling aku cuma jadi penonton setia. Kalau hidup seperti ping-pong, berarti aku harus menerima setiap cobaan dan godaan sebagai “partner” bermain “ping-pong hidup” ini. Belajar menikmati pergumulan akibat cobaan dan godaan yang datang.

Kemudian, aku bertanya,”Lah, Romo, masak kita menikmati godaan? Dosa terus dong?” “Yo ndak to, Nak”, jawabnya cepat. “Kan waktu kamu main ping-pong, kamu selalu berjuang menjadi lebih baik dan menikmati perjuanganmu itu. Kamu menikmati proses berjuang melatih diri sekaligus mengalahkan lawan. Kalau main cuma untuk asal pukul dan nggak jadi lebih pinter, buat apa main ping-pong?” Aku manggut-manggut lagi, tanda mengerti. “Bener juga ya, Mo.

Tapi, beliau mengingatkanku untuk tetap percaya dan berusaha. “Seringkali, ketika kita belum mampu mengalahkan satu lawan, kita frustasi. Lalu, kita putus asa dan merasa kita nggak mungkin bisa pinter main ping-pong. Akhirnya, kita berhenti main sama sekali karena merasa telah gagal.” Aku kaget (lagi), tertusuk kata-kata beliau. Memang, aku sering putus asa dan merasa tidak mungkin mampu menjadi orang kudus. Ternyata, aku harus tetap percaya dan berusaha. Ia sendiri yang memintaku untuk menjadi sempurna seperti Bapa-Nya (Mat 5.48). Ia pasti menyertai aku dalam perjalanan pertobatan ini.

Ketika satu lawan berhasil dikalahkan”, lanjut si romo,”akan ada lawan lain lagi yang lebih tangguh.” Aku mendengarkan sambil membayangkan perkembangan permainanku sendiri. Awalnya, mengembalikan bola aja aku nggak bisa. Lalu, perlahan aku mulai belajar servis, mengarahkan bola, hingga belajar smash. Nggak terasa, sekarang aku bisa. Paling nggak, aku tidak malu-maluin amat. Begitu pula, aku akan semakin kudus dan kudus berkat rahmat Allah, yang memurnikan aku melalui cobaan dan godaan yang datang dan pergi. “Yang penting, kamu tetap sabar dan menikmati proses. Nggak ada yang instan. Tuhan nggak pakai cara instan, termasuk ketika menebus kita. Dia sampai menderita begitu payah. Wong, mie instan aja tetep musti dimasak dulu,” si romo menutup penjelasannya dengan senyum lebar.

Aku harus banyak berlatih ping-pong kehidupan ini. Jelas, aku tidak mungkin menghilangkan partner-partnerku. Keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Cobaan datang untuk menguji kesetiaanku, sedangkan godaan datang dari Setan untuk menjatuhkan dan menjauhkan aku dari Allah. Tapi, keduanya diizinkan Allah untuk memurnikan aku. Aku ini hanya pemintal gulali yang tidak berpengalaman main ping-pong. Semoga Tuhan sudi mengajarku bermain ping-pong kehidupan.

Aku begitu tak berdaya untuk memanjat tebing terjal tangga kesempurnaan. Namun, dalam Kitab Suci, aku menemukan ayat-ayat Kebijaksanaan Abadi yang mengatakan : ‘Siapa yang tak berpengalaman, singgahlah kemari…’” – St. Therese Lisieux.

Tatapan Cinta

0

Alangkah terkejutnya hatiku mendengarkan suara isakan tangis dari seorang ibu. Dengan suara parau, ia mengatakan bahwa suaminya baru saja meninggal dunia. “Romo, tolong doakan aku dan suamiku” merupakan kata-kata yang hanya ia bisa ucapkan. Suaminya meninggal dunia secara mendadak dalam usia yang tergolong muda pada tanggal 16 Juli 2014. Ia meninggal ketika sedang menyetir mobil di Jalan Tol Bekasi menuju kantornya karena serangan jantung. Jantung suaminya itu memang sudah diberi dua ring sejak dua tahun silam.

Aku mengenal ibu itu dalam retret perutusan Kursus Evangelisasi Pribadi XVII Paroki Santo Yakobus – Kelapa Gading tanggal 27-29 Juni 2014. Ibu itu memintaku untuk berdoa bagi seorang anaknya dan suaminya yang sakit. Dalam acara adorasi yang aku pimpin, tanggal 09 Juli 2014 di Paroki yang sama dan dihadiri lebih dari dua ratus umat, ia mengangkat penyakit anak dan suaminya di hadirat Tuhan dalam Sakramen Mahakudus. Cucuran air matanya jelas mengungkapkan kegelisahan, kesedihan, dan terutama harapan bahwa tiada yang mustahil bagi Tuhan.

Retret dan adorasi telah meneguhkan imannya dalam menghadapi kejadian yang tak terduga ini seperti yang ia katakan. Tubuh dan jiwanya sempat lunglai mendengar kepergian suaminya, tetapi tidak sampai tergeletak karena ada tanggungjawab yang harus ia tanggung. Anak sulungnya yang mulai kuliah dan anak bungsunya yang memerlukan perhatian lebih membakar semangatnya. Ungkapan kata-katanya tentang kepergian suaminya sangat mengharukan: “Sesak dadaku ketika engkau mengembuskan nafas terakhirmu tanpa aku di sisimu. Engkau telah pergi sendirian untuk selamanya tanpa diriku, tanpa bisikan kata-kataku, tanpa kata-kata yang menguatkanmu, dan tanpa pegangan erat tanganku. Aku berada dalam impian dan kenyataan. Aku menangis tersedu-sedu seakan-akan dunia tidak lagi milikku ketika aku menyadari bahwa ini adalah sebuah kenyataan. Walaupun kini hidupku sangat pahit, aku harus melaluinya. Ada kewajiban yang telah kita ikrarkan bersama dalam janji nikah yang harus aku selesaikan setelah kepergianmu”.

Suaminya memang pergi ke hadapan Tuhan tanpa tanda-tanda sebelumnya. Akan tetapi, pada malam sebelumnya, suaminya itu memberi kenangan yang indah. Ketika ia sedang berusaha tidur, suaminya itu berkali-kali melihat wajahnya. Pandangan suaminya itu merupakan ungkapan cintanya yang sekuat baja dan selembut sutera yang senantiasa mengalir bagaikan air di sungai walaupun raganya tiada lagi bersamanya. Ungkapan kasih suaminya yang manis itu pasti terukir dalam jiwanya. Kenangan itu tak akan pernah hilang. Walaupun raga tak bersamanya lagi, tetapi hati suaminya itu tetap bersamanya.

Kenangan manis itu telah membuka lebar-lebar tentang makna cintanya kepada suaminya. Apa yang ada ternyata semakin berharga setelah tiada. Ia semakin menyayangi anak-anaknya. Tangan Tuhan menyertainya dalam menjalankan tugas sebagai seorang ayah dan sekaligus seorang ibu. Anugerah Tuhan, yaitu kekuatan-Nya, menjadi sangat terasa. Kenangan manis terhadap suaminya yang ia cintai tersimpan dalan jiwanya. Kenangan manis itu pelan-pelan mencairkan rasa duka. Kebahagiaan pun mengalir kembali dalam hati karena ia mengalami kesatuan hati yang abadi.

Pesan yang kita dapat dalam peristiwa ini sangat berarti dalam meniti kehidupan ini. Tataplah orang yang kita sayangi dengan perasaan cinta dari hati. Cinta adalah ikatan dua hati. Tatapan cinta dari hati pasti semakin mengalirkan perasaan indah yang mungkin terpendam dalam jiwa selama ini. Kehidupan pun dihiasi dengan cinta yang semakin murni. Ungkapannya adalah mengabdi terhadap orang-orang yang ditinggalkan pergi oleh orang yang dicintai. Cinta itu pun menjadikan dua hati tidak akan pernah mati: “Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia pasti akan dihina” (Kidung Agung 8:7)

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Kenangan Indah Bersamamu (Puisi Perpisahan Dengan Romo Toni)

0

Menjelang kepindahanmu,

Terputar kembali dalam otakku.

Kenangan indah bersamamu selama empat tahun di Paroki Odilia.

Kita telah melangkah bersama

Menapaki jalan pewartaan

Berjuang menegakkan iman dari Citra Raya sampai Cisoka.

Tertawa, gembira, pahit, dan getir menyertai kita.

Tantangan-tantangan tidak menghentikan langkah pelayananmu.

Tuhan menopangmu saat kau lelah.

Surat Cinta Ilahi, yaitu Firman Allah, yang kaurenungkan setiap malam

menjadi kekuatanmu dalam setiap langkah.

Kini, engkau, melangkah ke tempat tugas yang baru, di Paroki Santo Michael – Bandung, demi ketaatan.

Paroki Tua dan umat sudah tua pula

Pelayananmu setiap hari pasti banyak pemakaman.

Tapi, engkau pasti bahagia menghantar jiwa-jiwa ke surga.

Selamat jalan, Romo Toni.

Bagaikan sebuah gunung yang indah dipandang mata dari kejauhan.

Semakin jauh engkau berada, semakin indah dan semakin banyak inspirasi yang dapat kami lihat.

Berangkatlah dengan senyuman.

Senyuman yang menjadi kenangan yang tergores slamanya dalam hati umat Odilia.

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Mukjizat Luar Biasa dalam Sepotong Hosti Biasa

0

[Hari Minggu Biasa XVIII: Yes 55:1-3; Mzm 145:8-18; Rm 8:35,37-39-30; Mat14: 13-21]

Injil hari ini mengulas tentang salah satu mukjizat Tuhan Yesus yang terbesar. Yesus menggandakan lima roti dan dua ikan, untuk memberi makan sedikitnya lima ribu orang laki-laki – belum termasuk perempuan dan anak-anak. Setelah mereka semua makan sampai kenyang, sisanya-pun masih begitu banyak: dua belas keranjang! Kita bisa membayangkan, betapa heboh-nya peristiwa itu. Tak mengherankan, keempat Injil mencatatnya. Maka kita tidak perlu terpengaruh pandangan para skeptik modern yang menganggap bahwa kemungkinan Yesus hanyamenyuruh orang banyak tersebut duduk berkelompok, lalu orang-orang itu sendiri yang saling berbagi makanan yang sudah mereka bawa. Bahwa orang-orang itu duduk memang disebutkan di sana, tapi tidak disebut bahwa mereka saling berbagi sendiri. Sebaliknya, jelas dikatakan bahwa Yesus mengambil lima roti dan dua ikan itu, lalu menengadah ke langit, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya membagi-bagikannya kepada orang banyak (lih. Mat 14:19). Fakta bahwa setelah kejadian itu orang- orang mendesak Yesus agar menjadi raja bagi mereka, itu sendiri telah menunjukkan bahwa Yesus telah melakukan sesuatu yang luar biasa di hadapan mereka. Sebab bukankah mereka telah memperoleh makanan, tanpa bekerja dan tanpa membayar, dan mereka semua telah menjadi kenyang?

Seandainya saja mereka dapat menghubungkan mukjizat Yesus itu dengan nubuat Nabi Yesaya yang baru saja kita baca, tentunya mereka akan mengenali bahwa yang hadir di depan mereka bukan saja pantas untuk menjadi raja bagi mereka, namun Ia sungguh adalah Tuhan Allah mereka. Sebab, “Beginilah firman Tuhan, “… kamu yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah….tanpa membayar… Mengapa upah jerih payahmu kau belanjakan untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan? Dengarkanlah Aku, maka kamu akan mendapat makanan yang paling baik…. Sendengkanlah telingamu, dan datanglah kepada-Ku, dengarkanlah, maka kamu akan hidup!” (Yes 55:2-3) Namun sepertinya, orang banyak itu tidak dapat melihat kaitan antara tanda yang baru dibuat oleh Yesus itu dengan nubuat Nabi Yesaya. Maka Yesus berkata, “… Sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti dan kamu kenyang” (Yoh 6:26). Mata hati orang-orang itu tertuju kepada apa yang mengenyangkan secara jasmani. Padahal Tuhan Yesus tidak bermaksud hanya memberi sampai di situ. Ia bermaksud memberi yang lebih besar lagi. Ya, Tuhan Yesus mau memberikan kepada kita, makanan yang paling baik, agar kita memperoleh hidup yang kekal. Santapan itu adalah Diri-Nya sendiri. Yesus bersabda, “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi…. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku….” (Yoh 6:35, 54-57).

Saat kita mendengarkan sabda Tuhan ini, mari kita mohon agar Roh Kudus membukakan mata dan telinga hati kita, agar kita memahami dan meresapkan kembali kedalaman makna sabda-Nya ini. Tuhan Yesus peduli dengan segala kebutuhan kita, namun terutama, Ia ingin memenuhi kebutuhan kita yang terpenting, yaitu agar kita memperoleh hidup yang kekal. Hidup kekal ini hanya mungkin kita peroleh, jika Allah sendiri yang memberikan hidup-Nya kepada kita. Karena maksud inilah, Kristus mau mengambil rupa manusia, dan menyerahkan hidup-Nya di kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita. Kini hidup-Nya itulah yang kita terima setiap kali kita menerima Dia, Sang Roti Hidup, dalam Ekaristi kudus. Melalui Ekaristi, kita menerima pemberian Diri-Nya yang sehabis-habis-Nya: Tubuh, Darah, Jiwa, dan ke-Allahan-Nya. Dalam Ekaristi, kita menerima keseluruhanKristus. Dalam Ekaristi, kita menerima mukjizat yang begitu besar dan luar biasa, dalam rupa sepotong hosti kecil dan begitu biasa. Ya, Tuhan, jangan biarkan mata rohaniku gagal melihat Engkau! Betapa seharusnya aku bersyukur, dan melambungkan pujian Mazmur, “Kecaplah betapa sedapnya Tuhan… betapa baiknya Tuhan itu…Engkau membuka tangan-Mu ya Tuhan, dan mengenyangkan kami” (Mzm 34:9; 145: 16).

Biarlah aku mengenali Engkau, sebagaimana para murid-Mu, di saat pemecahan roti, sehingga Komuni kudus ini menjadi terang yang menghalau kegelapan dalam jiwaku…. Tinggallah di dalamku, ya Tuhan Yesus, sebab hanya Engkaulah yang kurindukan, Kasih-Mu, Rahmat-Mu, Kehendak-Mu, Hati-Mu, Roh-Mu, sebab aku mengasihi- Mu dan aku tidak meminta yang lain, kecuali agar aku mengasihi Engkau, lebih dan lebih lagi. Amin.” (St. Padre Pio)

Apakah itu manusia raksasa/ nephilim (Kej 6:4)?

9

Penjelasan dari The Navarre Bible tentang ayat tersebut adalah sebagai berikut:

Dalam Kej 6:1-4 disebutkan istilah “anak-anak Allah”, yang cukup mengundang perdebatan. Sejumlah orang menganggap istilah itu mengacu kepada para malaikat yang berdosa (fallen angels). Namun arti ini tidak memungkinkan, mengingat kemudian disebutkan bahwa mereka menikahi anak-anak manusia. Sedangkan malaikat adalah mahluk rohani sehingga tidak dapat menikah dengan manusia. Karena itu ‘anak-anak Allah’ di perikop ini diartikan sebagai keturunan dari Set, yang kemudian menikahi para wanita keturunan Kain, yang disebut sebagai ‘anak-anak manusia’. Penjelasan ini diberikan oleh St. Augustinus (De civitate Dei, 15,23), St. Yohanes Krisostomus (Homiliae in Genesim, 22,4), St. Sirilus dari Aleksandria (Glaphyra in Genesim, 2,2) dan para Bapa Gereja lainnya. Pemerosotan moral dan nilai-nilai perkawinan menjadi penyebab terjadinya air bah.

Selanjutnya di ayat 4 tertulis, “Pada waktu itu orang-orang raksasa ada di bumi, dan juga pada waktu sesudahnya, ketika anak-anak Allah menghampiri anak-anak perempuan manusia, dan perempuan-perempuan itu melahirkan anak bagi mereka; inilah orang-orang yang gagah perkasa di zaman purbakala, orang-orang yang kenamaan.” (Kej 6:4)

‘Orang-orang raksasa’ di sini adalah terjemahan dari kata Ibrani נפלים, nephilim, yang berasal dari kata נפל, naphal, artinya “ia jatuh”.

Maka para ahli Kitab Suci mengartikan kata ini sebagai mereka yang telah jatuh dari ajaran agama yang benar. Kitab Septuaginta menerjemahkan kata nephilim ini dengan kata Yunani γιγαντες, yang secara literal artinya adalah ‘lahir dari bumi/ dunia’, yang kemudian diterjemahkan menjadi ‘raksasa’ yang sering dihubungkan dengan arti orang-orang yang berbadan besar, walaupun jika dilihat dari akar katanya tidak secara literal menyatakan demikian. Akar kata nephilim/ naphal ini (ia jatuh) justru menunjukkan kontras dengan anak-anak Allah. Nephilim ini mengacu kepada orang-orang yang lahir dari bumi, yang telah jatuh ataupun menyimpang, dengan pikiran yang jahat. Mereka adalah para keturunan Kain, yang dengan nafsu duniawi menguasai dunia. Sedangkan anak-anak Allah adalah keturunan Seth, yaitu mereka yang mengikuti Allah dan kehendak-Nya. Di sini kita melihat pertentangan antara para pendosa dengan orang-orang kudus; yang pertama, γιγαντες atau ‘lahir dari dunia’, sedangkan yang kedua, ἁγιοι, adalah orang-orang yang bukan dari dunia, atau dipisahkan dari dunia.

Namun demikian, beberapa ahli Kitab Suci lainnya, mengacu kepada temuan-temuan historis mengatakan bahwa ‘orang-orang raksasa’ tersebut memang mengacu kepada orang-orang zaman dulu yang relatif lebih besar perawakannya jika dibandingkan dengan orang-orang zaman sekarang. Mereka mengacu kepada beberapa teks dalam Kitab Suci yang menunjukkan hal ini, seperti ayat-ayat yang menuliskan tentang Goliat (1Sam 17:4), Og (Ul 3:11), dan anak-anak Enak (Bil 13:33) yang disebut sebagai ‘raksasa’, di mana orang-orang Israel melihat diri mereka seperti belalang jika dibandingkan dengan perawakan mereka.

Apapun interpretasi nephilim ini, tidak mempengaruhi fakta yang kemudian dituliskan di kitab Kejadian yaitu bahwa keturunan Seth kemudian menikah dengan keturunan Kain, dan keturunan mereka menghasilkan orang-orang perkasa. Dalam bahasa aslinya kata ‘perkasa’ adalah גברים  gibborim, yang mengacu kepada kata גבר  gabar, artinya ‘ia menang’. Dan kata אנשי השם anshey hashshem, “orang-orang kenamaan” diterjemahkan dalam Septuaginta, ανθρωποι ονομαστοι, artinya terkenal, ‘diberi nama dua kali’, yaitu nama aslinya dari orang tua dan nama julukan karena keberanian mereka. Baik diketahui bahwa terdapat tujuh kata Ibrani yang dapat diterjemahkan sebagai ‘raksasa’, yaitu: nephilim, gibborim, enachim, rephaim, emim, and zamzummim, yang artinya adalah orang-orang yang besar dalam hal pengetahuan, kesalehan, keberanian, namun juga dapat diartikan besar dalam hal kejahatan, jadi tidak saja selalu harus diartikan sebagai orang besar perawakannya.

 

 

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab