Home Blog Page 331

Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan (Bagian 5 – Selesai)

3

Gereja Katolik, tidak pernah populer, tetapi selalu menarik

Di dunia yang dipenuhi kehidupan sekuler, dan banyak aliran agama bermunculan, kita melihat banyak orang mencari kebenaran yang lebih bersifat tetap dan tidak terbawa arus. Banyak dari mereka tidak pernah menyangka bahwa pencarian tersebut akan berakhir di Gereja Katolik.

Gereja Katolik memang tidak pernah populer, kita tidak akan jadi terkenal dengan menjadi orang Katolik yang setia. Namun betapapun sulit penerapan pengajaran Gereja Katolik karena itu akan menuntut perubahan hidup, banyak orang merasa tertarik pada Gereja. Mereka mendengarkan dengan hormat pengajaran Paus dan para uskup pembantunya, meskipun mereka mengakui bahwa diperlukan perjuangan untuk menerapkan kebenaran tersebut di dalam hidup sehari-hari.

Ketertarikan akan Gereja juga nampak pada sejarah Gereja Katolik yang menampilkan kehidupan para kudus. Siapapun akan mengakui bahwa pasti ada sesuatu yang istimewa dan ‘ilahi’ pada Gereja Katolik yang dapat menghasilkan orang-orang kudus, seperti Santo Agustinus, Santo Benediktus, Santo Franciscus Asisi, dan Ibu Teresa.

Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan (Bagian 4)

2

Allah adalah Kasih, maka Ia menghendaki semua manusia mencapai kebahagiaan.

Allah ingin agar kita semua berbahagia. “Aku datang,” kata Yesus, “supaya kamu mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh 10:10). Pertanyaannya sekarang, apa itu kebahagiaan atau kelimpahan hidup? Banyak orang mungkin mengartikan kebahagiaan dengan kelimpahan materi. Namun sesungguhnya, bukan itu yang dijanjikan Yesus, walaupun Ia dapat saja karena kebijaksanaanNya menganugerahkan berkat-berkat kepada kita. Namun, jika kita berpikir bahwa Yesus datang untuk memberikan kelimpahan materi, artinya kita tidak sungguh-sungguh memahami arti pengorbanan Yesus di kayu salib bagi kita. Yesus memberikan DiriNya untuk disalibkan untuk menghapuskan dosa-dosa kita yang memisahkan kita dari Allah.[1] Dengan demikian, kita didamaikan dengan Allah, kita dikuduskan,(lihat artikel: Apa itu Kekudusan?), dan bersatu denganNya, dan dengan sesama saudara seiman. Persatuan dengan Allah inilah yang memberikan kita kelimpahan hidup. Dengan bersekutu dengan Allah, sumber dan empunya segala sesuatu, kita tidak akan berkekurangan. Kebahagiaan semacam ini lebih dari segala kelimpahan dunia dan tak dapat diberikan oleh dunia.

Bagaimana persatuan dengan Allah dan saudara-saudari seiman dinyatakan?

Persatuan kita dengan Allah dimulai dengan Pembaptisan, yang dilanjutkan dengan pertumbuhan spiritual melalui doa, baik doa pribadi maupun doa bersama, keikutsertaan di dalam sakramen-sakramen Gereja, terutama Ekaristi, dan penerapan kebajikan dalam perbuatan –perbuatan kasih (Lihat artikel: Semua Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus). Dengan ketiga hal inilah yang mengacu pada kekudusan, kita bertumbuh dalam persatuan kita dengan Allah dan sesama.

Doa

(KGK 2558- 2865)

Di dalam doa, kita mengarahkan hati ke surga, mengucap syukur dan kasih kita kepada Tuhan di saat susah maupun senang.[2] Kita mengangkat jiwa kepada Tuhan dan memohon kepadaNya demi hal-hal yang baik.[3] Untuk berdoa inilah diperlukan sikap kerendahan hati, karena kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa (Rm 8:26). Karenanya kita memerlukan bimbingan Allah sendiri, yang telah mengajari kita berdoa melalui Yesus, untuk selalu memohon kedatangan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah di sini adalah “persatuan seluruh Tritunggal Mahakudus dengan seluruh jiwa manusia”,[4] maka dengan demikian, dengan kehidupan doa, kita berada di dalam hadirat Allah. Hadirat Allah ini membuka persekutuan kita dengan para kudusNya, yang mempunyai dua arti, yaitu persekutuan dalam hal-hal yang kudus, dan persekutuan antara para orang kudus.[5]

Jadi, melalui doa, kita bertumbuh di dalam relasi dengan Allah, yang juga membawa pertumbuhan relasi kita dengan anggota-anggota keluarga Allah. Para anggota keluarga ini tidak hanya terbatas mereka yang hidup di dunia, tetapi juga mereka yang sudah mendahului kita, baik yang sudah mulia di surga, maupun yang sebelum masuk ke surga masih dimurnikan di Api Penyucian. Kenapa demikian? Karena kematian tidak punya kuasa untuk memisahkan kita dari kasih Kristus (Rom 8:38).

Jadi, kepada Allah Tritunggal kita mengarahkan doa kita, yaitu kepada Allah Bapa, yang oleh perantaraan Yesus dan kuasa Roh Kudus dapat kita panggil sebagai “Bapa Kami”. Namun kita dapat pula memohon agar para orang kudus di surga mendoakan kita, seperti halnya kita meminta agar saudara-saudari kita yang masih hidup di bumi mendoakan kita. Sebab di surga, para orang kudus berdoa bagi kita (Why 5:8), dan doa mereka sangatlah besar kuasanya sebab mereka orang-orang yang sudah dibenarkan oleh Allah sendiri (Yak 5:16) oleh karena kesempurnaan kasih yang mereka perbuat di dunia.[6]

Jika kita meminta agar para orang kudus mendoakan kita, itu tidak berarti kita mengurangi peran Yesus sebagai satu-satunya Perantara (1Tim 2:5), melainkan kita memenuhi ajaran untuk “menaikkan permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang”, karena itulah yang baik dan berkenan kepada Allah Juruselamat kita (1Tim 2:1-4). Jadi sebagai anggota Tubuh Kristus kita dipanggil untuk saling menolong dan mendoakan (Gal 6:2), dan dipanggil untuk menjadi rekan sekerja Allah dalam rencana keselamatan (1Kor 3: 9).

Seandainya hidup ini seperti sekolah, Para Orang Kudus adalah seperti para senior kita yang telah lebih dahulu lulus ujian. Jika kita ingin lulus dengan baik, belajarlah melalui teladan hidup mereka. Siapa yang dengan rendah hati mau belajar, dia akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk lulus. Allah memang dengan sengaja mengikutsertakan mereka di dalam rencana keselamatan kita, supaya kita bisa melihat contoh hidup mereka, yang telah menjadi ‘rekan sekerja Allah’ dalam rencana keselamatan (1Kor 3:9) tersebut.

Dalam hal inilah, kita melihat Bunda Maria sebagai teladan. Doa-doanya bagi kita sangat penuh kuasa karena hubungannya yang sangat istimewa dengan Yesus, Puteranya (lih. Yoh 2:1-11). Allah memberikan peran yang khusus kepada Bunda Maria[7] untuk menjadi ibu yang melahirkan Putera-Nya Yesus ke dunia. Karenanya, Allah menjadikannya penuh rahmat, yang artinya bebas dari dosa (Luk 1:28, 47), terberkati di antara semua wanita (Luk 1:42), dan menjadikannya teladan bagi semua manusia (Luk 1:48). Pada akhir hidupnya, Allah mengangkat Bunda Maria, tubuh dan jiwa, ke surga, suatu gambaran bagi kita tentang kebangkitan kita pada akhir jaman (Why 12:1-2).[8]

Sakramen

(KGK 1210-1666)

Melalui sakramen- sakramen Gereja (Pembaptisan, Penguatan, Ekaristi, Pengakuan Dosa, Perkawinan, Tahbisan suci, dan Urapan orang sakit)- terutama Ekaristi, kita dipersatukan dengan misteri Paska Kristus, yaitu: wafat, kebangkitan, dan kenaikanNya ke surga, dan karenanya kita dibawa kepada persatuan denganNya. Melalui Sakramen- sakramen Gereja ini Kristus Sang Kepala membagi-bagikan milikNya kepada semua anggota.[9] (lihat artikel: Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan, bagian ke-2).

Perbuatan- perbuatan kasih, dijiwai oleh iman dan harapan

(KGK 1812-1829, 1833-1841)

Gereja Katolik mengajarkan bahwa kita diselamatkan karena rahmat kasih karunia (Ef 2:5)[10] oleh iman (Ef 2:8), bukan hanya karena iman. Selanjutnya, iman yang menyelamatkan adalah iman yang hidup, yang tertuang dalam perbuatan kasih (lih. Yak 2:24) dan yang mengarahkan pandangan kita kepada kehidupan abadi (Tit 3:6-7). Dengan hidup di dalam iman, harapan dan kasih (hidup kudus), kita “hidup dalam hubungan dengan Tritunggal Mahakudus”[11]

Jadi, rahmat pertama yang mendatangkan pertobatan, pengampunan dosa dan pembenaran itu bukan sesuatu yang diperoleh karena usaha manusia, tetapi hanya karena kebaikan Tuhan.[12] Namun, setelah kita menerima rahmat pertama itu – yaitu dalam Pembaptisan- kita harus mengembangkannya di dalam perbuatan- perbuatan kasih yang mengantar kita kepada hidup yang kekal (Rom 2:6-7). Perbuatan kasih ini berkenan bagi Allah, bahkan Allah mengajarkan hal ini sebagai hukum yang terutama (Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31).

Jadi, kita tidak meraih keselamatan dengan usaha perbuatan kita (Ef 2:8-9; Rom 9:16), melainkan hanya karena kemurahan hati Allah. Namun iman yang kita peroleh di dalam Kristus meletakkan kita di dalam hubungan yang penuh dengan rahmat Allah, sehingga oleh kasih, ketaatan dan iman, kita beroleh kehidupan kekal (Rom 2:7). Rasul Yohanes mengatakan, tanda bahwa kita mengenal Allah adalah dengan menuruti perintah-perintahNya (1Yoh 2:3-4; 3:23-24), sehingga perbuatan- perbutan kasih selalu harus dilakukan oleh orang-orang yang percaya kepada Allah.

Jika setelah kita menerima Pembaptisan kita menolak berbuat kasih, atau tepatnya tetap berada di dalam dosa- dosa kita, kita sama dengan orang yang menolak rahmat Tuhan itu. Itu sama saja dengan meninggalkan Kristus (Yoh 15:5-6) atau tidak berpegang teguh pada Injil, sehingga sia-sialah iman kita (1Kor 15:1-2). Jadi kita tidak dapat mengatakan bahwa kita beriman kepada Tuhan, jika kita terus memilih untuk hidup di dalam dosa. Menerima Yesus sebagai Juruselamat pribadi harus disertai dengan perubahan diri ke arah kebaikan. Rasul Paulus menuliskan hal ini berulang kali, agar semua pengikut Kristus, yaitu kita semua, berjuang untuk menghidari dosa, yang pada dasarnya berarti perbuatan-perbuatan yang jahat yang bertentangan dengan perintah Tuhan.[13]

Dengan melakukan perbuatan-perbuatan kasih, kita dibentuk oleh Allah untuk menjauhi dosa (lih. 1Pet 4:8). Sebab, dengan melakukan perbuatan kasih, kita semakin termotivasi untuk meninggalkan dosa-dosa kita. Teladan hidup para kudus menunjukkan pada kita bahwa untuk menjauhkan diri dari dosa, kita harus melakukan ketiga hal ini: berdoa secara teratur setiap hari, mengambil bagian dalam sakramen-sakramen Gereja, terutama Ekaristi, dan melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan yaitu yang didasari iman, harapan dan kasih.

Di atas semua itu, baiklah kita mengingat bahwa perbuatan kasih-lah yang menghantar kita ke surga, dan perbuatan kasih kepada Tuhan dan sesama adalah yang menandai kita sebagai pengikut Kristus yang sejati.[14] Namun dalam melakukan perbuatan-perbuatan kasih janganlah kita sampai mengundang perhatian orang. Allah mengatakan, jika kita melakukan perbuatan kasih, entah itu berdoa, memberi sedekah, pertolongan atau perhatian- agar dilakukan secara tersembunyi, -maksudnya tidak digembar-gemborkan-, “maka Bapa-mu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat 6:3).

Kesimpulan: Gereja sebagai Tanda Kasih Tuhan dialami melalui doa, sakramen dan perbuatan- perbuatan kasih.

Allah mengasihi kita, dan karenanya menginginkan kita hidup berbahagia. Kebahagiaan kita terletak pada persekutuan kita dengan Tuhan. Gereja adalah karunia Tuhan yang menjadi Tanda KasihNya dimana Tuhan merangkul semua orang yang percaya di dalam persekutuan denganNya. Persekutuan ini kita alami melalui doa, sakramen dan perbuatan-perbuatan kasih, yang membantu kita bertumbuh di dalam iman, pengharapan, dan kasih, atau singkatnya ‘kekudusan’.

Dalam hal ini, para orang kudus menjadi teladan kita sebab mereka telah terlebih dahulu sampai ke surga setelah memenangkan pergumulan hidup di dunia ini.


[1] Lihat Katekismus Gereja Katolik 599-623, 602 dan 603,”Kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia,… telah ditebus dengan darah yang mahal yaitu darah Kristus, yang sama seperti darah anak domba yang tidak bernoda dan tak bercacat… (1Ptr 1:18-20) Dosa-dosa manusia yang menyusul dosa asal dihukum dengan kematian. Dengan mengutus PuteraNya yang tunggal dalam rupa seorang hamba, dalam kodrat manusia yang jatuh dan yang diserahkan kepada kematian karena dosa… dengan cara demikian Allah sudah membuatNya solider dengan kita, orang berdosa, maka “Ia tidak menyayangkan anakNya sendiri, tetapi menyerahkanNya bagi kita semua” (Rom 8: 32), sehingga kita diperdamaikan dengan Allah oleh kematian AnakNya” (Rm 5:10).

KGK 620, “Keselamatan kita bersumber pada prakarsa cinta Allah terhadap kita, karena Ia “telah mengasihi kita dan telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1Yoh 4:10) “Allah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus.”

[2] “Bagiku doa adalah ayunan hati, satu pandangan sederhana ke surga, satu seruan syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan” (Teresia Kanak-kanak Yesus, ms, autob.25r)

[3] Lihat KGK 2559, “Doa adalah pengangkatan jiwa kepada Tuhan, atau satu permohonan kepada Tuhan demi hal-hal yang baik…. Kerendahan hati adalah dasar dari doa, karena kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa (Rm 8:26). Supaya mendapat anugerah doa, kita harus bersikap rendah hati… ”

[4] KGK 2565.

[5] Lihat KGK 948.

[6] Lihat KGK 956, “…Sebab karena para penghuni surga bersatu lebih erat dengan Kristus, mereka lebih meneguhkan seluruh Gereja dalam kesuciannya, mereka menambah keagungan ibadat kepada Allah, yang dilaksanakan oleh Gereja di dunia…”

KGK 2683, “Saksi- saksi yang sudah mendahului kita masuk Kerajaan Allah, terutama para ‘kudus’ yang sudah diakui Gereja, turut serta dalam tradisi doa yang hidup dengan perantaraan contoh hidupnya, dengan menyumbangkan tulisan-tulisannya dan dengan doanya sekarang ini…. Doa syafaatnya adalah pelayanan yang tertinggi bagi rencana Allah. Kita dapat dan harus memohon mereka, supaya membela kita dan seluruh dunia.”

KGK 2692,”Gereja penziarah bersatu dalam doanya dengan doa para kudus, yang doa syafaatnya Gereja minta.”

[7] Lihat KGK 490-511, 963- 975: 490, “Karena Maria dipilih menjadi bunda Penebus, maka ia dianugerahi karunia-karunia yang layak untuk tugas yang sekian luhur” (LG 56)… Supaya dapat memberikan persetujuan imannya kepada pernyataan panggilannya, ia harus dipenuhi seluruhnya oleh rahmat Allah.”

KGK 492, “Bahwa Maria ‘sejak pertama ia dikandung, dikaruniai cahaya kekudusan yang istimewa” (LG 56), hanya terjadi berkat jasa Kristus: “Karena pahala Puteranya, ia ditebus secara lebih unggul (LG 53)… Bapa memberkati dia dengan segala berkat RohNya oleh persekutuan dengan Kristus di dalam surga” (Ef 1:3). Allah telah memilih dia sebelum dunia dijadikan, supaya ia kudus dan tidak bercacat di hadapanNya (lih. Ef 1:4 dan Luk 1:28-37).

KGK 963- 975: 963, “Ia (Maria) memang Bunda para anggota (Kristus)… karena dengan cinta kasih ia menyumbangkan kerja samanya, supaya dalam Gereja lahirlah kaum beriman, yang menjadi anggota Kepala itu…”

KGK 964, “Tugas Maria terhadap Gereja tidak bisa dipisahkan dari persatuannya dengan Kristus, tetapi langsung berasal darinya. “Adapun persatuan Bunda dengan PuteraNya dalam karya penyelamatan itu terungkap sejak saat Kristus dikandung oleh santa Perawan hingga wafatNya” (LG 57)…

KGK 975, “…Bunda Allah tersuci, Hawa yang baru, Bunda Gereja, melanjutkan di dalam surga keibuannya terhadap anggota-anggota Kristus.”

[8] Lihat KGK 974, “Sesudah mengakhiri perjalanan kehidupannya di dunia ini, Perawan Maria tersuci diangkat jiwa dan badan ke dalam kemuliaan surga, di mana ia sudah mengambil bagian dalam kemuliaan kebangkitan Puteranya dan dengan demikian mengantisipasi kebangkitan semua anggota TubuhNya.”

[9] Lihat KGK 947, “Jadi milik Kristus dibagi-bagikan sepada semua anggota, dan pembagian ini terjadi oleh Sakramen- sakramen Gereja”.

[10] Lihat KGK 1727, “Kebahagiaan kehidupan abadi adalah anugerah rahmat Allah; sifatnya adikodrati seperti rahmat, yang mengantar kepadanya.”

[11] Lihat KGK 1812, “Kebajikan manusia berakar dalam kebajikan ilahi, yang memungkinkan kemampuan manusiawi mengambil bagian dalam kodrat ilahi. Karena kebijakan ilahi (iman, harapan dan kasih) langsung berhubungan dengan Allah. Mereka memungkinkan orang kristen, supaya hidup dalam hubungan dengan Tritunggal Mahakudus. Mereka memiliki Allah yang Esa dan Tritunggal sebagai asal, sebab dan objek.” Sebagai asal, karena kebajikan berasal dari Allah; sebagai sebab, karena Allah yang menyebabkan kita dapat berbuat kebajikan; sebagai objek, karena kebajikan itu ditujukan kepada Tuhan dan sesama yang di dalamnya kita melihat Tuhan sendiri.

[12] Lihat KGK 2010, “Karena di dalam tata rahmat tindakan pertama berasal dari Allah, maka seorangpun tidak dapat memperoleh rahmat pertama, yang darinya muncul pertobatan, pengampunan, dan pembenaran. Baru setelah didorong oleh Roh Kudus dan kasih, kita dapat memperoleh untuk kita sendiri dan untuk orang lain, rahmat yang menyumbang demi kekudusan kita, demi pertumbuhan rahmat dan kasih, serta demi penerimaan kehidupan abadi…”

[13] Lihat KGK 1849, “Dosa adalah suatu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran dan hati nurani yang baik; ia adalah suatu kesalahan terhadap kasih yang benar terhadap Allah dan sesama atas dasar satu ketergantungan yang tidak normal kepada barang-barang tertentu…Ia didefinisikan sebagai ‘kata, perbuatan atau keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi”

KGK 1850, “Dosa adalah satu penghinaan terhadap Allah…. Dosa memberontak terhadap kasih Allah kepada kita dan membalikkan hati kita dari Dia. Seperti dosa perdana, ia adalah ketidaktaatan, suatu pemberontakan terhadap Allah…”

[14] Lihat Lumen Gentium 42, “Sebab cinta kasih, sebagai pengikat kesempurnaan dan kepenuhan hukum (lih. Kol 3:14); Rom 13:10), mengarahkan dan menjiwai semua upaya kesucian, dan membawanya sampai ke tujuannya[133]. Maka cinta kasih akan Allah maupun akan sesama merupakan ciri murid Kristus yang sejati.”

Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan (Bagian 3)

26

Pertanyaan

Pernahkah anda bertanya dalam hati, jika Tuhan menginginkan sebanyak mungkin orang masuk ke surga, bagaimanakah Dia menyampaikan kebenaran tersebut, supaya orang-orang dapat mengerti? Berikut ini adalah pengajaran Gereja yang mencerminkan kebaikan dan kebijaksanaan Allah.

Allah adalah Kasih, maka Ia menghendaki semua manusia selamat

Allah adalah Kasih (1Yoh 4:8), maka Allah menghendaki semua manusia diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1Tim 2:4) yang diperoleh dengan mengenal Yesus Kristus, yang menjadi kepenuhan wahyu Allah itu sendiri.[1] Untuk memenuhi kehendak Allah ini, Kristus kemudian memerintahkan pada para rasul supaya Injil yang telah dijanjikan melalui para nabi, yang digenapi olehNya dan disah-kanNya, dapat mereka wartakan kepada semua orang dan dengan demikian dapat dibagikan karunia-karunia ilahi kepada mereka semua. Injil adalah sumber kebenaran yang menyelamatkan dan sumber ajaran moral.[2] Injil yang memuat kebenaran kasih Allah ini diturunkan kepada GerejaNya.

Bagaimana Allah berbicara pada GerejaNya untuk menyampaikan rencanaNya?

Allah memberitahukan rencana keselamatanNya kepada manusia melalui Injil. Injil ini diturunkan dengan dua cara, yaitu secara lisan dan tertulis, untuk diteruskan kepada kita. Para rasul mewartakan secara lisan apa yang mereka terima dari Kristus, entah dari perbuatan Kristus ataupun dari percakapan denganNya, ataupun dari dorongan Roh Kudus. Dan juga, para rasul dan tokoh-tokoh rasuli atas ilham Roh Kudus menuliskan amanat keselamatan tersebut untuk dijadikan buku.[3] Hasil penulisan amanat Allah tersebut dikenal sebagai Kitab Suci. Nah, supaya pesan Injil ini dapat diturunkan secara utuh dan hidup di dalam Gereja, para rasul menunjuk uskup-uskup untuk menggantikan mereka dan menyerahkan kepada mereka kedudukan untuk mengajar. Penerusan ajaran Injil ini yang terjadi di bawah kuasa Roh Kudus, disebut sebagai Tradisi Suci. Sedangkan para penerus rasul yang mendapat wewenang mengajar dari para rasul ini disebut sebagai Magisterium.  Magisterium bertugas untuk menginterpretasikan ajaran Injil sesuai dengan maksud aslinya dan meneruskannya kepada Gereja. Jadi Allah berkarya di dalam ketiga hal ini, yaitu Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium, untuk menjamin kemurnian penurunan wahyu kudus-Nya.

Jelaslah bahwa Tradisi Suci dan Kitab Suci ini berhubungan sangat erat dan terpadu, sebab keduanya berasal dari Allah, dan keduanya menghadirkan misteri Kristus di dalam Gereja, yang mendatangkan buah keselamatan.[4] Hanya dengan perpaduan Tradisi dan Kitab Suci kita memperoleh gambaran yang lengkap tentang wahyu Allah. Dalam hal ini, Magisterium memegang peran yang sangat penting dan tak terpisahkan dengan keduanya, atas dasar perannya untuk menjamin pengertian yang benar terhadap wahyu Allah tersebut. Karena itu, Allah menganugerahkan kurnia ‘infallibility‘ (‘tidak mungkin sesat’) kepada Magisterium, yaitu Paus dan para uskup dalam persekutuan dengannya, untuk dapat mengartikan dan melestarikan wahyu Allah itu dan mengajarkannya kepada Gereja. Ibaratnya Magisterium itu adalah seumpama wasit dalam pertandingan sepak bola, sedangkan Kitab Suci dan Tradisi Suci adalah seumpama peraturan pertandingan: pertandingan memang dilakukan atas dasar peraturan permainan sepak bola [bukan peraturan pribadi dari wasit yang bersangkutan], namun wasit bertugas untuk menjaga agar dalam pertandingan tersebut, peraturan yang sudah ada itu dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Tradisi Suci

(KGK 75-83)

Tradisi Suci adalah Tradisi yang berasal dari para rasul yang meneruskan apa yang mereka terima dari ajaran dan contoh Yesus dan bimbingan dari Roh Kudus. Oleh Tradisi, Sabda Allah yang dipercayakan Yesus kepada para rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya dalam pewartaannya, mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia.[5] Maka Tradisi Suci ini bukan tradisi manusia yang hanya merupakan ‘adat kebiasaan’. Dalam hal ini, perlu kita ketahui bahwa Yesus tidak pernah mengecam seluruh adat kebiasaan manusia, Ia hanya mengecam adat kebiasaan yang bertentangan dengan perintah Tuhan (Mrk 7:8).

Jadi, Tradisi Suci dan Kitab Suci tidak akan pernah bertentangan. Pengajaran para rasul seperti Allah Tritunggal, Api penyucian, Keperawanan Maria, telah sangat jelas diajarkan melalui Tradisi dan tidak bertentangan dengan Kitab Suci, meskipun hal-hal itu tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Kitab Suci. Janganlah kita lupa, bahwa Kitab Suci sendiri mengajarkan agar kita memegang teguh Tradisi yang disampaikan kepada kita secara tertulis ataupun lisan (2Tes 2:15, 1Kor 11:2).

Juga perlu kita ketahui bahwa Tradisi Suci bukanlah kebiasaan-kebiasaan seperti doa rosario, berpuasa setiap hari Jumat, ataupun selibat para imam. Walaupun semua kebiasaan tersebut baik, namun hal-hal tersebut bukanlah doktrin. Tradisi Suci meneruskan doktrin yang diajarkan oleh Yesus kepada para rasulNya yang kemudian diteruskan kepada Gereja di bawah kepemimpinan penerus para rasul, yaitu para Paus dan uskup.

Kitab Suci

(KGK 101-141)

Allah memberi inspirasi kepada manusia yaitu para penulis suci yang dipilih Allah untuk menuliskan kebenaran. Allah melalui Roh KudusNya berkarya dalam dan melalui para penulis suci tersebut, dengan menggunakan kemampuan dan kecakapan mereka. “Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami tersebut, harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus.”[6] Jadi jelaslah bahwa Kitab Suci yang mencakup Perjanjian Lama dan Baru adalah tulisan yang diilhami oleh Allah sendiri (2Tim 3:16). Kitab-kitab tersebut mengajarkan kebenaran dengan teguh dan setia, dan tidak mungkin keliru. Karena itu, Allah menghendaki agar kitab-kitab tersebut dicantumkan dalam Kitab Suci demi keselamatan kita.[7]

Mungkin ada orang Kristen yang berkata, bahwa keselamatan mereka diperoleh melalui Kitab Suci saja. Namun, jika kita mau jujur, kita akan melihat bahwa hal itu tidak pernah diajarkan oleh Kitab Suci itu sendiri. Malah yang ada adalah sebaliknya, bahwa Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri (2Pet 1:20-21) sebab ada kemungkinan dapat diartikan keliru (2Pet 3:15-16). Gereja pada abad-abad awal juga tidak menerapkan teori ini. Teori ‘hanya Kitab Suci’ atau ‘Sola Scriptura’ ini adalah salah satu inti dari pengajaran pada zaman Reformasi pada tahun 1500-an, yang jika kita teliti, malah tidak berdasarkan Kitab Suci.

Pada kenyataannya, Kitab Suci tidak dapat diinterpretasikan sendiri-sendiri, karena dapat menghasilkan pengertian yang berbeda-beda. Sejarah membuktikan hal ini, di mana dalam setiap tahun timbul berbagai gereja baru yang sama-sama mengklaim “Sola Scriptura” dan mendapat ilham dari Roh Kudus. Ini adalah suatu kenyataan yang memprihatinkan, karena menunjukkan bahwa pengertian mereka tentang Kitab suci berbeda-beda, satu dengan yang lainnya. Jika kita percaya bahwa Roh Kudus tidak mungkin menjadi penyebab perpecahan (lih. 1Kor14:33) dan Allah tidak mungkin menyebabkan pertentangan dalam hal iman, maka kesimpulan kita adalah: “Sola Scriptura” itu teori yang keliru.

Magisterium (Wewenang mengajar) Gereja

(KGK 85-87, 888-892)

Dari uraian di atas, kita mengetahui pentingnya peran Magisterium yang “bertugas untuk menafsirkan secara otentik Sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu yang kewibawaannya dilaksanakan dalam nama Yesus Kristus.”[8] Magisterium ini tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya, supaya dapat diturunkan sesuai dengan yang seharusnya. Dengan demikian, oleh kuasa Roh Kudus, Magisterium yang terdiri dari Bapa Paus dan para uskup pembantunya [yang dalam kesatuan dengan Bapa Paus]  menjaga dan melindungi Sabda Allah itu dari interpretasi yang salah.

Kita perlu mengingat bahwa Gereja sudah ada terlebih dahulu sebelum keberadaan kitab-kitab Perjanjian Baru. Para pengarang/ penulis suci dari kitab-kitab tersebut adalah para anggota Gereja yang diilhami oleh Tuhan, sama seperti para penulis suci yang menuliskan kitab-kitab Perjanjian Lama. Magisterium dibimbing oleh Roh Kudus diberi kuasa untuk meng-interpretasikan kedua Kitab Perjanjian tersebut.

Jelaslah bahwa Magisterium sangat diperlukan untuk memahami seluruh isi Kitab Suci. Karunia mengajar yang ‘infallible‘ (tidak mungkin sesat) itu diberikan kepada Magisterium pada saat mereka mengajarkan secara resmi doktrin-doktrin Gereja. Karunia ini adalah pemenuhan janji Kritus untuk mengirimkan Roh KudusNya untuk memimpin para rasul dan para penerus mereka kepada seluruh kebenaran (Yoh 16:12-13).

Kesimpulan: Gereja sebagai Tonggak Kebenaran terdiri dari tiga unsur, yaitu Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium

Untuk memberitahukan rencana keselamatanNya, Allah berbicara pada GerejaNya melalui Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium. Ketiga hal ini adalah karunia Allah yang tidak terpisahkan untuk menyampaikan kebenaran melalui GerejaNya. Perlu kita ingat bahwa Rasul Paulus sendiri berkata bahwa Gereja adalah “jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran” (1Tim 3:15).

Di dalam Gereja, wahyu Allah dinyatakan dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci. Karena Kitab Suci dan Tradisi Suci berasal dari Allah, kita harus menerima dan menghormati keduanya dengan hormat yang sama.[9] Jika kita membaca Kitab Suci, terutama di dalam hal iman dan moral, kita harus menempatkan pemahaman Magisterium Gereja di atas pemahaman pribadi, karena kepada merekalah telah dipercayakan tugas mengartikan Wahyu Allah secara otentik. Namun hal ini janganlah sampai mengurangi semangat kita untuk membaca Kitab Suci, karena Gereja mengajarkan kita agar kita rajin membaca Kitab Suci dan mempelajarinya, sebab melalui Kitab Suci kita dibawa pada ”pengenalan yang mulia akan Kristus” (Fil 3:8). St. Jerome mengatakan, bahwa jika kita tidak mengenal Kitab Suci, maka kita juga tidak mengenal Kristus.[10] Ini adalah suatu tantangan buat kita semua yang mengatakan bahwa kita mengenal dan mengasihi Yesus.

Jadi, sebagai Tonggak Kebenaran, Gereja memiliki tiga unsur, yaitu: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium. Ketiganya merupakan pemenuhan janji Allah yang selalu mendampingi GerejaNya sampai kepada ‘seluruh kebenaran’ (Yoh 16:12-13), yang senantiasa bertahan sampai akhir jaman. Mari kita bersyukur untuk pemenuhan janji Tuhan ini.


[1]Lihat Katekismus Gereja Katolik, 74, “Allah menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1Tim 2:4), artinya supaya semua orang mengenal Yesus Kristus. Karena itu Kristus harus diwartakan sepada semua bangsa dan manusia dan wahyu mesti sampai ke batas-batas dunia.”

[2] Lihat Katekismus Gereja Katolik, 75, “Maka Kristus Tuhan, yang menjadi kepenuhan seluruh wahyu Allah yang Mahatinggi (lih. 2Kor1:30;3:16-4-6), memerintahkan kepada para Rasul, supaya Injil, yang dahulu telah dijanjikan melalui para nabi dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan-Nya sendiri, mereka wartakan kepada semua orang, sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan serta ajaran kesusilaan, dan dengan demikian dibagi-bagikan karunia-karunia ilahi kepada mereka.” (Dei Verbum, Dokumen Vatikan II,7)

[3] Lihat Katekismus Gereja Katolik, 76, Sesuai dengan kehendak Allah terjadilah pengalihan Injil atas dua cara:— secara lisan “oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang mereka terima dari mulut, pergaulan, dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari”,— secara tertulis, “oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan “(Dei Verbum, Dokumen Vatikan II,7 ).

[4] Lihat Katekismus Gereja Katolik, 80, “Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan erat sekali dan terpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah yang sama” (Dei Verbum, Dokumen Vatikan II, ). Kedua-duanya menghadirkan dan mendayagunakan misteri Kristus di dalam Gereja, yang menjanjikan akan tinggal bersama orang-orangNya ‘sampai akhir zaman’ (Mat 28:20)

[5] Katekismus Gereja Katolik, 81, Dei Verbum, 9

[6] Katekismus Gereja Katolik, 107, “Kitab-kitab yang diinspirasi (tersebut) mengajarkan kebenaran. ‘Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami …(penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus.”

[7] Lihat Ibid., 107, Dei Verbum, 11

[8] Katekismus Gereja Katolik, 85, dan Dei Verbum, 10.

[9] Lihat Katekismus Gereja Katolik, 82, “Dengan demikian maka Gereja, yang dipercayakan untuk meneruskan dan menjelaskan wahyu, “menimba kepastiannya tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi maupun kitab suci) harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama” (Dei Verbum, 9)

[10] Lihat Dei Verbum, 25, “Begitu pula Konsili suci mendesak dengan sangat dan istimewa semua orang beriman, terutama para religius, supaya dengan sering kali membaca kitab-kitab ilahi memperoleh “pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (Flp3:8). “Sebab tidak mengenal Alkitab berarti tidak mengenal Kristus”

Mengapa Kita Memilih Gereja Katolik

169

Pertanyaan berikutnya setelah kita percaya bahwa Yesus adalah Tuhan

Dalam tulisan terdahulu, kita telah membahas bahwa kepercayaan kepada satu Tuhan adalah sesuatu yang sangat logis/ masuk akal (lihat artikel: Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada?). Setelah kita percaya kepada Tuhan yang satu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sudah selayaknya kita juga percaya kepada Yesus Kristus[1], Putera Allah yang menjelma menjadi manusia (lihat artikel: Mengapa Orang Kristen Percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan?). Tahap selanjutnya adalah: setelah kita percaya kepada Yesus, berarti kita menjadi pengikut Yesus dan menjadi seorang Kristen. Namun pertanyaannya sekarang, Kristen yang mana?

Pencarian kebenaran harus lebih tinggi daripada penghargaan dan perasaan pribadi

Pertanyaan di atas menjadi penting  di zaman sekarang ini, mengingat bahwa dewasa ini ada begitu banyak tipe kekristenan yang dilihat dari banyaknya macam gereja. Untuk begitu saja menerima kekristenan tanpa meneliti terlebih dahulu tentang Gereja mana yang sebenarnya didirikan oleh Yesus Kristus, adalah menempatkan diri sendiri dan perasaan diri sendiri lebih tinggi daripada kebenaran.[2] Maka, kerap kali kita mendengar pernyataan-pernyataan seperti berikut ini:

  • Saya senang ke gereja ini, karena gereja ini umatnya begitu ramah, musiknya juga bagus sekali.
  • Saya merasa bahwa gereja ini diberkati oleh Roh Kudus, karena saya merasakan bahwa kuasa Roh Kudus hadir di gereja tersebut.
  • Saya merasakan bahwa pembawa firmannya begitu penuh dengan Roh Kudus, sehingga dapat menyentuh hatiku.
  • Saya tidak dapat berkembang di gereja A, sehingga saya harus mencari gereja yang membuat saya berkembang.
  • Dan begitu banyak pernyataan-pernyataan yang lain.

Kalau kita meneliti pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, bukankah semuanya berfokus kepada “saya?” Padahal, dalam pencarian kebenaran, seharusnya, fokus kita bukan kepada diri sendiri, tetapi kepada kebenaran, yang akhirnya mengarahkan kita kepada Sang Kebenaran itu sendiri,[3] yaitu Yesus Kristus. Dengan kata lain,  kita menempatkan kebenaran di atas kepentingan dan perasaan pribadi.

Gereja yang mana?

Pertanyaan untuk mencari kebenaran adalah: “Sebenarnya Tuhan ingin saya ke gereja yang mana? Atau Gereja manakah yang Yesus dirikan? Pertanyaan ini sangatlah mendasar, karena kalau Tuhan mendirikan sebuah Gereja dan kalau kita menempatkan kebenaran di atas segalanya, termasuk diri kita sendiri, maka kita seharusnya memberikan diri kita kepada Gereja tersebut. Dalam tulisan ini, kita akan meneliti, gereja manakah yang dirancang oleh Allah Bapa, didirikan oleh Yesus Kristus, dan dikuduskan oleh Roh Kudus sampai akhir zaman.

Gereja terpecah belah

Pada waktu saya kuliah di Bandung, saya didatangi oleh umat dari gereja tertentu. Kemudian mereka memperkenalkan diri, bahwa mereka datang dari gereja X. Dalam hati saya sungguh mengagumi keberanian mereka untuk menyebarkan kabar gembira dan dedikasi mereka terhadap Tuhan. Kemudian mereka menceritakan tentang pendiri gereja X tersebut, sebut saja Yesaya. Menurut mereka, pendiri gereja X adalah seseorang yang diurapi oleh Roh Kudus. Sebelumnya sang pendiri ini adalah salah seorang anggota jemaat gereja Y. Kemudian karena sesuatu hal, menurut Yesaya, pemimpin gereja Y tidak dipenuhi lagi oleh Roh Kudus. Kemudian Yesaya mendapatkan inspirasi dari Roh Kudus untuk mendirikan gereja baru, yang bernama gereja X. Dalam keterbatasan saya tentang teologi dan juga pengertian saya yang dangkal, saya bertanya kepada mereka, “Bagaimana bila suatu saat, karena sesuatu hal, ada umat di gereja X yang juga mendapat inspirasi dari Roh Kudus untuk mendirikan gereja baru, bukankah nanti dapat terjadi ada gereja X1, X2, dan seterusnya?”

Kalau kita meneliti dengan jujur, inilah yang terjadi  sekarang ini. Ada lebih dari 28,000 denominasi gereja di dunia. Data di Amerika menunjukkan bahwa setiap minggu ada satu gereja baru muncul, dan kemudian dalam dua generasi akan lenyap. Keberadaan gereja yang ‘timbul dan tenggelam’ sudah menjadi hal yang biasa pada saat ini. Pertanyaan-nya adalah, “Mengapa gereja terpecah-pecah, dan kalau memang ini semua dari Roh Kudus, mengapa tidak ada kesatuan? Padahal kita tahu bahwa Roh Kudus adalah Roh Pemersatu dan bukan roh pemecah.”

Perpecahan Gereja terjadi dari awal jemaat sampai sekarang

Catatan sejarah menunjukkan bahwa sejak jemaat awal, akibat dari dosa, benih-benih perpecahan sudah ada. St. Paulus mengingatkan jemaat di Roma dan di Korintus untuk menghindari perpecahan (Rom 16:17; 1 Kor 1:10; 11:18-19; 12:25). Namun, sayangnya perpecahan ini tetap terjadi, mulai dari Docetism (90-451), Gnosticism (100), Manichaeism (250) dan seterusnya. Di abad- abad berikutnya,   perpecahan gereja terus terjadi, contohnya:

  • Gereja Timur Orthodox (1054).
  • Gereja Anglikan di Inggris (abad ke 16), didirikan oleh Raja Henry VIII.
  • Lutheran dan Calvinis di Jerman (abad ke 16), didirikan oleh Luther dan Calvin.
  • Methodis di Inggis (1739), didirikan oleh John Wesley.
  • Kristen Baptis (1639), didirikan oleh Roger Williams.
  • Anabaptis (1521), didirikan oleh Nicolas Stork.
  • Presbyterian di Skotlandia (1560).
  • Mormon di Amerika (1830), didirikan oleh Joseph Smith.
  • Saksi Yehovah di Amerika (1852-1916), didirikan oleh Charles Taze Russell.
  • Unification Church di Korea (1954), didirikan oleh Rev. Sun Myung Moon.

Perpecahan ini terus bertambah setiap hari sampai saat ini, walaupun sesungguhnya, perpecahan bertentangan dengan pesan Yesus yang terakhir sebelum sengsara-Nya. Yesus berdoa untuk semua orang yang percaya kepada-Nya agar bersatu seperti Ia bersatu dengan Allah Bapa agar dunia bisa percaya kepada-Nya (lih. Yoh 17:21).

Mungkin ada orang yang berargumentasi, bahwa banyaknya gereja tidaklah berarti perpecahan, karena semua gereja percaya akan Trinitas, juga kepada Yesus. Namun, kalau kita teliti lebih lanjut, sebetulnya tidaklah demikian, karena ada gereja-gereja tertentu yang tidak percaya akan ke-Allahan Yesus. Juga gereja-gereja tersebut tidak mempunyai ajaran yang sama. Contohnya: baptisan bayi diperbolehkan atau tidak? Ada berapakah jumlah sakramen? Isu-isu tentang otoritas, dan lain sebagainya. Selanjutnya, kita juga mengetahui bahwa Martin Luther sendiri bertentangan dengan John Calvin dalam pengajaran tentang sakramen pengampunan dosa, dan hal perbedaan ajaran terjadi juga di antara sesama gereja-gereja non- Katolik.

Benarkah: yang penting Kristen, namun tidak penting gereja apa…?

Ada banyak orang beranggapan bahwa yang penting adalah seseorang percaya kepada Yesus, mendapatkan keselamatan, namun tidaklah penting dari gereja yang mana. Mungkin anggapan seperti ini sedikit banyak sejalan dengan tulisan C.S. Lewis, yang mengatakan bahwa menjadi Kristen seumpama seperti banyak orang yang tinggal di rumah yang besar. Maka yang terpenting adalah, pertama- tama masuk ke rumah tersebut terlebih dahulu, sedangkan hal masuk di ruangan mana tidaklah menjadi terlalu penting. Di sini, ruangan diartikan sebagai denominasi gereja-gereja.

Kalau kita merenungkan lebih jauh dan meneliti tentang hakekat gereja dengan menggunakan argumen dari C.S. Lewis, kita dapat mempertanyakan bahwa bagaimana mungkin banyak orang bisa tinggal dalam satu rumah, memilih ruangan masing-masing, namun tidak mempunyai aturan dan ajaran yang sama? Bahkan yang menyedihkan adalah ada kemungkinan orang-orang tersebut masih mempertanyakan tuan rumah dari rumah tersebut. Kita melihat bahwa di kehidupan rumah kita, masing-masing rumah tangga mempunyai peraturan yang harus ditaati, agar semuanya dapat hidup dengan baik. Yesus mengatakan kalau suatu rumah tangga terpecah-pecah, rumah tangga itu tidak dapat bertahan (Mrk 3:25). Kalau sebuah rumah yang besar terpecah-pecah dalam berbagai ajaran dan aturan moral yang berlainan, maka rumah besar itu tidak akan bertahan. Santo Paulus sendiri memperingatkan jemaat di Roma dan Korintus untuk menghindari perpecahan (Rom 16:17, 1 Kor 1:10, 12:25). Jika pemahaman yang diajarkan oleh C.S Lewis ini benar, maka, seharusnya semakin lama semua orang yang sama-sama tinggal di rumah itu semakin bersatu, dan bukannya semakin terpecah.

Gereja Tuhan hanya ada satu dan tidak mungkin banyak

Namun kenyataanya tidaklah demikian, perpecahan demi perpecahan mewarnai gereja-gereja tersebut. Dari buah-buah perpecahan yang terjadi di gereja-gereja di dunia ini, maka timbul pertanyaan, apakah semuanya itu datang dari Tuhan. Kalau datang dari Tuhan, mengapa gereja- gereja itu mempunyai ajaran yang berbeda-beda? Pertanyaan ini dapat dijawab jika dipahami tentang hakekat Gereja itu sendiri.

Gereja, seperti yang dinyatakan oleh Santo Paulus, adalah Tubuh Mistik Kristus,[4] di mana Kristus adalah Kepala, dan Gereja adalah anggota-anggota tubuh-Nya (Ef 5:23-32). Sama seperti tubuh manusia, semua organ diatur oleh mekanisme tubuh yang bersumber pada otak manusia atau di kepala manusia. Demikian juga dengan Gereja. Gereja sebagai tubuh harus mengikuti keinginan Kepalanya, yaitu Kristus. Kalau Yesus sendiri menghendaki agar para anggota-Nya bersatu, maka mereka harus mengikuti. Persatuan ini dikehendaki oleh Kristus, sehingga Ia dapat mempersiapkan, menguduskan, dan mempersembahkan Gereja-Nya sebagai mempelai yang kudus (Ef 5:27). Sama seperti perkawinan yang kudus hanya terdiri dari satu mempelai pria dan satu mempelai wanita, maka Gereja Tuhan -sebagai Mempelai Kristus- juga harus hanya ada satu dan tidak mungkin banyak.

Kristus hanya mendirikan satu Gereja, yaitu Gereja yang didirikan di atas Rasul Petrus (Mat 16:18) , dan Kristus menghendaki Gereja-Nya tetap satu agar menjadi saksi hidup bagi kesatuan antara Diri-Nya dengan Allah Bapa (Yoh 17:20-23). Sama seperti Kristus tak mungkin menyangkal kesatuan antara Diri-Nya dengan Allah Bapa, maka Kristus-pun tak mungkin menyangkal kesatuan antara Diri-Nya dengan Gereja-Nya. Oleh karena kesatuan tersebut, kita tidak dapat memisahkan Kristus dengan Gereja-Nya; kita tidak dapat mengikuti Kristus, tetapi tidak mau bergabung dengan Gereja yang didirikan-Nya.

Manusia tidak dapat membuat Gereja, namun hanya bisa menerima dan berpartisipasi

Mungkin ada orang yang berpendapat bahwa kesatuan Gereja hanyalah bersifat spiritual, di mana para anggotanya mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan. Yesus sendiri mengatakan bahwa di mana dua atau tiga orang berkumpul, maka Ia hadir (Lih. Mat 18:20). Jadi di mana ada dua atau tiga orang jemaat berkumpul,  di situlah terbentuk Gereja. Namun di sinilah letak permasalahannya, sebab hakekat Gereja bukanlah hanya sekedar komunitas[5], melainkan lebih dari itu. Kalau orang membuat suatu komunitas dan menamakan komunitas itu gereja, berarti dia membuat gereja, bukan menerima gereja sebagai suatu pemberian dari Tuhan. Manusia tidak bisa membuat Gereja, dia hanya bisa menerima dan menjadi bagian dari Gereja.[6]

Menyadari bahwa Gereja adalah pemberian Tuhan, harus membuat setiap anggota Gereja semakin rendah hati. Dan juga setiap anggota harus menyadari peran masing-masing untuk melindungi dan membuat tanda kasih Allah ini agar semakin memancarkan cahaya kasih Allah. Oleh karena itu, Gereja yang sedang mengembara di dunia ini[7], yang terdiri dari para pendosa dan para kudus harus terus menerus mengalami pemurnian dan pertobatan agar sampai kepada tujuan akhirnya, yaitu persatuan kekal dengan Allah di surga.

Kalau begitu, Gereja mana yang didirikan oleh Yesus Kristus?

Akhirnya dari semua argumen di atas, kita menarik kesimpulan bahwa Gereja yang didirikan oleh Tuhan harus mempunyai tanda-tanda: satu, kudus, katolik, dan apostolik. Satu, karena kesatuan iman, pengajaran, sakramen, kepemimpinan; Kudus, karena bersumber pada Tuhan sendiri – yang hakekatnya adalah Kudus; katolik, karena Gereja Tuhan harus universal baik dari segi waktu maupun tempat; apostolik, karena berasal dari para rasul yang telah diberi mandat suci oleh Yesus. Keempat tanda inilah yang membedakan antara Gereja yang didirikan oleh Yesus Kristus sendiri dengan gereja-gereja yang lain. Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik ini berada dalam Gereja Katolik.[8] Hanya Gereja Katolik-lah yang mempunyai empat tanda ini atau yang disebut “the four marks of the Church.” (Lihat artikel: Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan – bagian 1). Mengapa empat tanda ini begitu penting? Karena tanda itu adalah bukti bahwa Gereja bukan organisasi yang didirikan oleh manusia, namun didirikan oleh Yesus Kristus sendiri. Karena Gereja didirikan di atas Rasul Petrus, dan senantiasa dilindungi oleh Yesus sendiri, melalui karya Roh Kudus, maka tidak ada suatu apapun yang dapat meruntuhkan Gereja ini.[9]

Ketahanan Gereja Katolik meskipun menghadapi percobaan-percobaan sepanjang zaman membuktikan bahwa Yesus memegang janji-Nya untuk melindungi Gereja-Nya

Mungkin ada pula orang yang berpendapat, bahwa Gereja awal adalah Gereja yang didirikan oleh Yesus Kristus, namun kemudian menjadi tidak murni; dan baru sekitar abad 15, Gereja kemudian dimurnikan. Jadi, menurut anggapan ini, Gereja Katolik yang sekarang adalah Gereja yang tidak murni. Mari kita menelusuri keberatan dari argumen ini. Pertama, apakah mungkin bahwa Tuhan yang telah berjanji untuk melindungi Gereja-Nya (Mat 16:18) kemudian melupakan Gereja-Nya selama kurang lebih 15 abad? Kalau jawabannya mungkin, mari kita telusuri lebih jauh. Anggaplah hal tersebut benar, bahwa Gereja tidak murni lagi dan diperbaharui pada zaman reformasi. Seharusnya setelah diperbaharui, maka Gereja Tuhan akan bersatu. Namun apa yang terjadi? Sejarah membuktikan bahwa setelah zaman reformasi (atau lebih tepatnya revolusi) maka gereja justru semakin terpecah-belah, sehingga ada sekitar 28,000 denominasi sampai sekarang. Dengan demikian keberatan ini tidaklah mendasar.

Keberatan yang lain ialah anggapan yang mengatakan bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang tidak murni dan banyak korupsi di dalam Gereja. Memang, percobaan yang dialami oleh Gereja Katolik sudah begitu banyak. Sejak abad awal sudah ada begitu banyak tantangan, percobaan, dan juga serangan dari ajaran-ajaran sesat. Selanjutnya, banyak orang yang memisahkan diri dari Gereja Katolik, seperti yang telah dijelaskan di atas. Selain itu, terdapat pula percobaan yang terjadi di dalam tubuh Gereja Katolik sendiri, baik karena korupsi maupun penyalahgunaan kekuasaan di dalam Gereja, dan lain-lain. Gereja Katolik mengakui bahwa hal- hal ini terjadi karena adanya unsur manusia yang tidak sempurna[10]. Namun demikian, kenyataannya, Gereja Katolik tetap bertahan walaupun diterpa berbagai permasalahan Gereja, baik dari luar maupun dari dalam. Ini membuktikan bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang Yesus janjikan. Jika Gereja Katolik hanya buatan manusia, maka Gereja Katolik sudah runtuh dan lenyap tak berbekas.

Gereja Katolik adalah Gereja yang didirikan oleh Kristus

Sejarah mencatat bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang tetap mempunyai empat tanda, yaitu “satu, kudus, katolik, dan apostolik.” Gereja Katolik sampai sekarang mempunyai kesatuan pengajaran yang kalau ditelusuri berasal dari Yesus dan ajaran para murid dan bapa Gereja. Ajaran Gereja Katolik selalu mengambil sumber dari pengajaran Yesus dan para rasul, sebagaimana yang dilestarikan oleh para penerus mereka. Perumusan suatu ajaran yang diadakan di abad- abad kemudian bukan merupakan perubahan ataupun tambahan yang sama sekali baru terhadap suatu ajaran, namun merupakan penjelasan yang semakin menyempurnakan ajaran tersebut. Hal perkembangan ini dikenal dengan istilah “pertumbuhan organik” suatu ajaran.[11] Konsistensi ajaran Gereja dapat dibuktikan dari segi waktu maupun tempat. Gereja Katolik di semua negara dan juga di masa apapun juga mengajarkan hal yang sama.

Bagaimana dengan orang yang tidak mengenal Kristus atau umat yang sudah menjadi anggota gereja lain?

(pembahasan detail untuk topik ini akan dijelaskan dalam artikel yang lain).

Setelah kita mengetahui bahwa Gereja Katolik adalah Gereja Kristus, bagaimana dengan saudara kita yang tidak mengenal Yesus? Gereja Katolik mengajarkan bahwa orang-orang yang, karena bukan kesalahan mereka, tidak mengenal Kristus,[12] dapat juga diselamatkan, asalkan mereka mengikuti hati nurani mereka dan melaksanakan hukum kasih[13], di mana mereka juga digerakkan oleh rahmat Ilahi.[14] Namun keselamatan mereka tetap diperoleh dari Yesus Kristus.[15]

Bagaimana juga dengan saudara kita yang menjadi anggota gereja lain? Dokumen Konsili Vatikan II menjelaskan, bahwa ada unsur-unsur kekudusan dan kebenaran di dalam gereja yang lain, seperti misalnya memegang nilai-nilai suci yang terdapat di Alkitab, hidup di dalam kasih, dll. Bahkan Gereja Katolik mengakui pembaptisan mereka.[16] Jadi mereka mempunyai kesatuan dengan Gereja Katolik dalam hal baptisan. Konsili menegaskan bahwa “andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.” (Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium 14)

Bagaimana dengan umat Gereja Katolik?

Akhirnya, bagaimana dengan umat Katolik sendiri? Apakah mereka semua dapat diselamatkan? Konsili Vatikan II menegaskan akan pentingnya kita untuk terus berjuang hidup kudus, yaitu dengan mengasihi Tuhan dan sesama ((lih. Lumen Gentium 14)). Orang Katolik yang tidak mempraktekkan kasih, hanyalah menjadi anggota Gereja secara jasmani, namun bukan secara rohani, dan orang yang sedemikian tidak dapat diselamatkan.[17] Hal ini disebabkan karena mereka sudah mengetahui hal yang benar, namun mereka tidak melakukannya (Lih. Luk 12:47-48).

Mungkin ada dari kalangan non- Katolik yang mengatakan bahwa percuma saja menjadi Katolik kalau kehidupannya tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Yesus. Pernyataan ini tentu menjadi tantangan bagi kita semua yang menjadi anggota Gereja Katolik – yang seharusnya telah mengetahui bahwa kepenuhan kebenaran ada pada Gereja ini – untuk senantiasa berjuang setiap hari untuk melaksanakan kasih dan hidup kudus. Hidup kudus merupakan cara untuk ” menjadi saksi Kristus dan membangun Gereja” yang paling efektif, seperti yang telah dilakukan oleh para orang kudus. Kita tidak bisa mengasihi Yesus, kalau kita tidak mengasihi Tubuh-Nya, yaitu Gereja. Dan Gereja-Nya berada di dalam Gereja Katolik. Mari kita renungkan, sudahkah kita semua mengasihi Yesus?


[1]Untuk dapat percaya kepada Yesus sebagai Tuhan diperlukan berkat dari Tuhan yang menggerakkan hati kita. St. Paulus berkata bahwa bahwa tidak ada seorangpun dapat mengaku bahwa Yesus Tuhan kecuali oleh kuasa Roh Kudus (1Kor 12:3). Dalam teologi, ini dikenal dengan “actual grace” atau rahmat pembantu (Lih KGK 2000, 2024). Actual grace ini membawa orang kepada pertobatan untuk akhirnya menerima pembaptisan.

[2] Rasul Yohanes mengatakan “..dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yoh 8:32). Menempatkan kebenaran di atas segalanya termasuk diri sendiri akan membawa manusia kepada kebenaran sejati, yaitu Tuhan sendiri. Pada saat manusia menempatkan diri sendiri lebih tinggi daripada kebenaran, maka manusia menempatkan diri sendiri lebih tinggi daripada Tuhan.

[3] (Lih. Yoh 14:6) “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”

[4] Pius XII, Encyclical Letter: Mystical Body of Christ and Our Union With Christ (Pauline Books & Media), para. 60-62.

[5] Menganggap gereja hanya sebagai komunitas, secara tidak langsung mengurangi bahkan menghilangkan dimensi Ilahi dari Gereja. Padahal, Gereja mempunyai dua dimensi: manusia – Ilahi, cara – tujuan (means – end), sebuah konstitusi – hubungan secara pribadi dengan Tuhan. Pembahasan lebih jauh tentang dua dimensi dari Gereja, dapat dilihat dalam artikel: Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Allah – Bagian 2)

[6] Cardinal Joseph Ratzinger, “The Ecclesiology of Vatican II,” http://www.ewtn.com/library/curia/cdfeccv2.htm: Ch. 2. – Cardinal Ratzinger mengatakan bahwa sama seperti iman dan sakramen, manusia tidak bisa membuat Gereja, namun menerimanya dari Kristus. Kalau iman, gereja, dan sakramen adalah tanda kasih Allah, maka kasih tersebut hanya bisa diterima. Manusia tidak bisa membuatnya, namun manusia dapat turut berpartisipasi dalam kasih Allah.

[7] Gereja Tuhan adalah satu, yang terdiri dari Gereja yang mengembara di dunia ini, Gereja yang jaya di surga, dan gereja yang menderita atau dimurnikan di Api penyucian.

[8] Lihat Lumen Gentium 8, “Itulah satu-satunya Gereja Kristus yang dalam Syahadat iman kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik[12]. Sesudah kebangkitan-Nya Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan (lih. Yoh 21:17). Ia mempercayakan Gereja kepada Petrus dan para rasul lainnya, untuk diperluas dan dibimbing (lih. Mat 28:18 dsl), dan mendirikannya untuk selama-lamanya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (lih. 1Tim 3:15). Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya[13], walaupun diluar persekutuan itupun terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran, yang merupakan karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan katolik.”

[9] (Lih Mat 16:16-19). Yesus berkata ” Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” Catatan: Di dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia, dikatakan “jemaat-Ku”. Namun dalam bahasa aslinya adalah “ekklesia” yang berarti “gereja”. Yesus mengatakan bahwa Dia akan mendirikan Gereja-Ku. Ini sebabnya bahwa manusia tidak dapat mendirikan gereja, karena Yesus sendiri yang mendirikan Gereja-Nya, dan Yesus berkata Gereja bukan gereja-gereja. Jadi Gereja ini hanya ada “satu”.

[10] Pius XII, Encyclical Letter of Pius XII On The Mystical Body of Christ: Mystici Corporis (Boston: Pauline Books & Media), 66. Paus Pius XII menegaskan bahwa dosa dari anggota Gereja tidak bisa ditujukan kepada Gereja itu sendiri, karena Gereja itu pada dasarnya kudus. Ketidaksempurnaan ini ditujukan kepada anggota Gereja yang memang semuanya mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa (concupiscence). kecenderungan untuk berbuat dosa adalah sebagai akibat dari dosa dari manusia pertama.

[11] Cardinal Newman, dalam bukunya “An Essay of the Development of Christian Doctrines“, meneliti bahwa Gereja yang mempunyai pengajaran yang benar adalah Gereja yang mempunyai perkembangan ajaran yang dapat ditelusuri sampai kepada zaman awal kekristenan, yang bersumber pada Yesus sendiri. Ini berarti harus ada konsistensi dalam hal pengajaran, sama seperti perkembangan pohon kecil ke pohon yang besar. Yang dimaksudkan dari kecil ke besar adalah ajaran yang sama, namun perkembangannya hanya untuk karena ia menempatkan kebenaran di atas segalanya, ia berpindah dari gereja Anglikan ke Gereja Katolik.

[12] Sebagai contoh orang yang tinggal di pedalaman Kalimantan, Irian Jaya, atau pedalaman di China, dll. Ada sebagian dari mereka yang tidak pernah mendengar tentang Kristus. Dan hal ini bukan akibat kesalahan mereka. Tentu saja, kita tidak bisa mengatakan bahwa mereka pasti masuk neraka.

[13] (Lih Roma 2:14-16). St. Paulus mengatakan hukum Tuhan sudah ditulis di setiap hati nurani manusia. Karena manusia diciptakan menurut gambaran Allah dan juga diciptakan untuk mencapai tujuan akhir – yaitu persatuan dengan Allah – maka Tuhan memberikan hukum yang tertulis di dalam setiap hati nurani manusia.

[14] Vatican II, Dogmatic Constitution on the Church: Lumen Gentium (Pauline Books & Media, 1965), 16. ” ….. Penyelenggaraan ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Sebab apapun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, oleh Gereja dipandang sebagai persiapan Injil, dan sebagai kurnia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan.”

[15] Seluruh keselamatan umat manusia datang dari misteri Paska Yesus (wafat, kebangkitan, dan kenaikan Tuhan Yesus).

[16] (Lih Ef 4:5) – St. Paulus menegaskan akan kesatuan umat beriman dalam “satu Tuhan, satu iman, dan satu baptisan “. Pengakuan baptisan yang diakui adalah baptisan dengan formula Trinitas.

[17] Vatican II, Dogmatic Constitution on the Church: Lumen Gentium, 14.

Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan (Bagian 2)

3

Gereja Tanda Kasih Tuhan

Jika anda seorang perancang, entah itu arsitek, perancang busana, mesin, mobil ataupun program komputer, tentu pada saat anda merancang, anda sudah punya sebuah gambaran dalam pikiran anda tentang hasil akhir rancangan anda. Mungkin hal ini dapat membantu kita untuk memahami bagaimana Allah telah merencanakan tujuan akhir pada saat menciptakan dunia. Kita semua mengetahui bahwa manusia adalah mahluk terakhir yang diciptakan-Nya, yang menjadi paling sempurna dari antara mahluk hidup lainnya, yaitu tumbuhan dan hewan. Pada saat menciptakan manusia inilah, Allah telah merancang hasil akhir dari penciptaan tersebut, yaitu bahwa semua manusia akan dipersatukan dengan diri-Nya sendiri. Begitu dalamnya makna kasih Tuhan ini, hingga kita-pun sulit membayangkannya. Tetapi begitulah yang direncanakan Allah bagi kita, sehingga digenapi apa yang tertulis, “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (1Kor 2:9, Yes 64:4). Ya, Tuhan bermaksud menjadikan kita bagian yang tak terpisahkan daripada-Nya, bersatu denganNya di dalam hidup Ilahi dan menikmati kebahagiaan bersamaNya tanpa akhir.

Persatuan inilah yang menjadi hakekat Gereja, maka benarlah jika dikatakan bahwa “dunia diciptakan untuk Gereja dan Gereja adalah tujuan segala sesuatu“.[1] Untuk tujuan ini, Allah telah mengirimkan Yesus Kristus Putera-Nya yang mengorbankan DiriNya demi menghapus dosa manusia, agar manusia dapat dikumpulkan di dalam Dia dalam suatu sarana yang dinamakan “Gereja”. Dengan demikian, Gereja tidak saja menjadi tujuan akhir hidup manusia tetapi juga sarana untuk mencapai tujuan itu (KGK 778, 824). Sungguh tak terbataslah kasih Tuhan dan tak ternilailah ‘harga’ yang telah dibayarNya demi terbentuknya Gereja! Di saat kita sampai pada pengertian inilah, kita akan memiliki rasa syukur dan hormat yang mendalam kepada Tuhan dan kepada Gereja yang didirikanNya.

Seperti halnya bulan memantulkan cahaya matahari, Gereja yang adalah Tubuh Mistik Kristus memantulkan cahaya Kristus, Sang Terang dunia (Yoh 8:12, 9:5) kepada semua bangsa. Gereja di dalam Kristus adalah seperti sakramen yaitu tanda dan sarana persatuan yang tak terpisahkan dengan Allah dan kesatuan dengan seluruh umat manusia.[2] Oleh karena itu, Gereja sebagai cerminan Kristus menjadi tanda Kasih Allah kepada manusia, yang mengarahkan manusia pada tujuan akhir hidupnya yaitu persatuan dengan Allah. Jadi, Gereja memiliki dua dimensi yang tak terpisahkan, yaitu: pertama, sebagai tujuan akhir, ia berdimensi Ilahi, dan kedua, sebagai sarana, ia berdimensi manusiawi. Perpaduan kedua hal ini merupakan suatu yang kompleks, yang membuat Gereja sebagai kelompok yang kelihatan secara lahiriah, namun bersifat rohaniah; kelompok yang dilengkapi struktur kepemimpinan, namun juga sebagai Tubuh Mistik Kristus; kelompok yang berada di dunia namun diperkaya oleh karunia-karunia surgawi.[3]

Gereja sebagai tujuan akhir hidup manusia

(lih. Ef 1:9-10, Kol 1:15-20,26-27; 1Kor 2:7, Lumen Gentium 2, KGK 760-764)

Pada saat penciptaan dunia, Allah telah merencanakan untuk mengangkat manusia ke dalam kehidupan Ilahi. Namun rencana persatuan Ilahi ini terhalang oleh karena dosa Adam yang kemudian diturunkan kepada semua manusia. Karenanya Allah terus menerus mengutus para nabi untuk membawa manusia kembali kepadaNya, hingga akhirnya Ia mengutus Putera-Nya sendiri yaitu Yesus Kristus menjadi tebusan atas dosa-dosa manusia, supaya tidak ada lagi penghalang antara manusia dengan Allah.

Di dalam diri Kristus, Allah yang tidak kelihatan menyatakan diriNya dan Kristus menjadi yang sulung dari segala ciptaan. Segala sesuatu diciptakan di dalam Kristus, Sang Firman, (Yoh 1:1), oleh Kristus, dan untuk Kristus. Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat (lih. Kol 1:15-18, Ef 1:9-10). Karenanya, sudah sejak awal mula Allah telah merencanakan penggabungan jemaat dengan Kristus sebagai kepala yang kemudian dikenal sebagai ‘Gereja’. Rasul Paulus mengajarkan bahwa pada mulanya Allah menentukan orang-orang yang dipilihNya untuk menjadi serupa dengan Kristus Putera-Nya, supaya Kristus menjadi yang sulung dari banyak saudara (lih. Rom 8:29). Nah, kesatuan semua manusia dengan Yesus sebagai yang sulung inilah yang disebut Gereja.

Maka kalau ada orang bertanya pada kita sejak kapan Gereja direncanakan oleh Allah, kita dapat mengatakan bahwa Gereja sudah direncanakan sejak penciptaan dunia. Hanya saja pada waktu itu (di dalam Kitab Kejadian) belum secara eksplisit disebut sebagai ‘Gereja’. Persekutuan manusia dalam ‘wadah’ Gereja ini dipersiapkan oleh Allah melalui pembentukan bangsa Israel di masa Perjanjian Lama hingga tiba waktunya Kristus sendiri menyempurnakannya oleh kuasa Roh Kudus pada Perjanjian Baru, yang merupakan penggenapan Perjanjian Lama. Pada akhir zaman, Gereja akan mencapai kesempurnaannya, di mana semua orang benar sepanjang segala abad akan dipersatukan dengan Allah sendiri.

Nyatalah, sebagai tujuan akhir hidup manusia, Gereja bersifat Ilahi, sebab di dalamnya manusia dipersatukan dengan Allah. Persekutuan kudus dengan Allah ini membawa manusia pada persekutuan dengan para orang kudus sepanjang zaman, karena semua orang kudus tersebut bersekutu dengan Allah, dan juga, karena kematian tidak dapat memisahkan kita dari kasih Kristus (Rm 8:38). Persekutuan kudus ini pula yang menjelaskan, bahwa hanya ada satu Gereja, karena hanya ada satu Tubuh Mistik Kristus, yang terdiri dari kita yang masih berziarah di dunia ini, mereka yang sudah mulia di surga, dan mereka yang sebelum masuk ke surga masih dimurnikan di Api Penyucian.[4] Kedua dimensi persekutuan ini –yaitu persekutuan dengan Allah dan dengan para kudusNya- menunjukkan sifat ilahi dari Gereja, yang membedakannya dari organisasi apapun di dunia.

Gereja sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir hidup manusia

(lih. Ef 4:7,12-16, 1 Tim 3:15, LG 1, 4, KGK 765-768)

Sekarang, mari kita lihat peran Gereja sebagai sarana menuju tujuan akhir manusia. Kristus telah datang ke dunia untuk menebus dosa-dosa kita, supaya kita beroleh keselamatan dan dapat dipersatukan dengan Allah. Untuk itu, Kristus mendirikan Gereja-Nya pada hari Pentakosta oleh kuasa Roh Kudus, supaya oleh Roh yang sama Ia senantiasa dapat menguduskan Gereja-Nya, untuk membawa umat manusia kepada keselamatan dalam persekutuan dengan Allah Bapa. Ini adalah suatu karunia rahmat, bukan usaha manusia sendiri. Karunia keselamatan ini diberikan melalui perantaraan Gereja, yang adalah Tubuh Kristus, sehingga Gereja juga disebut ‘sakramen keselamatan,’[5] yaitu tanda/ sarana untuk menyalurkan rahmat keselamatan dari Tuhan. Perlu kita ingat bahwa Kristus sendiri adalah Sakramen (Tanda) Kasih Allah, dan Gereja adalah sakramen Kristus. Dengan demikian, Gereja sebagai tanda Kasih Allah terjadi karena hubungan Gereja dengan Kristus.

Sebagai ‘sakramen’, Gereja terus-menerus menghadirkan secara nyata karya keselamatan Kristus oleh kuasa Roh Kudus. Kristus terus menerus hadir dan berperan aktif dengan cara yang kelihatan di dalam dan melalui Gereja-Nya yang dibimbing oleh Roh Kudus. Jadi di dalam GerejaNya, Kristus sendirilah yang mengajar, menguduskan, dan melayani Gereja melalui para uskup. Hal ini sesuai dengan janjiNya kepada para rasul, “Engkau akan menerima kuasa Roh Kudus…. dan engkau akan menjadi saksi-saksiKu di Yerusalem….” (Kis 1:8). Telah menjadi kehendak Yesus bahwa setelah kenaikanNya ke surga, Ia akan tetap berkarya di dalam Gereja, agar kita diberi kasih karunia untuk keperluan pembangunan Tubuh-Nya sampai kita bertumbuh sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:7,12-13). Yesus berkarya melalui perantaraan manusia yang dipilihNya, yaitu para rasul dan penerus mereka yaitu para uskup, yang secara turun temurun diurapi dengan kuasa Roh KudusNya sendiri.[6]

Jelaslah bahwa selain dijiwai oleh Tuhan Yesus, Gereja juga melibatkan peran serta manusia, misalnya, Gereja dipimpin oleh manusia (Paus dan para uskup, imam), beranggotakan kita manusia, yang kesemuanya tidak terlepas dari dosa. Karenanya, Tuhan menyediakan sarana pengudusan, di mana Ia sendiri yang bertindak menguduskan lewat perantaraan para imam-Nya melalui sakramen-sakramen. Melalui sakramen, rahmat Tuhan yang tidak kelihatan disalurkan melalui simbol-simbol yang kelihatan. Maka dalam dimensi manusiawi ini terdapat dua hal yang penting, yaitu hal kepemimpinan/ struktur Gereja dan hal sakramen sebagai saluran rahmat Tuhan yang melibatkan perantaraan manusia dan benda-benda lahiriah.

Kepemimpinan/ struktur Gereja

(KGK 880-883, LG 18-29)

Yesus mendirikan GerejaNya di atas Rasul Petrus (Kepha, Petros) -yang artinya batu karang- (Mat 16:18) dan memberikan kuasa yang khusus kepadanya di atas para rasul yang lain, untuk menggembalakan domba-domba-Nya (Yoh 21:5-7). Walaupun Kristus juga memberikan kuasa kepada rasul-rasul yang lain (Mat 18:18), hanya kepada Petruslah Ia memberikan kunci- kunci Kerajaan Surga (Mat 16:19) yang melambangkan kuasa untuk memimpin GerejaNya di dunia.

Yesus sang Gembala yang Baik mempercayakan domba-dombaNya kepada Petrus dan mempercayakan tugas untuk meneguhkan iman para rasul yang lain, agar iman Gereja jangan sampai sesat (Luk 22:3-32). Petruslah yang kemudian menjadi pemimpin para rasul setelah hari Pentakosta, mengabarkan Injil, membuat keputusan dan pengarahan (Kis 2:1-41, 15:7-12). Para penerus Rasul Petrus ini dikenal sebagai uskup Roma, yang dipanggil sebagai ‘Paus’ yang artinya Papa/ Bapa.

Jelaslah bahwa secara struktural, Paus (penerus Rasul Petrus) memegang kepemimpinan tertinggi, diikuti oleh para uskup (penerus para rasul lainnya) di dalam persekutuan dengan Paus. Para uskup ini dibantu oleh para imam dan diakon. Dalam hal ini, para Paus memegang kuasa Rasul Petrus, yang menerima perintah dari Yesus sendiri, dan karenanya tidak mungkin sesat. Perlu diketahui, bahwa kepemimpinan Paus -dan para uskup di dalam persekutuan dengannya- yang tidak mungkin sesat (‘infallible’) ini- hanya berlaku di dalam hal pengajaran iman dan moral.[7] Hal ini sungguh membuktikan kemurnian pengajaran Gereja, karena ajarannya bukan merupakan hasil demokrasi manusia, melainkan diturunkan dari Yesus sendiri, dan Paus tidak punya kuasa untuk mengubahnya.

Sakramen-sakramen Gereja

(KGK 1113-1532)

Ketujuh sakramen (Pembaptisan, Penguatan, Ekaristi, Pengakuan Dosa, Tahbisan, Perkawinan, dan Urapan orang sakit) merupakan tanda yang menyampaikan rahmat dan kasih Tuhan secara nyata. Hal ini merupakan pemenuhan janji Kristus yang tidak akan pernah meninggalkan kita sebagai yatim piatu (Yoh 14:18). Melalui sakramen tersebut, Allah mengirimkan Roh Kudus-Nya untuk menyembuhkan, memberi makan dan menguatkan kita.

Keberadaan sakramen sebenarnya telah diperkenalkan sejak zaman Perjanjian Lama, tetapi pada saat itu hanya merupakan simbol saja -seperti sunat dan perjamuan Paskah (pembebasan Israel dari Mesir)- dan bukan sebagai tanda yang menyampaikan rahmat Tuhan. Kemudian Kristus datang, bukan untuk menghapuskan Perjanjian Lama melainkan untuk menggenapinya. Maka Kristus tidak menghapuskan simbol-simbol itu tetapi menyempurnakannya, dengan menjadikan simbol sebagai tanda ilahi. Sunat disempurnakan menjadi Pembaptisan, dan perjamuan Paskah menjadi Ekaristi. Dengan demikian, sakramen bukan hanya sekedar simbol semata, tapi menjadi tanda yang sungguh menyampaikan rahmat Tuhan.

Di sini kita melihat bagaimana Allah tidak menganggap benda- benda lahiriah sebagai sesuatu yang buruk, sebab di akhir penciptaan Allah melihat semuanya itu baik (Gen 1:31). Bukti lain adalah Kristus sendiri mengambil rupa tubuh manusia (yang termasuk ‘benda’ hidup) sewaktu dilahirkan ke dunia (lih. Ibr 10:5) Kita dapat melihat pula bahwa di dalam hidupNya, Yesus menyembuhkan, memberi makan dan menguatkan orang-orang dengan menggunakan perantaraan benda-benda, seperti tanah sewaktu menyembuhkan orang buta (Yoh 9:1-7); air sewaktu mengubahnya menjadi anggur di Kana (Yoh 2:1-11), roti dan ikan dalam mukjizat pergandaan untuk memberi makan 5000 orang (Yoh 6:5-13), dan roti dan anggur yang diubah menjadi Tubuh dan DarahNya di dalam Ekaristi (Mat 26:26-28). Jika Yesus mau, tentu Ia dapat melakukan mujizat secara langsung, tetapi Ia memilih untuk menggunakan benda- benda tersebut sebagai perantara. Janganlah kita lupa bahwa Ia adalah Tuhan dari segala sesuatu, dan karenanya Ia bebas menentukan seturut kehendak dan kebijaksanaan-Nya untuk menyampaikan rahmatNya kepada kita.

Sakramen Pembaptisan

(KGK 1213-1284)

Akibat dosa asal, kita lahir di dunia dengan kehilangan kemuliaan Allah (Rm 3:23), sehingga kita tidak mungkin bersekutu dengan Allah. Yesus telah turun ke dunia untuk membawa manusia kembali ke pangkuan Allah. Yesus mengatakan bahwa seseorang harus “dilahirkan kembali dalam air dan Roh” (Yoh 3:5), yaitu di dalam Pembaptisan, di mana seseorang dilahirkan kembali secara spiritual. Oleh kelahiran baru di dalam Pembaptisan ini kita diselamatkan (lih. 1Pet 3:21), karena di dalam Pembaptisan kita dipersatukan dengan kematian Kristus untuk dibangkitkan bersama-sama dengan Dia (Rom 6:5).

Jadi Sakramen Pembaptisan mendatangkan dua macam berkat, yaitu penghapusan dosa dan pencurahan Roh Kudus beserta karuniaNya ke dalam jiwa kita, yang memampukan kita untuk hidup baru (Acts 2:38). Oleh Pembaptisan, kita diangkat menjadi anak-anak Allah dan digabungkan ke dalam Gereja yang menjadikan kita anggota Tubuh Kristus.

Sakramen Ekaristi

(KGK 1322- 1419)

Kristus mengasihi Gereja-Nya tanpa batas dengan menganugerahkan Tubuh dan Darah-Nya sendiri kepada setiap anggota keluargaNya di dalam perjamuan Ekaristi. Ekaristi merupakan penyempurnaan dari perjamuan Paska Perjanjian Lama, yang ditandai dengan kurban anak domba yang membebaskan orang-orang Israel dari maut. Dalam Ekaristi, Kristuslah, Anak Domba Allah yang menjadi kurban untuk menghapus dosa-dosa kita, dan karena itu kita memasuki Perjanjian Baru yang membebaskan kita dari kematian kekal.

Yesus sendiri berkata, “Jika kamu tidak makan daging-Ku dan minum darah-Ku, engkau tidak mempunyai hidup di dalam dirimu” (Yoh 6:53). Maka, dengan menyambut Ekaristi, kita melaksanakan ajaran Yesus untuk memperoleh hidup yang kekal. Sakramen ini ditetapkan oleh Yesus sendiri pada Perjamuan Terakhir sebelum sengsara-Nya, ketika Ia berkata kepada para rasulNya, “Ambillah, makanlah, inilah TubuhKu… Minumlah…inilah darahKu yang ditumpahkan bagiMu.. ..perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk 22:19-29, Mat 26: 28, Mrk 14:22-24).

Gereja Katolik mengajarkan bahwa kurban salib Kristus terjadi hanya sekali untuk selama-lamanya (Ibr 9:28). Kristus tidak disalibkan kembali di dalam setiap Misa Kudus, tetapi kurban yang satu dan sama itu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus untuk mendatangkan buah-buahnya, yaitu penebusan dan pengampunan dosa.[8] Hal itu dimungkinkan karena Yesus yang mengurbankan Diri adalah Tuhan yang tidak terbatas oleh waktu dan kematian, sehingga kurbanNya dapat dihadirkan kembali, tanpa berarti diulangi.

Melalui perkataan imam yang dikenal sebagai konsekrasi, roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus oleh kuasa Roh Kudus. Karena itu, kita harus memeriksa diri sebelum menyambut Ekaristi, sebab “barangsiapa dengan tidak layak makan roti dan minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan…dan barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya” (1Kor 11:27-29). Dari pengajaran Rasul Paulus ini, kita mengetahui bahwa Kristus sungguh hadir di dalam Ekaristi. Yesus memakai segala cara untuk menyatakan bahwa Ia mau tinggal bersama kita, untuk menyertai dan menguduskan kita, karena sungguh besarlah kasihNya kepada kita sebagai anggota Gereja-Nya.

Sakramen Penguatan

(KGK 1285-1321)

Tuhan memperkuat jiwa kita juga dengan Sakramen Penguatan. Hal ini kita lihat dari kisah para rasul yang, walaupun telah menerima rahmat Tuhan, mereka dikuatkan secara istimewa pada hari Pentakosta, ketika Roh Kudus turun atas mereka. Atas karunia Roh Kudus ini para rasul dapat dengan berani mengabarkan Injil dan melaksanakan misi yang Yesus percayakan kepada mereka. Karunia Roh Kudus ini diturunkan melalui penumpangan tangan para rasul (Kis 8:14-17) yang kemudian juga dilanjutkan oleh para penerus mereka (para uskup) kepada Gereja-Nya. Melalui Sakramen Penguatan inilah kita dikuatkan dalam iman untuk menghadapi tantangan hidup.

Sakramen Pengakuan/ Tobat

(KGK 1422-1498)

Allah mengetahui bahwa di dalam perjalanan iman, kita dapat jatuh di dalam dosa. Maka Ia menganugerahkan Sakramen Pengakuan/ Tobat pada kita, karena Allah selalu siap sedia untuk mengangkat kita dan mengembalikan kita ke dalam persekutuan dengan Dia. Di dalam sakramen ini kita mengakukan dosa kita di hadapan imam, karena Yesus telah memberi kuasa kepada para imamNya untuk melepaskan umatNya dari dosa. Setelah kebangkitanNya, Yesus berkata kepada para rasulNya, “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh 20:22-23). Melalui Sakramen Tobat ini kita menerima pengampunan dosa dari Tuhan dan juga rahmatNya, yang membantu kita untuk menolak godaan dosa di waktu yang akan datang.

Sakramen Perkawinan

(KGK 1601-1666)

Sebagian besar orang dipanggil untuk kehidupan berumah tangga. Melalui Sakramen Perkawinan, Tuhan memberikan rahmat yang khusus kepada pasangan yang menikah untuk menghadapi bermacam tantangan yang mungkin timbul, terutama sehubungan dengan membesarkan anak-anak dan mendidik mereka untuk menjadi para pengikut Kristus yang sejati.

Dalam sakramen Perkawinan terdapat tiga pihak yang dilibatkan, yaitu mempelai pria, mempelai wanita dan Allah sendiri. Ketika kedua mempelai menerimakan sakramen Perkawinan, Tuhan berada di tengah mereka, menjadi saksi dan memberkati mereka. Allah menjadi saksi melalui perantaraan imam, atau diakon, yang berdiri sebagai saksi dari pihak Gereja.

Sakramen Perkawinan adalah kesatuan kudus antara suami dan istri yang menjadi tanda yang hidup tentang hubungan Kristus dengan GerejaNya (Ef 2:21-33). Karenanya, perkawinan sakramental Katolik adalah sesuatu yang tetap dan tak terceraikan, kecuali oleh maut (Mrk 10:1-2, Rom 7:2-3, 1Kor 7:10-11).

Sakramen Tahbisan

(KGK 1536- 1600)

Pada zaman Perjanjian Lama, meskipun bangsa Israel telah dikatakan sebagai ‘kerajaan imam dan bangsa yang kudus’ (Kel 19:6), Allah tetap memanggil para pria tertentu untuk menjalankan tugas sebagai imam (Kel 19:22). Hal yang sama terjadi di dalam Perjanjian Baru, sebab walaupun semua orang Kristen dikatakan sebagai ‘imamat yang rajani’ (1Pet2:9), namunYesus memanggil secara khusus beberapa orang pria untuk menjalankan tugas pelayanan sebagai imam. Melalui Tahbisan ini, para imam diangkat untuk menjadi pelayan Gereja untuk menjalankan tugas-tugas Kristus, yaitu sebagai imam untuk menguduskan, nabi untuk mengajar dan raja untuk memimpin dan melayani umat-Nya. Di atas semua ini tugas yang terpenting adalah mengabarkan Injil dan menyampaikan sakramen-sakramen.

Sakramen Urapan Orang Sakit

(KGK 1499- 1532)

Alkitab mengatakan agar jika kita sakit, maka baiklah kita memanggil penatua Gereja untuk mendoakan dan mengurapi kita dengan minyak di dalam nama Tuhan. Dan doa yang didoakan dengan iman ini akan menyelamatkan kita yang sakit dan mengampuni dosa kita (Yak 5:14-15). Oleh karena itu, sakramen Urapan orang sakit ini tidak hanya dimaksudkan untuk menguatkan kita di waktu sakit, tetapi juga untuk membersihkan jiwa kita dari dosa dan mempersiapkan kita untuk bertemu dengan Tuhan.

Kesimpulan: Gereja adalah Tanda Kasih Tuhan

Gereja adalah tujuan akhir hidup manusia dan sarana untuk mencapai tujuan itu.  ‘Gereja’ yang merupakan keselamatan manusia dalam persekutuan dengan Allah dan sesama, juga menjadi ‘sakramen keselamatan’, atau sarana dan tanda yang nyata dari misteri kasih Allah yang ditunjukkan oleh pengorbanan Yesus di kayu salib. Sebagai anggota Gereja, kita diikutsertakan di dalam misteri itu, dengan mengambil bagian di dalam misteri Paska Kristus yang dinyatakan di dalam ketujuh sakramen yang kita terima, lewat perantaraan penerus para rasul, yaitu para uskup dan pembantunya (imam). Marilah kita mensyukuri anugerah Gereja Kudus ini, beserta dengan rahmat sakramen dan keberadaan para pemimpin Gereja, sebab oleh semua itu kita beroleh karunia Allah yang tiada batasnya, yaitu keselamatan di dalam persekutuan dengan Tuhan.


[1]Lihat Katekismus Gereja Katolik 760, “Dunia diciptakan demi Gereja”, …Allah menciptakan dunia supaya mengambil bagian dalam kehidupan ilahiNya. Keikutsertaan ini terjadi karena manusia-manusia dikumpulkan dalam Kristus dan ‘kumpulan’ ini adalah Gereja. Gereja adalah tujuan dari segala sesuatu…”

[2] Lihat Lumen Gentium 1, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “Namun Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia.

[3] Lihat Katekismus Gereja Katolik 771 dan LG 8

[4] Katekismus Gereja Katolik 962, “Kita percaya akan persekutuan semua warga beriman Kristen: mereka yang berziarah di dunia ini; mereka yang dimurnikan, setelah mengakhiri kehidupannya di dunia ini; dan mereka, yang menikmati kebahagiaan surgawi; semua membentuk satu Gereja….”

[5] ‘Sakramen’ di sini bukan berarti tambahan dari ke tujuh sakramen yang sudah ada dalam Gereja Katolik. Sakramen di sini berhubungan dengan pengertian dasar dari kata ‘sakramen’, yang berarti tanda dari sesuatu yang kudus dan tersembunyi (dalam bahasa Yunani “mysterion”, misteri).

[6] Lihat Lumen Gentium 21, “Untuk menunaikan tugas-tugas yang semulia itu para rasul diperkaya dengan pencurahan istimewa Roh Kudus, yang turun dari Kristus atas diri mereka (lih. Kis 1:8; 2:4; Yoh 20:22-23). Dengan penumpangan tangan mereka sendiri meneruskan kurnia rohani itu kepada para pembantu mereka (lih. 1Tim 4:14; 2Tim 1:6-7). Kurnia itu sampai sekarang disampaikan melalui tahbisan Uskup.”

[7] Lihat Lumen Gentium 25, “Adapun ciri tidak dapat sesat itu, yang atas kehendak Penebus ilahi dimiliki Gereja-Nya dalam menetapkan ajaran tentang iman atau kesusilaan, meliputi seluruh perbendaharaan Wahyu ilahi, yang harus dijagai dengan cermat dan diuraikan dengan setia. Ciri tidak dapat sesat itu ada pada Imam Agung di Roma, Kepala Dewan para Uskup, berdasarkan tugas beliau, bila selaku gembala dan guru tertinggi segenap Umat beriman, yang meneguhkan saudara-saudara beliau dalam iman (lih. Luk 22:32), menetapkan ajaran tentang iman atau kesusilaan dengan tindakan definitif. Oleh karena itu sepantasnyalah dikatakan, bahwa ketetapan-ketetapan ajaran beliau tidak mungkin diubah dari dirinya sendiri, dan bukan karena persetujuan Gereja. Sebab ketetapan-ketetapan itu dikemukakan dengan bantuan Roh Kudus, yang dijanjikan kepada Gereja dalam diri Santo Petrus. Oleh karena itu tidak membutuhkan persetujuan orang-orang lain, lagi pula tidak ada kemungkinan naik banding kepada keputusan yang lain.

[8] Katekismus Gereja Katolik 1366, “…Ekaristi adalah satu kurban karena ia meragakan kurban salib (dan karena itu menghadirkannya), Ekaristi adalah kenangan akan kurban itu dan memberikan buah-buahnya: ‘Kristus memang hendak mengurbankan diri kepada Allah Bapa, satu kali untuk selama-lamanya di altar salib melalui kematian…untuk memperoleh penebusan abadi bagi manusia; tetapi karena imamatNya tidak dihapuskan oleh kematianNya, maka… Ia meninggalkan bagi mempelai kekasihNya, Gereja, satu kurban yang kelihatan (seperti yang dibutuhkan kodrat manusia)… yang dibawakan di salib satu kali untuk selama-lamanya, dikenang sampai akhir zaman dan kekuatannya yang menyelamatkan dipergunakan untuk pengampunan dosa yang kita lakukan setiap hari.’ ” (Konsili Trente: DS 1740)

Mengapa Orang Kristen Percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan?

157

Yesus Kristus, Allah yang menyatakan diri-Nya kepada manusia.

Setelah kita melihat pembuktian tentang keberadaan Tuhan yang Satu, maka sekarang kita akan meneliti tentang Tuhan, seperti yang diimani oleh agama-agama yang percaya akan satu Tuhan, yaitu: Kristen, Islam, dan agama Yahudi adalah tiga agama yang percaya akan satu Tuhan. Yang paling membedakan antara kedua agama monotheism yang lain dengan Kristen adalah figur “Yesus”. Dapat  dikatakan, bahwa agama Kristen bukanlah agama yang berdasarkan buku, namun berdasarkan sosok Pribadi, yaitu Yesus Kristus.

Untuk menjawab mengapa orang Kristen percaya kepada Yesus Tuhan, kita tidak bisa hanya mendasarkan argumen pada filosofi yang berdasarkan atas pemikiran manusia, sebab pikiran manusia itu terbatas sifatnya. Yesus, Tuhan yang dilahirkan sebagai manusia, tidak dapat diterangkan dengan pemikiran manusia semata, namun harus digabungkan dengan iman. ((Trinitas, inkarnasi, surga, dll., adalah sesuatu di luar kemampuan dan jangkauan manusia. Manusia dapat mengetahui semua ini, karena Tuhan sendiri yang memberikan pengetahuan kepada manusia. Tanpa pemberitahuan Tuhan, tidak mungkin manusia menjangkau hal-hal ini.)) Filosofi dapat membantu untuk menerangkan bahwa iman itu adalah “hal yang sudah selayaknya”. Di sini kita dapat menggunakan “argument of fittingness“, maksudnya adalah untuk menunjukkan bahwa sesuatu yang dinyatakan oleh Tuhan adalah memang sudah seharusnya atau selayaknya terjadi.

Membuktikan bahwa Yesus adalah Tuhan:

Argumen dari prinsip kesempurnaan mahluk berakal budi.

Yesus Kristus hanya dapat dijelaskan dalam hubungan-Nya dengan Allah, yaitu Allah yang mempunyai tiga Pribadi. Allah adalah Pribadi yang Maha sempurna, sedangkan manusia disebut sempurna karena turut mengambil bagian di dalam kesempurnaan Allah. Kesempurnaan manusia  disebabkan karena manusia adalah juga mahluk pribadi atau “personal being,” yang mempunyai kemampuan untuk mengasihi, memberikan dirinya kepada orang lain, dan juga mempunyai kemampuan untuk berkumpul dengan sesama. Kalau hal ini benar untuk manusia di tingkat kodrati, maka di tingkat adikodrati, juga ada kebenaran yang sama di dalam tingkatan yang paling sempurna.  Dengan demikian, Tuhan tidak mungkin adalah Tuhan yang sendirian, namun “keluarga Tuhan”, di mana keberadaan-Nya, kasih-Nya, dan kemampuan-Nya untuk bersekutu dapat terwujud dengan sempurna.

Argumen dari definisi kasih

Kasih tidak mungkin berdiri sendiri, sebab kasih selalu melibatkan dua pihak, yaitu pihak yang mengasihi dan pihak yang dikasihi. Sebagai contoh, kasih suami istri barulah lengkap jika suami-istri “saling” mengasihi.  Karena Tuhan adalah kasih yang paling sempurna, maka tidak mungkin Ia tidak mempunyai seseorang yang dapat menjadi saluran kasih-Nya dan juga dapat membalas kasih-Nya dengan derajat yang sama. Jadi Tuhan itu harus satu, namun Ia bukan Tuhan yang terisolasi sendirian.

Orang mungkin berargumentasi, bahwa Tuhan bisa saja satu dan Ia dapat menyalurkan kasih-Nya dan menerima balasan kasih dari manusia. Namun, hal ini tidaklah mungkin; karena Tuhan tidak mungkin tergantung dari manusia yang kasihnya tidaklah berarti dibandingkan dengan kasih Tuhan. Dengan demikian, sangatlah logis, kalau Tuhan mempunyai “kehidupan di dalam diri-Nya/ interior life,” di mana Ia dapat memberikan cinta-Nya yang sempurna. Di dalam kehidupan di dalam Diri-Nya inilah ada Yesus Kristus, Allah Putera, yang mempunyai derajat kasih yang sama dengan Allah Bapa. Kegiatan dari Allah Bapa dan Allah Putera adalah mengasihi secara kekal, sempurna, dan tak terbatas, dan buah dari kasih timbal balik ini adalah Roh Kudus. ((Roh Kudus adalah buah dari pertukaran kasih antara Allah Bapa dan Allah Putera. Inilah sebabnya, Pentakosta (diutusnya Roh Kudus) terjadi setelah Yesus wafat, bangkit dan naik ke surga. Allah Bapa mengasihi Putera-Nya, dan Putera-Nya menunjukkan kasih-Nya dengan sempurna di kayu salib. Buah dari pertukaran dan kasih yang mengorbankan diri inilah yang menghasilkan Roh Kudus. Dalam syahadat iman yang panjang (Nicene Creed), kita melihat pernyataan “….Aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan; Ia berasal dari Bapa dan Putera….“)) Dan dengan kematian Yesus di kayu salib, Allah menunjukkan akan adanya bukti kasih yang sempurna, yaitu pemberian diri kepada orang lain. ((John Paul II, Encyclical Letter on The Redeemer Of Man: Redemptor Hominis (Pauline Books & Media, 1979), no. 10 – Paus Yohanes Paulus II menekankan bahwa kasih yang sempurna adalah kasih yang dapat memberikan diri sendiri kepada orang lain. Dengan demikian, adalah “sesuai atau fitting” bahwa Tuhan, melalui Putera-Nya menjadi contoh yang sempurna tentang bagaimana menerapkan kasih. Hal ini juga membuktikan bahwa Tuhan bukanlah Allah yang sendirian.))

Yesus adalah Tuhan – dibuktikan melalui empat pilihan

Salah satu cara untuk membuktikan ke-Allahan Yesus adalah dengan meninjau empat pilihan pandangan sehingga akhirnya kita dapat menentukan pilihan secara logis. Ketiga pilihan pandangan ini disarikan dari pembuktian menurut C.S. Lewis dalam bukunya “Mere Christianity“, ((C. S. Lewis, Mere Christianity (Harper One: 2001, p.52:  C.S. Lewis mengatakan bahwa tidaklah mungkin bagi seseorang untuk menjadi Kristen dan menerima semua ajaran moral dari Yesus, tanpa mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan, sebab dasar kekristenan adalah pengakuan iman akan Yesus Tuhan)). Maksud pembuktian ini adalah untuk memberikan penjelasan kepada orang-orang – termasuk yang bukan Kristen – yang mungkin berkata, “Saya percaya kepada Yesus hanya sebagai nabi, atau orang yang yang baik, atau sebagai guru moral yang besar, namun saya tidak mau mempercayai Yesus sebagai Tuhan.” Padahal, percaya kepada Yesus tidak bisa setengah-setengah. Mari kita lihat penjabaran CS Lewis berikut ini, yang mungkin terjemahannya dalam bahasa Indonesia terdengar kasar, namun penjabaran ini dibuat agar kita dapat memilih pilihan pandangan yang paling logis: bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh Tuhan.

Pilihan 1 – Yesus adalah sungguh Tuhan Allah yang menjelma menjadi manusia

Di dalam sejarah manusia, tidak ada manusia yang pernah mengaku dirinya sebagai Tuhan dan juga mempunyai kemampuan dan kuasa Tuhan. Para nabi dari berbagai agama tidak pernah mengaku bahwa mereka adalah satu (hypostatic union) dengan Tuhan seperti yang dikatakan dan ditunjukkan oleh Yesus sendiri.

Juga dapat dibuktikan bahwa di masa hidupnya, Yesus melakukan sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh Tuhan, sebagai contoh: 1) Yesus mengampuni dosa manusia, seperti yang ditunjukkan dalam cerita penyembuhan orang yang lumpuh (Mat 9:2-8), 2) Yesus menempatkan diri sebagai Pemberi dan Penentu hukum moral, seperti yang ditunjukkan dalam khotbah di bukit (Mat 5:27-28), 3) Yesus juga memberikan peneguhan bahwa Ia dan Allah adalah satu (Yoh 10:30), 4) Yesus juga mengatakan bahwa segala kuasa di bumi dan di surga diberikan kepada-Nya (Mat 28:18); 5) Yesus melakukan banyak mukjizat, dan mukjizat yang terbesar adalah Ia dapat bangkit dari mati (Kis 10:41; 2 Tim 2:8).

Pilihan 2 – Yesus adalah seorang yang tidak dapat menggunakan akal sehat (dalam bukunya, C.S Lewis mengatakan “madman“)

Pilihan ini terdengar ngawur, tetapi C.S Lewis menggunakan istilah demikian untuk menggambarkan keadaan yang bertolak belakang dengan pilihan yang pertama. Kalau yang dikatakan Yesus tidak benar, maka pilihannya adalah Ia tidak waras. Namun di dalam Kitab Suci tidak pernah ada yang mengindikasikan bahwa Yesus adalah seseorang yang tidak dapat menggunakan akal sehat. Adalah sangat tidak mungkin, kalau para rasul, para santa dan santo mau mengorbankan nyawa mereka untuk seseorang yang tidak waras. Jadi pilihan ini sebetulnya sangatlah tidak mungkin.

Pilihan 3 – Yesus adalah seorang yang lebih buruk dari itu (dalam bukunya, C.S Lewis mengatakan “something worse”)

Kalau Dia mengaku bahwa diri-Nya adalah Tuhan – padahal bukan – maka dapat disimpulkan bahwa Dia adalah seseorang yang jahat. Namun untuk mengambil kesimpulan bahwa Yesus adalah seorang yang jahat juga adalah tidak mungkin, karena semua yang dilakukan Kristus adalah hal- hal yang baik, dan ajaran moral yang disampaikan kepada manusia adalah begitu sempurna dan tidak ada duanya dibandingkan dengan ajaran agama manapun.  Mahatma Gandhi-pun begitu mengagumi Yesus, terutama ajaran-Nya tentang khotbah di bukit. Jadi pilihan ini juga tidak mungkin.

Pilihan 4 – Cerita tentang Yesus adalah kebohongan belaka

Ada beberapa pandangan dari agama lain yang mengatakan bahwa Yesus dijadikan Tuhan oleh manusia – yaitu oleh para murid dan pengikut-Nya dan juga pada zaman Konstantinopel, di Konsili Niceae (325). Pandangan ini sesungguhnya merupakan pandangan di abad- abad ini, yang bermaksud memisahkan antara Yesus menurut sejarah (Jesus of History) dan Kristus menurut iman (Christ of faith), seolah keduanya tidak sama. Namun pernyataan ini sangatlah tidak mendasar, sebab tidak sesuai dengan pernyataan para murid Kristus yang menjadi para saksi langsung akan kehidupan Kristus, penderitaan, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga. Padahal adalah lebih logis jika kita mempercayai kesaksian mereka yang hidup pada zaman Kristus; daripada perkiraan mereka yang hidup berabad- abad sesudah zaman Yesus. Pernyataan para murid, termasuk St. Paulus,  dibuat sekitar beberapa tahun setelah Yesus wafat, sehingga dapatlah diyakini kebenarannya. [Bayangkan kalau misalkan ada banyak tulisan bahwa di Jakarta tidak pernah terjadi banjir. Dan berita ini terus diberitakan di dalam koran, televisi, dll. Tentu saja ini berita yang tidak benar, dan orang-orang yang mengalami kebanjiran akan protes dan membuat surat pernyataan, demo, yang menyatakan bahwa pemberitaan itu tidak benar]. Nyatanya,  pernyataan bahwa Yesus adalah Tuhan, yang disaksikan oleh banyak orang – yang mengalami kehidupan Yesus – tidak mengundang protes atau tulisan yang menyanggahnya pada masa itu. Sejarah tidak menemukan tulisan asli abad awal yang menyanggah tentang kebangkitan Kristus. Jadi, kesimpulannya: Yesus sungguh bangkit; dan kebangkitan-Nya adalah sesuatu yang nyata dan bukan karangan para murid-Nya. Jadi kemungkinan bahwa Yesus adalah kebohongan belaka,  juga sangatlah tidak mungkin.

Kalau pilihan yang ke- 2,3, dan 4 adalah tidak mungkin, maka hanya pilihan yang pertama saja yang mungkin, yaitu “Yesus adalah sungguh Tuhan Allah yang menjelma menjadi manusia.”

Pembuktian indah dari seorang kepala Rabi Yahudi yang menjadi Katolik

Pembuktian yang indah tentang ke-Tuhan-an Yesus ditulis juga di dalam buku autobiografi Eugenio Zolli, kepala rabi Yahudi pada masa Perang Dunia ke-2. Zolli kemudian menjadi Katolik pada tahun 1945. Di Polandia, dia sering mengunjungi rumah teman sekolahnya yang bernama Stanislaus, yang beragama Katolik. Di dinding rumah itu tergantung salib kayu yang sederhana. Eugenio mengatakan dalam bukunya:

“Sering – aku tidak tahu kenapa – aku akan menatap salib itu dan memandang cukup lama pada “seseorang” yang tergantung di salib itu. Sejujurnya, permenungan ini selalu diikuti oleh gejolak di dalam jiwaku.
Mengapa orang ini disalibkan? Aku bertanya kepada diriku sendiri. Apakah dia orang jahat? …. Mengapa banyak orang mengikuti dia, kalau dia jahat dan mengapa temanku dan ibunya yang juga mengikuti dia adalah orang-orang yang baik? Bagaimana bahwa Stanislaus dan ibunya begitu baik dan mereka menyembah dia yang disalibkan ini? Dia tidak mengeluh, dia tidak melawan. Di wajah-nya tidak ada ekspresi kebencian ataupun kemarahan….Tidak. Dia, Yesus, orang itu – sekarang menjadi “Dia” untukku dengan huruf besar “D.” Dia tidak jahat. Dia tidak mungkin jahat…. Satu hal yang kutahu dengan pasti: “Dia sungguh baik“. ((Eugenio Zolli, Before the Dawn (New York: Sheed and Ward, 1954) p.24-25))

Pembuktian Gamaliel, dari Kisah Para Rasul.

Di Kisah Para Rasul (Kis 5:26-42), Gamaliel, seorang ahli taurat yang sangat dihormati, menasehati orang banyak agar mempertimbangkan perbuatan terhadap pengikut Yesus (Petrus dan rasul-rasul lainnya). Sebab, di waktu yang lalu, setelah kematian Teudas yang mengaku sebagai orang yang istimewa, 400 pengikutnya tercerai berai dan kemudian lenyap. Jadi jika perbuatan para murid Kristus hanya berasal dari manusia, mereka pasti akan lenyap dengan sendirinya. Namun jika dari Allah, semua itu tidak dapat dilawan.

Kenyataan bahwa sampai sekarang, setelah 2000 tahun dari kejadian itu, para pengikut Kristus masih bertahan di dalam Gereja Katolik, membuktikan bahwa Yesus adalah Tuhan, dan ajaran-Nya adalah dari Allah.

Yesus adalah Tuhan – melalui “Motif yang meyakinkan / Motive of credibility”

Motif 1: Nubuat

Motif pertama adalah nubuat. Artinya kedatangan Kristus telah diberitakan sebelumnya yaitu beribu-ribu tahun sebelum kedatangan-Nya, melalui masa persiapan yang panjang. ((Kita bisa melihat bahwa Tuhan mempersiapkan perjanjian yang mengarah kepada Inkarnasi Yesus Kristus. Perjanjian Allah dengan manusia dimulai dari: 1) Adam dan Hawa (tingkatan pribadi), 2) Nabi Nuh (tingkatan keluarga), 3) Abraham (pada tingkatan suku), 4) Israel (pada tingkatan bangsa); 5) dan kemudian mencapai puncaknya dengan kedatangan Yesus yang mengikat perjanjian Allah dengan seluruh bangsa manusia. Jadi, bangsa Yahudi adalah menjadi bukti persiapan kedatangan Tuhan Yesus ke dunia ini.)) Adalah sangat logis, kalau kedatangan Yesus untuk misi keselamatan seluruh umat manusia dipersiapkan dengan matang, dan dengan tanda-tanda, sehingga orang tidak sampai salah mengerti. Kita bisa mengambil contoh: Kalau beberapa orang di tingkat direktur pabrik mobil Toyota mengatakan bahwa 20 tahun lagi – semua produk mobil Toyota tidak akan menggunakan bensin, namun menggunakan tenaga surya, dapat bergerak dengan kecepatan 200 km/jam, dan ditambah dengan kemampuan yang lain – maka kita akan percaya, karena yang mengatakan adalah para pembuat mobil tersebut.

Kita dapat menerapkan prinsip ini kepada hal persiapan Yesus datang ke dunia ini, yang sudah diberitakan beribu-ribu tahun sebelumnya. Bahkan kitab Yesaya yang ditulis sekitar 700 tahun sebelum kedatangan Yesus Kristus, dapat secara persis menggambarkan tentang Kristus yang menderita (lih. Yes 53). Nabi Yesaya dapat menggambarkan secara persis apa yang akan dialami oleh Kristus, karena dia mendapatkan pengetahuan dari Tuhan sendiri. Bahwa di dalam sejarah, semua nubuat itu terpenuhi di dalam diri Yesus, menjadi bukti akan kebenaran bahwa yang dinubuatkan adalah benar, yaitu: Yesus sungguh- sungguh datang dari Allah dan Yesus adalah Allah.

Juga, Tuhan ingin memberitahukan kepada manusia tentang Mesias jauh-jauh hari sebelumnya, sehingga pada saat penggenapannya, manusia dapat mengenali Mesias yang dijanjikan. Inilah yang membedakan antara Yesus dengan tokoh-tokoh dalam agama yang lain. Tokoh-tokoh dalam agama lain tidak pernah dinubuatkan sebelumnya, namun Yesus telah dinubuatkan secara konsisten oleh para nabi dalam kurun waktu lebih dari 1500 tahun.

Motif 2 – Mukjizat

Motif ke-2 adalah mukjizat. Kita dapat melihat di dalam Alkitab, bahwa Yesus melakukan banyak sekali mukjizat, yang membuktikan bahwa Dia adalah sungguh Putera Allah, sekaligus juga yang memberikan konfirmasi akan kebenaran semua ajaran-Nya.  Yesus menyembuhkan orang buta (Mat 9:27-31), orang bisu (Mat 9:32-35), orang tuli (Mk 7:31-37), orang lumpuh (Mat 9:1-8), bahkan membangkitkan orang mati (Yoh 11:1-46).

Yesus juga mengatakan, “ …. tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa” (Yoh 10:37-38).

Di atas semua itu, mukjizat terpenting adalah kebangkitan Kristus (Mat 28:1-10; Mar 16:1-20; Luk 24:1-53; Yoh 20:1-29, 21:1-19; Kis 1:3; 1 Kor 15:17; 1 Kor 15:5-8). Mungkin ada banyak orang yang dapat melakukan mukjizat dan menyembuhkan penyakit-penyakit. Namun orang tersebut pada akhirnya wafat dan tidak dapat bangkit dengan kekuatan sendiri. Namun Yesus menunjukkan bahwa Ia mempunyai kuasa di atas segalanya, termasuk kematian. Hanya Tuhanlah yang dapat melakukan hal ini.

Motif 3 – Gereja yang didirikan oleh Yesus Kristus

Keberadaan Gereja Katolik, Gereja yang didirikan oleh Yesus Kristus sendiri, menjadi bukti akan janji-Nya sebagai Allah untuk melindungi Gereja-Nya sampai akhir jaman (lih. Mat 16:18) di bawah kepemimpinan Rasul Petrus dan juga para penerusnya, yaitu para paus. Sudah begitu banyak percobaan yang dialami oleh Gereja Katolik, baik dari dalam maupun dari luar Gereja. Namun sesuai dengan janji Kristus, Gereja Katolik tetap bertahan dalam mengajarkan kebenaran yang penuh, dan ditandai dengan ciri-ciri: satu, kudus, katolik, dan apostolik. (lihat artikel: Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan – Bagian 1 – silakan klik).

Kesimpulan

Dari semua pembuktian tersebut di atas, secara filosofis – yaitu dengan “argument of fittingness,” kita dapat menyimpulkan bahwa adalah sudah sepantasnya bahwa Yesus menjelma menjadi manusia untuk keselamatan seluruh umat manusia. Pembuktian “empat pilihan” membuat kita melihat bahwa kemungkinan yang paling logis adalah Yesus adalah sungguh Putera Allah. Kisah Eugenio Zolli membuktikan bahwa seseorang yang tadinya tidak mengenal Kristus, akan dapat mengenal dan menjadi pengikut Kristus, kalau ia melihat kesaksian hidup dari para pengikut Kristus, dalam hal ini adalah Stanislaus dan ibunya. Gamaliel semakin memperkuat argumen “motive of credibility“, karena fakta menunjukkan bahwa pengikut Kristus ada dan berkembang terus sampai saat ini, sehingga tidak mungkin Kristus dan ajaran-Nya hanya semata dari manusia. Pembuktian dari “motive of credibility” semakin meyakinkan kita bahwa Yesus adalah Putera Allah yang sudah dijanjikan, yang mampu melakukan mukjizat-mukjizat, dan keberadaan Gereja Katolik selama 2000 tahun menjadi tanda mukjizat yang terbesar setelah mukjizat kebangkitan Tuhan Yesus.

Semoga Tuhan sendiri  menuntun mereka, yang belum mengenal dan percaya kepada Kristus dan yang sedang mencari kebenaran, agar dapat menemukan kebenaran itu sendiri, yaitu Kristus Yesus (lih. Yoh 14:6). Bagi yang sudah mengenal Kristus, mari kita mencontoh kehidupan para kudus, dan juga Stanislaus dan ibunya. Kekudusan akan membuat kita menjadi saksi Kristus yang hidup dan membawa orang untuk mengenal dan mengasihi Kristus.

Dan di dalam proses pencarian kebenaran untuk mengikuti Kristus, silakan membaca artikel: Mengapa kita memilih Gereja Katolik.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab