Home Blog Page 330

Kerendahan Hati: Dasar dan Jalan Menuju Kekudusan

13

Pendahuluan

Mungkin anda sudah pernah mendengar … ini cerita tentang keledai yang ditunggangi oleh Yesus sewaktu Dia di-elu-elukan di Yerusalem. Kita semua mengetahui bahwa pada saat itu orang-orang memuja dan meninggikan Yesus, mereka menghamparkan pakaian mereka di jalan dan menyambut Yesus dengan daun-daun Palma. Tapi si keledai berpikir bahwa pujian itu ditujukan kepadanya. Kepalanya ditegakkan, dan dengan senyum ‘cengar-cengir’-nya dia seolah berkata, “Lihatlah kepadaku, si keledai ayu!” Begitulah kira-kira jika kita tidak rendah hati: kita menganggap diri layak untuk mendapat pujian, padahal pujian itu sesungguhnya adalah milik Allah.

Kerendahan hati adalah dasar Spiritualitas Kristiani

Kerendahan hati adalah salah satu dari nilai-nilai dasar Spiritualitas Kristiani. Santo Agustinus mengatakan bahwa kerendahan hati adalah jalan yang pasti membawa seseorang kepada Tuhan.[1] Santo Agustinus bahkan mengatakan, pertama-tama, kerendahan hati, kemudian, kerendahan hati, dan yang terakhir, kerendahan hati; untuk menekankan pentingnya kerendahan hati untuk mencapai kesempurnaan rohani.[2] Dalam spiritualitas, kesempurnaan berarti kekudusan, sehingga untuk menjadi kudus, kita harus pertama-tama menjadi orang yang rendah hati. Kerendahan hati adalah dasar dari semua kebajikan yang lain,[3] sebab tanpa kerendahan hati, kita tidak dapat sungguh-sungguh memiliki kebajikan-kebajikan yang lain. Kerendahan hati juga disebut sebagai ‘ibu’ dari semua kebajikan, sebab ia melahirkan ketaatan, takut akan Tuhan, dan penghormatan kepada-Nya, kesabaran, kesederhanaan, kelemah-lembutan dan damai. [4]

Kerendahan hati dan kekudusan adalah yang dikehendaki Allah bagi kita

Tuhan Yesus menghendaki agar kita belajar daripadaNya kelemahlembutan dan kerendahan hati (Mat 11:29). Ia juga mengajarkan pada kita untuk mengejar kesempurnaan, yaitu kekudusan (Im 19:2; Mat 5:48). Panggilan untuk hidup kudus inilah yang diserukan oleh Konsili Vatikan II, yang dijelaskan secara mendalam pada Lumen Gentium (Konstitusi Dogmatik tentang Gereja) Bab V. Kekudusan dimaksudkan untuk semua orang, tidak saja untuk para religius; dan untuk mencapai kesempurnaannya, kita harus memulai dari langkah pertama, yaitu kerendahan hati.

Kerendahan hati adalah lawan dari kesombongan yang menjadi dosa pertama dari manusia pertama. Kesombongan adalah sikap ‘menolak’ karunia Allah, seperti kita lihat pada kisah Adam dan Hawa (Kej 2:8-3:14), sedangkan kerendahan hati adalah sikap yang diperlukan untuk menerima karunia Allah. Alkitab berkata, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihi orang yang rendah hati” (1 Pet 5:5). Kerendahan hati ini begitu penting bagi Allah, sehingga menempati urutan pertama dari Delapan Sabda Bahagia: Berbahagialah orang-orang yang miskin hatinya, karena merekalah yang memiliki Kerajaan Surga (Mat 5:3; KGK 2546). Mereka yang rendah hati, yang dimurnikan dan diterangi Roh Kudus, adalah orang-orang yang siap untuk menerima karunia-karunia Roh Kudus untuk maksud perutusan (lih. KGK 716).

Apa itu kerendahan hati?

Kerendahan hati atau ‘humility‘ berasal dari kata ‘humus‘ (Latin), artinya tanah/ bumi.[5] Jadi, kerendahan hati maksudnya adalah menempatkan diri ‘membumi’ ke tanah. Secara khusus pada Rabu Abu, Gereja mengingatkan kita akan hal ini: “Ingatlah bahwa kamu adalah debu, dan kamu akan kembali menjadi debu” (Kej 3:19) Betapa dalamnya makna perkataan ini, dan jika kita renungkan, kita akan semakin mengenal diri kita yang sesungguhnya.

1. Kerendahan hati= nilai yang diperoleh dari penghormatan kepada Tuhan

Dalam kehidupan rohani Kristiani, kerendahan hati diartikan sebagai ‘nilai yang diperoleh dari penghormatan yang dalam kepada Tuhan.’ Hal ini melibatkan pengenalan akan ‘tempat’ kita yang sebenarnya dalam hubungan dengan Allah sebagai Pencipta dan dengan ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain, [6] dan sikap ini menentukan perbuatan kita. Kerendahan hati juga mengantar kita untuk mengakui bahwa kita dan segala ciptaan di dunia ini bukan apa-apa di hadapan Tuhan, dan kerendahan hati mengarahkan kita untuk hidup sesuai dengan pemahaman ini.

Jadi, kerendahan hati membantu kita untuk melihat segalanya dengan kaca mata Tuhan: kita melihat diri kita yang sesungguhnya, tidak melebih-lebihkan hal positif yang ada pada kita, namun juga tidak mengingkari bahwa segalanya itu adalah pemberian Tuhan. Dalam hal ini kerendahan hati berhubungan dengan kebenaran dan keadilan,[7] yang membuat kita mengasihi kebenaran lebih daripada kita mengasihi diri sendiri. Kebenaran ini memberikan kepada kita pengetahuan akan diri sendiri, dengan kesadaran bahwa segala yang baik yang ada pada kita adalah karunia Tuhan, dan sudah selayaknya sesuai dengan keadilan, kita mempergunakan karunia itu untuk kemuliaan Tuhan (1Tim 1:17). Dengan perkataan lain, kebenaran membuat kita mengenali karunia-karunia Tuhan, dan keadilan mengarahkan kita untuk memuliakan Tuhan, Sang Pemberi.

2. Kerendahan hati= hasil dari pengenalan akan diri sendiri dan akan Tuhan.

Dasar dari kerendahan hati adalah pengenalan akan diri sendiri dan Tuhan. St. Thomas Aquinas mengatakan, bahwa pengenalan akan diri sendiri bermula pada kesadaran bahwa segala yang baik pada kita datang dari Allah dan milik Allah, sedangkan segala yang jahat pada kita timbul dari kita sendiri.[8] Pengenalan yang benar tentang Tuhan menghantar pada pengakuan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia menurut gambaran-Nya, dan bahwa manusia diciptakan untuk mengasihi, sebab Allah yang menciptakannya adalah Kasih. Dalam kasih ini, Allah menginginkan persatuan dengan setiap manusia, sehingga Ia mengirimkan Putera-Nya yang Tunggal untuk menghapuskan penghalang persatuan ini, yaitu dosa.

Kesadaran akan hal ini membawa kita pada kebenaran: yaitu bahwa kita ini bukan apa-apa, dan Allah adalah segalanya. Di mata Tuhan kita ini pendosa, tetapi sangat dikasihi oleh-Nya. Keseimbangan antara kesadaran akan dosa kita dan kesadaran akan kasih Allah ini membawa kita pada pemahaman akan diri kita yang sesungguhnya. Kesadaran ini menghasilkan kerendahan hati, yang menurut St. Thomas adalah dasar dari bangunan spiritual[9] atau ‘rumah rohani’ kita.

3. Kerendahan hati= ketergantungan terhadap Tuhan.

Kerendahan hati membuat kita selalu menyadari kelemahan kita dan bergantung kepada rahmat Tuhan. Hal ini juga dapat diterapkan dalam hal iman, sehingga iman berarti kerendahan hati secara rohani yang melibatkan akal budi, sehingga seseorang dapat menerima kesaksian Tuhan tentang Diri-Nya, tentang manusia, dan semua realitas kehidupan, daripada memegang pendapat sendiri. Jadi, kerendahan hati adalah sikap hati untuk tunduk kepada Tuhan. Selanjutnya, menurut St. Agustinus kerendahan hati adalah penyerahan diri kepada Tuhan sehingga kita berusaha untuk menyenangkan hati Tuhan (bukan diri kita sendiri) di dalam segala perbuatan kita.[10]

Tingkatan kerendahan hati

Ada bermacam tingkatan kerendahan hati, tetapi yang akan kita bahas di sini adalah dua macam tingkatan yang dijabarkan oleh St. Benediktus dan St. Ignatius.[11]

1. Menurut St. Benediktus (480-547)

Nilai-nilai yang termasuk kerendahan hati adalah ketaatan, kesabaran dan kesederhanaan. Ketaatan dan kesabaran berkaitan dengan kerendahan hati yang berhubungan dengan sikap hati, sedangkan kesederhanaan berhubungan dengan sikap yang dapat terlihat dari luar. St. Benediktus membagi kerendahan hati menjadi 12 hal: tujuh di antaranya berhubungan dengan sikap hati, dan lima di antaranya berhubungan dengan sikap yang terlihat dari luar.

Ketujuh sikap hati yang berdasarkan atas ketaatan dan kesabaran tersebut adalah: takut akan Tuhan, ketaatan kepada Tuhan, ketaatan kepada pembimbing spiritual, sabar dalam menanggung keadaan yang sukar, mau mengakui kesalahan kita (terutama kepada pembimbing spiritual), bersedia untuk menerima hal-hal yang tidak nyaman, dan melihat diri sendiri sebagai yang tidak utama. Sedangkan kelima sikap tubuh yang berhubungan dengan kesederhanaan adalah: menghindari pemegahan diri sendiri, hening, tertawa tidak berlebihan, tidak banyak bicara, dan kesederhanaan dalam bersikap. Meskipun pengajaran ini pertama-tama ditujukan untuk para religius, namun toh dengan tingkatan yang wajar dapat diterapkan kepada kita kaum awam. Apalagi jika kita mau bertumbuh dalam hal rohani, kita-pun perlu mempunyai pembimbing rohani, yaitu umumnya bapa Pengakuan (pastor pembimbing).

2. Menurut St. Ignatius (1491-1556).

Terdapat tiga tingkatan kerendahan hati, (1) necessary humility: penyerahan diri kepada hukum Tuhan untuk menghindari dosa berat, (2) perfect humility’: ketidak-terikatan pada kekayaan ataupun kemiskinan, kesehatan ataupun sakit… yang terpenting adalah menghindari dosa dan kecenderungan berbuat dosa (3)most perfect humility’‘: sikap meniru Kristus, termasuk menerima dengan rela penderitaan (salib) dan penghinaan, dalam persatuan dengan Kristus, demi kasih kita kepada-Nya.

Kerendahan hati berlawanan dengan kesombongan yang berhubungan dengan kelimpahan materi, dan anggapan bahwa diri sendiri adalah yang paling berkehendak baik, paling pandai, dan paling maju dalam hal spiritual (‘spiritual pride’).[12] Kesombongan dalam hal materi berhubungan dengan hal yang kelihatan seperti kecantikan, kekayaan, nama baik, pangkat dan kehormatan. Kesombongan materi adalah jenis kesombongan yang paling rendah, dan paling mudah diatasi untuk mencapai kerendahan hati.

Kesombongan dalam hal berkehendak baik adalah yang menyusul setelah ini, yaitu seperti keinginan untuk tidak tunduk di bawah siapapun, memiliki kuasa untuk memerintah, yang menghasilkan ambisi untuk menguasai, menolak untuk melayani atau tunduk pada otoritas, bahkan menolak untuk tunduk kepada Tuhan. Bersamaan dengan ini adalah kesombongan akan kepandaian, yang berhubungan dengan kebiasaan untuk menghakimi segala sesuatu berdasarkan pendapat sendiri, dan enggan untuk menerima pernyataan sederhana dari pihak yang punya otoritas. Sedangkan orang yang rendah hati adalah dia yang sadar akan dosa dan kelemahannya, yang tahu bahwa ia-pun dapat menjadi ‘terhukum’, jika hanya keadilan Tuhan yang berlaku di dunia ini. Belas kasihan yang ia terima dari Tuhan harus menjadikannya berbelas kasih pada orang lain.

Tingkatan kesombongan yang paling akhir adalah ‘spiritual pride’. Karena spiritualitas adalah karunia, maka kesombongan akan hal ini menjadi sangat ‘berbahaya’. Karunia-karunia spiritual dapat menjadi ladang bagi kesombongan, sebab jiwa yang sombong dapat menggunakan karunia-karunia tersebut untuk meninggikan diri, menarik perhatian, mencari dominasi/ kekuasaan, atau untuk memenangkan ide sendiri. Injil menampilkan jenis kesombongan ini dalam perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai (Luk 18:9-14). Yesus menolak kesombongan ini, sebab hal itu membuat orang hidup dalam ‘kebohongan’: dari luar terlihat suci, tetapi sebenarnya jahat. Hal ini bertentangan dengan kerendahan hati yang berlandaskan kebenaran.

Menurut St. Ignatius, mengikuti teladan Yesus dan cara hidupNya adalah bentuk kerendahan hati yang paling sempurna; yaitu jika seseorang dengan kehendak bebasnya memilih untuk hidup miskin seperti Kristus, menderita bersama-Nya daripada menjadi kaya dan dihormati dan dianggap bijak oleh dunia.[13] Sikap ini didasari oleh kesadaran bahwa Allah mengasihi kita lebih daripada kita mengasihi diri sendiri, sehingga Ia telah menyerahkan DiriNya untuk membawa kita kepada kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati ini tidak dapat dibandingkan dengan segala pemahaman kita akan kebahagiaan menurut ukuran dunia. Ketetapan hati meninggalkan kebahagiaan duniawi untuk mendapatkan kebahagiaan surgawi adalah sikap kerendahan hati yang paling sempurna.

Kerendahan hati menghantarkan kita kepada kesempurnaan kasih dan kekudusan

Untuk mencapai kekudusan, atau ‘kesempurnaan kasih’, kita harus menggunakan kemampuan kita sebagai karunia dari Kristus. Kita harus meniru teladan-Nya dan mencari kehendak Tuhan dalam segala sesuatu.[14] Semua sikap ini adalah bentuk kerendahan hati! Ingatlah bahwa St. Agustinus pernah mengatakan, “Kamu tidak dapat mengasihi kecuali melalui kerendahan hati.[15] Sebab segala pertentangan/ konflik antar manusia selalu melibatkan kesombongan di kedua belah pihak.

Jadi agar dapat mengasihi, kita harus rendah hati di dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Berikut ini adalah pengajaran St. Ignatius yang merupakan perjuangan bagi kita semua: Pertama, kerendahan hati di dalam pikiran adalah kita tidak boleh cemburu atau iri, jika orang lain dipuji, kita harus melihat kebaikan dalam diri orang lain, dan kita harus bergembira atas kebaikan dan kesuksesan orang lain.[16] Kita harus ingat akan pengajaran Rasul Paulus,”… dengan rendah hati, anggaplah orang lain lebih utama dari diri kita” (Fil 2:3). Kita harus selalu menyadari bahwa kita hanya semata-mata alat di tangan Tuhan, dan selayaknya segala pujian ditujukan kepada-Nya.

Kedua, kita tidak boleh bicara yang buruk tentang siapapun dan bicara yang baik-baik tentang diri sendiri, atau lebih tepatnya, sebaiknya kita membatasi pembicaraan tentang diri kita sendiri supaya kita tidak jatuh dalam perangkap kesombongan. Jika ada orang berbuat salah, kita tidak boleh menghakimi, atau memaki, tetapi lebih baik kita berdoa untuk pertobatannya. Ada baiknya kita menyadari, jika kita berada persis di dalam situasi mereka, bisa jadi kita berbuat lebih buruk daripada mereka. Kita harus berjuang supaya tidak marah pada mereka yang menentang kita, tetapi menerima koreksi dengan lapang hati, demi pertumbuhan rohani kita.

Ketiga, di dalam perbuatan kita harus mau mengambil tempat yang rendah/ tidak utama, dan tidak menginginkan untuk diperlakukan istimewa. Dalam segala sesuatu kita tidak mencari pujian, tetapi mencari bagaimana agar dapat melakukan sesuatu yang berguna, untuk kebaikan.[17] Kita juga harus siap meminta maaf, untuk segala kesalahan yang kita lakukan, baik terhadap Tuhan dan orang lain, dan rajin untuk mengucap syukur untuk segala karunia yang Tuhan berikan kepada kita. Sikap seperti ini adalah sikap seorang pelayan, oleh karena itu, kerendahan hati menjadi dasar dari pelayanan Kristiani.[18]

Apa langkah awal kerendahan hati?

Menurut St. Fransiskus dari Sales, langkah pertama kerendahan hati adalah pemeriksaan batin yang baik. Jika kita rajin melakukannya setiap hari, latihan ini akan membimbing kita mencapai pengenalan diri sendiri, dan terutama, mengenal kesombongan diri kita. Meditasi juga merupakan alat untuk mencapai pengenalan diri sendiri. Dengan merenungkan kematian kita, penghakiman terakhir, neraka, surga, dan kehidupan Yesus Penebus kita, kita akan sampai pada kesadaran akan siapa diri kita di hadapan Allah.[19] Tips dari St. Franciskus: “Renungkanlah betapa besar kasih yang Tuhan sudah berikan kepadamu, dan berapa banyak dosa yang sudah engkau perbuat melawan Dia. Dan saat engkau menghitung dosamu, hitunglah juga belas kasihan-Nya!”[20]

Melalui pertobatan yang terus menerus dan latihan-latihan rohani seperti ini, kita mengembangkan di dalam hati kita rasa benci akan kesombongan kita. Bersyukurlah, kita dapat selalu kembali kepada Tuhan melalui Sakramen Pengakuan Dosa. Melalui bimbingan seorang pembimbing rohani[21] dan melalui Pengakuan dosa secara umum dan menyeluruh, yang diikuti oleh Pengakuan dosa yang teratur, meditasi yang diikuti oleh niat yang teguh untuk memperbaiki diri, maka kita, dengan bantuan rahmat Tuhan, dapat mencabut akar kesombongan, cinta diri, dosa-dosa kita dan kesenangan akan berbuat dosa. Tindakan kerendahan hati ini dapat menjadi semacam kesaksian dari keinginan kita untuk berbuat lebih baik.

Waspadalah terhadap kerendahan hati yang ‘palsu’ (‘false humility’)

Selanjutnya, St. Fransiskus mengingatkan kita, agar jangan mempunyai sikap kerendahan hati yang ‘palsu’.[22] Misalnya, dengan mengatakan bahwa kita lemah dan tidak bisa apa-apa, tetapi begitu orang lain memperlakukan kita sesuai dengan apa yang kita katakan itu, lalu kita menjadi kecewa. Atau, kita merendah supaya kemudian dipuji orang. Ini adalah kerendahan hati yang palsu. Kerendahan hati yang sesungguhnya tidak mengatakan tentang diri sendiri bahwa ‘saya ini rendah hati’ (yang berhak mengatakan demikian hanya Tuhan). Kerendahan hati yang sesungguhnya berkaitan dengan menyembunyikan diri dalam artian tidak menonjolkan diri untuk dipuji, dan menyatakan kebajikan hanya untuk maksud mengasihi.

St. Franciskus juga mengingatkan agar kita tidak menggunakan alasan ‘tidak layak’ atau ‘aku masih berdosa’, sehingga kita tidak mau berdoa, atau tidak mau membagikan talenta untuk melayani Gereja, atau tidak mau melayani sesama. Menurutnya, ini tindakan tidak baik (‘evil‘) karena menyembunyikan cinta diri di balik kedok kerendahan hati.

Yesus teladan kerendahan hati yang sempurna

Tuhan telah memberikan pada kita contoh yang sempurna dalam hal kerendahan hati, yaitu Yesus Kristus, PuteraNya. Kerendahan hatiNya tercermin dalam dua hal utama: Pertama, untuk menyelamatkan kita, Yesus yang adalah Tuhan mau menjelma menjadi manusia, tergantung sepenuhnya kepada Allah Bapa. Alkitab mengatakan bahwa Yesus, “walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia… Dan Ia merendahkan diriNya dan taat sampai mati di kayu salib”(Fil 2:5-8).

Kedua, Yesus merendahkan diri dengan ketaatan-Nya untuk melaksanakan tugas misi yang diterima-Nya dari Allah Bapa, yaitu untuk menyelamatkan kita, para pendosa (Rom 5:8), termasuk dengan segala keadaan yang berkaitan dengan tugas penyelamatan itu. Seluruh hidup-Nya adalah cerminan kerendahan hati yang sempurna: lahir di kandang hewan, hidup miskin sepanjang hidupNya di dunia (2 Kor 8:9), dipukuli, dihina, difitnah padahal tidak bersalah, dilucuti pakaian-Nya, dianiaya sampai akhirnya wafat di Salib.

Bagaimana caranya meniru kerendahan hati Kristus?

Meniru Kristus adalah jalan yang mengarahkan kita pada pertumbuhan rohani. Untuk hal ini, kita perlu untuk sering merenungkan teladan kerendahan hati Yesus: di dalam hidup-Nya yang tersembunyi, pelayanan-Nya, sengsara-Nya dan kehidupan Ekaristi-Nya.[23] Untuk memperoleh sifat kerendahan hati yang sungguh, kita perlu berdoa, sebab kerendahan hati adalah suatu pemberian Tuhan dan bukan semata karena usaha kita sendiri.[24] Semakin kita menyadari kesombongan kita, semakin kita perlu berdoa dengan ‘mengemis’ (begging) agar Tuhan tidak membiarkan kita jatuh ke dalam kesombongan. Kita juga perlu untuk selalu mengucap syukur dan menerima segala hal dengan suka cita, termasuk penghinaan.

St. Theresia Kanak- kanak Yesus menyatakan bahwa penghinaan adalah ‘rahasia (untuk mencapai) kekudusan’[25]. Maksudnya ialah, kesediaan untuk menerima kesalahan adalah sangat penting. Untuk menghilangkan kesalahan, pertama-tama kita harus mengetahui dan mengakuinya terlebih dahulu. Dan untuk mengetahui kesalahan itu, kita perlu diberitahu, entah oleh Tuhan sendiri, atau melalui orang lain. Hal ini dapat mempermalukan kita, tetapi, kita perlu menerimanya dengan lapang. Sebab, jika proses ini kita terima dengan semangat Kristiani, kita dapat dengan pasti menjadi rendah hati (‘humiliation is the surest means of acquiring and practicing humility’).[26]

Dalam hal penghinaan (humiliation), contoh yang paling sempurna diberikan oleh Yesus sendiri. Dia menghancurkan kesombongan (dosa pertama manusia) dengan kerendahan hati, menjadi hamba, serupa dengan manusia, taat sampai mati di Salib. Kerendahan hati-Nya menjadi obat kesombongan kita.[27] Ia yang adalah Tuhan, Sang Sabda Kebenaran, dituduh mengajarkan sesuatu yang tidak benar. Ia dituduh menghujat Allah. Yesus menerima semua ini dengan diam, karena hatiNya dipenuhi kasih, dan kehendakNya teguh tertuju untuk menyelamatkan kita. Suatu permenungan bagi kita: bagaimana sikap kita jika kita dihina, dan dituduh melakukan sesuatu yang tidak kita lakukan…? Apakah kita bersikap seperti Kristus?

Kini, dengan kasih yang sama, Kristus hadir dalam Ekaristi. Ia yang Maha Besar mengambil rupa sepotong roti bundar, supaya kita menyadari kasihNya yang tiada batasnya, yang sanggup merendahkan diri sampai di luar batas pemikiran kita. Adakah kita mengenali kerendahan hati Allah dalam Ekaristi, dan menghormatiNya dengan segenap hati?

Teladan Bunda Maria

Selain Kristus, Bunda Maria adalah contoh yang sempurna tentang kerendahan hati dan kesempurnaan kasih. Kerendahan hati Maria-lah yang mendorong Allah untuk memilihnya sebagai ibu Putera-Nya Yesus. Bunda Maria menyadari bahwa ia dikaruniai oleh rahmat yang istimewa dengan menjadi Bunda Allah yang MahaTinggi, namun ia tetap rendah hati, dengan menganggap dirinya sebagai hamba di hadapan Allah.[28] Ia hanya mencari kehendak Tuhan, dengan berkata, “Jadilah padaku menurut perkataanmu (Luk 1:38).” Melalui kidung Magnificat, kita mengetahui bahwa Maria menganggap segala yang baik pada dirinya sebagai karunia belas kasih Tuhan.[29] Dengan rahmat Tuhan, Bunda Maria hidup dengan rendah hati, menyerahkan diri secara total kepada Tuhan dan sesama, dan bekerja sama dengan misi Keselamatan Kristus.

Kesimpulan

Kerendahan hati begitu penting, sehingga sering dikatakan bahwa kerendahan hati adalah segalanya, sebab seperti perkataan St. Agustinus, kerendahan hati menarik perhatian Allah yang Maha Tinggi.[30] Kerendahan hati menjadi jalan keselamatan bagi manusia yang berdosa.[31] Sebagai nilai kebajikan yang pertama, dan dasar semua nilai kebajikan yang lain, menurut St. Thomas, kerendahan hati menjadi sesuatu yang diperlukan untuk mencapai Kerajaan Surga, sebab kerendahan hati menghapuskan semua penghalang untuk menerima rahmat Tuhan.[32]

Namun demikian, kerendahan hati bukanlah segalanya, sebab kerendahan hati bukan kebajikan yang terbesar. Tempatnya tidak setinggi kebajikan ilahi seperti, iman, pengharapan dan kasih (KGK 1812-1829), kebajikan akal dan kebajikan moral seperti kebijaksanaan, agama dan hukum keadilan.[33] Kerendahan hati bukanlah akhir dari kesempurnaan kehidupan rohani, namun hanya merupakan sarana untuk mencapai hal itu. Kerendahan hati adalah langkah pertama dan langkah seterusnya untuk mencapai kesempurnaan kasih kepada Tuhan dan sesama, yang menjadi tujuan akhir panggilan hidup kita. Saat kita berjuang untuk menjadi semakin rendah hati setiap hari, marilah kita mempercayakan diri kita ke dalam tangan Tuhan dan berdoa, “Yesus, yang lemah lembut dan rendah hati, jadikanlah hati kami seperti hati-Mu.”


[1] Terjemahan dari Scaramelli, Directorium Asceticum, vol.3, p. 419, seperti dikutip oleh William A. Kaschmitter, MM, The Spirituality of the Catholic Church, (Lumen Christi Press, Texas) p. 513

[2] Terjemahan dari St. Augustinus, Spiritual Diary, p. 35, Scaramelli, Directorium Asceticum, Ibid.

[3] Lihat St. Alphosus Liguori, The Glories of Mary, vol.2, p.150, “Humility, says St Bernard, ‘is the foundation and guardian of the virtues’ …for without it, no other virtue can exist in the soul.

[4] Terjemahan dari St Thomas of Villanova, Spiritual Diary, pp. 35-36, seperti dikutip oleh William A. Kaschmitter, MM, Ibid.

[5] Cassel’s, Latin and English Dictionary, p. 106

[6] Disarikan dari tulisan Edward Leen, In the Likeness of Christ, pp. 177-178.

[7] Diterjemahkan dari Antonio Royo and Jordan Aumann, O.P., The Theology of Christian Perfection, (The Priory Press, Dubuque, Iowa) p.491

[8] Lihat Reverend Adolphe Tanquerey, S.S., D.D., The Spiritual Life- A Treatise on Ascetical and Mystical Theology, (Society of St. John the Evangelist, Desclee & Co Publishers, Belgium) 1128, p. 531

[9] St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae II-II, Q. 161, a.5 ad 2.

[10] Diterjemahkan dari tulisan St. Augustine, in The Fathers of the Church, vol. 11, p. 212, seperti dikutip oleh William A. Kaschmitter, MM, Ibid., p. 516.

[11] Disarikan dari buku karangan Reverend Adolphe Tanquerey, S.S., D.D., The Spiritual Life- A Treatise on Ascetical and Mystical Theology, p.532- 536

[12] Disarikan dari tulisan P. Marie- Eugene, O.C.D., I Want to See God, vol. 1(Fides Publishers Association, Chicago, IL), p. 393-402.

[13] Lihat Antonio Royo and Jordan Aumann, O.P, The Theology of Christian Perfection , p.493.

[14] Lihat Lumen Gentium 40, “Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus, supaya dengan mengikuti jejak-Nya dan merupai citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segalanya, mereka dengan segenap jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama.”

[15] Diterjemahkan dari Fr. Cajetan Mary da Bergamo, Humility of Heart, (TAN books and Publishers, INC, Illinois, reprint 1978 from 1944 ed.) 42 p.51

[16] Lihat Reverend Adolphe Tanquerey, S.S., D.D., The Spiritual Life- A Treatise on Ascetical and Mystical Theology, 1148, p. 542

[17] Ibid., p. 543

[18] Lihat Lumen Gentium 42, “Yesus, Putera Allah, telah menyatakan cinta kasih-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Maka tidak seorang pun mempunyai cinta kasih yang lebih besar dari pada dia yang merelakan nyawanya untuk Dia dan saudara-saudaranya (lih. 1Yoh 3:16; Yoh 15:13).” Menyerahkan nyawa ini adalah sikap seorang pelayan.

[19] Disarikan dari tulisan St. Francis de Sales, Introduction to a Devout Life (TAN books and Publishers INC, Illinois, reprint 1994 from 1923 ed.), 1,ix-xviii

[20] Ibid., p.123

[21] Ibid., 1, iv.

[22] Ibid., p.124-127

[23] Lihat Reverend Adolphe Tanquerey, S.S., D.D., The Spiritual Life- A Treatise on Ascetical and Mystical Theology, 1141, p. 538

[24] Lihat P. Marie- Eugene, O.C.D., I Want to See God, p. 389

[25] Vernon Johnson, Spiritual Childhood, A Study of St. Teresa’s Teaching, (Shed & Ward, London) p. 66

[26] Fr. Cajetan Mary da Bergamo, Humility of Heart, 63 p.80

[27] St. Augustine, Toal, vol.1. p. 273

[28] Lihat St. Alphonsus Liguori, The Glories of Mary, vol.2, pp.150-151

[29] Lihat Boylan, This Tremendous Lover, pp.73-74

[30] Lihat Rodriguez, Practice of Perfection and Christian Virtues, vol. 2. p.340

[31] St. Basil, The Fathers of the Church, vol.9, p. 475

[32] Lihat Boylan, This Tremendous Lover, pp.73

[33] Lihat Antonio Royo and Jordan Aumann, O.P., The Theology of Christian Perfection, p.491, juga Reverend Adolphe Tanquerey, S.S., D.D., The Spiritual Life- A Treatise on Ascetical and Mystical Theology,, 1136, p. 536

Sudahkah Kita Pahami Pengertian Ekaristi?

82

Pendahuluan

Karena Ekaristi adalah Yesus Kristus sendiri, Ekaristi menjadi ‘jantung’ dari iman Katolik. Katekismus Gerja Katolik mengajarkan bahwa Ekaristi adalah “sumber dan puncak seluruh kehidupan Kristiani” (KGK 1324) dan “hakikat dan rangkuman iman kita” (KGK 1327). Tentu idealnya semua orang Katolik mengetahui hal ini, tetapi sayangnya, kenyataan berbicara lain. Di Amerika, menurut polling pendapat yang diadakan oleh Gallup poll pada tahun 1992, pengertian ini tidak dimiliki oleh sebagian besar umat Katolik. ((Father Frank Chacon, Jim Burnham, Beginning Apologetics 3, How to Explain and Defend the Real Presence of Christ in the Eucharist, (San Juan Catholic Seminars, NM), p. 4.)) Hal yang serupa mungkin pula terjadi di Indonesia.

Hasil yang diperoleh cukup menggambarkan bahwa banyak orang Katolik yang tidak tahu dengan persis bahwa Yesus sungguh-sungguh hadir dalam Ekaristi:

  • 30% percaya bahwa mereka sungguh-sungguh dan benar-benar menerima Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan Yesus Kristus dalam rupa roti dan anggur.
  • 29% percaya bahwa mereka menerima roti dan anggur yang melambangkan Tubuh dan Darah Kristus.
  • 10% percaya mereka menerima roti dan anggur di mana di dalamnya Yesus juga hadir.
  • 24% percaya mereka menerima Tubuh dan Darah Yesus karena iman mereka sendiri mengatakan demikian.

Orang yang benar-benar mengerti akan pengajaran Gereja Katolik akan mengetahui bahwa pilihan yang benar itu hanya pilihan pertama, sedangkan pilihan yang lain itu keliru. Sayangnya, hanya 30% umat Katolik yang mengerti akan kebenaran ini; sedangkan 70% yang lain sepertinya ‘bingung’ atau memegang kepercayaan gereja lain yang bukan Katolik. Mari kita bertanya pada diri kita sendiri, termasuk golongan mana kita ini?

Apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik tentang Ekaristi?

1. Kehadiran Yesus Kristus yang real dan substansial di dalam Ekaristi

Selama kira-kira 2000 tahun, Gereja Katolik selalu mengajarkan bahwa Yesus Kristus sungguh hadir, secara riil/ nyata dan substansial, di dalam Ekaristi, yaitu Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan-Nya di dalam rupa roti dan anggur (KGK 1374). Pada saat imam selesai mengucapkan doa konsekrasi – “Inilah Tubuh-Ku” dan “Inilah darah-Ku”, Tuhan secara ajaib mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Kejadian ini disebut sebagai “transubstansiasi“, yang mengakibatkan substansi dari roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus (lih. KGK 1376). Jadi yang tinggal hanyalah rupa roti dan anggur, tetapi substansi roti dan anggur sudah lenyap, digantikan dengan kehadiran Yesus.

Yesus hadir seutuhnya di dalam roti itu, bahkan sampai di partikel yang terkecil dan di dalam setiap tetes anggur. Pemecahan roti bukan berarti pemecahan Kristus, sebab kehadiran Kristus utuh, tak berubah dan tak berkurang di dalam setiap partikel. Dengan demikian kita dapat menerima Kristus di dalam rupa roti saja, atau anggur saja, atau kedua bersama-sama (lih. KGK 1390). Dalam setiap hal ini, kita menerima Yesus yang utuh di dalam sakramen.

Karena Yesus sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi, maka kita memberi hormat di depan tabernakel, kita berlutut dan menundukkan diri sebagai tanda penyembahan kepada Tuhan. Itulah sebabnya Gereja memperlakukan Hosti Kudus dengan hormat, dan melakukan prosesi untuk menghormati Hosti suci yang disebut Sakramen Maha Kudus, dan mengadakan adorasi di hadapan-Nya dengan meriah (lih. KGK 1378).

Kehadiran Kristus di dalam Ekaristi bermula pada waktu konsekrasi dan berlangsung selama rupa roti dan anggur masih ada (KGK 1377), maksudnya pada saat roti dan anggur itu dicerna di dalam tubuh kita dan sudah tidak lagi berbentuk roti, maka itu sudah bukan Yesus. Jadi kira-kira Yesus bertahan dalam diri kita [dalam rupa hosti] selama 15 menit. Sudah selayaknya kita menggunakan waktu itu untuk berdoa menyembah-Nya, karena untuk sesaat itu kita sungguh-sungguh menjadi tabernakel Allah yang hidup!

Kristus sendiri yang mengundang kita untuk menyambut Dia dalam Ekaristi (KGK 1384), dan karena itu kita harus mempersiapkan diri untuk saat yang agung dan kudus ini, dengan melakukan pemeriksaan batin. Karena Ekaristi itu sungguh-sungguh Allah, maka kita tidak boleh menyambutNya dalam keadaan berdosa berat. Untuk menyambut-Nya dengan layak kita harus berada dalam keadaan berdamai dengan Allah. Jika kita sedang dalam keadaan berdosa berat, kita harus menerima pengampunan melalui Sakramen Tobat sebelum kita dapat menyambut Komuni Kudus (KGK 1385).

2. Keutamaan Ekaristi disebabkan karena di dalamnya terkandung Kristus sendiri

Ekaristi disebut sebagai sumber dan puncak kehidupan Kristiani (LG 11) karena di dalamnya terkandung seluruh kekayaan rohani Gereja, yaitu Kristus sendiri (KGK 1324). Pada perjamuan terakhir, pada malam sebelum sengsara-Nya, Kristus menetapkan Ekaristi sebagai tanda kenangan yang dipercayakan oleh Kristus kepada mempelai-Nya yaitu Gereja (KGK 1324). Kenangan ini berupa kenangan akan wafat dan kebangkitan Kristus yang disebut sebagai Misteri Paska, yang menjadi puncak kasih Allah yang membawa kita kepada keselamatan (KGK 1067). Keutamaan Misteri Paska dalam rencana Keselamatan Allah mengakibatkan keutamaan Ekaristi, yang menghadirkan Misteri Paska tersebut, di dalam kehidupan Gereja (KGK 1085).

Gereja Katolik mengajarkan bahwa kurban salib Kristus terjadi hanya sekali untuk selama-lamanya (Ibr 9:28). Kristus tidak disalibkan kembali di dalam setiap Misa Kudus, tetapi kurban yang satu dan sama itu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus (KGK 1366). Hal itu dimungkinkan karena Yesus yang mengurbankan Diri adalah Tuhan yang tidak terbatas oleh waktu dan kematian. Kristus telah mengalahkan maut, karenanya Misteri Paska-Nya tidak hanya terbenam sebagai masa lampau, tetapi dapat dihadirkan di masa sekarang (KGK 1085). Karena bagi Tuhan, segala waktu adalah ‘saat ini’, sehingga masa lampau maupun yang akan datang terjadi sebagai ‘saat ini’. Dan kejadian Misteri Paska sebagai ‘saat ini’ itulah yang dihadirkan kembali di dalam Ekaristi, dengan cara yang berbeda, yaitu secara sakramental. Dengan demikian, Ekaristi menjadi kenangan hidup akan Misteri Paska dan akan segala karya agung yang telah dilakukan oleh Tuhan kepada umat-Nya, dan sekaligus harapan nyata untuk Perjamuan surgawi di kehidupan kekal (lih. KGK 1362,1364,1340,1402,1405).

3. Beberapa nama Ekaristi dan artinya

Ekaristi berasal dari kata ‘eucharistein‘ yang artinya ucapan terima kasih kepada Allah (KGK 1328). Ekaristi adalah kurban pujian dan syukur kepada Allah Bapa, di mana Gereja menyatakan terima kasihnya kepada Allah Bapa untuk segala kebaikan-Nya di dalam segala sesuatu: untuk penciptaan, penebusan oleh Kristus, dan pengudusan. Kurban pujian ini dinaikkan oleh Gereja kepada Bapa melalui Kristus: oleh Kristus, bersama Dia dan untuk diterima di dalam Dia. (KGK 1359-1361)

Ekaristi adalah Perjamuan Tuhan, yang memperingati perjamuan malam yang diadakan oleh Kristus bersama dengan murid-murid-Nya. Perjamuan ini juga merupakan antisipasi perjamuan pernikahan Anak Domba di surga (KGK 1329).

Ekaristi adalah kenangan akan kesengsaraan dan kebangkitan Tuhan (KGK 1330). Ekaristi diadakan untuk memenuhi perintah Yesus untuk merayakan kenangan akan hidup-Nya, kematian-Nya, kebangkitan-Nya dan akan pembelaan-Nya bagi kita di depan Allah Bapa (KGK 1341).

Ekaristi adalah Kurban kudus, karena ia menghadirkan kurban tunggal Yesus, dan juga kurban penyerahan diri Gereja yang mengambil bagian dalam kurban Yesus, Kepalanya (KGK 1330, 1368). Sebagai kenangan Paska Kristus, Ekaristi menghadirkan dan mempersembahkan secara sakramental kurban Kristus satu-satunya dalam liturgi Gereja (KGK 1362, 1365). Ekaristi menghadirkan kurban salib dan memberikan buah-buahnya yaitu pengampunan dosa (KGK 1366).

Ekaristi adalah Komuni kudus, karena di dalam sakramen ini kita menerima Kristus sendiri (KGK 1382) dan dengan demikian kita menyatukan diri dengan Kristus, yang mengundang kita mengambil bagian di dalam Tubuh dan Darah-Nya, supaya kita membentuk satu Tubuh dengan-Nya (KGK 1331).

Ekaristi dikenal juga dengan Misa kudus, karena perayaan misteri keselamatan ini berakhir dengan pengutusan umat beriman (missio) supaya mereka melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupan sehari-hari.

4. Buah-buah Ekaristi/ Komuni kudus

  • Komuni memperdalam persatuan kita dengan Yesus, hal ini berdasarkan atas perkataan Yesus, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum Darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam Dia” (KGK 1391).
  • Komuni memisahkan kita dari dosa, karena dengan mempersatukan kita dengan Kristus kita sekaligus dibersihkan dari dosa yang telah kita lakukan dan melindungi kita dari dosa-dosa yang baru (KGK 1393).
  • Ekaristi membangun Gereja di dalam kesatuan. Oleh Ekaristi Kristus mempersatukan kita dengan semua umat beriman menjadi satu Tubuh, yaitu Gereja. Ekaristi memperkuat kesatuan dengan Gereja yang telah dimulai pada saat pembaptisan (KGK 1396). Kesatuan dengan Gereja ini mencakup Gereja yang masih berziarah di dunia, Gereja yang sudah jaya di Surga, dan Gereja yang masih dimurnikan di dalam Api Penyucia (lih. KGK 954)
  • Ekaristi mewajibkan kita terhadap kaum miskin, sebab dengan bersatu dengan Kristus dalam Ekaristi, kita juga mengakui Kristus yang hadir di dalam orang-orang termiskin yang juga menjadi saudara-saudara-Nya (KGK 1397), yang di dalam Dia, menjadi saudara-saudara kita juga.
  • Ekaristi mendorong kita ke persatuan umat beriman, sebab Ekaristi, menurut perkataan Santo Agustinus adalah ‘sakramen kasih sayang, tanda kesatuan dan ikatan cinta,’ (KGK 1398) yang seharusnya secara penuh dialami bersama oleh semua orang yang beriman di dalam Kristus.

Dasar pengajaran tentang Ekaristi dari Alkitab

1. Perjanjian Lama:

  • Imam Agung Melkisedek mempersembahkan roti dan anggur (Kej 14:18) yang menggambarkan Perjamuan Yesus pada Perjamuan Terakhir. Yesus sendiri dikatakan sebagai Imam Besar menurut peraturan Melkisedek (Ibr 6:20).
  • Kurban anak domba Paska yang menyelamatkan umat Israel merupakan kurban yang dimakan sebagai makanan untuk menguatkan mereka menempuh perjalanan ke Tanah Terjanji (Kej 12:1-20). Hal ini menggambarkan Ekaristi yang merupakan kurban Anak Domba Allah, yaitu Yesus, yang dimakan sebagai makanan untuk menjadi bekal perjalanan kita ke Tanah Terjanji, yaitu surga.
  • Roti Manna yang menjadi simbol Ekaristi pada Perjanjian Lama. Yesus sendiri mengatakan bahwa Ia adalah Roti manna yang turun dari surga (lih. Yoh 6:32-51). Seperti halnya bahwa manna menguatkan bangsa Israel sepanjang perjalanan di gurun dan berhenti dicurahkan setelah mereka sampai di Tanah Terjanji; Ekaristi juga diberikan untuk menguatkan kita di perjalanan hidup di dunia, dan berhenti setelah kita sampai di surga.
  • Pada Tabut Perjanjian Lama menggambarkan tabernakel pada gereja Katolik di manapun, yang merujuk pada Ekaristi. Dua loh batu (Kel 25:16) menggambarkan sabda kehidupan yang terkandung dalam Ekaristi. Manna (Kel 16:34) menggambarkan Ekaristi sebagai roti hidup yang turun dari surga (Yoh 6:51). Tongkat Harun (Bil 17: 5) yang menandai imamatnya, menggambarkan peran Imamat kudus dalam Kristus, yaitu tubuhNya. Seperti tongkat Harun yang bertunas, tubuh Yesus yang ditembus oleh tombak mengeluarkan air dan darah yang melambangkan sakramen Pembaptisan dan Ekaristi. ((Lihat Father Frank Chacon, Ibid., p. 9.))

2. Perjanjian Baru:

Yesus sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi, seperti dinyatakan:

  • Pada Perjamuan Terakhir Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk mengenangkan Dia dengan merayakan perjamuan tersebut. Yesus berkata, “Inilah Tubuh-Ku… (bukan ini melambangkan Tubuh-Ku)… (lih Mat 26:26-28; Mrk 14:22-24; Luk 22:15-20).”
  • Yesus mengatakan sendiri bahwa Ia adalah “Roti hidup yang turun dari surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, dia akan hidup selama-lamanya; dan roti yang Ku-berikan itu ialah daging-Ku yang Kuberikan untuk hidup dunia (Yoh 6:35, 51).
  • Pengajaran ini diberikan setelah Yesus mengadakan mukjizat pergandaan roti, yaitu mukjizat yang ditulis di dalam ke-empat Injil (Mat 14:13-21; Mrk 6:32-44; Luk 9:10-17; Yoh 6:1-15). Lima roti yang sama yang dibagikan oleh para rasul dapat memberi makan 5000 orang, dengan sisa 12 keranjang. Ini menggambarkan Yesus yang satu dan sama hadir dalam Ekaristi, dapat dibagikan kepada semua orang, tanpa Dia sendiri menjadi terbagi-bagi atau berkurang/ hilang.
  • Yesus berkata bahwa Ia lebih tinggi nilainya dari pada manna yang diberikan kepada orang Israel di gurun. Padahal mukjizat manna adalah suatu mukjizat yang besar, setiap harinya berjuta orang Israel menerima 1 omer (1.1 liter) roti manna per orang, sehingga tiap harinya ada beberapa ratus ton roti manna tercurah dari langit, selama 40 tahun. ((Lihat Father Frank Chacon, Ibid., p. 10.)) Yesus mengatakan bahwa mukjizat-Nya lebih hebat daripada mukjizat manna ini, sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa di dalam Ekaristi, roti dapat sungguh-sungguh diubah Yesus menjadi diri-Nya sendiri, seperti yang dikatakan-Nya.
  • Orang-orang yang mendengarkan pengajaran ‘Roti Hidup’ ini memahami bahwa Yesus mengajarkan sesuatu yang literal (tidak figuratif/ simbolis), sehingga mereka meninggalkan Yesus sambil berkata, “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya untuk dimakan” (Yoh 6:52)
  • Yesus menggunakan gaya bahasa yang kuat untuk menjelaskan arti literal pengajaran ini dengan mengulangi pengajaran ini sampai 6 kali di dalam 6 ayat (ay. 53-58),… jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu (Yoh 6:53); Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman (Yoh 6:55). Ini adalah gaya bahasa yang bukan kiasan/ simbolis!
  • Banyak murid tidak dapat menerima pengajaran ini, dan meninggalkan Yesus (ay.66), tetapi Yesus tidak menarik kembali pengajaran-Nya tentang diri-Nya sebagai “Roti Hidup”. Dia tidak mengatakan bahwa Dia hanya berkata secara figuratif/simbolis. Pada beberapa kesempatan, jika Ia berbicara secara figuratif, Yesus menerangkan kembali maksud perkataan-Nya pada para murid-Nya yang mengartikannya secara literal. (Contohnya pada Yoh 4:31-34, Yesus menjelaskan bahwa ‘makanan-Nya yang tidak mereka kenal’ adalah melakukan kehendak Bapa yang mengutus-Nya. Atau pada Mat 16:5-12; tentang ragi orang-orang Farisi dan Saduki, maksudnya adalah bukan ragi secara literal, tetapi pengajaran mereka) ((Lihat Father Frank Chacon, Ibid., p. 11.))
  • Setelah banyak yang meninggalkan Dia karena pengajaran ini, Yesus bahkan bertanya kepada ke dua-belas rasulNya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?”(Yoh 6:67). Namun Petrus menjawab, “Tuhan kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal (Yoh 6:69). Pertanyaan yang sama ditujukan pada kita, apakah kita mau percaya akan pengajaran ini seperti Petrus, ataukah kita seperti murid-murid lain yang meninggalkan Dia?
  • Rasul Paulus mengingatkan jemaat agar tidak menerima Ekaristi secara tidak layak, supaya tidak berdosa terhadap Tubuh dan Darah Tuhan (1 Kor 11:27). Rasul Paulus juga menambahkan, jika seseorang makan dan minum tanpa mengakui Tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya sendiri (1 Kor 11:28-29). Pengajaran ini tidak masuk di akal, jika kehadiran Yesus dalam Ekaristi hanya simbolis belaka. Kesimpulannya, St. Paulus jelas mengajarkan bahwa Yesus sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi.

3. Bukti dari para Bapa Gereja di abad awal

Tulisan para Bapa Gereja di abad awal merupakan bukti yang sangat penting tentang ‘keaslian’ pengajaran tentang Ekaristi. Para Bapa Gereja merupakan saksi yang menjamin keaslian pengajaran Alkitab, karena mereka sungguh-sungguh menyaksikan para rasul mengajar dan menuliskan Injil, seperti Rasul Matius, Yohanes dan St. Paulus menuliskan surat-suratnya. Melalui tulisan-tulisan mereka, kita mengetahui Tradisi Suci para Rasul, seperti Kehadiran Yesus dalam Ekaristi, Misa Kudus, kepemimpinan Rasul Petrus, devosi kepada Maria, Api penyucian, dll. Semua pengajaran ini adalah pengajaran yang diteruskan oleh Gereja Katolik. Berikut ini adalah para Bapa Gereja yang mengajarkan tentang kehadiran Yesus di dalam Ekaristi:

  1. Ignatius dari Antiokhia, murid dan pembantu Rasul Yohanes, uskup ke-3 di Antiokhia. Tahun 110 ia menulis 7 surat kepada gereja-gereja sebelum kematiannya sebagai martir di Roma. Pada suratnya ke gereja di Smyrna, St. Ignatius menyebutkan bahwa mereka yang tidak percaya kepada ‘Kehadiran Yesus di dalam Ekaristi’ adalah sesat (‘heretics‘). ((Terjemahan dari Letter to Smynaeans 6, 2; Jurgens, p.25, #64, “Perhatikanlah mereka yang memegang pendapat yang bermacam-macam tentang rahmat Yesus Kristus yang diberikan kepada kita, dan lihatlah bagaimana pendapat mereka bertentangan dengan pikiran Tuhan… Mereka menolak Ekaristi dan doa, karena mereka tidak mengakui bahwa Ekaristi adalah sungguh Tubuh Yesus Kristus Penebus kita. Tubuh yang sudah menderita demi dosa-dosa kita, dan yang telah dibangkitkan oleh Allah Bapa dengan kebaikan-Nya.”)) Kepada gereja di Roma, St. Ignatius menuliskan imannya tentang Ekaristi yang sungguh-sungguh adalah Tubuh dan Darah Yesus. ((Terjemahan dari Letter to the Romans 7,3, Jurgens, p.22, # 54a., “Aku tidak menginginkan makanan sementara maupun kesenangan untuk hidup ini. Aku menginginkan Roti dari Tuhan, yaitu Tubuh (Flesh) Yesus Kristus, yang adalah keturunan Daud, dan untuk minum, aku menginginkan Darah-Nya, yang adalah kasih yang abadi.”))
  2. St. Yustinus Martir, pengikut Kristus pada tahun 130, yang mendapat pengajaran dari Rasul Yohanes, seorang Apologist yang terkenal di abad ke-2. Pada tulisannya kepada Emperor di Roma, yaitu “Apology” pada tahun 150, St. Yustinus juga menjelaskan kebenaran pengajaran tentang kehadiran Yesus di dalam Ekaristi. ((Terjemahan dari First Apology 66, 20; Jurgens, p. 55, # 128, “Kami menamakan makanan ini Ekaristi; dan tidak ada seorangpun yang diizinkan untuk mengambil bagian di dalamnya, kecuali bagi yang percaya bahwa pengajaran kami adalah benar … Sebab bukan sebagai roti biasa atau minuman biasa kami mempercayai ini; tetapi karena Yesus Kristus telah dilahirkan melalui Sabda Tuhan dan memiliki tubuh dan darah untuk keselamatan kita, demikian pula, seperti kami diajarkan, makanan yang telah dijadikan sebagai Ekaristi dengan doa Ekaristi sebagaimana diajarkan oleh-Nya, dan dengan perubahannya yang menguatkan tubuh dan darah kami, adalah Tubuh dan Darah dari Yesus, Sabda yang menjadi manusia.”))
  3. St. Irenaeus, uskup Lyons, hidup tahun 140-202. Ia murid St. Polycarpus yang adalah murid Rasul Yohanes. Dengan menuliskan bukunya yang terkenal, “Against Heresies” (195), ia menghancurkan pandangan sesat yang bertentangan dengan kepercayaan Gereja yang dipegang oleh para rasul. ((Terjemahan dari Against Heresies 5,2,2; Jurgens, p.99, #249, “Ia(Yesus) telah menyatakan piala itu, sebagai bagian dari ciptaan, sebagai Darah-Nya sendiri, daripadanya Ia menyebabkan darah kita mengalir; dan roti itu, sebagai bagian dari ciptaan, Dia telah menjadikannya sebagai Tubuh-Nya sendiri, daripadanya Ia memberikan pertumbuhan pada tubuh kita.”))
  4. St. Cyril dari Yerusalem, pada tahun 350 mengajarkan agar kita sebagai pengikut Kristus percaya sepenuhnya akan kehadiran Yesus di dalam Ekaristi, sebab Yesus sendiri yang mengatakannya ((Terjemahan dari Catechetical Lectures: 22 (Mystagogic 4),1; Jurgens, p. 360, #843, “Dia (Yesus), dengan demikian, menyatakan dan mengatakan tentang Roti itu, “Ini adalah Tubuh-Ku,” siapa yang akan berani untuk terus meragukan? Dan ketika Ia sendiri mengatakan, “Ini adalah Darah-Ku,” siapa yang dapat ragu dan mengatakan bahwa itu bukan Darah-Nya?”
    Terjemahan dari Catechetical Lectures: 22 (Mystagogic 6),1; Jurgens, p. 361, #846, “Karena itu, jangan menganggap bahwa roti dan anggur itu hanya semata-mata roti dan anggur, sebab mereka adalah, menurut perkataan Tuhan kita, Tubuh dan Darah Kristus. Walaupun perasaan mengatakan kepadamu sesuatu yang lain, biarlah iman membuat kamu teguh percaya. Jangan melihat berdasarkan rasa, tetapi percayalah penuh dengan iman, jangan meragukan, bahwa kamu telah dianggap layak untuk menerima Tubuh dan Darah Kristus.”))
  5. St. Hilary, uskup Poitiers, Perancis, tahun 315-367. Dengan karyanya, “On the Trinity” (356), St. Hilary mengajarkan kehadiran Kristus dalam Ekaristi yang kita terima menjadikan kita tinggal di dalam Kristus dan Kristus di dalam kita. ((Terjemahan dari On the Trinity, Bk 8, Ch 14: dikutip oleh John Willis, S.J., dalam The Teachings of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002), p. 405, ” Dia (Yesus) sendiri berkata: ‘Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku tinggal dalam Aku dan Aku di dalam Dia’ (Yoh 6:55,56). Kita tidak boleh meragukan rupa tubuh dan darah itu, sebab sesuai dengan pernyataan dari Tuhan sendiri, dan sesuai dengan iman kita, ini adalah daging dan darah (Kristus). Dan kedua rupa ini yang kita terima menjadikan kita tinggal di dalam Kristus dan Kristus di dalam kita….”))

Para Bapa Gereja ini membuktikan bahwa jemaat Kristen awal percaya akan Kehadiran Yesus di dalam Ekaristi.  St. Ignatius dari Antiokhia adalah murid Rasul Yohanes, sedangkan St. Yustinus Martir dan St. Irenaeus belajar langsung dari murid-murid Rasul Yohanes. Mereka semua mendapat pengajaran dari Rasul Yohanes yang menulis tentang Yesus sebagai “Roti Hidup” (Yoh 6). Siapa yang dapat mengatakan bahwa ia lebih memahami pengajaran Yesus tentang ‘Roti Hidup’ ini dari pada mereka yang mendengar langsung/ murid dari Rasul Yohanes?

Kesimpulan

Jika kita dengan hati terbuka mempelajari Alkitab, dan tulisan para Bapa Gereja, kita akan melihat bahwa kenyataan menunjukkan bukti yang kuat yang mendasari pengajaran Gereja Katolik tentang Kehadiran Yesus secara real dan substansial di dalam Ekaristi. Yesus sendiri hadir di dalam Ekaristi, di dalam rupa roti dan anggur, dan sudah menjadi kehendak-Nya agar kita mengenangkan Dia melalui perjamuan ini, agar kita dapat mengambil bagian di dalam Misteri Paska-Nya yang mendatangkan keselamatan bagi dunia. Ekaristi adalah cara yang dipilih Yesus agar kita dapat tinggal di dalam Dia dan Dia di dalam kita. Percaya penuh akan kehadiran-Nya di dalam Ekaristi dan menerima Ekaristi dengan sikap yang benar merupakan bentuk perwujudan iman dan kasih kita kepada Tuhan yang terlebih dahulu mengasihi kita sampai wafat di salib. Mari kita menerima dengan hati terbuka, cara Yesus mengasihi kita di dalam Ekaristi. Mari kita berdoa, agar makin hari kita makin dapat menghayati kasih-Nya yang tak terbatas, yang tercurah pada kita melalui Sakramen yang Maha Kudus ini…

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 2)

14

Mengapa kita berdoa?

Doa sudah menjadi bagian hakiki dari kehidupan semua orang dari semua agama, karena manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya. (KGK, 31, 356, 1721, 2002) Dalam tulisan pertama telah dibahas kesalahan persepsi doa, yaitu: Tuhan tidak campur tangan dalam kejadiaan di dunia ini. Dengan pembuktian yang sama dari St. Thomas Aquinas, kita akan menelusuri kesalahan persepsi kita tentang doa yang ke-2.

Kesalahan 2: Semua sudah ditakdirkan Tuhan, sehingga berdoa tidak mengubah apapun.

Kesalahan kedua adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa berdoa itu percuma, karena semua sudah ditakdirkan. Berapa banyak orang yang mengatakan, kalau semua sudah ditakdirkan, maka tidak ada gunanya lagi berdoa, karena tidak akan mengubah apapun. Sering orang mengatakan “sudah nasib saya begini, doa atau tidak doa sama saja.”

Kalau kita meneliti pernyataan-pernyataan di atas, sebetulnya ada kecenderungan untuk menyalahkan Tuhan. Apakah kita pernah berkata “Ya memang sudah nasib saya untuk menjadi kaya – atau menjadi pintar – atau saya sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang yang baik.” Dalam hal-hal yang menurut kita positif dan bagus, kita cenderung untuk diam saja, seolah-olah memang itu sudah layak dan sepantasnya. Namun pada saat terjadi sesuatu yang kurang baik, kita cenderung untuk menyalahkan Tuhan dengan tameng “nasib atau takdir.”

Bukankah ini sama saja seorang yang ditanya “Kamu kaya, pintar, juga baik. Bagaimana kamu bisa mendapatkan semua itu?” Anak itu menjawab “Oh, saya berusaha dengan sekuat tenaga untuk bekerja, membaca buku dan juga aktif dalam kegiatan Gereja.” Kemudian ada seseorang yang ditanya “Kamu kok hidupnya menderita sekali, sekolah tidak selesai dan pekerjaan juga susah.” Dan kemudian anak ini menjawab “Oh, memang saya sudah ditakdirkan seperti ini, saya sudah usaha dan doa, namun tetap saja sial. Mungkin ini juga bawaan dari orang keluarga saya. Semua saudara-saudara saya juga mengalami nasib seperti saya.”

Kalau kita mau jujur, Tuhan sebetulnya sering menjadi kambing hitam dalam masalah-masalah yang kita hadapi. Seolah semua kejadian yang baik adalah hasil kerja dan usaha kita sendiri, sedang sesuatu yang buruk terjadi karena takdir Tuhan. Mari, sekarang kita melihat dengan lebih teliti kesalahan kedua tentang persepsi doa.

Prinsip sebab-akibat dan urutan kejadian sampai doa dikabulkan.

Untuk meluruskan pendapat ini, pertama kita harus melihat bahwa Tuhan memberikan kepada kita bukan hanya “akibat“, namun “sebab“, dan juga “rangkaian dari sebab-akibat.” ((St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.2.)) Sebagai contoh: kita berdoa untuk minta pekerjaan. Akibat yang diinginkan adalah pekerjaan. Namun Tuhan memberikan sebab dan rangkaian kejadian, seperti: kita diberi semangat juang untuk mengisi formulir aplikasi pekerjaan, kita diberi kesempatan untuk bertemu dengan teman lama, atau diberi ide untuk memulai usaha sendiri, dll. Hal ‘sebab atau kejadian’ ini akan mengarah kepada sebab yang lain, dan seterusnya, sampai kita mendapatkan pekerjaan (yaitu akibat), jika semuanya ini sesuai dengan kehendak Tuhan.

Sebagai orang tua, kita bisa melihat contoh yang jelas pada anak-anak. Pada waktu saya tinggal bersama dengan keponakan-keponakan, saya sering melihat mereka bermain “puzzle.” Dan sering mereka meminta pertolongan saya. Reaksi saya biasanya tidak dengan secara langsung membantu mereka, namun memberikan ide-ide kepada mereka untuk menyelesaikannya sendiri, sebagai contoh: coba lihat warna yang sama, coba cari bagian pojok, terus cari juga bagian tepi, dll. Dengan cara seperti ini, maka keponakan saya dapat belajar menyelesaikan puzzle dengan kapasitas mereka. Pertanyaannya, apakah saya tidak membantu keponakan saya? Tentu saja saya membantu, dengan cara yang lebih baik daripada yang mereka inginkan, walaupun sering mereka tidak bisa melihatnya.

Dengan prinsip yang sama, Tuhan juga membantu kita. Masalahnya bukan dengan cara yang kita inginkan, namun dengan cara-Nya sendiri yang melebihi pemikiran kita (lih Yes 55:9). Begitu sering kita mendengar kesaksian tentang seseorang yang ingin mendapatkan pekerjaan. Mereka bertekun dalam doa, namun Tuhan menjawab dengan cara-Nya yang ajaib yang tidak pernah mereka pikirkan. Bukan hanya pekerjaan, namun mereka juga mengalami proses pertobatan, dan hubungan mereka dengan Tuhan dan sesama juga diperbaharui. Sebab bagi Tuhan, pekerjaan bukanlah yang paling penting, namun proses pertobatan dan pemulihan hubungan dengan Tuhan dan sesama yang diinginkan Tuhan.

Tuhan adalah kasih.

Satu hal yang harus kita pegang teguh, Tuhan adalah kasih (1 Yoh 4:8b). St. Paulus menyanyikan senandung kasih di 1 Kor 13:4-7 dengan begitu indahnya. Namun apa yang menyebabkan kasih? Penyebab dari kasih adalah “kebaikan / good“. ((St. Thomas Aquinas, ST, II-I, q.27, a.1.)) Jadi kalau kita mengasihi seseorang, kita melihat “sesuatu yang baik,” ataupun kita “menginginkan sesuatu yang baik” bagi orang tersebut. Tuhan, di dalam kasih-Nya yang sempurna melihat sesuatu yang baik dari manusia, dan Tuhan juga menginginkan sesuatu yang baik terjadi untuk manusia.

Kita melihat contoh bagaimana seorang wanita Samaria meminta air kepada Yesus, dengan harapan bahwa wanita itu tidak perlu menimba air lagi (Yoh 4:15). Dalam kasih-Nya yang sempurna, Yesus melihat sesuatu yang baik dan menginginkan kebaikan buat wanita Samaria itu. Yesus bukan saja memberikan air, namun Yesus memberikan kepada wanita itu “Air Kehidupan”, yaitu Yesus sendiri. Namun untuk sampai ke tahap tersebut, Yesus melakukan sesuatu, yaitu menghadapkan wanita itu dengan kenyataan tentang diri wanita itu sendiri, yaitu bahwa ia adalah seorang yang berdosa. Setelah itu, baru Yesus membuka identitas diri-Nya, yaitu Mesias. Tiga hal terjadi dalam hal ini: 1) pengetahuan tentang diri sendiri, 2) pengetahuan tentang Tuhan, 3) dan kedua hal tersebut menimbulkan kerendahan hati. Mengetahui bahwa Yesus adalah segalanya, dan kita adalah bukan apa-apa, akan menimbulkan kerendahan hati. Sikap ini adalah sikap yang paling diperlukan dalam doa. Katekismus Gereja Katolik 2559 mengatakan bahwa “kerendahan hati adalah dasar doa.”

Tuhan tidak pernah menakdirkan sesuatu yang buruk untuk manusia.

Pengetahun Tuhan yang benar, bahwa Dia adalah maha dalam segalanya, termasuk Maha Kasih, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Tuhan tidak pernah menginginkan sesuatu yang yang buruk terjadi pada manusia. Tuhan tidak mungkin menyangkal diri-Nya sendiri, yang pada hakikatnya adalah kasih (Lih 2 Tim 2:13). Bahkan Tuhan sendiri mengatakan bahwa rencana-Nya adalah damai sejahtera dan bukanlah rancangan kecelakaan (Yer 29:11). Namun kalau demikian, kenapa terjadi begitu banyak penderitaan dan ketidakadilan di dunia ini? (pembahasan hal ini akan ditulis dalam artikel tersendiri – penderitaan di dunia ini: di manakah Tuhan? ).

Lalu kenapa doa saya tidak dikabulkan?

Lalu, kalau Tuhan tidak mempunyai rencana yang buruk, kenapa kalau saya berdoa tidak dikabulkan? Kembali, kita harus menghubungkan semuanya dengan prinsip “akibat“, “sebab“, dan “rangkaian sebab-akibat” seperti yang telah diterangkan di atas, dan juga dengan prinsip “Tuhan adalah kasih.” Dengan kedua prinsip ini, maka apapun hasil dari doa akan bisa kita terima semuanya dengan lebih lapang dada.

Marilah merefleksikan kembali kejadian-kejadian yang silam, pada waktu kita berdoa untuk sesuatu, baik pekerjaan, masalah rumah tangga, hubungan dengan atasan, keuangan, dll. Mungkin pada waktu kita mengalami kejadian-kejadian tersebut, seolah-olah Tuhan tidak mendengarkan dan membantu kita. Hal ini disebabkan karena cerita dan rangkaian sebab-akitab yang akan terjadi belum selesai. Namun, setelah kejadian tersebut terlewati, maka kita dapat melihat “akibat”, “sebab”, dan “rangkain sebab-akibat”, dan juga bagaimana sebetulnya semuanya saling berhubungan dan menghasilkan sesuatu yang mungkin lebih baik daripada yang kita pernah pikirkan. Tuhan membantu kita dengan cara-Nya sendiri, bahkan cara-Nya jauh lebih bijaksana dari apa yang kita inginkan dan pikirkan. Tuhan mengatakan bahwa “RancanganKu bukanlah rancanganmu, dan jalanKu bukanlah jalan-Mu (lih. Yes 55:8).”

Lalu kenapa hasilnya berbeda dengan yang saya inginkan?

Selain Tuhan memberikan cara dan waktu yang berbeda dengan yang kita inginkan, Tuhan juga memberikan hasil (akibat) yang berbeda dengan yang kita inginkan. Hal ini disebabkan karena Tuhan adalah kasih, menginginkan sesuatu yang terbaik terjadi dalam kehidupan kita. Contohnya, kadang orang tua tidak mengabulkan semua permintaan anaknya, karena kalau semua permintaan dikabulkan, maka hal itu akan merusak perkembangan anak mereka dan bahkan bisa membahayakan kehidupan mereka. Kalau orang tua dalam kasih dan kebijaksanaannya yang terbatas dapat melakukan ini, maka Tuhan, dalam kasih dan kebijaksaan-Nya yang tak terbatas, melakukan hal yang sama dengan cara yang paling sempurna.

Percayalah kepada Tuhan

Kita dapat memberikan keberatan-keberatan yang lain. Namun pada akhirnya semua bermuara kepada “Tuhan seperti apakah yang kita percayai? Apakah Tuhan yang hanya siap menghukum yang bersalah atau Tuhan yang bijaksana dan penuh kasih?” Suatu saat saya punya kesempatan untuk bermain dengan keponakan saya di suatu tempat yang namanya “sliding rock“. Sliding rock ini sebenarnya seperti kali yang dasarnya bukan kerikil, tapi batu-batu besar yang licin, sehingga kita bisa duduk atau merebahkan diri di atas batu dan tubuh kita bisa terseret oleh arus air tanpa tergores. Nah, keponakan saya ingin sekali mencobanya, tetapi takut. Kemudian saya berkatanya “Andrew, ayo kita sama-sama mencoba.” Namun dia ketakutan dan memberikan alasan bermacam-macam, seperti: bagaimana kalau saya terbentur batu, kalau airnya masuk ke hidung dan telinga, kalau kaki saya terkilir, dll. Saya mencoba meyakinkan dia agar supaya dia tidak takut, namun tidak berhasil. Kemudian saya mengatakan ini kepadanya, “Andrew, coba lihat saya. Apakah kamu percaya kepadaku bahwa aku akan melindungimu?” Kemudian dia menatap mata saya, dan berkata lirih “… ya, saya percaya.” Kemudian kami mencoba sliding rock bersama-sama, dan akhirnya kami mengulanginya berkali-kali, karena Andrew senang sekali bermain ‘sliding’.

Hal yang sama terjadi dalam kehidupan doa kita. Kita dapat memberikan pertanyaan, protes dan keberatan kepada Tuhan akan tidak atau belum terjawabnya doa kita. Namun Tuhan mengatakan kepada kita masing-masing “Lihatlah pada-Ku… apakah engkau percaya bahwa Aku mengasihimu? Aku yang tidak ragu-ragu untuk memberikan Putera-Ku datang ke dunia untuk menyelamatkanmu. Percayakah engkau bahwa Aku mempunyai rancangan indah dalam hidupmu? Percayakah engkau bahwa Aku memegang tanganmu setiap saat, terutama pada saat engkau mengalami permasalahan?”

Marilah kita berdoa.

Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

Ya, Tuhan, pada saat ini, kembali aku menghadap Engkau dengan segala kerendahan hati. Aku mengakui bahwa Engkau mengetahui segalanya, dan Engkau juga mengetahui yang terbaik untuk kehidupanku. Tuhan, ubahlah hatiku, agar aku dapat sepenuhnya percaya kepada penyelenggaraan tangan-Mu. Tolonglah, agar aku percaya bahwa Engkau turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan dalam hidupku, terutama agar aku dapat mengalami bahwa Engkau dekat padaku dan selalu menopangku. Dalam nama Yesus, aku naikkan doa ini.

Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

Pertobatan Zakeus (Luk 19:1-10)

8

Pembahasan secara garis besar:

Di kota Yerikho, tinggal seorang kepala pemungut pajak, Zakheus, yang sangat dibenci oleh orang banyak. Ia adalah koruptor, dan penghianat bangsa, karena dia menarik uang lebih daripada yang seharusnya, dan dia bekerja pada pemerintah Roma, yang pada waktu itu menjajah bangsa Yahudi. Semua orang tidak mau berteman dengannya, walaupun ia sangat kaya. Orang-orang memandang dia sebagai seorang pendosa yang harus dijauhi.

Sebelum lewat di kota Yerikho, Yesus menyembuhkan orang buta di tengah jalan. Maka orang-orang banyak mengerumuni Dia, demikian juga Zakheus. Namun karena badannya pendek, maka ia memanjat pohon ara untuk dapat melihat Yesus dengan jelas. Yesus mengetahui maksud hati Zakheus, maka ketika Ia lewat, Dia memandang Zakheus dengan penuh kasih. Dia memanggil nama “Zakheus”, dan bahkan mau tinggal dan makan bersama dengannya.

Kasih inilah yang merubah kehidupan Zakheus, dan ia mengalami pertobatan yang benar. Pertobatan/Metanoia adalah perubahan sikap 180 derajat. Berubah dari sikap dosa dan berbalik kepada Kristus, serta menyadari jati diri kita yang sebenarnya, sebagai anak-anak Allah. Itu juga yang dialami oleh Zakheus, setelah mengalami kasih dari Tuhan, mengalami pertobatan, dia mau memperbaiki hidup, dan membagi kasih kepada orang lain, termasuk orang-orang yang pernah dia rugikan.

Kita semua adalah seperti Zakheus, yang datang dengan latar belakang yang berbeda, dan kita ingin melihat Tuhan, serta mengalami jamahan kasih-Nya. Tidak ada kesalahan yang terlalu besar bagi Tuhan untuk diampuni. Dimana dosa semakin besar, maka kasih-Nya akan semakin besar dan nyata. Tuhan tidak mempermasalahkan masa lalu, dosa-dosa kita. Yang Dia mau adalah, kita menyadari akan semua dosa-dosa kita, bertobat, dan mengalami kasih-Nya yang begitu besar. Kasih yang sempurna, kasih yang “Agape”, yang bukan dari dunia ini, yang dapat merubah segalanya.

Orang yang sudah mengalami jamahan kasih Allah, seharusnya tidak boleh menjadi manusia yang sama lagi. Kehidupannya harus benar-benar berubah, karena tidak ada kasih yang dapat disimpan sendiri. Dengan sendirinya kasih ini akan mengalir keluar, dan akan menular dengan cepat. Alangkah indahnya, jika di dalam keluarga, komunitas, lingkungan, dan paroki kita, semua orang mengalami kasih Allah yang benar-benar nyata, dan membagikannya kepada semua orang. Dunia kita akan menjadi tempat bagi kita untuk mempraktekkan hukum Tuhan, yaitu hukum cinta kasih. Tempat bagi kita untuk melakukan pelayan dengan penuh kasih dan sukacita.

Pembahasan ayat-ayat

Luk 19:1: Yesus masuk ke kota Yerikho dan berjalan terus memasuki kota itu.

Yerikho adalah suatu kota di mana terletak di sebelah Timur dari Yerusalem, dan dekat dengan sungai Yordan. Ditempat inilah tempat tembok yang terkenal, yaitu tembok Yerikho yang dirubuhkan oleh Yosua, atas bantuan Tuhan. Ketika itu para iman berjalan mengelilingi tembok dan pada hari ketujuh mereka mengeliliungi tembok Yerikho dan bersorak sorai, dan tembok itu runtuh (Yos 6:13-16). Di tempat ini juga yang menginspirasikan lagu “Dari Yerikho ke Yerusalem ada jalan belas kasih ….). Ketika itu seorang Samaria menolong seorang yahudi, setelah dia dirampok. Juga ada seorang buta, yang disembuhkan Yesus (Lukas 18:35-43). Dan ditempat inilah terjadi suatu drama kehidupan, yang memberikan pengharapan kepada semua pendosa, termasuk kita semua, yaitu drama kasih yang membawa pertobatan yang sejati, kisah Zakheus.

Luk 19:2 Di situ ada seorang bernama Zakheus, kepala pemungut cukai, dan ia seorang yang kaya.

Zakheus yang berarti “suci” , dari Zakchaios, atau “zakkay”.
Dia yang memang suci, karena dimurnikan sendiri oleh Yesus Kristus. Dia seorang pendosa yang diubah oleh Yesus menjadi seorang kudus.

Dia adalah seorang pemungut cukai, bahkan kepala dari pemungut cukai di daerah Yerikho. Sebagai latar belakang, pada masa pemerintahan Roma, orang-orang Yahudi diharuskan untuk membayar pajak kepada kaisar/pemerintah Roma. Dan amatlah umum pada masa itu, bahwa seorang pemungut pajak, biasanya menarik pajak lebih daripada yang ditetapkan oleh pemerintah Roma. Dengan kebiasaan seperti itu, maka seorang pemungut pajak menjadi sangat dibenci rakyat. Karena Zakheus seorang yahudi, maka dia dianggap seorang yang berkhianat terhadap bangsanya sendiri, karena dia bekerja pada pemerintah Roma, bangsa penjajah.

Zakheus, dengan pekerjaannya sebagai pemungut pajak, adalah seseorang yang mengambil hak orang lain yang bukan menjadi haknya, dalam hal ini adalah uang milik masyarakat. Dengan cara seperti inilah Zakheus menjadi kaya.

Permenungan: Apakah kita seperti Zakheus, yang mengambil hak orang lain?

  • Sebagai orangtua, apakah kita mengambil hak anak-anak, yang berhak untuk bercanda, bercerita, dan bersukacita bersama-sama dengan orang tuanya?
  • Sebagai seorang guru, apakah kita memberikan yang menjadi hak bagi murid, yaitu untuk mengetahui kebenaran, juga memberikan nilai-nilai moral yang benar?
  • Sebagai seorang Katolik, apakah kita sudah memberikan hak kepada keluarga, masyarakat, untuk membiarkan mereka mengetahui, bagaimana sebenarnya iman Katolik yang benar, yang berdasarkan kasih yang sejati?
  • Sebagai umat Tuhan, apakah kita juga sudah memberikan apa yang menjadi hak Tuhan, untuk disembah dan dimuliakan? Apakah kita juga seperti Zakheus, yang “korupsi waktu”, waktu untuk pergi ke gereja, waktu berdoa, waktu membaca alkitab, berkomunitas, dll?
  • Tuhan tidak menentang kita untuk menjadi kaya, namun Tuhan menentang, jika kekayaan yang ada didapat dengan cara yang tidak halal, dan merugikan orang lain.

Luk 19:3 Ia berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu, tetapi ia tidak berhasil karena orang banyak, sebab badannya pendek.

Zakheus, tentu sudah mendengar tentang Yesus, dimana terlihat dari keinginannya untuk melihat Yesus. Dia sudah mendengar, bagaimana Yesus sudah menyembuhkan begitu banyak orang dari berbagai macam penyakit, juga membuat begitu banyak mukjijat. Dia juga mungkin sudah mendengar, bagaimana Yesus tidak pernah menolak seorangpun untuk datang kepada-Nya, juga termasuk pendosa …..

Namun karena keterbatasannya, karena badannya pendek, dan juga ada begitu banyak orang, maka kita dia tidak dapat melihat Yesus.

Permenungan: Apakah kita seperti Zakheus, yang juga mempunyai keterbatasan untuk bertemu dengan Yesus?

  • Mungkin karena situasi pekerjaan kita, yang menuntut kita harus begitu sibuk, kita tidak dapat meluangkan waktu untuk berdoa. Mungkin karena kesibukan kita, sebagai seorang istri, begitu sibuk dengan melayani anak-anak, sehingga tidak ada waktu untuk Tuhan. Juga sebagai aktifis di gereja, membuat kita terlalu sibuk dengan urusan gereja, sehingga tidak dapat meluangkan waktu untuk berdoa?
  • Apakah kita juga terhalang bertemu dengan Yesus, karena orang lain? Mungkin kita takut ditertawakan ketika kita mau menunjukkan bahwa kita adalah murid Yesus. Kita takut dianggap sok suci. Kita tidak mau korupsi, tapi semua orang korupsi, sehingga kalau kita tidak ikut-ikut, maka kita takut dijauhi dan dibenci rekan sekerja kita. Kalau kita tidak ikut nyontek, merokok, kita takut dianggap banci oleh teman sekolah kita?
  • Bagaimana kita dapat bertemu dengan Yesus?
    • Berdoa: Yer 29:12-13 (Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu; apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati).
      Apakah kalau macet di jalan, menunggu anak di sekolah, pada saat mencuci piring, dll, kita melakukannya dengan doa?
    • Membaca Firman Tuhan: 2Ti 3:15 (Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus).
      Apakah kita benar-benar meluangkan waktu untuk membaca Firman-Nya, yang sebenarnya adalah surat kasih dari pencipta kita?
    • Komunitas: Mat 18:20 (Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”).
      Apakah kita lebih suka berkumpul untuk memuji Tuhan, ataukah kita lebih suka berkumpul untuk ke café, ngerumpi, belanja, dll?
    • Pelayanan Kasih: Mat 25:45 (Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku).
      Apakah kita juga peka terhadap orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan kita? Mungkin tidak dalam bentuk uang, namun perhatian dan kasih.
    • Sakrament-sakrament, secara istimewa dalam Perayaan Ekaristi: 1 Kor 10:16 (Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus?).
      Apakah kita benar-benar percaya, bahwa Yesus hadir dalam rupa roti dan anggur dalam perayaan ekaristi? Kalau ya, apakah kita merasa cukup untuk menerimanya seminggu sekali? Apakah kita menghadiri perayaan ekaristi setiap Jum’at pertama? Misa harian? Adorasi di hari-hari tertentu?

Luk 19:4 Maka berlarilah ia mendahului orang banyak, lalu memanjat pohon ara untuk melihat Yesus, yang akan lewat di situ.

Zakheus tidaklah menyerah karena keterbatasannya, dan karena orang banyak yang menghalangi dia untuk bertemu dengan Yesus. Yang dia lakukan adalah memanjat pohon ara.

Permenungan: Apakah kita seperti Zakheus, yang mau terus berusaha untuk bertemu dengan Yesus, dengan segala keterbatasannnya?

  • Marilah kita lihat segala keterbatasan yang kita miliki. Mungkin kita terbatas karena waktu luang yang kita miliki adalah sedikit. Kita tidak mempunyai waktu untuk berdoa. Pertanyaannya adalah, apakah kalau kita diberi waktu lebih, misal pada saat liburan, kita mau meluangkan waktu kita untuk berdoa? Kalau kita mau menjawab dengan jujur, maka kita akan menjawab tidak. Apakah ditengah keterbatasan kita, kita mau berdoa pada saat jalan macet, saat mencuci piring, saat menyapu rumah, saat sebelum dan setelah makan, sebelum dan setelah tidur, atau pada saat kita bermain dengan anak-anak kita?
  • Mungkin ada sebagian dari kita berkata “saya tidak pandai untuk bicara di depan umum. Saya mau melayani, tapi saya tidak mampu”. Bagaimana kalau kita melayani dengan senyuman kita, membawa damai di dalam kelompok atau lingkungan kita? Melayani anggota keluarga dengan sukacita?
  • Kita punya banyak keterbatasan, namun kita juga punya kemampuan untuk berkata “Di tengah keterbatasanku, aku mau seperti Zakheus, yang mau lari dan memanjat pohon ara untuk bertemu dengan Yesus.”

Luk 19:5 Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata: “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.”

Lihatlah…. Karena Zakheus sudah berusaha dengan segala keterbatasannya, dia akhirnya dapat berjumpa dengan Yesus. Benarlah apa yang dikatakan di dalam alkitab, bahwa Dia akan membiarkan diri-Nya ditemukan oleh orang yang mencari-Nya dengan tulus hati.

Dan bagaimana pertemuan Yesus dengan Zakheus? Yesuslah yang terlebih dahulu mengadakan inisiatif. Dia yang terlebih dahulu membuka pembicaan dengan Zakheus. Yang Yesus lakukan adalah:

  • BERHENTI. Yesus berhenti di bawah pohon tempat Zakheus ada. Dia mau berhenti dimana saja, juga ditempat kita ada.
  • Yesus berhenti setiap saat di dalam kehidupan kita, lebih-lebih pada saat kita benar-benar membutuhkan uluran kasih-Nya,
  • MELIHAT KEATAS. Pada saat semua orang memandang rendah Zakheus, Yesus justru melihat keatas, kepada Zakheus. Pada saat mata Yesus bertemu dengan mata Zakheus, mata-Nya bukanlah mata yang benci dan menuduh, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Tatapan mata yang dipancarkan oleh Yesus adalah tatapan penuh kasih.
    Jangan pernah berfikir bahwa kita tidaklah pantas untuk menerima Yesus, karena dosa-dosa kita. Yesus tidak pernah merendahkan kita kalau kita menyadari dosa-dosa kita. Dia akan meninggikan kita, dan membawa kita ke tempat yang seharusnya, yaitu menjadi anak-anak Allah.
  • MEMANGGIL. Bayangkan, tidak ada orang yang memanggil Zakheus dengan namanya. Semua orang memanggil Zakheus dengan sebutan “pemungut cukai”.
    Yesuslah yang juga memanggil kita dengan nama kita masing-masing, “James, Heri, Doni, …” Terlebih dia juga memanggil kita dengan sebutan “sahabat”, karena meskipun kita adalah hamba, namun Dia menganggap kita adalah sabahat-Nya. Yang terpenting, adalah Dia memanggil kita dengan sebutan “anak-anak Allah”. Sebutan yang memungkinkan kita untuk memanggil Allah, sebagai Abba, Bapa, Papa, Bapak.
  • MEMINTA. Jangankan meminta untuk menjadi teman, berbicarapun orang segan kepada Zakheus. Yesus meminta kepada Zakheus untuk dapat tinggal dirumahnya.
    Mungkin pada saat ini, Tuhan Yesus, meminta sesuatu kepada kita. Dan mungkin juga itu adalah permintaan yang sama, yaitu untuk turun dari tempat kita, tempat di mana kita biasa berada. Tempat di mana dosa dan kebiasaan buruk harus ditanggalkan.
  • TINGGAL. Yesus mau tinggal menginap di rumah Zakheus. Tuhan, pencipta langit dan bumi, mau memilih untuk tinggal di rumah Zakheus, sang pendosa, sementara orang menganggap najis untuk menginjakkan kaki di rumah sang pendosa.
    Yesus juga mau tinggal di hati kita, di kehidupan kita, di permasalahan kita. Dia sudah menawarkan dirinya kepada kita. “….. Aku mau tinggal di rumah hatimu”. Lalu apakah jawaban kita?

Permenungan: Apakah kita seperti Zakheus yang mengalami pengalaman yang serupa? ; Pengalaman di mana Yesus yang penuh kasih, mau menerima kita apa adanya?

  • Pada saat kita sakit, kita dapat mengalami Yesus yang begitu baik, yang memberikan kekuatan kepada kita. Dimana Dia selalu memberikan kekuatan.
  • Pada saat kita menerima merayakan ekaristi, lihatlah Yesus yang merendahkan diri-Nya dalam rupa roti dan anggur, supaya kita dapat menerima-Nya di dalam keberadaan kita.
  • Pada saat kita menerima sakrament pengakuan dosa, alamilah Yesus yang penuh belas kasih, dan mau menerima segala kekurangan kita, dan merangkul kita kembali kepada-Nya dan gereja-Nya.

Luk 19:6 Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita.

Dan dikatakan bahwa “….Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita”. Bayangkan jika ada seorang superstar atau presiden yang mengatakan, bahwa dia mau bermalam di rumah kita dan makan bersama kita. Kita tentu akan segera bergegas dan menyambutnya. Inilah, Yesus, Tuhan yang menciptakan seluruh alam semesta, raja dari segala raja, meminta kita, untuk diperbolehkan tinggal di hati kita.

Apa yang dilakukan oleh Zakheus:

  • TURUN. Zakheus turun dari pohon untuk bertemu dengan Yesus secara pribadi. Kita juga harus turun dari ketinggian pohon yang menghalangi kita untuk berjumpa dengan Yesus lebih dekat lagi. Kita harus meninggalkan segala kesombongan kita, masa lalu kita, ketakutan, kekuatiran, merasa sikap merasa tidak dikasihi, kesendirian kita, untuk bertemu secara pribadi dengan Yesus.
  • MENERIMA. Sama seperti Zakheus, pada saat Yesus datang dan memanggil kita, kita harus menerima-Nya. Adalah untuk kebaikan kita untuk menerima panggilan-Nya, agar kita dapat merasakan damai sejahtera dan agar kita mendapatkan kekuatan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini yang penuh tantangan.
  • SUKACITA. Sudah selayaknyalah, bahwa panggilan Tuhan, harus kita sambut dengan sukacita.

Permenungan: Apakah kita seperti Zakheus yang bereaksi sama, yaitu menyambut Yesus dengan penuh sukacita?

  • Pada saat kita menerima Yesus dalam ekaristi, apakah kita juga menyambut-Nya dengan penuh sukacita dan penuh harap?
  • Pada saat kita melayani yang terkecil, anak-anak, saudara satu iman yang membutuhkan bantuan kita, apakah kita melakukannya dengan penuh sukacita? Bagaimana di dalam pelayanan kita, apakah kita melayani Tuhan dengan hati yang bersuka dan gembira?

Luk 19:7 Tetapi semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut, katanya: “Ia menumpang di rumah orang berdosa.”

Semua orang bersungut-sungut, merasa bahwa Yesus yang begitu suci tidak layak untuk tinggal di rumah sang pendosa dan sang pendosa tidaklah layak untuk menerima Yesus, sang Maha Suci.

Permenungan: Apakah kita seperti semua orang yang bersungut-sungut, melihat bahwa Yesus mau tinggal bersama dengan pendosa?

  • Apakah kita sering mengatakan dalam hati kita, bahwa kita lebih baik dari orang lain? Bahwa kita lebih layak untuk melayani Tuhan daripada orang lain?
  • Ketika seorang bekas pemabuk, orang yang tidak pernah ke gereja, tiba-tiba mengalami kasih Kristus, dan menjadi orang yang berubah, kita mungkin mengatakan “Ah, dia khan dulu hidupnya nggak baik… kok sok-soknya melayani begitu. Kalau aku sih memperbaiki hidup dulu, baru melayani.”
  • Kita semua adalah seperti orang banyak dalam cerita ini. Kita semua adalah “orang-orang yang munafik”. Namun Tuhan mengerti segala kekurangan kita, dan Dia yang secara terus-menerus menyempurnakan kita, hingga suatu saat kita akan bertemu Dia, muka dengan muka. Dan pada saat itulah, kita menyerupai Dia, dimana tidak ada selubung kemunafikan lagi, karena semua yang terjadi di dalam kegelapan akan dibawa ke dalam terang.

Luk 19:8 Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.”

Salah satu bentuk dari pertobatan yang benar adalah semangat dan tindak lanjut untuk melakukan sesuatu untuk memperbaiki kesalahan. Yesus mengatakan kepada Maria Magdalena, si pelacur “…. Pergilah dan janganlah berbuat dosa lagi…(Yoh 8:11)”. Dan kasih merubah segalanya. Mungkin ada banyak orang yang mengatakan kepada Zakheus bahwa dia harus berubah, dan mungkin semua itu membuat Zakheus semakin marah. Namun kasih dari Yesus, yang mau menyapa dan tinggal bersama dia, yang mau menerima dia apa adanya, menjadi suatu kekuatan untuk merubah apa yang tidak dapat dia rubah sebelumnya.

Bahkan Zakheus melakukan silih atas segala dosa-dosanya. Mengembalikan empat kali lipat adalah hukum orang Yahudi bagi orang yang mencuri lembu atau domba, dia harus menggantinya empat kali lipat (lihat kel 22:1). Secara hukum/adat dengan mengganti empat kali lipat sudahlah lebih dari cukup, namun tidak bagi Zakheus yang baru saja menerima kasih yang berlimpah dari Yesus. Kasih dari Yesus meluap, seperti yang digambarkan Daud dalam mazmurnya “… pialaku penuh melimpah (Mazmur 23:5)”. Kasih inilah yang mendorong Zakheus untuk melakukan hal yang lain, yang melebihi hukum yang berlaku, melebihi tingkat keadilan, yaitu dengan mengatakan “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin…”

Permenungan: Apakah kita seperti Zakheus, yang sudah mengalami kasih Yesus, dan hidup kita berubah 180 derajat?

  • Apakah kita sudah mengalami kasih yang seperti Zakheus alami, di mana merubah seluruh kehidupan kita? Merubah cara pandang kita terhadap kehidupan ini? Sampai kita mengalami kasih ini, maka kehidupan rohani kita akan berhenti dan tidak bergerak…. Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya Tuhan itu… (Maz 34:8)
  • Apakah kita mengalami kasih yang Tuhan berikan adalah berlimpah dan tidak mungkin kita simpan hanya untuk kita sendiri?

Luk 19:9 Kata Yesus kepadanya: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham.

Yesus mengatakan “… Hari ini, telah terjadi keselamatan…”. Pertobatan yang benar selalu akan menghasilkan keselamatan. Zakheus yang mengalami kasih Tuhan, dan kemudian bertobat dan melakukan silih atas dosa-dosanya, akhirnya mendapatkan sesuatu yang paling berharga, yaitu mendapatkan keselamatan.

Kitapun sama seperti Zakheus, bahwa kita adalah anak-anak Abraham di dalam iman. Kita mempunyai iman seperti Abraham. Abraham dibenarkan karena iman, kitapun dibenarkan karena iman, yaitu iman kepada Yesus Kristus. Namun lebih lagi keselamatan yang kita terima adalah melulu karena berkat Tuhan, pemberiaan cuma-cuma dari Tuhan. Kalau kita mencari siapa yang layak menerima keselamatan, maka semua orang tidaklah layak untuk menerimanya, karena kita semua telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah.

Permenungan: Apakah kita sama seperti Zakheus, yang menerima perkataan Yesus “.. Hari ini terjadi keselamatan, karena engkau sudah beriman kepadaku..?”.

  • Yesus yang pertama-tama merindukan untuk mengucapkan perkataan ini kepada kita semua. Dia rindu agar kita semua, dan seluruh umat manusia untuk mendapatkan keselamatan. Agar hidupnya juga diberkati dan melimpah, dan damai
  • Apakah kita juga menjadi alat Tuhan untuk keselamatan keluarga kita, komunitas kita, tempat kerja kita? Selama kita terus membawa Yesus dalam setiap hal yang kita lakukan, maka kita akan terus menjadi alat-Nya.

Luk 19:10 Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.”

Yesus datang ke dunia ini untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang. Sama seperti gembala yang baik, Ia tidak membiarkan satu dombapun hilang dari kawanannya. Sama seperti yang Dia katakan, bahwa orang sakitlah yang membutuhkan dokter.

Permenungan: Kita semua adalah orang yang sakit, yang membutuhkan dokter, dokter dari segala dokter, yaitu Yesus sendiri.

  • Kita mungkin sakit karena kurang kasih dan perhatian. Tersiksa karena masa lalu kita, dan kuatir akan masa depan. Sakit, karena kurang peka terhadap penderitaan sesama, terlalu egois, mengejar kesenangan sendiri. Mungkin kita sakit, karena menganggap bahwa harta, karir adalah nomor satu dalam hidup ini.
  • Mari pada saat ini kita mengundang Yesus untuk masuk dalam hidup kita, dalam setiap sendi kehidupan kita, dan dalam keberadaan diri kita, sehingga kita dapat menjadi bait suci-Nya yang kudus.

Marilah kita berdoa

Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin

Tuhan Yesus, aku berterima kasih, melalui sabda-Mu, tentang Zakheus, Engkau mengigatkan aku, bahwa Engkau adalah Allah yang berbelas kasih. Engkau tidak mau satupun dari umat-Mu hilang. Tuhan bantu aku untuk menyadari, bahwa akupun sama seperti Zakheus, yang merindukan jamahan kasih-Mu. Aku seringkali berusaha untuk menjadi murid-Mu yang baik, namun aku seringkali gagal, karena segala kelemahan-kelemahanku. Yesus, bantulah aku agar sekali lagi aku boleh mengalami kasih-Mu yang merubah segala sisi kehidupanku. Bantu aku, ya Yesus, agar aku dapat menyadari semua dosa-dosaku dan memutuskan untuk bertobat dan melakukan silih atas semua dosa-dosaku. Bantu aku ya Yesus, untuk menyadari, bahwa hal yang paling penting di kehidupan ini adalah mempersiapkan diri untuk memperoleh keselamatan kekal. Terimakasih Yesus, Engkau sudah wafat di kayu salib untuk menebus dosaku, dan biarlah hatiku senantiasa diisi dengan puji-pujian karena keselamatan yang Engkau berikan secara cuma-cuma kepadaku. Di dalam nama Tuhan Yesus, aku berdoa dan mengucap syukur. .. Amin.

Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin

Maria Dikandung Tanpa Noda: Apa Maksudnya?

58

Bunda Maria tanpa noda: apa maksudnya?

Berikut ini adalah cerita yang tidak ada hubungannya dengan Dogma Maria tersebut, tetapi mungkin dapat membantu kita untuk mengerti konsep dasarnya…

Suatu hari, di suatu desa terpencil, ada seorang (sebut saja bernama Sukri) menemukan kloset duduk yang dibuang di dekat jalan kampung. Ia tidak pernah melihat benda itu seumur hidupnya, sehingga tidak tahu kalau itu adalah kloset (jamban). Dia bahkan mengagumi benda itu, karena dipikirnya ‘antik’. Sukri membawa pulang kloset itu ke rumah dan dibersihkannya sampai ‘kincrong‘. Kebetulan esok harinya Sukri berulang tahun dan dia berencana mengundang teman-teman satu kampung. Dia berpikir, alangkah uniknya jika nasi tumpeng ulang tahunnya diletakkan di dalam ‘benda’ itu (yaitu kloset), supaya ‘penemuan baru’-nya ini dapat dipamerkan kepada teman-temannya.

Sekarang, bayangkanlah, jika anda termasuk di antara orang-orang yang datang ke pesta Sukri. Anda pasti tahu kalau ‘barang’ itu adalah kloset. Apakah reaksi anda begitu melihat nasi tumpeng yang ditempatkan di dalam kloset itu? Ada rasa aneh dan tidak ‘nyambung‘, bukan? Demikianlah, Yesus yang kemuliaan dan kekudusanNya jauh melebihi semua, tidak mungkin lahir ke dunia melalui seorang perempuan yang berdosa. Karena noda dosa itu jauh lebih buruk daripada kloset, dan Yesus itu kemuliaannya jauh mengatasi dan tidak dapat dibandingkan dengan nasi tumpeng; maka kesimpulannya, ada jurang yang tak terjembatani antara keduanya. Nasi tumpeng tak pernah klop diletakkan di dalam kloset; dan tentu, Yesus yang Maha Kudus, tak mungkin dapat dikandung oleh rahim seseorang yang tercemar dosa. Maka oleh kuasaNya, Allah menguduskan rahim itu, membuat ia terbebas dari noda dosa. Karena Tuhan tidak dapat mengingkari diri-Nya sendiri yang tanpa dosa, sama seperti Dia tidak dapat menjadi tidak setia (lih 2 Tim 2:13). Allah menghendaki bahwa Kristus yang akan menjadi Pengantara bagi manusia dan diri-Nya harus terpisah dari orang-orang berdosa (lih. Ibr 7:26) maka artinya, ini mensyaratkan bahwa Ia harus dilahirkan oleh seorang perempuan yang terbebas dari noda dosa. Perempuan ini adalah Santa Perawan Maria.

Dogma Perawan Bunda Maria dikandung tidak bernoda

Pada tanggal 8 Desember 1854, Paus Pius IX mengumumkan Dogma Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda (Ineffabilis Deus), yang menyatakan bahwa Bunda Maria dikandung tanpa noda dosa asal. ((Pada tanggal 8 Desember 1854, Paus Pius IX mengumumkan Dogma Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda (Ineffabilis Deus), yang bunyinya antara lain sebagai berikut: Dengan inspirasi Roh Kudus, untuk kemuliaan Allah Tritunggal, untuk penghormatan kepada Bunda Perawan Maria, untuk meninggikan iman Katolik dan kelanjutan agama Katolik, dengan kuasa dari Yesus Kristus Tuhan kita, dan Rasul Petrus dan Paulus, dan dengan kuasa kami sendiri: “Kami menyatakan, mengumumkan dan mendefinisikan bahwa doktrin yang mengajarkan bahwa Bunda Maria yang terberkati, seketika pada saat pertama ia terbentuk sebagai janin, oleh rahmat yang istimewa dan satu-satunya yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Besar, oleh karena jasa-jasa Kristus Penyelamat manusia, dibebaskan dari semua noda dosa asal, adalah doktrin yang dinyatakan oleh Tuhan dan karenanya harus diimani dengan teguh dan terus-menerus oleh semua umat beriman.”))

Mungkin ada orang bertanya, -terutama mereka yang bukan beragama Katolik- kenapa ada perlakuan khusus buat Bunda Maria, bukankah Maria itu manusia biasa saja seperti kita? Lalu, kenapa baru pada tahun 1854 diumumkan dogma ini, apakah ini pengajaran buatan manusia saja (Paus dan pembantu-pembantunya) ataukah sungguh dari Allah? Mari kita lihat, kenapa kita sebagai orang Katolik percaya bahwa pengajaran ini berasal dari Allah, dan karenanya wajib kita yakini dan kita syukuri.

Bukan pengajaran ‘kagetan’ melainkan sudah diajarkan oleh para Bapa Gereja sejak lama

Gereja Katolik tidak pernah mengubah, menghapus, atau menambah pengajaran “deposit of faith” yang ada padanya sejak dari Gereja awal, namun hanya menjaga dan mempertahankannya. Perlu kita ingat bahwa Tradisi Suci dan Kitab Suci bagi orang Katolik itu sama pentingnya, karena berasal dari sumber yang sama: Allah sendiri. (Lihat artikel: Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan, Bagian 3) Dogma Perawan Maria dikandung tanpa noda ini telah dirintis oleh Paus Sixtus IV (abad ke-15) yang diteruskan sampai ke jaman Paus Pius IX (abad ke -19), tetapi sesungguhnya pengajaran tersebut sudah merupakan hal yang diyakini oleh Gereja sejak abad awal, seperti dinyatakan oleh Santo Ephraem (abad ke-4) ((Santo Ephraem dalam “Nisibene Hymns”, 27, (dikutip dan diterjemahkan dari buku The Teachings of the Church Fathers, ed. John R Willis, S.J., Ignatius Press, San Francisco, 2002 reprint, edisi asli Herder and Herder, New York, 1966 h. 361) menulis, “Sungguh Engkau, Tuhan, dan BundaMu adalah hanya satu-satunya yang cantik sempurna di dalam segala hal; sebab, Tuhan, tidak ada noda di dalam-Mu dan juga tidak ada noda apapun di dalam BundaMu…”)) dan Santo Agustinus (abad ke-5) ((Santo Agustinus, dalam “On Nature and Grace“, Chap. 36:42, (dikutip dan diterjemahkan dari buku The Teachings of the Church Fathers, Ibid., h. 265) menulis, “Kita harus menerima Perawan Maria yang kudus, tentangnya saya tidak akan pernah mempertanyakan jika kita membahas tentang dosa, karena hormatku kepada Tuhan, sebab dari Dia kita tahu akan betapa berlimpahnya rahmat untuk mengalahkan dosa sampai sekecil- kecilnya, telah diberikan kepadanya (Bunda Maria) yang telah dipercayakan untuk mengandung dan melahirkan Dia (Yesus) yang sudah pasti tidak berdosa…”)) dengan dasar pemikiran dari Santo Ireneus (abad ke-2). ((Santo Irenaeus, dalam “Against Heresies, V, The New Creation in Christ” (dikutip dan diterjemahkan dari buku Early Christian Fathers, ed. Cyril C. Richardson, Touchstone, Simon & Schuster, NY, 1996) hl. 389-390, menyebutkan Maria sebagai Hawa yang baru, “Seluruh umat manusia berada dalam kuasa maut melalui perbuatan seorang perawan (Hawa), maka seluruh umat manusia juga diselamatkan melalui seorang perawan (Maria, Hawa yang baru) dan karenanya, ketidaktaatan seorang perawan diimbangi oleh ketaatan perawan yang lain.” Dari sini, para Bapa Gereja menyimpulkan bahwa ketaatan total Maria dimungkinkan oleh ketotalan kemurniannya tanpa dosa asal.))

Jadi Dogma tersebut bukan pengajaran ‘kagetan’ atau innovasi dari Paus Pius IX di abad ke-19!

Bunda Maria sendiri menyatakan dirinya sebagai “Immaculate Conception”

Empat tahun setelah pengajaran yang diberikan oleh Paus Pius IX, Bunda Maria menampakkan diri di Lourdes, Perancis (1858). Penampakan Bunda Maria di Lourdes (di grotto Massabielle) terjadi selama 18 kali kepada Bernadette Soubirous, seorang gadis desa yang yang waktu itu berumur 14 tahun. Penampakan Bunda Maria di Lourdes ini sudah diakui oleh Gereja Katolik sebagai penampakan yang otentik. Dalam penampakan itu (penampakan ke- 16), Bunda Maria menyatakan dirinya sebagai “Perawan yang dikandung tanpa noda dosa”/ the Immaculate Conception kepada Bernadette yang pada waktu itu tidak memahami makna “the Immaculate Conception“, terutama karena ia adalah gadis desa yang buta huruf. Pernyataan dari Bunda Maria ini mengkonfirmasikan ajaran dari Bapa Paus Pius IX, dan dengan demikian juga membuktikan infalibilitas ajaran Bapa Paus tersebut.

Dasar dari Kitab Suci

Alasan pertama Bunda Maria dikandung tanpa noda ini berhubungan dengan peran istimewanya sebagai Ibu Tuhan Yesus. Jadi, walaupun benar Maria manusia biasa, ia bukan manusia ‘kebanyakan’ seperti kita. Sebab, memang rencana keselamatan itu terbuka untuk semua orang (Yoh 3:16), tetapi Ia hanya memilih satu orang untuk menjadi ibu-Nya, yaitu Maria. Kita tahu bahwa Allah adalah Kudus, sempurna dan tak ada dosa di dalam Dia, maka sudah sangat layaklah bahwa ketika memutuskan untuk dilahirkan di dunia, Yesus menguduskan terlebih dahulu seseorang yang melaluinya Ia akan dilahirkan. Mungkin hal ini tidak terbayangkan oleh kita, karena kita manusia tidak bisa melakukannya. Kita tidak bisa memilih ibu kita sendiri, apalagi membuat dia kudus dan sempurna sebelum kita lahir. Tetapi, Allah bisa, dan itulah yang dilakukan-Nya. Mengapa Tuhan melakukan ini? Karena Ia tidak dapat mengingkari jati DiriNya sebagai Allah yang Kudus. Mari kita lihat kebesaran Allah melalui apa yang dilakukanNya terhadap Bunda Maria seperti yang ditulis dalam Alkitab.

1. Dikatakan bahwa Yesus terpisah dari orang-orang berdosa

Dikatakan dalam Kitab Suci, bahwa Yesus sebagai Imam Besar Pengantara kita kepada Bapa adalah “seorang yang saleh, tanpa salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa dan lebih tinggi daripada tingkat-tingkat sorga” (Ibr 7:26). Artinya, tidak mungkin Yesus dilahirkan dari seorang yang berdosa, sebab jika demikian Ia tidak benar-benar terpisah dari orang-orang berdosa. Karena itu dapat dipahami, bahwa Bunda Maria yang dipilih Allah untuk mengandung dan melahirkan Kristus, haruslah seorang yang tidak berdosa. Pemahaman ini juga akan menjelaskan mengapa St. Anna (ibunda dari St. Perawan Maria) tidak disebut sebagai “tanpa noda” juga seperti Bunda Maria, sebab St. Anna tidak melahirkan Kristus.

2. Bunda Maria disebutkan pada awal mula, sebagai ‘perempuan’ yang keturunannya akan mengalahkan ular (iblis) (Kej 3:15).

Di sini, perempuan yang dimaksud bukanlah Hawa, tetapi Hawa yang baru (‘New Eve’). Para Bapa Gereja membaca ayat ini sebagai nubuatan akan kelahiran Yesus (Adam yang baru) melalui Bunda Maria (Hawa yang baru). Hal ini sudah menjadi pengajaran Gereja sejak abad ke-2 oleh Santo Yustinus Martir, Santo Irenaeus dan Tertullian, yang lalu dilanjutkan oleh Santo Agustinus. ((John R Willis, S.J. ed., The Teachings of the Church Fathers, Ignatius Press, San Francisco, 2002 reprint, edisi asli Herder and Herder, New York, 1966 h. 356)) Sayangnya, memang dalam terjemahan bahasa Indonesia, pada ayat ini dikatakan ‘perempuan ini’, seolah-olah menunjuk kepada Hawa, namun sebenarnya adalah ‘the woman’ (bukan this woman) sehingga artinya adalah sang perempuan, yang tidak merujuk kembali ke lakon yang baru saja dibicarakan. ((“Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.” (Kej 3:15).)) Ungkapan ‘woman‘ ini yang kemudian kerap diulangi pada ayat Perjanjian Baru, misalnya pada mukjizat di Kana (Yoh 2:4) ((John 2:4, RSV Bible, “O Woman, what have you to do with me? My hour has not yet come.” Diterjemahkan di dalam bahasa Indonesia, “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saatku belum tiba.”)) dan di kaki salib Yesus, saat Ia menyerahkan Bunda Maria kepada Yohanes murid kesayanganNya (Yoh 19:26). ((John 19:26-27, RSV Bible, “When Jesus saw his mother, and the disciple whom he loved standing near, he said to his mother, “Woman, behold, your son! Then he said to the disciple, “Behold, your mother!” diterjemahkan di dalam bahasa Indonesia: Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya, “Ibu, inilah anakmu! Kemudian kata-Nya kepada murid-muridNya: “Inilah ibumu!”))Pada kesempatan tersebut, Yesus mau menunjukkan bahwa Maria adalah ‘sang perempuan’ yang telah dinubuatkan pada awal mula dunia sebagai ‘Hawa yang baru’.

‘Hawa yang baru’ ini berperan berdampingan dengan Kristus sebagai ‘Adam yang baru’. Santo Irenaeus, mengatakan, “Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria” sehingga selanjutnya dikatakan, “maut (karena dosa) didatangkan oleh Hawa, tetapi hidup (karena Yesus) oleh Maria.” ((Lihat Lumen Gentium 56, S. Ireneus, “dengan taat Maria menyebabkan keselamatan bagi dirinya maupun bagi segenap umat manusia” Maka … para Bapa zaman kuno, … menyatakan bersama Ireneus: “Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria; apa yang diikat oleh perawan Hawa karena ia tidak percaya, telah dilepaskan oleh perawan Maria karena imannya” Sambil membandingkannya dengan Hawa, mereka menyebut Maria “bunda mereka yang hidup”. Sering pula mereka (St. Jerome, St. Agustinus, St. Cyril, St. Yohanes Krisostomus, St. Yohanes Damaskinus) menyatakan: “maut melalui Hawa, hidup melalui Maria.”)) Oleh karena itu, sudah selayaknya Allah membuat Bunda Maria tidak tercemar sama sekali oleh dosa, supaya ia, dapat ditempatkan bersama Yesus di tempat utama dalam pertentangan yang total melawan Iblis (lih. Kej 3:15).

3. Bunda Maria sebagai Tabut Perjanjian yang Baru.

Di dalam Kitab Perjanjian Lama, yaitu di Kitab Keluaran bab 25 sampai dengan 31, Kita melihat bagaimana ’spesifik-nya’ Allah saat Ia memerintahkan Nabi Musa untuk membangun Kemah suci dan Tabut Perjanjian. Ukurannya, bentuknya, bahannya, warnanya, pakaian imamnya, sampai seniman-nya (lih. Kel 31:1-6), semua ditunjuk oleh Tuhan. Hanya imam (Harun) yang boleh memasuki tempat Maha Kudus itu dan ia pun harus disucikan sebelum mempersembahkan korban di Kemah suci (Kel 40:12-15). Jika ia berdosa, maka ia akan meninggal seketika pada saat ia menjalankan tugasnya di Kemah itu (Im 22:9). Hal ini menunjukkan bagaimana Allah sangat mementingkan kekudusan Tabut suci itu, yang di dalamnya diletakkan roti manna (Kel 25:30), dan dua loh batu kesepuluh perintah Allah (Kel 25:16), dan tongkat imam Harun (Bil 17:10; Ibr 9:4). Betapa lebih istimewanya perhatian Allah pada kekudusan Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru, karena di dalamnya terkandung PuteraNya sendiri, Sang Roti Hidup (Yoh 6:35), Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh 1:14), Sang Imam Agung yang Tertinggi (Ibr 8:1)! Persyaratan kekudusan Bunda Maria -Sang Tabut Perjanjian Baru- pastilah jauh lebih tinggi daripada kekudusan Tabut Perjanjian Lama yang tercatat dalam Kitab Keluaran itu. Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru, harus kudus, dan tidak mungkin berdosa, karena Allah sendiri masuk dan tinggal di dalam rahimnya. Itulah sebabnya Bunda Maria dibebaskan dari noda dosa oleh Allah.

4. Bunda Maria DISEBUT ‘penuh rahmat’ pada saat menerima Kabar Gembira.

Pada saat malaikat Gabriel memberitakan Kabar Gembira, ia memanggil Maria sebagai, ‘…hai engkau yang dikaruniai’, Tuhan menyertai engkau.’ (Luk 1:28) (“Hail, full of grace…”, – RSV Bible) Kata, ‘Hail, full of grace‘ ini tidak pernah ditujukan kepada siapapun di dalam Alkitab, kecuali kepada Maria. ((Lihat, Defining the Dogma of the Immaculate conception, Ineffabilis Deus, par. The Annunciation, “They (the Church Fathers) thought that this singular and solemn salutation, never heard before, showed that the Mother of God is the seat of all divine graces and is adorned with all gifts of the Holy Spirit…“)) Kepada Abraham yang akan menjadi Bapa para bangsa, ataupun kepada Musa salah satu nabi terbesar, Allah tidak pernah menyapa mereka dengan salam. Kepada Maria, Allah bukan saja hanya memberi salam, tetapi juga memenuhinya dengan rahmat (grace), yang adalah lawan dari dosa (sin). Dan karena dikatakan ‘full of grace’, maka para Bapa Gereja mengartikannya bahwa seluruh keberadaan Maria dipenuhi dengan rahmat Allah dan semua karunia Roh Kudus, sehingga dengan demikian tidak ada tempat lagi bagi dosa, yang terkecil sekalipun, sebab hadirat Allah tidak berkompromi dengan dosa. Artinya, Bunda Maria dibebaskan dari noda dosa asal.

5. Dasar dari Kitab Wahyu

Kita mengetahui dari Kitab Wahyu, bahwa Bunda Maria-lah yang disebut sebagai perempuan yang melahirkan seorang Anak laki-laki, yang menggembalakan semua bangsa… yang akhirnya mengalahkan naga yang adalah Iblis (Why 12: 1-6). Kemenangan atas Iblis ini dimungkinkan karena dalam diri Maria tidak pernah ada setitik dosa pun yang menjadi ‘daerah kekuasaan Iblis’.

Dasar dari Tradisi Suci

Berikut ini adalah pengajaran para Bapa Gereja yang menyatakan bahwa Bunda Maria tidak bernoda:

1. St. Irenaeus (180): “Hawa, dengan ketidaktaatannya [karena berdosa] mendatangkan kematian bagi dirinya dan seluruh umat manusia, … Maria dengan ketaatannya [tanpa dosa] mendatangkan keselamatan bagi dirinya dan seluruh umat manusia…. Oleh karena itu, ikatan ketidaktaatan Hawa dilepaskan oleh ketaatan Maria. Apa yang terikat oleh ketidakpercayaan Hawa dilepaskan oleh iman Maria.” ((Lihat St. Irenaeus, Against Heresies, 189 AD, 3:22:24))

2. St. Hippolytus (235): “Ia adalah tabut yang dibentuk dari kayu yang tidak dapat rusak. Sebab dengan ini ditandai bahwa Tabernakel-Nya dibebaskan dari kebusukan dan kerusakan.” ((St. Hippolytus, Orations Inillud, Dominus pascit me ))

3. Origen (244): “Bunda Perawan dari Putera Tunggal Allah ini disebut sebagai Maria, yang layak bagi Tuhan, yang tidak bernoda dari yang tidak bernoda, hanya satu satunya” ((Origen, Homily 1)).

4. Ephraim (361): ”Engkau sendiri dan Bunda-Mu adalah yang terindah daripada semua yang lain, sebab tidak ada cacat cela di dalam-Mu ataupun noda pada Bunda-Mu… ((St. Ephraim, Nisibene Hymns 27:8))

5. St. Athanasius (373), “O, Perawan yang terberkati, sungguh engkau lebih besar daripada semua kebesaran yang lain. Sebab siapakah yang sama dengan kebesaranmu, O tempat kediaman Sang Sabda Allah? Kepada ciptaan mana, harus kubandingkan dengan engkau, O Perawan? Engkau lebih besar daripada semua ciptaan, O Tabut Perjanjian, yang dilapis dengan kemurnian, bukannya dengan emas! Engkau adalah Tabut Perjanjian yang didalamnya terdapat bejana emas yang berisi manna yang sejati, yaitu: daging di mana Ke-Allahan tinggal.” ((St. Athanasius, Homily of the Papyrus of Turin, 71:216))

6. Ambrose (387): “Angkatlah tubuhku, yang telah jatuh di dalam Adam. Angkatlah aku, tidak dari Sarah, tetapi dari Maria, seorang Perawan, yang tidak saja tidak bernoda, tetapi Perawan yang oleh rahmat Allah telah dibuat tidak bersentuh dosa, dan bebas dari setiap noda dosa.” ((St. Ambrose, Commentary on Psalm 118: Sermon 22, no.30, PL 15, 1599)).

7. St. Gregorius Nazianza (390): Ia [Yesus] dikandung oleh seorang perawan, yang terlebih dahulu telah dimurnikan oleh Roh Kudus di dalam jiwa dan tubuh, sebab seperti ia yang mengandung layak untuk menerima penghormatan, maka pentinglah bahwa ia yang perawan layak menerima penghormatan yang lebih besar. ((St. Gregorius, Sermon 38))

8. St. Augustine (415): Kita harus menerima bahwa Perawan Maria yang suci, yang tentangnya saya tidak akan mempertanyakan sesuatupun ketika ia kita membicarakan tentang dosa, demi hormat kita kepada Tuhan; sebab dari Dia kita mengetahui betapa berlimpahnya rahmat untuk mengalahkan dosa di dalam segala hal telah diberikan kepadanya, yang telah berjasa untuk mengandung dan melahirkan Dia yang sudah pasti tidak berdosa ((St. Augustine, Nature and Grace 36:42))

9. Theodotus (446): “Seorang perawan, yang tak berdosa, tak benoda, bebas dari cacat cela, tidak tersentuh, tidak tercemar, kudus dalam jiwa dan tubuh, seperti setangkai lili yang berkembang di antara semak duri.” ((Theodotus, Homily 6:11)).

10. Proclus dari Konstantinopel (446): “Seperti Ia [Yesus] membentuknya [Maria] tanpa noda dari dirinya sendiri, maka Ia dilahirkan daripadanya tanpa meninggalkan noda. ((Proclus, Homily 1))

11. St. Severus (538): “Ia [Maria] …sama seperti kita, meskipun ia murni dari segala noda, dan ia tanpa noda.” ((St. Severus, Hom. cathedralis, 67, PO 8, 350))

12. St. Germanus dari Konstantinopel (733), mengajarkan tentang Maria sebagai yang “benar- benar terpilih, dan di atas semua, … melampaui di atas semua dalam hal kebesaran dan kemurnian kebajikan ilahi, tidak tercemar dengan dosa apapun.” ((Germanus dari Konstantinopel, Marracci in S. Germani Mariali))

Jika Maria tanpa noda dosa, apakah dia membutuhkan Kristus untuk menyelamatkannya?

Jawabnya tentu: YA! Karena segala keistimewaan yang diberikan kepadanya hanya mungkin diperoleh melalui Keselamatan yang diberikan oleh Kristus sendiri. Duns Scotus (1264- 1308) seorang Franciskan mengatakan hal ini dengan indahnya, “Malah Maria, melebihi siapapun membutuhkan Kristus sebagai Penyelamatnya, sebab ia dapat tercemar oleh noda dosa asal seandainya rahmat dari Sang Penyelamat tidak mencegah hal ini.” ((Diterjemahkan dari New Catholic Encyclopedia, The Catholic University of America, Washington D.C., 1967, Book VII, p. 381.)) Keistimewaan rahmat yang membuat Maria dibebaskan dari noda dosa asal adalah bentuk penghormatan Yesus kepada Maria ibu-Nya, sesuatu yang menjadi hak-Nya sebagai Tuhan.

Apa pentingnya Dogma ini buat kita?

Bunda Maria yang tidak bernoda, tubuh dan jiwanya, tidak dimaksudkan ‘hanya’ untuk melukiskan keistimewaan Maria, tetapi untuk memberi gambaran bagi Gereja. ((Lihat Hugo Rahner, SJ, Our Lady and the Church, (Zaccheus Press, Bethesda, 1968, reprint 1990), p. 17, “But this mystery of the Immaculate Conception of Mary is not only a personal priviledge granted to her who was to become the Mother of God. Mary thereby become the figure of the Church…” and p. 20, “The word ‘immaculate’ indeed sums up the mystery of our own spiritual life. We are members of the Church, and in us the Church’s mystery must be accomplished; it begins with Mary Immaculate, and we in turn, by the power of the Holy Spirit, must once more become immaculate. In each of us the victory over the serpent must be achieved….”)) Seperti Maria, Gereja juga dikatakan sebagai ‘tidak bernoda.’ Hal ini juga dikatakan oleh Rasul Paulus yang mengatakan bahwa Kristus akan menempatkan Gereja di hadapanNya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut …supaya GerejaNya kudus dan tidak bercela” (Ef 5:27). Jadi, kita sebagai anggota Gereja diajak untuk melihat Maria sebagai teladan. Kita harus berjuang ‘mengalahkan’ bujukan Iblis setiap hari, dengan mengandalkan kekuatan Roh Kudus.

Kesimpulan:

Dogma Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa Asal (Ineffabilis Deus/ The Immaculate Conception) adalah pengajaran yang berdasarkan atas kebijaksanaan Allah yang tak terselami, yang membebaskan Bunda Maria dari dosa asal, sebab ia telah dipilih Allah sejak semula untuk menjadi Ibu PuteraNya Yesus Kristus. Pengajaran yang telah berakar lama dalam Gereja ini mengajak kita untuk melihat Bunda Maria sebagai teladan kekudusan, agar kitapun dapat berjuang hidup kudus setiap hari dengan mengandalkan rahmat Tuhan. Jadi fokus utama dogma ini bukan semata- mata untuk meninggikan Maria, tetapi untuk menyatakan kerahiman Tuhan yang tiada terbatas untuk menguduskan Maria sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan Tuhan Yesus di dunia ini. Karena itu, Maria adalah model bagi Gereja dan teladan bagi kita masing-masing dalam hal kekudusan.

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 1)

35

Rangkaian artikel tentang doa:

Manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya. Hal ini dinyatakan dalam doa, sehingga doa menjadi bagian hakiki dalam kehidupan manusia.

Tulisan ini akan membahas tentang hakekat doa, juga kesalahan-kesalahan persepsi tentang doa. Pembahasan akan dibagi menjadi empat bagian, yang terdiri dari:

  1. Kesalahan persepsi doa (bagian 1): “Tuhan tidak campur tangan dalam kejadian di dunia ini.”
  2. Kesalahan persepsi doa (bagian 2): “Semua sudah diatur dan ditakdirkan Tuhan, sehingga berdoa tidak merubah apapun.”
  3. Kesalahan persepsi doa (bagian 3): “Berdoa dapat merubah keputusan Tuhan.”
  4. Kesimpulan: Kenapa kita harus berdoa?

Mengapa kita berdoa?

Doa sudah menjadi bagian hakiki dari kehidupan semua orang dari semua agama, karena manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya. (KGK, 31, 356, 1721, 2002) Namun pertanyaannya adalah, kenapa kita harus berdoa? Mungkin kita tidak pernah memikirkan pertanyaan ini, karena doa sudah menjadi bagian sehari-hari atau mungkin juga karena doa dianggap tidak penting. Dalam tulisan ini akan ditelusuri beberapa pertanyaan yang mendasar tentang doa. Pertama kita akan melihat beberapa kesalahan umum yang tidak hanya dilakukan di jaman sekarang, namun juga dilakukan dalam sejarah umat manusia. St. Thomas Aquinas mendefinisikan ada tiga kesalahan umum tentang persepsi doa. ((St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.2.))

Kesalahan 1: Tuhan tidak campur tangan dalam kejadian di dunia ini.

Argumen yang paling ekstrem adalah karena ketidakpercayaan akan keberadaan Tuhan. Bagi yang masih mempertanyakan keberadaan Tuhan, silakan membaca artikel: : Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada?). Karena tidak percaya kepada Tuhan atau sesuatu yang lebih besar dari keberadaan dirinya, maka orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan tidak merasa perlu untuk berdoa. ((Kalau dilihat dari seluruh kebudayaan manusia, kita akan menemukan sistem korban, sistem agama (baik yang percaya satu Tuhan atau banyak tuhan). Hal ini dikarenakan secara alami, manusia mempunyai keinginan untuk mengenal dan mengasihi penciptanya.))

Selanjutnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa memang Tuhan menciptakan segala sesuatu; namun setelah penciptaan, Tuhan tidak campur tangan lagi, dan semuanya berjalan menurut hukum alam berdasarkan sistem yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Pendapat ini dianut oleh aliran “deism” ((The Catholic University of America , New Catholic Encyclopedia, Vol. 4: Com-Dyn, 2nd ed. (Gale Cengage, 2002), p. 721-723 – Deism sendiri mempunyai beberapa aliran, mulai dari yang percaya akan Tuhan dan kehidupan setelah kematian sampai percaya kepada Tuhan yang hanya menciptakan dunia dan sistemnya, namun setelah itu berpangku tangan. Pandangan yang ekstrem ini juga tidak mempercayai kehidupan setelah kematian.)) Aliran ini menerima ke-Tuhanan hanya dari sisi filosofi, tanpa percaya adanya wahyu Tuhan. ((Di sini kita melihat bahwa filosofi tanpa dilengkapi dengan pemahaman wahyu Tuhan menjadi sangat terbatas dan bisa salah. Hal ini dikarenakan keterbatasan pemikiran manusia. Kalaupun seseorang bisa mencapai pemahaman dasar tentang Tuhan – seperti keberadaan Tuhan, Tuhan itu baik, Tuhan itu satu – hal ini hanya bisa dicapai dalam waktu yang lama. Hal ini nyata ‘dalam pencarian kebenaran’ oleh Aristoteles.)) Menurut pemahaman ini, Tuhan dilihat sebagai seseorang yang yang duduk di tahta suci dan melihat semua perbuatan manusia dan perjalanan sejarah, namun Dia tidak melakukan apa-apa.

Dalam kapasitas yang lebih kecil, berapa sering kita mendengar seseorang mengatakan “Ah, jangan terlalu banyak merepotkan Tuhan. Masa Tuhan mengatur urusan-urusan yang kecil?” Seolah-olah Tuhan tidak tertarik untuk membantu manusia dalam urusan-urusan yang kecil. Kadang urusan yang bagi seseorang dianggap kecil, bagi Tuhan menjadi sesuatu yang penting untuk kehidupan rohani seseorang. ((Kalau kita menempatkan diri sebagai orang tua, sebenarnya tidak ada hal yang terlalu kecil bagi kita untuk urusan anak-anak kita. Sering mereka meminta sesuatu yang sepele, namun kita akan memberikan perhatian kepada anak-anak kita, agar mereka mendapatkan kebahagiaan.))

Tuhan menciptakan manusia karena kasih dan untuk menyatakan kemuliaan-Nya.

Pertama, kita harus mempertanyakan kenapa Tuhan menciptakan dunia ini, terutama kenapa menciptakan manusia menurut gambaran-Nya (Lih Kej 1:26-27). Kalau kita dan juga Deism percaya bahwa Tuhan adalah Maha dalam segalanya, maka konsekuensinya Tuhan tidak membutuhkan siapa-siapa, termasuk dunia ini dan manusia. Bisa dikatakan bahwa keberadaan kita tidak menambah kemuliaan Tuhan, karena Tuhan adalah absolut baik. Sebaliknya kalau kita berdosa, juga tidak mengurangi kemuliaan Tuhan, karena Dia maha sempurna.

Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa motif dari penciptaan dunia dan manusia adalah karena kasih (KGK, 1604) dan untuk merefleksikan kemuliaan Tuhan. (KGK, 294) Kalau kita percaya bahwa keberadaan kita adalah karena kebetulan saja, dan bukan akibat dari kasih Tuhan, maka pendapat ini sebenarnya sangat tragis. Argumen ini sama seperti pendapat bahwa keberadaan kita sebagai anak tidaklah diinginkan oleh orang tua kita, dan hanya terjadi secara kebetulan. Tentu saja ini adalah kejadian yang tragis. Kemungkinan ini disanggah oleh Tuhan sendiri, sebab Dia berkata dalam kitab nabi Yesaya, “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau ” (Yes 49:15). Dengan demikian Tuhan mau menyampaikan bahwa Ia mengasihi lebih kita lebih daripada ibu kita mengasihi kita.

Jadi kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah maha dalam segalanya, termasuk maha baik dan maha kasih, sangatlah tidak mungkin kalau Tuhan menciptakan manusia hanya secara kebetulan atau eksistensi manusia terjadi secara kebetulan. Argumen yang memungkinkan adalah Tuhan mengasihi manusia. Kasihnya begitu besar kepada manusia, sehingga Dia memberikan Putera-Nya kepada dunia untuk menebus dosa umat manusia (Lih. Yoh 3:16). Dan inilah yang dapat menjelaskan keberadaan kita. Karena kasihlah, maka Tuhan ingin semua manusia mengalami dan turut berpartisipasi dalam kemuliaan-Nya, yaitu dalam kehidupan abadi di surga.

Kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah kasih, maka akan sulit membayangkan kepercayaan yang dianut oleh Deism, yaitu Tuhan hanya berpangku tangan melihat semua yang terjadi di dunia ini, termasuk penderitaan umat-Nya. Ibaratnya, Tuhan hanya sebagai penonton. Bayangkan kalau seseorang mempunyai ayah konglomerat. Kemudian orang ini jatuh miskin sampai menderita kelaparan. Sesuai dengan prinsip dari Deism, maka konglomerat ini hanya berpangku tangan saja, hanya menonton tanpa berbuat apapun. Kita bisa simpulkan bahwa perbuatan konglomerat ini jauh dari kategori kasih. Dengan melihat contoh ini, kita bisa juga menyimpulkan kepercayaan Deism adalah bertentangan dengan prinsip bahwa Tuhan adalah kasih.

Orang yang mempunyai kepercayaan Deism, sangat sulit untuk berdoa, karena mereka tidak melihat gunanya berdoa. Mereka melihat bahwa semua yang terjadi adalah merupakan hasil usaha mereka tanpa campur tangan Tuhan. Dan tentu saja ini jauh dari sikap kerendahan hati, sikap utama yang diperlukan dalam doa. Mari sekarang kita melihat bahwa Allah kita adalah Allah yang terus bekerja untuk keselamatan umat manusia, dan juga keselamatan kita masing-masing.

Allah Trinitas dan seluruh isi surga terus bekerja untuk keselamatan seluruh umat manusia.

Orang-orang farisi mengajukan keberatan kepada Yesus, karena Yesus menyembuhkan orang yang sudah 38 tahun sakit pada hari Sabat. Dan Yesus menjawab “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga” (Yoh 5:17). Kemudian sebelum Yesus mengalami penderitaan-Nya, Dia menjanjikan murid-murid-Nya Roh Kebenaran, yaitu Roh Kudus (Yoh 14;16-18). Dan Roh Kudus menyatakan diri-Nya secara penuh pada saat Pentakosta (Kis 2:1-40). Kemudian Roh Kudus terus bekerja melalui para murid, para pengikut Kristus, Gereja, dan melalui kita masing-masing (melalui rahmat awal yang kita terima lewat sakramen pembaptisan). Roh Kudus juga terus menerus berkarya untuk memurnikan Gereja dan seluruh anggota Gereja sampai akhir jaman. Jadi kalau Roh Kudus, pribadi ketiga dari Trinitas terus bekerja, maka Yesus, pribadi kedua, dan Allah Bapa, pribadi pertama juga terus bekerja, karena mereka adalah satu.

Dan karena para kudus di surga berpartisipasi dalam kasih Allah, maka mereka juga berpartisipasi dalam karya keselamatan seluruh umat manusia dengan doa-doa syafaat mereka. Di kitab Wahyu diceritakan bagaimana para kudus mempersembahkan doa mereka (Wah 5:8; 8:3-4). Di sinilah perannya persatuan para kudus, sehingga umat Katolik berdoa bersama dengan para kudus di surga.

Tuhan telah bekerja dan sedang bekerja dalam sejarah umat manusia.

Tuhan telah bekerja dan terus bekerja dalam sejarah umat manusia. Kita melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam pembentukan bangsa Israel dan juga dalam perjalanan bangsa ini, sehingga bangsa Israel menjadi “bangsa pilihan Allah.” Bangsa pilihan Allah ini mendapatkan arti yang baru pada saat Yesus mendirikan Gereja-Nya. Sehingga Gereja juga disebut “Bangsa Pilihan Tuhan yang baru / New People of God.” (LG, 13)

Jadi, Allah kita adalah Allah yang terus bekerja dalam sejarah umat manusia, juga dalam sejarah kehidupan kita masing-masing. Marilah kita imani bahwa Tuhan adalah Maha Kasih. Dan dalam kasih-Nya yang tak terselami, Dia tetap akan campur tangan dalam setiap hal yang kita alami. Mari kita percayakan kehidupan kita masing-masing ke dalam tangan Yesus yang juga mengerti akan kehidupan manusia, karena Dia sudah menjelma menjadi manusia. Mari kita percayakan setiap penderitaan kita kepada Yesus yang sudah terlebih dahulu menderita buat kita, dan juga segala sukacita dan kebahagiaan kita yang semuanya berasal dari Allah.

Marilah kita berdoa….

Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

Ya, Tuhan, pada saat ini aku datang di hadapan-Mu, memohon agar Engkau memberikan kepadaku hati yang rindu untuk bersatu dengan-Mu dalam doa. Berikanlah kepadaku hati yang percaya akan penyelenggaraan tangan-Mu, sebab Engkau adalah Allah yang penuh kasih. Dalam naungan kasih-Mu, bantulah aku setiap hari untuk menyadari bahwa Engkau hadir dalam setiap hal yang aku lakukan. Aku juga mengundang Engkau untuk selalu campur tangan dalam suka maupun duka di dalam kehidupanku. Bunda Maria, para malaikat dan para kudus di surga, doakanlah aku. Dalam nama Yesus, aku naikkan doa ini. Amin.

Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab