Home Blog Page 332

Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan (Bagian 1)

31

Rangkaian tulisan tentang Gereja

Bagian Pertama

  1. Gereja yang berlangsung sepanjang sejarah
  2. Empat tanda dari Gereja yang sejati
    1. Satu
    2. Kudus
    3. Katolik
    4. Apostolik
  3. Gereja sebagai tiang penopang dan dasar kebenaran adalah Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik.

Bagian Kedua

  1. Gereja Tanda Kasih Tuhan
  2. Gereja sebagai tujuan akhir kehidupan manusia
  3. Gereja sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir hidup manusia:
    1. Kepemimpinan/ Struktur Gereja
    2. Sakramen- sakramen Gereja
      • Sakramen Pembaptisan
      • Sakramen Ekaristi
      • Sakramen Penguatan
      • Sakramen Pengakuan Dosa
      • Sakramen Perkawinan
      • Sakramen Tahbisan suci
      • Sakramen Urapan Orang Sakit
  4. Gereja sebagai Tanda Kasih Tuhan adalah tujuan akhir dan sarana untuk mencapai tujuan akhir tersebut.

Bagian Ketiga

  1. Gereja sebagai Tonggak Kebenaran menyampaikan kebenaran dan keutuhan rencana Keselamatan Allah.
  2. Kebenaran ini disampaikan oleh tiga unsur yang tak dapat dipisahkan, yaitu
    1. Tradisi Suci
    2. Kitab Suci
    3. Magisterium

Bagian Ke-empat

  1. Gereja sebagai Tanda Kasih Tuhan menjadi tanda persekutuan manusia dengan Allah dan dengan Para Kudus-Nya.
  2. Persekutuan ini dialami melalui tiga hal yang mengacu kepada ‘kekudusan’ yaitu,
    1. Doa
    2. Sakramen-sakramen Gereja
    3. Perbuatan- perbuatan kasih.

Bagian Ke-lima

Melihat begitu indahnya dan dalamnya pengajaran iman Katolik, maka tugas kita sebagai anggota Gereja Katolik adalah:

  1. Mempelajari iman Katolik
  2. Hidup sesuai dengan iman Katolik (=hidup kudus)
  3. Menyebarkan iman Katolik.

Gereja yang seperti apa?

Mungkin kita pernah mendengar orang-orang mempertanyakan apa sih ciri-ciri Gereja yang sejati? Apakah benar Gereja Katolik itu Gereja yang didirikan Yesus Kristus, dan yang dengan setia meneruskan serta menjaga kemurnian ajaran Kristus itu? Atau mungkin kita pernah mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apakah anda yakin anda selamat? Sudahkah anda menerima Yesus sebagai Juruselamat anda pribadi?” Ulasan berikut ini mungkin bermanfaat bagi refleksi kita semua.

Ajaran Gereja Katolik menjawab pertanyaan yang paling mendasar dalam hidup kita, seperti, “Siapa yang menciptakan aku? Mengapa aku diciptakan? Apa Tuhan sungguh ada? Apa yang harus kulakukan supaya aku bahagia? Mengapa ada banyak penderitaan di dunia ini?” Pertanyaan- pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan memuaskan jika kita punya keterbukaan hati terhadap rahmat Tuhan, menerima apa yang dinyatakan Yesus melalui Gereja yang didirikan-Nya, dan selanjutnya mengikuti rencana-Nya untuk setiap dari kita.

Gereja yang berlangsung sepanjang sejarah

Gereja adalah terang dunia yang meneruskan Yesus Sang Terang kepada dunia.[1] Ini berdasarkan perkataan Yesus sendiri, “Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas di atas gunung tidak mungkin tersembunyi “(Mat 5:14). Karena itu, Gereja yang didirikan oleh Yesus dimaksudkan untuk berdiri sebagai institusi yang kelihatan. Yesus sendiri berjanji, “…di atas batu karang ini (Petrus) Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” (Mat 16:18) Artinya, Gereja-Nya tidak akan pernah binasa, dan tidak akan pernah terlepas daripadaNya. Gereja-Nya akan bertahan terus sampai kedatanganNya kembali di akhir zaman.

Gereja Katolik adalah Gereja satu-satunya yang bertahan sejak didirikan oleh Kristus (sekitar 30 AD). Dapat dikatakan bahwa gereja yang lain adalah kelompok yang memecahkan diri dari kesatuan Gereja Katolik. Gereja Timur Orthodox memisahkan diri dari pada tahun 1054, gereja Protestan tahun 1517, dan gereja-gereja Protestan yang lain adalah pemecahan dari gereja Protestan yang awal ini.[2]

Hanya Gereja Katolik yang bertahan dari abad pertama yang dengan setia mengajarkan pengajaran yang diberikan oleh Kristus kepada para Rasul-Nya, tanpa mengurangi ataupun mengubah. Kesinambungan para Paus dapat ditelusuri asalnya sampai kepada Rasul Petrus. Hal ini tidak pernah terjadi di dalam organisasi apapun di dunia. Pemerintahan negara dunia yang tertua-pun tidak dapat menandingi lamanya keberadaan Gereja Katolik. Banyak gereja yang sekarang aktif menjalankan penginjilan didirikan hanya di abad- 19 atau ke- 20, atau baru-baru ini saja di abad ke-21. Tidak ada dari mereka yang dapat berkata mereka didirikan sendiri oleh Yesus.

Gereja Katolik telah berdiri selama kira-kira 2000 tahun, walaupun dalam sejarahnya sering menghadapi pertentangan dari dunia. Ini adalah kesaksian yang nyata bahwa Gereja berasal dari Tuhan, sebagai pemenuhan dari janji Kristus. Jadi, Gereja bukan semata-mata organisasi manusia, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa ada masa-masa di mana dipimpin oleh mereka yang tidak bijaksana, yang mencoreng nama Gereja dengan perbuatan- perbuatan mereka. Namun, kenyataannya, mereka tidak sanggup menghancurkan Gereja. Gereja Katolik tetap berdiri sampai sekarang. Jika Gereja ini hanya organisasi manusia semata, tentulah ia sudah hancur sejak lama. Sekarang Gereja Katolik beranggotakan sekitar satu milyar anggota, sekitar seper-enam dari jumlah manusia di dunia, dan menjadi kelompok yang terbesar dibandingkan dengan gereja-gereja yang lain. Ini bukan hasil dari kepandaian para pemimpin Gereja, tetapi karena karya Roh Kudus.

Empat tanda Gereja sejati

Jika kita ingin tahu apa yang menjadi ciri-ciri Gereja yang didirikan oleh Kristus, kita akan mengetahui bahwa ada empat ciri; yaitu Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik (Lumen Gentium / LG, 8)

Gereja yang Satu

(Rom 12:5, 1Kor 10:17, 12:13, KGK (Katekismus Gereja Katolik 813-822), LG 4)

Yesus mendirikan hanya satu Gereja, yang disebut sebagai Tubuh-Nya (lih. Ef 1:23). Sebagaimana Kristus itu satu, maka Tubuh-Nya juga satu. Kristus mengatakan bahwa Ia akan mendirikan Gereja-Nya (bukan gereja-gereja) di atas Petrus (Mat 16:18). Di saat Perjamuan Terakhir sebelum wafatNya, Kristus berdoa kepada Bapa untuk kesatuan GerejaNya,  “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau…” (Yoh 17:21). Kitab suci mengatakan bahwa Gereja adalah ‘mempelai Kristus’ (Ef 5:23-32). Karena itu, tidak mungkin Ia mempunyai lebih dari satu mempelai. Mempelai-Nya yang satu adalah Gereja Katolik, sebab Gereja Katolik adalah satu-satunya Gereja yang dipimpin oleh para penerus Rasul Petrus, yang atasnya Kristus telah mendirikan Gereja-Nya.

Kesatuan Gereja Katolik ini ditunjukkan dengan kesatuan dalam hal (1)iman dan pengajaran, berdasarkan ajaran Kristus (2) liturgi dan sakramen dan (3) kepemimpinan, yang awalnya dipegang oleh para rasul di bawah kepemimpinan Rasul Petrus, yang kemudian diteruskan oleh para pengganti mereka. Kepada kesatuan inilah semua para pengikut Kristus dipanggil (Flp 1:27, 2:2), sebagai “sebuah bangsa yang dipersatukan dengan kesatuan Bapa, Putera dan Roh Kudus.” (LG 4)

Kesatuan Gereja Katolik dalam hal pengajaran mempunyai dua dimensi, yaitu berlaku di seluruh dunia dan berlaku sepanjang sejarah. Hal ini dimungkinkan karena dalam hal iman kepemimpinan Gereja dipegang oleh seorang kepala, yaitu seorang Paus yang bertindak sebagai wakil Kristus. Sepanjang sejarah, oleh bimbingan Roh Kudus, Gereja semakin memahami akan ajaran-ajaran Kristus (Yoh 16:12-13) dan menjabarkannya, namun tidak pernah menetapkan sesuatu yang bertentangan dari apa yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Gereja yang kudus

(Ef 5:25-27, Why 19:7-8, KGK 823-829, LG 8, 39, 41,42)

Kekudusan Gereja disebabkan oleh kekudusan Kristus yang mendirikannya. Hal ini tidak berarti bahwa setiap anggota Gereja-Nya adalah kudus, sebab Yesus sendiri mengakui bahwa para anggotaNya terdiri dari yang baik dan yang jahat (lih. Yoh 6:70), dan karena itu tak semua dari anggotaNya masuk ke surga (Mat 7:21-23). Tetapi Gereja-Nya menjadi kudus karena ia adalah mempelai Kristus dan Tubuh-Nya sendiri, sehingga Gereja menjadi sumber kekudusan dan sebagai penjaga alat yang istimewa untuk menyampaikan rahmat Tuhan melalui sakramen- sakramen (lih. Ef 5:26).

Jadi kekudusan Gereja dapat dilihat dari para anggotanya yang hidup di dalam rahmat pengudusan, terutama mereka yang sungguh-sungguh menerapkan kekudusan itu di dalam kaul religius seperti para rohaniwan, rohaniwati dan terutama terlihat nyata pada para martir dan Orang Kudus (lih. LG 42). Kekudusan Gereja juga terlihat dari banyaknya mukjizat yang dilakukan oleh Para Kudus sepanjang sejarah. Dalam hal kekudusan inilah, maka Gereja menggarisbawahi pentingnya pertobatan (lih. LG 8), agar para anggotanya dibawa kepada rahmat pengudusan Allah.

Gereja yang katolik

(Mat 28:19-20, Why 5:9-10, KGK 830-856, LG 1

Istilah ‘katolik‘ merupakan istilah yang sudah ada sejak abad awal, yaitu sejak zaman Santo Polycarpus (murid Rasul Yohanes) untuk menggambarkan iman Kristiani, ((Disarikan dari New Catholic Encyclopedia, Buku ke-3 (The Catholic University of America, Washington, DC, copyright 1967, reprinted 1981), hal. 261)) bahkan pada jaman para rasul. Kis 9:31 menuliskan asal mula kata Gereja Katolik (katholikos) yang berasal dari kata “Ekklesia Katha Holos“. Ayatnya berbunyi, “Selama beberapa waktu jemaat di seluruh Yudea, Galilea dan Samaria berada dalam keadaan damai. Jemaat itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kudus.” (Kis 9:31). Di sini kata “Katha holos atau katholikos; dalam bahasa Indonesia adalah jemaat/ umat Seluruh/ Universal atau Gereja Katolik, sehingga kalau ingin diterjemahkan secara konsisten, maka Kis 9:31, bunyinya adalah, “Selama beberapa waktu Gereja Katolik di Yudea, Galilea, dan Samaria berada dalam keadaan damai. Gereja itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kudus.”

Namun nama ‘Gereja Katolik‘ baru resmi digunakan pada awal abad ke-2 (tahun 107), ketika Santo Ignatius dari Antiokhia menjelaskan dalam suratnya kepada jemaat di Smyrna 8, untuk menyatakan bahwa Gereja Katolik adalah Gereja satu-satunya yang didirikan Yesus Kristus, untuk membedakannya dari para heretik pada saat itu -yang juga mengaku sebagai jemaat Kristen- yang menolak bahwa Yesus adalah Allah yang sungguh-sungguh menjelma menjadi manusia. Ajaran sesat itu adalah heresi/ bidaah Docetisme dan Gnosticisme. Dengan surat tersebut, St. Ignatius mengajarkan tentang hirarki Gereja, imam, dan Ekaristi yang bertujuan untuk menunjukkan kesatuan Gereja dan kesetiaan Gereja kepada ajaran yang diajarkan oleh Kristus. Demikian penggalan kalimatnya, “…Di mana uskup berada, maka di sana pula umat berada, sama seperti di mana ada Yesus Kristus, maka di sana juga ada Gereja Katolik….” ((St. Ignatius of Antioch, Letter to the Smyrnaeans, 8)). Sejak saat itu Gereja Katolik memiliki arti yang kurang lebih sama dengan yang kita ketahui sekarang, bahwa Gereja Katolik adalah Gereja universal di bawah pimpinan para uskup yang mengajarkan doktrin yang lengkap, sesuai dengan yang diajarkan Kristus.

Kata ‘Katolik’ sendiri berasal dari bahasa Yunani, katholikos, yang artinya “keseluruhan/ universal“; atau “lengkap“. Jadi dalam hal ini kata katolik mempunyai dua arti, yaitu bahwa: 1) Gereja yang didirikan Yesus ini bukan hanya milik suku tertentu atau kelompok eksklusif yang terbatas; melainkan mencakup ‘keseluruhan’keluarga Tuhan yang ada di ‘seluruh dunia’, yang merangkul semua, dari setiap suku, bangsa, kaum dan bahasa (Why 7:9). 2) Kata ‘katolik’ juga berarti bahwa Gereja tidak dapat memilih-milih doktrin yang tertentu asal cocok sesuai dengan selera/ pendapat pribadi, tetapi harus doktrin yang setia kepada ‘seluruh‘ kebenaran. Rasul Paulus mengatakan bahwa hakekatnya seorang rasul adalah untuk menjadi pengajar yang ‘katolik’ artinya yang “meneruskan firman-Nya (Allah) dengan sepenuhnya…. tiap-tiap orang kami nasihati  dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus.” (Kol 1:25, 28)

Maka, Gereja Kristus disebut sebagai katolik (= universal) sebab ia dikurniakan kepada segala bangsa, oleh karena Allah Bapa adalah Pencipta segala bangsa. Sebelum naik ke surga, Yesus memberikan amanat agung agar para rasulNya pergi ke seluruh dunia untuk menjadikan semua bangsa murid-muridNya (Mat 28: 19-20). Sepanjang sejarah Gereja Katolik menjalankan misi tersebut, yaitu menyebarkan Kabar Gembira pada semua bangsa, sebab Kristus menginginkan semua orang menjadi anggota keluarga-Nya yang universal (Gal 3:28). Kini Gereja Katolik ditemukan di semua negara di dunia dan masih terus mengirimkan para missionaris untuk mengabarkan Injil. Gereja Katolik yang beranggotakan bermacam bangsa dari berbagai budaya menggambarkan keluarga Kerajaan Allah yang tidak terbatas hanya pada negara atau suku bangsa yang tertentu.

Namun demikian, nama “Gereja Katolik” tidak untuk dipertentangkan dengan istilah “Kristen” yang juga sudah dikenal sejak zaman para rasul (lih. Kis 11:26). Sebab ‘Kristen’ artinya adalah pengikut/murid Kristus, maka istilah ‘Kristen’ mau menunjukkan bahwa umat yang menamakan diri Kristen menjadi murid Tuhan bukan karena sebab manusiawi belaka, tetapi karena mengikuti Kristus yang adalah Sang Mesias, Putera Allah yang hidup. Umat Katolik juga adalah umat Kristen, yang justru menghidupi makna ‘Kristen’ itu dengan sepenuhnya, sebab Gereja Katolik menerima dan meneruskan seluruh ajaran Kristus, sebagaimana yang diajarkan oleh Kristus dan para rasul, yang dilestarikan oleh para penerus mereka).

Gereja yang Apostolik

(Ef 2:19-20, KGK 857-865, LG 22)

Gereja disebut apostolik karena Yesus telah memilih para rasul-Nya untuk menjadi pemimpin- pemimpin pertama Gereja-Nya, di bawah pimpinan Rasul Petrus (Mat 16:18, Yoh 21:15-18). Oleh karena Yesus sendiri menjanjikan Gereja-Nya tidak akan binasa (Mat 16:18), maka kepemimpinan Gereja tidak berhenti dengan kepemimpinan para rasul tetapi diteruskan oleh para penerus mereka. Dengan demikian janji penyertaan Yesus terus berlangsung sampai pada saat ini, di mana Ia mengatakan, “Aku akan menyertai engkau senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:20).

Para rasul adalah para uskup yang pertama, dan sejak abad pertama, pengajaran para rasul di dalam Kitab suci dan Tradisi kudus diturunkan dari mulut ke mulut kepada para penerus mereka (lih. 2 Tes 2:15), misalnya tentang kehadiran Kristus yang nyata di dalam Ekaristi, kurban Misa, pengampunan dosa melalui perantaraan imam, kelahiran baru dalam pembaptisan, keberadaan Api penyucian, peran khusus Maria dalam karya Keselamatan, hal kepemimpinan Paus, dan lain-lain.

Surat pertama dari Santo Klemens (penerus ketiga setelah Rasul Petrus, tahun 96) kepada jemaat di Korintus yang menyelesaikan konflik di antara mereka membuktikan kepemimpinan Gereja di bawah penerus Rasul Petrus sebagai uskup di Roma.[4] Kepemimpinan di bawah Paus di Roma ini diakui oleh Gereja Katolik sampai saat ini (LG 22). Singkatnya, jika kita kembali ke abad pertama, kita akan menemukan Gereja yang memiliki banyak kemiripan dengan Gereja Katolik yang sekarang, karena memang itu adalah satu dan sama.

Kesimpulan: Gereja adalah tiang penopang dan dasar kebenaran

Gereja yang otentik adalah Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik; dan ini terdapat di Gereja Katolik.[5] Dari Kitab Suci, Tradisi dan tulisan para Bapa Gereja dapat diketahui bahwa Gereja mengajar dengan kuasa Yesus. Di tengah-tengah banyaknya pendapat dan ajaran dari agama-agama yang berbeda-beda, Gereja Katolik selalu menyuarakan ajaran yang sama sepanjang segala abad, sebab ia adalah “tiang penopang dan dasar kebenaran” (1 Tim 3:15).

Karena Yesus sendiri mengatakan kepada para rasul, “Barangsiapa yang mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku dan Dia yang mengutus Aku” (Luk 10:16), maka kita percaya bahwa Yesus mempercayakan kepemimpinan Gereja kepada para rasul dan penerus mereka. Karena Yesus sendiri berjanji akan membimbing Gereja-Nya sampai kepada seluruh kebenaran oleh kuasa Roh KudusNya (Yoh 16:12-13), maka kita dapat mengimani bahwa Gereja-Nya ini, Gereja Katolik, mengajarkan kebenaran Kristus.


[1] Lihat Lumen Gentium1, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “Terang para Bangsalah Kristus itu. Maka Konsili suci ini, yang terhimpun dalam Roh Kudus, ingin sekali menerangi semua orang dalam cahaya Kristus, yang bersinar pada wajah Gereja, dengan mewartakan Injil kepada semua makhluk (Lih. Mrk 16:15).”

[2] Beberapa gereja Protestan dan pendirinya adalah sebagai berikut: Anglican, didirikan oleh Raja Henry VIII (abad ke-16) di Inggris, Lutheran dan Calvinis oleh Luther dan Calvin (abad ke 16), Methodis didirikan oleh John Wesley (1739) di Inggris, Kristen Baptis oleh Roger Williams (1639), Anabaptis oleh Nicolas Stork (1521), Persbyterian didirikan di Scotland (1560). Beberapa aliran lain misalnya Mormon didirikan oleh Joseph Smith 1830, Saksi Yehovah oleh Charles Taze Russell (1852-1916). Atau yang baru-baru ini Unification Church didirikan oleh Rev. Sun Myung Moon di Korea.

Sedangkan Gereja Katolik didirikan oleh Kristus di Jerusalem sekitar tahun 30 AD. Siapa dari para pendiri ini yang sudah dinubuatkan oleh para nabi di Perjanjian Lama? Hanya Yesus Kristus.

[3] Disarikan dari New Catholic Encyclopedia, Buku ke-3 (The Catholic University of America, Washington, DC, copyright 1967, reprinted 1981), hal. 261.

[4] Lihat Cyril C. Richardson, ed. Early Christian Fathers, A Touchstone Book, Simon & Schuster, New York, 1996, p. 33

[5] Lihat Lumen Gentium 8, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “Itulah satu-satunya Gereja Kristus yang dalam Syahadat iman kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik…. Gereja itu, yang didunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya…”

Refleksi Praktis tentang kekudusan

7

Kekudusan bermula dari hal-hal sederhana

Santa Theresia Kanak-kanak Yesus pernah berkata, “Perbuatan terkecil yang dilakukan dengan kasih yang murni lebih bernilai daripada semua perbuatan- perbuatan yang besar” ((St. Therese of Lisieux, Story of a Soul, Third edition translated from the original manuscript by John Clarke, O.C.D., (ICS Publications, Washington, DC, 1996), p.197, “the smallest act of PURE LOVE is of more value …than all other works together.”)) Pengajaran ini memberi semangat pada kita untuk tidak melewatkan segala kesempatan, bahkan yang terkecil sekalipun, untuk berbuat kasih, sebab itulah yang berkenan di mata Yesus.Kekudusan bermulai dari hal-hal yang sederhana karena kekudusan berawal dari kasih yang dapat diterapkan oleh semua orang. Tulisan di bawah ini menjabarkan beberapa pokok renungan yang bisa berhubungan dengan keadaan kita sehari-hari, sebagai suami, istri, anak, orang tua, pekerja, dan para penderita sakit. Renungan ini hanya beberapa contoh saja, yang mungkin dapat kita kembangkan sendiri sejalan dengan bertumbuhnya relasi kita dengan Tuhan…

RENUNGAN UNTUK SEMUA:

“Kasihilah Tuhan, AllahMu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu… Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mrk 12:30-31).

 

 

Tentang kasih kepada Tuhan

  • Sudahkah aku meluangkan waktu khusus setiap hari untuk berdoa dan merenungkan firman Tuhan?
  • Apakah aku rajin mengikuti Misa Kudus dan mempersiapkan diri sebelumnya, contoh: datang tidak terlambat, membaca dan merenungkan Bacaan Harian (bacaan Misa Kudus) di rumah sebelum datang ke misa?
  • Seringkah aku teringat akan Tuhan dan mengucapkan doa singkat di tengah-tengah kegiatanku?
  • Apakah aku mengucap syukur sebelum makan? Dan mengucapkan doaku dengan tanda salib?
  • Apakah aku mengucap syukur pada saat aku bangun dari tidur di pagi hari?
  • Apakah aku meluangkan waktu untuk memeriksa batin di malam hari?
  • Berapa sering aku pergi ke Sakramen Pengakuan Dosa?
  • Apakah aku meluangkan waktu untuk berdoa di hadapan Sakramen Maha Kudus?
  • Apakah aku mengucap syukur pada Tuhan atas karunia iman dan Gereja?
  • Apakah aku rajin berdoa rosario dan merenungkan hidup Yesus?
  • Apakah aku meluangkan waktu untuk mempelajari imanku?
  • Apakah aku mau ikut berpartisipasi di dalam kegiatan Gereja?
  • Apakah aku mau bermati-raga atau berpuasa untuk mendoakan para pemimpin Gereja?

Tentang kasih kepada sesama

  • Apakah aku memperhatikan mereka yang sakit, cacat, anak-anak kecil, orang-orang tua, dan mereka yang miskin?
  • Apakah aku membantu mereka?
  • Apakah aku sudah menjadi sahabat yang baik?
  • Apakah aku pernah mendoakan untuk pertobatan sesama?
  • Apakah aku pernah menyampaikan kesaksian iman tentang kasih Kristus kepada orang lain?
  • Apakah aku siap sedia membantu teman yang sedang kesusahan?
  • Apakah aku sabar dan tidak cepat marah kepada sesama?
  • Apakah aku berdoa bagi teman/ saudara yang sedang dalam kesusahan?
  • Apakah aku tidak lupa untuk mengucapkan ‘terima kasih’ pada mereka yang menolongku?
  • Apakah aku tidak lupa untuk mengucapkan ‘maaf’ jika aku bersalah kepada orang lain?
  • Jika aku mampu, apakah aku mau menyumbang untuk kegiatan sosial/ pelayanan Gereja?

RENUNGAN UNTUK PARA SUAMI:

“Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya.” (Ef 5:25)

Tentang keseharian

  • Apa yang telah kulakukan untuk menyenangkan hati istriku hari ini?
  • Jika istriku berbicara padaku, apakah aku sungguh-sungguh mendengarkannya atau aku mendengarkan sambil melakukan sesuatu yang lain, seperti, nonton TV, baca koran/ majalah, baca internet? Apakah aku sungguh-sungguh mendengarkan dia?
  • Apakah aku berkata-kata kasar kepada istriku?
  • Apakah aku cukup rajin bekerja demi menghidupi keluargaku?
  • Apakah aku mengatur waktuku dengan bijak, dan tidak menjadi hamba pekerjaan dan hamba uang?

Tentang doa

  • Pernahkah aku bersyukur pada Tuhan untuk karunia perkawinanku dan keluargaku?
  • Apakah aku berdoa dan membaca Firman Tuhan bersama dengan istriku setiap hari?
  • Jika istriku mengatakan sesuatu yang menjengkelkan hati, apakah aku langsung memarahi dia atau aku tenangkan diriku dahulu sambil mencari waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu?
  • Jika istriku bukan Katolik, apa yang sudah kulakukan agar dia dapat mengenal Yesus dan Gereja-Nya? Sudahkah aku berdoa bagi pertobatan iman-nya?

Tentang pengorbanan

  • Apakah aku sanggup berkorban -demi istri dan anak-anak-ku- untuk meninggalkan kebiasaan yang tidak baik seperti: merokok, pulang malam, judi, dll?
  • Apakah aku bijak menggunakan uang untuk keperluan keluarga?
  • Jika istriku sakit, apa aku siap sedia mengantarkannya ke dokter?
  • Jika istriku sakit, apa aku siap melayani-nya, siap menggantikan tugasnya dengan lapang hati, seperti mengurus anak-anak, mengantar anak ke sekolah, mengatur belanja, dll?
  • Jika aku mendapat uang bonus dari kantor, apakah aku akan gunakan untuk membeli keperluanku, ataukah aku diskusikan dulu dengan istriku?
  • Jika istriku berbuat kesalahan, apakah aku mau mengampuninya?

Tentang hal-hal sederhana

  • Apakah aku selalu mengingat hari ulang tahun istri, anak-anak, dan hari ulang tahun pernikahanku- dan mensyukurinya bersama?
  • Pernahkah aku mengatakan pada istriku, ‘aku mengasihi engkau’?
  • Pernahkah aku memuji istriku?

Tentang kesetiaan/ kemurnian

  • Jika aku pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan dan diajak oleh rekan-rekan sekerja untuk pergi ke tempat hiburan malam: apakah aku memiliki ketetapan hati untuk menolak, demi kasihku kepada istriku dan anak-anakku?
  • Jika aku mendapat perhatian istimewa dari rekan wanita sekerja, apakah aku cukup bijak untuk bersikap, demi janji setiaku kepada istriku di hadapan Tuhan?
  • Apakah aku menjaga kemurnian pikiran, perkataan dan perbuatanku? (Tidak menonton film/ mambaca bacaan/ bercanda / memikirkan tentang hal yang porno)
  • Apakah aku sanggup menahan diri dan mendukung istriku dalam menerapkan KB alamiah dan bukan menggunakan alat kontrasepsi?

RENUNGAN UNTUK PARA ISTRI:

“ Hai istri, tunduklah kepada suami-mu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.” (Ef 5:22)

Tentang keseharian

  • Apa yang telah kulakukan untuk menyenangkan hati suamiku hari ini?
  • Apakah aku banyak mengeluh kepada suamiku?
  • Sudahkah aku mengambil peran sebagai ‘penolong’ jika suamiku membutuhkan bantuan?
  • Apakah aku mampu menjauhi keterikatan materi, seperti kesenangan berbelanja berlebihan, membeli barang yang mahal, terobsesi dengan make-up dan perhiasan?
  • Apakah aku menjaga kerapian penampilanku di hadapan suami?

Tentang doa

  • Pernahkah aku bersyukur pada Tuhan untuk karunia perkawinanku dan keluargaku?
  • Apakah aku berdoa dan membaca Firman Tuhan bersama dengan suamiku setiap hari?
  • Setiakah aku mendoakan suamiku agar selalu dilindungi Tuhan di dalam pekerjaannya dan untuk bertindak bijak sesuai dengan kehendak Allah?
  • Jika suamiku bukan Katolik, apa yang sudah kulakukan agar dia dapat mengenal Yesus dan Gereja-Nya? Sudahkah aku mendoakan bagi pertobatan-nya?

Tentang ketaatan

  • Apakah aku siap sedia menuruti perkataan suamiku dengan senang hati?
  • Apakah aku menghormati pendapatnya?
  • Apakah aku sungguh menganggap suamiku sebagai ‘kepala’ dalam rumah tangga yang berhak menentukan keputusan, atau aku lebih ingin agar ia mengikuti kehendakku?
  • Apakah aku terlalu banyak bicara dan mengkoreksi segala sesuatu yang dilakukan oleh suamiku?
  • Apakah aku kurang sabar menghadapi suamiku, terutama jika ia kerap mengulangi perbuatan yang sama yang kuanggap keliru?

Tentang pengorbanan

  • Apakah aku bijak menggunakan uang untuk keperluan keluarga?
  • Jika suamiku kelihatan lelah dan stress karena pekerjaannya, apakah aku membantunya dengan membiarkan ia beristirahat, dan sedapat mungkin mengurangi beban pekerjaannya di rumah?
  • Jika suamiku sakit, apakah aku dengan lapang hati melayaninya tanpa mengeluh?
  • Jika suamiku berbuat kesalahan, apakah aku mau mengampuninya?

Tentang hal-hal sederhana

  • Pernahkah aku memasak makanan kesukaan suamiku, atau menyediakan minuman untuknya?
  • Apakah aku selalu mengingat hari ulang tahun suami, anak-anak, dan hari ulang tahun pernikahanku- dan mensyukurinya bersama?
  • Pernahkah aku memuji suamiku?

Tentang kesetiaan/ kemurnian

  • Jika aku mendapat perhatian istimewa dari rekan pria sekerja, apakah aku cukup bijak untuk bersikap, demi janji setiaku kepada suamiku di hadapan Tuhan?
  • Apakah aku cukup sopan dan sederhana dalam hal berpakaian?
  • Apakah aku  menerapkan KB alamiah dan bukan menggunakan alat kontrasepsi?

RENUNGAN UNTUK PARA ANAK

“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu- ini adalah perintah yang penting, supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi” (Ef 6:1-2)

Tentang ketaatan dan keseharian

  • Apakah aku mendengarkan nasehat orang tua, menaati dan menghormati mereka?
  • Apakah aku cukup memperhatikan mereka dan menyenangkan hati mereka?
  • Apakah aku siap sedia mendengarkan keluh kesah mereka dan menghibur mereka?
  • Apakah aku menyediakan waktu buat orang tuaku, untuk mendengarkan dan bercakap-cakap dengan mereka?
  • Jika orang tuaku tinggal di luar kota, seringkah aku menelpon atau menulis surat kepada mereka?
  • Pernahkah aku menyakiti orang tuaku dengan perkataan maupun perbuatanku? Sudahkah aku meminta maaf?
  • Jika aku masih dibiayai oleh orang tua, cukup hematkah aku dalam menggunakan uang saku?

Tentang doa

  • Apakah aku rajin berdoa dan membaca Firman Tuhan?
  • Setiakah aku berdoa untuk untuk orang tuaku?
  • Jika orang tuaku belum mengenal Yesus, apakah yang sudah kulakukan untuk membawa mereka untuk mengenal Yesus dan GerejaNya? Sudahkah aku berdoa untuk pertobatan mereka?
  • Jika salah satu atau kedua orang tuaku sudah meninggal, setiakah aku berdoa untuk keselamatan jiwa mereka? Sudahkah aku memohonkan ujud misa di gereja, terutama pada hari peringatan wafat mereka dan pada kesempatan yang diberikan Gereja pada bulan November?

Tentang pengorbanan

  • Jika orang tuaku sakit, siap sediakah aku mengantarkan mereka ke dokter/ membelikan obat?
  • Jika orang tuaku sakit dan menderita, apakah aku melayaninya dengan lapang hati, sambil mempersembahkan pelayananku sebagai bukti kasihku kepada mereka, dan kepada Tuhan?
  • Jika orang tuaku mengatakan sesuatu yang menyakitkan hati, apakah aku mau mengampuni mereka?

Tentang kemurnian

  • Apakah aku menjaga kemurnian pikiran, perkataan dan perbuatanku? (Tidak menonton film/ mambaca bacaan/ bercanda / memikirkan tentang hal yang porno?
  • Jika aku belum menikah, apakah aku menjaga keperawananku?
  • Apakah aku cukup sopan dalam hal berpakaian?

RENUNGAN UNTUK PARA ORANG TUA

“Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Ef 6:4)
Bagi anak-anak mereka” orang tua adalah pendidik yang pertama dan terpenting” (KGK 1653)

Tentang keseharian

  • Apakah aku sudah menjadi contoh yang baik dalam hal iman dan kekudusan kepada anak-anakku?
  • Apakah aku telah bijak mengatur waktu sehingga ada waktu yang cukup untuk berkumpul bersama keluarga?
  • Apakah aku menyediakan cukup waktu untuk mendengarkan dan berbincang-bincang dengan anak-anak-ku?
  • Jika anak-anak-ku masih kecil-kecil: apakah aku menyediakan waktu untuk bermain bersama mereka?
  • Apakah aku sudah cukup memperhatikan masalah yang sedang dihadapi anak-anakku?

Tentang doa

  • Apakah aku sepenuhnya menyadari bahwa anak-anakku adalah titipan Tuhan?
  • Setiakah aku berdoa untuk anak-anakku?
  • Pernahkah aku mengajarkan anak-anak untuk berdoa, membaca Firman Tuhan dan bersama-sama mengikuti Misa Kudus?
  • Sudahkah aku berdoa bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga- ku setiap hari?

Tentang pendidikan iman anak

  • Sudahkah aku mencerminkan kasih Allah Bapa kepada anak-anakku?
  • Sudahkah aku memperkenalkan Tuhan Yesus dan ajaran-ajaranNya kepada anak-anakku?
  • Apakah aku menyekolahkan mereka di sekolah Katolik?
  • Apakah pernah aku membacakan pada mereka riwayat cerita para Santo/santa?
  • Apakah aku mengarahkan mereka untuk menemukan panggilan hidup mereka, dan secara khusus mendukung jika ada anak-ku yang terpanggil untuk menjadi imam, suster atau bruder?
  • Apakah aku punya cukup perhatian untuk pendidikan iman mereka?
  • Apakah aku mendukung anak-anakku untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan di gereja?

RENUNGAN UNTUK PARA PEKERJA

“Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal… dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kol 3:22-23)

Tentang keseharian

  • Apakah setiap hari aku mengerjakan pekerjaanku dengan senang hati?
  • Apakah aku dengan bijak menggunakan waktu di kantor untuk bekerja?
  • Apakah aku selalu berusaha memberikan yang terbaik di dalam pekerjaanku?
  • Apakah aku sudah bekerja dengan jujur, dengan tidak menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi?
  • Apakah aku sudah bekerja dengan jujur, dengan tidak menerima uang yang bukan menjadi hak- ku di dalam pekerjaanku?

Tentang doa

  • Setiakah aku berdoa mengucap syukur untuk pekerjaanku?
  • Apakah aku berdoa buat para atasanku agar mereka beroleh rahmat kebijaksanaan untuk mendatangkan kebaikan bagi semua di kantor?

Tentang ketaatan dan kerendahan hati

  • Apakah aku menghormati para atasanku dan segala keputusan mereka?
  • Jika atasanku memarahi aku di depan umum, apakah aku mengumpat ataukah aku menggunakan kesempatan itu untuk introspeksi dan memperbaiki diri?
  • Jika atasanku tidak menghargai hasil kerjaku, apakah aku kesal dan murung, ataukah aku dapat berkata pada diriku sendiri, “Aku sudah mencoba yang terbaik. Bersama Tuhan aku akan berusaha supaya lain kali kerjaku lebih baik.”… Mampukah aku mengampuninya dan berdoa baginya?
  • Jika rekan sekerjaku/ rekan bisnis memberikan komentar negatif tentang aku maupun pekerjaanku… Mampukah aku bersikap netral dan tidak membalasnya? Mampukah aku berjuang agar hasil pekerjaanku menjadi lebih baik? Mampukah aku mengampuni dan berdoa baginya?

RENUNGAN UNTUK PARA ATASAN/ MAJIKAN

“Kamu tahu, bahwa setiap orang… kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan. Dan kamu tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman.” (Ef 6:8-9)

Tentang keseharian

  • Apakah aku cukup menghargai para bawahanku?
  • Apakah aku cukup memperhatikan kesejahteraan bawahanku?
  • Apakah aku memandang mereka yang terkecil (satpam, office-boy/girl, pembantu) dengan layak sebagai manusia, ataukah sering aku bersikap acuh?
  • Apakah aku sering memarahi pegawai/ bawahanku?
  • Apakah aku sudah bersikap adil terhadap semua bawahanku?
  • Apakah aku sudah cukup memberikan teladan yang baik kepada bawahanku?
  • Apakah aku selalu bekerja dengan jujur dan menghindari korupsi?
  • Apakah aku berusaha sedapat mungkin untuk ‘tidak memecat sesorang’, terutama jika tidak ada kesalahan di pihak pegawai?
  • Apakah aku menganggap diri lebih tinggi dari para bawahanku, ataukah aku melihat mereka memiliki kesamaan derajat denganku di mata Tuhan?
  • Apakah aku sudah bermurah hati untuk menyumbang kegiatan pelayanan atau pewartaan Gereja?

Tentang doa

  • Apakah aku setia mengucap syukur atas berkat yang Tuhan berikan atas kedudukan dan usaha yang diberkati Tuhan?
  • Apakah aku selalu membawa di dalam doa sebelum mengambil segala keputusan?

Tentang pengorbanan

  • Apakah aku sudah mengutamakan kepentingan semua pekerja daripada kepentingan pribadi?
  • Apakah aku telah berusaha untuk membimbing para pegawai dan berperan sebagai ‘bapa/ ibu’ yang baik bagi mereka?

RENUNGAN UNTUK PARA JANDA DAN MEREKA YANG TIDAK MENIKAH

“Adapun Yudit sudah tinggal di rumahnya sebagai janda…. Didirikannya sebuah gubuk di atas sotoh (atap rumahnya)… ia berpuasa …Tiada satu orangpun dapat mengatakan sesuatu yang buruk tentang dia, sebab ia sangat takut akan Allah.” (lih.Ydt 8: 4-8)

Tentang keseharian

  • Apakah aku menjaga kemurnian pikiran, jiwa dan tubuhku?
  • Apakah aku bersikap yang layak sebagai seorang janda/ yang tidak menikah, melalui tutur kata dan caraku berpakaian?
  • Apakah aku memiliki kepasrahan yang total kepada Tuhan akan masa depan?
  • Apakah aku sudah cukup memusatkan perhatian dan hidupku pada Tuhan?
  • Apakah aku telah menggunakan apa yang kumiliki untuk kemuliaan Tuhan?
  • Apakah aku sudah menerima kepergian pasanganku ke rumah Tuhan dengan lapang hati?

Tentang doa dan puasa

  • Apakah ada tempat di rumahku yang aku khususkan untuk berdoa?
  • Apakah aku rajin berpuasa/ bermati raga?
  • Apakah aku sudah menggunakan waktuku untuk berdoa dan membaca Firman Tuhan?
  • Jika pasanganku sudah meninggal, apakah aku setia berdoa bagi keselamatan jiwanya, memohonkan ujud misa bagi-nya?

RENUNGAN UNTUK PARA PENDERITA SAKIT

(Rasul Paulus berkata),”Sekarang aku bersuka cita bahwa aku boleh menderita… dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya yaitu jemaat” (Kol 1:24)

” …hendaklah mereka semua mengetahui, bahwa mereka dipersatukan dengan Kristus yang menderita sengsara demi keselamatan dunia.” (LG 41)

Tentang keseharian dan doa

  • Apakah aku menerima keadaanku dengan hati lapang?
  • Apakah aku melihat penderitaanku sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri pada Allah?
  • Apakah aku melihat penderitaanku sebagai kesempatan untuk mengambil bagian dalam penderitaan Kristus untuk mendatangkan keselamatan?
  • Apakah aku sudah berdoa bagi keselamatan jiwa orang-orang yang kukasihi, dan keselamatan jiwaku?
  • Apakah aku tetap dapat bersyukur oleh karunia iman yang Tuhan sudah berikan kepadaku?
  • Apakah aku tetap dapat bersyukur untuk kasih yang boleh aku terima dari keluarga, saudara dan sahabat?
  • Apakah aku tetap dapat bersyukur untuk pengobatan dan pertolongan dari para dokter?
  • Apakah aku sudah melihat kehidupan ini sebagai anugerah, dan menyerahkan hidupku sepenuhnya pada Tuhan?
  • Apakah aku sudah memiliki iman, harapan dan kasih kepada Allah yang mengasihiku tiada batasnya?

Semua Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus

23

Kekudusan adalah untuk semua orang

Sewaktu saya tinggal di Filipina tahun 1999 yang lalu, saya pertama kali mengenal EWTN (Eternal Word Television Network– yang berpusat di Alabama, Amerika) melalui kabel TV. Acara yang menarik perhatian saya adalah sebuah ‘talk show’ dari seorang biarawati yang namanya Mother Angelica. Pertama-tama saya menonton hanya karena ingin tahu, apakah kiranya ada sesuatu yang menarik jika seorang suster berbicara di depan kamera. Anggapan saya ini ternyata keliru, sebab program talk show ini ternyata sungguh sangat luar biasa. Melalui penampilannya yang sederhana, dengan bahasa sehari-hari, Mother Angelica menyampaikan pesan-pesan Injil yang sangat mengena di hati. Saya masih ingat slogan yang selalu ditampilkan sebelum acara dimulai, “Everyone is called to be holy. Don’t miss the opportunity!” (Setiap orang dipanggil untuk menjadi kudus. Jangan lewatkan kesempatan ini!) Sejak saat itu, saya mencari tahu bagaimana caranya untuk hidup kudus, yang kemudian saya ketahui sebagai seruan dari Yesus sendiri yang diserukan kembali oleh Gereja kepada semua orang, yang menjadi salah satu fokus utama dalam Konsili Vatikan II.[1] Ternyata, panggilan hidup untuk hidup kudus ini merupakan sesuatu yang sangat penting, karena sesungguhnya, hanya dengan hidup dalam kekudusan inilah kita dapat menemukan kebahagiaan sejati. Hanya dengan hidup kudus dalam kasih inilah kita menemukan arti hidup kita yang sesungguhnya!

 

Mengikuti perintah Allah

Pertama-tama, Kitab Suci mengajarkan pada kita bahwa untuk hidup kudus, kita perlu mengikuti perintah Allah sebab perintah Allah itu kudus (Rom 7:12, 13:10). Perintah ini mencakup kita hidup di dalam iman, harapan dan kasih, terutama perintah untuk mengasihi Allah di atas segalanya dan mengasihi sesama (Mat 22: 37-39; Mrk 12:30), dengan cara ini kita dapat menjadi kudus dan tak bercela di hadapan Tuhan (Fil 1:10, 1 Tes 3:12). Dalam hal ini mengasihi artinya menjadikan kasih sebagai sesuatu yang utama dalam hidup kita. Kemanapun kita pergi kita harus ingat bahwa kita adalah alat Tuhan untuk menyampaikan kasihNya kepada orang-orang yang kita jumpai. Dengan kasih ini, kita belajar untuk selalu menaruh belas kasihan dan menyebarkan kebaikan. Kita juga harus berjuang untuk selalu rendah hati dan lemah lembut, sabar dalam menganggung segala sesuatu yang Tuhan izinkan terjadi di dalam hidup kita. Perjuangan untuk hidup kudus ini juga melibatkan perhatian pada sesama yang sedang susah dan menderita, sebab Kristus telah memberi teladan dengan wafatNya menanggung dosa-dosa kita, sehingga kitapun selayaknya saling menanggung beban dan saling mengampuni seperti Tuhan yang telah lebih dahulu mengampuni kita (Kol 3:12).

Menanggalkan manusia lama: ‘aku yang dulu sudah mati’

Kedua, untuk hidup kudus kita perlu menanggalkan diri kita yang lama –berikut dengan segala dosa dan kebiasaan negatif, untuk hidup sebagai manusia baru di dalam Roh Kudus dan hidup di dalam rasa hormat pada Tuhan (2Kor 7:1) sehingga kita dapat memiliki buah-buah Roh (Gal 5:22-24). Meninggalkan manusia lama adalah konsekuensi dari pembaptisan kita. Misalnya saja, kalau kita dulu terobsesi dengan pekerjaan, kecanduan nonton TV, ‘shopping’, gossip, atau merokok, maka jika mau dengan sungguh-sungguh menjadi manusia baru, kita harus berjuang untuk meninggalkan kebiasaan tersebut, dan mengalihkan waktu atau dana yang dulu tersalurkan untuk kebiasaan itu kepada hal-hal yang dapat memuliakan Tuhan. Kalau kita dulunya melakukan segala sesuatu dengan banyak mengeluh dan ‘komplain’, sekarang kita melakukannya dengan suka cita, karena kita melakukan segala sesuatunya dengan motivasi untuk mengasihi Tuhan, seperti yang diajarkan oleh Santa Teresia Kanak-kanak Yesus. Dengan sendirinya, keinginan hidup kudus ini mengarahkan kita pada hal-hal surgawi yang sifatnya kekal, bukan pada hal-hal dunia yang sifatnya sementara (Kol 3:2). Dengan melaksanakan semua ini, kita dapat hidup di dalam kebenaran dan bertumbuh di dalam kekudusan untuk menjadi semakin serupa dengan Allah (Ef 4:22-24).

Meniru Allah

Ketiga, kita perlu selalu berusaha untuk ‘meniru’ Allah yang kudus dan sempurna (1Pet 1:15-16; Mat 5:48) melalui teladan Kristus untuk kita terapkan di dalam perkataan, pikiran dan perbuatan kita. Kita memang perlu berjuang keras untuk menerapkan hal ini sebab memang tidak mudah untuk hidup kudus dewasa ini dengan adanya banyak godaan dunia yang menarik kita untuk melakukan dosa. Dari majalah sampai iklan, dari pengaruh budaya sampai kebiasaan, semua dapat membujuk kita kepada kesenangan yang semu, yang datang tidak ada habisnya. Rasul Yohanes menyebut ada tiga godaan utama di dalam hidup di dunia, yaitu keinginan daging, keinginan mata serta keangkuhan hidup (1Yoh 2:15) yang menyebabkan orang jatuh dalam dosa seksual, mengejar kekayaan, dan menjadi sombong. Oleh karena itu, untuk hidup kudus, Injil menasehatkan kita untuk mengembangkan tiga pola hidup Injili yaitu, kesucian (chastity), kemiskinan (poverty) dan ketaatan (obedience) yang bertentangan dengan ketiga pola hidup duniawi tersebut. Penerapan ketiga nasehat Injil ini dapat kita lihat sendiri di dalam hidup Kristus, yang merupakan intisari dari pengajaran utama-Nya yang dikenal sebagai Delapan Sabda Bahagia (Mat 5: 3-12). Semasa hidupNya di dunia, Kristus memiliki kelemahlembutan dan kesucian hati; Ia hidup miskin, Ia taat pada kebenaran sampai wafat di salib.[2] Karena itu, jika kita sungguh mau seperti Yesus – seperti yang sering kita nyanyikan di persekutuan doa: Ku… mau s’perti-Mu Yesus- kita pun harus mengikuti pola hidupNya, yang mencerminkan kerendahan hati. Dengan mengikuti teladan Yesus ini, kita berjalan menuju kekudusan.[3]

Semua orang dipanggil untuk hidup kudus

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana kita harus menerapkan ketiga nasehat tersebut, apakah harus dengan menjadi biarawan/ biarawati? Jawabannya adalah kita semua dipanggil untuk melaksanakan ketiga nasehat tersebut menurut status hidup kita. Tentu bagi kaum religius penerapan nasehat tersebut sungguh terlihat sangat jelas, dengan mempersembahkan seluruh hidup mereka, dengan hidup secara selibat untuk mengabdi Tuhan dan sesama. Dalam hal ini, mereka patut mensyukuri karunia tersebut, dan menjalani kehidupan panggilan mereka dengan suka cita, sebab di dalam diri merekalah Tuhan menghadirkan pola hidup Kristus secara terus menerus di dalam Gereja, dan dengan demikian menyatakan keagungan Kerajaan Allah.[4] Namun bagi kita kaum awam, kitapun dapat melaksanakan ketiga nasehat itu dengan derajat yang berbeda, sesuai dengan keadaan kita masing-masing. Misalnya, kesucian di dalam pernikahan ditandai dengan kesetiaan kepada pasangan;[5] kemiskinan dapat diartikan dengan hidup sederhana dan ketidak-terikatan dengan kekayaan ataupun materi; ketaatan dapat diartikan dengan tunduk kepada atasan kita, atau di dalam keluarga: istri tunduk pada suami, suami tunduk pada perintah Tuhan untuk mengasihi istri, dan anak-anak tunduk pada orang tua (lih. Kol 3:18-20, 22). Di atas segalanya, ketaatan diartikan sebagai taat kepada kebenaran yang dinyatakan Allah dengan hidup saleh dan adil (righteous). Untuk menerapkan hal-hal ini diperlukan kerendahan hati untuk selalu mengubah diri ke arah yang lebih baik sesuai dengan perintah Tuhan.

Kita semua juga bertumbuh di dalam kekudusan jika kita menerima dengan iman segala sesuatu yang diberikan oleh Allah, dan apabila kita bekerja sama dengan-Nya untuk melakukan kehendak-Nya di dunia ini[6] yaitu dengan melaksanakan tugas-tugas kita sesuai dengan panggilan hidup kita (lihat artikel: Refleksi Praktis Tentang Kekudusan). Contohnya, para pasangan Kristen dipanggil untuk menjadi contoh bagi dunia atas kasih seumur hidup, yang tak mengenal lelah dan bosan, serta kasih yang murah hati dan selalu terbuka pada anugerah kehidupan anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Para suami dan istri menjadi cerminan bagaimana Kristus mengasihi mempelai-Nya, yaitu Gereja, dengan mengorbankan nyawa baginya.[7] Para janda dan mereka yang tidak menikah juga dapat menyumbangkan kekudusan pada Gereja dengan mendukung tugas-tugas misi Gereja. Para pekerja dapat berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan masyarakat dengan cara saling menanggung beban dan mengasihi satu sama lain. Juga orang-orang miskin, sakit, dan menderita dipanggil juga untuk hidup kudus, karena mereka secara khusus dipersatukan dengan Kristus yang menderita sengsara untuk menyelamatkan dunia.[8]

Pengajaran dari Para Kudus

Menurut Santo Fransiskus de Sales[9], hidup kudus diawali dengan pemurnian dari dosa (pertobatan) melalui pengakuan dosa. Tahap selanjutnya adalah dengan pemurnian suara hati, sehingga kita dapat memiliki rasa penyesalan yang sungguh dan membuat niat yang teguh untuk memperbaiki diri. Dalam hal ini pemeriksaan batin memainkan peranan yang penting untuk membantu kita mengenali kehadiran Tuhan di dalam hati kita. Kesadaran ini mengantar kita pada tahap berikutnya yaitu, doa, meditasi, membaca dan merenungkan Firman Tuhan, melakukan perbuatan-perbuatan kasih, menyangkal diri, mengikuti retret, dan menerima sakramen-sakramen dari Gereja, terutama sakramen Tobat dan Ekaristi. Perlu diingat bahwa Gereja adalah tanda kehadiran Tuhan melalui liturgi dan sakramen-sakramen, sebab di dalamnya Kristus sendiri yang bertindak melalui perantaraan manusia, dalam hal ini adalah para imam-Nya. Dari semua itu, kehadiran Kristus yang paling sempurna dan mendalam adalah di dalam Sakramen Ekaristi, karena di dalam Ekaristi, Allah menyatakan kehendakNya, yaitu, Tubuh Yesus Kristus dipersembahkan dan kita semua dikuduskan dan disempurnakan (lih. Ibr 10:10,14)[10] Dalam hal ini, kita meyakini bahwa oleh karena kekudusan adalah karunia Tuhan; maka untuk menjadi kudus, kita harus mengambil bagian dalam kehidupan Allah sendiri, yang dikaruniakan kepada Gereja-Nya di dalam Ekaristi.

Selanjutnya, Santo Alfonsus Ligouri[11] mengajarkan bahwa di atas segalanya, kita harus berusaha untuk mencari kesamaan dengan kehendak Tuhan, yaitu dengan menjadikan kehendak-Nya kehendak kita sendiri. Dengan melakukan kehendakNya dengan sukacita, baik di dalam kelimpahan maupun di dalam kesulitan, kita sungguh memuliakan Tuhan. Inilah yang menjadi kesempurnaan kita, dan harus menjadi tujuan dari segala keinginan, tindakan, doa, dan meditasi kita. Dengan bertindak sesuai dengan pengertian ini, kita dikuduskan dan menikmati damai di dalam hidup ini. Juga, dengan melaksanakan kehendak Tuhan, kita mengikuti jejak Kristus yang dengan taat kepada Bapa rela wafat di kayu salib bagi manusia. Dengan mengikut teladan Yesus inilah, kita ikut berpartisipasi di dalam kekudusan-Nya untuk mendatangkan keselamatan bagi dunia.

Kesimpulan

Jadi, kekudusan itu adalah karunia yang awalnya diberikan pada waktu kita dibaptis, yaitu pada saat kita meninggalkan manusia lama dan mengenakan Kristus. Selanjutnya kekudusan harus kita perjuangkan dan tingkatkan dengan tindakan kasih kepada Tuhan dan sesama, yang disertai dengan kemurnian hati, pola hidup sederhana -yaitu tidak mengikatkan diri pada kekayaan- juga diikuti ketaatan dan kesalehan; dan semuanya itu didasari oleh kerendahan hati. Jika kita terus menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari, dengan rahmat yang kita terima dari Ekaristi dan sakramen lainnya, maka kita akan bertumbuh di dalam kekudusan. Tuhan kita memang Allah yang Maha Baik. Jika Dia memanggil kita untuk menjadi kudus, Dia juga menyediakan bagi kita jalan menuju kekudusan itu, yang memang harus ditempuh dengan perjuangan, namun Tuhan akan terus mendampingi dan memberi kekuatan, damai dan suka cita yang tidak bisa diberikan oleh dunia ini. Sekarang tergantung kita masing-masing, maukah kita menempuh jalan itu?


[1] Seruan untuk hidup kudus diajarkan oleh Kristus, yang mengatakan, “Karena itu, haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu di sorga adalah sempurna,” Kesempurnaan yang dimaksud ini adalah kekudusan karena pengajaran ini adalah pengulangan dari pengajaran yang disampaikan oleh Musa di kitab Imamat, yaitu “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan Allahmu, kudus (Im 19:2) dan di kitab Ulangan, “Haruslah engkau hidup dengan tidak bercela di hadapan Tuhan..”(Ul 18:13)

Lihat Lumen Gentium bab V, Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, tentang Panggilan kepada Semua Orang kepada Kekudusan di dalam Gereja.

[2] Lihat Joseph Ratzinger, Pope Benedict XVI, Jesus of Nazareth, (Double Day, New York, 2007), p. 74, “The Beatitudes present a sort of veiled interior biography of Jesus, a kind of a portrait of His figure. He who has no place to lay His head (Mt 8:20) is truly poor, He who can say…I am meek and lowly in heart (Mt 11:28-29) is truly meek; He is the one who is pure of heart and so unceasingly beholds God. He is the peacemaker, He is the one who (obediently) suffers for God’s sake.

[3] Lihat Lumen Gentium 39, Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “Kekudusan itu dengan aneka cara terungkapkan pada masing-masing orang, yang dalam corak hidupnya menuju kesempurnaan cinta kasih dengan memberi teladan baik kepada sesama. Secara khas pula nampak dalam penghayatan nasehat-nasehat, yang lazim disebut “nasehat Injil”. Penghayatan nasehat-nasehat itu atas dorongan Roh Kudus ditempuh oleh orang banyak kristiani, entah secara perorangan, entah dalam corak atau status hidup yang disahkan oleh Gereja, serta menyajikan dan harus menyajikan di dunia ini kesaksian dan teladan yang ulung tentang kesucian itu.”

Lihat pula Lumen Gentium 42, yang menyatakan, “Maka semua orang beriman kristiani diajak dan memang wajib mengejar kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka. Oleh karena itu hendaklah semua memperhatikan, agar mereka mengarahkan keinginan-keinginan hati dengan tepat, supaya mereka dalam mengejar cinta kasih yang sempurna jangan dirintangi karena menggunakan hal-hal duniawi dan melekat pada kekayaan melawan semangat kemiskinan menurut Injil. Itulah maksud nasehat Rasul (Paulus): orang yang menggunakan barang dunia ini jangan sampai berhenti di situ: sebab berlalulah dunia seperti yang kita kenal sekarang (lih. 1Kor 7:31).

[4] Lihat Lumen Gentium 44, ibid., “Corak hidup, yang dikenakan oleh Putera Allah ketika Ia memasuki dunia ini untuk melaksanakan kehendak Bapa, dan yang dikemukakan-Nya kepada para murid yang mengikuti-Nya, yang diteladan dari lebih dekat oleh status religius, dan senantiasa dihadirkan dalam Gereja. Akhirnya status itu juga secara istimewa menampilkan keunggulan Kerajaan Allah melampaui segalanya yang serba duniawi, dan menampakkan betapa pentingnya Kerajaan itu. Selain itu juga memperlihatkan kepada semua orang keagungan mahabesar kekuatan Kristus yang meraja dan daya Roh Kudus yang tak terbatas, yang berkarya secara mengagumkan dalam Gereja.”

[5] Lihat Lumen Gentium 41, ibid., “Para suami-isteri dan orang tua kristiani wajib, menurut cara hidup mereka, dengan cinta yang setia seumur hidup saling mendukung dalam rahmat….”

[6] Lihat Lumen Gentium 41, ibid., “Jadi semua orang beriman kristiani dalam kondisi-kondisi hidup mereka, dalam tugas-tugas serta keadaan mereka, dan melalui itu semua, dari hari ke hari akan makin dikuduskan, bila mereka dalam iman menerima segala-sesuatu dari tangan Bapa di sorga, dan bekerja sama dengan kehendak ilahi, dengan menampakkan dalam tugas sehari-hari kepada semua orang cinta kasih Allah terhadap dunia.”

[7] Lihat Lumen Gentium 41, ibid ., “(Para suami- isteri dan orang tua kristiani) meresapkan ajaran kristiani maupun keutamaan-keutamaan Injil di hati keturunan, yang penuh kasih mereka terima dari Allah. Sebab dengan demikian mereka memberi teladan cinta kasih yang tak kenal lelah dan penuh kerelaan kepada semua orang, memberi contoh kepada persaudaraan kasih, dan menjadi saksi serta pendukung kesuburan Bunda Gereja. Mereka menjadi tanda pun sekaligus ikut serta dalam cinta kasih Kristus terhadap Mempelai-Nya, sehingga Ia menyerahkan diri untuknya.”

[8] Lihat Lumen Gentium 41, ibid., “Khususnya hendaklah mereka yang ditimpa oleh kemiskinan, kelemahan, penyakit dan pelbagai kesukaran, atau menanggung penganiayaan demi kebenaran – merekalah, yang dalam Injil dinyatakan bahagia oleh Tuhan, dan yang “Allah, sumber segala rahmat, yang dalam Kristus Yesus telah memanggil kita ke dalam kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan dan mengokohkan, sesudah mereka menderita seketika lamanya” (1Ptr 5:10), – hendaklah mereka semua mengetahui, bahwa mereka dipersatukan dengan Kristus yang menderita sengsara demi keselamatan dunia.”

[9] Ringkasan dari buku karangan St. Francis de Sales, An Introduction of the Devout Life, (TAN Books and Publishers, Inc., Rockford, Illinois, USA), 1994.

[10] Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1364, “Apabila Gereja merayakan Ekaristi, ia mengenangkan Paska Kristus; Paska ini dihadirkan. Kurban yang dibawakan Kristus satu kali untuk selama-lamanya, selalu tinggal berhasil guna.” Penghadiran kembali ini tidak berarti bahwa Yesus disalibkan kembali, karena memang Ia telah disalibkan satu kali saja, seperti perkataan Rasul Paulus (Rom 6:10). Jadi yang dihadirkan adalah kurban Kristus yang satu dan sama, (lihat Katekismus 1367) yang dimungkinkan karena Kristus adalah Allah yang tidak terbatas oleh waktu. Hanya cara-nya yang berbeda, yaitu … “Kristus yang sama itu hadir dan dikurbankan secara tidak berdarah… yang mengurbankan diri sendiri di kayu salib secara berdarah satu kali untuk selama-lamanya (Konsili Trente: DS 1743).

“Setiap kali korban salib yang di dalamnya dipersembahkan Kristus, Anak Domba Paska, dirayakan di altar, terlaksanalah karya penebusan kita.” (Lumen Gentium 3)

[11] Ringkasan dari buku karangan St. Alphonsus de Liguori, Uniformity with God’s Will, (TAN Books and Publishers, Inc., Rockford, Illinois, USA), 1977.

Apa itu Kekudusan?

17

Ah, jangan sok suci

Banyak orang mendengar kata ‘kekudusan’ menjadi ciut hati, atau ‘keder’ dalam bahasa ‘slang’ Jawa. Apalagi kalau dalam percakapan sehari-hari, kudus atau suci sering dihubungkan dengan konotasi negatif, misalnya, ‘jangan sok suci’. Padahal kekudusan atau kesempurnaan di mata Tuhan itu adalah sesuatu yang indah, yang harusnya diinginkan oleh semua orang, karena itulah sesungguhnya yang diajarkan oleh Yesus sendiri (lihat Mat 5:48). Bagi kita yang sudah dibaptis, sesungguhnya kita telah diberikan oleh Allah rahmat awal kekudusan itu, ((Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1265, “Pembaptisan tidak hanya membersihkan dari semua dosa, tetapi sernentak menjadikan orang yang baru dibaptis suatu ‘ciptaan baru’ (2Kor 5:17), seorang anak angkat Allah (lih. Gal 4:5-7); ia ‘mengambil bagian dalam kodrat ilahi’ (2Ptr 1:4), adalah anggota Kristus (lih. 1Kor 6:15;12:27), ‘ahli waris’ bersama Dia (Rm 8:17) dan kanisah Roh Kudus (1Kor 6:19).)) yang selayaknya kita pertahankan dan kita tingkatkan (lihat artikel: Semua Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus)

Kekudusan adalah ciri khas Tuhan

Kekudusan adalah salah satu dari sifat utama Tuhan yang menjadi ciri khas-Nya. Kekudusan adalah kasih  yang sempurna, sehingga kekudusan dan kasih adalah sesuatu yang tidak terpisahkan, sebab Tuhan adalah Kudus (Im 19:2, Lk 1: 49, 1Ptr 1:15) dan Kasih (1Yoh 4: 10,16).

Kekudusan adalah “dipisahkan” untuk Tuhan

Jika mengacu kepada asal katanya, kekudusan artinya adalah “dipisahkan”, dalam hal ini maksudnya adalah dipisahkan untuk menjadi milik Tuhan. Kekudusan atau ‘sanctitas‘ dalam Kitab Suci Vulgata Perjanjian Baru, mengacu kepada kata hagiosyne (1 Tes 3:13) dan hosiotes (Luk 1:75; Ef 4:24). Kedua kata Yunani ini menyatakan dua arti kekudusan, yaitu: yang berkenaan dengan pemisahan sebagaimana terlihat dalam hagios dari hagos, yang menandai “hal apapun tentang penghormatan religius” (bahasa Latinnya: sacer); dan yang berkenaan dengan apa yang dikuduskan (sanctitus), yaitu hosios yang menerima meterai dari Tuhan. ((Sumber: New Advent Encyclopedia, http://www.newadvent.org/cathen/07386a.htm.))

Kekudusan adalah kehendak Allah bagi semua orang

Kekudusan adalah kehendak Allah untuk kita semua (1Tes 4:3, Ef 1:4; 1Pet 1:16) walaupun kita mempunyai jalan dan status kehidupan yang berbeda-beda. Kita semua, dipanggil untuk hidup kudus dengan menerapkan kasih kepada Tuhan dan sesama (Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31), sehingga kita mencapai kepenuhan hidup Kristiani. ((Lihat Lumen Gentium (LG) 40, juga LG 42, “Maka semua orang beriman kristiani diajak dan memang wajib mengejar kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka.”))

Konsili Vatikan II, di dalam dokumennya tentang Gereja (Lumen Gentium) menyerukan panggilan kekudusan untuk semua orang yang berkehendak baik:

“…Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan mereka, melainkan berdasarkan rencana dan rahmat-Nya. Mereka dibenarkan dalam Tuhan Yesus, dan dalam Baptis iman sungguh-sungguh dijadikan anak-anak Allah dan ikut serta dalam kodrat ilahi, maka sungguh menjadi suci. Maka dengan bantuan Allah mereka wajib mempertahankan dan mengembangkan dalam hidup mereka kesucian yang telah mereka terima. Oleh rasul mereka dinasehati, supaya hidup “sebagaimana layak bagi orang-orang kudus” (Ef 5:3); supaya “sebagai kaum pilihan Allah, sebagai orang-orang Kudus yang tercinta, mengenakan sikap belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran” (Kol 3:12); dan supaya menghasilkan buah-buah Roh yang membawa kepada kesucian (lih. Gal 5:22; Rom 6:22). Akan tetapi karena dalam banyak hal kita semua bersalah (lih. Yak 3:2), kita terus-menerus membutuhkan belas kasihan Allah dan wajib berdoa setiap hari: “Dan ampunilah kesalahan kami” (Mat 6:12). Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih…” (LG, 40)

Kekudusan adalah persekutuan dengan Tuhan dan sesama dalam kasih

Persatuan atau persekutuan dengan Tuhan adalah inti dari kekudusan, ((Lihat Joseph Cardinal Ratzinger, Called to Communion, (Ignatius Press, San Francisco, 1996), p.33, “The ultimate goal…is perfect unity- it is “unification” with the Son, which at the same time makes it possible to enter into the living unity of God Himself so that God might be all in all (1Cor 15:28).”)) sebab Tuhan Allah Tritunggal sendiri adalah contoh dari persekutuan kasih antara Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Ia yang telah memanggil semua manusia kepada kekudusan, telah juga menanamkan kemampuan pada kita untuk mengasihi dan hidup di dalam persekutuan. ((Lihat Katekismus Gereja Katolik (KGK), 2331. “Allah itu cinta kasih. Dalam diri-Nya Ia menghayati misteri persekutuan cinta kasih antar pribadi (dalam hal ini Pribadi Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus). Seraya menciptakan umat manusia menurut citra-Nya sendiri… Allah mengukirkan panggilan dalam kodrat manusia pria dan wanita, dan karena itu juga kemampuan serta tanggung jawab untuk hidup dalam cinta dan dalam persekutuan.”)) Maka kekudusan adalah persekutuan dengan Allah dan sesama dalam kasih, dan dengan mengasihi inilah kita dapat menjadikan hidup kita berarti dan bahagia, sebab sejak semula memang untuk Allah menciptakan kita agar kita beroleh kebahagiaan.

Jadi, manusia yang diciptakan menurut gambaran Allah, baik itu para religius maupun kaum awam, yang menikah ataupun lajang, tua ataupun muda, semua dipanggil kepada kesempurnaan kasih yang disebut kekudusan ini. ((Lihat LG 39, “Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih.”)). Kekudusan ini diperoleh melalui pemenuhan hukum yang terutama, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama (lih. Mrk 12:30-31). ((Lihat LG 40, “Kamu harus sempurna, seperti Bapamu yang di sorga sempurna adanya” (Mat 5:48). Sebab kepada semua diutus-Nya Roh Kudus, … supaya mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap tenaga mereka (lih. Mrk 12:30), dan saling mencintai seperti Kristus telah mencintai mereka (lih. Yoh 13:34; 15:12). )) yang dicapai dengan mengikuti jejak Tuhan sesuai dengan karunia yang diberikan kepada tiap-tiap orang untuk memberi kemuliaan bagi Tuhan dan pelayanan kepada sesama. ((Lihat LG 40, “Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus, supaya dengan mengikuti jejak-Nya dan menyerupai citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segalanya, mereka dengan segenap jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama.”)) Mengapa? Sebab jika kita mengasihi Tuhan, kita didorong untuk mengasihi sesama, karena kita melihat Kristus di dalam sesama kita terutama yang lemah dan membutuhkan pertolongan (lih. Mat 25:40). Kasih kepada Tuhan dan sesama inilah yang menunjukkan bahwa kita adalah pengikut Kristus. ((Lihat LG 42, “Maka cinta kasih akan Allah maupun akan sesama merupakan ciri murid Kristus yang sejati.”)) Persekutuan yang erat dengan Tuhan juga mendorong kita menjadikan kehendak Tuhan sebagai kehendak kita sendiri, pikiran Tuhan sebagai pikiran kita sendiri. Dan karena Tuhan menghendaki segala sesuatu utuh dan sempurna, maka persekutuan dengan-Nya  juga membawa kita kepada persekutuan dengan sesama dan keutuhan diri sendiri.

Kekudusan itu dimulai dari hal- hal kecil dan sederhana

Dalam hal ini janganlah kita berpikir bahwa kekudusan adalah sesuatu yang terlalu tinggi yang tidak dapat diraih. Sebab, menurut Santa Teresia Kanak-kanak Yesus, kekudusan berawal dari hal-hal kecil dan sederhana yang dilakukan dengan motif kasih yang besar kepada Tuhan, karena “perbuatan kasih adalah jalan utama yang memimpin kita kepada Tuhan.” ((St. Therese of Lisieux, The Story of a Soul, The Autobiography of St. Therese of Lisieux, translated by John Clark, O.C.D., (ICS Publications, Washington DC., Third Edition 1996), p. 194)).  Contohnya, kita dapat bangun tidur lebih awal 10 menit untuk berdoa, kita dapat menyapa anggota keluarga, tetangga atau Pak Satpam dengan tersenyum, atau membantu membuang sampah pada tempatnya di rumah atau di tempat kerja. Singkatnya, dalam keseharian kita, kita menyadari akan kehadiran Tuhan, sehingga kita berusaha untuk menyenangkan hati-Nya dengan setiap perkataan dan perbuatan kita. Dimulai dari hal-hal kecil inilah, kemudian kita dibentuk oleh Kristus untuk menjadi semakin serupa dengan-Nya, yaitu mengikuti kerendahan hati-Nya dengan memikul salib kita sehari-hari, supaya kita dapat turut serta dalam kemuliaan-Nya (1 Pet 4: 13, LG 41).

Kekudusan itu adalah rahmat yang kita peroleh dari Kristus contoh dan sumber kekudusan

Walaupun kita dapat berusaha untuk mengejar kekudusan, namun tidak berarti bahwa kekudusan itu dapat diperoleh dari kekuatan kita sendiri. Sebab kekudusan itu sesungguhnya adalah rahmat Tuhan. Tuhan telah memberikan teladan kesempurnaan kasih dengan memberikan diri-Nya sendiri melalui Yesus Kristus Putera-Nya kepada kita (1Yoh 4:10). Di dalam Kristus, Tuhan memberitahukan kepada kita kesempurnaan kasih-Nya, yaitu kekudusan. Maka terdorong oleh Roh Kudus, dan dikuatkan oleh rahmat Tuhan yang kita terima pada saat Pembaptisan, kita dipanggil oleh Tuhan untuk mengikuti teladan-Nya, dengan memberikan diri kita kepada orang lain.

Maka kita tidak dapat mengandalkan kemampuan kita sendiri untuk mencapai kekudusan; sebab kita baru bisa menjadi kudus, jika kita menerima rahmat Allah dan bekerjasama dengannya. Gereja memberikan rahmat pengudusan Allah itu melalui sakramen- sakramennya; ((lih. KGK 1123: Sakramen-sakramen dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah. Tetapi sebagai tanda, Sakramen juga dimaksudkan untuk mendidik. Sakramen tidak hanya mengandaikan iman, melainkan juga memupuk, meneguhkan dan mengungkapkannya dengan kata-kata dan tindakan. Maka juga disebut Sakramen iman” (Sacrosanctum Concilium 59).)) terutama sakramen Ekaristi dan sakramen Tobat.

Kristus, Sumber segala kekudusan, memanggil kita untuk mengambil bagian di dalam misteri KeselamatanNya, yaitu salib dan kebangkitanNya (1Pet 4:13). Dengan mengambil bagian dalam misteri Paska Kristus ini, yang dihadirkan oleh GerejaNya terutama di dalam sakramen Ekaristi, ((Lihat KGK 1085, “Di dalam liturgi Gereja, Kristus menyatakan dan melaksanakan misteri Paska-Nya…” dan 1088, “Ia (Kristus) hadir dalam kurban misa baik dalam pribadi pelayan (imam yang mempersembahkan misa)… maupun terutama dalam rupa Ekaristi.”))  kita dikuduskan oleh Allah dan kasihNya menjadi sempurna di dalam kita. Di dalam Kristus inilah, kita dapat mentaati Bapa dan menyembah-Nya di dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23-24).

Kesimpulan

Marilah kita semua menginginkan kekudusan, yaitu kesempurnaan hidup sebagai pengikut Kristus. Karena pada Penghakiman terakhir, setiap orang akan diukur berdasarkan kekudusannya, dan hanya dengan kekudusan setiap dari kita dapat masuk ke surga (2 Pet 3:11, Why 21:27). Kekudusan ini diperoleh dari banyaknya kasih yang kita perbuat di dunia; dan pertumbuhan di dalam kasih ini membuat kita menjadi tak bercela di hadapan Allah (Flp 1:9-10, 1 Tes 2 :12-13). Kristus sendiri mengajarkan pentingnya kekudusan, sebab tanpa itu kita tidak dapat melihat Allah (Mat 5:8; Ibr 12:14). Untuk maksud pengudusan inilah Kristus turun ke dunia, dengan wafat di salib dan bangkit bagi kita, agar kita dapat mengambil bagian dalam misteri Keselamatan, bersekutu dengan Nya, dan melalui Dia, kita bersekutu dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Inilah yang menjadi tujuan hidup kita, yaitu dipersatukan dengan Allah, Pencipta kita, sehingga pada akhirnya dipenuhilah FirmanNya yang dikatakan oleh Rasul Paulus, “Allah menjadi semua di dalam semua” (1Kor 15:28) dan Ia dimuliakan di dalam semua.

Apakah Spiritualitas Katolik?

30

Pendahuluan

Jika kita mendengar kata ‘spiritualitas’, kita dibawa pada suatu kenyataan bahwa di dalam hidup, manusia selalu mencari ‘sesuatu di atas dirinya’ sebagai manusia. Hal ini disebabkan karena kita manusia tidak hanya terdiri dari tubuh saja, melainkan juga jiwa spiritual, sehingga kita selalu memiliki kecenderungan untuk menemukan jati diri kita dengan mengenali Sang Pencipta. Seperti halnya ikan salmon yang mengembara ribuan kilometer dalam hidupnya untuk kembali ke tempat ia dilahirkan dan mati di tempat asalnya tersebut; demikian halnya dengan manusia. Sudah selayaknya, kita –yang diciptakan lebih sempurna dari ikan salmon- menyadari, bahwa kita berasal dari Tuhan dan suatu saat akan kembali kepada Tuhan. Maka, di dalam hidup, kita akan berusaha untuk mengenal diri sendiri dan Tuhan, dan di sinilah spiritualitas berperan dalam kehidupan kita.

Tuhanlah yang memberi makna hidup

Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat, bahkan mengalami pergumulan untuk pencarian jati diri, yang lebih umum dikenal dengan pencarian makna hidup, atau singkat kata, kebahagiaan. Dan karena asal dan akhir manusia adalah Tuhan, maka tidak mengherankan bahwa di dalam pergumulan ini, banyak orang mengalami seperti yang dikatakan oleh Santo Agustinus, “Hatiku tak pernah merasa damai sampai aku beristirahat di dalam Engkau, ya Tuhan.” Tuhanlah sumber kebahagiaan kita dan Dia-lah yang memberi arti dan maksud dari hidup ini. Maka, hanya jika kita sampai kepada Tuhan, barulah kita menemukan damai dan pemenuhan makna hidup. Kesaksian dari banyak orang membuktikan hal ini: ada banyak orang yang secara materiil tak kurang sesuatu apapun, tetapi tidak bahagia, sementara ada orang-orang lain yang hidup sederhana tetapi dapat sungguh berbahagia dan menikmati hidup. Pertanyaannya, kenapa demikian?

Dapat dimengerti, spiritualitaslah yang membedakan kedua kelompok ini. Spiritualitas di sini mengacu pada nilai- nilai religius yang mengarahkan tindakan seseorang. ((Lihat Jordan Aumann, Spiritual Theology, Spiritual Theology, (Continuum, London, reprint 2006, first published in 1980), p17, “…spirituality refers to any religious or ethical value that is concretized as an attitude or spirit from which one’s actions flow.”)) Jika nilai- nilai yang dipegang tidak mengarah pada Tuhan, kebahagiaan yang dicapai adalah ‘semu’ sedangkan jika nilai-nilai itu mengarah pada Tuhan, kebahagiaan yang diperoleh adalah kebahagiaan sejati. Meskipun spiritualitas ini tidak terbatas pada agama tertentu, namun, kita bisa memahami, bahwa spiritualitas mengarah pada Tuhan Sang Pencipta, karena semua manusia diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama, dan karena hanya di dalam Tuhanlah kita mendapatkan jawaban atas segala pertanyaan di dalam kehidupan ini.

Spiritualitas Kristiani adalah Spiritualitas Tritunggal Maha Kudus yang berpusat pada Kristus

Sebagai umat Kristiani, kita percaya bahwa Tuhan telah menyatakan diri-Nya di dalam diri Yesus Kristus PuteraNya ((Kristus dan Allah Bapa adalah satu (Yoh 10: 30; 14: 9-11).)) oleh kuasa Roh Kudus-Nya. Oleh karena itu, spiritualitas Kristen bersumber pada Allah Tritunggal Maha Kudus, yang berpusat kepada Kristus, Penyelamat kita, ((Paus Yohanes Paulus II, dalam Redemptoris Hominis (Penyelamat Manusia), Surat Ensiklikal, 7, menulis, “Jiwa kita diarahkan pada satu arah, pada satu-satunya arah akal budi, kehendak dan hati – menuju Kristus Penyelamat kita, menuju Kristus, Sang Penyelamat manusia. Kita berusaha untuk mengarahkan pandangan kita kepada Dia- sebab tidak ada keselamatan di dalam siapapun selain dari Dia, Sang Putera Allah…” Our spirit is set in one direction, the only direction for our intellect, will and heart is – toward Christ our Redeemer, towards Christ, the Redeemer of man. We wish to look towards Him – because there is no salvation in no one else but Him, the Son of God…”)) karena hanya di dalam nama Kristus kita diselamatkan (Kis 4:12). Allah Bapa telah menciptakan kita sesuai dengan gambaran-Nya; dan menginginkan agar kita selalu tinggal di dalam kasihNya yang tak terhingga sebagaimana ditunjukkan oleh Kristus dengan wafat dan kebangkitanNya, untuk menghapus dosa-dosa kita (1 Yoh 4:10). Oleh Kristus, kita angkat kita menjadi anak-anak Allah (Rom 8:15). dan dipersatukan dengan Tuhan sendiri; Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.

Jadi, ‘komuni’ atau persatuan kudus kita dengan Allah Tritunggal adalah tujuan hidup kita. Sekarang masalahnya adalah, apakah kalau kita percaya kepada Tuhan, otomatis kita pasti bisa bersatu dengan Dia? Pertama-tama kita harus menyadari, bahwa persatuan dengan Tuhan yang membawa kita pada keselamatan adalah suatu karunia; itu adalah pemberian, bukan karena usaha manusia (Ef 2:8). Karunia keselamatan tersebut diberikan oleh Kristus melalui wafatNya di salib, kebangkitanNya dan kenaikanNya ke surga. Misteri ini-lah yang sampai sekarang selalu dihadirkan kembali oleh Gereja Katolik, melalui sakramen sakramennya, terutama Sakramen Ekaristi, ((Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1085, dan 1362, “Ekaristi adalah kenangan akan Paska Kristus yang menghadirkan dan mempersembahkan secara sakramental kurban satu-satunya dalam liturgi Tubuh-Nya yaitu Gereja.”)) di mana kita dipersatukan dengan Tubuh dan Darah Kristus, Jiwa dan Ke–ilahianNya. Persatuan atau komuni kudus ini adalah cara yang dipilih Allah untuk mengangkat kita menjadi serupa dengan Dia. Untuk maksud persatuan kudus inilah, Kristus mendirikan Gereja Katolik untuk melanjutkan karya Keselamatan-Nya kepada dunia sampai kepada akhir zaman.

Peranan Iman

Dalam hal persatuan dengan Tuhan melalui misteri Keselamatan inilah, iman mengambil peranan penting. Iman di sini bukan berarti kepercayaan subjektif bahwa pasti kita diampuni sehingga kita tidak perlu melakukan sesuatu apapun sebagai konsekuensi, melainkan iman yang objektif, yang diawali dengan pertobatan sejati dan diikuti dengan proses memperbaiki diri, yaitu suatu perjuangan untuk semakin menjadikan diri kita semakin mirip dengan Tuhan yang menciptakan kita. Dalam hal ini, iman yang dimaksud adalah ketaatan iman (Rom 16:26; 1: 5) yang diberikan kepada Allah yaitu dengan cara mempersembahkan ketaatan kita secara penuh yang mencakup kehendak dan akal budi, dan dengan mematuhi dan menyetujui segala kebenaran yang dinyatakan oleh Tuhan kepada kita. ((Dei Verbum, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi 5, “Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan iman” (Rom16:26 ;lih. Rom1:5 ; 2Cor10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan”, dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya.”)) Kebenaran yang dinyatakan oleh Kristus dilanjutkan oleh Gereja-Nya, Gereja Katolik, sehingga ketaatan total kepada Tuhan membawa kita kepada ketaatan kepada kepada Gereja. Taat di sini tidak saja mencakup taat kepada Firman Tuhan yang tertera pada kitab suci, tetapi juga kepada Gereja-Nya, karena keduanya sejalan dan tidak dapat dipisahkan.

Spiritualitas Katolik adalah spiritualitas yang otentik

Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa spiritualitas yang dinyatakan oleh Kristus adalah spiritualitas yang otentik, meskipun Gereja Katolik tidak menolak apa yang benar dan kudus yang dinyatakan oleh agama-agama lain. ((Lihat Nostra Aetate 2, Dokumen Vatikan II, Dokumen Vatikan II, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristiani, “Gereja katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, Tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.”)) Dikatakan otentik karena spiritualitas ini berasal dari Tuhan sendiri, yang kini berada di dalam Gereja Katolik yang dipimpin oleh penerus Rasul Petrus dan para uskup pembantunya, meskipun ada banyak unsur pengudusan dan kebenaran ditemukan di luar struktur Gereja Katolik. ((Lihat Lumen Gentium 8, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “Sesudah kebangkitan-Nya Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan (lih. Yoh 21:17). Ia mempercayakannya kepada Petrus dan para rasul lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing (lih. Mat 28:18 dsl), dan mendirikannya untuk selama-lamanya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (lih. 1Tim 3:15). Gereja itu, yang didunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya[[13]], walaupun diluar persekutuan itupun terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran, yang merupakan karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan katolik.)) Berakar dari Firman Tuhan dan ajaran Gereja inilah, kita mengetahui bahwa panggilan hidup kita sebagai manusia adalah agar kita hidup kudus dan mengasihi, karena Allah itu Kudus dan Kasih (Im 19:2, 1Yoh 4:16). Di sini kekudusan berkaitan erat dengan memegang dan melakukan perintah Tuhan ((Lihat Im 20:7-8, “Maka kamu harus menguduskan dirimu, dan kuduslah kamu sebab Akulah Tuhan Allahmu. Demikianlah kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan melakukannya; Akulah Tuhan yang menguduskan kamu”)), yang adalah perintah untuk mengasihi Tuhan dan sesama (Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31) (Lihat artikel: Bagaimana caranya untuk hidup kudus?). Hanya dengan cara ini, maka kita dapat bertumbuh untuk menjadi ‘serupa’ dengan Allah, dan dikuduskan oleh Allah. Panggilan hidup kudus adalah panggilan bagi semua orang Kristen, bahkan panggilan untuk semua orang, karena kita semua diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama. Jadi kekudusan bukan monopoli kelompok para pastor, suster dan religius lainnya tetapi harus menjadi tujuan bagi kita semua.

Konsili Vatikan II menyerukan pada semua orang panggilan untuk hidup kudus. Siapapun kita, dalam kondisi yang berbeda satu dengan lainnya, dipanggil Tuhan untuk menjadi kudus, sebab Allah sendiri adalah Kudus. ((Lumen Gentium 40, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “…semua orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih.”)) Jadi panggilan ini berasal dari Allah yang satu, dan berlaku untuk semua orang, karena Allah menciptakan semua orang di dalam kesatuan, dan menginginkan kesatuan itu kembali di dalam diriNya, yang berlandaskan kasih. Maka nyatalah bahwa Spiritualitas Katolik mengarah kepada kekudusan dan kasih di dalam kesatuan yang universal, yaitu yang merangkul semua orang kepada persatuan di dalam Tuhan. Persatuan ini adalah kesempurnaan dari hidup Kristiani, yang dihasilkan dari penerapan pengajaran Tuhan di dalam kehidupan sehari- hari. ((Lihat Jordan Aumann, Spiritual Theology, (Continuum, London, reprint 2006, first published in 1980), p25, 23. ”Spiritual theology reflects precisely on the mystery of our participation in divine life….Spiritual theology …is not a pure speculative science but also a practical and applied theology.”)) Jadi spiritualitas yang otentik haruslah diikuti oleh penerapan di dalam perbuatan, sebab jika tidak, spiritualitas menjadi hanya sebatas teori.

Ciri-ciri Spiritualitas Katolik

Dengan demikian, ciri-ciri dari Spiritualitas Katolik adalah ((Diterjemahkan dan disederhanakan dari tulisan Douglas G. Bushman, S.T.L., Foundation of Catholic Spirituality, Institute for Pastoral Theology, Ave Maria University, 2006, p. 35-37.)):

  1. Berpusat pada Kristus. Kristuslah yang menciptakan hidup spiritual, sebab di dalam Dia, Tuhan menyatakan diriNya oleh kuasa Roh Kudus. Oleh karena itu spiritualitas tergantung dari semua pengajaran Kristus.
  2. Melalui Kristus menuju kesatuan dengan Allah Tritunggal. Karena Kristus adalah Pribadi kedua di dalam kesatuan Tritunggal Maha Kudus, maka jika kita bersatu dengan Kristus, maka kita akan bersatu dengan Allah Tritunggal.
  3. Keikutsertaan di dalam misteri Paska Kristus (salib, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga), melalui rahmat Tuhan, iman, kasih, dan nilai-nilai Kristiani lainnya. Singkatnya, Spiritualitas Katolik tak terlepas dari Salib Kristus, ((Hal ini sangat nyata dalam pengajaran Rasul Paulus, “Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengatahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.”(1 Kor 2:2).)) penderitaan dan kesadaran diri akan dosa- dosa kita yang membawa kita pada kebangkitan di dalam Dia. Karena misi Keselamatan Kristus diperoleh melalui Salib, maka sebagai pengikutNya, kita-pun selayaknya mengambil bagian dalam penderitaan itu, terutama dengan kesediaan untuk terus-menerus bertobat dan mau menanggung penderitaan demi keselamatan sesama, dan dengan demikian kita dapat mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya. Jika kita hanya mau mengambil bagian dalam ‘kemuliaan’ tanpa mau mengambil bagian dalam ‘penderitaan’ –yang dizinkan oleh Tuhan untuk terjadi di dalam hidup kita- maka kita tidak menerapkan Injil dengan seutuhnya.
  4. Berdasarkan kesaksian akan Kasih Tuhan. Kitab Suci bukan hanya wahyu Tuhan, tapi juga pernyataan akan pengalaman manusia di dalam wahyu Tuhan itu. Apa yang dialami oleh Adam dan Hawa, Nabi Abraham, Ayub, Bunda Maria, Rasul Petrus dan Paulus, dapat dialami oleh kita semua.
  5. Disertai kesadaran akan dosa dan belas kasihan Tuhan. Spiritualitas Katolik berlandaskan atas keyakinan akan Kasih Tuhan di atas segalanya yang mampu mengubah segala sesuatu. Pada saat Tuhan mengasihi kita, dan jika kita membuang segala dosa yang menghalangi kita untuk menerima kasih-Nya, dan dengan iman dan doa, maka kita dapat sungguh diubah, dikuduskan dan dimampukan berbuat baik.
  6. Mengarah pada kehidupan kekal yang dijanjikan oleh Allah.
  7. Melihat Bunda Maria sebagai contoh teladan. Spiritualitas Katolik menerima segala kebijaksanaan Tuhan yang selalu menggunakan peran pengantara, yaitu Musa, para nabi, Yohanes Pembaptis, dan terutama Bunda Maria untuk menyelenggarakan karya keselamatan-Nya. Karya Tuhan yang ajaib juga nampak dalam mukjizat keperawanan Maria dan melalui ketaatan dan kesediaan Maria, Allah menganugerahkan rahmat yang tiada batasnya, yaitu kelahiran Yesus Kristus, Penyelamat kita di dunia.
  8. Mangacu pada Gereja-Nya, Gereja Katolik. Gereja merupakan sumber atau alat yang meneruskan rahmat Tuhan. Rahmat Tuhan ini kita peroleh melalui sakramen-sakramen terutama Ekaristi; dan juga melalui ketaatan kita pada para penerus Rasul Kristus yang telah dipilih oleh- Nya. Gereja sebagai kesatuan (komuni) manusia dengan Tuhan, selalu memperjuangkan martabat manusia, dan memperhatikan kesatuannya dengan para orang kudus; sebab melalui kesatuan ini Allah dimuliakan.

Kesimpulan

Dengan melihat ciri-ciri di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa tujuan akhir Spiritualitas Katolik adalah kemuliaan Tuhan, yang diwujudkan oleh kasih kepada Tuhan dan sesama. Untuk mencapai hal ini, bukan kesuksesan yang menjadi tolok ukurnya melainkan kesetiaan untuk bergantung pada Kristus, sebab tanpa Dia kita tidak bisa berbuah (bdk. Yoh 15:15). Bentuk wujud kesatuan dengan Kristus yang paling nyata di dunia ini adalah melalui Ekaristi kudus, di mana kita menyambut Tubuh dan Darah, Jiwa dan ke-Ilahian Kristus, sehingga olehNya kita dipersatukan dengan Allah Tritunggal. Oleh karena itu, Spiritulitas Katolik selalu berpusat dan bersumber pada Ekaristi, yang adalah Allah sendiri, ((Lihat Katekismus Gereja Katolik, dan Lumen Gentium 11, “Ekaristi adalah ‘sumber dan puncak seluruh hidup kristiani.”)) karena kekudusan adalah karunia yang diberikan oleh Tuhan. Melalui Ekaristi, kita tinggal di dalam Kristus dan dimampukan untuk mengikuti teladan-Nya, sehingga dapat berjalan menuju kekudusan, yaitu persekutuan dengan Allah, yang menjadi sumber kebahagiaan kita. Di sinilah kebahagiaan kita sebagai manusia menjadi juga kemuliaan bagi Allah, karena Allah menciptakan kita agar kita berbahagia bersama-Nya!

Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada?

28

Jangan bertanya tentang agama kepada orang lain … itu tabu

Pada waktu saya tinggal di Amerika, suatu saat sepupu saya mengatakan bahwa ada beberapa hal yang tidak boleh ditanyakan jika bertemu dengan orang di Amerika, seperti umur, status, dan juga termasuk agama. Sepanjang pengetahuan saya, pertanyaan “apakah agama-mu” adalah merupakan pertanyaan yang jamak dan lazim di Indonesia, apalagi negara Indonesia berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah “Ke-Tuhanan yang Maha Esa.”. Setelah saya pikir-pikir, orang di Amerika dan mungkin di negara yang lain tidak begitu senang kalau ditanya tentang agama mereka, karena itu adalah masalah yang pribadi. Kedua, ada kemungkinan mereka sebetulnya bisa mengatakan saya tidak beragama. ((Mungkin juga ketidaknyamanan mereka akan pertanyaan ini sebetulnya membuktikan bahwa masalah agama adalah sesuatu yang bersifat pribadi dan juga membuktikan bahwa mereka merasakan ada sesuatu yang salah. Kalau mereka merasa tidak salah, sebetulnya tidak usah mereka merasa tidak enak.))  “Tidak beragama” mulai melanda banyak negara maju, sejalan dengan perkembangan teknologi dan ekonomi, dimana banyak orang merasa tidak membutuhkan Tuhan. Juga di negara komunis, agama disebut “candu masyarakat.” ((Lenin Vladimir dalam bukunya “Socialism and Related Systems” mengatakan bahwa agama adalah merupakan candu bagi masyarakat. ((Lenin Vladimir dalam bukunya “Socialism and Related Systems” mengatakan bahwa agama adalah merupakan candu bagi masyarakat.))

Dalam artikel ini akan dicoba untuk menjawab pertanyaan yang begitu mendasar, yaitu “mengapa kita musti percaya kepada Tuhan? Dan kalau kita percaya, Tuhan yang mana yang harus kita percayai? Apakah banyak tuhan ataukah Tuhan yang esa?…. Mungkin ada banyak orang di Indonesia yang tidak pernah terlintas untuk memikirkan atau mencoba untuk menjawab pertanyaan ini. Hal ini disebabkan karena agama sudah mendarah daging di dalam masyarakat Indonesia. Untuk mempertanyakan hal ini kepada orang tua, mungkin ada rasa jengah. Bertanya kepada guru atau pastor, takut dikira tidak punya iman. Namun pertanyaan mendasar seperti ini patut diberikan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan, karena manusia pada dasarnya mempunyai kodrat untuk “ingin tahu“.

Membuktikan keberadaan Tuhan dengan dasar filosofi dari St. Thomas Aquinas.

Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana dengan menggunakan akal budi – melalui pendekatan filosofi ((lih. KGK, 47, 286; cf. Vatican Council I, can. 2, § 1: DS 3026.)) – dapat ditarik kesimpulan bahwa kepercayaan kepada Tuhan yang satu adalah kepercayaan yang sangat logis. Sebaliknya, kalau seseorang tidak percaya akan Tuhan yang satu, bisa dibilang bahwa itu melawan akal budi. ((Pendekatan yang logis ini berdasarkan “self-evidence principle” atau prinsip kebenaran yang tidak perlu dibuktikan, seperti: suatu akibat terjadi karena suatu sebab (causality). Kita tidak perlu membuktikan apakah “causality” adalah suatu prinsip yang benar, karena ini sudah menjadi bagian dari acuan berfikir yang bersifat umum atau “universal” yang menjadi dasar kebenaran untuk diterapkan kepada semua prinsip yang lain. Sebagai contoh, kita tidak perlu membuktikan bahwa lingkaran itu adalah bulat.))  Tidak ada pertentangan antara iman dan akal budi. Teologi sendiri dapat didefinisikan sebagai “iman yang mencari pengertian atau faith seeking understanding.” ((Motto dari St. Anselmus adalah “faith seeking understanding/ iman yang mencari pengertian (fides quaerens intellectum). Banyak orang yang mengatakan bahwa iman jangan digabungkan dengan filosofi atau akal, nanti jadi rancu dan tidak murni. Ini adalah pendapat yang salah, karena iman dan akal budi berasal dari sumber yang sama. Kalau keduanya berasal dari sumber yang sama, maka keduanya tidak mungkin bertentangan satu sama lain. Memang akal budi hanya dapat menjangkau tingkat tertentu. Dengan akal budi, manusia dapat membuktikan bahwa Tuhan itu ada, Tuhan itu satu, Tuhan itu baik dan kekal, dll. Namun ada banyak hal yang tidak mungkin juga dicapai oleh akal budi, namun perlu Tuhan sendiri yang memberikan wahyu-Nya kepada manusia, seperti: Trinitas, inkarnasi, sakrament, keselamatan, dll. Pada saat itulah akal budi harus bekerjasama dengan iman. Iman tanpa menggunakan akal budi akan menjadikan seseorang terlalu fanatik (fideism). Sebaliknya akal budi tanpa iman akan membuat orang mengarah kepada hal yang salah dan tersesat. Kita bisa melihat bahwa banyak sekali filsuf yang pada akhirnya tidak percaya kepada Tuhan. Dalam Gereja Katolik, sintesis dari kedua hal ini ditunjukkan oleh banyak dokumen Gereja (sebagai contoh: ensiklik dari Paus Yohanes Paulus II – “fides et ratio” atau hubungan antara iman dan pemikiran . Karya yang begitu indah dalam sintesis kedua hal ini adalah “Summa Theology” dari St. Thomas Aquinas.)) Paus Yohanes Paulus II berkata “akal budi dan iman adalah seperti dua sayap dimana roh manusia naik untuk mencapai kontemplasi kebenaran.” ((John Paul II, Encyclical Letter on the Relationship between Faith and Reason: Fides et Ratio, 1st ed. (Pauline Books & Media, 1998), p. 7 – Di sini Paus Yohanes Paulus mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara akal budi dan iman, karena keduanya datang dari sumber yang sama, yaitu Tuhan.))  Akal budi ini sudah menjadi bagian integral manusia, yang mempunyai kapasitas untuk menginginkan pencapaian suatu kebenaran. ((KGK, 31,32)) Untuk membuktikan kebenaran akan eksistensi dari Tuhan, maka St. Thomas Aquinas di dalam bukunya “Summa Theology,” ((St. Thomas Aquinas,  ST, I, q.2., a.3.)) memberikan lima metode, yang terdiri dari: 1) prinsip pergerakan, 2) prinsip sebab akibat, 3) ketidakkekalan dan kekekalan, 4) derajat kesempurnaan, dan 5) desain dunia ini.

Bukti 1: Prinsip pergerakan.

Mari sekarang kita meneliti pembuktian pertama, yaitu dari pergerakan. ((Prinsip ini mengatakan bahwa semua yang bergerak atau berubah dikarenakan oleh sesuatu. Juga bisa dikatakan bahwa sesuatu yang berubah dari potensi ke sesuatu yang nyata digerakkan oleh sesuatu yang sudah dalam keadaan nyata.)) St. Thomas mengambil contoh dari pergerakan, karena pergerakan terjadi dimana saja, kapan saja, dan bisa diamati dalam kejadian sehari-hari. Sebagai contoh, pada waktu mobil saya mogok, tetap bisa bergerak karena mobil saya ditarik oleh mobil derek. Namun mobil derek ini bisa bergerak karena adanya koordinasi sistem mesin yang begitu rumit. Walaupun demikian, mobil tidak akan bergerak, kalau tidak ada tangan manusia yang memasukkan kunci dan “menstarter” mobil itu. Tangan digerakkan oleh sistem kerja tubuh yang melibatkan miliaran sel, dimana dikoordinasikan oleh otak. Namun siapa yang menggerakkan otak? Karena ada kehidupan, ada jiwa yang tinggal di dalam tubuh manusia. Siapa yang membuat kehidupan dan jiwa tetap bertahan… dan seterusnya, sampai ada suatu titik, kita dapat mengambil kesimpulan ada “unmoved mover” atau penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain, karena Dia adalah sumber dari pergerakan itu. Sumber pergerakan inilah yang dinamakan “Tuhan”.

Bukti 2: Prinsip sebab akibat.

Pembuktian ke dua adalah dari “Prinsip sebab akibat.” Semua orang di dunia ini tahu kalau sesuatu terjadi dikarenakan oleh sesuatu. Prinsip ini begitu sederhana, sehingga bayipun dapat menerapkan prinsip ini. Bayi tahu kalau dia lapar, maka dia akan menangis. Dia tahu bahwa tangisannya akan menyebabkan ibunya datang dan kemudian menyusui dia. Ibu ini mau menyusui anaknya, walaupun kadang terjadi pagi-pagi buta, karena dia menyayangi anaknya. Dia sayang, karena anak itu lahir dari rahimnya, dan terjadi karena buah kasih sayang dengan suaminya. Komitmen untuk membentuk rumah tangga dikarenakan keinginan untuk mendapatkan kebahagian. Dan kebahagiaan, kalau ditelusuri terus-menerus akan sampai pada suatu titik, yang disebabkan oleh “uncaused cause” atau penyebab yang tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Sumber dari penyebab inilah yang disebut orang “Tuhan“.

Dari pembuktian pertama dan kedua, orang bisa mengatakan bahwa “tapi sesuatu bisa terjadi tanpa batas“. Namun keberatan ini dapat disanggah dengan membagi semua pergerakan dan semua sebab akibat menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah “saat ini (current movement/change).” Bagian ke dua adalah deretan yang terhingga dari gerak dan sebab, atau yang disebut “bagian tengah / inter-mediate cause(s)“. Dan kemudian bagian yang terakhir adalah “bagian awal / first mover / causel“. Nah, bagian awal inilah yang disebut “Tuhan, Sang Alfa.”

Bukti 3: Dari prinsip ketidakkekalan dan kekekalan.

Kemudian pembuktian yang ketiga adalah “dari mahluk yang bersifat sementara (contingent beings) dan yang kekal (necessary beings)“. Di dunia ini, tidak mungkin semuanya bersifat sementara, karena kalau demikian maka ada suatu waktu semuanya akan lenyap. Bayangkan orang tua kita cuma hidup sekitar 80 tahun. Terus kakek kita mungkin 90 tahun. Kakek dari kakek kita mungkin 100 tahun. Mau berapa panjang usia nenek moyang kita, mereka toh pada akhirnya telah meninggal. Jika ditelusuri terus, maka garis keturunan kita akan sampai pada manusia pertama. Pertanyaannya adalah, bagaimana manusia pertama itu bisa ada dan hidup? Tidak mungkin dia terjadi begitu saja dari ketidak-adaan. Sebab sesuatu yang tidak ada tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang ada/nyata. Jadi disimpulkan bahwa kalau semua mahluk tidak kekal, maka harus ada “Mahluk lain” yang keberadaannya kekal ((Sesuatu yang kekal dapat dibagi menjadi dua, yaitu kekekalan yang didapat karena yang lain, sebagai contoh: jiwa manusia, para malaikat – setelah mereka diciptakan, maka mereka menjadi kekal. Kekekalan yang kedua adalah kekekalan yang tidak tergantung dari yang lain, dan ini hanya ada satu, yaitu Tuhan.)) dan tidak mungkin hilang. KekekalanNya membuat mahluk yang tidak kekal terus bertahan dan memenuhi bumi, sehingga kehidupan tidak punah. Kekekalan yang tidak disebabkan oleh yang lain inilah yang disebut “Tuhan, Sang Kekal.” ((Untuk menyanggah keberadaan Tuhan sebagai “unmoved mover” dan “uncaused cause” adalah tidak mendasar, karena itu berarti, kita harus berasumsi bahwa sesuatu di dunia ini terjadi tanpa ada penyebabnya. Dan asumsi ini berlawan dengan prinsip utama (self-evidence principle), yaitu prinsip sebab akibat (causality).))

Bukti 4: Derajat kesempurnaan.

Pembuktian ke empat adalah dari sisi “derajat kesempurnaan.” Kalau kita amati, semua yang ada di dunia ini ada tingkatannya. Ada yang miskin, kaya, konglomerat. Kasih, kebajikan, kebaikan, keindahan, kebenaran, semuanya ada tingkatannya. Peribahasa “kasih anak sepanjang galah dan kasih ibu sepanjang jalan,” secara tidak langung menunjukkan ada tingkatan dan derajat kasih. Jadi, kalau semua ada tingkatannya, tentu ada yang paling tinggi tingkat kesempurnaanya. Jadi, semua tingkatan berpartisipasi dalam sesuatu yang tingkatannya paling tinggi. Sebagai contoh, kalau kita menaruh besi di dalam api, maka besi itu menjadi panas. Namun panasnya besi bukan karena akibat dari besi itu sendiri, melainkan karena partisipasi besi itu dalam api.

Contoh di atas membuka suatu prinsip yang sangat penting, yaitu “seseorang atau sesuatu tidak dapat memberi apa yang dia tidak punya.” Air dingin tidak bisa membuat besi menjadi panas, karena air dingin tidak mempunyai sifat panas. Semua yang ada di dunia ini tidaklah sempurna, namun semuanya ada karena partisipasi dalam sesuatu yang tingkatannya paling tinggi, dan yang tingkatannya paling tinggi inilah yang di sebut “Tuhan, Sang Maha Sempurna.”

Bukti 5: Dari desain dunia ini dan tujuan akhir.

Pembuktian yang terakhir adalah dari sisi “desain dunia ini dan tujuan akhir“. Ini adalah sesuatu yang dapat dibuktikan di dalam hidup kita sehari-hari. Kita setiap hari melihat jalan setapak, jalan raya, dan juga jalan layang. Apakah mungkin kalau kita mengatakan bahwa jalan itu memang ada dengan sendirinya, tanpa ada yang mendesain dan membangun. Bagaimana dengan desain rumah, desain tata kota, dll. Semua terjadi karena ada yang mendesain dan tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Kalau kita percaya bahwa rumah kita tidak terjadi dengan sendirinya, namun didesain oleh diri sendiri atau seorang arsitek, apakah kita dapat menyangkal bumi ini, sistem grafitasi, dan juga sistem tata surya terjadi dengan sendirinya? Apakah mungkin kita berpendapat bahwa pergerakan planet-planet dan bintang-bintang, yang semuanya berjalan dengan keharmonisan tertentu dikarenakan karena faktor kebetulan? Desain alam semesta ini jauh lebih rumit daripada desain rumah kita. Kalau kita percaya akan arsitek yang mendesain rumah kita, maka kita harus percaya bahwa ada arsitek tata surya ini, yaitu Tuhan. Kalau kita lebih percaya bahwa semuanya terjadi secara kebetulan, maka ini adalah argumen yang tidak mungkin, karena kemungkinan bahwa semua itu terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur adalah bisa dibilang “tidak mungkin.” Sama halnya seperti kalau kita bilang bahwa rumah saya terjadi secara kebetulan tanpa ada yang merencanakan dan menbangunnya.

Bagaimana dengan mahluk yang tidak berakal budi, seperti tumbuhan dan binatang. Mereka mempunyai suatu pola dalam hidup mereka. Siapa yang mengatur kehidupan mereka? Hukum alam? Namun siapa yang mengatur hukum alam? Hanya mahluk rasional yang mungkin mengatur sesuatu yang punya aturan tertentu dan menuju ke suatu tujuan tertentu.

Contoh lain adalah gravitasi bumi, dan pergerakan tata surya yang mempunyai nilai tertentu dan tetap sepanjang sejarah. Jika nilai- nilai tersebut berubah sedikit saja, maka kacaulah segala planet di tata surya ini. Maka jelaslah bahwa semua yang bergerak dan beroperasi menurut urutan tertentu akan bergerak untuk mencapai tujuan akhir. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada “Mahluk Rasional” yang memelihara dan mengarahkan semua yang ada di alam ini ke tujuan akhir. Inilah yang disebut “Tuhan, Sang Omega.” Dengan demikian lebih logis dan lebih mungkin, kalau kita percaya bahwa ada sesuatu yang mengatur sistem alam semesta, yaitu Tuhan Sang Pencipta.

Kemudian, variasi dari demonstrasi ke lima ini adalah dari sisi “aturan moral.” Kalau di atas kita melihat bagaimana Tuhan mengatur mahluk yang tidak berakal budi dengan “hukum alam“, maka berikut ini adalah demontrasi yang menunjukkan bahwa Tuhan juga mengatur mahluk yang berakal budi, yaitu manusia melalui “hukum moral.” Kalau kita teliti lebih jauh, manusia dengan latar belakang, kebangsaan, suku, ras yang berbeda, diatur oleh suatu hukum yang dinamakan hukum moral yang secara alami tertulis di dalam hati nurani manusia. ((Rasul Paulus mengatakan di Rom 2:15 “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.”)) Hukum moral inilah yang membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dengan yang jahat. Hukum ini bersifat obyektif, dan mengikat manusia secara universal. Kita bisa melihat bagaimana aturan baku di semua negara: anak harus menghormati orang tua, seorang ibu mengasihi anaknya, seseorang akan merasa tidak enak hati kalau membalas kebaikan dengan kejahatan, dll. Kalau orang melawan hukum universal ini, maka dia sebenarnya melawan hati nuraninya sendiri.

Kata “hukum atau aturan” pada dasarnya adalah sesuatu yang terjadi karena tuntutan akal (dictate of reason) yang dibuat untuk kepentingan umum oleh seseorang yang mempunyai otoritas. Misalnya, kalau peraturan lalu lintas adalah peraturan dengan alasan yang logis untuk keselamatan pengendara, yang dibuat oleh pihak kepolisian lalu lintas. Dengan menerapkan prinsip “sebab akibat“, kita tahu bahwa hukum moral yang tertulis di setiap hati nurani manusia tidaklah terjadi dengan sendirinya, namun diberikan oleh Sang Pemberi Hukum yaitu: “Tuhan, Sang Maha Adil.” Jadi hukum moral ini juga dapat membuktikan keberadaan Tuhan, yang memberikan aturan yang tertulis di dalam hati manusia untuk kepentingan umum.

Ok. Sekarang saya percaya kepada Tuhan, tapi satu Tuhan atau banyak tuhan?

Dari lima pembuktian ini, mungkin ada orang yang mengatakan. Ok, saya percaya ada Tuhan, tapi saya juga percaya ada banyak tuhan. Untuk menjawab hal ini, kita melihat pada pembuktian ke-empat, yang menujukkan tidaklah mungkin kalau ada banyak tuhan, karena kalau banyak, pasti yang satu lebih atau kurang dari yang lain. Padahal, kalau Tuhan itu adalah “Maha secara absolut”, maka hanya dapat disimpulkan bahwa “Tuhan itu adalah Satu atau Esa“.

Keputusan untuk percaya kepada Tuhan yang Satu adalah keputusan yang paling logis.

Dari semua pembuktian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa lebih logis kalau kita percaya Tuhan daripada sebaliknya. Kelogisan ini berlanjut dengan kepercayaan kita kepada Tuhan yang Satu dan Kekal. Jadi sebenarnya dapat dikatakan bahwa dasar pertama dari Pancasila – keTuhanan yang Maha Esa – adalah sangat logis dan mendasar. Di dalam tulisan yang akan datang, kita akan menelusuri lebih jauh tentang siapa Tuhan yang Satu itu. Dan pertanyaan itu akan mengarah kepada “Yesus Kristus, Sang Sabda Kehidupan “.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab