Home Blog Page 250

Beragama atau tidak beragama sama saja?

23

[Berikut ini adalah sharing pengalaman seorang pembaca yang tadinya Katolik tetapi sekarang meninggalkan Gereja, karena berpandangan bahwa beragama atau tidak beragama itu sama saja. Benarkah demikian?]

Pertanyaan:

Dulu, saya seorang katolik dan ikut karismatik……
Kl menurut saya, karismatik itu…. ya memang membuat hati tersentuh bahkan kadang2 orang2pun menangis……
Tapi kalau dari pandangan saya sebagai orang awan yang imannya tidak kuat……
Saya juga tersentuh tapi itu semua karena ada musik yang mellow dan bisa menggetarkan hati….. buktinya saya yang awam aja tersentuh…. walaupun disana membahas alkitab tapi pulang dari gereja saya tdk mendapatkan pencerahan apapun………Hati saya tetap kosong…… kadang sih saya merasa karismatik kq spt agama protestan dan bahasa rohnya kq kayak dibuat2 gitu sih…. masa bisa dinyanyikan bahasa rohnya dan dikeluarkan pada saat penyembahan…… spt dibuat2 saja.

Jujur, keluarga saya memang atheis tapi kami bukan atheis dari awal…….
orang tua saya bukan katolik tp kakak2 saya semua katolik karena bersekolah di sekola katoluk bahkan kakak perempuan saya dulu putri altar tapi seiring berjalannya waktu dan berbagai kejadian yang kami alami, kami menemukan banyak kejanggalan dan ketidak masuk akalan dalam kitab suci,………
kami menemukan tanpa Tuhan kami juga bisa hidup seperti org lain dan pekerjaan kami lancar. Keberhasialan bukan hanya dari keberuntungan dan “karunia” saja tapi dari kerja keras kami……

Terkadang di dalam lubuk hati saya, saya ingin memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan spt org lainnya…. tapi hati saya kosong……
Setelah saya melihat dunia luas….. saya sadar agama bukanlah segalanya…..
banyak orang yang tidak beragama justru lebih bermoral dan sosial daripada orang beragama……
tapi saya percaya orang yg benar2 beriman katolik pasti org baik sih….. krn tante2 saya katolik

saya meyakini, sebenarnya agama itu hanyalah wadah agar orang2 itu ada pada jalan yang benar dan tidak semena2 dalam hidupnya….
namun walaupun tanpa agama, jika mindset kita sudah teratur , kita juga bisa membuat aturan sosial bagi diri kita sendiri……..
Bagi saya….., apa sih yang kita cari dalam kehidupan kita?
KEBAHAGIAAN….. dan orang katolik pasti mencari kebahagiaan itu dalam kristus
tapi bagi saya, saya bisa menemukan kebahagiaan itu dengan cara saya sendiri….
saya memiliki impian dan menikmati kehidupan yang saya jalani…..

Beragama karena apa? coba Anda pikirkan…..
krn percaya akan Tuhan, karena bla bla bla….. tapi ujung2nya karena takut masuk neraka bukan….. kq sptnya gmana gt….
mengikuti Tuhan karena takut nnt di kehidupan yang akan datang tersiksa…. spt beriman krn menginginkan kebahagiaan…..

Berarti beragama atau tidak beragama sama saja……
Hanya untuk kepuasan diri sendiri…. kl udah ke gereja dan taat, hati jadi lega……
kl ada masalah…… berdoa, minta bimbingan dan penguatannya….
Semua hanya untuk ketenangan batin semata…..
Hanya masalah pskilogis saja………

Jawaban:

Shalom WeLl,

Sebenarnya, tidak ada sesuatu yang aneh dengan keinginan kita manusia untuk mencari kebahagiaan. Ini adalah salah satu yang membuktikan bahwa kita adalah manusia, yaitu jika kita ingin hidup bahagia. Nah, karena kita manusia diciptakan Tuhan sebagai mahluk rohani (tidak saja terdiri dari tubuh), maka tidak heran, kebahagiaan kita sebagai manusia tidak saja berkenaan dengan kesenangan jasmani. Sebab telah banyak contohnya, bahwa orang- orang yang secara duniawi sudah mencapai segala- galanya, tetapi masih merasa ‘kosong’ bahkan ada yang memilih bunuh diri. Ini adalah bukti bahwa kebahagiaan manusia tidaklah ditentukan oleh terpenuhinya kebutuhan jasmani.

1. Apakah definisi kebahagiaan?

Nah sekarang, apakah definisi kebahagiaan menurut anda? Jika kebahagiaan yang anda maksud hanya pemenuhan kebutuhan material di dunia; mungkin saja memang dapat diperoleh tanpa melibatkan Tuhan. Tetapi apakah itu benar, bahwa manusia hanya puas dengan pemenuhan kebutuhan di dunia yang sifatnya sementara? Apakah manusia tidak menginginkan sesuatu yang bersifat selamanya dan kekal? Jika kita mau jujur, ya, kita manusia merindukan kebahagiaan yang sifatnya selamanya; dan ini ada di dalam hati semua orang, karena memang manusia diciptakan sedemikian oleh Tuhan. Manusia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah, dan karenanya merindukan kekekalan dan kesempurnaan, sebab Allah yang menciptakan kita adalah Allah yang kekal dan sempurna.

Saya tidak mengerti latar belakang anda, bagaimana sewaktu masih tergabung dalam Gereja Katolik, dan pernah mengikuti persekutuan Karismatik. Apakah anda setia mengikuti Misa Kudus ataukah hanya sesekali? Apakah anda pernah mengikuti secara serius persekutuan doa Karismatik, atau hanya mengikuti persekutuan beberapa kali? Sejauh mana usaha yang anda lakukan untuk mempelajari iman anda? Apakah anda rajin berdoa dan merenungkan Kitab Suci? Apakah anda mengalami hubungan yang pribadi dengan Tuhan? Sesungguhnya pertanyaan- pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang tidak hanya layak ditujukan kepada anda, tetapi kepada semua umat Katolik, termasuk saya.

Satu hal yang perlu disadari adalah: karya Allah dalam hidup setiap orang itu berbeda- beda. Namun umumnya, berawal dari suatu kesadaran untuk bertanya kepada diri sendiri: “Jadi untuk apa saya hidup di dunia ini?”, seperti yang tersirat saya lihat dalam tulisan anda. Kerinduan anda agar dapat mengalami hubungan yang harmonis dengan Tuhan, itu sendiri adalah rahmat Tuhan. Sebab kerinduan kita akan Tuhan itu disebabkan oleh dorongan dari Tuhan. Maka, jiwa andapun sesungguhnya merindukan Tuhan, walaupun anda sekarang nampaknya masih berusaha untuk mencari kebahagiaan di tempat lain ataupun mempunyai definisi yang berbeda dengan kebahagiaan yang ditawarkan oleh Tuhan. Bagi umat Kristiani, kebahagiaan diperoleh hanya di dalam Tuhan Yesus, yang membawa kita kita kepada kehidupan kekal di Surga. Silakan membaca lebih lanjut tentang ini di artikel Kebahagiaan Manusia hanya ada di dalam Tuhan, silakan klik. Itulah sebabnya, betapapun kita manusia mencari kebahagiaan di tempat lain ataupun kepada sesuatu yang lain, selalu berakhir dengan ‘kekosongan’. Sebab manusia diciptakan oleh Tuhan untuk mengenal dan mengasihi Pencipta-Nya, maka sebelum kita sampai ke sana, hati kita akan ‘kosong’ dan kita tidak akan dapat memperoleh kebahagiaan dan ketenangan yang sejati. St. Agustinus pernah mengajarkan demikian, “You have made us for yourself, O Lord, and our hearts are restless until they rest in You.” [Engkau telah menciptakan kami bagi diriMu, O Tuhan, dan hati kami gelisah, sampai ia beristirahat di dalam Engkau”].

2.  Umumnya seseorang kembali kepada Tuhan setelah mengalami kesusahan/ ujian dalam hidup.

Silakan anda memeriksa batin anda, apakah pengalaman hidup anda membuat anda (dan kakak) meninggalkan iman anda? Apakah itu yang anda sebut sebagai ‘kejanggalan dan ketidak masuk akalan dalam kitab suci?’ Kalau anda mau, anda dapat mendiskusikannya dengan kami. Firman Tuhan memang mengatakan bahwa segala yang ada pada kita adalah karena karunia Tuhan (2 Kor 9:8), namun Tuhan juga tidak mengecilkan makna kerja keras kita. Bahkan kalau kita membaca Kitab Suci, kita melihat bahwa tokoh- tokoh yang menjadi teladan iman di sana, baik itu para nabi, para rasul, tak terkecuali Yesus Kristus sendiri, bekerja keras di dalam hidup. Jadi tidak benar bahwa kalau orang sudah menerima karunia lalu ‘tidak perlu bekerja’. Namun sebaliknya, tidak benar juga jika dikatakan bahwa tanpa Tuhan pekerjaan dapat berjalan lancar. Sebab pandangan ini ‘melupakan’ bahwa pekerjaan itu dapat berjalan, karena Tuhan memungkinkan hal itu terjadi, dengan memberikan kemampuan kepada orang itu untuk melakukannya. Coba bayangkan jika Tuhan mengijinkan anda mengalami sakit penyakit, kecelakaan, bencana, ditipu orang, atau orang yang paling anda kasihi meninggal dunia secara mendadak. Maka, tak mengherankan, ada banyak orang kembali kepada Tuhan, justru setelah mengalami kesusahan; sebab justru pada saat itu ia dapat dengan rendah hati menerima bahwa segala yang ada padanya sesungguhnya diperoleh karena kemurahan Tuhan, dan dalam sekejap dapat hilang, jika Tuhan mengijinkan hal itu terjadi. Namun ada satu kebahagiaan sejati, meski dalam keadaan tersulit sekalipun, yaitu jika kita bersandar kepada Tuhan. Hal ini bukan masalah psikologis semata, sebab ilmu psikologis sendiri tidak akan dapat menjelaskannya secara tuntas mengapa demikian, ketika itu berkaitan dengan mukjizat- mukjizat dan pertobatan yang mengubah hidup secara total, misalnya dari kasus kecanduan, ataupun dari berbagai perilaku penyimpangan lainnya.

3. Apakah Tuhan sungguh ada?

Jika anda masih bertanya- tanya, apakah benar Tuhan itu ada, silakan anda membaca di sini, Bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada? silakan klik. Ataupun kalau anda mau membaca kisah kesaksian seorang Atheis yang kemudian menjadi Katolik, silakan klik di sini. Kesaksian tersebut adalah dari seorang yang bernama Lawrence Feingold, yang sejak kecilnya dididik secara atheis, namun akhirnya mengalami pengalaman kasih Tuhan, dan memutuskan untuk menjadi Katolik. Ia akhirnya mendalami iman Katolik sedemikian rupa, menjadi seorang doktor dalam hal Theologi, dan kini menjadi salah satu pembimbing Theologis situs Katolisitas ini. Tuhan bekerja dengan cara-Nya yang tersendiri, untuk membawa kita masing- masing untuk mengenal dan mengasihi Dia yang terlebih dahulu mengasihi kita. Pengalaman akan kasih Tuhan inilah yang mengubah hidup seseorang, dan sebab hanya Tuhanlah yang dapat ‘mengisi kekosongan’ dalam hati setiap orang secara sempurna.

4. Kebahagiaan kita yang sejati adalah bersatu selamanya dengan Allah yang menciptakan dan menyelamatkan kita

Maka, pencarian kebahagiaan kita sesungguhnya bukan ‘hanya’ demi ‘kepuasan diri sendiri’ atau ‘demi menghindari neraka’ seperti kata anda, namun jauh lebih indah dan mulia daripada itu: yaitu untuk bersatu selamanya dengan Allah yang menciptakan dan menyelamatkan kita. Dan ini tidak dapat dibandingkan dengan kebahagiaan apapun yang ditawarkan oleh dunia ini. Di dunia ini kita dapat saja mengalami bermacam kebahagiaan, tetapi sifatnya  tidak sempurna, dan  sementara. Namun jika kita mempunyai Kristus di dalam hati kita, maka kebahagiaan kita itu bersifat tetap, dan kebahagiaan ini menghantar kita kepada kesempurnaannya di surga kelak.

WeLl, saya percaya Tuhan masih terus mengetuk pintu hati anda dan menantikan jawaban anda. Saya berdoa, semoga akan tiba saatnya, anda membuka pintu bagi-Nya dan membiarkan-Nya masuk untuk mengisi kekosongan hati anda, dan memberikan kebahagiaan yang anda cari selama ini. Gereja Katolik tetaplah rumah anda yang terus menantikan anda kembali pulang.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Tanggung jawab pastor paroki dalam pastoral perkawinan

29

Mengapa Pastoral Perkawinan

Tanggungjawab Pastor Paroki dalam pastoral perkawinan, itulah topik yang mau kita bahas. Mengapa pastoral perkawinan? Pertama, karena pastoral perkawinan merupakan salah satu dari reksa pastoral dalam Gereja (Paroki). Kedua pastoral perkawinan memiliki masalah yang rumit dan kompleks seiring dengan masalah keluarga dewasa ini, karena rumit dan kompleksnya maka perlu mendapat perhatian serius dari Pastor Paroki. Ketiga, karena keluarga adalah bagian penting yang merupakan dasar terbentuknya Gereja dan Masyarakat. Jika keluarga (Gereja kecil – rumah tangga) kristiani sehat dan baik maka Gereja dan Masyarakat besar akan menjadi baik pula. Demikian juga ditegaskan oleh Paus Benediktus XVI dalam pesannya pada hari perdamaian dunia, tgl. 1 Januari 2008: “Kehidupan keluarga yang sehat melahirkan pengalaman-pengalaman fundamental bagi perdamaian: keadilan dan cinta kasih di antara sesama saudara, fungsi otoritas yang tergambar dari orang tua, pelayanan yang penuh cinta kepada anggota yang lebih lemah, yaitu orang-orang yang kecil, sakit dan tua, kesediaan untuk menerima yang lain. Untuk itu keluarga adalah tempat pendidikan yang pertama dan tidak tergantikan”. Keluarga alami, di mana ada kesatuan hidup dan cinta, yang didasarkan atas perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, membangun tempat pertama dalam “pemanusiaan” manusia dan masyarakat, tempat lahirnya kehidupan dan cinta kasih. Oleh karena itu, keluarga dikualifikasikan sebagai masyarakat alami yang pertama. Sebuah institusi Ilahi yang merupakan dasar dari hidup manusia, sebagai prototipe dari setiap norma sosial” (bdk. L’Osservatore Romano, N. 51/52 (2024)-19/26 December 2007: “The Human family a community of peace, Message of Pope Benedict XVI for the celebration of the World Day of Peace: 1 January 2008,).

Tugas Pastor Paroki dalam Pastoral Perkawinan

Pastor Paroki dalam konteks Gereja lokal adalah Pemimpin (leader) dari umat beriman kristiani yang reksa pastoralnya (tugas kegembalaan/kepemimpinan) diserahkan oleh Uskup Diosesan kepada seorang imam yang layak dan pantas untuk memimpin, mengajar, menguduskan dengan kuasa kewenangan yang diberikan kepadanya atas umat beriman yang berdomisili di wilayah teritorial tertentu di dalam keuskupan (bdk. Kan 515). Dalam Pastoral perkawinan Pastor Paroki wajib mengusahakan agar keluarga kristiani berkembang dalam kesempurnaan. Pendampingan dan pembinaan keluarga kristiani meliputi: (1) menyiapkan calon penganten dengan kotbah, katekese yang disesuaikan bagi anak-anak dan orang muda dan dewasa, (2) memberi kursus persiapan perkawinan bagi calon yang hendak menikah, (3) meneguhkan perkawinan dengan perayaan liturgi yang membawa hasil yang memancarkan kasih suami-isteri dan mengambil bagian dalam misteri kesatuan cinta kasih yang subur antara Kristus dan Gereja-Nya, (4) memberi pendampingan dan pembinaan keluarga kristiani (bina lanjut keluarga kristiani) melalui katekese, khotbah dan rekoleksi-retret keluarga, agar keluarga yang telah diteguhkan setia dan mampu memelihara perjanjian perkawinan itu sampai pada penghayatan hidup keluarga yang semakin suci dan utuh . Inilah tugas pokok pastoral perkawinan dari Pastor Paroki. Tugas ini esensial yang harus dijalankan oleh Pastor Paroki. (bdk. Kan 1063; baca juga FC, GS, 47-52)

Garis besar tindak Pastoral Perkawinan

Kasus-kasus perkawinan biasanya terjadi pada awal atau sebelum perkawinan diteguhkan. Kasus itu akan mencuat ketika pasangan hidup berkeluarga sedang dalam perjalanan hidup berkeluarga. Maka persiapan perkawinan menjadi penting sebelum munculnya kasus di tengah jalan yang bila tidak tertangani secara baik akan menyebabkan kehancuran keluarga itu. Secara garis besar Pastoral Perkawinan yang dilaksanakan oleh Pastor Paroki sebagai berikut:

1. Persiapan Jangka panjang melalui kotbah dan katekese, jangka menengah: kursus persiapan perkawinan dan jangka pendek: yakni persiapan liturgi perkawinan, tobat dan ekaristi (bdk. Kann. 1063, 1065)

2. Pihak Katolik yang belum menerima sakramen krisma hendaknya menerima sakramen tersebut sebelum menikah jika tidak ada halangan yang serius (bdk. kan 1065, §1)

3. Pendampingan pastoral hendaknya terus dilanjutkan setelah perkawinan (bdk. Kan. 1063,§4)

4. Penyelidikan kanonik wajib dilakukan oleh Pastor Paroki tanpa didelegasikan kepada katekis. Karena itu tugas Pastor Paroki Penyelidikan kanonik menggunakan formulir pendaftaran calon perkawinan (bdk. Kann. 1066-1067), hendaknya pastor Paroki melakukan penyelidikan kanonik secara serius dengan menanyakan semua daftar pertanyaan kepada calon.

5. Pemeriksaan status liber calon penganten biasanya dilakukan oleh Pastor dari calon yang beragama Katolik tempat dimana dia berdomisili. Penyelidikan kanonik tetap ada pada pastor Paroki calon penganten yang beragama Katolik, meski peneguhannya bisa dilaksanakan oleh Pastor lain. Bagi calon penganten yang beda agama/gereja hendaknya para Pastor Paroki menaruh perhatian pada pedoman Gereja (formulir penyelidikan kanonik) bila calon yang bukan Katolik menolak untuk diselidiki maka hal itu harus diberitahukan kepada Ordinaris wilayah. Untuk menjamin kebebasan dalam menjawab hendaknya kedua pihak ditanya secara terpisah. Jawaban yang diisi di formulir tersebut dikuatkan dengan sumpah.

6. Pastor melaksanakan pemeriksaan mengenai status liber dari calon hendaknya memperhatikan apakah mereka cukup tahu tentang ajaran Katolik tentang perkawinan (bdk. Kan. 1096). Pastor Paroki wajib memberi instruksi kepada calon untuk mengikuti kursus perkawinan bagi calon beragama Katolik maupun tidak (bdk. Kann. 1063-1064).

7. Bila salah satu atau kedua calon tidak memiliki domisili atau kuasi domisili (bdk Kan. 100), atau datang dari daerah lain setelah mencapai pubertas, dan sementara itu tidak dapat menunjukkan surat baptis sah terbaru, maka untuk mendapat bukti statuts liber Pastor Paroki hendaknya menanyakan dua orang saksi di bawah sumpah untuk masing-masing calon. Bila tidak didapatkan saksi maka Pastor Paroki hendaknya menghubungi Ordinaris wilayah.

8. Surat baptis sah terbaru tidak lebih dari enam bulan terakhir, bila gagal mencari maka dipakai jalan keluar no (7).

9. Pastor Paroki mengumumkan pernikahan calon penganten dalam perayaan Misa Hari Minggu selama tiga kali berutut-turut. Bila tempat tersebut (stasi) tidak ada perayaan Misa Mingguan maka bisa diganti dengan pengumuman tertulis di papan pengumuman depan Gereja. Dalam hal perkawinan campur beda agama atau gereja, pengumuman perkawinan hanya dapat dilakukan di paroki pihak Katolik. Perlu diingat pengumuman itu dilakukan setelah memperoleh dispensasi dari halangan perkawinan beda agama atau beda gereja.

Tugas Pastor Paroki dalam kasus perkawinan

Tugas Pastor Paroki dalam kasus perkawinan permohonan pembatalan perkawinan adalah menjadi pendamping pemohon dalam membuat libellus (surat gugat/surat permohonan). Libellus berarti sebuah buku kecil atau sesuatu yang tertulis berupa surat yang berisikan permohonan resmi oleh seorang kepada pengadilan Gereja (Tribunal perkawinan) agar menyelidiki dan menyatakan bahwa perkawinannya dengan pasangannya tidak sah sejak permulaan. Tentang libellus kanon 1504 menyatakan: “Surat gugat yang membuka pokok sengketa harus:

1. Menyatakan perkara itu diajukan ke hadapan hakim yang mana, apa yang diminta dan kepada siapa permintaan itu diajukan,

2. Menunjukkan atas hukum mana penggugat bersandar dan sekurang-kurangnya secara umum fakta dan pembuktian mana yang membenarkan apa yang dinyatakan,

3. Ditandatangani oleh penggugat atau oleh orang yang dikuasakannya dengan disebutkan hari, bulan serta tahun, dan tempat dimana penggugat atau orang yang dikuasakannya bertempat tinggal atau mengatakan di mana alamat untuk menerima akta,

4. Menunjukkan domisili atau kuasi domisili pihak tergugat”.

Pastor Paroki dapat membantu membuat libellus, membahasakan kisah perkawinan pihak pemohon (penggugat), memberi argumen atas dasar hukum mana permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke Tribunal perkawinan.

Prinsip utama Pastoral Perkawinan

Tidak semua kasus perkawinan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan ke Tribunal segera dikabulkan oleh Pastor Paroki. Artinya apa? Pastor Paroki hendaknya hati-hati, bijaksana. Dalam segala perkara, prinsip pertama dan utama yang harus dipegang Pastor Paroki adalah peradilan formal harus dihindari (trials should be avoided). Proses peradilan formal di Tribunal hanya merupakan upaya terakhir (the last resort), setelah segala upaya pastoral ditempuh. Maka segala sengketa, kasus-kasus perkawinan di dalam Paroki, hendaknya Pastor Paroki mengadakan upaya pastoral dengan berusaha untuk berdamai (rujuk, rekonsiliasi) antara kedua pihak yang bersengketa. Jika masih ada kemungkinan untuk berdamai Pastor Paroki tidak perlu mengabulkan permohonan itu ke Tribunal. Usaha pastoral rekonsiliasi antara pihak yang bertikai, dari keluarga kristiani di wilayah Pastor berkarya merupakan bagian penting dan utama dari Pastoral Perkawinan. Upaya itu dituntut oleh hukum sendiri dalam kanon 1446, 1676 dan 1695 (bdk. Kann 1713-1716).

Apa artinya menjadi seorang Kristen?

8

Kristianitas: sudah 2000 tahun, sudahkah ‘berhasil’?

Pernahkah anda merenung, mengapa sudah 2000 tahun berlalu, namun dunia ini belum semuanya mengenal ataupun percaya kepada Kristus? Apakah dengan demikian maka Tuhan hanya bermaksud menyelamatkan sebagian kecil manusia saja, sedangkan sebagian besar yang lainnya ditentukan Tuhan masuk neraka? Jadi untuk apa kita menjadi seorang Kristen? Mengapa ada banyak orang yang mengaku Kristen tetapi hidupnya tidak sesuai dengan ajaran Kristus? Ada banyak pertanyaan seperti ini di dalam benak kita, yang tentunya dapat menimbulkan aneka jawaban.

Kita hidup dalam penantian akan penggenapan janji keselamatan

Dalam bukunya, What it means to be a Christian, Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) menyatakan bahwa kita harus belajar menerima dan menyadari bahwa hidup kita di dunia ini seperti masa Adven (masa penantian) akan penggenapan janji keselamatan yang Tuhan berikan di dalam Kristus Putera-Nya. Ada banyak realitas yang terjadi di sepanjang sejarah manusia, baik dan buruk silih berganti; perang dan damai, kebaikan dan kejahatan, semua terjalin dalam satu rangkaian kejadian. Ini semua menunjukkan, betapa selama hidup di dunia ini kita manusia memang mengalami pergumulan. Dan sesungguhnya, dalam keadaan ini kita dapat banyak belajar dari sikap Ayub: berani bertanya kepada Tuhan, meskipun akhirnya harus menyerahkan segala sesuatunya ke dalam kebijaksanaan Tuhan, yang tidak dapat kita pahami sepenuhnya. Sejarah manusia ini memang mengisahkan tentang berbagai kelemahan umat manusia di hadapan Allah yang penuh belas kasihan. ((lihat. Joseph Ratzinger, What it means to be a Christian, (San Francisco: Ignatius Press, 1965, 2005), p. 15-20))

Kitab Suci sendiri menjanjikan kepada kita seorang Raja Damai/ Mesias yang akan membawa kita kepada keadaan yang penuh damai sejahtera, yang secara simbolis dijabarkan dalam kitab Yes 11:6-9. Keadaan ini menggambarkan kesejahteraan yang ada pada bangsa yang hidup seturut ajaran Sang Raja Damai, karena setiap orang hidup atas dasar pengenalan mereka akan Tuhan, sehingga mereka bagaikan bumi yang ditutupi oleh air laut.

Namun jika kita melihat dengan jujur, kita mengetahui bahwa keadaan ini belum terwujud sekarang ini, melainkan hal itu menjadi gambaran kesempurnaan pada kehidupan Surgawi yang akan datang. Kenyataan ini membawa akibat berikutnya, yaitu, bahwa kita yang adalah murid- murid Kristus Sang Mesias, dipanggil oleh Tuhan untuk berjuang dalam mewujudkan kehendak Tuhan membentuk kehidupan yang penuh damai tersebut, selama kita masih hidup di dunia ini. Sebab bukannya tidak mungkin, karena ada banyak orang Kristen yang hidupnya tidak sesuai dengan ajaran Kristen, maka orang lain yang belum mengenal Kristus mempunyai gambaran yang keliru tentang Kristus dan Gereja.

Apa yang dikehendaki Allah?

Sabda Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa Allah menghendaki agar “semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” (1 Tim 2:4). Oleh karena itu, walaupun Tuhan memandang kepada tiap- tiap orang sebagai ciptaan yang amat dikasihi-Nya, Ia juga memandang keseluruhan umat manusia sebagai satu kesatuan. Allah menghendaki semua orang diselamatkan. Dan Allah melakukan segala sesuatu untuk maksud itu; sampai ke titik yang ekstrim, sehingga bahkan banyak orang sulit untuk mempercayainya. Ia, Sang Allah Pencipta, rela menjelma menjadi manusia. “Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.” (Luk 2:12). Kristus Sang Allah Putera, meninggalkan segala kekayaan dan kemegahan surgawi, untuk menjadi bayi mungil yang miskin dan papa. Sepanjang hidup-Nya di dunia, Kristus memilih untuk menjadi miskin, menjadi seorang hamba, dan wafat juga dengan cara yang sangat hina (Fil 2:5-10). Semuanya ini menjadi tanda bukti akan kasih Allah yang mau melakukan apa saja untuk menyelamatkan kita manusia yang berdosa.

St. Athanasius dan St. Augustinus mengajarkan, “Allah menjadi manusia supaya manusia dapat menjadi anak- anak Allah.” Maka kita ketahui bahwa Allah menginginkan agar kita dapat menjadi anak- anak -Nya, dan memanggil-Nya Bapa (Rom 8:15). Namun panggilan ini disertai dengan undangan untuk hidup sesuai dengan panggilan kita sebagai anak Allah; yang dapat diringkas menjadi satu kalimat ini: hidup mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Perintah utama inilah yang diajarkan oleh Kristus, dan kita semua melihat betapa Kristus sendiri menggenapinya dengan sempurna melalui pengorbanan-Nya di kayu salib.

Menjadi Kristen= menjadi seperti Kristus?

Maka sebagai murid- murid Kristus, kita dipanggil untuk hidup seturut teladan-Nya, yang sedikitnya dapat kita rinci sebagai berikut:

1. Hidup bagi orang lain

Kita mengetahui bahwa menjadi Kristen bukan sekedar menerima Baptisan dan mengakui dengan mulut bahwa Kristus adalah Tuhan  Penyelamat kita; lalu kita dapat ‘mengantungi’ keselamatan kita untuk diri sendiri, tak usah terlalu peduli dengan orang lain. Tidak demikian! Kita tidak menjadi Kristen demi diri kita sendiri; sebab jika kita mempunyai kehendak dan pikiran seperti Kristus, kitapun harus bertindak seperti Kristus. Artinya, kita harus mau ikut ambil bagian dalam pelayanan Kristus terhadap dunia ini. Kita harus mau keluar dari ke- aku- an diri sendiri, dan berani hidup bagi orang lain. Kita harus mau melayani daripada dilayani. Singkatnya, kita tidak lagi memusatkan perhatian pada kepentingan diri sendiri, tetapi kepada kepentingan orang lain (Flp 2:4).

Prinsip pemikiran ini membantu kita memahami, bahwa kita menjadi Kristen, bukan demi diri kita sendiri, tetapi karena Tuhan menginginkan agar kita turut melakukan pekerjaan- pekerjaan-Nya untuk mendatangkan keselamatan bagi banyak orang. Tuhan bekerja melalui manusia- manusia ciptaan-Nya. Itulah sebabnya Ia memilih bangsa Israel pada masa Pernjanjian Lama. Bukan artinya bahwa setelah memilih bangsa Israel lalu bangsa- bangsa yang lain direncanakan-Nya untuk binasa, melainkan sebaliknya, agar melalui bangsa Israel, bangsa- bangsa lain diselamatkan. Dengan prinsip yang sama kita melihat peran Gereja, yaitu bahwa melalui Gereja, Tuhan menyampaikan Terang-Nya dan Kasih- Nya kepada dunia, agar dunia mengenal jalan keselamatan-Nya.

2. Mengasihi tanpa pilih- pilih dan tanpa perhitungan

Kitab Suci mengajarkan kepada kita, betapa Allah memihak kepada orang- orang yang tersisihkan: janda, fakir miskin, orang sakit, anak- anak, singkatnya, mereka yang lemah dan kecil. Yesus bahkan menyamakan diri-Nya dengan mereka semua; dan kelak akan menghakimi kita sesuai dengan banyaknya perbuatan kasih yang kita lakukan terhadap mereka (lih. Mat 25). Ajaran ini tentu bertentangan dengan pandangan dunia, yang cenderung memberi dengan harapan akan menerima kembali, atau mengasihi dengan harapan akan dibalas kasih. Tuhan Yesus menujukkan sebaliknya, Ia mengasihi kita, bukan karena kita sudah baik, bukan karena kita hebat, bukan karena kita bisa berguna bagi Dia. Ia mengasihi kita karena Ia sungguh baik. Firman Tuhan mengatakan, “… tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” (Rom 5:8) Dan ajaibnya, kasih yang seperti inilah yang mampu mengubah kita. Pertanyaannya sekarang: sudahkah kita memiliki kasih seperti ini kepada orang lain?

3. Mengasihi dengan prinsip “superabundant“/ lebih dari yang disyaratkan.

Melihat teladan Yesus, kita mengetahui bahwa menjadi seorang Kristen artinya mengasihi dengan kasih yang lebih dari yang disyaratkan. Kasih inilah yang diajarkan oleh Kristus kepada kita; yaitu supaya kita tidak hanya puas dengan ‘asal menghindari dosa berat’, asal melakukan yang benar sesuai hukum, seperti sikap ahli Farisi (lih. Mat 5:20). Yesus mengajarkan kita untuk berbuat ekstra. Itulah yang dicontohkan-Nya sendiri pada banyak mukjizatnya, seperti mukjizat di Kana (Yoh 2), dan mukjizat pergandaan roti (Mat 14:13-21, Mrk 6:32-44, Luk 9:10-17, Yoh 6:1-15). Di atas semua itu, kasih yang melimpah ini ditunjukkan dengan pengorbanan-Nya di kayu salib, sebagai cara yang dipilih-Nya menyelamatkan manusia. Oleh kasih karunia inilah kita diselamatkan (Ef 2:8-9).

Kelimpahan kasih Allah dalam mewujudkan rencana keselamatan-Nya, bahkan sampai ‘meluber’ kepada kita; sehingga kitapun dipanggil untuk turut ambil bagian dalam karya kasih-Nya ini. Bukan karena kasih-Nya yang kurang panjang untuk menjangkau semua orang, tetapi karena Ia ingin melibatkan kita sebagai anggota Tubuh-Nya untuk berkarya bersama-Nya. Sebenarnya, kasih Allah yang ‘superabundant‘ inilah yang mendorong orang- orang yang memberikan hidup sepenuhnya untuk Tuhan, seperti para rohaniwan dan rohaniwati, para misionaris, para sukarelawan, yang mungkin terinspirasi oleh pengajaran Yesus kepada orang muda yang kaya (lih. Mat 19:16-26). Pengorbanan mereka seharusnya menjadi contoh bagi kita, dan harus selalu kita dukung dengan doa- doa. Hal ini mendorong kita bertanya kepada diri kita sendiri: sudahkah kita menyadari akan kasih Allah yang ‘superabundant‘ ini? Sudahkah kita menanggapinya dengan kasih yang melimpah juga? Sudahkah kita mengambil bagian di dalam kasih Allah ini?

4. Kasih mensyaratkan iman, iman mensyaratkan kasih

Walaupun Kitab Suci mengatakan bahwa mereka yang hidup dalam kasih itu berasal dari Allah (1 Yoh 4:8), kita mengetahui bahwa kesempurnaan makna kasih itu diperoleh di dalam Kristus, seperti disebutkan 1 Yoh 4:10-12. Maka jika kita sungguh mengasihi Allah, seharusnya kita mengimani Kristus, Allah Putera yang diutus sebagai pendamaian atas dosa- dosa kita. Kasih karunia Allah dan iman akan Kristus inilah yang memampukan kita untuk mengikuti teladan Kristus, yaitu untuk hidup dalam kasih, kepada Allah dan kepada sesama (1 Yoh 4:16-21). Oleh sebab itu, firman Tuhan tidak memisahkan antara kasih karunia dengan iman (lih. Ef 2:8-9) dan iman dengan perbuatan kasih (Yak 2:24) untuk menghantar kita kepada keselamatan.

5. Iman dan kasih yang ‘superabundant’ mendorong kita untuk menaati segala perintah Allah.

Kita mengetahui bahwa perintah Yesus yang terakhir kepada para murid-Nya sebelum Ia naik ke surga adalah, agar mereka pergi ke seluruh dunia untuk menjadikan segala bangsa murid-Nya, membaptis mereka, dan mengajarkan segala perintah-Nya (lih. Mat 28:19-20). Maka selayaknya, jika kita mengasihi Kristus kita mengikuti kehendak-Nya ini. Jadi Pembaptisan selayaknya tidak kita anggap sebagai formalitas, namun sungguh- sungguh sebagai sarana yang dipilih Allah untuk menyampaikan rahmat-Nya agar kita tergabung dalam keluarga Kerajaan Allah (lih. Yoh 3:5). Selanjutnya, kita juga dengan rendah hati mau belajar menerima dan melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh-Nya. Firman Tuhan sendiri mengajarkan kepada kita bahwa ‘segala sesuatu’ ini maksudnya adalah pengajaran Kristus yang disampaikan oleh para rasul secara lisan dan tulisan (lih. 2 Tes 2:15). Inilah sebabnya mengapa Gereja Katolik memegang tidak hanya Kitab Suci yang merupakan ajaran tertulis, tetapi juga Tradisi Suci yang merupakan ajaran lisan dari Kristus dan para rasul, seperti yang diteruskan oleh para Bapa Gereja.

6. Menaati segala perintah Allah membawa kita kepada Gereja yang didirikan Kristus.

Jika kita mau menerima pengajaran para rasul dan para Bapa Gereja, maka kita akan mengetahui bahwa Kristus yang mendirikan Gereja-Nya di atas Rasul Petrus (Mat 16:18-19), masih terus berkarya di dalam Gereja-Nya yang kini ada di Gereja Katolik. Maka tepatlah jika dikatakan bahwa kita menjadi Katolik karena kita mau menjadi seorang Kristen yang memberi kata “Ya” pada Kristus tanpa syarat. Sebab Kristus telah mendirikan Gereja-Nya, maka keataatan yang penuh kepada-Nya membawa kita juga untuk memasuki dan menjadi anggotanya. ((lihat Douglas Bushman STL, The Catholic Faith Magazine, The Catholic Faith on the Church: To be Catholic is to be Christian, period, Sept/ Oct 1999, vol 5.No.5, p.34-35))  Kristus masih secara aktif memberikan rahmat- rahmat-Nya melalui sakramen- sakramen Gereja. Walaupun benar bahwa di luar sakramen tersebut Ia tetap dapat berkarya, namun tak dapat dipungkiri bahwa sakramen tersebut merupakan cara yang dipilih-Nya untuk hadir di tengah umat-Nya oleh kuasa Roh Kudus. Memang setiap umat Kristen memiliki kehendak bebas tentang bagaimana caranya ia menaati semua ajaran Kristus. Bagi umat Katolik, kita memilih untuk bergabung dalam Gereja yang didirikan-Nya, yang sampai saat ini melaksanakan cara- cara yang dipilih Kristus untuk menyampaikan rahmat-Nya, melalui Sabda-Nya dan Sakramen- sakramen-Nya. Dengan menerima rahmat Tuhan ini, terutama dalam Ekaristi, kita sungguh- sungguh hidup di dalam Kristus, sebab Tuhan Yesus sungguh hadir dan masuk ke dalam diri kita. Kita menaruh pengharapan, bahwa dengan setia mengandalkan rahmat dari Kristus sendiri, maka kita akan dimampukan oleh-Nya untuk bertumbuh di dalam iman, pengharapan dan kasih. Agar akhirnya, kita dapat menerima penggenapan akan janji keselamatan dan bersatu selamanya dengan Dia dalam kerajaan Surga.

7. Mengambil bagian dalam ketiga Misi Kristus sebagai imam, nabi dan raja [15]

Setelah dibaptis, kita menjalani ketiga peran Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Peran imam di sini bukan berarti bahwa setelah dibaptis kita semua menjadi pastor/ imam, melainkan bahwa kita mengambil bagian dalam imamat Kristus (Why 1:6) sebagai bangsa pilihan Allah, imamat yang rajani (1 Pet 2:9). Partisipasi dalam imamat Kristus ini diwujudkan dalam dua macam peran yang saling berkaitan, yang pertama adalah imamat bersama/ common priesthood, dan yang kedua adalah imamat jabatan/ hirarchical priesthood.[16] Mereka yang menjabat sebagai imam bertugas melayani umat yang oleh Pembaptisan menerima peran imamat bersama.

Perwujudan peran imamat ini mencapai puncaknya di dalam sakramen-sakramen, terutama perayaan Ekaristi. Para imam mengajar umatNya, dan bertindak atas nama Kristus dalam perayaan Ekaristi, dan mempersembahkan kurban Ekaristi kepada Tuhan atas nama umat. Sedangkan umat menjalankan peran imamat mereka dengan menggabungkan kurban mereka dengan kurban Kristus. Selanjutnya, mereka semua menjalankan peran imamat mereka dengan menerima sakramen-sakramen, dengan doa dan ucapan syukur, dengan hidup kudus melalui mati raga dan berbuat kasih.[17] Jika kita menghayati peran imamat bersama, maka seharusnya kita dapat lebih menghayati keterlibatan kita di dalam sakramen-sakramen, terutama pada perayaan Ekaristi, karena pada saat itulah kita mempersembahkan diri kita sebagai bagian dari persembahan Kristus kepada Allah Bapa. Persembahan kita ini berupa ucapan syukur, segala suka duka dan pergumulan yang sedang kita hadapi, maupun segala pengharapan yang kita miliki. Keterlibatan ini menjadikan kita sebagai bagian dari Sang Pelaku utama yaitu Kristus, dan bukan hanya sebagai ‘penonton’ Misteri Paska.

Selain sebagai imam, kita yang sudah dibaptis mengambil bagian di dalam peran Kristus sebagai nabi, dengan cara, berpegang teguh pada iman, memperdalam iman kita, dan menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia.[18] Di sinilah kita dipanggil untuk mewujudkan iman di dalam perbuatan, sehingga dapat menjadi kesaksian yang hidup akan pengajaran Kristus.

Akhirnya, Pembaptisan juga mengakibatkan kita mengambil peran Kristus sebagai raja, yang tidak sama dengan pengertian raja menurut dunia. Sebagai Raja, Kristus menarik manusia kepada-Nya melalui kematian dan kebangkitanNya. Sebagai pengikut Kristus, kitapun dipanggil untuk membawa banyak orang kepada Kristus. Selanjutnya, sebagai Raja, Kristus datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani, maka panggilan kita sebagai raja adalah untuk melayani Dia di dalam sesama terutama di dalam mereka yang miskin dan menderita, sebab di dalam merekalah Gereja melihat wajah Sang Kristus, yang menderita. Peran raja inipun kita jalankan dengan mengalahkan segala bentuk kecenderungan berbuat dosa.

Kesimpulan

Maka tujuan kita menjadi Kristen adalah agar kita dapat hidup menjadi seperti Kristus, dan turut mengambil bagian di dalam rencana keselamatan Allah yang diberikan kepada dunia melalui Kristus dan Gereja-Nya. Caranya ialah dengan mengambil bagian dalam misi Kristus, sebagai imam, nabi dan raja. Dengan hidup sesuai dengan panggilan kita sebagai murid Kristus, yaitu hidup di dalam iman, pengharapan dan kasih yang melimpah/ “superabundant” dan mengandalkan rahmat Allah, maka kita akan dapat diubah sedikit demi sedikit oleh Allah untuk menjadi semakin serupa dengan Kristus. Kita melaksanakan peran imamat bersama dengan peran serta kita dalam doa dan sakramen Gereja; peran kenabian dengan menjadi saksi Kristus dalam kehidupan sehari- hari; dan peran sebagai raja dengan melayani sesama dan berjuang mengalahkan segala kecenderungan dosa dalam hidup kita. Dalam menjalankan ketiga misi ini, kita mengandalkan rahmat Allah. Rahmat Allah ini secara khusus dapat kita terima melalui Sabda-Nya dan sakramen- sakramen Gereja, terutama Ekaristi. Di sinilah kita melihat pentingnya kita bergabung di dalam Gereja Katolik yang didirikan oleh Kristus sendiri, sebab Gereja Katolik menyampaikan Sabda Allah, baik secara lisan dan tulisan; dan menyampaikan sakramen- sakramen untuk meneruskan rahmat Allah kepada umat-Nya.

Maka marilah kita semua hidup seperti Kristus, yang ditandai dengan hidup dalam kasih yang melimpah kepada Allah dan sesama, atau ringkasnya, hidup dalam kekudusan. Jika kita para murid Kristus telah dapat hidup sesuai dengan ajaran Kristus ini, maka kita dapat menjadi terang dan garam dunia, untuk membawa orang- orang di sekitar kita kepada Kristus yang menyelamatkan. Semoga dengan demikian kita dapat membawa perubahan yang positif kepada dunia, sambil menantikan penggenapan janji Tuhan akan ‘langit dan bumi yang baru’ di kehidupan yang akan datang.

Apakah iman hanya bersifat pribadi atau juga mempunyai dimensi sosial?

6

Pertanyaan:

Fenomena semacam ini sangat sering terjadi di sekeliling kita ya. Hal ini tidak dapat dihilangkan, tetapi masing-masing individu dapat berkontemplasi untuk merenungkan PANGKAL dari semua fenomena yang amat seru dan ramai, serta menjadi emosional dan pasti Kontra-Produktif bagi semua pihak dalam rangka tercapainya kehidupan yang lebih baik.

Mari direnungkan beberapa point saya berikut untuk mengurai PANGKAL ke-hiruk-pikuk-an ini:

A. NAFSU MANUSIAWI (DUNIAWI) yang sering tersamar seolah-olah seperti “KEHENDAK ILAHIAH (SPIRITUAL)”
1. Ketika kita meyakini sesuatu & berusaha mengajak orang lain untuk setuju dengan apa yang kita yakini, sesungguhnya ada persentase yg signifikan bahwa ajakan itu berawal dari hasrat manusiawi kita.
2. Hal ini termasuk ketika yang kita yakini itu sifatnya illahiah. Ajakan itu-pun, sekian persennya adalah hasrat duniawi kita. Kita (sebagai manusia) merasa senang, puas, bangga, gembira, bahagia, dan rasa-rasa yang lainnya timbul ketika orang itu berhasil sepaham & mengikuti yg kita yakini.
3. Keterbatasan kita sbg manusia inilah yg akhirnya membuat RANCU output ajakan itu apakah memang illahiah atau manusiawi belaka.
4. Akhirnya keyakinan & ajakan kita kpd orang lain terkorupsi kemuliaannya menjadi sifatnya personal, psikologis, emosional, primordial, kultural, sosial, bahkan mungkin material.
5. Catatan: terminologi Duniawi maknanya bukan hanya semata material / ekonomik, tetapi segala sesuatu yang sifatnya non-ilahiah, spt: emosi, dengki, iri, bahagia, senang, bangga, sedih, benci, dll.

B. ALIRAN / AJARAN yang BERBEDA PERLU memiliki IDENTITAS & DIFERENSIASI
1. Paham, Keyakinan, atau Filosofi yang muncul dan survive hingga hari ini tentu yang memiliki IDENTITAS PEMBEDA dan POSITIONING yang UNIK terhadap ajaran-ajaran lainnya.
2. Mari berangkat dari Asumsi Positif: semua ajaran, paham, keyakinan, -isme, atau filosofi yang muncul adalah dengan itikad mulia & bermanfaat sebagai Panduan Hidup bagi pengikutnya agar lebih baik.
3. Maka identitas pembeda dan positioning tersebut adalah hal yang positif yang berfungsi sebagai Simbol / Penanda suatu komunitas tertentu.
4. Diferensiasi tsb timbul karena beberapa sebab, antara lain:
a. sebagai akibat perbedaan kultur, letak geografis, waktu munculnya, kondisi sosial setempat, dll.
b. memang di-expose (ditonjolkan) sebagai simbol pemersatu & identitas kelompok
c. di-buat atau di-rumus-kan dengan matang, agar khalayak ramai dapat membedakan satu kelompok dengan lainnya. Hal ini terjadi bila komunitas baru ini masih mengandung kesamaan dengan komunitas sebelumnya. Contohnya: antara ketiga agama Abrahamik, antara Katolik dgn Protestan, Ortodoks, Anglikan, dll.
d. Deferensiasi menjadi tidak perlu di-expose ketika memang sudah berbeda secara natural. Misalnya antara aliran Baha’i dengan Kejawen, Hindu, dll; atau antara Atheisme dengan Shinto, Confusianism, dll.
5. Identitas & Diferensiasi itu dapat berdampak Positif dan berdampak Negatif, tergantung dari MANUSIA-nya (yaitu para pemuka & para pengikut), BUKAN dari esensi ajarannya.

C. ESENSI dari ke-IMAN-an adalah sangat NON-ATRIBUTIF dan PRIVAT
1. Mari kita renungkan lebih dalam bahwa INTI dari ajaran yang kita yakini sesungguhnya lebih dalam & bermakna dari sekedar Atribut Organisasi atau Atribut Komunitas berikut tata cara ritual & struktur organisasinya.
2. Jika kita mau berpegang pada ESENSI dari iman yang kita yakini, maka segala hiruk-pikuk, kebingungan, atau kekhawatiran surga/neraka, sesat/mulia, sifat defensif / ofensif terhadap liyan, akan sangat berkurang.
3. Bila kita benar-benar implementasi ke-Iman-an kita yang secara substansial adalah hubungan privat (intim) antara kita dengan Sang Maha Tinggi, maka segala hal-hal tentang tata cara ritual yang sesat, keliru, berhala, dll, yang tadinya membingungkan kita menjadi jauh lebih ringan & berserah kepada-Nya.
4. Bila kita merasa beriman karena sudah membaca, menghapal, mendiskusi, & mendebatkan semua teks-teks dalam segala literatur yang berjuta-juta halaman, maka sesungguhnya perjalanan keimanan kita BARU SAJA DIMULAI untuk mencari ESENSI dari iman kita.

D. TUJUAN manusia HIDUP dan ber-IMAN adalah KEHIDUPAN FANA & BAKA yang LEBIH BAIK
1. Menurut saya, keyakinan ku adalah guidance saya dalam menjalani kehidupan & merupakan a never-ending effort for a better quality of (earthly & heavenly) life.
2. Mari gunakan akal budi yang telah dikaruniakan Tuhan, untuk mengolah & memproses informasi, serta berkontemplasi dengan rasa, untuk menginterpretasi & mengimplementasi keyakinan yang kita yakini.
3. Bukankah amat berdosa kita, bila akal-budi & rasa kita di-simpan saja, sebab secara membabi buta kita meng-AMIN-i maupun me-NYANGKAL-i segala informasi yang kita terima secara mentah-mentah dan harafiah.
4. Bukankah kita telah melakasanakan sebagian kecil kehendak-NYA, ketika kita ikut berkontribusi terhadap kondisi positif di masyarakat, apalagi bila mampu berbuat sesuatu bagi lingkungan di sekitar kita, walaupun berbeda keyakinan, walaupun TANPA “tujuan mulia” untuk mengkonversi keyakinan mereka (atau kerennya “menyelamatkan” mereka).

E. PILIH ALIRAN / FILOSOFI yang memberi rasa DAMAI dan NYAMAN bagi kita
1. Sejalan dengan runutan logika sederhananya: Kehidupan yang lebih baik perlu prasarana berupa kondisi jiwa & hati yang damai dan nyaman (bukan yang hiruk-pikuk & penuh emosi-ambisi)
2. Maka saya pribadi merasa nyaman dan damai untuk mengikuti ajaran yang sejalan dengan apa yang dilakukannya dalam kehidupan nyata. Misalnya:
a. Cinta Kasih yang termanifestasi dalam gagasan & perbuatan nyata, bukan hanya slogan.
b. Menyelamatkan manusia: termanifestasi dalam tindakan nyata & sederhana sehari-hari, tidak hanya muluk-muluk dalam konsep & semangatnya saja.
c. Menjadi Terang bagi Dunia: termanifestasi dalam kontribusi nyata bagi masyarakat, tetangga, & saudara (walaupun remeh & tidak extravagant), instead of reduksi konsep tsb menjadi sekedar ajakan konversi agama.
d. Dan lainnya..
3. Rasa Damai dan Nyaman itu timbul ketika kita tidak merasa Penasaran atau Gusar atau “Tergugah Semangatnya” ketika melihat orang dengan keyakinan yg berbeda, serta berusaha sekuat tenaga untuk mengajaknya convert.
Sebab keyakinan bukanlah marketing atau salesmanship, kalau itu justru wajib merasa penasaran & tergugah dalam rangka mencapai target yang dibebankan kpdnya.
Bukankah terlalu sederhana, naif & agak2 durhaka kpd Tuhan, bila kita sampai punya target dalam 1 th harus mengconvert sekian ratus orang (jiwa baru? hehe..), yg artinya kita anggap Keyakinan kita sama dengan kegiatan menjual produk / jasa?
4. Rasa Damai dan Nyaman akan kita rasakan bila ketika ada orang yang dengan gigih & pantang menyerah meyakinkan kita bahwa keyakinan kita adalah salah, kita dengan santainya tidak ikutan bingung dengan ikut dalam jalan pikirannya yang mempermasalahkan HAL REMEH-TEMEH, & hampir tidak ada pengaruhnya dengan ESENSI IMAN kita. Biarkan saja, jadi damai toh?
5. Kebetulan saya pribadi lahir di keluarga Katolik, dan kebetulan lingkungan saya membuat saya nyaman & damai, serta memungkinkan perkembangan & pengembaraan iman saya sampai saat ini.
a. Banyak juga teladan & contoh yang kebetulan beriman Katolik telah berkarya nyata bagi lingkungan;
b. Banyak pemikiran para pemuka yang amat mencerahkan (instead of memagari / membodohkan) umatnya;
c. Banyak contoh aplikasi praksis iman Katolik (setidaknya di Indonesia) yang sejalan dengan kondisi nyata kita yang plural;
d. Banyak encouragement kepada umat untuk terus meng-utilisasi karunia Tuhan yg berupa akal-budi-rasa dalam memahami & meresapi filosofi katolikism, serta pengejawantahannya dalam bentuk karya nyata di kehidupan sehari-hari, instead of text-book oriented & forced-interpretation of faith.
e. Damai dan Nyamannya, ketika saya tidak ikutan ambil pusing tentang apakah Yesus ditombak di perut sebelah kanan atau kiri-nya? apakah patung-patung karya seni indah itu termasuk berhala atau bukan? apakah memang Yesus berhidung mancung & berkulit putih serta berjambang? apakah Yesus punya keturunan dari Mary Magdalene atau tidak? apakah agamanya Abraham & Adam-Hawa? dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya; sebab hal2 tsb tidak ada dampaknya terhadap keimanan & esensi ajaran Katolik, serta IMPLEMENTASInya dlm kehidupan sehari-hari.

Maka, marilah kita berpulang pada PANGKAL-nya, mari habiskan waktu & energi kita untuk terus berkarya semampu kita bagi sesama & sekitar kita, apapun golongannya. Niscaya, dunia akan tampak jauh lebih indah di mata & hati kita.
Urusan masuk surga / neraka, gak usah dipusingkan, biar saja Tuhan yang menentukan, toh kita tdk bisa berbuat apa-apa & adalah prerogratif-Nya. Repot amat…

Syalom Alaikhem, may peace be upon us all…
Paulus Prana

Jawaban:

Shalom Paulus Prana,

Terima kasih atas tanggapannya. Berikut ini adalah jawaban yang dapat saya sampaikan:

1. Tentang Motif

Sebenarnya ajakan untuk berdiskusi tentang agama dan kebenaran adalah sesuatu yang baik. Kita sering berdiskusi tentang topik-topik yang lain, seperti ekonomi, politik, bola, ilmu pengetahuan, namun jarang berdiskusi tentang agama. Dalam berdiskusi, maka kita tidak perlu mempertanyakan dan meragukan maksud dari orang yang ingin berdiskusi, karena kita tidak tahu persis. Ini berarti kita juga tidak tahu secara persis apakah alasan berdiskusi karena hanya sekedar melayani nafsu manusia belaka atau dengan tujuan yang lebih murni, yaitu untuk mencari kebenaran. Oleh karena itu, kita harus menganggap bahwa yang mau berdiskusi ingin mencari kebenaran, walaupun disampaikan dengan cara yang berbeda-beda, baik dengan lemah-lembut maupun agak kasar.

2. Tentang ajaran yang berbeda-beda

Definisi agama adalah “In its widest sense the union of man with God. Objectively, it consists in doctrines and precepts by which man seeks to bring about this union. Religion is true when its doctrines and precepts are either dictated by right reason or revealed by God; if the former, it is called natural religion, if the latter, supernatural religion. Religion is false if, when claiming to be revealed, it is unable to show a divine guarantee, or when its dogmas and practises sin against right reason and conscience. Subjectively, religion is the attitude of the man who rules his thoughts, words, and actions according to right reason and revelation. In this latter sense religion is a special virtue allied to justice, because it prompts man to render to God what is due Him by strict right from His rational creatures. As such, religion is a strict obligation incumbent on every man. It is also the means by which man is to work out his final destiny.”

a. Dengan demikian kita melihat agama secara obyektif (terdiri dari doktrin dan pengajaran) dan subyektif (yang mengikat pikiran, perkataan, dam perbuatan), baik menurut akal budi yang benar (disebut natural religion) atau menurut wahyu Allah (disebut supernatural religion), dengan tujuan untuk mendapatkan persatuan antara manusia dengan Tuhan. Dengan dasar inilah, maka agama yang berdasarkan wahyu Allah dan tidak bertentangan dengan akal budi yang benar adalah baik, karena akan membuat manusia dapat bersatu dengan Tuhan

b. Maka tugas dari masing-masing pribadi untuk meneliti apakah kepercayaan atau agama yang dianutnya adalah berdasarkan akal budi yang benar dan Wahyu Allah yang otentik. Tentu saja perbedaan kultur, geografis, kondisi sosial juga menjadi faktor penting akan agama yang dianutnya. Namun, kita juga percaya bahwa setiap manusia, yang diciptakan menurut gambaran Allah, mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran, mengetahui dan mengasihi Penciptanya.

3. Tentang esensi iman

a. Saya hanya akan membatasi pembahasan dari sisi iman Gereja Katolik. Kalau anda ingin mengetahui pendapat iman dari agama lain, silakan bertanya kepada mereka. Iman dapat didefinisikan sebagai “firm assent of intellect and will to the truth.” Dengan demikian, seseorang yang beriman harus mempunyai suatu keyakinan akal budi yang teguh terhadap kebenaran. Nah, kebenaranlah yang didiskusikan.

b. Seperti yang anda katakan, iman menuntun kita untuk dapat mempunyai hubungan yang baik dengan Tuhan. Namun, di satu sisi lain, kasih kita kepada Tuhan membuat kita mengasihi sesama, yang berarti ingin memberikan yang terbaik bagi orang lain. Kalau keselamatan adalah hal yang terbaik (karena menyangkut keselamatan kekal), maka menjadi tugas umat beriman untuk mewartakan karya keselamatan Kristus kepada semua orang, sehingga semua orang dapat memperoleh keselamatan yang dijanjikan oleh Kristus. Dan ini juga ditegaskan oleh Kristus sendiri yang memberikan amanat agung di Mt 28:19-20 “19 Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, 20 dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Dengan demikian, iman bukan hanya berdimensi pribadi, namun juga mempunyai dimensi sosial, karena Tuhan menginginkan bahwa semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1 Tim 2:4).

4. Tentang tujuan hidup dan beriman:

Iman dan akal budi tidak bertentangan, bahkan saling mendukung, karena keduanya datang dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa iman dan akal budi adalah seperti dua sayap burung yang membawa manusia kepada kontemplasi kebenaran. Jadi, dengan demikian, untuk menuju kepada kebenaran, maka kita harus menggunakan keduanya.

5. Tentang memilih aliran dan agama:

a. Dalam memilih suatu aliran atau agama, maka parameter yang terpenting adalah kebenaran, dan bukan sekedar rasa damai dan nyaman. Hal ini disebabkan karena kebenaran adalah Tuhan sendiri dan Tuhan akan membiarkan diri-Nya ditemukan oleh orang-orang yang tulus mencari-Nya. Dan kebenaran inilah yang akan memerdekakan kita (lih. Yoh 8:32).

b. Namun, tentu saja diperlukan kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan dan juga dalam menerangkan iman kita kepada orang lain. Kita tidak perlu merasa gundah kalau orang lain tidak menerima pemberitaan iman, karena perkara merubah hati bukanlah pekerjaan kita, namun pekerjaan Roh Kudus. Kita harus percaya, bahwa Roh Kudus sendiri akan berkarya dengan cara-Nya. Yang penting, kita harus melakukan bagian kita untuk dapat menjadi alat Tuhan dalam mewartakan kabar gembira. Jadi walaupun kita menginginkan agar semua orang turut mengasihi Kristus dan Gereja-Nya, namun kita tidak perlu membuat target. Biarlah Roh Kudus sendiri yang berkarya.

c. Sering orang hanya mereduksi perbuatan kasih dengan kegiatan sosial. Namun, bukan itu inti dari kekristenan. Kekristenan bukanlah berdasarkan pada liberation theology, namun inti dari Kekristenan adalah membawa Yesus kepada orang lain dan membawa orang lain kepada Yesus. Semua karya sosial, perbuatan kasih, pemberitaan mempunyai sumber yang satu, yaitu Kristus sendiri.

d. Kalau ada yang berusaha meyakinkan bahwa iman kita salah, maka kita tidak boleh marah. Justru ini menjadi kesempatan bagi kita untuk semakin mendalami misteri iman kita sendiri.

e. Kalau kita mengasihi seseorang, maka kita ingin mengetahui hakekat dari orang yang kita kasihi. Kalau kita mengasihi Yesus dan inti iman kita adalah Yesus, maka sudah seharusnya kalau kita juga ambil perduli akan segala sesuatu tentang Yesus. Ini juga termasuk akan hal-hal yang anda sebutkan, yang bersifat substansial. Dalam contoh yang anda ambil, terdapat beberapa yang tidak bersifat substansial, seperti Yesus berjambang atau tidak. Namun, apakah Yesus mempunyai keturunan dari Maria Magdalena, telah menyentuh hal yang substansial. Namun, yang lebih penting lagi adalah kita tidak menentukan sendiri artikel iman yang kita mau percaya, karena jika demikian, iman kita adalah bergantung pada diri kita sendiri, dan bersifat sangat subyektif. Padahal kita tahu bahwa kebenaran adalah bersifat obyektif dan manusia mempunyai kemampuan untuk mengerti dan menangkap kebenaran yang obyektif.

6. Kesimpulan

Dengan demikian, adalah menjadi tugas kita, umat Katolik untuk turut serta dan berpartisipasi dalam misi keselamatan Kristus dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia, baik melalui pewartaan maupun kesaksian hidup kudus.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org

Yesus datang membawa perpecahan?

3

Pertanyaan:

Syalom, pak stef dan bu inggrid. saya
mohon penjelasan injil Lukas 12:51-53. Yesus membawa perpecahan. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.

Adi

Jawaban:

Shalom Adi,

Perikop Lukas 12:51-53 berbunyi demikian:

“Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan. Karena mulai dari sekarang akan ada pertentangan antara lima orang di dalam satu rumah, tiga melawan dua dan dua melawan tiga. Mereka akan saling bertentangan, ayah melawan anaknya laki-laki dan anak laki-laki melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya.”

Berikut ini adalah penjelasannya dengan sumber utama dari Navarre Bible dan A Catholic Commentary on Holy Scripture ed. Dom Orchard:

Tuhan Yesus datang ke dunia untuk membawa pesan damai sejahtera (lih. Luk 2:14) dan pendamaian/ rekonsiliasi (lih. Rom 5:11). Namun manusia menolaknya, melalui dosa- dosa yang diperbuatnya, maka dengan demikian karya penebusan Tuhan Yesus terhalang oleh pertentangan. Inilah yang juga telah dinubuatkan oleh nabi Simeon (lih. Luk 2:34), bahwa Kristus akan menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan, antara mereka yang menerima Dia dan yang menolak Dia. Dosa yang menyebabkan perbantahan ini, juga mengakibatkan ketidak-adilan, perpecahan bahkan perang.

Sepanjang hidup-Nya di dunia, Kristus memang telah menjadi tanda perbantahan (a sign of contradiction) sebab Ia mengajarkan ajaran kesempurnaan yang tidak mudah untuk diterima oleh masyarakat pada saat itu (dan bahkan juga pada saat ini). Tuhan Yesus sudah memperingatkan para murid tentang perpecahan yang akan menyertai penyebaran Injil (Mat 10:24). Secara khusus adalah pengajaran yang diajarkannya di bukit (delapan Sabda Bahagia) tentang berbahagialah orang yang miskin di hadapan Tuhan, haus dan lapar akan kebenaran, lemah lembut, murah hati, yang sekarang berduka, yang suci hatinya, yang membawa damai, yang dianiaya karena kebenaran, yang dikucilkan karena mengimani Kristus (lih. Luk 6:20-23; Mat 5:3-12) dan bahkan ajaran untuk mengasihi musuh/ orang yang menganiaya kita (Mat 5:44). Ajaran kesempurnaan ini adalah sesuatu yang tidak sama dengan persepsi dunia, yang cenderung memilih untuk menjadi kaya, memberi dengan harapan akan menerima kembali, membalas kejahatan dengan perbuatan setimpal, yang tidak tertarik untuk mencari kebenaran Allah, yang tidak mudah berdamai dan memaafkan, yang tidak mau menderita apalagi dianiaya.

Ajaran Yesus tentang kesempurnaan/ kebahagiaan inilah yang membawa perpecahan bagi manusia, karena memang gambaran “kebahagiaan”  manusia secara duniawi itu bertentangan dengan gambaran “kebahagiaan” manusia secara rohani. Jika di dalam keluarga, ada anggota yang memusatkan hati pada perkara- perkara duniawi, dan yang lain memusatkan pada perkara surgawi, maka terjadilah ‘perpecahan’ di sini. Memang harapannya kemudian adalah, sebagai satu keluarga, maka yang mengenal Kristus dapat menunjukkan kepada yang belum mengenal Kristus tentang kesempurnaan ajaran Kristus, terutama melalui teladan hidupnya, sehingga yang belum mengenal Kristus dapat menemukan kebahagiaan sejati yang hanya dapat diperoleh di dalam Tuhan. Selanjutnya tentang topik ‘Kebahagiaan kita manusia, hanya ada di dalam Tuhan’, silakan klik di sini.

Adalah tantangan bagi kita semua sebagai murid- murid Kristus untuk membawa damai sejahtera kepada dunia sekitar kita, dengan menjalankan hukum cinta kasih. Sebab hanya oleh kasih maka dunia dapat dipulihkan dari segala bentuk perpecahan. Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (tentang Gereja dalam Dunia modern) 78, mengajarkan, “Oleh karena itu segenap umat Kristen dipanggil dengan mendesak, supaya “sambil melaksanakan kebenaran dalam cinta kasih” (Ef 4:15), menggabungkan diri dengan mereka yang sungguh cinta damai, untuk memohon dan mewujudkan perdamaian…..”

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org



Anugerah, karunia, rahmat, berkat

4

Pertanyaan:

shalom , seluruh team katolisitas.
mohon penjelasan mengenai anugerah, karunia, rahmat dan berkat.
terima kasih. Tony

Jawaban:

Shalom Tony,

Memang terdapat arti yang mirip- mirip antara anugerah, karunia, rahmat, dan berkat. Saya berpegang kepada Katekismus Gereja Katolik untuk mengartikannya.

1. ‘Anugerah’ mempunyai persamaan arti dengan ‘karunia’ dan ‘rahmat’

Dalam bahasa Inggrisnya adalah ‘gift’, ‘free gift’, ‘gift of grace’ yang umumnya mengacu kepada iman, sebagai pemberian dari Allah yang bersifat adikodrati/ supernatural, tidak berdasarkan kodrat duniawi.

KGK 162 Iman adalah satu anugerah rahmat (free gift) yang Allah berikan kepada manusia.
KGK 179 Iman adalah anugerah adikodrati (supernatural gift) dari Allah. Supaya dapat percaya, manusia membutuhkan pertolongan batin dari Roh Kudus.

KGK 654 ….. Kita adalah saudara-saudari-Nya bukan atas dasar kodrat kita, melainkan oleh anugerah rahmat (the gift of grace), karena hidup sebagai anak angkat ini benar-benar menyertakan kita dalam kehidupan Putera-Nya yang tunggal, hidup yang nyata sepenuhnya dalam kebangkitan-Nya.

KGK 99 Berkat cita rasa iman adikodrati, seluruh umat Allah menerima secara terus-menerus karunia Wahyu ilahi, mempelajarinya lebih dalam serta menghayatinya secara makin lengkap.

KGK 1083 ….Gereja itu di satu pihak berterima kasih kepada Bapa “karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu” (2 Kor 9:15) dalam sembah sujud, pujian dan syukur.

2. Karunia atau kasih karunia adalah ‘grace‘yang sering dihubungkan dengan rencana keselamatan Allah kepada manusia.

KGK 249 …..”Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2 Kor 13:13, Bdk. 1 Kor 12:4-6; Ef 4:4-6).

KGK 257 …..”Rencana ini adalah “kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita sebelum permulaan zaman” (2 Tim 1:9) dan yang langsung berasal dari cinta trinitaris. Rencana itu dilaksanakan dalam karya penciptaan, dalam seluruh sejarah keselamatan setelah manusia berdosa, dalam pengutusan-pengutusan Putera dan Roh Kudus yang dilanjutkan dalam pengutusan Gereja (bdk. Ad Gentes 2-9)

KGK 423 Karena “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya, sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran… Dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia” (Yoh 1:14.16).

3. Karunia sering dihubungkan dengan karunia Roh Kudus.

KGK 158 “Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui karunia- karunia-Nya” (Dei Verbum 5).

KGK 768 Untuk melaksanakan perutusan-Nya, Roh “memperlengkapi dan membimbing Gereja dengan aneka karunia hierarkis dan karismatik” (Lumen Gentium 4). Melalui Dia “Gereja, yang diperlengkapi dengan karunia-karunia….

KGK 819 “Sabda Allah dalam Kitab Suci, kehidupan rahmat, harapan, dan cinta kasih, begitu pula karunia- karunia Roh Kudus lainnya yang bersifat batiniah dan unsur-unsur lahiriah” (Unitatis Redintegratio 3)

4. Berkat adalah ‘blessing‘ sebagai lawan kata dari kutuk (curse).

Berkat juga dapat berarti penyembahan kepada Allah dengan ucapan syukur (dari sisi manusia); dan berarti pemberian Allah (dari sisi Tuhan).

KGK 1009 Ketaatan Yesus telah mengubah kutukan kematian menjadi berkat (Bdk. Rm 5:19-21).

KGK 1077 “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam surga.

KGK 1078 Memberkati adalah satu tindakan ilahi, yang memberi hidup, dan asal mulanya adalah Bapa. Berkat-Nya [bene-dictio, eu-logia] adalah serentak sabda dan anugerah. Kalau dihubungkan dengan manusia, maka perkataan “berkat” itu berarti penyembahan dan penyerahan diri kepada Pencipta dengan ucapan terima kasih.

KGK 1079 Sejak awal mula sampai akhir zaman seluruh karya Allah adalah berkat. Mulai dari kidung liturgi tentang penciptaan pertama sampai kepada lagu pujian di dalam Yerusalem surgawi, para pengarang yang diilhami mewartakan rencana keselamatan sebagai berkat ilahi yang tidak ada batasnya.

KGK 1083 kita dapat mengerti dimensi ganda liturgi Kristen sebagai jawaban iman dan cinta atas berkat- berkat rohani, yang Bapa hadiahkan kepada kita. Disatukan dengan Tuhannya dan “dipenuhi oleh Roh Kudus” (Luk 10:21)

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab