Home Blog Page 249

Tentang ‘Popess’ Joan

6

Paus Joan ini sebenarnya adalah legenda, yang tidak dapat dikonfirmasikan kebenarannya dengan fakta sejarah. Berikut ini adalah kisah legenda Paus Joan, yang diringkas dari sumber di link ini, silakan klik.

Dongeng tentang Paus perempuan, yang bernama Joan, pertama kali ditemukan pada pertengahan abad ke -13.

1. Variasi dongeng Paus Joan

a. Versi Jean de Mailly.

Pertama kali yang menuliskan dongeng ini adalah seorang Dominikan bernama Jean de Mailly yang kemudian diambil sebagai patokan oleh seorang Dominikan lainnya yaitu Etienne de Bourbon (1261) yang menuliskan dongeng ini dalam bukunya, “Ketujuh karunia Roh Kudus.” Dikatakan di sini bahwa Paus perempuan itu hidup sekitar tahun 1100, namun dalam versi ini tidak disebutkan namanya. Ia adalah seorang yang sangat berbakat, berpakaian seperti pria, menjadi anggota Kuria, lalu menjadi Kardinal dan kemudian Paus. Suatu hari ia naik kuda, dan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki; ia lalu terikat pada ekor kudanya, terseret di sepanjang kota, dihukum mati oleh masyarakat, dikuburkan di tempat ia wafat.

b. Versi Martin (Martinus Polonus) dari Troppau

Menurut Martin, Setelah Paus Leo IV (847-855) seseorang bernama John Mainz (Johannes Anglicus) naik kursi kepausan selama dua tahun, tujuh bulan dan empat hari. Ia ini dilaporkan sebagai seorang wanita. Sewaktu masih kecil ia dibawa ke Athena, dan dipakaikan pakaian pria dan menjadi seorang yang sangat pandai. Ia datang ke Roma, menjadi guru sains dan menarik perhatian banyak para terpelajar. Akhirnya ia menjadi Paus, tetapi kemudian mengandung dari salah seorang kepercayaannya, melahirkan di tengah prosesi dari gereja St. Petrus ke Lateran, di antara Colosseum dan gereja St. Klemens. Ia wafat seketika, dan dikuburkan di tempat yang sama. Konon para Paus selanjutnya selalu menghindari jalur ini; karena tidak ingin mengingat kejadian yang memalukan ini. Di sini disebutkan nama “Paus” tersebut sebagai Johanna (Popess Joan).

c. Versi belakangan

Ada lagi versi yang menyebutkan bahwa nama “Paus” tersebut ketika anak- anak adalah Agnes, atau Gilberta. Atau dalam banyak variasi lainnya seperti yang ditulis dalam Universal Chronicle of Metz (1250), dan “Mirabilia Urbis Romae.”

2. Evaluasi/ Tanggapan

a. Kisah ini diterima tanpa dikritisi

Pada abad ke 14-15 kisah Paus wanita ini dipercaya sebagai sesuatu yang sungguh terjadi. Maka kisah Paus Joan ini dipakai oleh heretik Jan Hus, pada saat ia mempertahankan doktrinnya yang sesat di hadapan Konsili di Konstans, tanpa ada yang menyanggahnya. Padahal kenyataannya Paus Joan ini tidak pernah ada dalam “Liber Pontificalis” (daftar semua Paus) dan dalam foto para Paus yang terpampang di gereja St. Paulus di Roma (St. Paul outside the Walls)

b. Kisah ini diselidiki

Setelah diperiksa, sebenarnya kisah ini benar- benar fiktif. Di abad ke 15, setelah adanya gerakan historical criticism (gerakan penelitian sejarah), para sejarahwan seperti Aenas Sulvius ((Epist., I, 30) dan Platina (Vitae Pontificum, No. 106) melihat bahwa kisah tersebut tidak dapat dipertahankan, karena tidak berdasar. Maka sejarahwan di abad ke- 16, seperti Onofrio Pancinio (Vitae Pontificum, Venice, 1557), Aventinus (Annales Boiorum, lib. IV), Baronius (Annales ad a. 879, n. 5) menolak keberadaan Paus perempuan ini.

c. Beberapa pemeriksaan dari kaum Protestan

Sejumlah ahli sejarah Protestan, seperti Blondel (Joanna Papissa, 1657) dan Leibniz (“Flores sparsae in tumulum papissae” in “Bibliotheca Historica”, Göttingen, 1758, 267 sq.) juga menerima bahwa Paus perempuan ini sebenarnya tidak pernah ada. Namun masih ada banyak umat Protestan yang menggunakan dongeng ini untuk menyerang kepausan. Pada abad ke- 19, hampir semua ahli sejarah yang serius mempelajari fakta- fakta dapat menerima, bahwa kisah Paus perempuan ini hanya dongeng. Namun demikian ada juga orang- orang yang tetap berusaha untuk membuktikan keberadaan Paus wanita ini.

3. Bukti- bukti bahwa kisah Paus Joan adalah hanya dongeng:

a. Tidak adanya cukup bukti yang mendukung

Tidak ada satupun narasumber/ sumber sejarah pada saat itu yang menyebutkan tentang Paus Joan ini. Tidak pernah kisah ini disebutkan sampai pertengahan abad ke- 13. Adalah sesuatu yang sangat aneh, jika benar hal ini adalah kisah nyata, bahwa tidak ada satupun ahli sejarah pada abad 10- 13 yang mencatatnya [mengingat ‘besarnya’ peristiwa itu].

b. Melihat sejarah Paus, maka tidak ada tempat bagi kisah legenda/ dongeng ini bisa dimasukkan.

Antara Paus Leo IV dan Benediktus III, seperti versi Martin Polonus, Joan tidak mungkin dimasukkan. Sebab Paus Leo IV wafat pada tanggal 17 Juli 855, dan segera setelah ia wafat, Benediktus III dipilih menggantikannya oleh para klerus dan warga Roma. Koin uang yang memuat gambar Paus Benediktus III dan Kaisar Lothair yang wafat di tahun 28 September 855 menunjukkan bahwa Paus Benediktus III naik kursi kepausan sebelum tanggal 28 September 855 tersebut. Juga kesaksian dari Hincmar yang adalah Uskup Agung Reims, yang memberitahukan kepada Nicholas I bahwa pembawa pesannya kepada Paus Leo IV mengetahui di tengah jalan, bahwa Paus Leo IV wafat, dan karenanya pesan petisi tersebut diberikan kepada penggantinya Benediktus III, yang kemudian memutuskannya (Hincmar, ep. xl in P.L., CXXXVI, 85). Kalaupun Popess Joan itu ditempatkan sebagai Kardinal Anastasius yang menjadi antipope pada saat itu, tetaplah tidak pas, kerena Kardinal tersebut hanya bertahan sebulan (Agustus 855 sampai September 855). Selanjutnya, pada tanggal 7 Oktober 855, Paus Benediktus III mengeluarkan piagam untuk Biara Corvey, [saat itu sudah tidak ada lagi antipope]. Bukti- bukti ini menunjukkan bahwa tidak ada jeda selama dua setengah tahun antara kematian Paus Leo IV dan kenaikan Paus Benedictus III, yang “diisi” oleh Paus perempuan ‘Joan’, seperti yang dikisahkan dalam versi Martin Polonus.

Selanjutnya, akan menjadi sangat lebih tidak mungkin lagi untuk memasukkan Paus Joan dalam daftar Paus sekitar tahun 1100 antara Paus Victor III (1087) dan Paus Urban (1088-1099) atau Paus Paschal II (1099-1110), menurut catatan Jean de Mailly, karena data yang ada pada masa itu bahkan lebih akurat lagi dan menjadi catatan sejarah secara umum, bukan hanya catatan Gereja Katolik saja.

4. Asal usul dongeng ini

Ada beberapa dugaan, mengapa sampai timbul adanya dongeng ini.

a. Berkaitan dengan isi surat Paus Leo IX.

Ada yang berpendapat, kemungkinan bersangkutan dengan isi surat Paus Leo IX, yang dalam suratnya kepada Michael Caerularius (1053) bahwa ia tidak percaya akan yang didengarnya bahwa di Gereja Konstantinopel terdapat sida- sida, bahkan seorang perempuan yang menduduki kursi kepemimpinan episkopal (Mansi “Consil.”, XIX, 635 sq.). Maka, Belarminus (De Romano Pontifice, III, 24) percaya bahwa dongeng ini dibawa dari Konstantinopel ke Roma.

b. Berkaitan dengan kelemahan Paus John VIII

Ahli sejarah Baronius (Annales ad a., 879, n. 5) menduga bahwa legenda ini dihubungkan dengan kelemahan sikap dari Paus Yohanes VIII (John VIII, 872-882) dalam menangani orang- orang Yunani. Namun sebenarnya, tidak ada hubungan antara Pope John VIII dengan “Joan” ini. Silakan anda membaca sendiri riwayat Pope John VIII di link ini, silakan klik. Paus John VIII adalah seorang berkebangsaan Roma, jadi sama sekali tidak cocok dengan penjabaran ‘Joan of Ingeheim’ yang adalah orang Inggris- Saxon (Jerman).

c. Berkaitan dengan kelemahan sikap para Paus dengan nama John

Banyak para sejarahwan lainnya yang melihat adanya kemunduran kepausan sekitar abad ke- 10, di mana cukup banyak Paus bernama John (Yohanes). Maka Aventinus melihat bahwa kisah “Popess Joan” merupakan kisah sindiran (satire) terhadap pribadi John IX. Menurut Blondel, sindiran terhadap John XI, menurut Panvinio, sindiran terhadap John XII, sedangkan menurut Leander (Kirkengesch., II, 200), mengatakan secara umum kisah tersebut menggambarkan adanya pengaruh perempuan yang ‘mematikan/ berbahaya’ dalam era kepausan di abad ke 10.

d. Beberapa asumsi lainnya

Seorang sejarahwan lainnya, Leo Allatius, (Diss. Fab. de Joanna Papissa) menghubungkan kisah ini dengan nabi palsu Theota, yang dikecam pada Sinoda Mainz (847). Leibniz menghubungkan kisah ini dengan seorang Uskup yang bernama Johannes Anglicus yang datang ke Roma, dan konon kemudian diketahui sebagai seorang wanita. Atau Karl Blascus (“Diatribe de Joanna Papissa“, Naples, 1779) dan Gfrorer (Kirchengesch., iii, 978) menghubungkan kisah ini dengan Decretal pseudo- Isidorian.

Penjelasan Dollinger (“Papstfabeln”, Munich, 1863, 7-45) juga cukup mendapat persetujuan. Ia mengatakan bahwa dongeng Paus Joan ini merupakan salah satu dari cerita rakyat Roma yang berkaitan dengan monumen kuno dan kebiasaan tertentu. Sebuah patung kuno ditemukan pada jaman Paus Sixtus V, di jalan dekat Colosseum, yang menggambarkan ‘seseorang’ dengan seorang bayi. ‘Seseorang’ itu kemudian dihubungkan dengan kisah legenda sebagai Paus perempuan (Popess). Monumen itu konon ditemukan dengan tulisan dibawahnya P.P.P (proprie pecunia posuit) dengan nama Pap. (Papirius) pater patrum (seorang bapa Romawi yang mempunyai anak). Dikatakan juga, bahwa Paus tidak melewati jalan tersebut dalam prosesi, kemungkinan karena sempitnya jalan tersebut [dan bukan karena legenda itu].

5. Kesimpulan

Sebenarnya, cukuplah jelas bahwa kisah Popess Joan (Paus perempuan bernama Joan) adalah kisah dongeng, yang baru timbul di abad Pertengahan, berkaitan dengan ditemukannya monumen kuno di Roma. Kemudian ada orang- orang tertentu yang berimajinasi dan mengembangkan kisah tersebut, dengan dikaitkan dengan data- data sejarah yang sebenarnya tidak berhubungan, untuk membuatnya seolah- olah menjadi kisah nyata. Kita sebagai umat Katolik tidak perlu terpengaruh oleh kisah- kisah seperti ini, karena sifatnya fiktif. Ini menyerupai cerita Da Vinci Code, yang juga mengambil data- data sejarah yang tidak ada hubungannya. Sejarah dan fakta tidak bisa diubah, dan kita melihat sendiri bahwa Popess Joan (entah menurut versi Jean de Mailly ataupun Martinus Polonus) tidak pernah ada dalam urutan Paus yang ada.

Jika kisah Popess Joan itu sungguh benar, hal ini tidak mungkin tidak dicatat dalam sejarah secara resmi oleh para sejarahwan pada jamannya, seperti halnya sejarahwan Eusebius atau Josephus yang merekam peristiwa- peristiwa sejarah pada abad- abad awal. Kenyataan bahwa catatan sejarah pada masanya itu sendiri tidak ada, dan baru kemudian timbul berabad- abad sesudahnya, seharusnya memelekkan mata kita, bahwa kisah itu merupakan kisah dongeng belaka. Sebab kisah sejarah yang otentik seharusnya disampaikan oleh orang yang menyaksikannya pada jamannya, [seperti halnya fakta tentang kebangkitan Kristus di abad pertama]. Selanjutnya, fakta- fakta sejarah lainnya, juga menunjukkan bahwa kisah Popess Joan ini tidak mungkin terjadi, sebab tidak ada kerangka sejarah yang cocok/ sesuai dengan deskripsi kisah ini. Fakta bahwa terjadi bermacam- macam versi, juga menunjukkan bahwa kisah ini semata- mata adalah spekulasi, entah maksudnya sebagai cerita rakyat ataupun sindiran terhadap Paus- paus tertentu.

Kisah tentang Popess Joan ini sesungguhnya harus membuat kita menjadi lebih kritis dalam menyikapi suatu cerita, karena tidak semua cerita dibuat berdasarkan fakta yang sesungguhnya. Mari kita terus belajar untuk menemukan kebenaran, dan tidak lekas percaya terhadap kisah- kisah dongeng semata.

6. Menjawab keberatan tentang Paus Joan:

Ada sebagian orang yang mengacu kepada tulisan di ‘Mirabilia Urbis Romae’, dan kesaksian Jan Hus tentang Paus Joan, untuk mengatakan bahwa Paus Joan itu kemungkinan sungguh ada. Namun sesungguhnya kedua hal itu bukan alasan yang kuat yang menunjukkan obyektivitas kebenaran kisah Paus Joan.

a. Tentang Mirabilia Urbis Romae

Mirabilia Urbis Romae (MUR), bukanlah dokumen Gereja Katolik. MUR adalah sebuah karya tulis dalam bahasa Latin di Abad Pertengahan tentang kota Roma, namun siapa penulisnya tidak dikenal. Sebagaimana ditulis di Catholic Encyclopedia, klik di sini,  dalam MUR itu terdapat banyak miskonsepsi dan kesalahan, dan kemudian direvisi di banyak tulisan yang lain, seperti oleh de Rossi dalam “Roma Sotterranea“, oleh Pathey dalam “Mirabilia Romæ e codicibus Vaticanis emendata“, Jordan, dalam “Topographie der Stadt Rom im Altertum”, dst.

Disayangkan memang kita tidak dapat membaca langsung, keseluruhan teks yang ada dalam Mirabilia Urbis Romae (MUR). Di internet memang ada situs yang menampilkan keseluruhan teks MUR, silakan klik, namun di sana terdapat banyak kesalahan ketik, (kemungkinan hasil scan?) sehingga agak sulit untuk memahami makna keseluruhannya secara persis. Namun jika teks itu kurang lebih benar/ lengkap sekalipun, tidak dikatakan di sana ada pernyataan dari Paus Aleksander VI tentang Paus Joan.

b. Tentang Jan Hus

Sejarah mencatat bahwa Jan Huss diadili, dan akhirnya dihukum mati dengan dibakar tanggal 6 Juli 1415. Hukuman mati saat itu tidak dilakukan oleh Gereja, tetapi oleh pemerintah sipil. Demikian tentang hukuman mati, menurut hukum kanonik, sebagaimana ditulis dalam New Advent Catholic Encyclopedia:

Canon law has always forbidden clerics to shed human blood and therefore capital punishment has always been the work of the officials of the State and not of the Church. Even in the case of heresy, of which so much is made by non-Catholic controversialists, the functions of ecclesiastics were restricted invariably to ascertaining the fact of heresy. The punishment, whether capital or other, was both prescribed and inflicted by civil government. The infliction of capital punishment is not contrary to the teaching of the Catholic Church, and the power of the State to visit upon culprits the penalty of death derives much authority from revelation and from the writings of theologians. The advisability of exercising that power is, of course, an affair to be determined upon other and various considerations…

Untuk kasus Jan (John) Hus, alasan berat yang menghantarnya sampai kepada hukuman tersebut adalah karena ia mengajarkan ajaran sesat, sebagaimana yang diajarkan oleh Wycliff. Kita yang hidup di masa kini mungkin sulit memahami keadaan di awal abad 15 tersebut, di mana seorang bidat dapat sampai dihukum mati. Namun  di zaman itu, memang demikianlah hukuman yang berlaku untuk seseorang yang dianggap sebagai penyesat dan pembuat kekacauan di masyarakat; apalagi jika beberapa kali peringatan telah diberikan oleh pihak otoritas, dan yang bersangkutan tetap berkeras menentangnya.

Dalam Konsili Constance (1415), diumumkan pengecaman terhadap ajaran sesat yang diajarkan oleh Wycliff dan John Hus. John Hus mulai mengajarkan ajaran Wycliff secara terbuka sejak tahun 1408 di Praha, dan telah menerima peringatan dari pihak Vatikan. Tahun 1412 ia dikeluarkan dari Praha, namun ia terus menyebarluaskan tulisannya yang menyesatkan tentang Gereja, tentang kepemimpinan Paus, tentang Kitab Suci, tentang Ekaristi, dst. Hus mendapat dukungan dari Kaisar Sigismund dan raja Bohemia, yang mendorongnya untuk hadir menjelaskan pandangannya di hadapan Konsili Uskup di Constance. Maka Hus berangkat ke Konsili pada tgl 11 Oktober 1414. Huss diterima dengan baik oleh Paus Yohanes XXIII, yang kemudian mencabut hukuman ekskomunikasi dan interdik atasnya, walaupun masih melarang Huss untuk memimpin Misa Kudus, berkhotbah maupun melaksanakan fungsi Gerejawi di hadapan publik, karena ajarannya memang sesat dan telah dinyatakan salah oleh Paus. Hus kembali menghadap Paus dan para Kardinal pada tanggal 28 November dan mengatakan bahwa dirinya bebas dari kesalahan, ia siap menarik semua ajarannya dan menjalani sangsi jika ada. Namun demikian, pada hari yang sama itu, ia melanggar larangan Paus, dengan tetap mempersembahkan Misa Kudus dan berkhotbah di hadapan umum. Oleh karena itu, ia ditangkap, dan oleh perintah Uskup Constance, ditahan di biara Dominikan, dan kemudian dipindahkan ke kastil Gottlieben (biara Fransiskan di Constance).

Pada tanggal 5, 7, 8 Juni 1415 pengadilan kasus Hus dilaksanakan di hadapan umum. Ringkasan dari tulisannya dibacakan, para saksi dihadirkan. Huss menerima sebagian dari tulisannya itu sebagai ajarannya (yang bersumber dari ajaran Wycliff), namun ia tidak menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah dan ia menolak apapun untuk menyatakan ketaatannya kepada otoritas Gereja. Pada tgl 6 Juli 1415, sekali lagi tulisannya tentang Gereja (De Ecclesia) dibacakan di hadapan umum. Hus menolak untuk menarik ajarannya yang keliru itu. Maka akhirnya, Hus dinyatakan sebagai bidat, dan diserahkan kepada tentara sekular, yang kemudian dihukum mati dengan dibakar, hukuman yang berlaku pada saat itu untuk para pengajar sesat.

Maka jika sampai Hus menyebutkan tentang Paus Joan sekalipun, itu bukan alasan mengapa ia dihukum mati, namun sebaliknya bukan alasan untuk membenarkan bahwa memang ada Paus yang bernama Joan. Yang menjadi perhatian Magisterium dalam Konsili untuk diluruskan adalah pernyataan ajaran sesat dan bukan pernyataan lain yang tidak langsung berhubungan dengan ajaran Gereja. (Hal catatan suksesi urutan Paus tidak secara langsung berhubungan dengan ajaran iman, lagipula hal urutan tersebut dapat dilihat di Liber Pontificalis, dan di sana tidak ada nama Paus Joan). Namun yang nyata di Konsili tersebut, Hus telah mengajarkan banyak hal yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, dan ia sudah diperingati berkali-kali, namun tetap berkeras pada pendiriannya, dan karena itu sangsi diberlakukan terhadapnya. Bahwa hukuman mati yang diberlakukan pada John Hus masa itu sungguh kejam, ini juga diakui dan disesali oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 18 Desember 1999 di Praha.  Dalam kunjungannya ke Praha sekitar tahun 1990an, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “terlepas dari keyakinan teologis yang dipertahankannya, tak dapat diingkari integritas Hus di dalam kehidupan pribadinya dan komitmennya terhadap pendidikan moral bagi bangsanya.” Dari pernyataan ini Paus Yohanes Paulus II mengakui integritas kehidupan pribadi John Hus, walaupun Paus tidak menyebutkan bahwa ia membenarkan keyakinan teologis yang dipertahankan oleh Hus saat itu. Paus dengan besar hati meminta maaf atas nama Gereja bahwa di masa lalu dapat terjadi pelaksanaan hukuman terhadap Hus yang sedemikian, yang walaupun tidak dilakukan oleh Gereja, namun dilakukan setelah pernyataan Hus diperiksa melalui Konsili Gereja. Dengan pernyataan maaf ini, kita dapat melihat maksud yang tulus dari Paus untuk membangun dialog dengan umat Kristen non-Katolik, terutama di Cekoslowakia.

 

Jadi untuk apa saya hidup di dunia ini?

15

[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini merupakan kelanjutan dari topik: “Beragama atau tidak beragama sama saja?”, silakan klik di sini untuk membaca topik tersebut.]

Pertanyaan:

Salam damai sejahtera

Pengasuh Katolisitas

Anda menulis sbb :

Namun umumnya, berawal dari suatu kesadaran untuk bertanya kepada diri sendiri: “JADI UNTUK APA SAYA HIDUP DI DUNIA INI ?”

Bagaimana jawabannya ?

Terima kasih
Salam
Mac

Jawaban:

Shalom Machmud,

Pertanyaan, “Jadi untuk apa saya hidup di dunia ini?” sesungguhnya merupakan suatu refleksi seseorang kepada dirinya sendiri untuk menemukan makna dan tujuan hidup. Cepat atau lambat setiap manusia umumnya akan bertanya seperti ini di dalam hatinya. Ini adalah sesuatu yang umum, karena sebenarnya Tuhan sendiri yang menanamkan dalam diri setiap orang untuk mempertanyakan tujuan akhir hidup yang akan dicapainya. Tuhan yang menciptakan kita, menanamkan di dalam hati kita kerinduan hati untuk kembali kepada-Nya, darimana kita berasal, dan tujuan akhir tempat kita berpulang.

Tuhan menginginkan semua manusia hidup berbahagia. Maka semua manusia umumnya mencari kebahagiaan, dan ini adalah sesuatu yang normal. Namun sayangnya, sering kali definisi kita tentang kebahagiaan, berbeda dengan definisi kebahagiaan menurut Tuhan. Pengertian kebahagiaan menurut Tuhan, diajarkan oleh Kristus di dalam Delapan Sabda Bahagia (lih. Mat 5).

Katekismus Gereja Katolik kemudian mengajarkan:

KGK 1718 Sabda bahagia sesuai dengan kerinduan kodrati akan kebahagiaan. Kerinduan ini berasal dari Allah. Ia telah meletakkannya di dalam hati manusia, supaya menarik mereka kepada diri-Nya, karena hanya Allah dapat memenuhinya:
“Pastilah kita semua hendak hidup bahagia, dan dalam umat manusia tidak ada seorang pun yang tidak setuju dengan rumus ini, malahan sebelum ia selesai diucapkan” (Agustinus, Mor. eccl. 1,3,4).
“Dengan cara mana aku mencari Engkau, ya Tuhan? Karena kalau aku mencari Engkau, Allahku, aku mencari kehidupan bahagia. Aku hendak mencari Engkau, supaya jiwaku hidup. Karena tubuhku hidup dalam jiwaku, dan jiwaku hidup dalam Engkau” (Agustinus, Confession. 10,29).
“Allah sendiri memuaskan” (Tomas Aquinas, Symb. 1).

Dalam pelajaran Katekismus untuk anak- anak, diajarkan demikian (diterjemahkan dari Baltimore Catechism, dijelaskan oleh Father Bennet C.P, New York: Catholic Book Publishing Corp, 1964) p. 12-13):

Mengapa Allah menciptakan kita?
Allah menciptakan kita untuk menujukkan kebaikan-Nya dan untuk membagikan kepada kita kebahagiaan kekal-Nya di surga.

Apa yang harus kita lakukan agar memperoleh kebahagiaan kekal di surga?
Untuk memperoleh kebahagiaan kekal di surga kita harus mengenal, mengasihi dan melayani Allah di dunia.

Dari siapa kita dapat mengenal, mengasihi dan melayani Allah?
Kita dapat belajar untuk mengenal, mengasihi dan melayani Allah, dari Tuhan Yesus Kristus, Allah Putera, yang mengajar kita melalui Gereja Katolik.

Walaupun ini adalah pelajaran tentang iman Katolik untuk anak- anak, namun ada banyak orang dewasa yang tidak mengetahuinya. Bahwa sebenarnya, Tuhan menghendaki agar kita hidup bahagia, dan jalan untuk hidup bahagia itu sebenarnya diajarkan-Nya melalui Sabda-Nya, yang dijelaskan dengan setia oleh Gereja yang didirikan-Nya, yaitu Gereja Katolik. Maka sekarang terserah kepada kita, bagaimana menyikapi tawaran Allah itu: Maukah kita mengikuti ajaran Kristus tentang kebahagiaan itu, ataukah kita mau mengikuti pengertian kita sendiri tentang kebahagiaan.

Kristuslah jalan, kebenaran dan hidup yang akan menghantar kita kepada Allah Bapa (Yoh 14:6) di mana kita akan menemukan kebahagiaan kita yang sempurna. Allah yang menjanjikan pengharapan ini adalah Allah yang setia (Ibr 10:23). Maka, jika kita mencari KerajaanNya dan kebenaran-Nya di dunia ini, maka Tuhan akan setia mencukupkan kebutuhan kita, “maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mat 6:33). Dengan kata lain, kebahagiaan di duniapun akan Tuhan berikan.

Sekarang pertanyaannya memang terpulang kepada kita, sudahkah kita mencari Kerajaan Allah dan kebenaran- Nya? Sudahkah kita melaksanakan hukum Tuhan yang terutama, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama kita? Sudahkah kita meresapkan Sabda Bahagia ini: miskin dan rendah hati di hadapan Allah, berbesar hati dalam kesusahan, lemah lembut, lapar dan haus akan kebenaran, murah hati, hidup kudus, membawa damai, rela dianiaya demi kebenaran? (Mat 5: 3-10). Sudahkah kita sadari bahwa kita semua, baik awam maupun religius, dipanggil untuk hidup kudus? Selanjutnya tentang topik ini, silakan klik di sini. Seruan untuk hidup kudus ini merupakan pesan utama dari Konsili Vatikan II, 1962-1965, yang sangat relevan pada jaman ini.

Mari kita berdoa, agar kita dapat meresapkan makna kebahagiaan yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, dengan demikian dapat menemukan makna kehidupan kita yang sesungguhnya di dunia ini; sambil menantikan penggenapannya yang sempurna di surga kelak. Teladan ini secara jelas kita lihat dalam kehidupan para orang kudus, seperti Bunda Teresa dari Kalkuta, Yohanes Don Bosco, Fransiskus dari Asisi, Theresia (Therese) dari Liseux, dst. Mari dengan cara yang kecil dan sederhana kita melayani Tuhan, yaitu dengan setia menjalani panggilan Tuhan dalam hidup kita, demi kasih kita kepada Tuhan yang menciptakan kita; supaya dengan demikian, kita memperoleh kebahagiaan yang sesungguhnya.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Surat Barnabas dan tentang Mani

8

Pertanyaan:

YTH. Tay…

ttg injil Barnabas : bukankan justru Barnabaslah murid terdekat Yesus ? sedangkan mathius dll itu bukan murid Yesus dan tdk sejaman dengan Yesus…dan sebenernya ada penganut kristen yg memakai injil barnabas :

Barnabas ini SUDAH digunakan secara luas terutama di GEREJA ALEXANDRIA DI MEZIR, Dan injil Barnabas ini ikut serta dalam injil-injil lain, yang kemudian dinyatakan dilarang untuk dibaca oleh pihak Gereja. Jadi intinya banyak sekali injil yang dianggap Apokripa oleh gereja salah satunya adalah injil Barnabas. Sekarang mari kita lihat sejarah th 242 ada suatu gerakan yang dikenal dengan mistik Manichea yang dipelopori oleh Mani (mane) yang sebelumnya pernah diramalkan Yesus. Dan mani ini adalah penganut injil Barnabas (buku H.G A Short History of the World). yang menyatakan bahwa Yesus itu bukan Tuhan dan tidak mati disalip.

Dan Akhirnya th 276 M atas perintah raja, Mani dikuliti sampai mati, dipenggal lehernya, mungkin agar tidak bangkit kembali, tubuhnya yang sudah dipotong-potong, kemudian dipajang ditempat umum (baca Michael Baigent Dkk…1983 hal 384-385). berdasarkan sejarah ini maka injil barnabas itu sudah ada sejak abad pertama dan dianut oleh oleh gereja. Dan akhirnya sejak Abad III gereja akhirnya menyingkirkan injil barnabas. Kemudian dikutuk oleh dekrit Gereja Barat th 382. Selanjutnya dikutuk oleh dekrit Innocent I th 465. Kemudian dikutuk lagi pada sidang gereja di Galasius Jelas bahwa injil barnabas ini dianut oleh gereja Alexandria Mezir, dan kalo nggak salah mungkin anda pernah dengar Arius, juga menggunakan injil ini.

Aku mendapati pertanyaan ini dari sahabat muslim, mohon tanggapannya? Terima kasih…
Maximillian Reinhart

Jawaban:

Shalom Maximillian,

1. Tentang Surat Barnabas

a. Siapa Barnabas?

Kitab Suci tidak pernah mengatakan bahwa Barnabas adalah murid terdekat Yesus. Kitab Suci mencatat bahwa murid yang dikasihi Yesus adalah Rasul Yohanes, yang pada saat perjamuan terakhir duduk di dekat Yesus dan bersandar dekat kepada-Nya (Yoh 13:23). Barnabas, yang asalnya bernama Yosef, dikatakan dalam Kitab Suci sebagai rasul (lih. Kis 13:43), seperti halnya Paulus, namun tidak termasuk dalam bilangan kedua belas rasul.

b. Garis besar isi surat Barnabas

Surat Barnabas menceritakan adanya gnosis (perfect wisdom) yaitu pengetahuan yang pasti akan rencana keselamatan. Terdiri dari dua bagian: 1) Bab 1-5: 4 adalah pengajaran/ peringatan, bahwa hari- hari yang jahat telah tiba, dan bahwa akhir dunia dan hari Penghakiman akan datang, dan para beriman yang telah dibebaskan dari hukum seremonial Yahudi, harus mempraktekkan kebajikan dan meninggalkan dosa. 2) Bab 5:5- bab 17 adalah bersifat spekulatif, untuk memberikan kebebasan umat Kristen dalam hal peraturan- peraturab Nabi Musa. Penulis menunjukkan bagaimana hukum Taurat harus dimengerti sebagai simbol kebijakan Kristiani dan institusinya, bagaimana Perjanjian Lama merupakan gambaran/ persiapan bagi kedatangan Kristus, sengsara-Nya dan Gereja-Nya. Sebelum mengambil kesimpulan, penulis mengulangi bagian pertama surat dengan mengutip penjabaran dari dokumen lain (the Didache) yaitu tentang kontras dua hal: jalan terang dan jalan kegelapan (bab 18- 20).

Surat Barnabas ini mempunyai karakter allegoris/ simbolis yang kuat, yang menurut para ahli kitab suci bahkan berlebihan sehingga cenderung menganggap PL sebagai semata- mata simbolis dan menolak arti literal PL dengan mengatakan bangsa Yahudi tidak pernah mempunyai perjanjian dengan Tuhan, dan bahwa sunat adalah pekerjaan Iblis, sehingga secara umum menentang tradisi Yahudi (lih. bab 7:3,11; 9:7, 10:10; bab 14).

Meskipun demikian, sebenarnya surat Barnabas ini tidak dituliskan untuk maksud polemik. Sebab cara penyampaiannya tentang Perjanjian Lama juga tidak dapat disamakan dengan interpretasi kaum Basilides dan Marcion yang menyalahgunakan tulisan ini. Surat Barnabas ini hanya merupakan semacam peringatan seorang pengajar agar umat tidak kembali ke ajaran seremonial Yahudi.

c. Sifat umum surat Barnabas

Penulis menjabarkan kesalahan- kesalahan kaum Yahudi, secara khusus adalah kaum Ebionit (lih. bab 4:4,6; 5:5, 12:10, 14:1). Namun demikian ia tidak menyerang mereka, melainkan hanya menuliskan pendapatnya tentang Yudaism dan hukum-hukumnya. Penulis tidak menuliskannya kepada umat Kristen secara umum, tetapi kepada jemaat setempat yang daripadanya ia sendiri merasa terpisah (lih. bab 1:2,4; 21:7,9).

Dalam sudut pandang literatur, Surat Barnabas ini tidak menunjukkan penulisan yang baik, sebab dituliskan dengan gaya yang melelahkan (tedious), kurang menggunakan ekspresi, kurang dalam hal kejelasan, dan terdapat banyak ketidakcocokan. Namun dari segi dogmatik, yang terpenting adalah surat Barnabas ini menyebutkan/ mengutip Injil Matius sebagai Kitab Suci (bab 4:14).

Dalam hal Kristologi, surat ini mengembangkan doktrin soteriologi dan justifikasi yang diajarkan Rasul Paulus. Maka keliru jika disebutkan bahwa ia menganggap Kristus sebagai hanya roh/ jiwa saja di dalam gambaran Tuhan. Walau surat ini tidak menyatakan secara eksplisit bahwa Kristus sehakekat dengan Bapa, namun surat ini mengakui adanya keilahian Kristus yang sudah ada sebelum Penciptaan dunia. [Dan dengan demikian mengakui bahwa Kristus adalah Sang Sabda yang sudah ada bersama- sama dengan Bapa sebelum Penciptaan dunia].

d. Kapan dituliskan

Injil Barnabas (atau lebih tepat disebut sebagai surat/ homili Barnabas) telah dikenal pada sekitar abad ke 2 di Gereja Alexandria, karena diperkirakan memang dituliskan oleh seseorang dari jemaat Alexandria. Tidak ada tulisan lain dari para Bapa Gereja abad- abad awal yang mengkonfirmasi bahwa surat tersebut benar- benar dituliskan oleh Barnabas, sehingga siapa pengarang surat ini dan kepada siapa surat ini dituliskan secara khusus tidak diketahui dengan pasti.

Penggambaran tentang kontroversi ajaran Yahudi di sini dijabarkan sebagai sesuatu yang telah lampau di jemaat. Bab 16:3-5, menyebutkan adanya perintah rekonstruksi bait Allah di Yerusalem. Perintah ini diberikan oleh Kaisar Hadrian tahun 130, untuk menghormati Yupiter, untuk membangun kembali bait Allah yang telah dihancurkan oleh Kaisar Titus. Kaisar Hadrian juga melarang praktek sunat oleh orang Yahudi, seperti yang telah disebutkan secara implisit di surat ini, bab 9:4. Maka surat Barnabas ini diperkirakan dituliskan sekitar tahun 130-131 jadi jauh sesudah Injil sinoptik (Matius (38-45), Markus, Lukas (64-67).

Penulis surat ini kemungkinan adalah seseorang dari jemaat Alexandrian, yang menempatkan dirinya berseberangan dengan tradisi Yahudi, meskipun ia sendiri tidak selalu memahami ritus dari Nabi Musa (lih. Bab 7). Sampai abad ke-empat, surat ini dikenal hanya oleh Gereja di Alexandria. Dari tulisan Bapa Gereja Klemens dari Alexandria dan Origen, diketahui bahwa sekitar tahun 200, bahkan di Alexandria, surat Barnabas ini tidak dianggap sebagai tulisan yang diilhami oleh Roh Kudus.

e. Kesimpulan

Sebagai umat Katolik, kita hanya berpegang dari apa yang telah ditetapkan dari Magisterium tentang kanon Kitab Suci. Magisterium melalui Paus Damasus I (382) dan konsili- konsili berikutnya menentukan hanya ada empat Injil (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes) dan inilah yang dipegang oleh Gereja Katolik. Sepanjang pengetahuan saya Surat Barnabas ini tidak dikutuk oleh Paus Damasus/ Sinoda Roma. Surat itu hanya tidak diakui sebagai tulisan yang diinspirasikan oleh Roh Kudus, sehingga tidak dimasukkan dalam kanon Kitab Suci.

2. Tentang Mani

Mani adalah seorang Persia yang mendirikan agama yang dikenal sebagai Manichæism pada abad ke 3, yang merupakan campuran antara dualisme Zoroastrian, cerita rakyat Babilonia dan etika Buddism, dengan penambahan elemen- elemen Kristiani. Prinsip ajarannya adalah adanya dua prinsip utama yaitu kebaikan dan kejahatan, seperti yang kemudian diajarkan kembali oleh ajaran sesat Albigensian di abad ke 12, seperti yang pernah dituliskan di sini, silakan klik.

Mani mensejajarkan dirinya dengan Buddha, Zoroaster dan Yesus dan menyebut diri sebagai “Rasul dari Tuhan yang benar”. Prinsip ajarannya adalah ajaran gnostik, yang mengajarkan keselamatan dengan pengetahuan, yaitu kosmogoni. Manichaeanism mengaku sebagai aliran Kristen, namun ajarannya tidak sesuai dengan ajaran Kristus: Mani mengaku sebagai Roh Kudus, dan ia menolak Kisah Para Rasul. Ia menolak semua kitab Perjanjian Lama, namun menerima sebagian dari ayat- ayat Perjanjian Baru, untuk disesuaikan dengan ajarannya. Baginya Yesus hanya sebuah partikel ilahi (aeon) Terang, dan Mani menolak bahwa Yesus telah benar- benar lahir dalam sejarah manusia. Jadi yang dipercaya oleh Mani, adalah Yesus hanya sepertinya bayangan, yang kelihatannya hidup, menderita dan wafat, tetapi semua itu tidak sungguh- sungguh terjadi dan dialami Yesus. Ini adalah sesuatu ajaran yang sangat bertentangan dengan inti iman Kristiani!

Mani bekerja di bawah Raja Persia Shapur I (242) kemudian Hormizd I, namun penerusnya Bahram I mulai menganiaya Mani dan para pengikutnya. Ia (Raja Bahram I) akhirnya memenjarakan Mani, dan Mani wafat di penjara pada tahun 276 dan 277. Memang kenyataannya, ajaran Manichaeism ini banyak berkembang di Alexandria, kemungkinan karena adanya sekilas kemiripan dengan surat Barnabas tersebut (penolakan ajaran Yahudi, dan pertentangan antara terang dan kegelapan); walaupun kalau sudah diperhatikan detailnya, sesungguhnya tidak berhubungan. Karena pada saat surat Barnabas itu dituliskan, ajaran gnostik campuran ala Mani itu belum anda. Dan secara prinsip, sebenarnya terdapat perbedaan yang besar, terutama karena surat Barnabas tetap mengajarkan ke- Allahan Yesus, sedangkan Manichaeism tidak. Mani-lah yang mengajarkan prinsip Kristologi Docetism tentang Yesus yang tidak sungguh- sungguh disalibkan, seperti yang kemudian diyakini oleh umat Islam.

St. Agustinus pernah mengikuti aliran Manichaeism selama beberapa tahun dan mendalaminya (373-383- sebelum bertobat menjadi Katolik), sampai akhirnya ia menemukan sendiri bahwa aliran ini sungguh- sungguh sesat. Akhirnya, St. Agustinus malah menjadi seorang yang menentang Manichaeism dan menuliskan banyak artikel untuk membuktikan bahwa ajaran Mani (yang mengklaim mengajarkan pengetahuan sempurna untuk keselamatan) adalah ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Kristus, dan bahkan bertentangan dengan akal sehat.

Demikianlah yang dapat saya tuliskan sekilas tentang Surat Barnabas dan Mani. Semoga berguna.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Kematian Yesus di salib adalah kemenangan

23

Pertanyaan:

Aku betul-betul prustasi kenapa Tuhan Yesus harus mati ditiang salib, Kenapa Tuhanku sampai kalah dengan tentara Romawi ! Kenapa dia tidak tuntas dalam menyampaikan risalahnya ( Yohanes 16 :12-14) “12 Masih banyak hal yang harus aku katakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya.
13Tetapi apabila ia datang, yaitu Roh Kebenaran. Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran. Sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarnya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang.
14 Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.

Dan siapa Roh Kebenaran itu ?

Manis

Jawaban:

Shalom Manis,

1. Kematian Yesus di salib adalah tanda kemenangan

Kematian Yesus di kayu salib itu bukanlah sesuatu tanda kekalahan, tetapi justru kemenangan. Penderitaan dan wafat-Nya itu memang merupakan suatu ‘kebodohan’ menurut hikmat manusia, tetapi merupakan ‘kemenangan’ menurut hikmat Allah (lih. 1 Kor 1: 18-31).

Sebab dengan pengorbanan Kristus di kayu salib dan kebangkitan-Nya dari mati, maka Kristus mengalahkan kuasa dosa dan maut. Sebab tidak ada seorangpun di dunia ini dapat bangkit dari kematiannya, dan memang hanya Yesus Kristus saja, dan tidak akan pernah ada lagi. Yesus, Allah Putera yang menjelma menjadi manusia, wafat di salib sebagai korban tebusan dosa- dosa umat manusia (lih. Mat 20:28) agar dengan demikian jurang yang memisahkan antara Allah dan manusia akibat dosa, dapat terjembatani; sehingga manusia dapat kembali kepada Allah dan menerima kehidupan kekal. Silakan anda membaca artikel ini: Kesempurnaan rancangan keselamatan Allah, silakan klik.

2. Wafat Kristus dan kebangkitan-Nya memang merupakan puncak dalam rencana Allah menyelamatkan manusia.

Maka wafat Kristus dan kebangkitan-Nya memang merupakan puncak dalam rencana Allah menyelamatkan manusia. Karena melalui wafat, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke surga, tercurahlah rahmat keselamatan bagi kita manusia. Kini, rahmat tersebut terus tercurah kepada kita melalui sakramen- sakramen Gereja oleh kuasa Roh Kudus, yaitu Roh Kebenaran yang disebutkan dalam Yoh 16:12-14. Pada saat Yesus menjelaskan kepada para muridnya di perikop Yoh 16 tersebut, para murid belum dapat memahaminya, karena mereka tidak menyangka bahwa untuk menyelamatkan dunia Kristus harus mengalami sengsara dan wafat di kayu salib sampai sedemikian rupa. Walaupun Yesus sendiri telah sedikitnya tiga kali memberitahukan para rasul-Nya tentang kematian-Nya ini (Mat 16:21; Mat 17:22-23; Mat 20:17:19), para murid-Nya baru memahaminya setelah segala sesuatu yang dikatakan Yesus terjadi.

Maka perasaan anda yang frustasi karena penyaliban Yesus, itu menyerupai pengalaman kedua murid Yesus di perjalanan ke Emaus (lih. Luk 24:13-35). Namun Kristus menampakkan diri kepada kedua murid tersebut, untuk membuktikan bahwa Ia sungguh bangkit dan hidup. Yesus berjalan bersama mereka sambil menjelaskan makna Kitab Suci dan mereka mengenali Kristus yang bangkit pada saat Ia memecahkan roti, namun seketika itu juga Ia lenyap dari pandangan mereka. Pengalaman ini mengobarkan hati mereka dan para murid lainnya, bahwa Kristus sungguh telah bangkit dari mati. Mukjizat kebangkitan ini membuktikan bahwa Kristus sungguh adalah Allah Putera yang menjelma menjadi manusia. Maka kematian Kristus di salib bukanlah kekalahan, namun sebaliknya adalah kemenangan; karena diikuti oleh kebangkitan, yaitu bukti bahwa Kristus telah mengalahkan kuasa dosa dan maut demi menebus dosa- dosa manusia. Wafat dan kebangkitan-Nya untuk membuka jalan keselamatan bagi kita.

3. Yesus menyerahkan nyawa-Nya atas kehendak-Nya sendiri, bukan karena ‘dikalahkan’ oleh orang- orang Yahudi ataupun Romawi.

Maka pada saat Yesus menyerahkan diri-Nya ke tangan orang- orang Yahudi itu adalah karena Ia sendiri menghendaki-Nya, demi memenuhi rencana keselamatan Allah. Tuhan Yesus telah berulang kali mengajarkan betapa Ia akan menyerahkan nyawa-Nya demi menyelamatkan umat-Nya seperti halnya Gembala yang baik menyerahkan-Nya nyawa bagi domba- domba-Nya.

Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya;….. Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku.” (Yoh 10:11, 18)

Jadi bahwa Yesus menyerahkan nyawa-Nya bukan karena Ia ‘kalah dengan tentara Romawi‘. Yesus memang dengan kehendak bebas-Nya menyerahkan nyawa-Nya kepada orang- orang Yahudi; agar dengan demikian Ia dapat menjadi korban penebusan dosa umat manusia untuk memenangkan dari kuasa dosa dan maut, jiwa orang-orang yang percaya.

4. Dengan menyerahkan Nyawa-Nya di salib, Kristus menggenapi nubuat para nabi tentang Mesias yang diutus Allah.

Dengan kurban salib-Nya, Kristus memenuhi nubuat para nabi beratus- ratus tahun sebelum-Nya, bahwa sebagai Mesias, Ia akan wafat dengan cara demikian.

Sang Mesias digambarkan mengalami penderitaan:

a. Yakub menggambarkan bahwa Mesias akan mencuci pakaiannya dengan anggur dan bajunya dengan darah buah anggur (Kej 49:11).

b. Daniel 9 memberikan gambaran akan Mesias yang menderita, dimana dia akan disingkirkan, walaupun tidak mempunyai kesalahan apapun (Dan 9: 26).

Gambaran akan penderitaan Mesias dan kebangkitan-Nya:

a. Nabi Yesaya memberikan gambaran yang begitu jelas akan penderitaan Sang Mesias (Yes 42; 49; 50; 53).

b. Mesias harus menderita untuk menanggung dosa dunia; oleh bilur-bilur-Nya, kita disembuhkan (Yes 53:5).

c. Mesias juga akan ditolak oleh orang banyak (Mzm 118:22).

Yesus ditolak bukan hanya oleh orang-orang, namun terutama adalah para ahli farisi, imam agung. Namun penolakan ini melahirkan Kerajaan Allah, dengan Yesus sendiri sebagai batu penjuru (Mat 21:42).

d. Daud berbicara tentang penderitaan Kristus di kayu salib, seperti: tangan dan kakinya akan ditusuk, segala tulangnya terlihat, membagi pakaiannya, menderita kehausan yang sangat (Mzm 22).

e. Nabi Yesaya mengatakan bahwa Mesias akan memberikan punggungnya bagi orang-orang yang memukulnya, dan memberikan pipinya bagi yang mencabut janggutnya. Dia dinodai dan diludahi, namun dia tidak menyembunyikan mukanya (Yes 50:6).

f. Kebijaksanaan Salomo menceritakan tentang penganiayaan dan penolakan akan Kristus (Keb 2:12-20).

Drama yang begitu kejam ini terpenuhi dalam diri Kristus yang mengalami penderitaan begitu hebat sesuai dengan yang dinubuatkan nabi Daud dan Yesaya (Mat 27:39-42).

g. Daud berbicara tentang kebangkitan Mesias ketika dia berkata bahwa Tuhan tidak akan memberikan Dia kepada dunia orang mati (Mzm 49:15).

Yesus menggenapi nubuat ini, dengan kebangkitan-Nya dari mati; dengan disaksikan begitu banyak orang yang masih hidup pada waktu Injil dan Surat Rasul Paulus ditulis (Mat 28:7). Yesus juga mengatakan bahwa Dia adalah kebangkitan dan hidup dan barangsiapa percaya kepada-Nya, dia akan hidup walaupun dia sudah mati (Yoh 11:25).

5. Roh Kebenaran (Yoh 16:12-14) adalah Roh Kudus yang turun atas para rasul pada hari Pentakosta.

Setelah Kristus bangkit dan naik ke surga, maka para murid berkumpul dan menantikan pemenuhan janji Kristus yang akan mengutus Roh Kebenaran (Yoh 16: 13). Roh Kebenaran ini adalah Roh Kudus yang turun atas para rasul pada hari Pentakosta (lih. Kis 2:4). Roh Kudus inilah yang mengubah para rasul, dari yang tadinya takut akan orang- orang Yahudi (Yoh 20:19) menjadi berani dalam memberitakan firman Tuhan (lih. Kis 2:14-40; Kis 3, 4, 5, dst). Karunia Roh Kudus menyertai para rasul pada saat mereka mengajar, sehingga mengakibatkan pertobatan banyak orang (lih. Kis 2:41, 47).

Roh Kudus juga mendorong para rasul untuk berbicara dengan hikmat Allah, seperti contohnya kepada Petrus, Yohanes dan Stefanus, sehingga tak seorangpun sanggup melawan hikmat mereka (lih. Kis 4, 6:10, 22:30-dst, Kis 25, 26). Ini merupakan pemenuhan janji Kristus, bahwa akan memberikan Roh Kudus-Nya kepada para rasul-Nya sehingga mereka akan dapat memberikan jawaban atas segala pertanyaan yang ditujukan kepada mereka:

“Apabila orang menghadapkan kamu kepada majelis-majelis atau kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa, janganlah kamu kuatir bagaimana dan apa yang harus kamu katakan untuk membela dirimu. Sebab pada saat itu juga Roh Kudus akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan.” (Luk 12:11-12)

Maka Roh Kudus atau Roh Kebenaran (lih. 1 Yoh 5:6) adalah Roh Kristus sendiri yang telah membangkitkan-Nya dari kematian. Roh Kudus ini diberikan kepada semua yang percaya kepada-Nya dan dibaptis (lih. Kis 2:38). Roh Kudus inilah yang menjadikan kita milik Kristus, dan Roh ini akan memimpin kepada kehidupan dan kebenaran (lih. Rom 8:10-11); sebab Kristus adalah kebenaran dan hidup (Yoh 14:6). Roh Kudus ini juga disebut Roh Penghibur, yang diutus oleh Allah Bapa dalam nama Kristus, dan Roh Kudus ini akan mengajarkan segala sesuatu kepada kita dan mengingatkan kita akan semua yang telah dikatakan Kristus kepada kita (lih. Yoh 14:26). Maka Roh Kudus (yang disebut juga sebagai Roh Penghibur dan Roh Kebenaran) ini adalah Pribadi ketiga dari Allah Trinitas: Roh Kudus dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Kristus Sang Allah Putera. Selanjutnya tentang Allah Trinitas, silakan klik di sini.

 

Demikianlah Manis, yang dapat saya tuliskan menanggapi pertanyaan anda. Jangan frustasi karena Kristus telah wafat di salib. Sebab Kristus telah bangkit! Justru kematian Kristus di salib harus menjadi sumber kekuatan dan pengharapan kita, agar dapat bangkit bersama Dia. Sebab jika kita mati terhadap dosa, maka bersama Kristus kita akan memperoleh hidup yang baru. Dan jika kita jalani hidup ini di dalam Kristus dengan iman, pengharapan dan kasih, maka kita akan dihantar-Nya untuk sampai kepada kehidupan yang kekal di Surga.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Belajar dari St. Thomas Aquinas tentang memohon dukungan doa orang kudus

8

Pertanyaan:

Ibu Inggrid
terima kasih untuk tangapannya.
teman saya sendiri pernah mengajarkan saya untuk berdoa kepada salah satu santa/santo kalau ada barang yang hilang…… saya lupa nama santa/santo nya…… kalau tidak salah…… santo …. dari Padua…atau apa gitulah…
apakah doa semacam itu TIDAK termasuk kategori berdoa kepada creature? apakah saya yang salah persepsi? lalu doa seperti itu doa kepada siapa? Creator (Allah) atau Creature (santo/a)?

Lalu bagaimana dengan doa “santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati”
atau misalnya “dampingilah kami ya Bunda, agar hati kami selalu tertuju pada Allah”
doa seperti ini, berkomunikasi dengan siapa? Kepada Allah Bapa (Creator) di Surga atau kepada Bunda Maria (creature)? atau ditujukan kepada Allah Bapa melalui perantara Bunda Maria?
atau lagi lagi saya yang salah persepsi?

Terima kasih.

[Dari Katolisitas: pesan berikut ini disatukan karena masih satu topik]

Ibu Inggrid,
saya sudah buka link yang ibu sarankan saya untuk ‘klik disini’- isinya kok mengenai patung berhala.
Maksud saya dari kata “creature” bukan patung, tetapi creaure = ciptaan dalam pengertian malaikat, santo/a, St. Maria –

saya tidak mengatakan katholik menyembah PATUNG…… Statement yang saya tulis “kita tidak berdoa kepada creature”.

bahkan terhadap orang Buddha/Hindu pun saya tidak mengatakan mereka menyembah patung tetapi mereka beriman pada ideology / konsep dibaliknya.

[dari Katolisitas: pesan berikut ini disatukan karena masih satu topik]

ibu Inggrid
sorry, ketinggalan satu hal lagi….. kelupaan…..

ibu Inggrid menulis : quote Jadi ajakan untuk belajar itu harusnya ditujukan kepada diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum kita menganjurkannya kepada orang lain. unquote

Justru saya sendiri belajar dan akan terus belajar, makanya menyarankan orang lain belajar.
komentar Joseph yang mengatakan “Jadi sistemnya adalah “thuk-gathuk.” – membuat saya tergelitik menyarankan Joseph untuk belajar.

Memang karena keterbatasan waktu (harus kerja pergi pagi pulang malam), kemampuan memory karena usia nggak bisa bohong….. Dan yang utama saya tidak bisa menulis dengan baik, tidak pernah bikin paper apalagi tesis/disertasi seperti ibu Inggrid

Memang, protestan tidaklah sekeren, sehebat system katholik, sedemikian hebatnya sehingga saya merasa seperti ‘diawang-awang’. Orang katholik pasti pinter pinter ya bisa memahami seluruh dokrin yang sedemikian rupa.

Baru tadi pagi, saya bilang gini sama teman saya “kamu katholik kenapa tidak mempelajari katholik dengan baik malahan sekarang ke karismatik? saya yang protestan aja mau mempelajari katholik. coba kamu buka website katolisitas.org, kamu bisa belajar banyak dari situ…..”
dia jawab gini “katholik bilang 2000 tahun…. orthodox juga claimnya begitu…ha..ha..ha..”
lalu lanjutnya ……..”…saya tidak akan kembali ke katholik…..”
saya jawab “sayang banget! Pemimpin gereja saya malah memotivasi kita mempelajari Thomas Aquinas…. Beliau malahan bilang sayang sekali kalau orang Kristen tidak mempelajari Aquinas, orang besar yang pernah Tuhan berikan bagi gereja!”

Esther

Jawaban:

Shalom Esther,

1. Dalam beberapa komentar anda, saya menangkap anda menyangka bahwa umat Katolik seolah menduakan Tuhan, dengan berdoa kepada ‘creature‘. Maaf, saya tadinya menyangka bahwa ‘creature‘ yang anda maksud adalah ‘patung’, karena ada banyak orang Kristen non- Katolik yang menyangka bahwa orang Katolik menyembah patung. Saya bersyukur anda tidak berpandangan demikian; sehingga dialog kita dapat berjalan dengan lebih baik, karena setidaknya berpijak pada prinsip pengertian yang sama.

2. Dari komentar anda di atas, rupanya anda berpandangan bahwa ‘creature‘ itu adalah para orang kudus termasuk Bunda Maria. Ini terlihat dari doa- doa yang sepertinya ditujukan kepada orang- orang kudus. Seperti kepada St. Antonius dari Padua, untuk mendoakan jika kita kehilangan sesuatu, ataupun kepada Bunda Maria, dengan doa Salam Maria, “doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati”.

Sebenarnya, istilah yang lebih tepat adalah berdoa ‘bersama’ orang kudus dan bukannya berdoa ‘kepada’ orang kudus dengan arti yang sama dengan berdoa ‘kepada’ Tuhan. Karena terdapat perbedaan makna di sini. Kita berdoa kepada Tuhan, karena Tuhanlah yang menjadi tujuan dari semua doa, pujian dan penyembahan kita, dan kita meyakini bahwa Tuhanlah yang mengabulkan doa- doa kita. Namun jika kita dikatakan berdoa kepada orang kudus, itu artinya hanya memohon agar mereka mendoakan kita, ataupun berdoa bersama kita. Jadi kita tidak pernah mensejajarkan mereka dengan Allah, ataupun meyakini bahwa mereka dapat mengabulkan doa kita atas kuasa mereka sendiri. Kita meyakini bahwa mereka adalah orang- orang kudus pilihan Allah yang mempunyai kuasa doa yang besar, sebab mereka sendiri telah dibenarkan oleh Allah (lih. Yak 5:16); namun yang mengabulkan doa kita tetaplah Tuhan saja.

Maka jika dalam doa Salam Maria, kita mohon Bunda Maria mendoakan kita, perkataan itu memang ditujukan kepada Bunda Maria yang telah bersatu dengan Allah dalam hadirat- Nya, agar Bunda Maria mendoakan kita dan berdoa bersama- sama dengan kita, saat sekarang dan saat ajal menjemput kita. Hal pengabulan doa tersebut itu sepenuhnya menjadi hak Tuhan. Namun besarlah kuasa doa Bunda Maria, karena ia adalah Bunda Allah yang diberikan Kristus untuk menjadi Bunda kita untuk mendoakan kita anak- anak-Nya, yang adalah saudara/i angkat Yesus oleh rahmat Baptisan kita.

3. Kebanyakan umat Kristen non- Katolik menganggap bahwa hubungan antara umat beriman yang masih hidup di dunia ini sudah putus dengan mereka yang sudah beralih dari dunia ini. Sedangkan menurut Gereja Katolik tidak demikian, sebab mereka umat beriman yang meninggal dunia dalam Kristus itu hanya mati tubuhnya, namun jiwanya tetap hidup (lih. Rom 8:10). Kehidupan di dalam Kristus inilah yang mengikat para umat beriman, baik yang masih hidup di dunia maupun yang sudah beralih dari dunia ini. Selanjutnya tentang topik: Apakah memohon doa orang kudus di surga bertentangan dengan firman Tuhan, silakan klik di sini; Benarkah kita tidak bisa mohon para kudus mendoakan kita?, klik di sini dan apakah jemaat perdana percaya akan persekutuan orang kudus yang tak terputus oleh maut, silakan klik di sini.

4. St. Thomas Aquinas adalah salah seorang Bapa Gereja yang mengajarkan kita untuk memohon para orang kudus untuk mendoakan kita. Dalam bukunya Summa Theology, St. Thomas dengan jelas mengajarkan hal ini, karena dengan memohon doa dari orang kudus, maka kita akan menghantarkan doa kepada Allah dengan kerendahan hati. Mengakui bahwa ada orang- orang lain yang lebih kudus dari kita, yang kuasa doanya lebih besar dari kita. Karena itu kita memohon dukungan doa dari mereka, pada saat kita menghantarkan doa- doa kita kepada Allah. Ini sesungguhnya prinsipnya sama saja dengan pada saat kita memohon pada pastor/ pendeta kita untuk mendoakan kita. Kita mengakui bahwa mereka lebih ‘dekat dengan Tuhan’ atau ‘lebih kudus’ dari kita, dan dengan demikian kita memohon dukungan doa dari mereka.

Nah, demikian juga dengan permohonan kita kepada orang kudus itu. Orang kudus itu (contohnya Bunda Maria) bahkan lebih kudus dari pastor/ pendeta, sebab Bunda Maria telah bersatu dengan Allah di surga. Maka kuasa doanya tentu lebih besar daripada semua yang masih berziarah di bumi. Berikut ini saya terjemahkan perikop yang dimaksud, dari Summa Theology, Supplement, q.72, a.2. [Seperti biasa, St. Thomas menuliskan dahulu keberatan- keberatan umum tentang memohon doa orang kudus bagi kita, dan ia akan menjawab keberatan- keberatan tersebut]:

Pasal 2. Apakah kita harus memohon orang-orang kudus untuk berdoa bagi kita?

Keberatan 1. Tampaknya kita tidak seharusnya memohon para orang kudus untuk mendoakan kita. Karena tidak ada orang meminta teman-temannya untuk berdoa baginya, kecuali sejauh ia yakin bahwa ia akan lebih mudah menerima bantuan dari mereka. Tetapi Allah jauh lebih berbelas kasih daripada para orang kudus, dan karena itu Ia akan lebih mendengarkan kita, daripada seorang Santo/ Santa. Oleh karena itu tampaknya tidak perlu untuk menjadikan para orang kudus sebagai pengantara antara kita dan Allah, bahwa mereka mungkin dapat menjadi pengantara bagi kita.

Keberatan 2. Selanjutnya jika kita harus memohon mereka untuk berdoa bagi kita, ini hanya karena kita tahu bahwa mereka berdoa untuk dapat diterima oleh Allah. Sekarang, di antara para orang kudus, semakin ia lebih kudus, semakin doanya diterima Allah. Oleh karena itu kita selalu harus memohon agar orang- orang kudus yang ‘lebih besar’ untuk menjadi pengantara doa kita, dan bukan orang kudus yang ‘lebih rendah’ tingkatannya.

Keberatan 3. Selanjutnya Kristus, bahkan sebagai manusia, disebut sebagai “Ruang Mahakudus,” dan, sebagai manusia, adalah layak bagi-Nya untuk berdoa. Namun kita tidak pernah berseru kepada Kristus untuk berdoa bagi kita. Oleh karena itu, tidak perlu-lah bagi kita untuk meminta para orang kudus lainnya untuk berdoa bagi kita.

Keberatan 4. Selanjutnya setiap kali seseorang berdoa syafaat bagi orang lain atas permintaan orang tersebut, dia memohon permohonan kepada Seseorang yang kepadanya ia berdoa syafaat. Sekarang tidak perlulah untuk menyajikan apapun bagi Seseorang yang kepada-Nya segala sesuatu hadir/ diketahui. Oleh karena itu tidak perlu untuk menjadikan para orang kudus sebagai pendoa syafaat kepada Allah.

Keberatan 5. Selanjutnya, tidak perlu melakukan apapun jika, tanpa melakukan itu, tujuan hal itu dilakukan akan tercapai dengan cara yang sama, atau sebaliknya, tidak tercapai sama sekali. Sekarang sama saja, apakah para orang kudus akan berdoa bagi kita, atau mereka tidak akan mendoakan kita sama sekali; apakah kita mohon didoakan mereka atau tidak: karena jika kita layak mereka doakan, mereka akan mendoakan kita meskipun kita tidak memohon doa mereka, sedangkan jika kita tidak layak mereka doakan, mereka tidak akan mendoakan kita meskipun kita minta. Oleh karena itu tampaknya sama sekali tidak perlu untuk memohon mereka untuk mendoakan kita.

Sebaliknya, Ada tertulis (Ayub 5:1): “Berserulah–adakah orang yang menjawab engkau? Dan kepada siapa di antara orang-orang yang kudus engkau akan berpaling?Sekarang seperti ajaran St. Gregorius (Moral. v, 30) pada bagian ini, “Kita memanggil Tuhan ketika kita memohon kepada-Nya di dalam doa yang penuh kerendahan hati.” Oleh karena itu, ketika kita ingin berdoa kepada-Nya, kita harus memohon kepada para orang kudus itu supaya mereka berdoa kepada Tuhan bagi kita.

Selanjutnya, para orang kudus yang di surga lebih diterima Allah daripada orang-orang yang masih dalam perjalanan [di dunia ini]. Sekarang kita yang masih dalam perjalanan, harus menjadikan para orang kudus sebagai pendoa syafaat kita kepada Tuhan, sesuai teladan Rasul Paulus yang mengatakan (Rom 15:30): “Tetapi demi Kristus, Tuhan kita, dan demi kasih Roh, aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, untuk bergumul bersama-sama dengan aku dalam doa kepada Allah untuk aku.Oleh karena itu, lebih lagi, kita harus meminta para kudus yang berada di surga untuk membantu kita dengan doa- doa mereka kepada Tuhan.

Selanjutnya, argumen tambahan diberikan oleh tradisi umum Gereja yang memohon doa- doa dari para orang kudus dalam Litani.

Aku menjawab bahwa, Menurut Dionisius (Pkh. hier. v) urutan yang ditetapkan oleh Allah di antara banyak hal adalah bahwa: “mereka yang berada di tempat terakhir harus dipimpin kepada Allah oleh orang-orang yang sudah berada di tengah- tengah”. Oleh karena itu, karena para orang kudus yang di surga adalah yang paling dekat dengan Allah, urutan hukum Ilahi mengharuskan kita, yang sementara hidup di dunia (di dalam tubuh) adalah para peziarah dari Tuhan, harus dibawa kembali kepada Allah oleh para orang kudus yang berada di antara kita dan Dia: dan ini terjadi ketika kebaikan Ilahi mengalirkan efeknya keluar kepada kita melalui mereka. Dan karena kembalinya kita kepada Allah harus sesuai dengan keluarnya anugerah-Nya atas kita, seperti halnya nikmat Ilahi sampai kepada kita dengan cara perantaraan doa syafaat para orang kudus, demikianlah kita, oleh cara mereka, akan dibawa kembali kepada Allah, sehingga kita dapat menerima berkat-Nya lagi. Oleh karena itu, kita membuat mereka sebagai pendoa syafaat bagi kita kepada Allah dan sebagai pengantara kita, ketika kita meminta mereka untuk berdoa bagi kita.

Jawaban atas Keberatan 1. Bukanlah karena adanya cacat dalam kuasa Tuhan, sehingga Dia bekerja dengan cara melibatkan pengantara, tetapi itu adalah demi kesempurnaan pengaturan alam semesta dan bermacam-macam pencurahan kebaikan-Nya secara lebih lagi dari-Nya dalam segala hal, melalui pencurahan-Nya kepada mereka, tidak hanya kebaikan yang layak bagi mereka, tetapi juga kemampuan untuk menyebabkan kebaikan kepada orang lain. Bahkan juga bukan karena adanya cacat pada rahmat-Nya, bahwa kita perlu memohon pengampunan-Nya melalui doa- doa para orang kudus, tetapi sampai akhir nanti pengaturan seperti di atas harusnya ditaati.

Jawaban atas Keberatan 2. Meskipun para orang kudus yang lebih besar lebih diterima oleh Allah daripada yang lebih rendah, kadang-kadang menguntungkan untuk berdoa kepada yang lebih rendah, dan ini untuk lima alasan. Pertama, karena kadang-kadang seseorang mempunyai devosi yang lebih besar kepada orang kudus yang lebih rendah daripada kepada orang kudus yang lebih tinggi dan pengaruh doa sangat tergantung pada devosi seseorang. Kedua, untuk menghindari kejenuhan, sebab perhatian terus-menerus untuk satu hal membuat orang lelah; sedangkan dengan berdoa memohon kepada para orang kudus yang berbeda- beda, semangat devosi kita menyala lagi seperti sebelumnya. Ketiga, karena diberikan kepada beberapa orang kudus untuk memberikan perlindungan di dalam kasus- kasus tertentu, contohnya, Santo Antonius terhadap api neraka. Keempat, agar penghormatan yang layak diberikan kepada kita semua. Kelima, karena doa dari beberapa orang kadang-kadang mendapatkan apa yang tidak akan diperoleh oleh doa dari hanya seorang.

Jawaban atas Keberatan 3. Doa adalah sebuah tindakan dan tindakan adalah menjadi milik seseorang tertentu [supposita]. Oleh karena itu, jika kita mengatakan: “Kristus, berdoalah bagi kami, “kecuali jika kita menambahkan sesuatu, ini akan tampaknya merujuk pada Kristus sebagai manusia, dan akibatnya setuju dengan ajaran sesat dari Nestorius yang membedakan di dalam Kristus: Kristus sebagai manusia dan Kristus sebagai Allah Putera, atau ajaran sesat Arius, yang mengajarkan bahwa Pribadi Allah Putera lebih rendah dari Allah Bapa. Oleh karena itu untuk mencegah kesalahan ini, Gereja mengatakan, bukan: “Kristus, doakanlah kami”, tetapi “Kristus, dengarkanlah kami,” atau “Kristus kasihanilah kami.”

Jawaban atas Keberatan 4. Seperti yang akan kita nyatakan selanjutnya di point (3) para orang kudus dikatakan mempersembahkan doa- doa kita kepada Tuhan, tidak seolah- olah sebagai sesuatu yang tidak diketahui-Nya, tetapi karena mereka memohon kepada Tuhan untuk mendengarkan doa- doa tersebut dengan pendengaran yang penuh kemurahan, atau karena mereka mencari kebenaran Ilahi tentangnya [permohonan tersebut], yaitu apakah yang harus dilakukan sesuai dengan penyelenggaraan-Nya.

Jawaban atas Keberatan 5. Seorang dinyatakan layak menerima doa- doa orang kudus oleh kenyataan bahwa di dalam kebutuhannya ia telah berlindung kepada orang kudus itu dengan kesetiaan/ devosi yang murni. Oleh karena itu bukannya tidak perlu untuk berdoa kepada para orang kudus.

Demikianlah Esther, Gereja Katolik memang menganjurkan agar umat Katolik memohon dukungan doa dari orang- orang kudus, karena dengan demikian kita dapat belajar menghantarkan doa dengan kerendahan hati. Doktrinnya berbunyi demikian:

“Adalah diijinkan dan menguntungkan untuk menghormati para orang kudus di Surga, dan untuk memohon doa syafaat mereka.” (Ludwig Ott, Fundamental Catholic Dogma, p. 318)

Dengan memohon dukungan doa para kudus, kita menjadi terdorong untuk mengikuti teladan hidup mereka, dan menyadari betapa sebagai anggota Tubuh Kristus kita membutuhkan dukungan dari para anggota yang lain, terutama mereka yang sudah terlebih dahulu bersatu dengan Kristus. Inilah yang diajarkan oleh St. Thomas Aquinas dan para Bapa Gereja; dan inilah yang diajarkan oleh Gereja Katolik sampai sekarang. Kalau anda tertarik mempelajari ajaran St. Thomas selanjutnya tentang peran doa syafaat para kudus di surga, silakan klik di link ini

Kami memang pernah merencanakan untuk menuliskan artikel khusus tentang Persekutuan orang kudus, namun karena banyaknya pertanyaan yang masuk, rencana ini belum terpenuhi. Mohon kesabarannya, ya.

5. Terakhir tentang adanya umat Katolik yang pindah ke gereja lain, itu memang suatu realita, seperti yang terjadi pada teman anda. Realita ini justru mendorong umat Katolik yang lain, untuk semakin mempelajari dan memahami imannya. Jika Tuhan berkenan, semoga dalam proses pembelajaran iman ini, umat Katolik dapat juga menghantar orang- orang lain yang secara tulus mencari kebenaran, untuk menemukan kepenuhannya di dalam Gereja Katolik.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Apakah gunanya tulisan dari para Bapa Gereja?

18

Pertanyaan:

Hai Bu Ingrid, Pak Stef, dan Romo Wanta. Saya mau tanya kenapa ajaran St. Ignatius dari Antiokhia (110), St. Yustinus Martir (150-160), St. Irenaeus (140-202), St. Cyril dari Yerusalem (315-386), St. Augustinus (354-430) yang dijadikan dasar pengajaran Katolik? Bukannya itu hanya pengajaran pribadi-pribadi mereka saja? Bukannya mereka hanyalah sebatas seorang Uskup? Bukannya Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa pengajaran infalible hanya keluar dari Paus dan Konsili.

Tolong dijawab yang rinci atas dasar apa kita mempercayai ajaran pribadi Uskup-Uskup tersebut. Karena saya belum pernah menemukan dasar yang tepat untuk mempercayai ajaran pribadi Uskup.

Thanks. – Andreas

Jawaban:

Shalom Andreas,

Terima kasih atas pertanyaannya tentang apa gunanya tulisan dari para Bapa Gereja. Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa Gereja Katolik senantiasa melihat pentingnya apa yang diajarkan oleh para Bapa Gereja.

1. Tradisi Suci adalah salah satu pilar kebenaran.

Kita tahu, rasul Paulus mengatakan “Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (2Tes 2:15). Dan Katekismus Gereja Katolik menjelaskan:

KGK, 76: Sesuai dengan kehendak Allah terjadilah pengalihan Injil atas dua cara:
– secara lisan “oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang mereka terima dari mulut, pergaulan, dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari”;
– secara tertulis “oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga membukukan amanat keselamatan” (DV 7).

Dengan demikian, Alkitab sendiri mengatakan bahwa kita harus melihat warisan iman, bukan hanya secara tertulis (Kitab Suci), namun juga Tradisi Suci atau Tradisi yang hidup dari generasi ke generasi. Hubungan antara keduanya dikatakan sebagai berikut “Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan erat sekali dan terpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama” (DV 9). Kedua-duanya menghadirkan dan mendaya-gunakan misteri Kristus di dalam Gereja, yang menjanjikan akan tinggal bersama orang-orang-Nya “sampai akhir zaman” (Mat 28:20).” (KGK, 80)

2. Tulisan dari Bapa Gereja adalah salah satu elemen dalam Tradisi.

Sekarang pertanyaannya, bagaimana kita mengerti Tradisi? Mungkin teks dari Yves Congar dapat membantu kita. Dia menuliskan “In the first place Tradition is something unwritten, the living transmission of a doctrine, not only by word, but also by attitudes, mode of action, and which includes written documents, documents fo the Magisterium, liturgy, patristic writings, catechisms, etc., a whole collection of things form the evidence or monuments of Tradition.” ((Yves, Congar, The Meaning of Tradition, First Edition, First Printing., The Twentieth Century Encyclopedia of Catholicism (Hawthorn Books, 1964), p.10)) atau “Pertama-tama, Tradisi adalah sesuatu yang tidak tertulis, pelimpahan yang berkesinambungan dari sebuah doktrin, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan sikap, pola tingkah laku, dan yang mencakup dokumen tertulis, dokumen Magisterium, liturgi, tulisan-tulisan patristik, katekismus, dll , seluruh koleksi hal-hal bentuk bukti atau karya besar dari Tradisi.” Dengan demikian, kita melihat peran dari tulisan-tulisan dari para Bapa Gereja (patristik), yang membentuk Tradisi.

3. Tulisan-tulisan para Bapa Gereja menjadi sumber yang dapat dipercaya

Kita dapat memakai prinsip “sesuatu yang semakin dekat ke sumber akan semakin mendapatkan efek yang lebih besar.” Sesuatu yang lebih dekat pada sumber panas akan mendapatkan efek yang lebih besar sesuai dengan sumbernya, dalam hal ini panas. Ini berarti kesaksian orang-orang yang lebih dekat ke sumber (baik waktu dan lokasi) dapat lebih dipercaya dibandingkan dengan kesaksian oleh orang yang terpisah jarak dan waktu. Contoh sederhana, kalau kita ingin mendengar cerita kakek buyut kita, maka kita akan lebih percaya cerita atau tulisan dari kakek kita – yang mengalami kehidupan kakek buyut kita -, daripada kesaksian saudara misan kita.

Jadi, kalau misalkan seseorang ahli Alkitab mengatakan bahwa Injil Yohanes tidak ditulis oleh Yohanes karena berdasarkan analisanya, yang mengatakan bahwa tidak mungkin seseorang yang tidak berpendidikan dapat menuliskan suatu buku yang mengandung filsafat yang begitu tinggi, maka salah satu cara untuk membuktikannya adalah:

a. Dengan apa yang tertulis di dalam Alkitab: bahwa Dia adalah murid yang dikasihi oleh Yesus (lih. Yoh 21:20) dan dia adalah satu dari duabelas murid, di mana dia hadir ketika Yesus yang telah bangkit menampakkan diri di danau Tiberias (lih. Yoh 21:1). Dia juga salah satu dari tiga orang (Petrus, Yohanes dan Yakobus) yang senantiasa dekat dengan Yesus, yang melihat Yesus dipermuliakan (lih. Mt 17:1-2) dan yang melihat sengsara Yesus yang dimulai di taman Getsemani (lih. Mt 14:33). Dari gaya penulisan, maka tidak mungkin Petrus yang menuliskan Injil Yohanes, karena terlihat gaya bahasa yang berbeda dengan surat rasul Petrus. Sedangkan Yakobus juga tidak mungkin menuliskan Injil Yohanes, karena Injil Yohanes ditulis menjelang tahun 100 dan rasul Yakobus diberitakan telah meninggal sekitar tahun 40 (lih Kis 12:2). Dan kita tahu juga dari Yoh 19:35 “Dan orang yang melihat hal itu sendiri yang memberikan kesaksian ini dan kesaksiannya benar, dan ia tahu, bahwa ia mengatakan kebenaran, supaya kamu juga percaya.” Dan akhirnya kita percaya bahwa Injil Yohanes ditulis oleh Yohanes, karena dia mengatakan “Dialah murid, yang memberi kesaksian tentang semuanya ini dan yang telah menuliskannya dan kita tahu, bahwa kesaksiannya itu benar.” (Yoh 21:24). Namun, tidak semua orang dapat menerima argumentasi ini. Dalam kondisi seperti ini, maka kesaksian dari para Bapa Gereja menjadi penting.

b. Dengan tulisan dari Bapa Gereja.

Menurut kesaksian St. Irenaeus (180 AD), yang menjadi murid dari St. Polycarpus, yang adalah murid Rasul Yohanes, dan murid St. Ignatius Martir yang adalah murid langsung dari Rasul Petrus dan Rasul Yohanes. Dengan demikian, kesaksian St. Irenaeus menjadi sangat penting tentang para penulis Injil. Dalam bukunya yang terkenal Against the Heresies, Buku III, bab 1,1 ia menggarisbawahi asal usul apostolik dari kitab Injil,

“Kita telah mengetahui bukan dari siapapun tentang rencana keselamatan kita kecuali dari mereka yang melaluinya Injil telah diturunkan kepada kita, yang pada suatu saat mereka ajarkan di hadapan publik, dan yang kemudian, sesuai dengan kehendak Tuhan, diturunkan kepada kita di dalam Kitab Suci, untuk menjadi dasar dan tonggak dari iman kita…. Sebab setelah Tuhan kita bangkit dari mati [para rasul] diberikan kuasa dari atas, ketika Roh Kudus turun [atas mereka] dan dipenuhi oleh semua karunia-Nya, dan mempunyai pengetahuan yang sempurna: mereka berangkat menuju ujung-ujung bumi, mengajarkan kabar gembira yang diberikan oleh Tuhan kepada kita…. Matius... menuliskan Injil untuk diterbitkan di antara orang Yahudi di dalam bahasa mereka, sementara Petrus dan Paulus berkhotbah dan mendirikan Gereja di Roma…. Markus, murid dan penerjemah Petrus, juga meneruskan kepada kita secara tertulis, apa yang biasanya dikhotbahkan oleh Petrus. Dan Lukas, rekan sekerja Paulus, juga menyusun Injil yang biasanya dikhotbahkan Paulus. Selanjutnya, Yohanes, murid Tuhan Yesus ….juga menyusun Injil ketika tinggal di Efesus, Asia Minor.”

Hal serupa dituliskan juga oleh Origen (185-254) tentang asal usul Injil, dalam In Matthew. I apud Eusebius, His eccl 6.25.3-6:

“[Injil] yang pertama dituliskan oleh Matius, yang adalah seorang publikan tetapi kemudian menjadi rasul Yesus Kristus, yang menerbitkannya untuk umat Yahudi, dituliskan dalam bahasa Ibrani. [Injil] kedua oleh Markus, yang disusun di bawah bimbingan St. Petrus, yang telah mengangkatnya sebagai anak… (1 Pet 5:17). Dan ketiga, menurut Lukas, yang menyusunnya untuk umat non-Yahudi, Injil yang dibawakan oleh Rasul Paulus; dan setelah semuanya itu, [Injil] menurut Yohanes.

Eusebius dalam bukunya Ecclesiastical History (6, 14,5-7) merujuk kepada kesaksian dari St. Clement of Alexandria, yang menuliskan bahwa Yohanes menuliskan Injil [Yohanes] setelah penulis Injil yang lain menuliskan Injil-Injil lain [Matius, Markus, Lukas].

Dari beberapa kesaksian Bapa Gereja ini, maka sangat terlihat bahwa iman kita bukan berdasarkan suatu khayalan, namun berdasarkan suatu fakta yang terjadi dalam sejarah kekristenan. Tulisan-tulisan tersebut dapat memberikan bukti otentik, yang mendukung apa yang telah dituliskan di dalam Alkitab.

4. Tulisan para Bapa Gereja bukanlah ajaran yang tidak mungkin salah, namun begitu penting.

Kita melihat bahwa para Bapa Gereja membentuk sejarah kekristenan. Mereka yang mempertahankan iman Katolik dan melawan ajaran-ajaran yang sesat. Mereka berjuang bukan hanya dengan kata-kata, namun mereka juga menyediakan hidup mereka demi kemuliaan Kristus. Mereka adalah orang-orang pilihan Alah yang dikaruniai rahmat iman yang begitu besar, intelektual yang begitu tinggi, namun mempunyai kerendahan hati. Namun, tidak semua hal yang ditulis oleh mereka adalah tidak mungkin salah. Di sisi lain, adalah suatu kenyataan bahwa mereka memberikan sumbangan tulisan-tulisan yang begitu penting sehingga Gereja Katolik melalui Magisterium Gereja yang dilindungi oleh Roh Kudus, dapat menyatakan suatu ajaran yang tidak mungkin salah dalam hal moral dan iman. Kalau kita melihat dokumen Gereja, maka kita akan melihat begitu banyak kutipan yang diambil dari tulisan para Bapa Gereja. Salah satu ciri dari tulisan para kudus adalah kerendahan hati mereka untuk menyerahkan semua tulisan mereka dalam keputusan Magisterium Gereja. Jadi, pada waktu kita membaca tulisan dari Bapa Gereja, kita juga harus melihat apa yang dikatakan oleh Magisterium Gereja tentang topik tersebut, terutama untuk isu-isu yang cukup kompleks. Dari sini, kita melihat kaitan yang erat antara Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Ketiganya adalah seumpama pilar yang kokoh yang menyangga kehidupan Gereja, sehingga tidak mudah diombang-ambingkan oleh dokrin-dokrin yang bertentangan dengan kebenaran.

Semoga tulisan di atas dapat menjawab pertanyaan anda.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab